Kerangka teori KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka

7 Secara garis besar, struktur kalimat bahasa Jepang seperti dinyatakan berikut ini oleh YOSHIDA: Inti dari kalimat bahasa Jepang adalah predikat, yang selalu diletakkan atau ditempatkan pada akhir sebuah kalimat. Predikat ini terbagi atas tiga macam, yakni verbal, adjektival, dan nominal. Predikat nominal terdiri dari sebuah nomina dan adverbia ‘desu’ dengan perubahan-perubahannya. 1992:5 2.2 Konsep Sebelum dipaparkan kerangka teori yang digunakan untuk membahas tentang pembelajaran struktur BI bagi mahasiswa asal Jepang yang sedang mempelajari BI sebagai bahasa asing serta kendala-kendala apa sajakah yang dirasakan sulit oleh mahasiswa asing itu tentang penguasaan struktur kalimat BI itu, maka pada bagian ini diuraikan mengenai konsep pembelajaran pengajaran bahasa asing. Mengacu pada konsep pembelajaran bahasa kedua language acquisition, para ahli meyakini bahwa bahasa kedua dapat dikuasai hanya dengan proses belajar, dengan cara sengaja dan sadar. Bahasa kedua juga dapat diperoleh baik secara formal dalam pendidikan formal, maupun informal dalam lingkungan kehidupan Chaer dan Leonie, 1995. Dalam proses belajar-mengajar, tentu saja pengajar dan pembelajar mempunyai peran yang sama penting untuk mencapai tujuannya masing-masing. Menurut Gulo 2002, “Seorang pengajar yang profesional tidak hanya berpikir tentang apa yang akan diajarkan dan bagaimana diajarkan, tetapi juga tentang siapa yang menerima pelajaran, apa makna belajar bagi peserta didik dalam mengikuti pembelajaran.” Tujuan mengajar adalah membelajarkan peserta didik. Membelajarkan berarti meningkatkan kemampuan peserta didik untuk memproses, menemukan, dan menggunakan informasi bagi pengembangan diri peserta didik dalam konteks lingkungannya. Bertitik tolak pada sudut pandang yang memberi arti bahwa mengajar adalah usaha untuk menciptakan sistem lingkungan yang mengoptimalkan kegiatan belajar. Mengajar dalam arti ini adalah usaha untuk menciptakan suasana belajar bagi peserta didik secara optimal. Pendekatan pengajaran bahasa yang memanfaatkan hasil studi sosiolinguistik adalah pendekatan sosiolinguistik. Lebih jauh Semi 1993 menyatakan bahwa pendekatan sosiolinguistik ini adalah studi hubungan tentang gejala masyarakat dengan gejala bahasa. Sedangkan Semi 1993, melalui pendekatan psikolinguistik menguraikan bahwa pendekatan ini bertumpu pada pemikiran tentang bagaimana proses yang terjadi dalam benak anak ketika mulai belajar bahasa, serta bagaimana pula perkembangannya.

2.3 Kerangka teori

Para pakar pembelajar bahasa kedua bahasa asing berasumsi bahwa bahasa pertama “dapat menggangu” penggunaan bahasa kedua pembelajar. Pembelajar akan cenderung mentransfer unsur bahasa pertamanya ketika melaksanakan penggunaan bahasa kedua. Akibatnya terjadilah apa yang dalam kajian sosiolinguistik disebut interferensi, campur kode, dan kehilafan error. Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich 1953 untuk menyebutkan adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukkan oleh penutur yang bilingual. Dalam bukunya yang berjudul Language in Contact interferensi yang dimaksud oleh Weinreich adalah interferensi yang tampak dalam 8 perubahan sistem suatu bahasa, baik mengenai sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Oleh karena itu, interferensi mengenai sistem suatu bahasa lazim juga disebut interferensi sistemik. Hadirnya alih kode dan campur kode merupakan akibat dari kemampuan anggota masyarakat berbahasa lebih dari satu. Selain itu bila dua atau lebih bahasa bertemu karena digunakan oleh penutur dari komunitas bahasa yang sama, maka akan terjadi bahwa komponen-komponen tertentu dapat tertransfer dari bahasa yang satu, yakni bahasa sumber source or donor language ke bahasa lain, yakni bahasa penerima recipient language. Akibatnya terjadi pungutan bahasa atau ‘interference’ sebagaimana diistilahkan oleh Weinreich 1953. Proses terjadinya interferensi sejalan dengan proses terjadinya difusi kebudayaan cultural diffusion yang kita kenal dalam ilmu sosiologi. Dalam buku Sosiolinguistik karangan Paul Ohoiwutun 2002 disebutkan bahwa gejala interferensi dapat dilihat dalam tiga dimensi kejadian. 1 pertama adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari indiviidu-individu di tengah masyarakat; 2 kedua adalah dimensi sistem bahasa dari kedua bahasa atau lebih yang berbaur; 3 ketiga adalah dimensi pembelajaran bahasa. Dari dimensi tingkah laku individu penutur dengan mudah dapat disimak dari berbagai praktek campur kode yang dilakukan penutur yang bersangkutan. Interferensi ini murni merupakan rancangan atau model buatan penutur itu sendiri. Ia mentransfer satu atau lebih komponen dari bahasa yang satu untuk dirakit dan diramu dalam konteks bahasa lainnya. Dari dimensi sistem bahasa, dikenal interferensi sistemik, yaitu pungutan bahasa; misalnya pembakuan bahasa Indonesia dengan menstrukturkan akhiran - ure dari unsur asing Inggris menjadi -ur dalam bahasa Indonesia. Contohnya procedure → prosedur, structure → struktur, dan lain sebagainya. Interferensi yang ketiga yakni dalam dimensi pembelajaran biasanya dinamai interferensi karena pendidikan. Dalam proses pembelajaran bahasa Kedua atau Asing, pembelajar tentu menjumpai unsur-unsur yang mirip, bahkan mungkin sama dengan bahasa pertamanya. Kondisi pembelajaran ini dianggap mempermudah proses pembelajaran. Pembelajaran menyesuaikan unsur-unsur yang mirip dan sama itu dalam mengenali dan menggunakan sistem bahasa yang baru. Proses “transfer” ini diidentifikasi sebagai transfer positif, sebaliknya bila B.I. dan B.A. sangat berlainan sehingga hampir tidak memiliki komponen yang mirip, maka proses pembelajaran akan semakin rumit. Transfer dalam bisnis pembelajaran bahasa yang kurang menguntungkan ini dikategorikan sebagai transfer pembelajaran negatif. Transfer positif dapat dijadiakan alat oleh guru untuk membantu keberhasilan pembelajar. Dan sebaliknya guru harus dapat meminimalisir terjadinya transfer negatif pada pembelajar. Baik transfer positif maupun transfer negatif tergolong interferensi. Karena keduanya melibatkan unsur-unsur bahasa dari satu bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya. Chaer 1994: 66 memberikan batasan interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang digunakan itu. Contohnya di Indonesia selain bahasa daerah, bahasa asing bagi sebagian kecil orang Indonesia ditempatkan di atas bahasa Indonesia. Faktor yang menyebabkan timbulnya sikap tersebut adalah pandangan sosial ekonomi dan bisnis. Penguasaan bahasa Asing yang baik menjanjikan kedudukan dan taraf sosial ekonomi yang jauh lebih baik daripada hanya menguasai bahasa Indonesia. 9 Secara teoritis tidak akan ada orang yang mempunyai kemampuan berbahasa kedua bahasa asing sama baiknya dengan kemampuan berbahasa pertama Nababan, 1984. Yang mungkin ada adalah orang yang mempunyai kemampuan berbahasa kedua dalam salah satu bidang kegiatan atau keilmuan. Oleh karena itu, kasus adanya transfer atau interferensi dari bahasa pertama kedalam penggunnaan bahasa kedua akan selalu ada. Pembelajaran bahasa kedua terjadi setelah seorang pembelajar menguasai dan menuranikan bahasa pertamanya. Maka, mau tidak mau, bahasa pertama yang telah dinuranikan ini akan “menganggu’ ketika pembelajar menggunakan bahasa kedua. Bahasa keduanya menjadi interferensi oleh unsur-unsur bahasa pertamanya yang telah lebih dahulu dinuranikan itu. Interferensi ini dapat terjadi pada semua tataran bahasa: fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon.

III. PEMBAHASAN