Keadilan Antropologis Keadilan Gender

2. Keadilan Antropologis

Keadilan antropologis adalah nilai keadilan yang berangkat dari pengertian pluralitas budaya manusia. Keadilan antropologis dapat juga diartikan sebagai keadilan manusia, artinya keadilan yang mendasarkan pada pengertian keadilan dari sudut manusia secara alamiah. Nilai keadilan manusiawi dijadikan landasan untuk membentuk budaya. Variable ini perlu diperhatikan sebab budaya adalah kenyataan empiris, sementara konsep adalah sebagai apa yang diinginkan sebagi idialitas sang pengagas. Apabila hukum kewarisan Islam tidak memperhatikan kenyataan empirisnya, maka konsep itu akan sulit menyntuh dalam tararan praktis. Sebab hukum itu tidak mencerminkan keadilan alamiah sebagai proses menuju terbentuknya budaya. Sebagai norma hukum, hukum kewarisan Islam secara otomatis akan bersentuhan dengan permasalahan sosial walaupun pada tataran kelompok sosial yang terkecil yaitu keluarga. Dengan demikian, mengukur keadilan dalam konsep ilmu kewarisan tidak dapat melepas diri dari tori keadilan umum. Ada dua hal yang sering dievalusi yang berkaitan dengan keadilan dalam hubungan terhadap pengalaman dan interaksi sosial, yaitu apa yang mereka dapatkan bagaimana proses yang dialami dalam mengenai apa yang diperolehnya, tetapi sebagian lagi bahwa proses dan prosedur yang dialami adalah hal yang lebih penting.

3. Keadilan Gender

Konsep kewarisan bilateral adalah mawali. Konsep ini dipandang memenuhi standar keadilan gender. Mawali disebut sebagai pengurangan domonasi laki-laki dalam hukum kewarisan Islam sebelumnya. Dalam kewarisan Syafi’iah, anak perempuan menjadi asabah bukan atas kedudukan sendiri sebagai asabah tetapi disebabkan adanya anak laki-laki yang menariknya sebagi asabah dalam bahasa Syafi’i disebut asabah bi al-ghairi Konsep kewarisan model Syafi’i tersebut bertolak belaknag dengan konsep yang di tawarkan Hazairin dalam konsep Hazairin anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kedudukan yang sama sebagai ahli waris keduanya berdiri sendiri tanpa adanya ketergantungan antara satu dengan yang lainya. Konsep mawali bila disnadingkan dengan prinsip Naminem Laederenya Soekanto akan menampakkan keserasian. Sebab mawali menjadikan cucu sebagai ash-habul faraidl kewarisan Syafi’i yang dirugikan oleh saudara pewaris menjadi ahli waris yang mendapatkan bagian mengantikan kedudukan ayah atau ibunya. Demikian pula dengan prinsip Suum Cuique Tribuere. Bila anak laki-laki mempunyai kemampuan menghijab, maka berikanlah hak yang sama bagi anak perempuan. Hal ini sesuai dengan penggantian Suum Cuique Tribuere yaitu “apa yang anda boleh mendapatkankanya”. Begitu juga dalam al-Qur’an Allah tidak pernah membedakan laki-laki dengan perempuan. Di samping itu konsep kewarisan Syafi’i yang dinilai bias gender adalah perbedaan kemampuan menghijab antara laki-laki dengan perempuan. Anak laki-laki dapat menghijap para saudara dari segala jurusan, baik laki-laki maupun perempuan, kakek dan nenek dari pewaris mempunyai kemampuan untuk itu. Sedangkan dalam konsep kewarisan bilateral, anak laki-laki dan perempuan mempunyai memiliki kemampuan yang sama dalam urusan hajib-mahjub Anehnya, bagi sebagian orang bentuk ketidak setaraan laki-laki dengan perempuan dianggap sebagai sesuatu yang adil. Hal ini bukan saja ada dalam kewarisan Islam, bahkan beberapa peneliti ada yang mengganggap hal itu sebagai bentuk keadilan. Crosby 1982, Feather 1990 Jacson dkk1992 menemukan bahwa bahwa perempuan lebih mudah memberikan penilaian terhadap perbedaan derajat tersebut. Hal semacam ini cenderung menjadi false consciousness yang perlu perhatian dan usaha untuk memperbaikinya, sebab al-Qur’an tidak pernah membedakan jenis kelamin dalam keadilan kewarisan.

4. Prinsip Keadilan Berimbang dalam Hukum Kewarisan Islam