Interferensi Pemahaman Struktur Kalimat Bahasa Indonesia Oleh Mahasiswa Jepang Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia.

(1)

1

INTERFERENSI PEMAHAMAN STRUKTUR KALIMAT

BAHASA INDONESIA OLEH MAHASISWA JEPANG

DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

I NYOMAN RAUH ARTANA

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

2 INTERFERENSI PEMAHAMAN STRUKTUR KALIMAT

BAHASA INDONESIA OLEH MAHASISWA JEPANG DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

I Nyoman Rauh Artana

Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana

Jalan Pulau Nias No. 13 Sanglah, Denpasar, Bali

Telepon: 081916524111/085239965555; Email: rauhartana@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini hanya mencakupi sebagian kecil dari permasalahan yang mampu dikemukakan karena begitu banyak masalah-masalah yang dihadapi oleh mahasiswa Jepang dalam mempelajari bahasa Indonesia. Salah satu masalah tersebut adalah “Interferensi pemahaman struktur kalimat bahasa Indonesia oleh mahasiswa Jepang dalam pembelajaran bahasa Indonesia”. Jadi, hal inilah yang menjadi acuan dalam penulisan penelitian ini. Penelitian ini bersifat sinkronis dengan metode pendekatan deskriptif karena data yang diungkapkan berdasarkan pengalaman sendiri ketika mengajar mahasiswa Jepang. Data dianalisa berdasarkan kerangka teori Sosiolinguistik yang membahas tentang interferensi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa Jepang sulit memahami struktur kalimat karena; 1) Penguasaan kosakata BI, baik dari segi fungsi maupun dari segi makna masih kurang; dan 2) Satuan-satuan linguistik sebagai unsur pembentuk struktur kalimat belum dikuasai; 3) Penguasaan struktur kalimat bahasa ibu masih melekat sehingga terjadi interferensi ke dalam BI sebagai bahasa asing; 4) terdapat perbedaan yang mencolok antara struktur pola kalimat BI sebagai bahasa asing (bahasa kedua) dengan bahasa ibu dalam bahasa Jepang (bahasa pertama); 5) mahasiswa Jepang masih menggunakan B1 pada saat menggunakan B2 atau transfer (pembelajaran) negatif.


(3)

3 Abstract

This study covers only a small part of the problems that were able to put forward because so many of the problems faced by Japanese students in learning Indonesian. One such problem is "Interference understanding of sentence structure of Indonesian by Japanese students in learning the Indonesian language". So, it is the primary reference in the writing of this study. This study is synchronic with descriptive approach method for the data disclosed based on our own experience when teaching Japanese students. Data was analyzed based on the theoretical framework that discusses Sociolinguistics interference. The results of this study indicate that the Japanese students is difficult to understand the structure of the sentence due; 1) mastery of Indonesian vocabulary, both in terms of functionality and in terms of meaning are still lacking; and 2) the linguistic units as the elements forming the structure of the sentence has not been mastered; 3) The control structure of the sentence is still attached to the mother tongue, that causes interference to Indonesian as a foreign language; 4) there is a striking difference between the Indonesian structure as a foreign language (second language) with a native language in Japanese (first language); 5) Japanese students still use first language when using second language or transfer (teaching) is negative.


(4)

1 I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan fenomena yang hadir dalam segala aktivitas kehidupan manusia, sehingga bahasa itu pun menjadi sangat luas bidang kajiannya. Sebagai alat komunikasi verbal yang dipergunakan oleh manusia untuk berinteraksi antara manusia dengan manusia, bahasa terikat pada kaidah pemakaian bahasa yang didasarkan atas konteks dan situasi pemakaian bahasa itu sendiri. Gejala ini lebih mengarah pada parole, yaitu suatu tindak individu dari kemauan dan kecerdasan dengan membedakan (1) kombinasi-kombinnasi kode bahasa yang dipergunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya, (2) mekanisme psikis-fisik yang memungkinkan dia untuk mengungkapkan kombinasi-kombinasi tersebut (de Saussure, 1993:80). Di sini tampak bahwa parole merupakan gejala bahasa secara individu yang dipengaruhi keadaan psikis atau pun fisik.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa asing ( bahasa kedua) telah merambah ke berbagai mancanegara, misalnya di negara Amerika terdapat sembilan universitas dan di Jerman kurang lebih enam lembaga pendidikan (Soedjiarto, 1988); di Jepang ada dua puluh delapan (Shigeru, 1988 dlm. Dardjowijoyo, 1998:797); di Thailand ada lima buah universitas yang menawarkan bahasa Melayu sebagai bahasa asing ( Nimmanupap, 1998); di Italia (Rivai, 1998); di Australia dan di Selandia Baru, BI tidak hanya diajarkan di tingkat universitas bahkan di tingkat sekolah dasar dan menengah pun sudah diajarkan dan di negara-negara asing lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini. Perlu juga kita ketahui bahwa BI dalam program LOTE ( Language Other than English) merupakan salah satu dari enam bahasa asing yang bisa dipilih sebagai mata kuliah oleh para mahasiswa (Dardjowijoyo, 1998).

Sehubungan dengan itu, dirasa perlu mengadakan penelitian ini yang fokus sasarannya ialah pembelajaran struktur BI bagi pembelajar asal Jepang yang sedang mempelajari BI sebagai bahasa asing (bahasa kedua). Dari hasil penelitian ini akan diketahui, bagaimana proses pembelajarannya, hasil yang dicapai serta kendala-kendala apa sajakah yang dirasakan sulit oleh mahasiswa asing itu tentang penguasaan struktur kalimat BI itu.

1.2Rumusan Masalah

Untuk memudahkan arah sasaran yang ingin dikaji dalam pemahaman struktur kalimat BI itu, masalah penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian berikut ini.

1) Mengapa mahasiswa Jepang melakukan interferensi dalam menggunakan struktur kalimat BI?

2) Sejauh manakah penguasaan mahasiswa Jepang terhadap struktur kalimat BI? 3) Kendala-kendala apa sajakah yang dihadapi mahasiswa Jepang dalam

mempelajari struktur BI itu?

Ketiga pokok masalah tersebut itulah yang akan dijadikan sasaran atau objek kajian penelitian ini.


(5)

2 1.3Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok masalah sebagaimana telah dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini ialah;

1) Untuk mengidentifikasi kesalahan-kesalahan atau interferensi yang dilakukan oleh mahasiswa Jepang dalam menggunakan struktur kalimat BI.

2) Untuk menjelaskan penguasaan mahasiswa Jepang tentang struktur kalimat BI; dan

3) Untuk mendeskripsikan kendala-kendala atau hambatan-hambatan yang dihadapi mahasiswa Jepang dalam mempelajari struktur kalimat BI.

1.4Manfaat Penelitian

1) Agar penelitian ini dapat dijadikan bahan pembelajaran terutama bagi penulis dan peneliti yang berminat dalam bidang Pengajaran bahasa Jepang atau bahasa asing dengan harapan bisa meminimalisir kesalahan-kesalahan atau interferensi dalam pembelajaran bahasa kedua.

2) Untuk mengetahui sejauh manakah mahasiswa Jepang menguasai struktur kalimat bahasa Indonesia

3) Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengajaran bahasa Indonesia untuk mahasiswa Jepang yang belajar bahasa Indonesia.

1.5 Metode Penelitian

Metode yang diterapkan dalam penelitian ini ialah metode pendekatan deskriptif karena data yang diungkapkan berdasarkan pengalaman penulis ketika mengajar mahasiswa asal Jepang di Yudistira Language Academy-Yudistira Sound Factory yang berlokasi di jalan Pamelisan Agung gang Purwani desa Brawa, kecamatan Kuta Utara kabupaten Badung Bali. Penulis juga mengajar privat bahasa Indonesia untuk orang Jepang.

Penelitian ini bersifat sinkronis. Dalam mendeskripsikan data bahasa Indonesia dan bahasa Jepang maka kedua data diperbandingkan secara kontrastif untuk mengetahui tingkat kesamaan dan perbedaan diantara kedua bahasa tersebut.

1.6 Sumber Data

Data penelitian ini diambil dari hasil evaluasi belajar mahasiswa Jepang, baik secara lisan maupun tulisan pada saat penulis mengajar bahasa Indonesia untuk mahasiswa Jepang di Yudistira Language Academy-Yudistira Sound Factory. Adapun yang menjadi sampel penelitian ialah kemampuan mahasiswa Jepang dalam menguasai struktur kalimat bahasa Indonesia serta kendala-kendala yang dihadapi mahasiswa Jepang dalam mempelajari struktur kalimat Bahasa Indonesia.


(6)

3 II. KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan bagian yang sangat penting untuk mengetahui keberadaan penelitian yang akan dilakukan. Pada kajian pustaka akan diuraikan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian maupun teori yang dipergunakannya. Seperti telah disinggung pada latar belakang, bahwa hasil penelitian yang berkaitan dengan objek penelitian penulis yaitu mengenai ‘Pembelajaran mahasiswa Jepang tentang struktur kalimat BI; dan kendala-kendala atau hambatan-hambatan yang dihadapi mahasiswa Jepang dalam mempelajari struktur kalimat BI, belum ada. Oleh sebab itu, sebelum penulis membahas ‘Pembelajaran mahasiswa Jepang tentang struktur kalimat BI; dan kendala -kendala atau hambatan-hambatan yang dihadapi mahasiswa Jepang dalam mempelajari struktur kalimat BI, diangap perlu untuk meninjau beberapa karya tulis yang membahas masalah interferensi belajar bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing.

Sehubungan dengan Interferensi dalam bidang sintaksis Abdul Chaer (2004: 123) memberikan contoh kalimat dalam bahasa Indonesia dari seorang bilingual Jawa-Indonesia dalam berbahasa Indonesia. Bunyi kalimat itu “Di sini toko Laris yang mahal sendiri” (diangkat dari Djoko Kentjono). Kalimat bahasa Indonesia itu berstruktur bahasa Jawa, sebab dalam bahasa Jawa bunyinya adalah “Ning kene toko Laris sing larang dhewe”. Kata sendiri dalam kalimat bahasa Indonesia itu merupakan terjemahan dari kata Jawa dhewe. Kata dhewe dalam bahasa Jawa, antara lain memang berarti ‘sendiri’, seperti terdapat dalam kalimat “Aku dhewe sing teko” (Saya sendiri yang datang), dan “Kowe krungu dhewe?” (apakah kamu mendengarnya sendiri). Tetapi kata dhewe yang terdapat di antara kata sing dan adjektif adalah berarti ‘paling’, seperti pada sing dhuwur dhewe ‘yang paling tinggi’, dan sing larang dhewe ‘yang paling mahal’. Dengan demikian dalam bahasa Indonesia baku kalimat tersebut di atas seharusnya berbunyi “Toko Laris adalah toko yang paling mahal di sini”.

Pengajaran dan Pemerolehan Bahasa untuk Orang Asing: Berbagai Masalah (2006) Sunaryo Basuki, KS (STKIP) Singaraja. Penelitian yang dilakukan oleh Sunaryo Basuki, KS ini membahas masalah pengajaran dan pemerolehan bahasa untuk orang asing serta kendala-kendala yang dihadapinya. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini masih terlalu luas sehingga pembahasannya masih bersifat umum dan tidak tuntas. Teori yang digunakan untuk menelusuri penelitian ini tidak jelas karena peneliti hanya menyebutkan beberapa teori yang dipakai sebagai pijakan, seperti: Teori tentang Pembelajaran Bahasa Kedua yang dikemukakan oleh Stephen Krashen (1984), menyatakan bahwa teori pemerolehan bahasa kedua adalah bagian dari linguistik teoritik karena sifatnya yang abstrak. Menurutnya, dalam pengajaran bahasa kedua, yang praktis adalah teori pemerolehan bahasa yang baik.

Walaupun hasil penelitian ini hanya bersifat umum, hasil penelitian ini tetap memiliki kontribusi besar terhadap tulisan ini. Secara garis besar penelitian yang dilakukan ‘Sunaryo Basuki, KS’ dapat disimpulkan bahwa: Terdapat dua pendekatan utama dalam pengajaran bahasa yaitu pendekatan formalis yang bertahan cukup lama, dan pendekatan fungsionalis yang relatif baru berkembang pada tiga dekade terakhir. Menurut pendekatan formalis bahasa adalah bentuk dan pengajarannya berpusat pada pengajaran bentuk-bentuk


(7)

4 bahasa. Sementara itu, pendekatan fungsionalis yang berakar pada bidang sosiolinguistik menekankan aspek fungsi.

Merdhana (2001), dalam makalah yang disajikan pada Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Orang Asing (KIPBIPA) di Grand Bali Beach Hotel Bali-Indonesia. Merdana (dalam malakahnya) mengatakan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia untuk orang asing, perlu memanfaatkan jenis penelitian ini untuk menangani masalah atau kesulitan yang dihadapi dalam pembelajaran bahasa. Melalui pembelajaran dengan penelitian tindakan kelas ini guru diharapkan dapat memecahkan masalah atau kesulitan yang dihadapinya, mengingat latar belakang kebahasaan yang dimiliki oleh pembelajar sangat berbeda. Keberbedaan ini tentu memerlukan adanya penanganan khusus oleh guru. Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dengan penelitian tindakan kelas kepada penutur asing ini ada beberapa prosedur yang harus ditempuh. Kegiatan ini merupakan proses pengkajian melalui system daur ulang. Kegiatan diawali dari perencanaan, kemudian pelaksanaan tindakan yang disertai dengan kegiatan observasi dan evaluasi, selanjutnya refleksi. Kemudian kembali lagi mulai dari perencanaan, tindakan dan observasi dan seterusnya sampai diperoleh jawaban atau hasil yang optimal atau berhasil menemukan tindakan yang tepat untuk memperbaiki kinerjanya.

Pembelajaran bahasa Indonesia dengan penelitian tindakan kelas sangat efektif digunakan untuk pembelajar asing. Pada jenis pembelajaran ini lebih menekankan pada fokus-fokus tertentu yang memerlukan penanganan. Ini berarti pembelajaran benar-benar berusaha mengobati hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pembelajar, bukan pembelajaran dengan membabi buta, hantam krama, tapi benar-benar berdasarkan perhitungan kebutuhan pembelajaran dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran.

Sebelum lahirnya sosiolingusitik, pandangan para ahli mengenai bahasa selalu berpusat pada bahasa sebagai bentuk. Salah satu definisi tentang bahasa berbunyi: "bahasa adalah simbol vokal yang bersifat arbitrer yang digunakan manusia untuk berkomunikasi ...". Walaupun kata "komunikasi" sudah masuk ke dalam definisi tersebut, perhatian yang lebih serius terhadap pengajaran bahasa untuk komunikasi belum terarah. Pendekatan formalis menghasilkan berbagai metode. Pada awal tahun 60-an, di Salatiga mulai digodok materi pengajaran Bahasa Inggris di SMP lengkap dengan saran metode serta alat bantu belajarnya, mengekor pada Materi Michigan (Michigan Materials) dan diberi label dengan 'oral-aural approach'.

Kebesaran kaum struktural seakan menelan berbagai pandangan, namun keberhasilannya dipertanyakan karena pengajarannya dianggap terlalu mekanistis dan melupakan faktor komunikasi.

Hasil penelitian mengenai faktor-faktor penentu dalam pembelajaran bahasa kedua banyak dibicarakan oleh para ahli karena berkaitan dengan keberhasilan pembelajar bahasa kedua. Lambert dan Gardner (1972), dan Ellis (1986), juga mendukung pernyataan bahwa belajar bahasa akan lebih berhasil bila ada keinginan, dorongan, atau tujuan yang ingin dicapai dalam belajar bahasa kedua. Dalam pembelajaran bahasa kedua anak-anak lebih baik dan lebih berhasil dibandingkan dengan orang dewasa (Bambang Djunaidi, 1990).

Pembelajaran atau penyajian pembelajaran secara formal memiliki pengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan dalam memperoleh bahasa kedua. Ada juga anggapaan


(8)

5 bahasa kedua pembelajar. Pembelajar akan cenderung mentransfer unsur bahasa pertamanya ketika melaksanankan penggunaan bahasa kedua. Akibatnya terjadilah apa yang dalam kajian sosiolinguistik disebut interferensi, campur kode, dan kehilafan (error). Dari hasil penelitian berbagai pakar itu dapat disimpulkan bahwa faktor motivasi, faktor usia, faktor penyajian, faktor bahasa pertama, dan faktor tansfer&interferensi merupakan faktor-faktor yang menjadi penentu keberhasilan dalam pembelajaran bahasa kedua (bahasa asing).

Teori kontrastif menyatakan bahwa keberhasilan belajar bahasa kedua sedikit banyaknya ditentukan oleh keadaan linguistik bahasa yang dikuasai sebelumnya oleh si pembelajar (Klein, 1986:5). Berbahasa kedua adalah proses transferiasasi. Maka, jika struktur bahasa yang sudah dikuasai (bahasa pertama) banyak mempunyai kesamaan dengan bahasa yang dipelajari, akan terjadilah semacam pemudahan dalam proses teransferisasinya. Sebaliknya, jika struktur keduanya memiliki perbedaan, maka akan menimbulkan kesulitan bagi pembelajar uuntuk menguasai bahasa kedua. Menurut teori analisis kontrastif semakin besar perbedaan antara linguistik bahasa yang telah dikuasai dengan bahasa yang hendak dipelajari, akan semakin besarlah kesulitan yang dihadapi si pembelajar dalam usaha menguasai bahasa kedua yang dipelajarinya (Banathy, 1969: 67).

Lado (1957) berpendapat bahwa pola-pola yang akan menjadi problem dalam pembelajaran bahasa kedua adalah pola-pola yang berbeda, dan ini akan menyebabkan adanya kesalahan dalam produksi B2 sebagai hasi pengalihan negatif yang menghasilkan interferensi dari B1 pada B2 yang berlainan itu. Sebaliknya, pola-pola yang tidak akan menjadi masalah dalam pembelajaran ialah yang mirip atau sama dalam pola-pola bahasa sumber (B1). Ini akan menghasilkan pengalihan positif yang menghasilkan apa yang disebut pemudahan (facilitation).

Sejalan dengan pandangan dari teori kontrastif yang telah dijelaskan di atas, maka perlu untuk diketahui bahwa perbedaan linguistik bahasa Jepang dan bahasa Indonesia sangatlah mencolok. Hal ini dapat dilihat dari segi perbedaan gramatikal kedua bahasa tersebut. Setiap bahasa memiliki gramatika masing-masing yang berbeda tak terkecuali bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Apabila dalam bahasa Indonesia adjektiva hanya satu, tetapi dalam bahasa Jepang dibedakan menjadi dua kelas kata adjektiva, yaitu keiyoushi (adjektiva I) dan keyoudoushi (adjektiva II). Keyoushi adalah adjektiva yang diakhiri dengan huru [~i], misalnya itai, takai, amai, dan lain-lan. Sedangkan keiyoudoushi adalah adjektiva yang berakhir dengan huruf [~nai], misalnya kireina, sukina, shizukana, dan lain-lain.

Dalam bahasa Indonesia kelas kata nomina, pronomina, dan numeralia dipisah menjadi kelas kata sendiri. Lain halnya dengan bahasa Jepang, kelas kata nomina, pronomina, dan numeralia menjadi bagian kelas kata yang sama, yaitu meishi.

● Struktur Frase

Struktur kata dalam bahasa Indonesia berpola Diterangkan-Menerangkan atau yang dikenal dengan hukum D-M.

Perhatikan contoh berikut: 1.a. Bunga merah D M

‘Bunga’ adalah kata yang diterangkan dan mendapat penerangan Bahwa warnanya adalah merah, dengan kata lain kata ‘merah’ menerangkan kata ‘bunga’ bunga tersebut


(9)

6 berwarna ‘merah’. Sehingga tidak mungkin apabila dinyatakan dengan bahwa pola M-D menjadi:

b. Merah bunga M D

Pada contoh (1b) untuk menyatakan ‘bunga yang berwarna merah’ tidak dapat diterima, karena jika berpola M-D, maka makna yang timbul akan berbeda yaitu menjadi bermakna ‘(berwarna) merah seperti warna bunga’.

Berbeda dengan bahasa Indonesia, pola yang berlaku dalam Bahasa Jepang adalah pola M-D. Perhatikan contoh di bawah ini:

2. a. 赤い 花 Akai hana M D

Contoh (2a) ini menjadi kebalikan dari (2a), yaitu berpola M-D ‘akai 赤い’ yang berarti ‘merah’ dalam bahasa Indonesia menerangkan ‘hana花’ yang berarti ‘bunga’ dalam bahasa Indonesia. Jadi arti yang didapat sama dengan ‘bunga merah’ hanya posisi kata dan polanya yang terbalik.

Sedangkan apabila pola D-M yang dipergunakan, seperti pada contoh: b. 花 赤い

Hana akai D M

Makna yang muncul akan sama, tidak seperti bahasa Indonesia pada contoh (1b) tetapi contoh (2b) adalah contoh yang tidak berterima secara gramatika.

● Struktur Klausa

Dalam bahasa Jepang, permasalahan pada struktur klausa hanya terletak pada penggunaan partikel. Seperti contoh (2b), agar berterima secara gramatikal maka perlu ditambahkan partikel yang sesuai misalnya, yaitu partikel [gaが] sehingga akan menjadi:

3. 花 が 赤い

Hana ga akai [= Bunga (berwarna) merah] S Par P S P

● Struktur Kalimat

Dalam permasalahan struktur kalimat pun polanya berbeda, apabila dalam bahasa Indonesia dikenal pola Subyek-Predikat-Obyek (SPO), maka dalam bahasa Jepang dikenal pola Subyek-Obyek-Predikat (SOP).

4. a. Saya membaca buku. S O P

b. 私 は 本 を 読 す。 Watashi wa hon o yomimasu.

Seperti yang terlihat pada contoh (4b) predikat kalimat tersebut berada diakhir kalimat yang merupakan sebuah verba.


(10)

7 Secara garis besar, struktur kalimat bahasa Jepang seperti dinyatakan berikut ini oleh YOSHIDA:

Inti dari kalimat bahasa Jepang adalah predikat, yang selalu diletakkan atau ditempatkan pada akhir sebuah kalimat. Predikat ini terbagi atas tiga macam, yakni verbal, adjektival, dan nominal. Predikat nominal terdiri dari sebuah nomina dan adverbia ‘desu’ dengan perubahan-perubahannya. (1992:5)

2.2 Konsep

Sebelum dipaparkan kerangka teori yang digunakan untuk membahas tentang pembelajaran struktur BI bagi mahasiswa asal Jepang yang sedang mempelajari BI sebagai bahasa asing serta kendala-kendala apa sajakah yang dirasakan sulit oleh mahasiswa asing itu tentang penguasaan struktur kalimat BI itu, maka pada bagian ini diuraikan mengenai konsep pembelajaran/ pengajaran bahasa asing. Mengacu pada konsep pembelajaran bahasa kedua (language acquisition), para ahli meyakini bahwa bahasa kedua dapat dikuasai hanya dengan proses belajar, dengan cara sengaja dan sadar. Bahasa kedua juga dapat diperoleh baik secara formal dalam pendidikan formal, maupun informal dalam lingkungan kehidupan (Chaer dan Leonie, 1995). Dalam proses belajar-mengajar, tentu saja pengajar dan pembelajar mempunyai peran yang sama penting untuk mencapai tujuannya masing-masing.

Menurut Gulo (2002), “Seorang pengajar yang profesional tidak hanya berpikir tentang apa yang akan diajarkan dan bagaimana diajarkan, tetapi juga tentang siapa yang menerima pelajaran, apa makna belajar bagi peserta didik dalam mengikuti pembelajaran.” Tujuan mengajar adalah membelajarkan peserta didik. Membelajarkan berarti meningkatkan kemampuan peserta didik untuk memproses, menemukan, dan menggunakan informasi bagi pengembangan diri peserta didik dalam konteks lingkungannya. Bertitik tolak pada sudut pandang yang memberi arti bahwa mengajar adalah usaha untuk menciptakan sistem lingkungan yang mengoptimalkan kegiatan belajar. Mengajar dalam arti ini adalah usaha untuk menciptakan suasana belajar bagi peserta didik secara optimal.

Pendekatan pengajaran bahasa yang memanfaatkan hasil studi sosiolinguistik adalah pendekatan sosiolinguistik. Lebih jauh Semi (1993) menyatakan bahwa pendekatan sosiolinguistik ini adalah studi hubungan tentang gejala masyarakat dengan gejala bahasa. Sedangkan Semi (1993), melalui pendekatan psikolinguistik menguraikan bahwa pendekatan ini bertumpu pada pemikiran tentang bagaimana proses yang terjadi dalam benak anak ketika mulai belajar bahasa, serta bagaimana pula perkembangannya.

2.3 Kerangka teori

Para pakar pembelajar bahasa kedua (bahasa asing) berasumsi bahwa bahasa pertama “dapat menggangu” penggunaan bahasa kedua pembelajar. Pembelajar akan cenderung mentransfer unsur bahasa pertamanya ketika melaksanakan penggunaan bahasa kedua. Akibatnya terjadilah apa yang dalam kajian sosiolinguistik disebut interferensi, campur kode, dan kehilafan (error). Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebutkan adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukkan oleh penutur yang bilingual. Dalam bukunya yang berjudul Language in Contact interferensi yang dimaksud oleh Weinreich adalah interferensi yang tampak dalam


(11)

8 perubahan sistem suatu bahasa, baik mengenai sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Oleh karena itu, interferensi mengenai sistem suatu bahasa lazim juga disebut interferensi sistemik.

Hadirnya alih kode dan campur kode merupakan akibat dari kemampuan anggota masyarakat berbahasa lebih dari satu. Selain itu bila dua atau lebih bahasa bertemu karena digunakan oleh penutur dari komunitas bahasa yang sama, maka akan terjadi bahwa komponen-komponen tertentu dapat tertransfer dari bahasa yang satu, yakni bahasa sumber (source or donor language) ke bahasa lain, yakni bahasa penerima (recipient language). Akibatnya terjadi pungutan bahasa atau ‘interference’ sebagaimana diistilahkan oleh Weinreich (1953). Proses terjadinya interferensi sejalan dengan proses terjadinya difusi kebudayaan (cultural diffusion) yang kita kenal dalam ilmu sosiologi.

Dalam buku Sosiolinguistik karangan Paul Ohoiwutun (2002) disebutkan bahwa gejala interferensi dapat dilihat dalam tiga dimensi kejadian. 1) pertama adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari indiviidu-individu di tengah masyarakat; 2) kedua adalah dimensi sistem bahasa dari kedua bahasa atau lebih yang berbaur; 3) ketiga adalah dimensi pembelajaran bahasa. Dari dimensi tingkah laku individu penutur dengan mudah dapat disimak dari berbagai praktek campur kode yang dilakukan penutur yang bersangkutan. Interferensi ini murni merupakan rancangan atau model buatan penutur itu sendiri. Ia mentransfer satu atau lebih komponen dari bahasa yang satu untuk dirakit dan diramu dalam konteks bahasa lainnya. Dari dimensi sistem bahasa, dikenal interferensi sistemik, yaitu pungutan bahasa; misalnya pembakuan bahasa Indonesia dengan menstrukturkan akhiran /-ure/ dari unsur asing (Inggris) menjadi /-ur/ dalam bahasa Indonesia. Contohnya (procedure

→ prosedur), (structure → struktur), dan lain sebagainya. Interferensi yang ketiga yakni dalam dimensi pembelajaran biasanya dinamai interferensi karena pendidikan. Dalam proses pembelajaran bahasa Kedua atau Asing, pembelajar tentu menjumpai unsur-unsur yang mirip, bahkan mungkin sama dengan bahasa pertamanya. Kondisi pembelajaran ini dianggap mempermudah proses pembelajaran. Pembelajaran menyesuaikan unsur-unsur yang mirip dan sama itu dalam mengenali dan menggunakan sistem bahasa yang baru. Proses “transfer” ini diidentifikasi sebagai transfer positif, sebaliknya bila B.I. dan B.A. sangat berlainan sehingga hampir tidak memiliki komponen yang mirip, maka proses pembelajaran akan semakin rumit. Transfer dalam bisnis pembelajaran bahasa yang kurang menguntungkan ini dikategorikan sebagai transfer (pembelajaran) negatif. Transfer positif dapat dijadiakan alat oleh guru untuk membantu keberhasilan pembelajar. Dan sebaliknya guru harus dapat meminimalisir terjadinya transfer negatif pada pembelajar.

Baik transfer positif maupun transfer negatif tergolong interferensi. Karena keduanya melibatkan unsur-unsur bahasa dari satu bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya. Chaer (1994: 66) memberikan batasan interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan sehingga tampak adanya

penyimpangan kaidah dari bahasa yang digunakan itu.

Contohnya di Indonesia selain bahasa daerah, bahasa asing bagi sebagian kecil orang Indonesia ditempatkan di atas bahasa Indonesia. Faktor yang menyebabkan timbulnya sikap tersebut adalah pandangan sosial ekonomi dan bisnis. Penguasaan bahasa Asing yang baik menjanjikan kedudukan dan taraf sosial ekonomi yang jauh lebih baik daripada hanya menguasai bahasa Indonesia.


(12)

9 Secara teoritis tidak akan ada orang yang mempunyai kemampuan berbahasa kedua (bahasa asing) sama baiknya dengan kemampuan berbahasa pertama (Nababan, 1984). Yang mungkin ada adalah orang yang mempunyai kemampuan berbahasa kedua dalam salah satu bidang kegiatan atau keilmuan. Oleh karena itu, kasus adanya transfer atau interferensi dari bahasa pertama kedalam penggunnaan bahasa kedua akan selalu ada. Pembelajaran bahasa kedua terjadi setelah seorang pembelajar menguasai dan menuranikan bahasa pertamanya. Maka, mau tidak mau, bahasa pertama yang telah dinuranikan ini akan “menganggu’ ketika pembelajar menggunakan bahasa kedua. Bahasa keduanya menjadi interferensi oleh unsur-unsur bahasa pertamanya yang telah lebih dahulu dinuranikan itu. Interferensi ini dapat terjadi pada semua tataran bahasa: fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon.

III. PEMBAHASAN

Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa tolok ukur untuk menentukan penguasaan struktur kalimat BI bagi mahasiswa asing itu didasarkan atas analisis kalimat secara struktural. Analisis difokuskan pada tiga tataran, yaitu fungsi, kategori dan peran atau makna. Agar proses analisis ini cukup jelas, patut diketengahkan tentang data penguasaan struktur kalimat yang dibuat oleh para mahasiswa Jepang itu. Data yang diungkapkan di sini meliputi dua aspek, yaitu aspek penguasaan struktur kalimat BI yang diperoleh dari hasil tes dan yang kedua penguasaan kalimat BI yang diekspresikan oleh mahasiswa Jepang itu secara bebas kemudian ditulis.

Dari hasil pengolahan data melalui tes tertulis, mahasiswa Jepang itu masih mengalami kesulitan dalam menyusun struktur kalimat BI yang gramatikal. Mereka belum mampu membedakan struktur kalimat BI yang berpola gramatikal dan yang bukan, sebagai contoh:

(l) Dia tidak ambil potlot saya.

(2) Saya tidak ketemu dengan dia dari kemarin. (3) Saya faham apa yang dijelaskan.

Secara fungsional kalimat (1), (2) dan (3) bila dianalisis berdasarkan fungsi, ada yang sudah tepat dan ada pula yang masih kurang tepat. Demikian pula, kalimat tersebut bila ditinjau dari kategori kata yang menduduki fungsi predikat belum tepat sebab bentuk kata-kata tersebut tidak gramatikal, seperti kata ambil, ketemu, dan faham.

Kategori kata ‘ambil’ dan ‘faham’ termasuk kategori kata kerja bentuk asal atau dasar. Kedua kata kerja tersebut tergolong kata kerja transitif. Oleh karena itu, kedua kata kerja tersebut bila diterapkan dalam konteks kalimat, maka kata kerja tersebut harus dibubuhi awalan me-. Jadi, kalimat itu akan sangat gramatikal bila strukturnya berbunyi, “

(1) Dia tidak mengambil potlot saya.

(2) Saya tidak menemui dia dari kemarin. (3) Saya memahami apa yang dijelaskannya.

Timbul pertanyaan mengapa kata ambil, dan faham itu kurang gramatikal dalam struktur tersebut? Kata-kata tersebut kurang gramatikal dalam konteks kalimat tersebut karena, kata ambil dan faham termasuk kategori kata dasar. Kategori kata dasar bila diterapkan dalam struktur kalimat pada umumnya akan berupa kalimat suruh. Contoh, “Ambil potlot itu!" Atau ambillah potlot itu! Jadi, berdasarkan hasil penelitian ini dapat


(13)

10 ditemukan bahwa kendala yang menyebabkan bagi mahasiswa Jepang kurang memahami struktur kalimat BI dikarenakan belum menguasai konstruksi kategori kata dalam konteks kalimat. Dasar pemahaman konstruksi kategori kata itu tidak terlepas dari bidang morfologi. Oleh karena itu, penguasaan morfologi BI bagi mahasiswa Jepang sangat diperlukan sebelum mereka mempelajari struktur kalimat BI.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mahasiswa Jepang belum menguasai struktur kalimat secara gramatikal disebabkan masih banyak ditemukan kesalahan-kesalahan dalam menggunakan kalimat itu dengan baik dan benar. Dengan kata lain, kesalahan yang dibuat mereka adalah kesalahan yang disebabkan kurang memahami aspek ketatabahasaan dalam BI.

Suatu hal yang menarik dari hasil penelitian ini ialah tentang penguasaan kalimat yang diungkapkan oleh mahasiswa Jepang, sebagai contoh;

a. (1) Saya itu buku baca.

Watashi wa hon o yomimasu. (2) Saya tempat itu tahu.

Sono tokoro o shirimasu (3) Saya itu sepatu baru beli

Atarashii kutsu o kaimasu

Kalimat (1), (2), dan (3) di atas merupakan interferensi dari bahasa Jepang sebab dalam bahasa Jepang konstruksi kalimatnya berpola S O P seperti “Watashi wa hon o yomimasu.” Watashi = saya, hon = buku, dan yomimasu = membaca. Jadi, kalimat tersebut bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Saya buku membaca. Hal itu berbeda dengan konstruksi kalimat BI. Konstruksi kalimat BI berpola SPO. Kalimat kedua terdiri dari ‘sono tokoro = tempat itu, shirimasu = tahu’ seharusnya kalimat tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Saya tahu tempat itu”. kalimat ketiga ‘atarashii = baru’, ‘kutsu = sepatu’, ‘kaimasu = membeli’ seharusnya kalimat ketiga menjadi “Saya membeli sepatu baru” Contoh kalimat (1), (2), dan tiga di atas menunjukkan bahwa terjadi interferensi pada tataran sintaksis. Mahasiswa Jepang menterjemahkan struktur kalimat bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini berarti terjadi transfer (pembelajaran) negatif karena mahasiswa Jepang masih menggunakan kaidah (B1) pada saat menggunakan (B2)

b. (4) Sekarang jam 10 berangkat ke sekolah Ima juu-ji ni gakkou e ikimasu

(5) Kemarin sudah belajar Kinou benkyoushimashita

(6) Adik perempuan sedang menonton tv Imouto wa terebi o mite imasu


(14)

11 Subjek merupakan fungsi sintaksis terpenting yang kedua setelah predikat. Pada umumnya subjek berupa nomina, frasa nominal, ataupun klausa. Suatu kalimat dapat dikatakan gramatikal apabila memiliki unsur subjek dan predikat. Kalimat (4), (5), dan (6) di atas merupakan kalimat yang tidak lengkap secara gramatikal karena tidak memiliki unsur subjek (terjadi pelesapan subjek). Dalam bahasa Jepang kedudukan subjek dalam sebuah kalimat tidak terlalu dipermasalahkan karena sebuah kalimat itu dilihat dari makna konteksnya. Dalam kalimat di atas terjadi pelesapan subjek, mahasiswa Jepang mentransfer kebiasan-kebiasan dalam struktur kalimat bahasa Jepang. Seharusnya kalimat di atas menjadi. (4) “Sekarang jam 10 saya berangkat ke sekolah; (5) Kemarin saya sudah belajar; dan (6) Adik perempuan saya sedang menonton tv”.

c. (7) Tolong kembalikan buku itu ke perpustakaan! Kono hon wa toshokan ni kaeshite kudasai! (8) Saya belajar dengan teman di kelas.

Kyoushitsu de tomodachi to benkyou shimasu.

Dalam kalimat (7) dan (8) di atas terjadi interferensi frasa numerial karena aturan tentang kata yang bermakna jamak dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia berbeda. Contohnya, dalam bahasa jepang kata ‘hon = buku’ tetapi tidak ada kata ‘buku-buku’ dan kata ‘tomodachi = teman’ tetapi dalam bahasa Jepang tidak ada kata ‘teman-teman’. Jadi sebenarnya maksud pembicara dalam kalimat di atas dalah; (7) Tolong kembalikan buku-buku itu ke perpustakaan; (8) Saya belajar dengan teman-teman di kelas. Kekeliruan seperti ini yang sering dilakukan oleh penutur Jepang ketika berbahasa Indonesia, baik dalam ragam bahasa lisan maupun tulisan. Mereka masih mentransfer aturan-aturan yang berlaku dalam bahasa Jepang (masih menggunakan kaidah yang berlaku pada B1 pada saat berbicara B2).

d. (9) Karena lampu biru sudah menyala saya akan menyebrang jalan Aoi shingou ni natte, michi o watarimasu.

Pada kalimat (9) di atas terjadi interferensi leksikon yang dilakukan dengan tidak sadar karena si pembelajar tidak tahu kalau di Indonesia tidak ada lampu biru diantara lampu rambu-rambu lalulintas (taffic light), sebenarnya maksud dari kalimat yang dibuat oleh pembelajar itu adalah “Karena lampu hijau sudah menyala saya akan menyebrang jalan”. Hal ini terjadi karena dalam bahasa ibu (bahasa Jepang) tidak mengenal lampu hijau diantara lampu rambu-rambu lalu lintas (traffic light) tetapi yang mereka tau sejak lahir adalah lampu biru.

Kebiasaan menggunakan bahasa ibu terkadang telah melekat, akibatnya sangat berpengaruh terhadap penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing atau bahasa kedua. Ditemukan dalam penelitian ini bahwa pemahaman tentang penguasaan struktrur kalimat dan bagaimana kaidah pemakaiannya masih belum mereka kuasai.


(15)

12 IV. SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

Contoh kecil masalah yang dideskripsikan di atas merupakan gambaran sederhana yang sangat terbatas, baik mengenai ruang lingkup pembahasannya maupun sumber dan contoh datanya sehingga hasil yang diperoleh juga sangat terbatas. Dalam penelitian ini dibahas hanya sebagian kecil dari permasalahan yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa Indonesia bagi mahasiswa Jepang. Terkait dengan itu, untuk mendapat hasil yang maksimal diperlukan kajian yang lebih luas dan mendalam.

Sebagai akhir pembahasan hasil penelitian ini perlu disimpulkan sebagaimana diuraikan berikut ini. Setelah melalui proses analisis data, pengolahan dan pembahasannya, hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa mahasiswa Jepang masih belum menguasai struktur kalimat BI. Ada beberapa kendala yang menyebabkan mereka belum menguasai struktur kalimat, yaitu 1) Penguasaan kosakata BI, baik dari segi fungsi maupun dari segi makna masih kurang; dan 2) Satuan-satuan linguistik sebagai unsur pembentuk struktur kalimat belum dikuasai; 3) Penguasaan struktur kalimat bahasa ibu masih melekat sehingga terjadi interferensi ke dalam BI sebagai bahasa asing; 4) terdapat perbedaan yang mencolok antara struktur pola kalimat BI sebagai bahasa asing (bahasa kedua) dengan bahasa ibu dalam bahasa Jepang (bahasa pertama; 5) mahasiswa Jepang masih menggunakan B1 pada saat menggunakan B2 atau transfer (pembelajaran) negatif.

4.2 Saran

Sehubungan dengan ditemukannya beberapa kendala yang dihadapi mahasiswa Jepang dalam mempelajari BI sebagai bahasa asing maka dipandang perlu untuk dipikirkan langkah-langkah penanggulangan. Untuk itu ada beberapa hal yang mungkin dapat dijadikan masukan untuk memecahkan masalah tersebut, yaitu

1) Mahasiswa asing yang akan belajar Bahasa dan Sastra Indonesia harus dites terlebih dahulu untuk mengetahui kemampuan dasar yang dikuasai mahasiswa asing itu; 2) Penyusunan rancangan garis-garis besar perkuliahan sintaksis tentang struktur

kalimat bagi mahasiswa asing;

3) Rancangan pengembangan model pembelajaran struktur kalimat BI bagi mahasiswa asing;

4) Penyediaan sarana media pembelajaran struktur kalimat BI baik yang bersifat elektronik maupun bukan elektronik; dan

5) Pengkajian evaluasi hasil pembelajaran struktur kalimat BI bagi pembelajar asing.

DAFTAR PUSTAKA

Alderson, J. Charles & Urquhart. (1984). Reading in Foreign Language. London: Longman. Alwasilah, Ch. 2003. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora Utama

Press (HUP).

Chaer, A. 2003. Linguistik Umum.Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, A. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta Chafe, W.L. 1970. Meaning and the Structure of Language. Chicago and London:


(16)

13 Cross, David. 1991. Practical Handbook of Language Teaching. London: Villiers House. Ellis, Rod. (1986). Understanding Second Language Acquisition. New York: Oxford

University.

Hornstein, Norbert and Lightfoot, David. ( 1981). London: Longman.

Hidayat, S. Kosadi. (1998). Kemampuan Mahasiswa Asing pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Membaca Wacana Bahasa Indonesia. Bandung: UPI

Djajasudarma, T.F. 1993a. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco.

Moeliono, M., Anton. dkk. (1988). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ramlan, M. (1982). Ilmu Bahasa Indonesia: “ Sintaksis.” Yogyakarta: CV Karyono. Sakri, Ajat. (1993). Bangun Kalimat Bahasa Indonesia. Bandung: Penerbit ITB. Seliger, W. Herbert and Shohamy, Elana. (1989). Second Language Research Method. Tarigan, Henry, Guntur. (1985). Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa.

Verhaar, J.W.M. 2002 Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wallace, Michael, J. (1991). Training Foreign Language Teacher. New York: Cambridge University Press.


(1)

8 perubahan sistem suatu bahasa, baik mengenai sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Oleh karena itu, interferensi mengenai sistem suatu bahasa lazim juga disebut interferensi sistemik.

Hadirnya alih kode dan campur kode merupakan akibat dari kemampuan anggota masyarakat berbahasa lebih dari satu. Selain itu bila dua atau lebih bahasa bertemu karena digunakan oleh penutur dari komunitas bahasa yang sama, maka akan terjadi bahwa komponen-komponen tertentu dapat tertransfer dari bahasa yang satu, yakni bahasa sumber (source or donor language) ke bahasa lain, yakni bahasa penerima (recipient language). Akibatnya terjadi pungutan bahasa atau ‘interference’ sebagaimana diistilahkan oleh Weinreich (1953). Proses terjadinya interferensi sejalan dengan proses terjadinya difusi kebudayaan (cultural diffusion) yang kita kenal dalam ilmu sosiologi.

Dalam buku Sosiolinguistik karangan Paul Ohoiwutun (2002) disebutkan bahwa gejala interferensi dapat dilihat dalam tiga dimensi kejadian. 1) pertama adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari indiviidu-individu di tengah masyarakat; 2) kedua adalah dimensi sistem bahasa dari kedua bahasa atau lebih yang berbaur; 3) ketiga adalah dimensi pembelajaran bahasa. Dari dimensi tingkah laku individu penutur dengan mudah dapat disimak dari berbagai praktek campur kode yang dilakukan penutur yang bersangkutan. Interferensi ini murni merupakan rancangan atau model buatan penutur itu sendiri. Ia mentransfer satu atau lebih komponen dari bahasa yang satu untuk dirakit dan diramu dalam konteks bahasa lainnya. Dari dimensi sistem bahasa, dikenal interferensi sistemik, yaitu pungutan bahasa; misalnya pembakuan bahasa Indonesia dengan menstrukturkan akhiran /-ure/ dari unsur asing (Inggris) menjadi /-ur/ dalam bahasa Indonesia. Contohnya (procedure → prosedur), (structure → struktur), dan lain sebagainya. Interferensi yang ketiga yakni dalam dimensi pembelajaran biasanya dinamai interferensi karena pendidikan. Dalam proses pembelajaran bahasa Kedua atau Asing, pembelajar tentu menjumpai unsur-unsur yang mirip, bahkan mungkin sama dengan bahasa pertamanya. Kondisi pembelajaran ini dianggap mempermudah proses pembelajaran. Pembelajaran menyesuaikan unsur-unsur yang mirip dan sama itu dalam mengenali dan menggunakan sistem bahasa yang baru. Proses “transfer” ini diidentifikasi sebagai transfer positif, sebaliknya bila B.I. dan B.A. sangat berlainan sehingga hampir tidak memiliki komponen yang mirip, maka proses pembelajaran akan semakin rumit. Transfer dalam bisnis pembelajaran bahasa yang kurang menguntungkan ini dikategorikan sebagai transfer (pembelajaran) negatif. Transfer positif dapat dijadiakan alat oleh guru untuk membantu keberhasilan pembelajar. Dan sebaliknya guru harus dapat meminimalisir terjadinya transfer negatif pada pembelajar.

Baik transfer positif maupun transfer negatif tergolong interferensi. Karena keduanya melibatkan unsur-unsur bahasa dari satu bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya. Chaer (1994: 66) memberikan batasan interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan sehingga tampak adanya

penyimpangan kaidah dari bahasa yang digunakan itu.

Contohnya di Indonesia selain bahasa daerah, bahasa asing bagi sebagian kecil orang Indonesia ditempatkan di atas bahasa Indonesia. Faktor yang menyebabkan timbulnya sikap tersebut adalah pandangan sosial ekonomi dan bisnis. Penguasaan bahasa Asing yang baik menjanjikan kedudukan dan taraf sosial ekonomi yang jauh lebih baik daripada hanya menguasai bahasa Indonesia.


(2)

9 Secara teoritis tidak akan ada orang yang mempunyai kemampuan berbahasa kedua (bahasa asing) sama baiknya dengan kemampuan berbahasa pertama (Nababan, 1984). Yang mungkin ada adalah orang yang mempunyai kemampuan berbahasa kedua dalam salah satu bidang kegiatan atau keilmuan. Oleh karena itu, kasus adanya transfer atau interferensi dari bahasa pertama kedalam penggunnaan bahasa kedua akan selalu ada. Pembelajaran bahasa kedua terjadi setelah seorang pembelajar menguasai dan menuranikan bahasa pertamanya. Maka, mau tidak mau, bahasa pertama yang telah dinuranikan ini akan “menganggu’ ketika pembelajar menggunakan bahasa kedua. Bahasa keduanya menjadi interferensi oleh unsur-unsur bahasa pertamanya yang telah lebih dahulu dinuranikan itu. Interferensi ini dapat terjadi pada semua tataran bahasa: fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon.

III. PEMBAHASAN

Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa tolok ukur untuk menentukan penguasaan struktur kalimat BI bagi mahasiswa asing itu didasarkan atas analisis kalimat secara struktural. Analisis difokuskan pada tiga tataran, yaitu fungsi, kategori dan peran atau makna. Agar proses analisis ini cukup jelas, patut diketengahkan tentang data penguasaan struktur kalimat yang dibuat oleh para mahasiswa Jepang itu. Data yang diungkapkan di sini meliputi dua aspek, yaitu aspek penguasaan struktur kalimat BI yang diperoleh dari hasil tes dan yang kedua penguasaan kalimat BI yang diekspresikan oleh mahasiswa Jepang itu secara bebas kemudian ditulis.

Dari hasil pengolahan data melalui tes tertulis, mahasiswa Jepang itu masih mengalami kesulitan dalam menyusun struktur kalimat BI yang gramatikal. Mereka belum mampu membedakan struktur kalimat BI yang berpola gramatikal dan yang bukan, sebagai contoh:

(l) Dia tidak ambil potlot saya.

(2) Saya tidak ketemu dengan dia dari kemarin. (3) Saya faham apa yang dijelaskan.

Secara fungsional kalimat (1), (2) dan (3) bila dianalisis berdasarkan fungsi, ada yang sudah tepat dan ada pula yang masih kurang tepat. Demikian pula, kalimat tersebut bila ditinjau dari kategori kata yang menduduki fungsi predikat belum tepat sebab bentuk kata-kata tersebut tidak gramatikal, seperti kata ambil, ketemu, dan faham.

Kategori kata ‘ambil’ dan ‘faham’ termasuk kategori kata kerja bentuk asal atau dasar. Kedua kata kerja tersebut tergolong kata kerja transitif. Oleh karena itu, kedua kata kerja tersebut bila diterapkan dalam konteks kalimat, maka kata kerja tersebut harus dibubuhi awalan me-. Jadi, kalimat itu akan sangat gramatikal bila strukturnya berbunyi, “

(1) Dia tidak mengambil potlot saya. (2) Saya tidak menemui dia dari kemarin. (3) Saya memahami apa yang dijelaskannya.

Timbul pertanyaan mengapa kata ambil, dan faham itu kurang gramatikal dalam struktur tersebut? Kata-kata tersebut kurang gramatikal dalam konteks kalimat tersebut karena, kata ambil dan faham termasuk kategori kata dasar. Kategori kata dasar bila diterapkan dalam struktur kalimat pada umumnya akan berupa kalimat suruh. Contoh, “Ambil potlot itu!" Atau ambillah potlot itu! Jadi, berdasarkan hasil penelitian ini dapat


(3)

10 ditemukan bahwa kendala yang menyebabkan bagi mahasiswa Jepang kurang memahami struktur kalimat BI dikarenakan belum menguasai konstruksi kategori kata dalam konteks kalimat. Dasar pemahaman konstruksi kategori kata itu tidak terlepas dari bidang morfologi. Oleh karena itu, penguasaan morfologi BI bagi mahasiswa Jepang sangat diperlukan sebelum mereka mempelajari struktur kalimat BI.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mahasiswa Jepang belum menguasai struktur kalimat secara gramatikal disebabkan masih banyak ditemukan kesalahan-kesalahan dalam menggunakan kalimat itu dengan baik dan benar. Dengan kata lain, kesalahan yang dibuat mereka adalah kesalahan yang disebabkan kurang memahami aspek ketatabahasaan dalam BI.

Suatu hal yang menarik dari hasil penelitian ini ialah tentang penguasaan kalimat yang diungkapkan oleh mahasiswa Jepang, sebagai contoh;

a. (1) Saya itu buku baca.

Watashi wa hon o yomimasu. (2) Saya tempat itu tahu.

Sono tokoro o shirimasu (3) Saya itu sepatu baru beli

Atarashii kutsu o kaimasu

Kalimat (1), (2), dan (3) di atas merupakan interferensi dari bahasa Jepang sebab dalam bahasa Jepang konstruksi kalimatnya berpola S O P seperti “Watashi wa hon o yomimasu.” Watashi = saya, hon = buku, dan yomimasu = membaca. Jadi, kalimat tersebut bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Saya buku membaca. Hal itu berbeda dengan konstruksi kalimat BI. Konstruksi kalimat BI berpola SPO. Kalimat kedua terdiri dari ‘sono tokoro = tempat itu, shirimasu = tahu’ seharusnya kalimat tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Saya tahu tempat itu”. kalimat ketiga ‘atarashii = baru’, ‘kutsu = sepatu’, ‘kaimasu = membeli’ seharusnya kalimat ketiga menjadi “Saya membeli sepatu baru” Contoh kalimat (1), (2), dan tiga di atas menunjukkan bahwa terjadi interferensi pada tataran sintaksis. Mahasiswa Jepang menterjemahkan struktur kalimat bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini berarti terjadi transfer (pembelajaran) negatif karena mahasiswa Jepang masih menggunakan kaidah (B1) pada saat menggunakan (B2)

b. (4) Sekarang jam 10 berangkat ke sekolah Ima juu-ji ni gakkou e ikimasu

(5) Kemarin sudah belajar Kinou benkyoushimashita

(6) Adik perempuan sedang menonton tv Imouto wa terebi o mite imasu


(4)

11 Subjek merupakan fungsi sintaksis terpenting yang kedua setelah predikat. Pada umumnya subjek berupa nomina, frasa nominal, ataupun klausa. Suatu kalimat dapat dikatakan gramatikal apabila memiliki unsur subjek dan predikat. Kalimat (4), (5), dan (6) di atas merupakan kalimat yang tidak lengkap secara gramatikal karena tidak memiliki unsur subjek (terjadi pelesapan subjek). Dalam bahasa Jepang kedudukan subjek dalam sebuah kalimat tidak terlalu dipermasalahkan karena sebuah kalimat itu dilihat dari makna konteksnya. Dalam kalimat di atas terjadi pelesapan subjek, mahasiswa Jepang mentransfer kebiasan-kebiasan dalam struktur kalimat bahasa Jepang. Seharusnya kalimat di atas menjadi. (4) “Sekarang jam 10 saya berangkat ke sekolah; (5) Kemarin saya sudah belajar; dan (6) Adik perempuan saya sedang menonton tv”.

c. (7) Tolong kembalikan buku itu ke perpustakaan! Kono hon wa toshokan ni kaeshite kudasai! (8) Saya belajar dengan teman di kelas.

Kyoushitsu de tomodachi to benkyou shimasu.

Dalam kalimat (7) dan (8) di atas terjadi interferensi frasa numerial karena aturan tentang kata yang bermakna jamak dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia berbeda. Contohnya, dalam bahasa jepang kata ‘hon = buku’ tetapi tidak ada kata ‘buku-buku’ dan kata ‘tomodachi = teman’ tetapi dalam bahasa Jepang tidak ada kata ‘teman-teman’. Jadi sebenarnya maksud pembicara dalam kalimat di atas dalah; (7) Tolong kembalikan buku-buku itu ke perpustakaan; (8) Saya belajar dengan teman-teman di kelas. Kekeliruan seperti ini yang sering dilakukan oleh penutur Jepang ketika berbahasa Indonesia, baik dalam ragam bahasa lisan maupun tulisan. Mereka masih mentransfer aturan-aturan yang berlaku dalam bahasa Jepang (masih menggunakan kaidah yang berlaku pada B1 pada saat berbicara B2).

d. (9) Karena lampu biru sudah menyala saya akan menyebrang jalan Aoi shingou ni natte, michi o watarimasu.

Pada kalimat (9) di atas terjadi interferensi leksikon yang dilakukan dengan tidak sadar karena si pembelajar tidak tahu kalau di Indonesia tidak ada lampu biru diantara lampu rambu-rambu lalulintas (taffic light), sebenarnya maksud dari kalimat yang dibuat oleh pembelajar itu adalah “Karena lampu hijau sudah menyala saya akan menyebrang jalan”. Hal ini terjadi karena dalam bahasa ibu (bahasa Jepang) tidak mengenal lampu hijau diantara lampu rambu-rambu lalu lintas (traffic light) tetapi yang mereka tau sejak lahir adalah lampu biru.

Kebiasaan menggunakan bahasa ibu terkadang telah melekat, akibatnya sangat berpengaruh terhadap penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing atau bahasa kedua. Ditemukan dalam penelitian ini bahwa pemahaman tentang penguasaan struktrur kalimat dan bagaimana kaidah pemakaiannya masih belum mereka kuasai.


(5)

12 IV. SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

Contoh kecil masalah yang dideskripsikan di atas merupakan gambaran sederhana yang sangat terbatas, baik mengenai ruang lingkup pembahasannya maupun sumber dan contoh datanya sehingga hasil yang diperoleh juga sangat terbatas. Dalam penelitian ini dibahas hanya sebagian kecil dari permasalahan yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa Indonesia bagi mahasiswa Jepang. Terkait dengan itu, untuk mendapat hasil yang maksimal diperlukan kajian yang lebih luas dan mendalam.

Sebagai akhir pembahasan hasil penelitian ini perlu disimpulkan sebagaimana diuraikan berikut ini. Setelah melalui proses analisis data, pengolahan dan pembahasannya, hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa mahasiswa Jepang masih belum menguasai struktur kalimat BI. Ada beberapa kendala yang menyebabkan mereka belum menguasai struktur kalimat, yaitu 1) Penguasaan kosakata BI, baik dari segi fungsi maupun dari segi makna masih kurang; dan 2) Satuan-satuan linguistik sebagai unsur pembentuk struktur kalimat belum dikuasai; 3) Penguasaan struktur kalimat bahasa ibu masih melekat sehingga terjadi interferensi ke dalam BI sebagai bahasa asing; 4) terdapat perbedaan yang mencolok antara struktur pola kalimat BI sebagai bahasa asing (bahasa kedua) dengan bahasa ibu dalam bahasa Jepang (bahasa pertama; 5) mahasiswa Jepang masih menggunakan B1 pada saat menggunakan B2 atau transfer (pembelajaran) negatif.

4.2 Saran

Sehubungan dengan ditemukannya beberapa kendala yang dihadapi mahasiswa Jepang dalam mempelajari BI sebagai bahasa asing maka dipandang perlu untuk dipikirkan langkah-langkah penanggulangan. Untuk itu ada beberapa hal yang mungkin dapat dijadikan masukan untuk memecahkan masalah tersebut, yaitu

1) Mahasiswa asing yang akan belajar Bahasa dan Sastra Indonesia harus dites terlebih dahulu untuk mengetahui kemampuan dasar yang dikuasai mahasiswa asing itu; 2) Penyusunan rancangan garis-garis besar perkuliahan sintaksis tentang struktur

kalimat bagi mahasiswa asing;

3) Rancangan pengembangan model pembelajaran struktur kalimat BI bagi mahasiswa asing;

4) Penyediaan sarana media pembelajaran struktur kalimat BI baik yang bersifat elektronik maupun bukan elektronik; dan

5) Pengkajian evaluasi hasil pembelajaran struktur kalimat BI bagi pembelajar asing.

DAFTAR PUSTAKA

Alderson, J. Charles & Urquhart. (1984). Reading in Foreign Language. London: Longman. Alwasilah, Ch. 2003. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora Utama

Press (HUP).

Chaer, A. 2003. Linguistik Umum.Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, A. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta Chafe, W.L. 1970. Meaning and the Structure of Language. Chicago and London:


(6)

13 Cross, David. 1991. Practical Handbook of Language Teaching. London: Villiers House. Ellis, Rod. (1986). Understanding Second Language Acquisition. New York: Oxford

University.

Hornstein, Norbert and Lightfoot, David. ( 1981). London: Longman.

Hidayat, S. Kosadi. (1998). Kemampuan Mahasiswa Asing pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Membaca Wacana Bahasa Indonesia. Bandung: UPI

Djajasudarma, T.F. 1993a. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco.

Moeliono, M., Anton. dkk. (1988). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ramlan, M. (1982). Ilmu Bahasa Indonesia: “ Sintaksis.” Yogyakarta: CV Karyono. Sakri, Ajat. (1993). Bangun Kalimat Bahasa Indonesia. Bandung: Penerbit ITB. Seliger, W. Herbert and Shohamy, Elana. (1989). Second Language Research Method. Tarigan, Henry, Guntur. (1985). Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa.

Verhaar, J.W.M. 2002 Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wallace, Michael, J. (1991). Training Foreign Language Teacher. New York: Cambridge University Press.