Analisis Potensi Ketersediaan Air di Perkebunan Kelapa Sawit menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor)

(1)

(Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor)

HERDIANTO EKA SAPUTRA (A14070095)

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(2)

RINGKASAN

HERDIANTO EKA SAPUTRA. Analisis Potensi Ketersediaan Air di Perkebunan Kelapa Sawit menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor). Dibimbing oleh BABA BARUS dan YAYAT HIDAYAT.

Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan luas areal 6,78 juta ha. Tanaman kelapa sawit membutuhkan air dalam jumlah yang sangat banyak untuk mendukung produksinya. Kekurangan dan kelebihan air menjadi faktor pembatas, sehingga ketersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas produksi kelapa sawit. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis ketersediaan air dan melihat pengaruhnya terhadap produksi kelapa sawit.

Dalam menentukan potensi aliran permukaan digunakan variabel berupa jenis tanah dan kemiringan lereng dengan melakukan sistem pembobotan (skoring). Hasil skoring dengan nilai yang tinggi artinya daerah tersebut memiliki tingkat potensi aliran permukaan tinggi, sebaliknya daerah yang memiliki tingkat potensi aliran permukaan rendah memiliki jumlah skor yang rendah. Potensi aliran permukaan yang tinggi terjadi di sebagian besar wilayah perkebunan yaitu di bagian tengah wilayah perkebunan. Ketersediaan air terakumulasi pada beberapa daerah yang lebih rendah dan datar.

Keterkaitan faktor-faktor fisik dengan produktivitas dianalisis dengan korelasi data produksi, kemiringan lereng, jenis tanah dan potensi aliran permukaan. Kelebihan air mengindikasikan adanya penurunan produksi, karena dari hasil korelasi potensi aliran permukaan memiliki korelasi yang signifikan terhadap penurunan produksi (nilai p-value < 0,05) yaitu 0,018, artinya semakin rendah potensi aliran permukaan maka penurunan produksi semakin tinggi. Penurunan produksi terbesar terjadi di Blok 2, yang terdapat pada jenis tanah Latosol Cokelat Kemerahan dan kemiringan lereng 0 – 8% yang merupakan daerah terakumulasinya aliran permukaan, yaitu sebesar 29,03% dari produksi 26,80 ton TBS/ha/tahun pada tahun 2009 menjadi 19,02 ton TBS/ha/tahun pada tahun 2010.

Untuk memenuhi kebutuhan air di sekitar lokasi perkebunan (pemukiman dan fasilitas lainnya) untuk meningkatkan kelestarian lingkungan, perlu direkomendasikan untuk dibangun embung. Calon posisi embung terdapat pada arah aliran atau cekungan tempat dimana aliran air melintas dan berdasarkan kondisi tanah yang strukturnya kuat untuk menampung air. Calon lokasi embung yang berdasarkan pada pola aliran sungai dibuat dengan DEM (digital elevation model) adalah di blok 9, 16, 20 dan 36.


(3)

SUMMARY

HERDIANTO EKA SAPUTRA. Analysis of Potential Water Availability in Oil Palm Plantation using Geographic Information System (A Case Study in PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor). Supervised by BABA BARUS

and YAYAT HIDAYAT.

Indonesia is the country's largest oil palm producer in the World with a total area of 6.78 million ha. Palm trees require water in abundance to support production. Shortages and excess water becomes a limiting factor, so that water availability is one factor limiting the production of oil palm. The study was conducted to analyze the availability of water and see its effect on the production of oil palm.

In determining the runoff potential variables of soil type and slope were used through scoring system. The results of scoring with a high value means that the area has the potential for high runoff, conversely areas that have low-level potential runoff has a low total score. High potential runoff that occurs in most areas of plantations are in the middle of the plantation. Water availability is accumulated in some areas at low and flat locations.

The relationship of physical factors with the productivity of production were analyzed by correlation, slope, soil type and potential runoff. Excess water indicates a decrease in production, because of the correlation potential runoff has a significant correlation to the decline in production (the p-value <0,05) is 0,018, meaning that the lower the runoff potential, then the higher reduction of production. The decline in production occurred in Block 2, located on Reddish Brown Latosol soil type and slope of 0-8% which is the accumulation of runoff, amounting to 29.03% of the production of 26.80 tons of FFB (fresh fruit bunch) / ha / year in 2009 be 19.02 tonnes FFB / ha / year in 2010.

To meet the water needs around the plantation site (residential and other facilities) and to improve environmental sustainability, its needed recommendation for constructed ponds. Candidates for the position is contained in the flow direction ponds or basins where water flows across and under conditions of strong soil structure to hold water. The candidate sites based on the river flow patterns created from DEM (digital elevation model) are block 9, 16, 20 and 36. Keyword: water availability, oil palm, geographic information system (GIS)


(4)

ANALISIS POTENSI KETERSEDIAAN AIR DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

(Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor)

HERDIANTO EKA SAPUTRA (A14070095)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(5)

Judul : Analisis Potensi Ketersediaan Air di Perkebunan Kelapa Sawit menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor)

Nama : Herdianto Eka Saputra

NIM : A14070095

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Dr. Ir. Yayat Hidayat, M.Si

NIP. 19610101 198703 1 004 NIP. 19650103 199212 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113 198703 1 003


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Juni 1989 dari keluarga bapak Yuli Hermadi dan ibu Tuti Juniarti. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Riwayat Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar yang diselesaikan di SD Negeri Bojong Rawa Lumbu XII Bekasi pada tahun 2001. Pendidikan sekolah menengah pertama diselesaikan di SMP Negeri 16 Bekasi pada tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis menyelesaikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Bekasi, serta pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama masa perkuliahan di IPB, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) IPB selama dua periode kepengurusan. Pada periode kepengurusan 2009/2010, penulis menjabat sebagai staf divisi Media Informasi dan pada periode kepengurusan 2010/2011, penulis menjabat sebagai koordinator divisi Media Informasi. Penulis juga berkesempatan menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Penginderaan Jauh Interpretasi Citra tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012, mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Lanskap tahun ajaran 2010/2011, mata kuliah Sistem Informasi Geografis dan Kartografi tahun ajaran 2010/2011, mata kuliah Survei dan Evaluasi Sumberdaya Lahan tahun ajaran 2010/2011, serta mata kuliah Morfologi dan Klasifikasi Tanah tahun ajaran 2011/2012.


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas berkat dan rahmat Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul Analisis Potensi Ketersediaan Air di Perkebunan Kelapa Sawit menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor), merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc selaku dosen pembimbing utama skripsi atas bimbingan, saran dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Yayat Hidayat, M.Sc selaku dosen pembimbing kedua skripsi atas bimbingan dan saran yang telah diberikan.

3. Bapak Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.

4. PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor atas dukungan dan bantuan selama kegiatan penelitian.

5. Kedua orang tua, Ayahanda Yuli Hermadi dan Ibunda Tuti Juniarti, serta keluarga atas doa, dukungan, dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.

6. Sahabatku Riski Saputra dan Komal yang telah membantu penulis dalam memberikan dukungan, semangat dan petunjuk dalam penelitian.

7. Rekan seperjuangan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Ranti, Hanna, Setia, Melinda, Tasha, Rhoma, Aulia, Farid, Adi, Herdian serta Soiler (Agregat) 44 atas semangat, dukungan dan motivasi yang telah diberikan 8. Kak Luluk, Kak Ikhsan, Kak Linda dan Mba’ Reni atas bantuan dan


(8)

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Penulis menyadari skripsi ini masih terdapat kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, Februari 2012


(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Kelapa Sawit ... 3

2.2 Karakteristik Lingkungan untuk Kelapa Sawit ... 3

2.3 Ketersediaan Air Kelapa Sawit ... 4

2.4 Aliran Permukaan ... 4

2.5 Sistem Informasi Geografis ... 5

2.6 Penginderaan Jauh... 5

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 7

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 7

3.2 Bahan dan Alat Penelitian ... 8

3.3 Metode Penelitian ... 8

3.3.1 Pengumpulan Data Sekunder ... 9

3.3.2 Pengolahan Citra ALOS AVNIR-2 ... 9

3.3.3 Pengolahan Peta Topografi ... 9

3.3.4 Pengolahan Peta Tanah ... 10

3.3.5 Pengolahan Peta Blok Kebun ... 10

3.3.6 Analisis Potensi Aliran Permukaan ... 10


(10)

3.3.8 Survei Lapang ... 11

3.3.9 Sintesis Data... 12

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

4.1 Faktor-faktor Biofisik yang Mempengaruhi Ketersediaan Air ... 13

4.1.1 Kenampakan Tutupan Lahan berdasarkan Analisis Citra Digital .. 13

4.1.2 Curah Hujan ... 16

4.1.3 Kemiringan Lereng ... 16

4.1.4 Jenis Tanah... 17

4.1.5 Potensi Aliran Permukaan... 19

4.2 Hubungan Potensi Aliran Permukaan dengan Produksi Kelapa Sawit .... 20

4.3 Rekomendasi Pengelolaan Air berdasarkan Potensi Aliran ... 23

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

5.1 Kesimpulan ... 25

5.2 Saran... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 26


(11)

DAFTAR TABEL Teks

1. Skor kemiringan lereng dan jenis tanah ... 10

2. Skor kelas potensi aliran permukaan ... 11

3. Luas daerah dari setiap kemiringan lereng ... 17

4. Kelas Hidrologi Tanah ... 18

5. Data Penurunan Produksi Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor tahun 2009 – 2010 ... 20

6. Korelasi kemiringan lereng, jenis tanah, potensi aliran permukaan dengan penurunan produksi kelapa sawit ... 22

Lampiran 1. Data curah hujan, hari hujan dan kelebihan air PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor ... 29

2. Data Produksi Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor Afdeling I ... 30

3. Data Produksi Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor Afdeling II ... 31


(12)

DAFTAR GAMBAR

1. Peta lokasi PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor……….7 2. Diagram Alur Penelitian ... 8 3. Kenampakan citra ALOS AVNIR-2 (kombinasi band 3,2,1) ... 13

4. Citra ALOS AVNIR-2 Wilayah Perkebunan PT.

PerkebunanNusantara VIII Cimulang, Bogor ... 14 5. Tingkat kerapatan kanopi tanaman kelapa sawit ... 15 6. Tanaman penutup (cover crop) di bawah tanaman kelapa sawit yang

seragam berupa rumput ... 15 7. Curah hujan PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor tahun

2002 – 2010 ... 16 8. Peta kemiringan lereng PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang,

Bogor ... 17 9. Peta jenis tanah (klasifikasi soil taxonomy) PT. Perkebunan

Nusantara VIII Cimulang, Bogor ... 18 10. Peta potensi aliran permukaan PT. Perkebunan Nusantara VIII

Cimulang, Bogor ... 19 11. Sebaran penurunan produksi kelapa sawit (produksi 2009 – 2010) ... 21 12. Grafik produksi kelapa sawit (ton TBS/ ha/ tahun) tahun tanam 2002 ... 22 13. Kenampakan hillshade pada ArcGIS 9.3 untuk melihat daerah


(13)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar. Di Indonesia, penyebarannya sebagian besar terletak di Sumatra dan Kalimantan, serta dalam jumlah luasan yang lebih kecil berada di Jawa, Sulawesi dan Papua. Pada tahun 2007, Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan luas areal 6,78 juta ha (Ditjenbun, 2008). Walaupun produksi kelapa sawit sudah cukup tinggi, namun besarnya kebutuhan terhadap kelapa sawit mendorong perlunya dilakukan pengelolaan perkebunan yang tepat, terarah, dan efisien untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas kelapa sawit, sehingga mampu berkompetisi di pasar internasional.

Seperti telah banyak diketahui, tanaman kelapa sawit membutuhkan air dalam jumlah yang sangat banyak dalam produksinya, sehingga perlu pengelolaan air yang baik agar kebutuhan air dapat terpenuhi. Hal ini membuat ketersediaan air menjadi salah satu faktor pembatas bagi produksi kelapa sawit.

Jika dilihat dari sistem hidrologi yang ada di pekebunan kelapa sawit, sumber air untuk produksi tanaman didapat dari ketersediaan air yang berasal dari air hujan. Air hujan yang jatuh ke tanah sebagian akan diserap oleh tanaman dan sebagian diuapkan kembali ke udara melalui proses evapotranspirasi dan penyerapan air ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Limpasan air yang berlebih dialirkan melalui aliran permukaan. Di perkebunan kelapa sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor, telihat adanya potensi aliran permukaan dan terdapat beberapa blok perkebunan yang mengalami penurunan produksi.

Wilayah Bogor memiliki curah hujan yang tinggi, yaitu sekitar >3000 mm per tahun. Hal ini merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan ketersediaan air. Pada perkebunan kelapa sawit diperlukan suatu pengelolaan air yang dapat meningkatkan efisiensi untuk kebutuhan air tanaman kelapa sawit. Salah satu bentuk pengelolaan air yang ada di perkebunan sawit untuk menjaga ketersediaan air yaitu berupa embung. Di perkebunan PT. Perkebunan Nusantara


(14)

VIII belum terdapat embung. Embung dapat meningkatkan cadangan air tanah sehingga ketersediaan air dapat terjaga saat curah hujan belum dapat mencukupi kebutuhan air untuk tanaman kelapa sawit.

Sejauh ini penelitian tentang pengaruh potensi ketersediaan air terhadap produktivitas kelapa sawit belum banyak dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis potensi ketersediaan air dengan sistem informasi geografis (GIS) untuk melihat pengaruhnya terhadap produksi kelapa sawit. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan data penunjang yang dapat meningkatkan efisiensi pekerjaan, khususnya dalam analisis pengaruh potensi ketersediaan air terhadap produktivitas kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit PT Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis ketersediaan air berdasarkan faktor-faktor biofisik lahan.

2. Menganalisis faktor penyebab penurunan produksi kelapa sawit di PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor.


(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelapa Sawit

Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah spesies Cococidae yang paling besar habitusnya. Tanaman ini membutuhkan air sekitar 1950 mm per tahun dengan curah hujan sekitar 2000 mm yang merata sepanjang tahun tanpa bulan kering yang nyata (Pahan, 2006). Tanaman ini memiliki adaptasi yang tinggi terhadap keadaan fisik dan kimia tanah yang kurang sesuai, antara lain pada tanah yang bertekstur ringan (pasir berlempung, lempung berpasir, lempung berliat dan liat berpasir), bertsruktur remah, permeabilitas sedang, serta tanah harus mampu menahan air dengan kedalaman air sekitar 100 – 200 cm dan dengan kelas drainase baik (Mangoensoekarjo, 2007).

2.2 Karakteristik Lingkungan untuk Kelapa Sawit

Menurut Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (2008) lama penyinaran matahari yang baik untuk kelapa sawit adalah antara 5 – 7 jam/hari. Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan 1.500 - 4.000 mm, temperatur optimal 24 – 28°C. Ketinggian tempat yang ideal untuk sawit antara 1-500 m dpl (di atas permukaan laut). Kelembaban optimum yang ideal untuk tanaman sawit sekitar 80 – 90% dan kecepatan angin 5 – 6 km/jam untuk membantu proses penyerbukan.

Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah Podsolik, Latosol, Alluvial atau Regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara sungai. Tingkat kemasaman (pH) yang optimum untuk sawit adalah 5,0 - 5,5. Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase baik dan memiliki lapisan solum cukup dalam (80 cm) tanpa lapisan padas. Kemiringan lahan pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 15°.

Penanaman tanaman kacang-kacangan penutup tanah (LCC) pada areal tanaman kelapa sawit sangat penting karena dapat memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi tanah, mencegah erosi dan mempertahankan kelembaban tanah, serta menekan pertumbuhan gulma. Penanaman tanaman kacangkacangan sebaiknya dilaksanakan segera setelah persiapan lahan selesai. Jenis-jenis tanaman


(16)

kacang-kacangan yang umum di perkebunan kelapa sawit adalah Centrosema

pubescens, Colopogonium mucunoides dan Pueraria javanica. Biasanya

penanaman tanaman kacangan ini dilakukan tercampur (tidak hanya satu jenis).

2.3 Ketersediaan Air Kelapa Sawit

Kelapa sawit membutuhkan air dalam jumlah banyak untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan dan produksi. Tanaman ini dikembangkan pada daerah yang memiliki curah hujan tinggi yaitu lebih dari 2000 mm/ tahun atau paling sedikit 150 mm/ bulan atau berkisar 1700 – 3000 mm/ tahun atau sebesar 5 – 6 mm/ hari tergantung pada umur tanaman dan cuaca, serta periode kering yang nyata atau bulan kering kurang dari satu bulan per tahun.

Salah satu upaya pengendalian aliran permukaan dan erosi yang dapat dilakukan adalah dengan peresapan air hujan yang jatuh ke dalam tanah, sehingga dapat mengurangi proporsi air yang mengalir di permukaan tanah. Peresapan air ke dalam tanah tersebut disamping dapat mengurangi aliran permukaan dan erosi, juga dapat meningkatkan cadangan air tanah dan air bawah tanah. Air yang tersimpan sebagai air tanah dan air bawah tanah tertahan lebih lama pada areal tersebut, sehingga diharapkan dapat menjadi cadangan air bagi tanaman kelapa sawit pada saat tidak terjadi hujan atau pada musim kemarau yang pada gilirannya mampu meningkatkan produksi tanaman kelapa sawit (Murtilaksono et. al, 2007).

2.4 Aliran Permukaan

Aliran permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai, danau dan lautan (Asdak, 2004). Arsyad (2000) menjelaskan aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan tanah dan terjadi apabila intensitas hujan lebih besar dari laju infiltrasi. Aliran permukaan merupakan penyebab terjadinya erosi, karena befungsi sebagai pengangkut bahan-bahan tanah.

Rahim (2003) menyatakan bahwa jumlah aliran yang menjadi limpasan sangat bergantung pada jumlah air hujan per satuan waktu (intensitas), keadaan penutupan lahan, topografi (terutama kemiringan lereng), jenis tanah dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya. Topografi merupakan sifat fisik lahan


(17)

yang sangat berpengaruh terhadap aliran permukaan. Kemiringan lereng, wilayah depresi dan waktu konsentrasi merupakan komponen yang termasuk di dalam nya. Sifat fisik tanah seperti tekstur tanah juga merupakan faktor yang perlu diperhitungkan dalam menganalisis besarnya laju aliran permukaan.

2.5 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografi (SIG) atau Geographic Information Sistem (GIS) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Analsisis multitemporaldata satelit merupakan metode yang efektif untuk memperoleh informasi tentang fenomena perkembangan lahan pertanian maupun pola perubahannya. Penggabungan data penginderaan jauh dengan sistem informasi geografis sangat baik memberikan informasi yang berkualitas. Sistem informasi geografis berfungsi untuk menganalisa perubahan secara multitemporal (Anthoni et al., 2011).

2.6 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan teknologi untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Dengan menggunakan berbagai sensor kita dapat mengumpulkan data dari jarak jauh yang dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang diteliti (Lillesand dan Kiefer, 1979). Data penginderaan jauh didapatkan melalui satelit Landsat, SPOT, Ikonos, Quickbird, ALOS dan sebagainya.

Satelit ALOS merupakan satelit buatan Jepang yang memiliki tiga instrumen, yaitu Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) untuk pemetaan elevasi secara digital, the Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2 (AVNIR-2) untuk observasi tutupan lahan, serta the


(18)

Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)untuk observasi

keadaan cuaca (siang dan malam). Kemampuan sensor AVNIR (Advanced

Visible and Near Infrared Radiometer) dapat membantu dalam pemantauan kondisi suatu daerah yang diinginkan, sehingga dapat dimanfaatkan dalam penyusunan peta penggunaan lahan atau peta vegetasi terutama dengan band cahaya tampak (visible) dan inframerah dekat (near infrared).

Kementerian Pertanian telah melakukan penelitian pemetaan kelapa sawit dengan menggunakan citra satelit ALOS AVNIR-2 meliputi luas 101.785.741 ha yang sebagian besar tersebar di wilayah Indonesia. Provinsi Sumatra Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Papua Barat memiliki lahan-lahan yang potensial untuk pengembangan kelapa sawit dengan luasan lebih dari dua juta hektar (Barus et al., 2010).

Koh et al. (2011) telah menggunakan citra satelit ALOS untuk pemetaan perkebunan kelapa sawit. Dalam penelitiannya, ada tiga langkah yang digunakan untuk pemetaan perkebunan kelapa sawit menggunakan citra satelit ALOS. Pertama, klasifikasi digital tutupan lahan dengan klasifikasi terbimbing. Kedua, intepretasi manual menjadi beberapa kelas tutupan lahan. Ketiga, mengidentifikasi dengan ALOS Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar. Perkebunan kelapa sawit yang dapat diidentifikasi dengan menggunakan metode ini terbatas pada tanaman menghasilkan.


(19)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dari tanggal 24 Oktober sampai 23 Desember 2011, yang berlokasi di PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor, Jawa Barat yang terletak diantara 6° 29΄ 40΄΄ –6° 32΄ 00΄΄ Lintang Selatan dan 106° 42΄ 20 –

106° 45΄ 20΄΄ Bujur Timur. Perkebunan ini memiliki luas lahan sekitar 1008,64

ha. Wilayah perkebunan PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor Afdeling I dan II berbatasan dengan:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Parung Kabupaten Bogor. 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Bogor.

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Dramaga dan Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor.

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cibungbulang, Kecamatan Rumpin, dan Kecamatan Parung Kabupaten Bogor.

Gambar 1. Peta lokasi PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laborartorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.


(20)

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan adalah citra ALOS AVNIR-2 Bogor Barat tahun 2009, Peta Rupa Bumi skala 1:25.000 Lembar Leuwiliang, Kabupaten Bogor (BAKOSURTANAL, 1999). Kemudian digunakan peta blok kebun tahun, peta jenis tanah, peta elevasi, peta kemiring lereng, data curah hujan yang mewakili tahun 2002 – 2010 dan data produksi kelapa sawit tahun 2005 – 2010 dari PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor. Alat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System) dan seperangkat komputer yang dilengkapi aplikasi ArcView GIS 3.3, ArcGIS 9.3, MINITAB 14, M.S Office 2007, dan Adobe Photoshop CS3.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap pengumpulan data, tahap pengolahan data, tahap pengambilan data lapang, dan analisis data. Diagram alur penelitian disajikan pada Gambar 2.


(21)

3.3.1 Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan adalah peta perkebunan (topografi, jenis tanah dan tahun tanam), data produksi dan data curah hujan dari PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor, citra ALOS AVNIR-2. Sedangkan data lapang diperoleh langsung dari lokasi penelitian yaitu permasalahan dalam pengelolaan air.

3.3.2 Pengolahan Citra ALOS AVNIR-2

Citra ALOS AVNIR-2 diolah dengan menggunakan software Arc GIS 9.3. Tahap pengolahan citra ALOS AVNIR-2 meliputi koreksi geometrik, kombinasi band dan pemotongan citra (cropping). Koreksi geometrik atau rektifikasi bertujuan untuk memperbaiki distorsi geometrik, sehingga diperoleh citra dengan sistem proyeksi dan koordinat seperti yang ada di peta. Koreksi geometrik dilakukan dengan cara menyesuaikan suatu daerah yang sama antara citra yang telah terkoreksi dengan citra yang belum terkoreksi. Kombinasi dilakukan untuk mengetahui kenampakan citra dengan warna natural (natural color) kombinasi band 3, 2 dan 1 (RGB) sehingga dapat melihat tutupan lahan (landcover). Pemotongan citra dilakukan untuk mendapatkan lokasi penelitian pada citra tersebut menggunakan softwareArc GIS 9.3.

3.3.3 Pengolahan Peta Topografi

Pengolahan peta topografi bertujuan untuk mendapatkan peta kemiringan lereng dan peta kelas elevasi dengan menggunakan software Arc View 3.3. Peta kemiringan lereng diperoleh dari analisis kontur dan dilakukan digitasi peta kelas kemiringan lereng kebun yang dibuat kembali dengan analisis kontur dari Peta Rupa Bumi skala 1:25.000 lembar Leuwiliang sebagai referensi.

Peta kelas elevasi diperoleh dari digitasi peta elevasi kebun yang dibuat kembali dari peta elevasi kebun yang sudah ada dengan referensi Peta Rupa Bumi skala 1:25.000 lembar Leuwiliang sebagai referensi. Kemudian dilakukan pengkelasan elevasi yang disesuaikan dengan interval yang ada di peta dan dirubah ke dalam bentuk digital (vektor).


(22)

3.3.4 Pengolahan Peta Tanah

Peta tanah digunakan untuk mendapatkan informasi jenis tanah dan fisiografi atau bentuk wilayah, sehingga dapat terbentuk peta jenis tanah di daerah penelitian. Peta tanah yang digunakan adalah peta tanah kebun yang sudah ada yang kemudian dibuat (digitasi) kembali dalam bentuk digital (vektor).

3.3.5 Pengolahan Peta Blok Kebun

Peta blok kebun digunakan untuk mendapatkan informasi lokasi dari tiap blok kebun dan tahun tanam kelapa sawit yang berasal dari denah blok kebun. Peta blok kebun yang digunakan adalah peta bidang blok kebun hasil scanning data batas blok wilayah kebun tahun 2011 yang kemudian dilakukan digitasi sehingga menjadi bentuk digital (vektor). Setelah itu dimasukkan data-data tabularnya berupa informasi batas wilayah, batas wilayah tiap blok, tahun tanam kelapa sawit dan data produktivitas di tiap blok kebun dari tahun 2005 – 2010.

3.3.6 Analisis Potensi Aliran Permukaan

Potensi aliran permukaan ditentukan dengan manggunakan variabel, yaitu jenis tanah dan kemirngan lereng. Tahapan yang dilakukan dengan sistem pembobotan (skoring) yaitu dengan membuat nilai dari setiap variabel dan nilai tersebut dimasukkan ke dalam atribut data. Nilai (skor) untuk setiap variabel disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Skor kemiringan lereng dan jenis tanah Kemiringan lereng

(%) Skor

Jenis tanah Skor

0 – 8 1 Latosol Cokelat Kemerahan 1

8 - 15 2 Oksisol 2

15 - 25 3 Podsolik Merah Kuning 3


(23)

Penentuan potensi aliran permukaan dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis pada software ArcView GIS 3.3. Selanjutnya dilakukan perhitungan dengan melakukan perkalian skor kemiringan lereng dengan jenis tanah untuk mendapatkan jumlah skor sehingga dapat ditentukan kelas potensi aliran permukaan. Dari hasil jumlah skor tersebut kemudian dilakukan pengolahan atribut data secara spasial dalam bentk digital yang diubah menjadi bentuk vektor berdasarkan kelas potensi aliran yang telah dibuat sehingga didapatkan pola persebaran kelas potensi aliran permukaan. Daerah yang memiliki tingkat potensi aliran permukaan tinggi akan memiliki jumlah skor yang tinggi, sebaliknya daerah yang memiliki tingkat potensi aliran permukaan rendah akan memiliki jumlah skor yang rendah. Skor tingkat potensi aliran permukaan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Skor kelas potensi aliran permukaan Kelas potensi aliran

permukaan Jumlah skor

Tinggi 9 – 12

Sedang 5 – 8

Rendah 1 – 4

3.3.7 Analisis Hidrologi

Analisis hidrologi dilakukan untuk menentukan calon lokasi pembuatan embung. Analsis tersebut dilakukan menggunakan tools Hydrology pada ArcGIS 9.3 dengan DEM (digital elevation model) sebagai input yang kemudian diolah kedalam pola alirandengan memperhitungkan slope, flow direction dan flow accumulation. Calon lokasi pembuatan embung diproses pada beberapa tempat yang terdapat akumulasi pola aliran intermitten (aliran tadah hujan).

3.3.8 Survei Lapang

Survei lapang dilakukan pada tanggal 26 dan 31 Oktober 2011, serta tanggal 6 dan 7 Desember 2011 untuk mengetahui kecocokan hasil interpretasi citra dan data lapangan. Pada saat survei lapang juga dilakukan wawancara dengan pengelola kebun untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan pengelolaan air yang ada di lokasi penelitian.


(24)

3.3.9 Sintesis Data

Proses analisis dimulai dengan menganalisis hasil wawancara di lokasi pengamatan yang didapat saat survei lapang, kemudian dilakukan analisis untuk melihat faktor-faktor fisik lahan terhadap produktivitas, khususnya dalam hal pengelolaan air dan aliran permukaan, serta dilakukan penentuan faktor fisik mana yang paling berpengaruh terhadap perubahan produktivitas.

Untuk melihat keterkaitan faktor-faktor fisik dengan produktivitas, dilakukan perhitungan nilai korelasi dengan menggunakan MINITAB 14, yaitu dengan melakukan korelasi data produksi, kemiringan lereng, jenis tanah dan potensi aliran permukaan dengan melihat nilai korelasi serta nilai p-value yang <0.005 dari setiap faktor. Hasil dari analisis korelasi data akan menjelaskan hubungan keterkaitan faktor-faktor biofisik dengan produktivitas.


(25)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Faktor-faktor Biofisik yang Mempengaruhi Ketersediaan Air 4.1.1 Kenampakan Tutupan Lahan berdasarkan Analisis Citra Digital

Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 Bogor Barat tahun 2009 seperti yang tampak pada Gambar 3. Kombinasi band yang digunakan pada penelitian ini adalah kombinasi antara band 3, 2, dan 1 (RGB) yang menghasilkan kenampakan alami (natural color). Interpretasi secara visual pada Citra ALOS AVNIR-2 dilakukan berdasarkan pada unsur-unsur interpretasi yaitu rona, pola, tekstur, ukuran, bentuk, bayangan, site dan asosiasi.


(26)

Dari hasil pemotongan (Gambar 4) citra ALOS AVNIR-2 pada kombinasi band 3, 2 dan 1 (RGB), dapat terlihat tutupan lahan sebagian besar berupa vegetasi, yaitu perkebunan kelapa sawit. Interpretasi secara visual menunjukkan kenampakan tutupan lahan berupa kebun kelapa sawit dengan melihat unsur-unsur interpretasi yang khas kebun kelapa sawit yaitu memiliki rona hijau, tekstur kasar dan terdapat sungai tersebut serta aksesibilitas berupa jalan di areal perkebunan.

Gambar 4. Citra ALOS AVNIR-2 Wilayah Perkebunan PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor

Kenampakan pada tutupan lahan kanopi berdasarkan umur tanaman kelapa sawit (Gambar 5) menunjukkan adanya perbedaan secara visual yaitu kerapatan kanopi tanaman kelapa sawit (semakin rapat semakin gelap warnanya). Tetapi pada keadaan di lapangan seperti yang terlihat di Gambar 6, permukaan bawah tanaman kelapa sawit memiliki tanaman penutup (cover crop) yang seragam yaitu berupa rumput.


(27)

Gambar 5. Tingkat kerapatan kanopi tanaman kelapa sawit

Gambar 6. Tanaman penutup (cover crop) di bawah tanaman kelapa sawit yang seragam berupa rumput


(28)

4.1.2 Curah Hujan

Curah hujan dari tahun 2002 – 2010 di wilayah Perkebunan PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor diasumsikan seragam, karena hanya terdapat satu alat pengukur curah hujan di lokasi perkebunan. Curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2009 sebesar 4116 mm yang disajikan pada Gambar 7 dengan curah hujan tertinggi pada bulan November (790 mm) dan terendah pada bulan Agustus (70 mm), serta didapat rata-rata curah hujan tahun 2002 – 2010 sekitar 3482 mm/tahun, yang diasumsikan nilainya sama di seluruh wilayah perkebunan PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor.

Gambar 7. Curah hujan tahunan PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor

4.1.3 Kemiringan Lereng

Gambar 8 adalah peta kemiringan lereng yang menunjukkan pembagian kelas lereng di wilayah perkebunan PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor. Berdasarkan peta kelas kemiringan lereng tersebut, wilayah perkebunan didominasi oleh kelas kemiringan lereng curam (15 – 25%) dengan luas 569.91 ha

yang terdapat di bagian tengah daerah perkebunan, sedangkan daerah yang datar (0 – 8%) dengan luas 304.60 ha terdapat di bagian Utara dan Selatan daerah perkebunan.

0 1500 3000 4500

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

cu

ra

h

h

u

ja

n

(m

m


(29)

Gambar 8. Peta kemiringan lereng PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor

Tabel 3. Luas daerah dari setiap kemiringan lereng Kemiringan lereng

(%)

Luas (ha)

Persentasi (%)

0 - 8 304,60 30,02

8 - 15 65,12 6,46

15 - 25 569,91 56,50

25 - 40 69,01 6,84

Total luas 1008,64 100,00

4.1.4 Jenis Tanah

Jenis tanah yang ada di perkebunan kelapa sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor Wilayah yang disajikan pada Gambar 9, didominasi oleh jenis tanah Podsolik Merah Kuning yang persebarannya terdapat pada blok 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 27, 28, 29, 30, 31, 32 dan 38.


(30)

Gambar 9. Peta jenis tanah PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor

Tabel 4 merupakan tabel kelas hidrologi tanah yang menunjukkan tipe dari setiap kelas yang berdasarkan potensi aliran, tekstur tanah, kedalaman solum, agregat, permeabilitas dan laju infiltrasi.

Tabel 4. Kelas Hidrologi Tanah

Kelas Hidrologi

Tanah Deskripsi Jenis Tanah

A

Potensi aliran permukaan rendah; tekstur pasir dan lempeng, solum dalam, tekstur debu agregat baik, permeabilitas cepat (laju infiltrasi minimum: 7,62 – 11,43 mm/ jam)

B

Potensi aliran permukaan agak rendah ; seperti pada kelompok A Tetapi bersolum dangkal, permeabilitas sedang – tinggi(laju infiltrasi minimum: 3,81 – 7,62 mm/jam)

C

Potensi aliran permukaan agak tinggi; tekstur lempung berliat, lempung berpasir dengan solum dangkal, tanah dengan kandungan bahan organik rendah dan tanah dengan kandungan liat tinggi, permeabilitas rendah (laju infiltrasi minimum: 1,27 - 3,81 mm/ jam)

Latosol Cokelat Kemerahan

D

Potensi aliran permukaan tinggi; meliputi tanah berkadar liat tinggi yang mudah mengembang ketika basah, tanah yang mempunyai lapisan impermeable dekat permukaan atau tanah salin tertentu (laju infiltrasi minimum: 0 – 1,27 mm/ jam)

Podsolik Merah Kuning

Berdasarkan deskripsi tabel kelas hidrologi tanah tersebut, kelas hidrologi tanah di wilayah perkebunan PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor termasuk ke dalam kelas hidrologi tanah C pada jenis tanah Latosol Cokelat Kemerahan, sedangkan tanah Podsolik Merah Kuning termasuk pada kelas


(31)

hidrologi tanah D. Menurut hasil penelitian Marieta (2011), di wilayah perkebunan PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor jenis tanah Latosol Cokelat Kemerahan karena memiliki ketebalan solum ± 143 cm dengan laju infiltrasi ± 1,31 cm/jam, sedangkan untuk jenis tanah Podsolik Merah Kuning memiliki solum ± 103 cm dengan laju infiltrasi ± 1,55 cm/jam

.

4.1.5 Potensi Aliran Permukaan

Pola potensi aliran permukaan yang dianalisis dari hasil gabungan data atribut yang berupa data kemiringan lereng, jenis tanah dan kelas hidrologi tanah disajikan pada Gambar 10. Dari hasil dapat terlihat bahwa potensi aliran permukaan hampir di seluruh wilayah memiliki potensi aliran yang tinggi. Potensi aliran permukaan yang tinggi dominan terjadi di sebagian besar wilayah perkebunan yaitu di bagian tengah wilayah perkebunan, sedangkan daerah perkebunan yang memiliki potensi aliran rendah terdapat di bagian Tenggara, Selatan dan Barat Laut. Hal ini mengakibatkan air yang berlebih mengalir dari tempat yang lebih tinggi dengan kemiringan lereng yang lebih curam ke tempat yang lebih rendah dan lebih datar, sehingga ketersediaan air pada daerah yang lebih rendah dan lebih datar menjadi berlebih.

Gambar 10. Peta potensi aliran permukaan PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor


(32)

4.2 Hubungan Potensi Aliran Permukaan dengan Produksi Kelapa Sawit

Pada beberapa blok kebun terdapat penurunan produksi kelapa sawit (ton TBS/ha/tahun) yang disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi potensi aliran permukaan. Penurunan produksi kelapa sawit tidak terjadi di sebagian besar wilayah perkebunan, tetapi penurunan produksi terlihat di wilayah perkebunan bagian Timur dan Barat, yaitu di blok 1, 2, 4, 5, 6, 8, 10, 11, 12, 18, 27, 28, 29, 30, 33, 34 dan 35.

Potensi aliran permukaan akan menjadi lebih tinggi jika terdapat pada lereng yang lebih curam, sebaliknya potensi aliran permukaan akan lebih rendah jika terdapat pada lereng yang lebih datar. Tetapi hal tersebut belum tentu terjadi pada daerah lembah yang merupakan daerah akumulasi dari aliran permukaan yang berasal dari tempat yang lebih tinggi dengan kemiringan lereng yang curam sehingga dapat menyebabkan aliran permukaan menjadi lebih tinggi yang akhirnya keadaan tanah menjadi jenuh air.

Tabel 5. Data Penurunan Produksi Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor tahun 2009 – 2010

Jenis Tanah Kemiringan Lereng (%)

Produksi ton TBS/ ha/ tahun Penurunan Produksi (%) Blok Produksi 2009 Produksi 2010

Latosol Cokelat Kemerahan 0 – 8 22.54 20.88 7.36 4

Latosol Cokelat Kemerahan 0 – 8 24.97 22.69 9.13 11

Latosol Cokelat Kemerahan 0 – 8 25.99 22.38 13.90 12

Latosol Cokelat Kemerahan 0 – 8 24.47 17.97 26.56 1

Latosol Cokelat Kemerahan 0 – 8 26.80 19.02 29.03 2

Oksisol 15 – 25 26.03 24.65 5.28 35

Oksisol 8 – 15 25.93 24.37 6.01 33

Oksisol 8 – 15 25.35 21.03 17.04 34

Podsolik Merah Kuning 15 – 25 25.13 24.82 1.26 10

Podsolik Merah Kuning 15 – 25 25.18 24.65 2.11 8

Podsolik Merah Kuning 15 – 25 19.31 18.76 2.84 30

Podsolik Merah Kuning 15 – 25 18.39 17.54 4.65 28

Podsolik Merah Kuning 15 – 25 27.94 26.56 4.94 18

Podsolik Merah Kuning 15 – 25 12.61 11.43 9.32 29

Podsolik Merah Kuning 15 – 25 23.85 21.30 10.71 6

Podsolik Merah Kuning 15 – 25 28.47 25.39 10.84 5


(33)

Penurunan produksi terbesar terjadi di Blok 2, yang terdapat pada jenis tanah Latosol Cokelat Kemerahan dan kemiringan lereng 0 – 8% yang merupakan daerah terakumulasinya aliran permukaan, yaitu sebesar 29,03% dari produksi 26,80 ton TBS/ha/tahun pada tahun 2009 menjadi 19,02 ton TBS/ha/tahun pada tahun 2010 yang disajikan pada Tabel 5. Sunarko (2007) menyatakan bahwa drainase yang buruk dapat menghambat penyerapan unsur hara dan proses nitrifikasi akan terganggu, sehingga tanaman akan kekurangan unsur nitrogen. Hal ini dapat mempengaruhi proses pembungaan, serta curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan buah sawit yang dihasilkan menjadi lebih sedikit pada produksi tahun berikutnya. Penyebaran penurunan produksi kelapa sawit disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Sebaran penurunan produksi kelapa sawit (produksi 2009 – 2010) Penurunan produksi kelapa sawit terbesar terjadi pada tahun tanam 2002 (Gambar 12). Hal ini dapat disebabkan karena perakaran tanaman bertambah luas sehingga terdapat persaingan dalam penyerapan unsur hara di dalam tanah. Posisi tanaman kelapa sawit tahun tanam 2002 juga yang terdapat di daerah yang relatif datar (lembah) yang merupakan daerah akumulasi dari aliran permukaan yang berasal dari daerah yang lebih tinggi dan berlereng lebih curam sehingga kondisi


(34)

tanah yang berada di daerah yang lebih rendah dan relatif datar (lembah) menjadi jenuh oleh air karena drainase tanah menjadi buruk.

Gambar 12. Grafik produksi kelapa sawit (ton TBS/ ha/ tahun) tahun tanam 2002

Tabel 6. Korelasi kemiringan lereng, jenis tanah, potensi aliran permukaan dengan penurunan produksi kelapa sawit

Kemiringan lereng

Penurunan

produksi Jenis tanah

Potensi aliran permukaan Penurunan produksi -0,674 0,003*

Jenis tanah 0,233 -0,404

0,368 0,108

Potensi aliran permukaan

0,808 -0,565 0,359

0,000* 0,018* 0,157

Tahun tanam 0,666 -0,723 0,334 0,595

0,003* 0,001* 0,190 0,012*

Keterangan : Nilai korelasi P-Value

*) nyata pada selang kepercayaan >95% (p-value <0,050)

Penurunan produksi memiliki korelasi terhadap kemiringan lereng karena mempunyai hubungan linier negatif (mendekati -1) yaitu -0,674, artinya semakin miring lereng maka semakin rendah penurunan produksi. Kemiringan lereng

Produksi Tahun 2005 Produksi Tahun 2006 Produksi Tahun 2007 Produksi Tahun 2008 Produksi Tahun 2009 Produksi Tahun 2010

Blok 1 2,87 16,97 25,31 26,93 24,47 17,97

Blok 2 2,84 14,42 26,11 25,96 26,80 19,02

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 to n TB S/ ha / ta hun


(35)

memiliki korelasi sangat kuat terhadap potensi aliran permukaan karena mempunyai hubungan semakin kuat (nilai korelasi 0,75 – 0,99) yaitu 0,808, artinya semakin miring lereng maka semakin tinggi potensi aliran permukaan. Potensi aliran permukaan memiliki korelasi yang signifikan terhadap penurunan produksi karena hubungan keduanya signifikan (nilai p-value < 0,05) yaitu 0,018, artinya semakin rendah potensi aliran permukaan maka penurunan produksi semakin tinggi, tetapi masih terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi tingkat produksi.

4.3 Rekomendasi Pengelolaan Air berdasarkan Potensi Aliran

Salah satu upaya pengedalian aliran permukaan adalah dengan perespan air hujan yang jatuh ke dalam tanah, sehingga dapat mengurangi proporsi air yang mengalir di permukaan tanah, misalnya dengan membuat rorak (sebagai embung yang kecil). Selain dapat mengurangi aliran permukaan, peresapan air ke dalam tanah dapat meningkatkan cadangan air tanah, sehingga diharapkan dapat menjadi cadangan air bagi tanaman kelapa sawit pada saat tidak terjadi hujan atau pada musim kemarau yang pada gilirannya mampu meningkatkan produksi tanaman kelapa sawit (Murtilaksono et al., 2007).

Dari hasil analisis hidrologi yang disajikan pada Gambar 13, didapatkan hasil berupa arah aliran air, khususnya sungai tadah hujan (intermiten) pada kumpulan arah aliran yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air. Posisi dari embung yang digunakan untuk tangkapan air berada setelah di pertemuan beberapa aliran yang ada di wilayah perkebunan. Penentuan posisi embung ditentukan berdasarkan kondisi topografi yang terdapat alur atau cekungan tempat melintasnya aliran air dan berdasarkan kondisi tanah yang strukturnya kuat untuk menampung air. Rekomendasi calon posisi embung terdapat pada blok 9

(106°42΄39΄΄ Bujur Timur 6°30΄54΄΄ Lintang Selatan), blok 16 (106°43΄19΄΄ Bujur Timur 6° 31΄ 8΄΄ Lintang Selatan) , blok 20 (106°43΄37΄΄ Bujur Timur 6°31΄1΄΄ Lintang Selatan) dan blok 36 (106°44΄9΄΄ Bujur Timur 6°30΄57΄΄


(36)

Gambar 13. Kenampakan hillshade pada ArcGIS 9.3 untuk melihat daerah cekungan


(37)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Ketersediaan air untuk tanaman kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII rendah dan sebaliknya potensi aliran permukaannya tinggi.

2. Penurunan produksi memiliki korelasi terhadap kemiringan lereng karena mempunyai hubungan linier negatif (mendekati -1) yaitu -0,674.

Kemiringan lereng memiliki korelasi sangat kuat terhadap potensi aliran permukaan karena mempunyai hubungan semakin kuat (nilai korelasi 0,75

– 0.99) yaitu 0,808. Potensi aliran permukaan mempengaruhi penurunan produksi kelapa sawit karena korelasi keduanya signifikan (nilai p-value <0,05) yaitu 0,018.

3. Untuk mengurangi aliran permukaan yang berada dalam lokasi

perkebunan, direkomendasikan untuk membangun embung (penyimpan air permukaan) yang terdapat di blok 9, 16, 20 dan 36.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan pembuatan embung untuk menjaga ketersediaan air (cadangan air tanah) di saat musim kemarau.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode lain dan data (variabel) yang lebih menunjang.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang estimasi besarnya debit aliran serta ukuran embung yang akan dibuat pada lokasi yang telah direkomendasikan agar jumlah air yang dapat ditampung sesuai dengan kebutuhan.


(38)

DAFTAR PUSTAKA

Anthoni, A. J., M.Taufik, Wiweka dan F. Muchsin. 2011. Evaluasi ketersediaan lahan pertanian padi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor

Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Kelapa Sawit.

Barus, B dan U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografis. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Program Studi Ilmu Tanah.

Barus, B, M. Selari, I. Lubis, S. Rahardja, H. Agung, H. Wijaya, Supijatno, LS Iman, B.H. Trisasongko dan D. Shiddiq. 2010. Pemetaan komoditas perkebunan kelapa sawit, karet dan kakao dan industrinya di Indonesia. http://bbarus.staff.ipb.ac.id/2012/03/06/pemetaan-komoditas-perkebunan -kelapa-sawit-karet-dan-kakao-dan-industrinya-di-indonesia-mapping-of-oilpalm-rubber-and-cacao-plantation-and-its-industriy-in-indonesia/, Diakses tanggal [18 Maret 2012]

Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. 2008. Komitmen Pemerintah Membangun Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan.

Koh, L P., J. Miettinen, S.C. Liew, dan J. Ghazoula. 2011. Remotely sensed evidence of tropical peatland conversion to oil palm. PNAS 108: 5127 – 5132.

Lillesand, TM, Kiefer RW. 1979. Remote Sensing and Image Interpretation. (Terjemahan Dulbahri et al.). 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Mangoensoekarjo, S. 2007. Manajemen Tanah dan Pemepukan Budidaya Perkebunan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Marieta. 2011. Karakteristik Sifat Fisik dan Hidrologi Tanah pada berbagai Penggunaan Lahan (Studi Kasus di Desa Cimulang, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Bogor: Skripsi Program studi Ilmu Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. Institut Prtanian Bogor.

Murtilaksono, K., H. H. Siregar dan W. Darmosarkoro. 2007. Model neraca air di perkebunan kelapa sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 15: 21 – 35.


(39)

Pahan, I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Bogor: Penebar Swadaya.

Rahim, S.E. 2003. Pengendalian Erosi Tanah dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Bumi Aksara. Jakarta.

Sunarko. 2007. Petunjuk Praktis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit. PT AgroMedia Pustaka. Jakarta.


(40)

(41)

Tabel Lampiran 1. Data curah hujan dan hari hujan PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor

Tahun Uraian Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jumlah

2002 Curah Hujan (mm) 652 637 311 404 183 184 277 94 132 209 366 406 3855

Hari Hujan (hari) 21 22 8 14 12 8 13 2 5 10 23 20 158

2003 Curah Hujan (mm)

197 449 337 247 246 158 17 243 205 241 276 284 2900

Hari Hujan (hari) 9 21 18 15 17 6 1 7 9 14 12 20 149

2004 Curah Hujan (mm) 231 301 229 495 249 111 132 106 392 278 441 411 3376

Hari Hujan (hari) 13 20 14 22 12 4 8 1 13 11 28 13 159

2005 Curah Hujan (mm)

413 397 341 235 308 766 137 154 295 330 271 317 3964

Hari Hujan (hari) 18 16 16 10 8 20 10 8 10 6 4 14 140

2006 Curah Hujan (mm) 545 315 203 206 299 164 95 184 23 122 303 530 2989

Hari Hujan (hari) 21 13 9 10 7 4 6 3 3 5 18 17 116

2007 Curah Hujan (mm)

324 361 195 346 145 191 81 290 96 183 315 437 2964

Hari Hujan (hari) 9 14 10 13 6 9 6 7 7 13 11 24 129

2008 Curah Hujan (mm) 324 361 411 371 220 104 214 195 130 409 390 227 3356

Hari Hujan (hari) 9 18 22 20 11 6 6 10 5 16 12 13 148

2009 Curah Hujan (mm)

364 272 243 325 549 387 90 70 202 740 790 84 4116

Hari Hujan (hari) 14 16 14 17 13 12 4 1 5 13 19 13 141

2010 Curah Hujan (mm) 755 495 278 152 328 211 157 396 345 246 339 120 3822


(42)

Tabel Lampiran 2. Data Produksi Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor Afdeling I

Tahun Tanam No Blok Luas Lahan

(ha)

Pohon/ ha

Produksi 2005 Produksi 2006 Produksi 2007 Produksi 2008 Produksi 2009 Produksi 2010 ton TBS/ha/th ton TBS/ha/th ton TBS/ha/th ton TBS/ha/th ton TBS/ha/th ton TBS/ha/th

2002 1 19.82 132.24 2.87 16.97 25.31 26.93 24.47 17.97

2 35.72 132.73 2.84 14.42 26.11 25.96 26.80 19.02

2003

4 19.13 131.14 4.09 13.86 14.54 22.54 20.88

5 20.58 131.20 2.37 13.64 17.05 28.47 25.39

6 23.60 131.27 2.80 11.99 14.94 23.85 21.30

8 29.87 130.93 2.93 14.20 20.22 25.18 24.65

10 46.85 131.38 2.79 14.49 18.86 25.13 24.82

11 18.90 130.79 2.65 11.40 17.05 24.97 22.69

12 28.67 131.04 2.73 14.00 20.82 25.99 22.38

18 13.25 131.85 2.10 13.10 23.74 27.94 26.56

2004

7 43.62 131.04 2.28 10.67 19.60 22.46

9 46.60 131.05 1.39 9.62 17.44 25.68

13 22.67 131.41 1.79 9.93 18.86 23.48

14 28.12 132.68 1.57 8.66 16.77 18.88

15 17.38 162.43 2.71 14.37 24.13 25.33

17 20.99 108.96 2.58 10.10 17.32 17.74

2005 3 41.99 130.32 4.40 15.23 20.51


(43)

Tabel Lampiran 3. Data Produksi Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor Afdeling II

Tahun Tanam No Blok Luas Lahan (ha)

Pohon/ ha

Produksi 2006 Produksi 2007 Produksi 2008 Produksi 2009 Produksi 2010 ton TBS/ha/th ton TBS/ha/th Ton TBS/ha/th Ton TBS/ha/th Ton TBS/ha/th

2003

33 18.74 134.15 3.38 12.71 19.58 25.93 24.37

34 41.08 130.01 4.07 15.65 20.16 25.35 21.03

35 18.01 122.04 4.78 14.66 18.00 26.03 24.65

36 18.82 139.85 2.96 13.55 16.55 26.46 26.89

38 18.91 144.90 2.68 9.14 11.02 24.26 24.83

2004

19 33.22 132.06 1.28 7.22 17.35 18.95

20 35.52 131.39 1.47 9.92 16.63 20.66

21 22.73 124.68 1.69 13.22 13.86 19.74

27 17.93 131.57 0.65 5.74 13.67 13.51

28 26.98 129.32 1.36 8.21 18.39 17.54

29 29.44 124.52 0.30 5.16 12.61 11.43

30 23.93 128.54 2.34 10.63 19.31 18.76

2005

22 20.50 131.22 3.81 10.62 18.32

23 19.35 131.68 3.99 12.21 17.66

24 32.20 130.99 2.31 6.88 12.91

25 25.86 133.10 4.80 14.46 23.71

26 25.18 137.89 4.65 16.41 28.60

31 26.48 130.51 2.31 7.36 12.91

32 23.92 129.97 2.49 9.24 14.07


(44)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar. Di Indonesia, penyebarannya sebagian besar terletak di Sumatra dan Kalimantan, serta dalam jumlah luasan yang lebih kecil berada di Jawa, Sulawesi dan Papua. Pada tahun 2007, Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan luas areal 6,78 juta ha (Ditjenbun, 2008). Walaupun produksi kelapa sawit sudah cukup tinggi, namun besarnya kebutuhan terhadap kelapa sawit mendorong perlunya dilakukan pengelolaan perkebunan yang tepat, terarah, dan efisien untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas kelapa sawit, sehingga mampu berkompetisi di pasar internasional.

Seperti telah banyak diketahui, tanaman kelapa sawit membutuhkan air dalam jumlah yang sangat banyak dalam produksinya, sehingga perlu pengelolaan air yang baik agar kebutuhan air dapat terpenuhi. Hal ini membuat ketersediaan air menjadi salah satu faktor pembatas bagi produksi kelapa sawit.

Jika dilihat dari sistem hidrologi yang ada di pekebunan kelapa sawit, sumber air untuk produksi tanaman didapat dari ketersediaan air yang berasal dari air hujan. Air hujan yang jatuh ke tanah sebagian akan diserap oleh tanaman dan sebagian diuapkan kembali ke udara melalui proses evapotranspirasi dan penyerapan air ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Limpasan air yang berlebih dialirkan melalui aliran permukaan. Di perkebunan kelapa sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor, telihat adanya potensi aliran permukaan dan terdapat beberapa blok perkebunan yang mengalami penurunan produksi.

Wilayah Bogor memiliki curah hujan yang tinggi, yaitu sekitar >3000 mm per tahun. Hal ini merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan ketersediaan air. Pada perkebunan kelapa sawit diperlukan suatu pengelolaan air yang dapat meningkatkan efisiensi untuk kebutuhan air tanaman kelapa sawit. Salah satu bentuk pengelolaan air yang ada di perkebunan sawit untuk menjaga ketersediaan air yaitu berupa embung. Di perkebunan PT. Perkebunan Nusantara


(45)

VIII belum terdapat embung. Embung dapat meningkatkan cadangan air tanah sehingga ketersediaan air dapat terjaga saat curah hujan belum dapat mencukupi kebutuhan air untuk tanaman kelapa sawit.

Sejauh ini penelitian tentang pengaruh potensi ketersediaan air terhadap produktivitas kelapa sawit belum banyak dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis potensi ketersediaan air dengan sistem informasi geografis (GIS) untuk melihat pengaruhnya terhadap produksi kelapa sawit. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan data penunjang yang dapat meningkatkan efisiensi pekerjaan, khususnya dalam analisis pengaruh potensi ketersediaan air terhadap produktivitas kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit PT Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis ketersediaan air berdasarkan faktor-faktor biofisik lahan.

2. Menganalisis faktor penyebab penurunan produksi kelapa sawit di PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor.


(46)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelapa Sawit

Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah spesies Cococidae yang paling besar habitusnya. Tanaman ini membutuhkan air sekitar 1950 mm per tahun dengan curah hujan sekitar 2000 mm yang merata sepanjang tahun tanpa bulan kering yang nyata (Pahan, 2006). Tanaman ini memiliki adaptasi yang tinggi terhadap keadaan fisik dan kimia tanah yang kurang sesuai, antara lain pada tanah yang bertekstur ringan (pasir berlempung, lempung berpasir, lempung berliat dan liat berpasir), bertsruktur remah, permeabilitas sedang, serta tanah harus mampu menahan air dengan kedalaman air sekitar 100 – 200 cm dan dengan kelas drainase baik (Mangoensoekarjo, 2007).

2.2 Karakteristik Lingkungan untuk Kelapa Sawit

Menurut Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (2008) lama penyinaran matahari yang baik untuk kelapa sawit adalah antara 5 – 7 jam/hari. Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan 1.500 - 4.000 mm, temperatur optimal 24 – 28°C. Ketinggian tempat yang ideal untuk sawit antara 1-500 m dpl (di atas permukaan laut). Kelembaban optimum yang ideal untuk tanaman sawit sekitar 80 – 90% dan kecepatan angin 5 – 6 km/jam untuk membantu proses penyerbukan.

Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah Podsolik, Latosol, Alluvial atau Regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara sungai. Tingkat kemasaman (pH) yang optimum untuk sawit adalah 5,0 - 5,5. Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase baik dan memiliki lapisan solum cukup dalam (80 cm) tanpa lapisan padas. Kemiringan lahan pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 15°.

Penanaman tanaman kacang-kacangan penutup tanah (LCC) pada areal tanaman kelapa sawit sangat penting karena dapat memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi tanah, mencegah erosi dan mempertahankan kelembaban tanah, serta menekan pertumbuhan gulma. Penanaman tanaman kacangkacangan sebaiknya dilaksanakan segera setelah persiapan lahan selesai. Jenis-jenis tanaman


(47)

kacang-kacangan yang umum di perkebunan kelapa sawit adalah Centrosema

pubescens, Colopogonium mucunoides dan Pueraria javanica. Biasanya

penanaman tanaman kacangan ini dilakukan tercampur (tidak hanya satu jenis).

2.3 Ketersediaan Air Kelapa Sawit

Kelapa sawit membutuhkan air dalam jumlah banyak untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan dan produksi. Tanaman ini dikembangkan pada daerah yang memiliki curah hujan tinggi yaitu lebih dari 2000 mm/ tahun atau paling sedikit 150 mm/ bulan atau berkisar 1700 – 3000 mm/ tahun atau sebesar 5 – 6 mm/ hari tergantung pada umur tanaman dan cuaca, serta periode kering yang nyata atau bulan kering kurang dari satu bulan per tahun.

Salah satu upaya pengendalian aliran permukaan dan erosi yang dapat dilakukan adalah dengan peresapan air hujan yang jatuh ke dalam tanah, sehingga dapat mengurangi proporsi air yang mengalir di permukaan tanah. Peresapan air ke dalam tanah tersebut disamping dapat mengurangi aliran permukaan dan erosi, juga dapat meningkatkan cadangan air tanah dan air bawah tanah. Air yang tersimpan sebagai air tanah dan air bawah tanah tertahan lebih lama pada areal tersebut, sehingga diharapkan dapat menjadi cadangan air bagi tanaman kelapa sawit pada saat tidak terjadi hujan atau pada musim kemarau yang pada gilirannya mampu meningkatkan produksi tanaman kelapa sawit (Murtilaksono et. al, 2007).

2.4 Aliran Permukaan

Aliran permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai, danau dan lautan (Asdak, 2004). Arsyad (2000) menjelaskan aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan tanah dan terjadi apabila intensitas hujan lebih besar dari laju infiltrasi. Aliran permukaan merupakan penyebab terjadinya erosi, karena befungsi sebagai pengangkut bahan-bahan tanah.

Rahim (2003) menyatakan bahwa jumlah aliran yang menjadi limpasan sangat bergantung pada jumlah air hujan per satuan waktu (intensitas), keadaan penutupan lahan, topografi (terutama kemiringan lereng), jenis tanah dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya. Topografi merupakan sifat fisik lahan


(48)

yang sangat berpengaruh terhadap aliran permukaan. Kemiringan lereng, wilayah depresi dan waktu konsentrasi merupakan komponen yang termasuk di dalam nya. Sifat fisik tanah seperti tekstur tanah juga merupakan faktor yang perlu diperhitungkan dalam menganalisis besarnya laju aliran permukaan.

2.5 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografi (SIG) atau Geographic Information Sistem (GIS) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Analsisis multitemporaldata satelit merupakan metode yang efektif untuk memperoleh informasi tentang fenomena perkembangan lahan pertanian maupun pola perubahannya. Penggabungan data penginderaan jauh dengan sistem informasi geografis sangat baik memberikan informasi yang berkualitas. Sistem informasi geografis berfungsi untuk menganalisa perubahan secara multitemporal (Anthoni et al., 2011).

2.6 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan teknologi untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Dengan menggunakan berbagai sensor kita dapat mengumpulkan data dari jarak jauh yang dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang diteliti (Lillesand dan Kiefer, 1979). Data penginderaan jauh didapatkan melalui satelit Landsat, SPOT, Ikonos, Quickbird, ALOS dan sebagainya.

Satelit ALOS merupakan satelit buatan Jepang yang memiliki tiga instrumen, yaitu Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) untuk pemetaan elevasi secara digital, the Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2 (AVNIR-2) untuk observasi tutupan lahan, serta the


(49)

Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)untuk observasi

keadaan cuaca (siang dan malam). Kemampuan sensor AVNIR (Advanced

Visible and Near Infrared Radiometer) dapat membantu dalam pemantauan kondisi suatu daerah yang diinginkan, sehingga dapat dimanfaatkan dalam penyusunan peta penggunaan lahan atau peta vegetasi terutama dengan band cahaya tampak (visible) dan inframerah dekat (near infrared).

Kementerian Pertanian telah melakukan penelitian pemetaan kelapa sawit dengan menggunakan citra satelit ALOS AVNIR-2 meliputi luas 101.785.741 ha yang sebagian besar tersebar di wilayah Indonesia. Provinsi Sumatra Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Papua Barat memiliki lahan-lahan yang potensial untuk pengembangan kelapa sawit dengan luasan lebih dari dua juta hektar (Barus et al., 2010).

Koh et al. (2011) telah menggunakan citra satelit ALOS untuk pemetaan perkebunan kelapa sawit. Dalam penelitiannya, ada tiga langkah yang digunakan untuk pemetaan perkebunan kelapa sawit menggunakan citra satelit ALOS. Pertama, klasifikasi digital tutupan lahan dengan klasifikasi terbimbing. Kedua, intepretasi manual menjadi beberapa kelas tutupan lahan. Ketiga, mengidentifikasi dengan ALOS Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar. Perkebunan kelapa sawit yang dapat diidentifikasi dengan menggunakan metode ini terbatas pada tanaman menghasilkan.


(50)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dari tanggal 24 Oktober sampai 23 Desember 2011, yang berlokasi di PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor, Jawa Barat yang terletak diantara 6° 29΄ 40΄΄ –6° 32΄ 00΄΄ Lintang Selatan dan 106° 42΄ 20 –

106° 45΄ 20΄΄ Bujur Timur. Perkebunan ini memiliki luas lahan sekitar 1008,64

ha. Wilayah perkebunan PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor Afdeling I dan II berbatasan dengan:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Parung Kabupaten Bogor. 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Bogor.

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Dramaga dan Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor.

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cibungbulang, Kecamatan Rumpin, dan Kecamatan Parung Kabupaten Bogor.

Gambar 1. Peta lokasi PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laborartorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.


(51)

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan adalah citra ALOS AVNIR-2 Bogor Barat tahun 2009, Peta Rupa Bumi skala 1:25.000 Lembar Leuwiliang, Kabupaten Bogor (BAKOSURTANAL, 1999). Kemudian digunakan peta blok kebun tahun, peta jenis tanah, peta elevasi, peta kemiring lereng, data curah hujan yang mewakili tahun 2002 – 2010 dan data produksi kelapa sawit tahun 2005 – 2010 dari PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor. Alat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System) dan seperangkat komputer yang dilengkapi aplikasi ArcView GIS 3.3, ArcGIS 9.3, MINITAB 14, M.S Office 2007, dan Adobe Photoshop CS3.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap pengumpulan data, tahap pengolahan data, tahap pengambilan data lapang, dan analisis data. Diagram alur penelitian disajikan pada Gambar 2.


(52)

3.3.1 Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan adalah peta perkebunan (topografi, jenis tanah dan tahun tanam), data produksi dan data curah hujan dari PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor, citra ALOS AVNIR-2. Sedangkan data lapang diperoleh langsung dari lokasi penelitian yaitu permasalahan dalam pengelolaan air.

3.3.2 Pengolahan Citra ALOS AVNIR-2

Citra ALOS AVNIR-2 diolah dengan menggunakan software Arc GIS 9.3. Tahap pengolahan citra ALOS AVNIR-2 meliputi koreksi geometrik, kombinasi band dan pemotongan citra (cropping). Koreksi geometrik atau rektifikasi bertujuan untuk memperbaiki distorsi geometrik, sehingga diperoleh citra dengan sistem proyeksi dan koordinat seperti yang ada di peta. Koreksi geometrik dilakukan dengan cara menyesuaikan suatu daerah yang sama antara citra yang telah terkoreksi dengan citra yang belum terkoreksi. Kombinasi dilakukan untuk mengetahui kenampakan citra dengan warna natural (natural color) kombinasi band 3, 2 dan 1 (RGB) sehingga dapat melihat tutupan lahan (landcover). Pemotongan citra dilakukan untuk mendapatkan lokasi penelitian pada citra tersebut menggunakan softwareArc GIS 9.3.

3.3.3 Pengolahan Peta Topografi

Pengolahan peta topografi bertujuan untuk mendapatkan peta kemiringan lereng dan peta kelas elevasi dengan menggunakan software Arc View 3.3. Peta kemiringan lereng diperoleh dari analisis kontur dan dilakukan digitasi peta kelas kemiringan lereng kebun yang dibuat kembali dengan analisis kontur dari Peta Rupa Bumi skala 1:25.000 lembar Leuwiliang sebagai referensi.

Peta kelas elevasi diperoleh dari digitasi peta elevasi kebun yang dibuat kembali dari peta elevasi kebun yang sudah ada dengan referensi Peta Rupa Bumi skala 1:25.000 lembar Leuwiliang sebagai referensi. Kemudian dilakukan pengkelasan elevasi yang disesuaikan dengan interval yang ada di peta dan dirubah ke dalam bentuk digital (vektor).


(53)

3.3.4 Pengolahan Peta Tanah

Peta tanah digunakan untuk mendapatkan informasi jenis tanah dan fisiografi atau bentuk wilayah, sehingga dapat terbentuk peta jenis tanah di daerah penelitian. Peta tanah yang digunakan adalah peta tanah kebun yang sudah ada yang kemudian dibuat (digitasi) kembali dalam bentuk digital (vektor).

3.3.5 Pengolahan Peta Blok Kebun

Peta blok kebun digunakan untuk mendapatkan informasi lokasi dari tiap blok kebun dan tahun tanam kelapa sawit yang berasal dari denah blok kebun. Peta blok kebun yang digunakan adalah peta bidang blok kebun hasil scanning data batas blok wilayah kebun tahun 2011 yang kemudian dilakukan digitasi sehingga menjadi bentuk digital (vektor). Setelah itu dimasukkan data-data tabularnya berupa informasi batas wilayah, batas wilayah tiap blok, tahun tanam kelapa sawit dan data produktivitas di tiap blok kebun dari tahun 2005 – 2010.

3.3.6 Analisis Potensi Aliran Permukaan

Potensi aliran permukaan ditentukan dengan manggunakan variabel, yaitu jenis tanah dan kemirngan lereng. Tahapan yang dilakukan dengan sistem pembobotan (skoring) yaitu dengan membuat nilai dari setiap variabel dan nilai tersebut dimasukkan ke dalam atribut data. Nilai (skor) untuk setiap variabel disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Skor kemiringan lereng dan jenis tanah Kemiringan lereng

(%) Skor

Jenis tanah Skor

0 – 8 1 Latosol Cokelat Kemerahan 1

8 - 15 2 Oksisol 2

15 - 25 3 Podsolik Merah Kuning 3


(54)

Penentuan potensi aliran permukaan dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis pada software ArcView GIS 3.3. Selanjutnya dilakukan perhitungan dengan melakukan perkalian skor kemiringan lereng dengan jenis tanah untuk mendapatkan jumlah skor sehingga dapat ditentukan kelas potensi aliran permukaan. Dari hasil jumlah skor tersebut kemudian dilakukan pengolahan atribut data secara spasial dalam bentk digital yang diubah menjadi bentuk vektor berdasarkan kelas potensi aliran yang telah dibuat sehingga didapatkan pola persebaran kelas potensi aliran permukaan. Daerah yang memiliki tingkat potensi aliran permukaan tinggi akan memiliki jumlah skor yang tinggi, sebaliknya daerah yang memiliki tingkat potensi aliran permukaan rendah akan memiliki jumlah skor yang rendah. Skor tingkat potensi aliran permukaan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Skor kelas potensi aliran permukaan Kelas potensi aliran

permukaan Jumlah skor

Tinggi 9 – 12

Sedang 5 – 8

Rendah 1 – 4

3.3.7 Analisis Hidrologi

Analisis hidrologi dilakukan untuk menentukan calon lokasi pembuatan embung. Analsis tersebut dilakukan menggunakan tools Hydrology pada ArcGIS 9.3 dengan DEM (digital elevation model) sebagai input yang kemudian diolah kedalam pola alirandengan memperhitungkan slope, flow direction dan flow accumulation. Calon lokasi pembuatan embung diproses pada beberapa tempat yang terdapat akumulasi pola aliran intermitten (aliran tadah hujan).

3.3.8 Survei Lapang

Survei lapang dilakukan pada tanggal 26 dan 31 Oktober 2011, serta tanggal 6 dan 7 Desember 2011 untuk mengetahui kecocokan hasil interpretasi citra dan data lapangan. Pada saat survei lapang juga dilakukan wawancara dengan pengelola kebun untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan pengelolaan air yang ada di lokasi penelitian.


(55)

3.3.9 Sintesis Data

Proses analisis dimulai dengan menganalisis hasil wawancara di lokasi pengamatan yang didapat saat survei lapang, kemudian dilakukan analisis untuk melihat faktor-faktor fisik lahan terhadap produktivitas, khususnya dalam hal pengelolaan air dan aliran permukaan, serta dilakukan penentuan faktor fisik mana yang paling berpengaruh terhadap perubahan produktivitas.

Untuk melihat keterkaitan faktor-faktor fisik dengan produktivitas, dilakukan perhitungan nilai korelasi dengan menggunakan MINITAB 14, yaitu dengan melakukan korelasi data produksi, kemiringan lereng, jenis tanah dan potensi aliran permukaan dengan melihat nilai korelasi serta nilai p-value yang <0.005 dari setiap faktor. Hasil dari analisis korelasi data akan menjelaskan hubungan keterkaitan faktor-faktor biofisik dengan produktivitas.


(56)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Faktor-faktor Biofisik yang Mempengaruhi Ketersediaan Air 4.1.1 Kenampakan Tutupan Lahan berdasarkan Analisis Citra Digital

Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 Bogor Barat tahun 2009 seperti yang tampak pada Gambar 3. Kombinasi band yang digunakan pada penelitian ini adalah kombinasi antara band 3, 2, dan 1 (RGB) yang menghasilkan kenampakan alami (natural color). Interpretasi secara visual pada Citra ALOS AVNIR-2 dilakukan berdasarkan pada unsur-unsur interpretasi yaitu rona, pola, tekstur, ukuran, bentuk, bayangan, site dan asosiasi.


(1)

(2)

29

Tabel Lampiran 1. Data curah hujan dan hari hujan PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor

Tahun Uraian Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jumlah

2002 Curah Hujan (mm) 652 637 311 404 183 184 277 94 132 209 366 406 3855

Hari Hujan (hari) 21 22 8 14 12 8 13 2 5 10 23 20 158

2003 Curah Hujan (mm)

197 449 337 247 246 158 17 243 205 241 276 284 2900

Hari Hujan (hari) 9 21 18 15 17 6 1 7 9 14 12 20 149

2004 Curah Hujan (mm) 231 301 229 495 249 111 132 106 392 278 441 411 3376

Hari Hujan (hari) 13 20 14 22 12 4 8 1 13 11 28 13 159

2005 Curah Hujan (mm)

413 397 341 235 308 766 137 154 295 330 271 317 3964

Hari Hujan (hari) 18 16 16 10 8 20 10 8 10 6 4 14 140

2006 Curah Hujan (mm) 545 315 203 206 299 164 95 184 23 122 303 530 2989

Hari Hujan (hari) 21 13 9 10 7 4 6 3 3 5 18 17 116

2007 Curah Hujan (mm)

324 361 195 346 145 191 81 290 96 183 315 437 2964

Hari Hujan (hari) 9 14 10 13 6 9 6 7 7 13 11 24 129

2008 Curah Hujan (mm) 324 361 411 371 220 104 214 195 130 409 390 227 3356

Hari Hujan (hari) 9 18 22 20 11 6 6 10 5 16 12 13 148

2009 Curah Hujan (mm)

364 272 243 325 549 387 90 70 202 740 790 84 4116

Hari Hujan (hari) 14 16 14 17 13 12 4 1 5 13 19 13 141

2010 Curah Hujan (mm) 755 495 278 152 328 211 157 396 345 246 339 120 3822


(3)

Tabel Lampiran 2. Data Produksi Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor Afdeling I Tahun Tanam No Blok Luas Lahan

(ha)

Pohon/ ha

Produksi 2005 Produksi 2006 Produksi 2007 Produksi 2008 Produksi 2009 Produksi 2010 ton TBS/ha/th ton TBS/ha/th ton TBS/ha/th ton TBS/ha/th ton TBS/ha/th ton TBS/ha/th

2002 1 19.82 132.24 2.87 16.97 25.31 26.93 24.47 17.97

2 35.72 132.73 2.84 14.42 26.11 25.96 26.80 19.02

2003

4 19.13 131.14 4.09 13.86 14.54 22.54 20.88

5 20.58 131.20 2.37 13.64 17.05 28.47 25.39

6 23.60 131.27 2.80 11.99 14.94 23.85 21.30

8 29.87 130.93 2.93 14.20 20.22 25.18 24.65

10 46.85 131.38 2.79 14.49 18.86 25.13 24.82

11 18.90 130.79 2.65 11.40 17.05 24.97 22.69

12 28.67 131.04 2.73 14.00 20.82 25.99 22.38

18 13.25 131.85 2.10 13.10 23.74 27.94 26.56

2004

7 43.62 131.04 2.28 10.67 19.60 22.46

9 46.60 131.05 1.39 9.62 17.44 25.68

13 22.67 131.41 1.79 9.93 18.86 23.48

14 28.12 132.68 1.57 8.66 16.77 18.88

15 17.38 162.43 2.71 14.37 24.13 25.33

17 20.99 108.96 2.58 10.10 17.32 17.74

2005 3 41.99 130.32 4.40 15.23 20.51


(4)

31

Tabel Lampiran 3. Data Produksi Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor Afdeling II

Tahun Tanam No Blok Luas Lahan (ha)

Pohon/ ha

Produksi 2006 Produksi 2007 Produksi 2008 Produksi 2009 Produksi 2010 ton TBS/ha/th ton TBS/ha/th Ton TBS/ha/th Ton TBS/ha/th Ton TBS/ha/th

2003

33 18.74 134.15 3.38 12.71 19.58 25.93 24.37

34 41.08 130.01 4.07 15.65 20.16 25.35 21.03

35 18.01 122.04 4.78 14.66 18.00 26.03 24.65

36 18.82 139.85 2.96 13.55 16.55 26.46 26.89

38 18.91 144.90 2.68 9.14 11.02 24.26 24.83

2004

19 33.22 132.06 1.28 7.22 17.35 18.95

20 35.52 131.39 1.47 9.92 16.63 20.66

21 22.73 124.68 1.69 13.22 13.86 19.74

27 17.93 131.57 0.65 5.74 13.67 13.51

28 26.98 129.32 1.36 8.21 18.39 17.54

29 29.44 124.52 0.30 5.16 12.61 11.43

30 23.93 128.54 2.34 10.63 19.31 18.76

2005

22 20.50 131.22 3.81 10.62 18.32

23 19.35 131.68 3.99 12.21 17.66

24 32.20 130.99 2.31 6.88 12.91

25 25.86 133.10 4.80 14.46 23.71

26 25.18 137.89 4.65 16.41 28.60

31 26.48 130.51 2.31 7.36 12.91

32 23.92 129.97 2.49 9.24 14.07


(5)

HERDIANTO EKA SAPUTRA. Analisis Potensi Ketersediaan Air di Perkebunan Kelapa Sawit menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor). Dibimbing oleh BABA

BARUS dan YAYAT HIDAYAT.

Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan luas areal 6,78 juta ha. Tanaman kelapa sawit membutuhkan air dalam jumlah yang sangat banyak untuk mendukung produksinya. Kekurangan dan kelebihan air menjadi faktor pembatas, sehingga ketersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas produksi kelapa sawit. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis ketersediaan air dan melihat pengaruhnya terhadap produksi kelapa sawit.

Dalam menentukan potensi aliran permukaan digunakan variabel berupa jenis tanah dan kemiringan lereng dengan melakukan sistem pembobotan (skoring). Hasil skoring dengan nilai yang tinggi artinya daerah tersebut memiliki tingkat potensi aliran permukaan tinggi, sebaliknya daerah yang memiliki tingkat potensi aliran permukaan rendah memiliki jumlah skor yang rendah. Potensi aliran permukaan yang tinggi terjadi di sebagian besar wilayah perkebunan yaitu di bagian tengah wilayah perkebunan. Ketersediaan air terakumulasi pada beberapa daerah yang lebih rendah dan datar.

Keterkaitan faktor-faktor fisik dengan produktivitas dianalisis dengan korelasi data produksi, kemiringan lereng, jenis tanah dan potensi aliran permukaan. Kelebihan air mengindikasikan adanya penurunan produksi, karena dari hasil korelasi potensi aliran permukaan memiliki korelasi yang signifikan terhadap penurunan produksi (nilai p-value < 0,05) yaitu 0,018, artinya semakin rendah potensi aliran permukaan maka penurunan produksi semakin tinggi. Penurunan produksi terbesar terjadi di Blok 2, yang terdapat pada jenis tanah Latosol Cokelat Kemerahan dan kemiringan lereng 0 – 8% yang merupakan daerah terakumulasinya aliran permukaan, yaitu sebesar 29,03% dari produksi 26,80 ton TBS/ha/tahun pada tahun 2009 menjadi 19,02 ton TBS/ha/tahun pada tahun 2010.

Untuk memenuhi kebutuhan air di sekitar lokasi perkebunan (pemukiman dan fasilitas lainnya) untuk meningkatkan kelestarian lingkungan, perlu direkomendasikan untuk dibangun embung. Calon posisi embung terdapat pada arah aliran atau cekungan tempat dimana aliran air melintas dan berdasarkan kondisi tanah yang strukturnya kuat untuk menampung air. Calon lokasi embung yang berdasarkan pada pola aliran sungai dibuat dengan DEM (digital elevation model) adalah di blok 9, 16, 20 dan 36.


(6)

SUMMARY

HERDIANTO EKA SAPUTRA. Analysis of Potential Water Availability in Oil Palm Plantation using Geographic Information System (A Case Study in PT.

Perkebunan Nusantara VIII Cimulang, Bogor). Supervised by BABA BARUS

and YAYAT HIDAYAT.

Indonesia is the country's largest oil palm producer in the World with a total area of 6.78 million ha. Palm trees require water in abundance to support production. Shortages and excess water becomes a limiting factor, so that water availability is one factor limiting the production of oil palm. The study was conducted to analyze the availability of water and see its effect on the production of oil palm.

In determining the runoff potential variables of soil type and slope were used through scoring system. The results of scoring with a high value means that the area has the potential for high runoff, conversely areas that have low-level potential runoff has a low total score. High potential runoff that occurs in most areas of plantations are in the middle of the plantation. Water availability is accumulated in some areas at low and flat locations.

The relationship of physical factors with the productivity of production were analyzed by correlation, slope, soil type and potential runoff. Excess water indicates a decrease in production, because of the correlation potential runoff has a significant correlation to the decline in production (the p-value <0,05) is 0,018, meaning that the lower the runoff potential, then the higher reduction of production. The decline in production occurred in Block 2, located on Reddish Brown Latosol soil type and slope of 0-8% which is the accumulation of runoff, amounting to 29.03% of the production of 26.80 tons of FFB (fresh fruit bunch) / ha / year in 2009 be 19.02 tonnes FFB / ha / year in 2010.

To meet the water needs around the plantation site (residential and other

facilities) and to improve environmental sustainability, its needed

recommendation for constructed ponds. Candidates for the position is contained in the flow direction ponds or basins where water flows across and under conditions of strong soil structure to hold water. The candidate sites based on the river flow patterns created from DEM (digital elevation model) are block 9, 16, 20 and 36. Keyword: water availability, oil palm, geographic information system (GIS)