Komponen Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit di PTPN VIII, Cimulang, Bogor

KOMPONEN NERACA AIR TANAMAN KELAPA SAWIT DI
PTPN VIII, CIMULANG, BOGOR

TJEDAHWATI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Komponen Neraca Air
Tanaman Kelapa Sawit di PTPN VIII, Cimulang, Bogor adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014
Tjedahwati
NIM A14090082

ABSTRAK
TJEDAHWATI. Komponen Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit di PTPN VIII,
Cimulang, Bogor. Dibimbing oleh SURIA DARMA TARIGAN dan DWI
PUTRO TEJO BASKORO.
Intersepsi hujan merupakan proses tertahannya air hujan pada permukaan
vegetasi sebelum diuapkan kembali ke atmosfer. Hilangnya air melalui intersepsi
merupakan bagian penting dalam siklus hidrologi. Selain intersepsi, proses
kehilangan air dapat disebabkan oleh evapotranspirasi. Evapotranspirasi
merupakan proses kehilangan air melalui permukaan tanah dan tanaman.
Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan besarnya aliran batang, lolosan tajuk,
dan menghitung intersepsi; serta menetapkan besaran evapotranspirasi tanaman
kelapa sawit. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 16 hari kejadian hujan dalam
periode 3 bulan pengamatan dengan hujan harian bervariasi antara 4.83 mm/hari
sampai 95.53 mm/hari. Aliran batang dan lolosan tajuk meningkat dengan
meningkatnya curah hujan. Nilai aliran batang yang didapat di lapangan sangat

kecil yaitu kurang dari 1%, sehingga nilai aliran batang yang digunakan untuk
mengukur intersepsi mengadaptasi nilai aliran batang penelitian Purba (2007)
sebesar 7.8%. Nilai aliran batang per kejadian hujan yang diperoleh bervariasi
antara 0.38 mm sampai 7.45 mm. Nilai lolosan tajuk bervariasi antara 5.00 mm
sampai 87.47 mm atau sebesar 73.00% sampai 127.84%. Nilai intersepsi
umumnya meningkat dengan meningkatnya curah hujan, namun persentase curah
hujan yang terintersepsi menurun, serta intersepsi semakin kecil dengan semakin
besarnya aliran batang dan lolosan tajuk. Nilai rata-rata intersepsi bervariasi
antara 0.51 mm sampai 4.32 mm atau 0.64% sampai 19.20%. Penurunan kadar air
pada kedalaman perakaran 30 cm sebesar 2.40 mm/hari. Penurunan kadar air pada
kedalaman perakaran 60 cm sebesar 4.28 mm/hari. Nilai penurunan kadar air
tersebut setara dengan nilai evapotranspirasi.
Kata kunci: aliran batang, evapotranspirasi, intersepsi, lolosan tajuk

ABSTRACT
TJEDAHWATI. Components of Water balance on Oil Palm Plantation in PTPN
VIII, Cimulang, Bogor. Supervised by SURIA DARMA TARIGAN and DWI
PUTRO TEJO BASKORO.

Rainfall interception is a process of keeping temporarily of the rain water

on vegetation before evaporated back into the atmosphere. The loss of water
through interception is an important part of the hydrologic cycle. Besides the
interception, the water loss can be caused by evapotranspiration.
Evapotranspiration is the loss of water through the soil and plant surfaces. This
research was aimed to determine interception, stemflow, throughfall, and
evapotranspiration. The results showed that there were 16 rainy days in 3 months

period of observation which variation of daily rain from 4.83 mm/day to 95.53
mm/day. Stemflow and throughfall were increasing as the increase of rainfall. The
value of stemflow obtained in field observation was very low i.e. fewer than 1%,
therefore the value used for measuring interception was adapted from research
conducted by Purba (2007) i.e. 7.8%. The stemflow values of each rainy day were
obtained varied from 0.38 mm to 7.45 mm. The throughfall were obtained varied
from 5.00 mm to 87.47 mm or from 73.00% to 127.84%. Generally, the
interception values increase with the increase of rainfall, yet the percent of
intercepted rainfall decreased, also the interception decreased stemflow and
throughfall. The average value of interception varied between 0.51 mm and 4.32
mm or from 0.64% to 19.20%. Decreasing soil moisture in 30 cm root depth were
2.40 mm/day. Decreasing soil moisture in 60 cm root depth were 4.28 mm/day.
Those values were equal to evapotranspiration.

Key word: evapotranspiration, interception, stemflow, throughfall

KOMPONEN NERACA AIR TANAMAN KELAPA SAWIT DI
PTPN VIII, CIMULANG, BOGOR

TJEDAHWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Komponen Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit di PTPN VIII,

Cimulang, Bogor
Nama
: Tjedahwati
NIM
: A14090082

Disetujui oleh

Dr Ir Suria Darma Tarigan
Pembimbing I

Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Baba Barus, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga laporan hasil penelitian (Skripsi) yang berjudul “Komponen
Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit di PTPN VIII, Cimulang, Bogor” dapat
diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan di program studi
Manajemen Sumberdaya Lahan IPB.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa syukur kepada Allah SWT,
serta rasa terima kasih yang sebesarnya kepada Papa dan Mama untuk segala
kasih sayang, cinta, dorongan, semangat, dan motivasi serta selalu mendoakan
keberhasilan penulis.
Kakak-kakakku Diana, Fazlillah, dan Rahmi yang
walaupun menyebalkan tapi selalu memberikan dorongan untuk segera lulus.
Terima kasih kepada Dr. Ir. Suria Darma Tarigan yang dengan sabar
membimbing penulis dan telah memberikan waktu dan perhatiannya kepada
penulis selama dalam penelitian. Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc sebagai
pembimbing kedua yang membantu penulis dalam penulisan laporan hasil
penelitian ini.
Terima kasih kepada para pegawai PTPN VIII, Bapak Yusuf, Ibu Fia, Ibu
Yudi, dan Bapak Hari yang membantu penulis dalam perizinan lokasi penelitian.

Bapak Ahmad yang membantu penulis dalam pemilihan lokasi penelitian serta
memberi tahu penulis setiap keadaan cuaca selama penelitian berlangsung. Bapak
Ndang yang membantu penulis dalam pemasangan alat dan pengeboran tanah.
Bapak Hatta yang membantu penulis dalam pengeboran tanah dan memberi tahu
penulis setiap keadaan cuaca selama penelitian berlangsung. Teteh yanti dan
Teteh Erlin yang bersedia memberi tempat untuk menaruh peralatan penelitian.
Terima kasih kepada Prapti, Hanna, Nindya atas kebersamaan dan
pertemanannya selama di perkuliahan. Teman-teman Ilmu Tanah 46 atas
persaudaraanya dan selalu bersedia membantu penulis. Terima kasih kepada Pak
Syaiful sebagai Laboran Laboratorium Konservasi Tanah dan Air atas bantuannya
selama penelitian.
Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas
semua kebaikan dan dukungan yang telah diberikan. Masih banyak kekurangan
dan ketidaksempurnaan dalam tulisan ini, oleh karena itu penulis menerima saran,
koreksi, masukan, dan kritikan yang membangun dari berbagai pihak untuk
kesempurnaannya kelak. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita
semua.
Bogor, Mei 2014
Tjedahwati


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

1

TINJAUAN PUSTAKA

2

Siklus Hidrologi

2

Intersepsi, Lolosan Tajuk, dan Aliran Batang

2

Evapotranspirasi

3


Tanaman Kelapa Sawit

3

METODE

4

Tempat dan Waktu Penelitian

4

Alat Penelitian

4

Desain Percobaan dan Instalasi Peralatan

5


Curah Hujan

5

Aliran Batang

6

Lolosan Tajuk

7

Evapotranspirasi

7

Intersepsi

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Aliran Batang (Stemflow)

8

Lolosan Tajuk (Throughfall)

10

Intersepsi

11

Evapotranspirasi

12

SIMPULAN DAN SARAN

14

DAFTAR PUSTAKA

14

LAMPIRAN

16

RIWAYAT HIDUP

20

DAFTAR TABEL
1 Penurunan kadar air (mm/hari) dan kadar air (% bobot) kedalaman 30
cm dan kedalaman 60 cm

13

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Desain percobaan pengukuran curah hujan
Pengukuran curah hujan di lapang
Desain percobaan pengukuran aliran batang dan lolosan tajuk
Pengukuran aliran batang di lapang
Pengukuran lolosan tajuk di lapang
Desain percobaan pengukuran evapotranspirasi
Aliran batang setiap kejadian hujan
Lolosan tajuk pada jarak berbeda dari tanaman
Intersepsi pada setiap kejadian hujan

5
6
6
7
7
8
9
10
11

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Curah hujan, total lolosan tajuk, aliran batang, dan intersepsi (mm)
Penurunan kadar air (mm/hari) kedalaman perakaran 30 cm dan 60 cm
Kadar air (% bobot) pada kedalaman perakaran 30 cm dan 60 cm
Laporan curah hujan harian PTP Nusantara VIII Cimulang
Data curah hujan Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor

16
16
17
18
19

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air sangat penting untuk setiap sektor kehidupan, baik untuk manusia,
hewan, dan tanaman. Air bagi tanaman berfungsi sebagai pereaksi dalam prosesproses fotosintesis dan hidrolisis, serta dalam mempertahankan turgor sel (Lee
1988). Kekurangan air bagi tanaman mengakibatkan terganggunya pertumbuhan
tanaman. Salah satu tanaman yang membutuhkan air dalam jumlah besar adalah
kelapa sawit (Elaies guineensis Jack).
Tanaman kelapa sawit (Elaies guineensis Jack) merupakan komoditi utama
sektor perkebunan di Indonesia yang menghasilkan minyak nabati paling efisien.
Hasil produksi yang optimum didapatkan bila syarat tumbuh tanaman ini
terpenuhi dengan baik. Salah satu syarat tumbuh yang penting yaitu faktor iklim.
Idealnya curah hujan antara 2000-4000 mm/tahun, dengan hari hujan lebih dari
250 hari hujan/tahun, intensitas matahari 6 jam/hari, serta temperatur rata-rata
25oC (Hakim 2007).
Air mengalami peredaran melalui siklus hidrologi, yaitu tahapan-tahapan
yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer, serta
berlangsung secara terus menerus (Seyhan 1990). Dalam konsep hidrologi bahwa
jumlah air di suatu luasan tertentu di permukaan bumi dipengaruhi oleh besarnya
air yang masuk dan keluar pada jangka waktu tertentu. Semakin cepat siklus
hidrologi maka tingkat neraca airnya semakin dinamis. Analisis neraca air sangat
membantu dalam menyusun perencanaan di suatu lahan tertentu. Komponen
neraca air diantaranya intersepsi dan evapotranspirasi.
Intersepsi merupakan proses tertahannya hujan oleh tajuk tanaman. Dalam
bidang pertanian, meskipun jumlah air yang diintersepsi relatif kecil tetapi
mempunyai arti yang penting dalam hubungannya dengan kebutuhan air tanaman.
Pengukuran intersepsi sangat penting dilakukan karena untuk menduga jumlah air
yang menjadi aliran permukaan. Aliran permukaan dapat mengurangi kesuburan
tanah, karena mengakibatkan tererosinya lapisan top soil. Air hujan yang tertahan
terlebih dahulu pada batang dan tajuk tanaman dapat menekan daya tumbukan
langsung terhadap tanah, sehingga kekuatan air yang menyebabkan terjadinya
erosi berkurang.
Evapotranspirasi merupakan kehilangan air melalui permukaan tanah
(evaporasi) dan melalui tanaman (transpirasi). Evapotranspirasi sering disebut
sebagai penggunaan air tanaman (Handoko 1994), serta merupakan faktor dasar
untuk menentukan kebutuhan air dalam rencana irigasi dan merupakan proses
yang penting dalam siklus hidrologi (Sosrodarsono dan Takeda 1978). Maka dari
itu pengukuran terhadap evapotranspirasi penting untuk dilakukan.
Tujuan Penelitian
1. Menetapkan besarnya komponen neraca air berupa: aliran batang, lolosan
tajuk, dan menghitung intersepsi pada tanaman kelapa sawit.
2. Menetapkan besaran evapotranspirasi tanaman kelapa sawit.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Siklus Hidrologi
Air di bumi kira-kira sejumlah 1.3-1.4 milyar km3, dengan 97.5% air laut;
1.75% berbentuk es; dan 0.73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air
tanah, dan sebagainya; hanya 0.001% berbentuk uap di udara. Air di bumi
mengulangi terus menerus sirkulasi, terdiri dari penguapan, presipitasi, dan
pengaliran keluar (Sosrodarsono dan Takeda 1978). Sirkulasi air tersebut sering
dikenal dengan istilah siklus hidrologi.
Siklus hidrologi merupakan suatu pola perdauran yang umum yang terdiri
dari susunan-susunan gerakan air yang rumit dan transformasi-transformasinya
(Lee 1988). Seyhan (1990) mengatakan bahwa siklus hidrologi merupakan
tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke
atmosfer. Termasuk juga evaporasi dari tanah atau laut maupun air pedalaman,
kondensasi untuk membentuk awan, presipitasi, akumulasi di dalam tanah
maupun dalam tubuh air, dan evaporasi kembali.
Tolman (1937) menjelaskan secara rinci tentang siklus hidrologi pada buku
“Ground Water”. Siklus hidrologi termasuk semua pergerakan uap air di atmosfer.
Diawali dengan kondensasi air dalam bentuk cair maupun padat di atmosfer.
Kemudian presipitasi air dalam bentuk cair dan padat di permukaan bumi.
Selanjutnya evaporasi dan pencairan es dan salju di permukaan bumi. Lalu
evaporasi dan peredaran air di permukaan, termasuk sebagian uap air yang
kembali ke atmosfer dan pergerakan air ke lautan. Semua pergerakan air di
bawah tanah dan kembali ke permukaan. Diakhiri dengan evaporasi dan
transpirasi pada permukaan bumi dan permukaan lautan yang kembali dalam
bentuk uap ke atmosfer.
Menurut Handoko (1994) di daerah tropika basah siklus hidrologi terjadi
secara aktif dan presipitasi dalam bentuk curah hujan yang diterima lebih besar
dari evaporasi. Di daerah gurun, energi mencukupi tetapi kelembaban kurang. Hal
tersebut karena evaporasi selalu terjadi setiap saat bila air tersedia tetapi
presipitasi sangat jarang, sehingga siklus hidrologi menjadi pasif. Untuk mencapai
keseimbangan harus ada transfer air atau uap air.
Intersepsi, Lolosan Tajuk, dan Aliran Batang
Intersepsi adalah proses tertahannya air hujan oleh tajuk tanaman, kemudian
diuapkan kembali ke atmosfer atau pun diserap oleh tajuk tanaman tersebut
(Asdak 1995). Intersepsi berkaitan dengan mekanisme berlangsungnya prosesproses evaporasi dan transpirasi yang terjadi pada suatu vegetasi (Asdak 1994).
Laju intersepsi lebih cepat daripada laju transpirasi, oleh karenanya kehilangan air
oleh proses intersepsi merupakan bentuk kehilangan air nyata dalam sistem neraca
air suatu DAS (Ward dan Robinson 1990). Besarnya intersepsi tidak dapat
dihitung secara langsung karena morfologi tajuk tanaman yang beragam sehingga
sulit untuk dilakukan pengukuran, namun nilai intersepsi dapat dihitung dengan
mengukur besarnya lolosan tajuk dan aliran batang pada vegetasi. Intersepsi dapat
diketahui jika kedua nilai tersebut diperoleh.

3
Lolosan tajuk adalah sebagian air hujan yang jatuh melalui celah tajuk
vegetasi atau air hujan yang menetes melalui daun, ranting, dan cabang sampai ke
permukaan tanah (Ward dan Robinson 1990). Lolosan tajuk dipengaruhi oleh
intensitas hujan. Semakin besar intensitas hujan, semakin besar pula lolosan tajuk
yang terjadi (Manokaran 1997). Jika curah hujan atau intensitas hujan rendah,
sebagian besar dari air hujan akan ditahan tajuk vegetasi dan langsung diuapkan,
sehingga persentase intersepsi menjadi tinggi. Sebaliknya jika curah hujan besar
dengan intensitas hujan tinggi, maka akan lebih besar air hujan yang jatuh ke
permukaan tanah, sehingga persentase intersepsi akan menjadi rendah. Nilai
lolosan tajuk akan berbeda pada setiap jenis tegakan tanaman, tergantung dari
kerapatan penutupan tajuk, ketebalan tajuk, dan luas tajuk.
Aliran batang adalah bagian dari curah hujan yang tertahan sementara oleh
batang, terkumpul dan mengalir ke bawah sampai ke permukaan tanah melalui
batang (Hewlett dan Nutter 1969). Aliran batang merupakan salah satu peubah
yang penting sehubungan dengan studi ekologi dan kelembaban tanah.
Keberadaan aliran batang menjadi sangat penting, terutama mengenai
ketersediaan air dan kelembaban lapisan tanah bagian atas. Aliran batang
dipengaruhi oleh percabangan suatu vegetasi. Percabangan pada pohon
berpengaruh terhadap sisa air jatuhan yang tertahan pada posisi lebih atas.
Semakin banyak percabangan maka air hujan yang tertahan akan semakin banyak.
Evapotranspirasi
Evapotranspirasi merupakan ukuran total kehilangan air (penggunaan air)
untuk suatu luasan lahan melalui evaporasi dari permukaan tanah atau air dan
transpirasi dari permukaan tanaman (Handoko 1994). Evapotranspirasi terdiri dari
evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi aktual. Evapotranspirasi potensial
merupakan laju maksimum suatu pertanaman yang mengalami kehilangan air
sebagai akibat perubahan kondisi iklim dan terjadinya uap air pada pertanaman
tersebut dalam keadaan yang cukup. Evapotranspirasi aktual terjadi pada keadaan
air tanah sebenarnya, dipengaruhi oleh keadaan permukaan evaporasi dan
tersedianya air (Rowi 1988).
Banyaknya evapotranspirasi berbeda-beda tergantung dari kadar
kelembaban tanah dan jenis tanaman. Umumnya banyaknya transpirasi yang
diperlukan untuk menghasilkan 1 gram bahan kering disebut laju transpirasi dan
dinyatakan dalam gram. Pada daerah lembab, banyaknya adalah ± 200 sampai
dengan 600 gram, dan untuk daerah kering ± 2 kali dari daerah lembab. Jika air
dalam tanah yang tersedia cukup banyak maka evapotranspirasi itu disebut
evapotranspirasi potensial (Sosrodarsono dan Takeda 1978). Evapotranspirasi
dipengaruhi oleh unsur iklim, kondisi tanah, dan sifat tanaman (Handoko 1994).
Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi
evaporasi dan evapotranspirasi adalah suhu air, suhu udara (atmosfer),
kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, dan sinar matahari.
Tanaman Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaieis guineensis Jack) merupakan salah satu tanaman
penghasil minyak nabati yan sangat penting. Tanaman ini tumbuh sebagai

4
tanaman liar , setengah liar, dan sebagai tanaman yang dibudidayakan di daerahdaerah tropis Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Afrika. Tanaman ini berasal dari
Afrika yaitu dari kawasan Nigeria di Afrika Barat. Dewasa ini tanaman kelapa
sawit terdapat di sepanjang daerah tropis, terutama kawasan antara 10oLU dan
10oLS, yang mempunyai suhu rata-rata 24oC-26oC dengan fluktuasi suhu kurang
dari 10oC. Tanaman kelapa sawit dimasukkan ke Indonesia oleh bangsa Belanda.
Bibit tersebut berasal dari Bourbon dan Amsterdam. Bibit tersebut ditanam di
Kebun Raya Bogor untuk dijadikan tanaman koleksi pada tahun 1848
(Setyamidjaja 1991).
Kelapa sawit menghendaki iklim dengan curah hujan merata sepanjang
tahun dengan intensitas matahari sekitar 6 jam per hari. Namun pada iklim yang
musim hujan tidak meratapun kelapa sawit tetap hidup dan berproduksi. Air
sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, pembentukan bunga, dan
perkembangan buah. Pada musim kering bunga akan gugur dan bakal bunga akan
gagal tumbuh. Hal ini dapat menyebabkan pengurangan produksi. Besarnya
penurunan tergantung dari besarnya kekeringan yang ditandai dengan water
deficit dan lamanya hujan tidak turun (Hakim 2007).
Idealnya curah hujan yang dibutuhkan kelapa sawit antara 2000-4000
mm/tahun. Hari hujan lebih dari 250 hari hujan/ tahun. Intensitas matahari 6 jam
per hari dengan temperatur rata-rata 25oC. Water deficit sampai diatas 500 mm
akan membuat penurunan produktivitas sampai dengan 70%. Water deficit
dibawah 50 mm masih belum mempunyai dampak terhadap produktivitas. Curah
hujan yang cukup (diatas 5 mm) per hari hujan yang merata sepanjang tahun
merupakan tempat yang paling cocok untuk kelapa sawit (Hakim 2007).

METODE
Tempat dan waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kebun Kelapa Sawit Afdelling II, unit usaha
Cimulang, PTPN VIII, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan
pengamatan dan pengukuran di lapangan dilakukan mulai Mei 2013 hingga
Oktober 2013. Tanaman kelapa sawit yang digunakan ditanam pada tahun 2005
dengan jarak tanam 9 m x 9 m x 9 m.
Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a) Jerigen 5 liter sebanyak 4 buah untuk menampung air hujan yang
digunakan untuk pengukuran curah hujan.
b) Jerigen 20 liter sebanyak 20 buah, 5 buah untuk menampung air hujan
yang menjadi aliran batang dan 15 buah untuk menampung air hujan
yang menjadi lolosan tajuk.
c) Corong dengan diameter 13,6 cm untuk menampung air hujan yang
menjadi aliran batang dan lolosan tajuk.
d) Corong dengan diameter 14,5 cm untuk menampung air hujan yang
menjadi curah hujan.

5
e)
f)

g)
h)
i)
j)
k)
l)
m)
n)

Seng dengan panjang 2,5 m dan lebar 30 cm untuk tiap ulangan aliran
batang.
Gelas ukur 1000 ml sebanyak 1 buah untuk mengukur volume air yang
tertampung dalam jerigen, baik aliran batang, lolosan tajuk, dan curah
hujan.
Balok kayu sepanjang 30 cm sebanyak 48 buah untuk menahan tiap
jerigen yang dipasang agar tidak terjatuh dan berpindah posisi.
Golok, palu, dan paku digunakan dalam proses penempelan seng pada
batang tanaman kelapa sawit.
Bor tanah sebanyak 1 buah untuk mengambil contoh tanah kedalaman
30 cm dan 60 cm.
Alumunium foil untuk membungkus contoh tanah.
Cawan alumunium sebanyak 54 buah untuk meletakkan contah tanah.
Oven untuk mengoven tanah.
Timbangan 2 desimal untuk menimbang contoh tanah.
Alat-alat tulis untuk mencatat jumlah aliran batang, lolosan tajuk,
curah hujan, dan contoh tanah, serta seperangkat notebook untuk
mengolah data.
Desain Percobaan dan Instalasi Peralatan

a)

Curah Hujan

Gambar 1 Desain Percobaan Pengukuran Curah Hujan
Curah hujan diukur menggunakan jerigen 5 liter yang dipasang corong di
atasnya. Jerigen tersebut diletakkan di tempat yang tidak terhalang pepohonan dan
bangunan. Terdapat 4 buah alat penakar hujan yang dipasang. Alat penakar hujan
yang dipasang lebih dari satu tersebut ditujukan untuk mengamati curah hujan
secara teliti, sekaligus untuk mengantisipasi adanya variasi hujan. Curah hujan
diperoleh dengan mengukur volume air yang tertampung di penakar hujan pada
tiap hari hujan, menggunakan gelas ukur 1000 ml.

6

Gambar 2 Pengukuran Curah Hujan di Lapang
b)

Aliran Batang

Gambar 3 Desain Percobaan Pengukuran Aliran Batang dan Lolosan Tajuk
Air hasil aliran batang dialirkan dengan seng yang dibentuk setengah
lingkaran dan dilingkarkan di sekeliling batang yang sebelumnya telah
dibersihkan dari sisa pelepah. Salah satu ujungnya diletakkan lebih rendah untuk
memungkinkan mengalirnya air ke jerigen. Bagian bawah seng dihubungkan
dengan jerigen untuk menampung air hasil aliran batang. Bagian atas jerigen
dipasang corong untuk memudahkan mengalirkan air.
Terdapat 5 buah alat pengukur aliran batang yang dipasang. Pengukuran air
hasil aliran batang dilakukan setiap hari hujan. Air yang tertampung pada alat
pengukur kemudian diukur volumenya dengan gelas ukur 1000 ml. Untuk
mendapatkan aliran batang dalam satuan millimeter (tinggi aliran batang), volume
air yang tertampung pada tiap jerigen dibagi dengan luas area tajuk pohon
masing-masing ulangan. Jari-jari (r) tajuk pohon diukur menggunakan meteran
dari pusat batang ke ujung tajuk paling luar.

7

Gambar 4 Pengukuran Aliran Batang di Lapang
c) Lolosan Tajuk
Lolosan tajuk ditampung dengan jerigen 20 liter yang di atasnya dipasang
corong. Jerigen tersebut diletakkan diantara kedua pohon kelapa sawit dengan
jarak 2 m, 3 m, dan 4 m dari pohon kelapa sawit yang telah dipasang alat aliran
batang. Setiap ulangan pada pengukuran aliran batang, terdapat 3 alat yang
dipasang untuk mengukur lolosan tajuk. Ketiga alat tersebut diletakkan pada jarak
yang berbeda-beda. Volume air hujan yang tertampung diukur menggunakan
gelas ukur 1000 ml. Untuk mendapatkan nilai lolosan tajuk dalam millimeter
(tinggi lolosan tajuk), digunakan perbandingan antara volume air yang tertampung
dengan luas area corong.

Gambar 5 Pengukuran Lolosan tajuk di Lapang
d) Evapotranspirasi
Evapotranspirasi diukur secara tidak langsung dengan mengukur
kehilangan air pada kedalaman perakaran 30 cm dan kedalaman perakaran 60 cm.
Kehilangan air tersebut didapat dengan mengukur kadar air pada tiap hari tidak
hujan secara berturut-turut. Terdapat 3 pohon yang digunakan dalam pengukuran
evapotranspirasi. Setiap pohon tersebut terdapat 3 titik pengeboran dengan jarak 2
meter dari pohon yang dipasang alat pengukur aliran batang. Adapun perhitungan
untuk mendapat kehilangan air adalah sebagai berikut:
 Konversi KA (% bobot) ke KA (% volume)
KA (% volume) = KA (% bobot) x Bobot Isi, Bobot Isi = 1.1 g/cm3
 Tinggi air = KA (% volume) x Kedalaman perakaran

8



Δtinggi air atau rata-rata kehilangan selama hari tidak hujan =
Tinggi air awal (1 hari setelah hujan) – Tinggi air akhir (hari ke-n
setelah hujan)
Kehilangan air tiap hari = Tinggi air (hari 1) – Tinggi air (hari 2),
dan seterusnya.

Gambar 6 Desain Percobaan Pengukuran Evapotranspirasi
d)

Intersepsi

Intersepsi ditetapkan menggunakan rumus:
I = Pg - Sf – Tf
keterangan: I (Intersepsi (mm)), Pg (Curah Hujan (mm)), Sf (Aliran Batang
(mm)), dan Tf (Lolosan Tajuk (mm)).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Aliran Batang (Stemflow)
Aliran batang terjadi setelah hujan yang tercegat oleh ranting maupun daun
mengalir melalui ruas batang, sehingga akan terkumpul dan selanjutnya mengalir
melalui batang. Ruas batang yang menutup rapat sekeliling batang mengakibatkan
air pada awal terjadinya aliran batang tidak langsung mengalir ke bawah,
melainkan diserap terlebih dahulu oleh batang dan ditahan oleh ruas batang
tersebut. Hal ini mengakibatkan kehilangan air yang tinggi sebelum mengalami
aliran batang.
Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan nilai aliran batang yang sangat
kecil. Nilai aliran batang yang didapat kurang dari 1%. Hal tersebut jauh berbeda
dengan penelitian sebelumnya. Mulyadi dan Tarumun (2012) melaporkan nilai
aliran batang yang diukur di Perkebunan Kelapa Sawit PPKS Sub Unit Kalianta
Kabun sebesar 19.31 mm/bulan (8.11%). Penelitian yang dilakukan oleh Ridwan
(2009) melaporkan nilai aliran batang di Perkebunan Kelapa Sawit PTPN VII
Lampung sebesar 3.74 mm (11.22%).
Nilai aliran batang yang diperoleh tidak dapat digunakan, karena akan
mempengaruhi nilai intersepsi. Maka dari itu perlu data aliran batang dari

9
penelitian sebelumnya. Data aliran batang yang digunakan adalah data aliran
batang hasil penelitian Purba (2007). Berdasarkan penelitian tersebut nilai aliran
batang yang diperoleh sebesar 7.8% dari total curah hujan. Nilai tersebut
kemudian dikali dengan nilai curah hujan harian (mm) yang diperoleh pada
pengukuran langsung, sehingga didapatkan nilai tinggi aliran batang (mm) pada
tiap kejadian hujan. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan grafik aliran
batang sebagai berikut:

Gambar 7 Aliran batang setiap kejadian hujan
Variasi nilai aliran batang antara 0.38 mm hingga 7.45 mm (Gambar 7).
Rataan nilai aliran batang yang diperoleh sebesar 1.83 mm (7.8%). Nilai aliran
batang berbanding lurus dengan curah hujan. Hal tersebut menunjukkan semakin
besar curah hujan yang terjadi pada satu kali kejadian hujan, semakin besar pula
nilai aliran batang yang didapat.
Rendahnya nilai aliran batang karena batang kelapa sawit memiliki diameter
yang lumayan besar dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya, sehingga
luas permukaan batang menjadi besar pula. Air hujan yang mengalir melalui
batang akan lebih banyak diserap oleh permukaan batang sebelum dialirkan
menjadi aliran batang ataupun diuapkan kembali. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian yang dilaporkan oleh Kaimudin (1994) bahwa semakin besar diameter
batang, maka aliran batang semakin kecil karena luas permukaannya semakin
besar.
Hal lainnya yang membuat nilai aliran batang menjadi rendah yaitu masih
dijumpai sisa-sisa pelepah pada batang kelapa sawit, sehingga menghambat air
yang menjadi aliran batang. Heryansyah (2008) melaporkan kulit batang yang
licin memberikan peran besar dalam mengalirkan air hujan melalui batang. Air
hujan akan mengalir dengan mudah dibandingkan kulit pohon yang kasar. Kondisi
kulit yang kasar dan retak-retak menyebabkan air hujan masuk dan tertahan pada
kulit batang.
Faktor yang mempengaruhi aliran batang antara lain yaitu bentuk batang,
bentuk dan tekstur daun, dan kulit batang (Ridwan 2009). Tanaman kelapa sawit
memiliki pelepah daun yang panjang (7-9 meter) dengan jumlah anak daun tiap
pelepah berkisar 250-400 helai, sehingga air hujan yang jatuh pada umumnya
tertahan terlebih dahulu oleh pelepah daun tersebut kemudian mengalir melalui
batang sampai ke permukaan tanah.

10
Lolosan Tajuk (Throughfall)
Lolosan tajuk merupakan salah satu komponen dari proses intersepsi. Air
hujan yang jatuh di atas tajuk suatu vegetasi tidak langsung menembus tajuk dan
jatuh menyentuh tanah, melainkan tertahan beberapa saat di tajuk dan kemudian
akan jatuh sebagai lolosan tajuk (Heryansyah 2008). Setiap pengukuran aliran
batang terdapat 3 titik pengukuran lolosan tajuk dengan jarak berbeda yaitu jarak
2 meter; jarak 3 meter; dan jarak 4 meter. Secara keseluruhan terdapat 15 titik
pengukuran lolosan tajuk untuk semua ulangan. Perbedaan titik pengukuran
bertujuan untuk melihat penyebaran spasial air hujan yang jatuh sebagai lolosan
tajuk.
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan terdapat variasi nilai lolosan tajuk
pada tiap jarak yang berbeda. Nilai rata-rata lolosan tajuk jarak 2 meter sebesar
17.97 mm (80.71%). Nilai rata-rata lolosan tajuk jarak 3 meter sebesar 16.31 mm
(73.94%). Nilai rata-rata lolosan tajuk jarak 4 meter sebesar 32.80 mm (147.04%).
Rataan nilai lolosan tajuk secara keseluruhan sebesar 22.36 mm (95.43). Nilai
lolosan tajuk berbanding lurus dengan curah hujan. Artinya semakin besar curah
hujan yang terjadi pada satu kali kejadian hujan, semakin besar nilai lolosan tajuk
yang didapat. Nilai lolosan tajuk pada tiap jarak disajikan pada gambar berikut:

Gambar 8 Lolosan tajuk pada jarak berbeda dari tanaman
Lolosan tajuk pada jarak 4 meter memiliki hasil terbesar. Hal tersebut karena
alat pengukur lolosan tajuk pada jarak 4 meter letaknya tepat berada di tengah 2
pohon kelapa sawit, sehingga mendapatkan air lolosan dan limpasan tajuk dari
kedua pohon tersebut. Air yang tertampung pada alat pengukur lolosan tajuk dapat
pula berupa air hujan yang langsung masuk ke alat pengukur lolosan tajuk. Hal
tersebut dikarenakan terdapatnya celah di antara 2 pohon kelapa sawit. Lolosan
tajuk jarak 2 meter dan jarak 3 meter memiliki hasil yang relaif sama. Hal tersebut
karena letak keduanya yang dekat dengan masing-masing pohon kelapa sawit.
Air hujan yang jatuh akan tertahan di dahan-dahan pohon kelapa sawit.
Bagian dahan yang dekat dengan batang pohon akan menahan air hujan lebih
besar dibandingkan dahan yang jauh dari batang pohon kelapa sawit. Bentuk
dahan pohon kelapa sawit yang melengkung mempengaruhi arah aliran air hujan
yang jatuh diatasnya. Sebagian air hujan akan mengalir ke bagian dalam dahan
dan tertahan didalamnya ataupun menjadi air aliran batang. Sebagian lagi akan
mengalir ke arah luar dahan dan jatuh ke tanah ataupun tertampung pada alat
pengukur lolosan tajuk.

11
Pengukuran lolosan tajuk menghasilkan nilai lolosan tajuk yang lebih besar
dari nilai curah hujan. Hal tersebut karena air hasil lolosan tajuk berasal dari area
yang lebih luas, namun pembagi yang digunakan untuk meghitung tinggi lolosan
tajuk menggunakan luas corong pada alat pengukur lolosan tajuk. Maka dari itu
hasil yang didapat dapat lebih besar dari nilai curah hujan. Nilai lolosan tajuk
yang lebih besar dari nilai curah hujan berpengaruh terhadap nilai intersepsi yang
dihasilkan. Nilai intersepsi akan menjadi negatif.
Tanaman kelapa sawit memiliki luas tajuk yang relatif besar. Hal tersebut
membuat air hujan yang jatuh akan tertampung terlebih dahulu pada tajuk
sebelum jatuh sebagai lolosan tajuk atau menguap kembali ke atmosfer. Adanya
rotasi pemangkasan pelepah tanaman kelapa sawit menyebabkan celah-celah tajuk
bertambah. Celah-celah tajuk yang semakin banyak akan membuat lolosan tajuk
semakin besar. Intensitas hujan berpengaruh terhadap besar kecilnya air yang
menjadi lolosan tajuk. Hujan dengan intensitas rendah menyebabkan air hujan
yang jatuh tertahan pada tajuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer.
Sebaliknya, pada saat hujan intensitas tinggi air hujan telah menjenuhkan tajuk
kemudian turun menjadi air lolosan tajuk (Anwar 2003). Besar kecilnya nilai
lolosan tajuk berpengaruh besar terhadap nilai intersepsi. Semakin besar lolosan
tajuk maka intersepsi hujan oleh tajuk semakin kecil.
Intersepsi
Intersepsi merupakan beda antara curah hujan dan hasil pertambahan aliran
batang dengan lolosan tajuk. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan variasi
nilai intersepsi antara 0.51 mm (1.98%) hingga 4.32 mm (19.20%). Rataan nilai
intersepsi sebesar 1.61 mm (6.86%). Nilai intersepsi yang diperoleh tergolong
rendah bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Purba (2007)
melaporkan intersepsi yang terjadi di Perkebunan Kelapa Sawit PTPN VII sebesar
22.13%, pada lokasi yang sama Ridwan (2009) melaporkan intersepsi sebesar
34.90%. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyadi dan Tarumun (2012)
melaporkan intersepsi yang terjadi di Perkebunan Kelapa sawit PPKS Sub Unit
Kalianta Kabun sebesar 21.23%. Nilai intersepsi tiap kejadian hujan disajikan
pada gambar berikut:

Gambar 9 Intersepsi pada setiap kejadian hujan
Terdapat beberapa intersepsi yang bernilai negatif. Nilai negatif yang
diperoleh karena hasil penjumlahan antara aliran batang dan lolosan tajuk lebih

12
besar dari nilai curah hujan. Nilai negatif tersebut tidak menunjukkan bahwa
intersepsi bernilai negatif, karena nilai intersepsi paling rendah adalah nol (0) atau
tidak ada air yang terintersepsi.
Bertambah besarnya nilai aliran batang dan lolosan tajuk mengakibatkan
nilai intersepsi semakin kecil. Nilai intersepsi yang kecil menunjukkan bahwa
jumlah hujan yang jatuh ke permukaan tanah sangat besar. Hal ini dapat
menyebabkan jumlah air yang diserap ke dalam tanah lebih sedikit dan bahaya
yang ditimbulkan oleh run off dan erosi menjadi lebih besar. Curah hujan yang
sampai ke permukaan tanah selanjutnya sebagian akan diserap sebagai air tanah
dan air perkolasi, sebagian lagi menjadi aliran permukaan dan sebagian diuapkan
kembali.
Adanya rotasi pemangkasan pelepah tanaman kelapa sawit menyebabkan
terjadinya perubahan karakteristik tanaman kelapa sawit. Perubahan tersebut
meliputi berkurangnya tajuk dan percabangan, mengakibatkan celah-celah antara
tajuk menjadi berkurang, sehingga aliran batang dan lolosan tajuk bertambah
sementara intersepsi berkurang. Terjadi penurunan laju pertambahan intersepsi
dengan semakin besarnya curah hujan. Apabila terjadi hujan dengan ketebalan dan
intensitas yang tinggi, kapasitas tampung tajuk dalam kondisi jenuh, sehingga
curah hujan yang mengenai tajuk tanaman langsung dialirkan ke permukaan tanah.
Sebaliknya apabila terjadi hujan dengan intensitas rendah, curah hujan sebagian
besar akan diintersepsi oleh tajuk. Asdak (2004) melaporkan bahwa semakin tebal
dan rapat keadaan tajuk pohon, maka akan semakin besar intersepsi yang terjadi.
Evapotranspirasi
Evapotranspirasi merupakan proses kehilangan air melalui permukaan tanah
dan tanaman. Terdapat beberapa cara yang dilakukan dalam menentukan
evapotranspirasi, salah satunya dengan cara tidak langsung, yaitu menghitung
kehilangan air pada tiap hari tidak hujan. Pengukuran kehilangan air tersebut
dilakukan dengan mengukur kadar air tanah pada kedalaman perakaran 30 cm dan
kedalaman perakaran 60 cm. Pengukuran dilakukan pada bulan September 2013
sampai dengan Oktober 2013. Kehilangan air dan kadar air tersebut disajikan pada
tabel berikut:

13
Tabel 1 Penurunan kadar air (mm/hari) dan kadar air (% bobot) pada kedalaman
30 cm dan 60 cm

Hasil pengukuran di lapang terdapat 10 kali hari tidak hujan yang terukur.
Rata-rata penurunan kadar air kedalaman 30 cm sebesar 2.40 mm/hari, sedangkan
rata-rata penurunan kadar air kedalaman 60 cm sebesar 4.28 mm/hari. Rata-rata
penurunan kadar air keseluruhan sebesar 3.34 mm/hari. Nilai penurunan kadar air
kedalaman perakaran 30 cm lebih kecil daripada nilai penurunan kadar air
kedalaman perakaran 60 cm. Kadar air kedalaman perakaran 30 cm lebih kecil
daripada kadar air kedalaman perakaran 60 cm.
Terdapat beberapa hasil yang bernilai negatif (Tabel 1), sementara hari tidak
hujan. Hal tersebut menunjukkan di dalam tanah pada kedalaman 30 cm dan
kedalaman 60 cm tidak mengalami kehilangan air, melainkan mengalami
penambahan air. Air tersebut berasal dari kedalaman lebih dari 60 cm yang karena
adanya gaya kapiler dalam tanah maka air bergerak ke atas. Air tersebut mengisi
pori-pori tanah pada kedalaman atasnya yaitu kedalaman 60 cm dan kedalaman 30
cm. Sehingga meningkatkan suplai air tanah ke permukaan tanah.
Kadar air kedalaman 30 cm lebih kecil dibandingkan dengan kadar air
kedalaman 60 cm. Hal tersebut mengakibatkan air yang dievapotranspirasikan
pada kedalaman 30 cm lebih kecil dibandingkan pada kedalaman 60 cm. sesuai
dengan yang dikatakan oleh Sahara (2008) yaitu semakin tinggi kadar air tanah
maka air yang dapat dievapotranspirasikan semakin tinggi, sampai mencapai
evapotranspirasi potensial.
Perbedaan kadar air pada masing-masing kedalaman disebabkan karena
pada kedalaman 30 cm terdapat akar yang paling aktif menyerap air dan unsur
hara. Akar yang paling aktif menyerap air dan unsur hara adalah akar tersier dan
kuartener. Pahan (2006) mengatakan sistem perakaran tanaman kelapa sawit yang
aktif berada antara kedalaman 5-35 cm, umumnya akar tersier berada pada
kedalaman 10-30 cm. Risza (1994) melaporkan perakaran paling padat terdapat
pada kedalaman 25 cm.
Nilai penurunan kadar air yang didapat setara dengan evapotranspirasi yang
terjadi di perkebunan kelapa sawit. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyadi dan
Tarumun (2012) melaporkan evapotranspirasi yang terjadi di Perkebunan Kelapa

14
Sawit PPKS Sub Unit Kalianta Kabun sebersar 3.06 mm/hari. Taufik dan Siswoyo
(2013) melaporkan evapotranspirasi yang terjadi di Perkebunan Kelapa Sawit Sub
DAS Landak Kapuas sebesar 4.39 mm/hari.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Tanaman kelapa sawit yang ditanam tahun 2005 di Perkebunan Kelapa
Sawit PTPN VIII memiliki nilai aliran batang, lolosan tajuk, intersepsi, dan
evapotranspirasi yang bervariasi. Rataan nilai aliran batang sebesar 1.83 mm atau
7.8%, lolosan tajuk sebesar 22.36 mm (95.43%), intersepsi sebesar 1.61 mm atau
6.86%, dan evapotranspirasi sebesar 3.75 mm/hari. Nilai lolosan tajuk pada jarak
4 meter lebih besar daripada nilai lolosan tajuk pada jarak 2 meter dan 3 meter
dari pohon kelapa sawit. Nilai penurunan kadar air pada kedalaman perakaran 30
cm lebih kecil dibandingkan nilai penurunan kadar air pada kedalaman perakaran
60 cm.
Saran
Pengukuran lolosan tajuk menggunakan alat pengukur berbentuk corong,
sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih besar dari curah hujan. Penelitian lebih
lanjut perlu dilakukan, terutama dalam hal penentuan model alat yang digunakan.
Model alat dapat berupa bak panjang yang luasnya dapat mewakili tajuk pohon
kelapa sawit. Bak panjang tersebut kemudian disangga dengan kayu ataupun
penyangga lainnya beberapa meter dari permukaan tanah. Salah satu bagian bak
diletakkan jerigen atau drum untuk menampun air lolosan tajuk.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar M. 2003. Intersepsi Hujan oleh Hutan dan Kebun Cokelat di Kawasan
Batas Hutan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Selatan [Tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Asdak C. 1994. Rainfall Interception in Unlogged and Logged Over Area of
Tropical Forest of Central Kalimantan, Indonesia. Scotland (GB): IERMSchool of Forestry and Ecologycal Sciences, University of Edinurgh,
Scotland, UK. P. 45
_______. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press. 571
_______. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press.
Hakim M. 2007. Kelapa Sawit: Teknis Agronomis dan Manajemennya. Jakarta
(ID): Lembaga Pupuk Indonesia.
Handoko. 1994. Klimatologi Dasar: Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan
Unsur-Unsur Iklim. Bogor (ID): Pustaka Jaya.

15
Heryansyah EL. 2008. Intersepsi Hujan pada Tanaman Agathis Loranthifolia Sal.
di DAS Cicatih Hulu Sukabumi [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Hewlett JD, Nutter WL. 1969. An Outline of Forest Hydrology. Athens (GR):
University of Georgia Press. 137. P.
Kaimudin. 1994. Kajian Model Penggunaan Intersepsi Hujan pada Tegakan Pinus
Merkusi, Agathis Loranthifolia, dan Schima Wallichi di Hutan Pendidikan
Gunung Walat Sukabumi [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lee R. 1988. Hidrologi Hutan. Penerjemah: Sentot S dan Soenardi P. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press.
Lubis RE, Widanarko A. 2011. Buku Pintar Kelapa Sawit. Jakarta (ID): PT
Agromedia Pustaka.
Manokaran N. 1979. Stemflow, Throughfall, and Rainfall Interception in a
Lowland Tropical Rain Forest in Peninsular Malaysia. The Malaysian
Forester. Vol 42 (3): 174-201
Mulyadi A, Tarumun S. 2012. Neraca air di Perkebunan Kelapa Sawit PPKS Sub
Unit Kaliantas Kabun Riau. Riau (ID): Jurnal Ilmu Lingkungan. ISSN
1978-5283
Pahan I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit-Manajemen Agribisnis dari Hulu
hingga Hilir. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Purba FF. 2007. Intersepsi Hujan pada Perkebuan Kelapa Sawit (Studi Kasus di
Unit Usaha Rejosari PTPN VII Lampung) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Ridwan BM. 2009. Penerapan Model Gash untuk Pendugaan Intersepsi Hujan
pada Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus di Unit Usaha Rejosari PTPN
VII Lampung) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Risza S. 1994. Kelapa Sawit: Upaya Peningkatan Produktifitas. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Rowi J. 1988. Pengaruh Ketersediaan Air Tanah terhadap Evapotranspirasi dan
Pertumbuhan Kelapa Hibrida Indonesia pada Berbagai Tingkat Umur
Muda [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sahara RI. 2008. Pendugaan Evapotranspirasi dengan Berbagai Metode dan
Hubungannya dengan Stres Air pada Perkebunan Kelapa Sawit PTPN VII
Lampung [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Setyamidjaja D. 1991. Budidaya Kelapa Sawit. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Seyhan E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Penerjemah: Sentot S dan Soenardi P.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Sosrodarsono S, Takeda K. 1978. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta (ID): PT
Pradnya Paramita.
Taufik M, Siswoyo H. 2013. Pengaruh tanaman kelapa sawit terhadap
keseimbangan air hutan (Studi Kasus Sub DAS Landak, DAS Kapuas).
Malang (ID): Jurnal Teknik Pengairan. Vol 4 (1): 47-52.
Tolman CF. 1937. Ground Water. New York (US): McGraw-Hill Book Company
Inc.
Ward RC, Robinson M. 1990. Principles of Hydrology. New York (US): Mc
Graw-Hill Book Company Inc 365.

16
Lampiran 1 Curah hujan, aliran batang, lolosan tajuk, dan intersepsi (mm)

Lampiran 2 Penurunan kadar air (mm/hari) pada kedalaman perakaran 30 cm dan
60 cm

17
Lampiran 3 Kadar air (% bobot) pada kedalaman perakaran 30 cm dan 60 cm

18
Lampiran 4 Laporan curah hujan harian PTP Nusantara VIII Cimulang

19
Lampiran 5 Data curah hujan Stasiun Klimatologi Darmaga bogor

20

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 April 1991, dari Ayah dan Ibu
yang bernama Rusdi Jafar dan Mimin Sumarni. Penulis merupakan anak ke lima
dari lima bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 48 Jakarta pada tahun 2009
dan pada tahun yang sama lulus diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur
Ujian Talenta Mandiri (UTM) IPB. Penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan, Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama studi di IPB penulis pernah menjadi
asisten praktikum mata kuliah Fisika Tanah dan Geomorfologi Analisis Lanskap.