Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
                                                                                pengembangan  dari  yang  dipelajari  di  sekolah  secara  mandiri  Choridah, 2013:195.
Sesuai  dengan  SKL  Kurikulum  2013  di  atas,  pada  pembelajaran matematika  siswa  tidak  sekedar  belajar  pengetahuan  kognitif,  namun  siswa
diharapkan  memiliki  sikap  kritis  dan  cermat,  obyektif  dan  terbuka,  menghargai keindahan matematika, serta rasa ingin tahu, berpikir dan bertindak kreatif, serta
senang  belajar  matematika.  Sikap  dan  kebiasaan  berpikir  seperti  itu  pada hakekatnya  akan  membentuk  dan
menumbuhkan  disposisi  matematis mathematical  disposition  yaitu  keinginan,  kesadaran  dan  dedikasi  yang  kuat
pada  diri  siswa  untuk  belajar  matematika  dan  melaksanakan  berbagai  kegiatan matematika  Sumarmo,  2011:27.  Pengembangan  ranah  afektif  yang  menjadi
tujuan pendidikan matematika di setiap jenjang sekolah menurut kurikulum pada hakekatnya  adalah  menumbuhkan  dan  mengembangkan  disposisi  matematis.
Selanjutnya Sumarmo dalam Karlimah, 2010:4 juga menyatakan bahwa : “...  dalam  belajar  matematika  siswa  perlu  mengutamakan
pengembangan  kemampuan  berfikir  dan  disposisi  matematis. Pengutamaan  tersebut  menjadi  semakin  penting  manakala
dihubungkan  dengan  tuntutan  kemajuan  IPTEK  dan  suasana bersaing  yang  semakin  ketat  terhadap  lulusan  semua  jenjang
pendidikan.” Maxwell  dalam  Musliha,  2012  menyatakan
,  ”Student  disposition  toward mathematics  is  major  factor  in  determaining  their  educational  succes
” . Hal ini berarti  bahwa  faktor  utama  yang  menentukan  kesuksesan  siswa  dalam  belajar
matematika adalah disposisi siswa terhadap matematika. Uraian  di  atas  menunjukkan  bahwa  baik  kemampuan  komunikasi
matematika  dan  disposisi  matematis  siswa  dalam  matematika  merupakan  faktor yang  sangat  penting  bagi  perkembangan  kognitif  dan  afektif  siswa  serta  dapat
mempengaruhi  hasil  belajar  matematika  siswa  itu  sendiri.  Namun  pada kenyataannya  kemampuan  komunikasi matematis  siswa  Indonesia  masih  rendah.
Hal  ini  seperti  yang  dinyatakan  Imelda  dalam  Marlina,  2013:85  kemampuan siswa Indonesia dalam komunikasi matematis sangat jauh di bawah negara-negara
lain,  sebagai  contoh,  untuk  permasalahan  matematika  yang  menyangkut kemampuan  komunikasi  matematis,  siswa  Indonesia  yang  berhasil  menjawab
benar hanya 5 dan jauh di bawah negara seperti Singapura, Korea, dan Taiwan yang mencapai lebih dari 50. Secara khusus, kemampuan komunikasi matematis
siswa  SMK  Tamansiswa  Sukadamai  juga  masih  rendah.  Hal  ini  sesuai  dengan hasil observasi awal peneliti dengan memberikan tes awal mengenai kemampuan
komunikasi  matematis  siswa  terhadap  siswa  kelas  XI  SMK  Tamansiswa Sukadamai pada materi statistika. Rendahnya kemampuan komunikasi matematis
tersebut dapat dilihat pada hasil tes yang  diberikan peneliti yang disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 1.1 Persentase Ketuntasan Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa
No Persentase Ketuntasan
Tingkat Ketuntasan
Banyak Siswa Persentase
Jumlah Siswa
1 65
Tidak Tuntas 11
73,33 2
  65 Tuntas
4 26,67
Jumlah 15
100 Dapat dilihat dari tabel bahwa persentase siswa yang tuntas hanya 26,67
sedangkan persentase siswa yang tidak tuntas mencapai 73,33. Ini membuktikan kemampuan komunikasi siswa SMK Tamansiswa Sukadamai masih rendah. Salah
satu  soal  yang  sama  sekali  tidak  dapat  dijawab  oleh  seluruh  siswa  adalah  soal yang  meminta  siswa  untuk  menyajikan  data  kelompok  nilai  matematika  siswa
kelas X ke dalam tabel distribusi frekuensi.
Begitu juga halnya dengan disposisi matematis siswa. Rendahnya disposisi matematis siswa juga dapat dilihat pada hasil angket yang diberikan peneliti yang
disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 1.2 Persentase Hasil Disposisi Matematis Siswa
No Persentase Ketuntasan
Tingkat Ketuntasan
Banyak Siswa Persentase
Jumlah Siswa
1 65
Tidak Tuntas 12
80 2
  65 Tuntas
3 20
Jumlah 15
100
Dapat  dilihat  dari  tabel  bahwa  persentase  siswa  yang  tuntas  hanya  20 sedangkan  persentase  siswa  yang  tidak  tuntas  mencapai  80.  Ini  membuktikan
bahwa  disposisi  matematis  siswa  SMK  Tamansiswa  Sukadamai  masih  rendah. Hal  tersebut  menurut  IMSTEP  Sya’ban,  dalam  Marlina,  2013:85  antara  lain
disebabkan karena pembelajaran cenderung berpusat pada guru yang menekankan pada  proses  prosedural,  tugas  latihan  yang  mekanistik,  dan  kurang  memberi
peluang  kepada  siswa  untuk  mengembangkan  kemampuan  berpikir  matematis. Begitu  juga  halnya  setelah  peneliti  memberi  angket  disposisi  matematis  kepada
siswa  ternyata  masih  banyak  siswa  yang  kurang  menyenangi  pelajaran matematika.  Dari  beberapa  permasalahan  di  atas  maka  dapat  kita  lihat  bahwa
kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa masih rendah. Menurut  pengamatan  Ruseffendi  1991:87  anak-anak  yang  menyenangi
matematika  hanya  pada  permulaan  mereka  berkenalan  dengan  matematika  yang sederhana, makin tinggi tingkatan sekolahnya dan makin sukar matematika  yang
dipelajarinya akan semakin berkurang minatnya.  Maka dari itu, hal penting yang perlu  diperhatikan  oleh  guru  dalam  pembelajaran  di  kelas  selain  kemampuan
komunikasi  dan  disposisi  matematis  siswa  adalah  kemampuan  awal  matematika
siswa.  Kemampuan  awal  matematika  siswa  merupakan  kecakapan  yang  dimiliki oleh  siswa  sebelum  proses  pembelajaran  matematika  dilaksanakan  di  kelas.
Kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa juga bervariasi antara siswa yang satu dengan  yang  lainnya  jika  ditinjau  dari  tingkat  penguasaan  siswa  maka  dapat
dibedakan  antara  siswa  yang  memiliki  kemampuan  awal  tinggi,  sedang  dan rendah. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan awal untuk seorang siswa mungkin
saja baru mencapai tahap pengenalan, sedangkan bagi siswa yang lain untuk tahap yang sama, sudah mencapai siap ulang atau siap pakai sehingga kemampuan awal
siswa  sangat  penting  diperhatikan  oeh  guru  sebagai  perancang  pengajaran  di dalam kelas Uno, 2012:61.
Namun,  kenyataan  selama  ini  guru  jarang  memperhatikan  kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa. Seperti yang diungkapkan oleh Sutama 2011:15
bahwa  pembelajaran  matematika  selama  ini  tidak  efektif  salah  satu  faktor penyebabnya  adalah  guru  dalam  mengajar  cenderung  kurang  memperhatikan
kemampuan awal siswa. Padahal menurut Achmad 2011:1 pengetahuan tentang kemampuan  awal  siswa  diperlukan  guru  untuk  menetapkan  strategi  mengajar,
bahkan untuk mengajukan pertanyaan atau masalah kepada siswa juga diperlukan pemahaman tentang kemampuan awal siswa.
Berdasarkan  pemahaman  kemampuan  awal  siswa  tersebut  guru  dapat membantu  siswa  memperlancar  proses  pembelajaran  yang  dilakukan  dan
memperkecil  peluang  kesulitan  yang  dihadapi  siswa  dalam  memahami  materi pelajaran  yang  disampaikan  oleh  guru.  Hal  ini menunjukkan  bahwa  kemampuan
awal akan mempengaruhi pembelajaran baik yang diajarkan dengan pembelajaran berbasis  masalah  maupun  pembelajaran  biasa  dan  kemampuan  awal  juga  nanti
tentunya akan mempengaruhi peningkatan kemampuan komunikasi  dan disposisi matematis siswa.
Materi  statistika  menjadi  fokus  materi  dalam  penelitian  ini.  Statistika adalah salah satu materi yang diperoleh siswa baik tingkat SD, SMP, SMASMK
dan Perguruan Tinggi. Soal-soal pada materi statistika adalah soal yang persentasi jumlahnya paling banyak keluar dalam Ujian Nasional tingkat Sekolah Menengah
Kejuruan dibandingkan persentase soal pada bab lain. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari  kita  sering  menjumpai  peranan  statistika  dalam  beberapa  aspek
kehidupan,  misalnya  pengumpulan  data  tentang  minat  siswa  dalam  pemilihan jurusan, jumlah kepadatan penduduk dan lain sebagainya. Data tersebut biasanya
disajikan  dalam  bentuk  tabel  atau  diagram.  Dengan  statistika  data-data  yang diperoleh dapat disajikan dalam tabel dan diagram sehingga mempermudah untuk
membacanya.  Kemampuan  komunikasi  matematis  siswa  pada  materi  statistika dapat  dilihat  ketika  siswa  menyampaikan  ide  atau  suatu  gagasan  dalam  bentuk
gambar, grafik atau diagram. Akan tetapi, pada materi tersebut siswa masih sering melakukan kesalahan
dalam  menyelesaikan  soal-soal  matematika.  Pernyataan  ini  diperkuat  dengan adanya  kajian  penelitian  sebelumnya  yang  membahas  analisis  kesalahan  pada
materi  statistika.  Berdasarkan  hasil  dari  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Mariani 2005  di  SMA  Negeri  2  Pati  kelas  XI  IPA  3,  diketahui  bahwa  masih  banyak
siswa  yang  melakukan  kesalahan  dalam  materi  statistik  pada  tahun  ajaran 20052006. Penelitian dilakukan dengan metode tes berupa 20 tes dengan bentuk
pilihan  ganda.  Kesimpulan  dari  penelitian  adalah  banyaknya  siswa  yang melakukan  kesalahan  dalam  materi  statistika  disebabkan  oleh  beberapa  faktor,
yaitu  karena  kurang  menguasai  konsep  sebanyak  13,2,  siswa  kurang  terampil dalam  menyelesaikan  masalah  11,21,  siswa  mengalami  kesalahan  dalam
memahami  makna  kata  dalam  soal  8,79,  dan  siswa  memilih  tidak  menjawab pertanyaan sebesar 6,15.
Berdasarkan  pengamatan  dan  wawancara  yang  dilakukan,  guru matematika  di  SMK  Tamansiswa  Sukadamai  mengungkapkan  bahwa  banyak
siswa  yang  sering  mengalami  kesulitan  dan  melakukan  kesalahan  dalam  materi statistika. Walaupun sudah banyak berlatih dan diberi penjelasan oleh guru, masih
banyak  siswa  yang  melakukan  kesalahan  dalam  menyelesaikan  soal.  Hal  ini disebabkan  karena  siswa  mengalami  kesalahan  dalam  membaca  data,  kurang
cermat, kurangnya konsentrasi siswa saat menerima pelajaran, dan lain-lain. Hal- hal  tersebut  yang  menyebabkan  terjadi  kesalahan  dan  dipandang  perlu  untuk
diteliti lebih lanjut. Salah  satu  penyebab  rendahnya  kemampuan  komunikasi  dan  disposisi
matematis  yang  juga  mengakibatkan  siswa  kesulitan  dalam  memahami  materi statistika  adalah  pendekatan  pembelajaran  yang  digunakan  guru.  Hal  ini  seperti
yang dikemukakan Abdurrahman 2009:38 bahwa yang menjadi faktor penyebab rendahnya atau kurangnya pemahaman peserta didik terhadap konsep matematika,
salah  satu  di  antaranya  adalah  metode  pembelajaran  yang  digunakan  oleh pengajar,  misalnya  dalam  pembelajaran  yang  berorientasi  pada  pendekatan
tradisional  yang  menempatkan  peserta  didik  dalam  proses  pembelajaran  sebagai pendengar.  Kemampuan  guru  dalam  menerapkan  metode  atau  strategi
pembelajaran  yang  kurang  tepat,  misalnya  proses  pembelajaran  yang  cenderung berpusat pada guru, sementara siswa lebih cenderung pasif. Akibatnya siswa tidak
mempunyai kesempatan
untuk mengembangkan
kemampuan berpikir
matematiknya.  Selain  itu,  guru-guru  sering  merasa  khawatir  tidak  dapat menyampaikan  semua  kompetensi  dasar  yang  terdapat  dalam  silabus  yang  telah
ditetapkan  oleh  kurikulum  pendidikan  karena  keterbatasan  waktu  yang  tersedia. Hal ini dikarenakan mengingat pada tingkat Sekolah Menengah Kejuruan SMK,
mata pelajaran matematika hanya 4 jam pelajaran selama satu minggu. Akibatnya guru  lebih  suka  mengajar  dengan  cara  pembelajaran  biasa  yang  hanya
menggunakan metode ceramah dan memberikan latihan saja. Hal  senada  disampaikan  oleh  Djohar  dalam  Musliha,  2012:25,
pembelajaran yang secara umum berlangsung selama ini, masih berperan sebagai panggung pentas penyampaian informasi delivery system. Guru berdiri di depan
siswa  untuk  menyampaikan  pengetahuan,  sementara  siswa  menerimanya  tanpa harus  mengetahui  prosesnya.  Siswa  hanya  menerima  ilmu,  sehingga  siswa
kehilangan  kesempatan  untuk  mengeksplorasikan  pengetahuan  yang  telah  ia miliki sebelumnya. Selain itu model pembelajaran yang sering digunakan selama
ini  juga  masih  berpusat  pada  guru  teacher  centered  dimana  guru  mendominasi proses pembelajaran di kelas dan siswa hanya menerima materi pelajaran, contoh
soal,  dan  kemudian  di  berikan  latihan,  maka  di  saat  proses  pembelajaran  seperti itu  terjadi,  nantinya  siswa  akan  kesulitan  menyelesaikan  soal  yang  tidak  sesuai
dengan  contoh  yang  telah  diberikan  sebelumnya  karena  siswa  belum  bisa merasakan  pembelajaran  yang  bermakna.  Dalam  hal  ini  siswa  masih  belajar
memahami contoh belum memahami konsep. Ada  banyak  model  pembelajaran  yang  bisa  kita  gunakan  dalam  upaya
menumbuhkembangkan  seluruh  kemampuan  matematika  dalam  pembelajaran.
Salah satu model pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi  dan  disposisi  matematis  siswa  dan  juga  merupakan  harapan
kurikulum  yang  berlaku  pada  saat  ini  adalah  model  pembelajaran  berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang menggunakan
masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar berpikir kritis dan  keterampilan  pemecahan  masalah  yang  juga  dapat  menggunakan  masalah
tersebut ke dalam bentuk pengganti dari suatu situasi masalah model matematika atau  aspek  dari  suatu  situasi  masalah  yang  digunakan  untuk  menemukan  solusi,
serta  untuk  memperoleh  pengetahuan  dan  konsep  yang  esensi  dari  materi pelajaran. Masalah kontekstual yang diberikan bertujuan untuk memotivasi siswa,
membangkitkan  gairah  belajar  siswa,  meningkatkan  aktivitas  belajar  siswa, belajar terfokus pada penyelesaian masalah sehingga siswa tertarik untuk belajar,
menemukan  konsep  yang  sesuai  dengan  materi  pelajaran,  dan  dengan  adanya interaksi  berbagi  ilmu  antara  siswa  dengan  siswa,  siswa  dengan  guru,  maupun
siswa dengan lingkungan siswa diajak untuk aktif  dalam pembelajaran. Menggunakan model pembelajaran berbasis masalah, pelajar menghadapi
masalah  dan  berusaha  menyelesaikannya  dengan  informasi  yang  mereka  sudah miliki  memungkinkan  mereka  untuk menghargai  apa  yang  telah  mereka  ketahui.
Mereka  juga  mengidentifikasi  apa  yang  mereka  perlu  pelajari  untuk  lebih memahami  masalah  dan  bagaimana  mengatasinya.  Pembelajaran  dengan  model
pembelajaran berbasis masalah adalah salah satu pembelajaran yang berpusat pada siswa dan guru sebagai fasilitator.
Ibrahim  dan  Nur  dalam  Trianto,  2009:96  menjelaskan  bahwa  manfaat model  pembelajaran  berbasis  masalah  adalah  membantu  siswa  mengembangkan
kemampuan  berpikir  tingkat  tinggi,  memecahkan  masalah,  belajar  berperan sebagai  orang  dewasa  melalui  keterlibatan  mereka  dalam  pengalaman  nyata  dan
simulasi  menjadi  pembelajar  yang  otonom  dan  mandiri.  Dengan  diajarkannya model  pembelajaran  berbasis  masalah  mendorong  siswa  belajar  secara  aktif,
penuh semangat dan siswa akan semakin terbuka terhadap matematika, serta akan menyadari  manfaat  matematika  karena  tidak  hanya  terfokus  pada  topik  tertentu
yang sedang dipelajari. Penerapan  model  pembelajaran  ini  diupayakan  dapat  menumbuh
kembangkan  kemampuan  komunikasi  matematis  siswa  mulai  bekerja  dari permasalahan  yang  diberikan,  mengaitkan  masalah  yang  akan  diselidiki    dengan
meninjau  masalah  itu  dari  banyak  segi,  melakukan  penyelidikan  autentik  untuk mencari  penyelesaian  nyata  terhadap  masalah  nyata,  membuat  produk  berupa
laporan,  model  fisik  untuk  didemonstrasikan  kepada  teman-teman  lain,  bekerja sama satu sama lain untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan
berpikir. Penelitian  dengan  penerapan  model  pembelajaran  berbasis  masalah  telah
diteliti  oleh  Daulay  2011  yang  menyatakan  :  peningkatan  kemampuan pemecahan  masalah  dan  koneksi  matematika  siswa  yang  memperoleh  model
pembelajaran  berbasis  masalah  lebih  baik  daripada  kemampuan  pemecahan masalah  matematika  siswa  yang  memperoleh  model  pengajaran  langsung,
diperoleh  rata-rata  kemampuan  pemecahan  masalah  matematika  siswa yang  memperoleh  model  pembelajaran  berbasis  masalah  adalah  6,94
sedangkan  rata-rata  kemampuan  pemecahan  masalah  matematika  siswa yang  memperoleh  model  pengajaran  langsung  adalah  6,08  dan  diperoleh
rata-rata  kemampuan  koneksi  matematika  siswa  yang  memperoleh  model pembelajaran  berbasis  masalah  adalah  6,62  sedangkan  rata-rata
kemampuan  koneksi  matematika  siswa  yang  memperoleh  model pengajaran  langsung  adalah  6,24.  Selain  itu,  aktivitas  siswa  dengan
pembelajaran  berbasis  masalah  efektif  serta  pola  jawaban  siswa  dengan pembelajaran  berbasis  masalah  lebih  baik  dibandingkan  dengan  pengajaran
langsung. Berdasarkan  penjelasan  di  atas  dirasakan  perlu  untuk  mengungkapkan
apakah  model  pembelajaran  berbasis  masalah  dan  model  pembelajaran  biasa memiliki  perbedaan  konstribusi  terhadap  kemampuan  komunikasi  dan  disposisi
matematis  siswa.  Hal  itulah  yang  mendorong  dilakukan  suatu  penelitian  yang memfokuskan diri pada penerapan model pembelajaran berbasis masalah terhadap
kemampuan  komunikasi  matematis  dan  disposisi  matematis  siswa  Sekolah Menengah Kejuruan SMK.
Memperhatikan  uraian  di  atas  secara  umum  dapat  diperkirakan  bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan
disposisi  matematis  siswa.  Karena  penelitian  ini  di  laksanakan  di  SMK  maka
judul  penelitian  ini  adalah  Peningkatan  Kemampuan  Komunikasi  dan Disposisi Matematis Siswa SMK Tamansiswa Sukadamai Kabupaten Asahan
Melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah.