orang tersebut. Oleh karena itu persembahan-persembahan selain dilakukan di kuburan juga dilakukan di Ihai di rumah.
Di Jepang pada zaman dahulu dikenal sistem 2 kuburan yaitu satu kuburan kotor tempat tulang belulang yang biasanya dibuat di gunung. Kemudian satu lagi
adalah kuburan yang suci sebagai tempat memberikan sesajen. Biasanya kuburan yang ke dua ini dibuat di pinggir desa. Rak penyembahan roh leluhur dirumah
disebut dengan kamidana atau butsudan. Pada altar tersebut diletakkan Ihai, yaitu sebuah papan yang bertuliskan nama dan tanggal meninggalnya orang tersebut.
Sehingga kesanalah ditujukan sesajen didalam penyembahan di rumah. Penyembahan ini disebut dengan Kuyo. Kuyo biasanya dilakukan selama 33 tahun
menurut Budhis atau 49 tahun menurut Shinto. Sementara roh orang yang tidak mendapat persembahan disebut dengan Muenbotoke. Muenbotoke adalah roh yang
tidak ada keluarga memberi sesajen.
3.1.2 Pemakaman Jepang
Pemakaman
葬儀
sougi menurut Matsumoto adalah sebagai berikut: sougi pemakaman, adalah sederetan upacara untuk orang mati. Dalam sougi
mempunyai 2 fungsi yaitu, ketenangan roh dan untuk menunjukkan hubungan manusia dalam keluarga yang ditinggalkan. Didalam masyarakat Jepang yang
disebut dengan sougi adalah acara
通夜
tsuya acara perpisahan malam terakhir, dosoukasou
土葬火葬
penguburan di tanah atau kramasi. Menurut Inoue, sougi adalah serangkaian acara untuk orang meninggal, didalamnya termasuk acara
Universitas Sumatera Utara
sebelum dan sesudah kematian, acara memasukkan mayat kebatang, acara penguburan, dan kemudian adalah acara penyucian roh.
Tidak lama setelah seseorang meninggal, jenazah dikuburkan di tempat pemakaman yang dikelola oleh desa atau kelompok kerabatnya. Pemakaman ini
biasanya terletak agak jauh dari tempat pemukiman, mungkin di perbatasan desa, atau di gunung. Setelah pemakaman tidak lagi dikunjungi orang, orang
menyebutnya dengan sebutan sute baka kuburan yang ditinggalkan, kemudian hanya melakukan upacara persembahan kepada roh saja. Karena pada zaman
dahulu roh orang yang baru meninggal dianggap labil dan berbahaya oleh karena itu harus diadakan serangkaian upacara-upacara. Tetapi pada masa sekarang ini
sougi diadakan sebagai tanda terima kasih terhadap orang tua atau anggota keluarga.
3.1.3 Penyucian Roh
Menurut kepercayaan orang Jepang roh almarhum baru mencapai tahap suci setelah meninggal selama 33 tahun, sudah tentu dalam arti bahwa selama itu
pula upacara penyucian dirinya dilakukan. Upacara-upacara tersebut adalah: acara kematian, acara ke 7 hari, acara ke 49 hari, acara 100 hari, acara isshuki satu
tahun, sankaiki ke 3 tahun, nanakaiki ke 7 tahun, juusankaiki ke 13 tahun, juunanakaiki ke 17 tahun, ni juusankaiki ke 23 tahun, sanjusankaiki ke 33
tahun. Setelah itu roh almarhum dianggap sudah tidak berbahaya lagi. Sampai masa itu roh almarhum masih memiliki sifat perorangannya,
mereka masih dikenang oleh kerabatnya sebagai salah seorang anggota keluarga
Universitas Sumatera Utara
mereka. Pengharapan serta aspirasi mereka masih harus diperhatikan. Demikianlah, karena itu makanan kesukaannya harus disajikan setiap ada
kesempatan. Jika ia tidak suka mendengar suara tangisan anak kecil suatu kerabatnya, maka anak bersangkutan harus diingatkan agar tidak cengeng, karena
walaupun ia telah meninggal, rohnya tetap dapat mengganggu orang yang hidup secara gaib. Seorang putra yang telah lulus ujian di perguruan tinggi akan melapor
kepada almarhum ibunya. Dengan adanya keyakinan ini, maka hubungan batin suatu keluarga dengan anggotanya yang telah meninggal akan tetap terpelihara
dan tidak terputus secara tiba-tiba. Akibatnya secara emosi keluarga yang ditinggal mati oleh anggota keluarganya tidak akan mengalami kekosongan yang
dapat mengganggu kesejahteraan jiwa mereka sebagai makhluk sosial. Di banyak daerah di Jepang, upacara memperingati 33 tahun wafatnya
seseorang dianggap sebagai tahap terakhir dari ritual daur hidup almarhum.Papan peringatannya di meja sembahyang dibuang, dan sebagai gantinya, rohnya
dipersatukan dalam papan peringatan kolektif dari para leluhur yang telah meninggal terlebih dahulu. Papan peringatan itu bertuliskan “generasi para
leluhur”. Di tempat pemakaman, makam-makam dari para almarhum yang telah diupacarakan pada hari wafatnya yang ke-33 tahun juga disatukan serta diberi
tanda dengan tulisan: “makam dari generasi para leluhur keluarga A”. Hal ini terjadi apabila persediaan tanah di suatu daerah makin berkurang.
Setelah meninggal 33 tahun, tidak perlu lagi diacarakan upacara khusus. Karena roh tersebut sudah masuk ke dalam Senzodaidai kelompok nenek
moyang. Roh tersebut dianggap pergi ke gunung dan dari gunung mengawasi
Universitas Sumatera Utara
anak cucunya. Kemudian dalam waktu-waktu tertentu misalnya pada waktu obon, tahun baru, roh leluhur tersebut dipercaya datang berkunjung ke rumah anak
cucunya.
3.2 Fenomena Kesurupan Dan Pembalasan 3.2.1 Kesurupan