Kepercayaan Masyarakat Jepang Terhadap Roh Leluhur Sosen Ni Taishite No Nihon Jin No Shinkou

(1)

KEPERCAYAAN MASYARAKAT JEPANG TERHADAP ROH LELUHUR

SOSEN NI TAISHITE NO NIHON JIN NO SHINKOU KERTAS KARYA

Dikerjakan O L E H

RIA EMA SITA BR TARIGAN NIM: 092203010

PROGRAM STUDI BAHASA JEPANG D-III FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KEPERCAYAAN MASYARAKAT JEPANG TERHADAP ROH LELUHUR

SOSEN NI TAISHITE NO NIHON JIN NO SHINKOU KERTAS KARYA

Kertas karya ini diajukan kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III dalam bidang studi Bahasa Jepang.

Dikerjakan OLEH

RIA EMA SITA BR TARIGAN NIM: 092203010

Pembimbing Pembaca

Drs. Amin Sihombing Prof. Drs. Hamzon Situmorang, MS, Ph.D. Nip : 19600403 199103 1 001 Nip : 19580704 198412 1 001

PROGRAM STUDI BAHASA JEPANG D-III FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGESAHAN Diterima Oleh :

Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan,

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III dalam bidang studi Bahasa Jepang

Pada : Tanggal :

Hari :

Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Dekan

Dr.Syahron Lubis, M.A. Nip:19511013 197603 1 001

Panitia Ujian :

No. Nama Tanda Tangan

1. Zulnaidi,SS,M.Hum ( )

2. Drs. Amin Sihombing ( )


(4)

Disetujui oleh :

Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi D-III Bahasa Jepang Ketua Program Studi

Zulnaidi,SS,M.Hum

Nip:19670807 20041 1 001


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kasih karunianya sehingga Penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini, sebagai persyaratan untuk memenuhi ujian akhir Diploma III Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, dengan judul “KEPERCAYAAN MASYARAKAT JEPANG TERHADAP ROH LELUHUR (SOSEN NI TAISHITE NO NIHON JIN NO SHINKOU)”.

Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan kertas karya ini, terutama kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda R. Tarigan dan Ibunda J. Br. Bukit yang selalu mendoakan, memberikan perhatian dan dorongan semangat, baik moril maupun materil yang tidak ternilai harganya sehingga penulis dapat menyelesaikan Kertas Karya ini.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr.Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Zulnaidi,SS,M.Hum. selaku Ketua Jurusan Program Studi Diploma III Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs.Amin Sihombing selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini.


(6)

4. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, MS, Ph.D. selaku Dosen Pembaca yang telah memberikan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan kertas karya ini.

5. Seluruh Staf Pengajar Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis selama perkuliahan.

6. Kakak saya (Kolu), abang ipar (D.Ginting), adik saya (Desi dan Jeri), keponakan (Arlan dan Delan) yang sangat saya sayangi, yang telah memberikan dorongan semangat sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan kertas karya ini.

7. Seseorang yang istimewa, Hyantes Pasaribu yang telah banyak membantu, menasehati, mengajarkan banyak hal, memberi semangat dan dukungannya kepada penulis sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini.

8. Teman-teman saya : Betty, Lenni, Ocha, Nda’Sya’Pe, Tole, Munade, Sai, Izmu, Andre, serta rekan-rekan Mahasiswa Jurusan Bahasa Jepang Stambuk ’09, yang telah membantu Penulis dalam banyak hal, sehingga penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini.

9. Rekan-rekan di Organisasi Gemapala (Generasi Muda Pencinta Alam), yang selalu memberi perhatian kepada penulis. Lestarii.!

10.Semua pihak yang terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu saya dalam menyelesaikan kertas karya ini.


(7)

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam kertas karya ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi penyajian kalimat, penguraian materi dan pembahasan masalah. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan kertas karya ini.

Demikianlah harapan penulis, semoga Kertas Karya ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, . . . .2012 Penulis,

RIA EMA SITA BR TARIGAN NIM: 092203010


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Alasan Pemilihan Judul ... 1

1.2 Tujuan Penulisan ... 4

1.3 Pembatasan Masalah ... 4

1.4 Metode Penelitian... 4

BAB II GAMBARAN UMUM ... 5

2.1 Sejarah Jepang ... 5

2.1.1 Zaman Purbakala ... 5

2.1.2 Zaman Modern ... 7

2.2 Konsep Alam Gaib ... 8

BAB III KEPERCAYAAN MASYARAKAT JEPANG TERHADAP ROH LELUHUR ... 10

3.1 Hakikat Roh Leluhur ... 10

3.1.1 Pandangan Akan Kematian ... 10

3.1.2 Pemakaman Jepang ... 12

3.1.3 Penyucian Roh ... 13


(9)

3.2.1 Kesurupan ... 15

3.2.2 Pembalasan ... 17

3.3 Makhluk Alam Gaib ... 19

3.3.1 Kamigami (Dewa-Dewa)... 19

3.3.2 Siluman ... 21

3.4Makna Roh Leluhur ... 24

3.4.1 Bagi Keluarga Jepang ... 24

3.4.2 Bagi Rumah Tangga ... 25

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 27

4.1 Kesimpulan... 27

4.2 Saran ... 28


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Alasan Pemilihan Judul

Negara Jepang merupakan salah satu negara yang unik, karena Jepang adalah negara maju tetapi masih percaya hal-hal yang magis. Masyarakat Jepang meyakini adanya kekuatan batin manusia yang dapat dimasuki dimensi lain yang penuh dengan kekuatan luar biasa. Dalam pemikiran orang Jepang, ketika seseorang meninggal dunia rohnya akan meninggalkan kehidupan ini menuju ke dunia yang kekal, setelah mencapai tempat tujuan rohnya harus menghabiskan beberapa waktu. Diantara tingkat keberadaan dalam sebuah tempat yang tidak jelas dan tidak pasti. Di tempat inilah roh dapat menjadi hantu penasaran yang dapat menghantui atau mengganggu orang-orang yang masih memiliki hubungan yang kuat dengannya. Para roh tersebut terus menghantui orang-orang di dunia sampai ada seseorang-orang atau sesuatu yang bisa membebaskan mereka untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju keabadian.

Pandangan roh orang Jepang dipengaruhi kepercayaan Shinto dan Budha. Pandangan roh orang Jepang berhubungan dengan pandangan dunia, dimana dunia ini berhubungan dengan dunia sana (dunia kematian). Pada waktu manusia lahir rohnya datang dari leluhur, dan pada waktu meninggal rohnya akan kembali ke senzodaidai 先祖代々(generasi leluhur).


(11)

Kepercayaan terhadap Tuhan dalam masyarakat Jepang berbeda dengan pengertian kepercayaan akan Tuhan dalam kepercayaan monotheis, di Jepang kata Tuhan disebut dengan 神 (kami) atau (hotoke), Kami adalah konsep Shinto dan Hotoke adalah konsep dari agama Budha. Pengertian Kami itu sendiri adalah roh leluhur yang sudah meninggal lebih dari 49 tahun dan sudah diadakan tomuraiage弔い上げ (acara memindahkan ihai dari kamidana神棚 (altar) di rumah dipindahkan ke gunung atau dibakar. Hal ini dilakukan karena sosen祖先(leluhur) tersebut sudah 49 tahun disembah di rumah. Oleh karena itu dianggap sudah menjadi Dewa (Sosendai atau Okusama).

Kemudian Hotoke仏 juga adalah roh leluhur yang sudah meninggal lebih dari 33 tahun dan sudah dilakukan tomuraiage (Tomuraiage adalah perayaan penyembahan terahir roh nenek moyang pada kamidana (altar) di rumah. Setelah tomuraiage roh tersebut dianggap sudah kehilangan kepribadian, kemudian diantar ke gunung). Kemudian para kamigami ini dianggap berfungsi untuk menjaga keturunannya yang masih hidup.

Dalam pandangan Jepang, kematian adalah merupakan pemisahan antara roh dan raga. Menurut Inoguchi pemikiran tentang pemisahan antara tubuh dan raga sudah ada dalam pandangan hidup dan mati orang Jepang sejak zaman prasejarah. Setelah manusia mati sekitar 33 tahun atau 49 tahun roh tersebut sudah lepas dari kekotoran. Maka roh tersebut menjadi sorei 祖霊 (leluhur), naik ke langit dan dari langit roh tersebut mengawasi anak cucunya. Kemudian dalam waktu-waktu tertentu karena


(12)

panggilan manusia atau pada acara obon dan tahun baru, maka roh leluhur tersebut akan datang dan mengunjungi anak cucunya. Kemudian menurut tempat kedatangan roh tersebut maka namanya berubah. Misalnya apabila datang ke sawah maka dia menjadi Tanokami田の神(dewa sawah),

Yamanokami 山の神(dewa gunung), Mizunokami水の神(dewa air) dan

sebagainya.

Roh yang tidak ada penyembahnya maka disebut muenrei 無縁霊, maka roh tersebut dipercaya akan menjadi yurei 湯霊(hantu), atau disebut juga gaki secara agama Budha. Penyembahan roh leluhur ini dikatakan sebagai inti dari agama Ie.

Bertitik tolak dari pemikiran di atas, penulis berminat membahasnya dalam kertas karya yang berjudul “KEPERCAYAAN MASYARAKAT JEPANG TERHADAP ROH LELUHUR”.

1.2. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan kertas karya ini adalah :

1. Untuk mengetahui makna roh leluhur bagi kehidupan masyarakat Jepang

2. Untuk menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai kepercayaan masyarakat jepang terhadap roh leluhur


(13)

1.3. Batasan Masalah

Dalam kepercayaan Jepang dibedakan antara roh alam dan roh manusia dan reii (benda). Roh manusia dibedakan antara roh orang hidup dan roh orang mati.

Tetapi penulis hanya menguraikan roh orang mati, berikut dengan jenis-jenis roh dan maknanya bagi kehidupan masyarakat Jepang.

1.4. Metode Penelitian

Dalam penulisan kertas karya ini, penulis menggunakan metode kepustakaan (Library Research) dengan metode Survey Book. Survei Book adalah mengumpulkan data dari berbagai literatur buku yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.


(14)

BAB II

GAMBARAN UMUM

2.1. Sejarah Jepang 2.1.1 Zaman Purbakala

Kepulauan Jepang pertama kali dihuni lebih dari 10.000 tahun yang silam, ketika masih menyatu dengan massa daratan benua Asia. Penemuan arkeologi mengungkapkan bahwa orang purba yang menghuni kepulauan ini di zaman Paleolitis atau zaman Batu Lama, hidup terutama dari berburu dan memungut. Zaman Neolotis atau Zaman Batu Baru, sekitar 10.000 tahun yang lalu, membuat alat-alat batu yang halus, pengembangan teknik berburu yang piawai dengan menggunakan busur dan panah, dan pembuatan bejana tanah liat untuk memasak dan menyimpan makanan. Periode dari sekitar tahun 8000 sampai tahun 300 sebelum Masehi, disebut peride Jomon menurut gaya barang tembikar Jomon (bertanda tali).

Selama zaman Jomon hutan-hutan bahkan menutupi tanah datar. Makanan terutama berasal dari menangkap ikan, berburu rusa dan beruang, menangkap kelinci dan burung kecil, serta mengumpulkan kerang dan biji tanaman. Kemudian Lebih dari 3000 tahun yang lalu, teknik menanam padi dan pengolahan logam dipekenalkan dari daratan Asia. Hal ini masuk dalam kebudayaan Yayoi menurut barang tembikar yang dibuat dari roda canai. Yang secara bertahap menyebar dari bagian darat kepulauan, mengubah gaya hidup dan metode produksi. Dalam kehidupan sehari-hari penduduk Jepang menggunakan senjata


(15)

dan alat pertanian terbuat dari besi untuk meningkatkan produksi pertanian. Pembagian pekerjaan memperlebar jurang antara golongan penguasa dan golongan bawahan pada saat itu, dan di seluruh negeri terbentuk banyak negara-negara kecil.

Hampir 2000 tahun yang lalu kelas penguasa mulai memegang kekuasaan atas daerah-daerah lokal, dan keberadaannya masih terlihat dari kuburan-kuburan kofun mereka yang sangat besar. Lambat laun negara-negara kecil itu disatukan, dan menjelang abad keempat suatu adikara/otoritas politik yang kuat, berpusat di Yamato (sekarang Prefektur Nara), memerintah bangsa Jepang. Periode dari abad keempat sampai abad keenam menyaksikan perkenbangan besar dalam bidang pertanian dan masuknya kebudayaan Cina termasuk agama Kong Fu Tse dan Budha melalui Korea. Pada akhir abad keempat, terjalin hubungan antara Jepang dan kerajaan-kerajaan di Semenanjung Korea. Dari Korea lah datang keterampilan industri ke Jepang, seperti tenun, pengolahan logam, penyamakan kulit dan pembuatan kapal, yang semula dikembangkan di Cina di bawah dinasti Han.

Bentuk tulisan bahasa Cina yang berdasarkan huruf ideografi, diambil dan dipakai, dan dengan medium ini orang Jepang belajar prinsip-prinsip dasar ilmu kedokteran, perputaran kalender dan astronomi, dan falsafah ajaran Kong Fu Tse. Agama Budha masuk ke Jepang pada tahun 538 dari India melalui Cina dan Korea. Ajaran Budhisme menyebar di dalam masyarakat tanpa menggantikan kepercayaan Shinto yang lebih tua.


(16)

Ibukota tetap yang pertama didirikan di Nara pada permulaan abad kedelapan. Lebih dari 70 tahun, mulai tahun 710 sampai 784, keluarga Kaisar Jepang berdiam di sana sambil perlahan-lahan memperluas kekuasaannya ke seluruh negeri. Sebelumnya, ibukota atau tempat singgasana seringkali dipindah-pindahkan di daerah sekeliling kota-kota Nara, Kyoto, dan Osaka sekarang.Pada tahun 794, sebuah ibukota baru dibangun di Kyoto.Kota ini tetap menjadi tempat singgasana selama hampir seribu tahun. Pemindahan ibukota ke Kyoto menandakan permulaan masa Heian yang berlangsung sampai tahun 1192. Masa haian merupakan masa jaya bagi perkembangan kesenian di Jepang, dan peradaban Jepang mulai menciptakan ciri-ciri dan bentuk-sendiri yang khas dan spesifik.

2.1.2 Zaman Modern

Tahun 1853, ”kapal hitam” angkatan laut Amerika tiba, menuntut agar Shogun mengakhiri pengasingan nasional dan membuka negeri untuk perdagangan asing. Pintu dibuka, membuka kesempatan untuk Restorasi Meiji pada tahun 1868. Kota Edo, yang dibangun mengitari Puri Edo, diubah namanya menjadi Tokyo (“Ibu Kota Bagian Timur”) dan menjadi ibu kota dari sebuah negara yang tergesa-gesa menuju modernisasi sejalan dengan gaya Barat.Kereta api pertama mulai beroperasi pada tahun 1872, dengan banyak terowongan dan jembatan yang menaklukkan gunung dan sungai.Pemerintah mempromosikan pendidikan dan membangun sekolah di seluruh negeri. Populasinya kira-kira 30 juta orang waktu Restorasi Meiji, tetapi kemudian berkembang dengan cepat.


(17)

Di abad ke-20, urbanisasi dan industrialisasi sangat maju, terutama di Tokyo, Yokohama, Osaka, Kobe, Nagoya dan Fukuoka. Di tahun 1964, kereta api cepat Shinkansen mulai beroperasi antara Tokyo dan Osaka. Jaringan Shinkansen sejak itu berkembang ke banyak bagian negeri.Kendaraan bermotor menjadi umum, jaringan bebas hambatan melayani seluruh negeri, dan jalan-jalan bahkan telah diperpanjang bahkan sampai ke gunung. Bangunan-bangunan ultra modern telah mengubah kota.

2.2 Konsep Alam Gaib

Konsep orang Jepang terhadap alam gaib adalah sebagai berikut.

a) Bagi orang Jepang, semua fenomena alam yang hidup (animate) maupun yang tidak hidup (inanimate), bahkan benda buatan manusia sekalipun, mempunyai potensi untuk menjadi hidup, jika dimasuki oleh roh gaib. Dan benda buatan manusia ini hanya wadah dari roh-roh gaib. Setiap fenomena atau benda yang dapat menjadi tempat bersemayamnya roh-roh gaib tidak mempunyai kemampuan yang sama, karena ada benda yang lebih berpotensi untuk dijadikan wadah manifestasi roh atau tenaga gaib dibandingkan benda yang lain.

b) Tenaga gaib khusus dari roh atau dewa dapat mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan wadah tempat bersemayamnya. Itu terletak pada keyakinan bahwa suatu dewa dengan fungsi tertentu dapat saja mempunyai beberapa tempat persemayaman dan fungsi berbeda. Contohnya para pelindung dari daerah persawahan (ta no kami). Bertani


(18)

sawah secara tradisional merupakan kegiatan yang penting dari ekonomi petani desa Jepang. Maka tidak mengherankan apabila peran besar diberikan kepada leluhur untuk menjaga daerah persawahan. Para dewa padi dan sawah diyakini berdiam di pegunungan yang dekat dan disebut yama no kami (para dewa gunung). Orang Jepang yakin bahwa para dewa roh leluhur bersemayam di gunung-gunung ,jauh dari daerah pemukiman manusia. Pada musim semi pada masa tanah di tanami dengan padi, para dewa diyakini datang di daerah persawahan , dan setelah usainya panen di musim gugur, mereka semua pulang kembali ke daerah pegunungan. Oleh karenanya, upacara musim semi dan musim gugur yang berhubungan dengan pertanian merupakan upacara yang paling universal di daerah pedesaan Jepang. Upacara-upacara tersebut terdiri dari upacara selamat datang bagi para dewa roh leluhur di musim semi, dan upacara selamat jalan di musim gugur.


(19)

BAB III

KEPERCAYAAN MASYARAKAT JEPANG TERHADAP ROH

LELUHUR

3.1 Hakikat Roh Leluhur

Dalam kehidupan orang Jepang dari lahir hingga mati, mengikuti beberapa acara yang memiliki tahapan yaitu, acara untuk proses pendewasaan dan acara kedewasaan, acara setelah mati yaitu acara proses menjadi sourei (leluhur) dan acara untuk sourei itu sendiri. Manusia dalam perpindahan dari satu tahap ke tahap lainnya memiliki tempat khusus. Misalnya waktu lahir masuk ke sanya 産院(rumah bersalin) kemudian pada waktu kawin masuk ke konshukuya (rumah perkawinan) dan kemudian pada waktu mati masuk ke moya (rumah untuk orang meninggal) lalu pada tahap menjadi dewa masuk shinshi (rumah dewa).

3.1.1 Pandangan Akan Kematian a. Penentuan Kematian

Dalam Jepang zaman dahulu kala, tidak jelas batas antara mati dan hidup. Dalam tubuh setiap orang minimal ada satu roh, jikalau roh tersebut keluar dari tubuh seseorang disebut kondisi hansi (pingsan). Kemudian apabila selamanya roh tersebut tidak kembali lagi maka seseorang tersebut dinyatakan mati.

Melihat pemikiran di atas, batas antara hidup dan mati dalam pemikiran Jepang adalah apakah roh ada di dalam tubuh atau tidak. Oleh karena itu masyarakat tradisional Jepang mengenal acara Tamayobai. Tamayobai adalah suatu acara untuk memanggil roh orang mati tersebut untuk kembali lagi ke dalam jasad. Kemudian apabila acara tamayobai sudah dilakukan maka seseorang tersebut


(20)

diputuskan sudah meninggal. Cara melakukan acara tamayobai di masing-masing daerah berlainan. Misalnya dengan membuat makanan di samping mayat lalu memanggil orang tersebut kembali. Tetapi ada juga yang memanggil roh tersebut ke sumur atau ke atap rumah. Acara tamayobai disebut juga Mogari. Jadi acara mogari adalah suatu acara untuk menentukan seseorang tidak hidup lagi. Dasar pemikiran mogari adalah bahwa manusia meninggal karena rohnya pergi meninggalkan badan kemudian pergi ke dunia sana, apabila belum terlalu jauh pergi maka masih dapat dipanggil kembali. Oleh karena itu setelah dilakukan upacara Mogari, apabila roh tidak dapat dipanggil kembali maka diputuskanlah seseorang itu telah meninggal.

Setelah seseorang dinyatakan sudah meninggal dengan acara Mogari atau Tamayobai, maka keluarga akan memberitahukan kepada famili-famili. Pemberitahuan ini disebut dengan shirase. Shirase biasanya dilakukan oleh 2 orang. Tetapi jikalau harus dilakukan sendirian, maka biasanya orang tersebut membawa boneka. Sedangkan yang mendengarkan berita kematian tersebut, jika kebetulan ada yang usianya sama dengan yang meninggal, maka orang tersebut membuat Mimifutagi. Mimifutagi adalah menutup telinga dengan tutup periuk.

b. Kepergian Roh

Dalam pandangan orang Jepang, roh ada di dalam tulang belulang. Oleh karena itu persembahan-persembahan diarahkan kepada tulang belulang dan pergi


(21)

orang tersebut). Oleh karena itu persembahan-persembahan selain dilakukan di kuburan juga dilakukan di Ihai di rumah.

Di Jepang pada zaman dahulu dikenal sistem 2 kuburan yaitu satu kuburan kotor tempat tulang belulang yang biasanya dibuat di gunung. Kemudian satu lagi adalah kuburan yang suci sebagai tempat memberikan sesajen. Biasanya kuburan yang ke dua ini dibuat di pinggir desa. Rak penyembahan roh leluhur dirumah disebut dengan kamidana atau butsudan. Pada altar tersebut diletakkan Ihai, yaitu sebuah papan yang bertuliskan nama dan tanggal meninggalnya orang tersebut. Sehingga kesanalah ditujukan sesajen didalam penyembahan di rumah. Penyembahan ini disebut dengan Kuyo. Kuyo biasanya dilakukan selama 33 tahun menurut Budhis atau 49 tahun menurut Shinto. Sementara roh orang yang tidak mendapat persembahan disebut dengan Muenbotoke. Muenbotoke adalah roh yang tidak ada keluarga memberi sesajen.

3.1.2 Pemakaman Jepang

Pemakaman (葬儀/ sougi) menurut Matsumoto adalah sebagai berikut: sougi (pemakaman), adalah sederetan upacara untuk orang mati. Dalam sougi mempunyai 2 fungsi yaitu, ketenangan roh dan untuk menunjukkan hubungan manusia dalam keluarga yang ditinggalkan. Didalam masyarakat Jepang yang disebut dengan sougi adalah acara 通夜/tsuya ( acara perpisahan malam terakhir),

dosou/kasou 土葬 /火葬 (penguburan di tanah atau kramasi). Menurut Inoue, sougi adalah serangkaian acara untuk orang meninggal, didalamnya termasuk acara


(22)

sebelum dan sesudah kematian, acara memasukkan mayat kebatang, acara penguburan, dan kemudian adalah acara penyucian roh.

Tidak lama setelah seseorang meninggal, jenazah dikuburkan di tempat pemakaman yang dikelola oleh desa atau kelompok kerabatnya. Pemakaman ini biasanya terletak agak jauh dari tempat pemukiman, mungkin di perbatasan desa, atau di gunung. Setelah pemakaman tidak lagi dikunjungi orang, orang menyebutnya dengan sebutan sute baka (kuburan yang ditinggalkan), kemudian hanya melakukan upacara persembahan kepada roh saja. Karena pada zaman dahulu roh orang yang baru meninggal dianggap labil dan berbahaya oleh karena itu harus diadakan serangkaian upacara-upacara. Tetapi pada masa sekarang ini sougi diadakan sebagai tanda terima kasih terhadap orang tua atau anggota keluarga.

3.1.3 Penyucian Roh

Menurut kepercayaan orang Jepang roh almarhum baru mencapai tahap suci setelah meninggal selama 33 tahun, sudah tentu dalam arti bahwa selama itu pula upacara penyucian dirinya dilakukan. Upacara-upacara tersebut adalah: acara kematian, acara ke 7 hari, acara ke 49 hari, acara 100 hari, acara isshuki (satu tahun), sankaiki (ke 3 tahun), nanakaiki (ke 7 tahun), juusankaiki (ke 13 tahun), juunanakaiki (ke 17 tahun), ni juusankaiki (ke 23 tahun), sanjusankaiki (ke 33 tahun). Setelah itu roh almarhum dianggap sudah tidak berbahaya lagi.

Sampai masa itu roh almarhum masih memiliki sifat perorangannya, mereka masih dikenang oleh kerabatnya sebagai salah seorang anggota keluarga


(23)

mereka. Pengharapan serta aspirasi mereka masih harus diperhatikan. Demikianlah, karena itu makanan kesukaannya harus disajikan setiap ada kesempatan. Jika ia tidak suka mendengar suara tangisan anak kecil suatu kerabatnya, maka anak bersangkutan harus diingatkan agar tidak cengeng, karena walaupun ia telah meninggal, rohnya tetap dapat mengganggu orang yang hidup secara gaib. Seorang putra yang telah lulus ujian di perguruan tinggi akan melapor kepada almarhum ibunya. Dengan adanya keyakinan ini, maka hubungan batin suatu keluarga dengan anggotanya yang telah meninggal akan tetap terpelihara dan tidak terputus secara tiba-tiba. Akibatnya secara emosi keluarga yang ditinggal mati oleh anggota keluarganya tidak akan mengalami kekosongan yang dapat mengganggu kesejahteraan jiwa mereka sebagai makhluk sosial.

Di banyak daerah di Jepang, upacara memperingati 33 tahun wafatnya seseorang dianggap sebagai tahap terakhir dari ritual daur hidup almarhum.Papan peringatannya di meja sembahyang dibuang, dan sebagai gantinya, rohnya dipersatukan dalam papan peringatan kolektif dari para leluhur yang telah meninggal terlebih dahulu. Papan peringatan itu bertuliskan “generasi para leluhur”. Di tempat pemakaman, makam-makam dari para almarhum yang telah diupacarakan pada hari wafatnya yang ke-33 tahun juga disatukan serta diberi tanda dengan tulisan: “makam dari generasi para leluhur keluarga A”. Hal ini terjadi apabila persediaan tanah di suatu daerah makin berkurang.

Setelah meninggal 33 tahun, tidak perlu lagi diacarakan upacara khusus. Karena roh tersebut sudah masuk ke dalam Senzodaidai (kelompok nenek moyang). Roh tersebut dianggap pergi ke gunung dan dari gunung mengawasi


(24)

anak cucunya. Kemudian dalam waktu-waktu tertentu misalnya pada waktu obon, tahun baru, roh leluhur tersebut dipercaya datang berkunjung ke rumah anak cucunya.

3.2 Fenomena Kesurupan Dan Pembalasan 3.2.1 Kesurupan

Salah satu cara di mana para roh dapat mempengaruhi hidup manusia yaitu melalui kesurupan atau kerasukan (tsukimono). Makhluk hidup yang mempunyai kemampuan untuk merasuki makhluk hidup lainnya antara lain: manusia (yang masih hidup maupun yang sudah mati), rase, anjing, dan ular.

Metode dan diagnosis tertentu memerlukan bantuan seorang dukun profesional, namun beberapa metode memerlukan diagnosis sederhana yang dapat mereka lakukan sendiri. Misalnya dengan cara meletakkan benda yang diketahui tidak disukai oleh roh tersebut. Jika memang benar roh yang merasuki si korban adalah roh yang bersangkutan, maka ia akan menunjukkan kebenciannya terhadap benda tersebut, walaupun dalam keadaan sadar si korban sendiri sangat suka pada benda itu. Apabila sudah dapat dipastikan bahwa si korban memang dirasuki oleh roh tertentu, maka roh tersebut akan diusir melalui cara yang dikenal oleh masyarakat bersangkutan.

Metode tersebut antara lain dapat berupa mengikat si korban lalu memukulnya, sampai roh yang merasukinya lari keluar dari tubuhnya, atau dengan cara mengasapinya dengan asap daun hijau yang dibakar di dalam kamar tertutup di mana si korban dikurung. Beberapa macam cara pengobatan


(25)

memerlukan bantuan ahli profesional, seperti peramal yang terdiri dari pendeta agama Shinto maupun Buddha yang dapat mengusir roh yang merasuki melalui ucapan mantra-mantra, doa, dan upacara ilmu gaib.

Kesurupan dapat terjadi apabila seseorang cemburu atau iri hati terhadap si korban, misalnya karena si korban merupakan orang yang telah berhasil dalam hidupnya. Orang yang iri hati tersebut bisa jadi tidak sadar bahwa ialah penyebab kesurupan pada diri korbannya, karena jiwanya meninggalkan tubuh kasarnya tanpa disadarinya untuk merasuki atau melukai korbannya. Dalam keadaan semacam ini, si penyebab kesurupan baru mengetahuinya setelah diberitahu oleh peramal yang telah mengobati si korban. Identifikasi ini akan menjadi lebih terang lagi apabila beberapa waktu sebelumnya ia pernah menunjukkan kecemburuannya terhadap si korban.

Fungsi sosial dari diagnosis semacam itu sangat jelas, yakni untuk memelihara keharmonisan hubungan suatu masyarakat dengan mengurangi pengungkapan kecemburuan. Pendapat ini penting sekali dilihat dari perspektif fingsionalisme, mengingat fenomena kesurupan sangat umum terjadi di daerah-daerah pedesaan di Jepang yang dicirikan oleh adanya kelompok-kelompok dan asosiasi-asosiasi yang saling memotong serta bertumpang tindih sehingga memberi kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dan persekutuan (Yoshida, 1967).


(26)

Fenomena yang sama dengan kesurupan adalah pembalasan (tatari) atau hukuman secara gaib. Hukuman semacam itu dapat terjadi pada berbagai macam keadaan misalnya, tubuh yang disemayami oleh suatu kekuatan gaib yang mati secara tidak wajar (apabila ia tergolong makhluk hidup) akan membalas dendam dan sakit hati atas kematiannya itu. Menurut Teigo Seki (1954:885) ada tujuh macam kondisi yang penting:

1) Apabila suatu kuil dipindahkan, dan dewa yang bersemayam di sana tidak senang dengan perpindahan itu;

2) Apabila dua atau lebih dewa yang tidak cocok disemayamkan bersama di suatu kuil;

3) Apabila suatu dewa disia-siakan atau tidak dirawat sepatutnya;

4) Apabila seseorang mengutuk atau dengan sengaja menelantarkan seorang dewa yang perawatannya menjadi tanggungannya;

5) Apabila suatu tabu dilanggar, seperti membuka pintu terlarang dari sebuah kuil, atau seorang wanita yang sedang datang bulan memasuki tempat suci;

6) Apabila seseorang meninggal secara tidak wajar, seperti bunuh diri, tenggelam, dibunuh dan sebagainya;

7) Apabila seseorang membunuh atau melukai binatang dari jenis tertentu, seperti anjing, rase, ular, atau kucing.

Bentuk pembalasan dimulai dari kerusakan harta milik (melalui kebakaran, gagal panen dan sebagainya) sampai kepada sakit atau luka pada yang bersangkutan sendiri maupun keluarganya. Seperti halnya perbuatan gaib


(27)

lainnya, penemuan penyebabnya dilakukan melalui mencari sumber penyebabnya, karena kita tidak akan dapat mengetahui secara langsung tentang sebab ketidaksenangan para dewa atau roh. Maka penyebabnya harus dilihat dari kemalangannya. Apabila suatu kemalangan menimpa, orang akan menduganya sebagai akibat pembalasan. Lalu yang bersangkutan akan berpikir mengenai kesalahan apa yang telah dilakukan. Biasanya tidak sulit untuk mengetahui jenis pelanggaran yang telah dilakukan, karena sebagai manusia kita berkecenderungan untuk berbuat salah. Sekali penyebab pembalasan telah ditemukan, maka keadaan perlu dinormalkan kembali, dengan cara melakukan upacara yang tepat agar penyebab kemarahan dewa atau roh dapat dilenyapkan.

3.3 Makhluk Alam Gaib 3.3.1 Kamigami (Dewa-Dewa)

Makhluk alam gaib di Jepang terdiri dari bermacam-macam jenis. Yang paling suci adalah para dewa dari mitologi mereka, seperti Dewa Matahari dan para keturunannya, dan juga arwah-arwah tokoh sejarah, termasuk para pendiri agama dan pemimpin agama, seperti Minamoto no Yoshitune, Nichiren, Shinran, dan lain-lain. Kami adalah menunjuk pada pengertian Tuhan, Dewa, dan Roh leluhur. Makhluk alam gaib dari tingkat yang lebih rendah yaitu roh orang-orang yang telah meninggal, yang kemudian akan mendapat status sebagai dewa. Dalam adat orang Jepang ada kewajiban bahwa roh almarhum harus dirawat oleh


(28)

keturunannya yang masih hidup. Pemujaan semacam ini dalam istilah Antropologi disebut pemujaan roh leluhur (ancestor worship).

Pandangan ketuhanan luar negeri terutama pandangan ketuhanan Eropa berbeda dengan pandangan ketuhanan Jepang. Sifat ketuhanan asing menurut W.Schimidt adalah sebagai berikut; kekal, maha tahu, sifat etika, cinta, maha mampu, pencipta, (enam buah ciri khas). Dewa Jepang tidak mempunyai sifat-sifat diatas. Ciri khas dewa Jepang adalah; fungsional god (bersifat-sifat khusus), menjaga kedalam keluarga.

a. Jenis-Jenis Kami (Tuhan, Dewa)

Didalam kepercayaan Jepang Kami dibagi atas 3 macam yaitu, Maki Ujigami, Yashiki Ujigami, dan Mura Ujigami. Para kami tersebut terikat dengan orang-orang melalui hubungan darah atau ikatan wilayah. Jumlah kami di Jepang dari zaman dahulu dikatakan delapan ratus ribu atau delapan juta, dan sangat banyak kami hidup berdampingan (Ibid:18).

1. Maki Ujigami

Adalah kami yang dipuja oleh douzoku (keluarga besar) orang-orang yang menyembahnya disebut ujibito. Hubungan antara ujibito dengan ujigami diikat oleh hubungan darah. Ujigami ini adalah nenek moyang douzoku, atau merupakan keluarga induk.

2. Yashiki Ujigami

Adalah kami yang dipuja di rumah sendiri (pribadi). Yang disembah di halaman rumah, atau pada waktu-waktu tertentu didirikan penyembahan. 3. Mura Ujigami


(29)

Adalah kami yang dipuja oleh orang yang tinggal di suatu daerah tertentu. Sama dengan Ujigami, merupakan kami menurut wilayah.

b. Pemunculan kami

Dalam kepercayaan tradisional, kami adalah yang tidak berbentuk dan tidak kelihatan oleh mata. Pemikiran seperti itu dianggap pemikiran lama, tetapi karena pengaruh Budha dibuatlah patung kami, oleh karena itu kami yang tidak berbentuk menjadi berbentuk. Penjelmaan kami bukan hanya dalam bentuk patung, ada juga muncul dalam benda-benda alam. Dalam hal pemunculan dalam benda alam, muncul dalam berbagai jenis. Misalnya muncul sebagai angin, petir, air, api, gunung, sungai, laut, hutan, batu, pohon besar dan binatang.

3.3.2 Siluman

Jika makhluk-makhluk alam gaib di kota-kota Eropa sudah menjadi jinak, karena sudah berada dalam buku-buku dongeng untuk menghibur anak-anak, maka di Jepang makhluk-makhluk alam gaib itu masih diyakini keberadaannya oleh penduduknya, karena masih ada orang yang mengatakan pernah bertemu dengan makhluk semacam itu. Selain roh-roh yang berasal dari orang mati, penduduk Jepang juga takut pada hantu-hantu atau raksasa (demon), dan makhluk-makhluk luar biasa (monster).

Menurut foklor Jepang dunia kita juga didiami oleh makhluk-makhluk gaib sejenis siluman. Diantaranya ialah makhluk gaib siluman yang tergolong binatang seperti Kappa, Tanuki, Kitsune atau rase.


(30)

a. Kappa

Menurut Inokuchi Shoji (1983:156) kappa adalah makhluk alam gaib yang dianggap sebagai jelmaan dewa air. Pelukisan wujud dari makhluk ini cukup banyak dan berbeda-beda, tergantung dari perbedaan daerah, namun pada umumnya setuju bahwa bentuk tubuhnya mirip dengan anak manusia berusia 12 sampai 13 tahun. Mempunyai wajah seperti harimau namun bentuk moncongnya seperti paruh burung, dan di atas kepalanya terdapat lubang datar seperti piring yang selalu berisi air. Sekujur tubuh makhluk ini tertutup oleh sisik berwarna hijau kebiru-biruan, dan tubuhnya selalu dalam keadaan basah karena dilumuri oleh cairan yang lengket serta berbau amis. Semua jari-jemari tangan maupun kakinya terkait satu sama lain oleh selaput seperti yang dimiliki sesekor katak.

Walaupun makhluk ini gemar menolong manusia mengerjakan sawah serta mendirikan irigasi, namun ia juga gemar memangsa manusia dan binatang. Manusia dan binatang mereka tangkap dan menggiringnya ke sungai, lalu dicabik-cabiknya, dan kemudian diambil isi perutnya untuk disantap. Dari bentuk tubuhnya kappa dapat digolongkan ke dalam jenis amfibi.

Untuk mengalahkannya, kita harus mengusahakan agar air di kepalanya tumpah, karena tanpa air itu ia kehilangan tenaga. Jika di air ditemukan mayat yang kedua tangannya menjulur, ini membuktikan bahwa almarhum adalah korban kappa.


(31)

b. Tanuki

Tanuki adalah binatang yang dalam bahasa Inggris disebut racoon dog (Nyctereutes procyonoides). Panjang tubuh tanuki dari kepala sampai pantatnya 60 cm, dan panjang ekornya 16 cm. Berat tubuhnya lebih kurang 5 kg. Ciri khas binatang ini terletak pada lingkaran hitam di sekitar matanya. Habitat hewan ini di Jepang yaitu di pulau Hokkaido, Honshu, Shikoku, dan Kyushu. Hewan ini sering kali juga dapat dilihat di taman-taman daerah pinggiran kota. Makanannya yaitu siput tanah, buah-buahan, dan kadang-kadang juga buah semangka yang diambilnya dari kebun petani di pinggiran kota. Sarangnya di lubang pohon besar atau gua-gua.

Tanuki sudah lama dibandingkan dibandingkan di Jepang sebagai hewan

yang cerdik maupun licik dan mempunyai kemampuan gaib (Kodansha, 1983:345). Namun tanuki lebih bersifat lucu daripada menakutkan. Sejak zaman dahulu orang Jepang gemar menangkapnya untuk dimakan dagingnya, dan kulitnya yang berbulu dijadikan pakaian, dan bulunya di buat sikat.

c. Kitsune atau rase

Rase merupakan hewan pemakan daging paling umum di Jepang, mempunyai bulu berwarna coklat. Dengan panjang tubuh 70 cm, dan panjang ekornya kurang lebih 40 cm. Habitat hewan ini di tanah datar maupun di daerah pegunungan, dan banyak yang hidup di dekat desa-desa. Rase betina biasanya melahirkan 4 sampai 5 ekor anak pada musim semi. Mereka


(32)

membuat rumah dengan jalan menggali lubang di tanah atau mendiami rumah kosong.

Sejak zaman dahulu kala orang Jepang sudah percaya bahwa rase mempunyai kemampuan gaib dan dapat memukau manusia (Kodansha,1994:597-598). Mungkin kepercayaan ini timbul karena kelincahan hewan ini untuk melepaskan diri dari marabahaya. Rase juga dianggap sebagai pesuruh dari Inari Daimyojin, dewa padi-padian tertentu yang disebut Inari. Kisah mengenai seekor rase betina yang menikah dengan seorang pria setelah secara gaib dapat mengubah dirinya menjadi seorang wanita cantik molek, terdapat dalam banyak koleksi cerita, seperti yang termasuk dalam buku legenda Konjaku Monogatari. Buku ini diterbitkan pada tahun-tahun terakhir periode Heian (794-1185).

3.4 Makna Roh Leluhur 3.4.1 Bagi Keluarga Jepang

Di banyak daerah pedesaan Jepang, roh leluhur dari tempat kediaman suatu keluarga seringkali dianggap sebagai para dewa pelindung dari kelompok kindred/dozoku (keluarga besar) dimana keluarga itu menjadi anggotanya. Sering kali dewa pelindung sebuah kindred sama dengan dewa pelindung desa dimana ia berada.

Seperti kehidupan di pedesaan di Indonesia, kehidupan pedesaan di Jepang selalu merupakan kesatuan berkorporasi (corporate unit). Sebagai suatu kesatuan berkorporasi, terutama apabila fungsi-fungsi ekonomi dan politik sangat penting


(33)

bagi warga desa itu, maka diperlukan lambang untuk mengesahkan pentingnya desa itu. Itulah sebabnya maka desa-desa di Jepang selalu mempunyai dewa pelindung yang mereka yakini akan menjaga kesejahteraan desa serta anggotanya.

Bentuk dewa ini bisa beragam, adakalanya berwujud tokoh leluhur dari salah satu kelompok kerabat di desa itu. Bisa juga ia berwujud dewa rase, yang di Jepang diidentifikasikan dengan dewa yang melindungi daerah persawahan. Apapun wujudnya, fungsi dewa ini sebagai pelindung desa dan anggotanya sama di seluruh Jepang. Ia melindungi pertanian pada umumnya dan juga menjaga kesehatan dan keberuntungan dari warga desa. Dalam keadaan sakit, seorang warga desa akan mengunjungi kuil untuk berdoa agar cepat sembuh. Untuk keberhasilan akademik putranya, seorang ibu akan memohon bantuan dewa pelindung desanya.

Orang Jepang juga dapat dengan mudah mengubah fungsi dari para dewanya, bahkan jika perlu menciptakan dewa baru, untuk memenuhi kebutuhan baru. Contohnya pada waktu asosiasi pemain tenis Jepang didirikan pada masa sebelum Perang Dunia II, ada yang menyarankan untuk menciptakan dewa pelindung dengan nama Ame-no-Hayadama-no-Mikoto (Dewa Langit Bola Pesat) (Hori, 1962:97).

3.4.2 Bagi Rumah Tangga

Apabila sebuah keluarga dijaga oleh roh anggota keluarganya, maka sebuah rumah tangga (household) akan dijaga oleh dewa rumah tangga, yang biasanya bukan roh yang berasal dari anggota keluarga bersangkutan. Namun ada


(34)

kekecualian, yaitu dewa Yashiki gami, yang berasal dari roh leluhur. Kuilnya terletak di luar rumah, namun masih di dalam pekarangan rumah itu, di suatu sudut yang dipilih melalui petunjuk seorang peramal. Dewa tempat pemukiman ini pun adakalanya bukan berasal dari roh anggota keluarga rumah tangga bersangkutan. Dewa-dewa rumah tangga yang lainnya, yang mempunyai fungsi terbatas, juga mempunyai tempat pemujaan di dalam suatu rumah berdasarkan fungsinya. Mereka itu antara lain Dewa Dapur, yang bertempat di dapur; Dewa Jamban yang bertempat di jamban, Dewa Perapian Pemanas Rumah di tempat perapian. Menurut kepercayaan, penyakit tertentu disebabkan oleh tempat pemujaan mereka yang telah dilalaikan perawatannya. Apabila perawatan dilakukan dengan baik pada tempat-tempat pemujaan mereka, maka si penderita akan sembuh, dan kesejahteraan rumah tangga akan pulih kembali, bahkan meningkat.

Akan merupakan salah besar apabila kita menganggap bahwa kepercayaan rakyat adalah kepercayaan dari masa lalu, dan penganutnya berbatas pada penduduk pedesaan saja. Dalam kenyataannya kepercayaan rakyat masih di anut orang Jepang sampai masa kini, bukan saja di daerah pedesaan, melainkan juga di perkotaan, kendati penduduk perkotaan tidak mau mengakuinya. Di dalam toko-toko swalayan besar, dengan mudah orang akan menemukan adanya tempat pemujaan bagi para dewa untuk menjamin kesuksesan usaha mereka dalam dunia bisnis. Dore misalnya telah melaporkan mengenai penduduk kota metropolitan Tokyo yang mengakui bahwa kepercayaan mereka terhadap makhluk alam gaib masih kuat seka


(35)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Setelah pemaparan mengenai kepercayaan masyarakat Jepang terhadap roh leluhur, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pandangan roh orang Jepang berhubungan dengan pandangan dunia, dimana dunia ini berhubungan dengan dunia sana (dunia kematian). Pada waktu manusia lahir rohnya datang dari leluhur, dan pada waktu meninggal rohnya akan kembali ke senzodaidai (generasi leluhur).

2. Pemikiran masyarakat Jepang terhadap Dewa/Tuhan adalah fungsional god. Masyarakat Jepang akan menjalankan hal-hal keagamaan/kepercayaan yang dianggap baik atau perlu.

3. Dalam pemikiran masyarakat Jepang tradisional, orang yang baru meninggal roh nya masih labil dan berbahaya oleh karena itu harus diadakan serangkaian upacara-upacara.

4. Roh dianggap suci setelah meninggal 33 tahun, dan sampai usia tersebut keturunannya yang masih hidup wajib mamberikan sesajen dan melakukan upacara-upacara tertentu.

5. Setelah meninggal 33 tahun, roh tersebut sudah masuk ke dalam senzodaidai (generasi leluhur), dan dianggap pergi ke gunung dan dari gunung mengawasi anak cucunya.

6. Hubungan antara kerabat yang masih hidup dengan kerabat yang telah meninggal masih terjalin secara intim dan berkesinambungan. Orang


(36)

Jepang menganggap bahwa orang yang baru meninggal masih hidup bersama mereka, oleh sebab itu mereka memberikan sesajen/penyembahan sampai sudah meninggal selama 33 tahun.

4.2 Saran

Roh nenek moyang sangat besar artinya bagi kehidupan masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang menganggap bahwa roh nenek moyang adalah Dewa (Tuhan) mereka. Yang patut untuk dipuja dan disembah. Mereka percaya roh nenek moyang menjaga dan memelihara keturunannya yang masih hidup. Oleh karenanya hubungan orang yang masih hidup dan yang sudah mati tidak pernah terputus.

Dan masih banyak sekali hal-hal unik lain tentang Jepang yang bisa kita ketahui.Oleh sebab itu kita harus banyak membaca buku-buku tentang Jepang.


(37)

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, James. 1997. Foklor Jepang Dilihat Dari Kacamata Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu Kejepangan 1. Medan: USU Press.

The Internasional Society For Education Information, Inc. 1989. Jepang Dewasa Ini

Jun-ishi, ishikawa. 2006. NIPPONIA 37. Japan: Heibonsha Ltd.


(1)

membuat rumah dengan jalan menggali lubang di tanah atau mendiami rumah kosong.

Sejak zaman dahulu kala orang Jepang sudah percaya bahwa rase mempunyai kemampuan gaib dan dapat memukau manusia (Kodansha,1994:597-598). Mungkin kepercayaan ini timbul karena kelincahan hewan ini untuk melepaskan diri dari marabahaya. Rase juga dianggap sebagai pesuruh dari Inari Daimyojin, dewa padi-padian tertentu yang disebut Inari. Kisah mengenai seekor rase betina yang menikah dengan seorang pria setelah secara gaib dapat mengubah dirinya menjadi seorang wanita cantik molek, terdapat dalam banyak koleksi cerita, seperti yang termasuk dalam buku legenda Konjaku Monogatari. Buku ini diterbitkan pada tahun-tahun terakhir periode Heian (794-1185).

3.4 Makna Roh Leluhur 3.4.1 Bagi Keluarga Jepang

Di banyak daerah pedesaan Jepang, roh leluhur dari tempat kediaman suatu keluarga seringkali dianggap sebagai para dewa pelindung dari kelompok kindred/dozoku (keluarga besar) dimana keluarga itu menjadi anggotanya. Sering kali dewa pelindung sebuah kindred sama dengan dewa pelindung desa dimana ia berada.

Seperti kehidupan di pedesaan di Indonesia, kehidupan pedesaan di Jepang selalu merupakan kesatuan berkorporasi (corporate unit). Sebagai suatu kesatuan berkorporasi, terutama apabila fungsi-fungsi ekonomi dan politik sangat penting


(2)

bagi warga desa itu, maka diperlukan lambang untuk mengesahkan pentingnya desa itu. Itulah sebabnya maka desa-desa di Jepang selalu mempunyai dewa pelindung yang mereka yakini akan menjaga kesejahteraan desa serta anggotanya.

Bentuk dewa ini bisa beragam, adakalanya berwujud tokoh leluhur dari salah satu kelompok kerabat di desa itu. Bisa juga ia berwujud dewa rase, yang di Jepang diidentifikasikan dengan dewa yang melindungi daerah persawahan. Apapun wujudnya, fungsi dewa ini sebagai pelindung desa dan anggotanya sama di seluruh Jepang. Ia melindungi pertanian pada umumnya dan juga menjaga kesehatan dan keberuntungan dari warga desa. Dalam keadaan sakit, seorang warga desa akan mengunjungi kuil untuk berdoa agar cepat sembuh. Untuk keberhasilan akademik putranya, seorang ibu akan memohon bantuan dewa pelindung desanya.

Orang Jepang juga dapat dengan mudah mengubah fungsi dari para dewanya, bahkan jika perlu menciptakan dewa baru, untuk memenuhi kebutuhan baru. Contohnya pada waktu asosiasi pemain tenis Jepang didirikan pada masa sebelum Perang Dunia II, ada yang menyarankan untuk menciptakan dewa pelindung dengan nama Ame-no-Hayadama-no-Mikoto (Dewa Langit Bola Pesat) (Hori, 1962:97).

3.4.2 Bagi Rumah Tangga

Apabila sebuah keluarga dijaga oleh roh anggota keluarganya, maka sebuah rumah tangga (household) akan dijaga oleh dewa rumah tangga, yang biasanya bukan roh yang berasal dari anggota keluarga bersangkutan. Namun ada


(3)

kekecualian, yaitu dewa Yashiki gami, yang berasal dari roh leluhur. Kuilnya terletak di luar rumah, namun masih di dalam pekarangan rumah itu, di suatu sudut yang dipilih melalui petunjuk seorang peramal. Dewa tempat pemukiman ini pun adakalanya bukan berasal dari roh anggota keluarga rumah tangga bersangkutan. Dewa-dewa rumah tangga yang lainnya, yang mempunyai fungsi terbatas, juga mempunyai tempat pemujaan di dalam suatu rumah berdasarkan fungsinya. Mereka itu antara lain Dewa Dapur, yang bertempat di dapur; Dewa Jamban yang bertempat di jamban, Dewa Perapian Pemanas Rumah di tempat perapian. Menurut kepercayaan, penyakit tertentu disebabkan oleh tempat pemujaan mereka yang telah dilalaikan perawatannya. Apabila perawatan dilakukan dengan baik pada tempat-tempat pemujaan mereka, maka si penderita akan sembuh, dan kesejahteraan rumah tangga akan pulih kembali, bahkan meningkat.

Akan merupakan salah besar apabila kita menganggap bahwa kepercayaan rakyat adalah kepercayaan dari masa lalu, dan penganutnya berbatas pada penduduk pedesaan saja. Dalam kenyataannya kepercayaan rakyat masih di anut orang Jepang sampai masa kini, bukan saja di daerah pedesaan, melainkan juga di perkotaan, kendati penduduk perkotaan tidak mau mengakuinya. Di dalam toko-toko swalayan besar, dengan mudah orang akan menemukan adanya tempat pemujaan bagi para dewa untuk menjamin kesuksesan usaha mereka dalam dunia bisnis. Dore misalnya telah melaporkan mengenai penduduk kota metropolitan Tokyo yang mengakui bahwa kepercayaan mereka terhadap makhluk alam gaib masih kuat seka


(4)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Setelah pemaparan mengenai kepercayaan masyarakat Jepang terhadap roh leluhur, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pandangan roh orang Jepang berhubungan dengan pandangan dunia, dimana dunia ini berhubungan dengan dunia sana (dunia kematian). Pada waktu manusia lahir rohnya datang dari leluhur, dan pada waktu meninggal rohnya akan kembali ke senzodaidai (generasi leluhur).

2. Pemikiran masyarakat Jepang terhadap Dewa/Tuhan adalah fungsional god. Masyarakat Jepang akan menjalankan hal-hal keagamaan/kepercayaan yang dianggap baik atau perlu.

3. Dalam pemikiran masyarakat Jepang tradisional, orang yang baru meninggal roh nya masih labil dan berbahaya oleh karena itu harus diadakan serangkaian upacara-upacara.

4. Roh dianggap suci setelah meninggal 33 tahun, dan sampai usia tersebut keturunannya yang masih hidup wajib mamberikan sesajen dan melakukan upacara-upacara tertentu.

5. Setelah meninggal 33 tahun, roh tersebut sudah masuk ke dalam senzodaidai (generasi leluhur), dan dianggap pergi ke gunung dan dari gunung mengawasi anak cucunya.

6. Hubungan antara kerabat yang masih hidup dengan kerabat yang telah meninggal masih terjalin secara intim dan berkesinambungan. Orang


(5)

Jepang menganggap bahwa orang yang baru meninggal masih hidup bersama mereka, oleh sebab itu mereka memberikan sesajen/penyembahan sampai sudah meninggal selama 33 tahun.

4.2 Saran

Roh nenek moyang sangat besar artinya bagi kehidupan masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang menganggap bahwa roh nenek moyang adalah Dewa (Tuhan) mereka. Yang patut untuk dipuja dan disembah. Mereka percaya roh nenek moyang menjaga dan memelihara keturunannya yang masih hidup. Oleh karenanya hubungan orang yang masih hidup dan yang sudah mati tidak pernah terputus.

Dan masih banyak sekali hal-hal unik lain tentang Jepang yang bisa kita ketahui.Oleh sebab itu kita harus banyak membaca buku-buku tentang Jepang.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, James. 1997. Foklor Jepang Dilihat Dari Kacamata Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu Kejepangan 1. Medan: USU Press.

The Internasional Society For Education Information, Inc. 1989. Jepang Dewasa Ini

Jun-ishi, ishikawa. 2006. NIPPONIA 37. Japan: Heibonsha Ltd.