2.2.2 Hegemoni Golkar dan kebijakan Kristalisasi Partai Politik
Pemilu 1971 menampilkan Golkar sebagai pemenang dan menyapu bersih lawan-lawan politiknya secara nasional, maka hal ini dimanfaatkan
oleh Soeharto untuk memperkuat posisi Golkar di parlemen dengan lebih menyederhanakan jumlah partai politik, dengan dalih bahwa Sistem
politik dengan menjalankan multipartai, sangat mengganggu jalannya pembangunan diera orde baru. Maka pada 4 maret 1970 terbentuklah
kelompok nasionalis yang merupakan gabungan PNI, IPKI, MURBA, PARKINDO dan partai katolik. Tanggal 14 Maret 1970 terbentuk
kelompok spiritual yang terdiri dari NU, PARMUSI, PSII dan PERTI. Kemudian kelompok nasionalis diberi nama kelompok demokrasi
pembangunan, sedangkan kelompok kedua diberi nama kelompok persatuan. Pengelompokan ini kemudian berlanjut dalam pembagian fraksi
di DPR dan MPR hasil Pemilu 1971, dan keadaan seperti ini tentunya tidak memberi pilihan pada partai-partai politik lainnya untuk melakukan
perlawanan terhadap pemerintahan otoriter Orde baru, maka pada tahun 1973 partai nasionalis yang kemudian disebut kelompok demokrasi
pembangunan menjadi partai demokrasi. pada tanggal 10 januari 1973. Lalu kelompok spiritual yang
kemudian menjadi kelompok persatuan, pada tanggal 19 Februari 1973 menggabungkan kegiatan politiknya kedalam wadah Partai Persatuan
Pembangunan. Selanjutnya tindak lanjut dari isu peleburan partai ini, maka
pada tanggal 6 desember 1974 pemerintah orde baru menyampaikan rencana UU partai politik dan Golongan Karya kepada DPR, sebagai aturan
hukum peleburan partai politik secara besar- besaran, yang terjadi pertamakalinya dalam sejarah kepartaian Indonesia. Implikasi dari
kebijakan itu yakni fusi partai politik, Golkar kemudian menjelma menjadi organisasi politik dengan kekuatan yang tidak bias disaingi oleh dua
kekuatan politik lainnya, sehingga dalam pemilu 1977 Golongan Karya adalah kekuatan politik yang sudah mempunyai identitas, sedangkan kedua
partai lainya adalah dua partai baru yang mencoba mempertaruhkan identitasnya untuk menarik masa pendukung dalam pemilu.
PPP menangkap isu agama, sebagai satu-satunya pelekat utama bagi partainya. Sasaran utamanya adalah umat Islam dan organisasi-organisasi
islam pendukungnya seperti NU, PSII, Muslimin Indonesia dan PERTI. Sasaran lain adalah pemilih rasional yang mengganggap PPP sebagai
alternatif pilihan politik bagi masyarakat, serta perwacanaan yang dibangun, bahwa PPP adalah satu-satunya wadah bagi umat Islam.
Disisi lain Golkar sangat sadar dengan hal ini, dandengan kekuatan yang dimilikinya menetralisir isu yang menjadi senjata PPP itu, dengan
menyatakan bahwa politik itu adalah urusan duniawi, maka umat islam berhak untuk memilih partai politik sesuai dengan keyakinannya, dan tidak
berarti bahwa yang berada dalam barisan Golkar adalah umat islam yang tidak mementingkan Islam. Disisi lain, PDI adalah partai politik yang
sangat bersusah payah merumuskan identitas dirinya kepada massa pemilihnya sendiri. PDI yang bercirikan demokrasi Indonesia kebangsaan
dan keadilan sosial, mencoba membangun citranya sebagai partai rakyat kecil, walaupun praktis tidak terlalu besar manfaatnya. Hal ini tentunya
karena ketidakmampuan partai tersebut untuk merumuskan siapa dirinya, maka dia pun tidak mampu menumbuhkan proses identifikasi pemilih
dengan dirinya. Golka rsebagai kekuatan politik tidak mampu disaingi oleh dua partai pesaingnya, Golkar dalam Pemilu menjual jargon “politik no
pembangunan yes” pada massa pemilihnya. Kemudian, Golkar mengidentifikasi dirinya sebagai golongan yang terdiri dari manusia
modern, yang mengusahakan modernisasi dan pembangunan bagi masyarakat. Disamping karena kuatnya pengaruh Golkar ditengah
masyarakat, dan ditopang oleh birokrasi dan ABRI yang menjadi landasan kekuatan politik orde baru, maka tak pelak lagi, Golkar menjadi
pemenang mutlak dalam setiap pemilu Orde Baru dan menjadi Absolute Majority di parlemen.
Kemudian dalam meraih dukungan dari pemilih diseluruh pelosok daerah, Orde Baru memberlakukan kebijakan bahwa partai-partai politik
hanya bisa menjangkau masyarakat di tingkat kabupaten, yang tentu saja membatasi ruang gerak partai pesaingnya. Di sisi lain karena Golkar
dianggap bukan partai, maka organisasi ini mampu dengan leluasa melakukan pengorganisiran massa hingga ke tingkat grassroot akar
rumput, sampai ketingkat desa dan kelurahan. Kebijakan lain untuk strategi
mendapatkan pemilih
mengambang, dilakukan
dengan mengasingkan para pemimpin partai PPP dan PDI dari pengikut
mereka,yang memiliki akar-akar historis, dengan tokoh tersebut. Selanjutnya, ada pembentukan keluarga besar Golongan Karya
sebagai jaringan konstituen, yang dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan informal, yaitu jalur A untuk lingkungan militer, jalur
B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian
terhadap Golkar melalui Dewan Pembina yang mempunyai peran sangatstrategis.
Serangkaian peraturan pun dikeluarkan pemerintah, seperti peraturan Monoloyalitas yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil PNS untuk
menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golongan Karya. Dengan iklim politik yang seperti ini, maka selama rezim Orde Baru jadilah Golkar dan
ABRI, sebagai tulang punggung pemerintahan, dimana semua politik Orde Baru diciptakan, dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan
Golkar, dimana selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, hampir semuanya
diduduki oleh kader-kader Golkar. Maka dapat dikatakan bahwa, selama periode pemerintahan orde baru dalam fakta politiknya terjadi proses
demoktratisasi, tetapi dalam realitasnya hanya menjadi agenda seremonial
5 tahunan sekali, untuk melegitimasi pemerintahan Orde Baru. Dimana kondisinya, sebelum PEMILU itupun dilaksanakan therulling party’s, atau
partai pemenangnya telah diketahui, karena begitu kuatnya cengkeraman kekuatan politik Golkar ke dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat, dan
ditunjang oleh kondisi pemerintahan yang otoriter authoritharian bireucratic selama rezim pemerintah Soeharto, maka tidak dipungkiri lagi
dalam masa itu, Golkar menjadi kekuatan politik terbesar dengani nfrastruktrur politik yang sangat mumpuni sebagai partai penguasa, 32
tahun pemerintahan Orde Baru.
2.2.3 Platform Partai Golkar