PERIZINAN PERDAGANGAN MINUMAN BERALKOHOL DI KOTA BANDAR LAMPUNG

(1)

LICENSING THE TRADE OF ALCOHOLIC BEVERAGES IN BANDAR

LAMPUNG CITY

By

Meyzon Duanda Herginawan

Chapter 7 article (1) Regional Regulation Number 11 year 2008 on the

supervision and

alcoholic beverages control states that every company that

conducts business trade in alcoholic beverages group B and group C is obligated

to have SIUP-MB. Especially for SIUP-MB, since 2008 after Regional Regulation

number 11 year 2008 has been expelled until 2011 has not been running as it

should. Companies that conduct business trade in alcoholic beverages which only

have SIUP (trade license) can be stated as legal for conducting business trade in

alcoholic beverages in Bandar Lampung city. In the year 2011, there is a specific

regulation that regulate the publication of SUIP-MB, which is forming and

legalizing the Regulation of Bandar Lampung’s Mayor number 81 year 2011

about the procedure for publishing alcoholic beverages trade business license

(Business license-MB). By this condition should be assessed: a) How does the

licensing trade in alcoholic beverages in bandar lampung? B) How does the

supervision for licensing trade in alcoholic beverages in bandar lampung?

The problem approach in this research is commited by using normative approach

and empirical approach. The normative approach is commited in order as the

effort to discuss by using applicable regulation as a starting point. Empirical

approach is commited by holding the supervision of the facts in the framework of

applicable regulations, especially about licensing the trade in alcoholic beverages

in bandar lampung.

The results of this research show: a) every entrepreneur who conduct trade in

alcoholic beverages in bandar lampung is obligated to have a license sales site to

sell alcoholic beverages (SITP-MB) and trade license of alcoholic beverages

(SIUP-MB). b) Supervision and control the trade in alcoholic beverages is

commited to both entrepreneurs who have and do not have a license sales site to

sell alcoholic beverages (SITP-MB) and trade license of alcoholic beverages

(SIUP-MB). For the entrepreneurs who conduct trade in alcoholic beverages

without a license sales site to sell alcoholic beverages (SITP-MB) and trade

license of alcoholic beverages (SIUP-MB) will be conducted foreclosure,

destruction the alcoholic beverages and close their selling spot. For entrepreneurs


(2)

The researcher put forward suggestion relating to the licensing trade in alcoholic

beverages in bandar lampung is the government should hold a maximum

dissemination to entrepreneurs who conduct trade in alcoholic beverages in

bandar lampung about the obligation of having a license sales site to sell alcoholic

beverages (SITP-MB) and trade license of alcoholic beverages (SIUP-MB). In

addition, the government especially for mayor should make instructions and

technical guidance for the supervision and control trade in alcoholic beverages

especially the procedures for supervision and sanctions in the form of suspension

and revocation a license sales site to sell alcoholic beverages (SITP-MB) and

trade license of alcoholic beverages (SIUP-MB) for the enterpreneurs who permit

foul immediately.


(3)

PERIZINAN PERDAGANGAN MINUMAN BERALKOHOL

DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

Meyzon Duanda Herginawan

Pasal 7 ayat (1) Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan

Pengendalian Minuman Beralkohol menyatakan bahwa setiap perusahaan yang

melakukan kegiatan usaha perdagangan minuman beralkohol golongan B dan

Golongan C wajib memiliki SIUP-MB. Khusus mengenai SIUP-MB, sejak tahun

2008 setelah dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 sampai tahun

2011 belum berjalan sebagaimana mestinya. Perusahaan yang melakukan

perdagangan minuman beralkohol dengan hanya memiliki SIUP (Surat Izin Usaha

Perdagangan) tetap dinyatakan legal untuk melalukan perdagangan minuman

beralkohol di Kota Bandar Lampung. Baru pada tahun 2011 ada peraturan yang

lebih khusus mengatur mengenai penerbitan SIUP-MB, yaitu dengan dibentuk dan

disahkannya Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 81 Tahun 2011 tentang

Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol

(SIUP-MB). Dengan kondisi tersebut perlu dikaji: a) Bagaimanakah tata cara perizinan

perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung? b) Bagaimanakah

pengawasan terhadap perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar

Lampung?

Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan normatif

dan pendekatan empiris. Pendekatan normatif dimaksudkan sebagai usaha

mengadakan pembahasan dengan bertitik tolak kepada peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Pendekatan empiris dilakukan dengan mengadakan

pengamatan terhadap kenyataan yang ada di lapangan dalam rangka pelaksanaan

peraturan-peraturan yang berlaku, khususnya mengenai perizinan perdagangan

minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa: a) Setiap pengusaha yang melakukan

kegiatan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung wajib

memiliki Surat Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dan Surat

Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB). b) Pengawasan dan

pengendalian perdagangan minuman beralkohol dilakukan terhadap pengusaha

baik yang tidak memiliki maupun yang memiliki Surat Izin Tempat Penjualan

Minuman Beralkohol (SITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman


(4)

dilakukan penyitaan, pemusnahan minuman beralkohol dan penutupan tempat

usaha yang bersangkutan. Bagi pengusaha yang memiliki Surat Izin Tempat

Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan

Minuman Beralkohol (SIUP-MB) namun melakukan pelanggaran akan diberikan

sanksi pemberhentian sementara izin dan pencabutan izin.

Adapun saran yang diajukan peneliti berkaitan dengan perizinan perdagangan

minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung adalah pemerintah harus

mengadakan sosialisasi yang maksimal kepada pengusaha yang melakukan

kegiatan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung mengenai

kewajiban memiliki Surat Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB)

dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB). Selain itu,

pemerintah yaitu walikota segera membuat petunjuk pelaksana dan petunjuk

teknis terkait dengan tata cara pengawasan dan pengendalian perdagangan

minuman beralkohol khususnya tata cara atau prosedur pengawasan dan

pemberian sanksi berupa pemberhentian sementara dan pencabutan Surat Izin

Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) kepada pengusaha yang

melakukan pelanggaran izin.


(5)

I. PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Izin sebagai bukti legalitas untuk menjalankan usaha khususnya perdagangan barang yang dijual bebas ataupun barang yang perdagangannya dalam pengawasan pemerintah. Barang dagang yang perdagangannya diawasi oleh pemerintah salah satunya adalah minuman beralkohol. Minuman beralkohol termasuk dalam barang perdagangan dalam pengawasan karena efek dari mengkonsumsi minuman beralkohol ini dapat menurunkan atau menghilangkan kesadaran orang dan menyebabkan penyakit pada tubuh manusia.

Efek yang ditimbulkan setelah mengkonsumsi alkohol dapat dirasakan segera dalam waktu beberapa menit saja, tetapi efeknya berbeda-beda, tergantung dari jumlah/kadar alkohol yang dikonsumsi. Minuman beralkohol bila dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan, akan muncul efek, yaitu merasa lebih bebas mengekspresikan diri, tanpa ada perasaan terhambat menjadi lebih emosional (sedih, senang, marah secara berlebihan) muncul akibat ke fungsi fisik-motorik, seperti bicara cadel, pandangan menjadi kabur, sempoyongan, inkoordinasi motorik dan bisa sampai tidak sadarkan diri, kemampuan mental mengalami hambatan, yaitu gangguan untuk memusatkan perhatian dan daya ingat terganggu.


(6)

Pengguna biasanya merasa dapat mengendalikan diri dan mengontrol tingkah lakunya. Pada kenyataannya mereka tidak mampu mengendalikan diri seperti yang mereka sangka mereka bisa. Oleh sebab itu, banyak ditemukan kecelakaan mobil yang disebabkan karena mengendarai mobil dalam keadaan mabuk.

Pemabuk atau pengguna alkohol yang berat dapat terancam masalah kesehatan yang serius seperti radang usus, penyakit liver, dan kerusakan otak. Kadang-kadang alkohol digunakan dengan kombinasi obat-obatan berbahaya lainnya, sehingga efeknya jadi berlipat ganda. Bila ini terjadi, efek keracunan dari penggunaan kombinasi akan lebih buruk lagi dan kemungkinan mengalami over dosis akan lebih besar.

Selain dari efek yang ditimbulkan di atas, mengonsumsi minuman beralkohol yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat. Dampak negatif dari mengonsumsi minuman beralkohol ini seperti yang dijumpai dalam berbagai pemberitaan baik media cetak maupun media elektronik. Banyak pengguna alkohol yang mengonsumsi minuman beralkohol yang kemudian harus berurusan dengan pihak kepolisian ketika mengonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan. Ketika mengonsumsi minuman beralkohol tanpa batas, maka pengonsumsi menjadi tak terkendali dan senantiasa berbuat semaunya saja. Dampak negatif yang terjadi setelah mengonsumsi minuman beralkohol ini antara lain kecelakaan lalu lintas atau tindakan melanggar hukum seperti penganiayaan, pencurian, tawuran dan lain sebagainya. Sebagai contoh adalah kasus penganiayaan yang terjadi setelah mengonsumsi minuman beralkohol yang mengakibatkan tewasnya Muhammad Irwan, sopir angkutan kota yang dilakukan


(7)

oleh dua orang pelaku yang berinisial D dan K pada tanggal 08 November 2011. (Lampung Post, Jumat 11 November 2011) Selain itu juga mengonsumsi minuman beralkohol menjadi salah satu faktor penyebab terjadi kecelakaan lalu lintas jalan darat. Contohnya kecelakaan kendaraan bermotor antara tiga buah sepada motor yang mengakibatkan dua korban meninggal dunia dan empat orang luka-luka di Kota Metro (Radar Lampung, Senin 02 November 2009).

Pemerintahan mengatur dan mengawasi perdagangan minuman beralkohol karena dampak negatif dari mengonsumsi minuman beralkohol tersebut sangat membahayakan. Ini dilakukan pemerintahan dengan mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan baik tingkat pusat maupun tingkat daerah. Peraturan tersebut salah satunya adalah Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Dalam Pasal 19 ayat (1) permen ini mengatur bahwa setiap perusahaan yang melakukan kegiatan pengedaran dan/atau penjualan minuman beralkohol golongan B dan/atau golongan C wajib memiliki SIUP-MB. Pada ayat (2) menyatakan bahwa setiap perusahaan yang melakukan kegiatan usaha pengedaran dan/atau penjualan minuman beralkohol golongan A wajib memilki SIUP. SIUP-MB merupakan surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus minuman beralkohol golongan B dan/atau golongan C.

SIUP-MB ini harus dimiliki oleh setiap perusahaan ataupun perorangan apabila ingin melakukan kegiatan perdagangan minuman beralkohol. Selain Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 43/M-DAG/PER/9/2009, terdapat pula peraturan


(8)

daerah yang mengatur lebih lanjut tentang perdagangan minuman beralkohol. Untuk daerah Kota Bandar Lampung terdapat Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Pengedaran Penjualan Minuman Beralkohol. Pasal 7 ayat(1) Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 ini menyatakan bahwa setiap perusahaan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan minuman beralkohol golongan B dan atau golongan C wajib memiliki SIUP-MB.

Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus minuman beralkohol golongan B dan/atau golongan C. Setiap perusahaan yang melakukan kegiatan pengadaan, pengedaran, dan/atau penjualan minuman beralkohol golongan B dan/atau C wajib memiliki SIUP-MB.

Khusus mengenai penerbitan SIUP-MB di Kota Bandar Lampung, sejak tahun 2008 setelah dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 sampai tahun 2011 belum berjalan sebagaimana mestinya. Perusahaan yang melakukan perdagangan minuman beralkohol dengan hanya memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) tetap dinyatakan legal untuk melalukan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung.

Baru pada tahun 2011 ada peraturan yang lebih khusus mengatur mengenai penerbitan SUIP-MB, yaitu dengan dibentuk dan disahkannya Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 81 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB). Peraturan ini dikeluarkan untuk menindaklanjuti Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 dan Peraturan


(9)

Menteri Perdagangan RI Nomor: 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 53/M-DAG/PER/12/2010.

Walaupun telah diatur dengan jelas bahwa perdagangan minuman beralkohol harus memiliki izin terlebih dahulu, perdagangan minuman beralkohol masih dilakukan juga oleh pihak-pihak yang tidak memiliki izin. Akibatnya, saat ini juga bukan hanya orang dewasa saja yang mengonsumsi minuman beralkohol namun remaja yang rata-rata merupakan pelajar telah juga mengonsumsi minuman beralkohol. Ini karena banyak penjual yang tidak mempunyai izin menjual minuman beralkohol secara sembunyi-sembunyi.

Minuman beralkohol sebenarnya hanya dapat dijual kepada orang dewasa dan di tempat tertentu yang dizinkan. Namun dalam kenyataannya perdagangan minuman beralkohol dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki izin dan dilakukan tidak pada tempat yang diizinkan. Perdagangan minuman beralkohol yang dilakukan tanpa izin dan tidak pada tempat yang diizinkan karena kurangnya pengawasan pemerintah. Pengawasan terhadap perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung dapat dirasakan masih kurang maksimal. Banyak jenis-jenis atau merek-merek minuman beralkohol yang beredar di Kota Bandar Lampung baik terdaftar maupun tidak terdaftar dijual secara mudah walaupun penjualannnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Kios atau warung di pinggir jalan di Kota Bandar Lampung terutama di dekat daerah keramaian misalnya terminal dan pasar menjadi tempat memperdagangkan minuman beralkohol.


(10)

Tentunya, kios dan warung ini tidak mempunyai izin untuk melakukan usaha perdagangan apalagi izin untuk memperdagangkan minuman beralkohol.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perizinan perdagangan minuman beralkohol dengan judul, “Perizinan Perdagangan Minuman Beralkohol Di Kota Bandar Lampung.”

1. 2 Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. 2. 1 Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah tata cara perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung?

b. Bagaimanakah pengawasan terhadap perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung?

1. 2. 2 Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari penelitian ini membahas tentang perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung. Hal-hal yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah tata cara perizinan perdagangan minuman beralkohol dan pengawasan terhadap perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung.


(11)

1. 3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. 3. 1 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan dari penelitian ini, adalah:

a. Mengetahui tata cara perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung.

b. Mengetahui pengawasan perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung.

1. 3. 2 Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini, yaitu:

a. Kegunaan teoritis, yaitu berguna sebagai upaya memahami ilmu hukum di bidang Hukum Administrasi Negara, khususnya Hukum Perizinan yang berkaitan dengan perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung.

b. Kegunaan praktis, yaitu menambah pengetahuan pemerintah, pelaku dunia usaha dan masyarakat mengenai perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung.


(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Perizinan

2. 1. 1 Pengertian Izin

Izin menurut definisi yaitu perkenan atau pernyataan mengabulkan. Izin secara khusus adalah suatu persetujuan penguasa untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan. Sedangkan secara garis besar perizinan adalah prosedur atau tata cara yang mengatur hubungan masyarakat dengan negara dalam hal adanya masyarakat yang memohon izin.

Prinsip izin terkait dalam hukum publik oleh karena berkaitan dengan perundang-undangan pengecualiannya apabila ada aspek perdata yang berupa persetujuan seperti halnya dalam pemberian izin khusus. Izin merupakan perbuatan Hukum Administrasi Negara bersegi satu yang diaplikasikan dalam peraturan berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ketentuan perundang-undangan.

Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, izin merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundang-undangan (izin dalam arti sempit) berdasarkan apa yang dikatakan oleh Spelt dan ten Berge,


(13)

dalam izin dapat dipahami bahwa suatu pihak tidak dapat melakukan sesuatu kecuali diizinkan. Artinya, kemungkinan untuk seseorang atau suatu pihak tetutup kecuali diizinkan oleh pemerintah. Dengan demikian, pemerintah mengikatkan perannya dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang atau pihak yang bersangkutan (Philipus M. Hadjon, 1991: 127).

Pendapat Spelt dan ten Berge tersebut sedikit berbeda dengan pandangan Van der Pot. Menurut Van der Pot, izin merupakan keputusan yang memperkenankan dilakukannya perbuatan yang pada pronsipnya tidak dilarang oleh pembuat peraturan. Menurut Prajudi Atmosudirdjo, izin (vergunning) adalah suatu penetapan yang merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh undang-undang. Pada umunya pasal undang-undang yang bersangkutan berbunyi, “ dilarang tanpa izin … (melakukan)… dan seterusnya.” selanjutnya larangan tersebut diikuti dengan perincian syarat-syarat, kriteria dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dan larangan, disertai dengan penetapan prosedur dan petunjuk pelaksanaan (juklak) kepada pejabat-pejabat adminsitrasi negara yang bersangkutan (Philipus M.Hadjon, 1991: 128).

Dalam hal izin kiranya perlu dipahami bahwa sekalipun dapat dikatakan dalam ranah keputusan pemerintah, yang dapat mengeluarkan izin ternyata tidak selalu organ pemerintah. Contohnya, izin untuk melakukan pemeriksaan terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dalam hal ini dikeluarkan oleh presiden selaku kepala Negara. Menyangkut hubungan kelembagaan yang lain seperti apabila Badan Pemeriksa Keuangan akan melakukan pemeriksaan untuk mendapatkan akses data dari suatu pihak wajib pajak, maka terlebih dahulu harus


(14)

ada izin dari menteri keuangan. Karena itu, kontek hubungan dalam perizinan menampakkan komplesksitasnya. Tidak terbatas pada hubungan antara pemerintah rakyat, tetapi juga menyangkut kelembagaan dalam Negara. Izin tidak sama dengan pembiaran. Apabila ada aktivitas dari anggota masyarakat yang sebenarnya dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi ternyata tidak dilakukan penindakan oleh aparatur yang berewenang pembiaran itu bukan berarti diizinkan. Untuk dapat dikatakan izin harus ada keputusan yang konstitutif dari aparatur menertibkan izin.

W.F Prins yang diterjemahkan mengatakan bahwa istilah izin dapat diartikan tampaknya dalam arti memberikan dispensasi dari sebuah larangan dan pemakaiannya dalam arti itu pula. Uthrecht mengatakan bilamana pembuatan peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret maka perbuatan administrasi negara memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning) (Philipus M.Hadjon, 1991: 125).

Izin merupakan suatu penetapan yang merupakan dispensasi dari suatu larangan oleh undang-undang yang kemudian larangan tersebut diikuti dengan perincian dari pada syarat-syarat, kriteria dan lainnya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan tersebut disertai dengan penetapan prosedur dan juklak (petunjuk pelaksanaan) kepada pejabat-pejabat administrasi negara yang bersangkutan. Sjachran Basah mengatakan, izin merupakan perbuatan hukum administrasi negara yang bersegi satu yang mengaplikasikan


(15)

peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Philipus M.Hadjon, 2005: 328).

Izin menurut Bagir Manan, yaitu merupakan persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menguraikan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang. Izin khusus yaitu persetujuan terlihat adanya kombinasi antara hukum publik dengan hukum privat, dengan kata lain izin khusus adalah penyimpangan dari sesuatu yang dilarang. Izin yang dimaksud yaitu:

1. Dispensasi

Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, pelepasan atau pembebasan (dispensasi) merupakan pengecualian yang sungguh-sungguh yaitu merupakan pengecualian atas larangan sebagai aturan umum. Pemberian perkenan berhubungan erat dengan keadaan-keadaan khusus persitiwa. Menurut Van der Pot, dispensasi merupakan keputusan administrasi negara yang membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan suatu peraturan yang menolak perbuatan itu. Hal serupa dikemukakan oleh Amrah Muslimin, yang mengatakan bahwa dispensasi adalah suatu pengecualian dari ketentuan-ketentuan umum, dalam hal pembuat undang-undang sebenarnya pada prinsipnya tidak berniat mengadakan pengecualian. Contoh: penetapan umur kawin bagi seseorang karena keadaan khusus di bawah usia minimum 18 tahun. Contoh lain adalah penetapan bagi kepala daerah A boleh tinggal di luar rumah jabatan. Mengacu kepada pengertian tersebut maka sebenarnya dispensasi berangkat dari sebuah larangan yang sungguh-sungguh (Philipus M.Hadjon, 2005: 329).


(16)

2. Pengertian Lisensi dan Konsesi

Menurut Prajudi Atom Sudirdjo, lisensi adalah suatu pengertian khas Indonesia yang di negeri Belanda tidak ada. Istilah tersebut berasal dari istilah hukum administrasi Amerika Serikat, license, yang dalam Bahasa Belanda disebut Vergunning. Istilah lisensi sering digunakan pada tahun 1950-an ketika perdagangan masing terikat pada sistem devisa ketat sehingga setiap importir memerlukan lisensi dari kantor pusat urusan impor yang bekerjasama dengan kantor urusan devisa, yaitu lembaga alat-alat pembayaran luar negeri untuk mengimpor barang atau jasa (Philipus M.Hadjon, 2005: 331). Jadi, lisensi adalah izin untuk melakukan sesuatu yang bersifat komersial serta mendatangkan keuntungan atau laba. Setelah rezim devisa dihapus, istilah dan pengertian lisensi makin tidak dikenal orang. Menurut Amrah Muslimin, lisensi merupakan izin yang sebenarnya (de eigenlijke). Dasar pikiran dilakukannya penetapan yang merupakan lisesnsi ialah bahwa hal-hal yang diliputi oleh lisensi diletakkan di bawah pemerintah untuk mengadakan penertiban dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, umpamanya izin perusahan bioskop, ekspor, impor dan lain-lain. Konsesi adalah suatu penetapan administrasi negara yang secara yuridis sangat kompleks karena merupakan seperangkat dispensasi, izin, lisensi, disertai pemberian semacam wewenang pemerintahan. Terbatas kepada konsesionaris. Konsesi tidak mudah diberikan karena mengandung bahaya penyelundupan, perusakan bumi dan kekayaan alam negara, dan kadang-kadang merugikan masyarakat setempat yang bersangkutan. konsesi diberikan atas permohonan dengan prosedur serta syarat-syarat yang terperinci kepada perusahaan-perusahaan yang mengusahakan sesuatu yang cukup besar, baik dalam arti modal,


(17)

tenaga kerja, maupun lahan atau wilayah usaha, misalnya perusahaan minyak bumi, perusahaan perhutanan, perusahaan perikanan dan pertambangan pada umumnya. Singkatnya, semua perusahaan yang mengusahakan sesuatu dengan modal besar, dengan mengurangi kedaulatan atau wewenang pemerintahan pemerintah, dan dengan luas areal atau lahan yang cukup besar sehingga merupakan suatu usaha yang cukup rumit dari segi hukum, memerlukan konsesi, tidak cukup izin biasa.

Selain pengertian izin yang diberikan oleh beberapa sarjana tersebut di atas, ada pengertian izin yang dimuat dalam peraturan yang terbaru, misalnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Cara Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah. Dalam ketentuan tersebut, izin diberikan pengertian sebagai dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lain yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Pemberian pengertian izin tersebut menunjukkan adanya penekanan pada izin yang tertulis, yaitu berbentuk dokumen, sehingga yang disebut sebagai izin tidak termasuk yang diberikan secara lisan.

2. 1. 2 Sifat Izin

Pada dasarnya izin merupakan keputusan pejabat/ badan tata usaha negara yang berwenang, yang isi substansinya mempunyai sifat sebagai berikut:

a. izin bersifat bebas, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang penerbitannya tidak terikat pada aturan dan hukum tertulis serta organ yang


(18)

berwenang dalam izin memiliki kebebasan yang besar dalam memutuskan pemberian izin.

b. izin bersifat terikat, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang penerbitannya terikat pada aturan dan hukum tertulis dan tidak tertulis serta organ yang berwenang dalam izin kadar kebebasannya dan wewenangnya tergantung pada kadar sejauhmana peraturan perundang-undangan mengaturnya. Izijn yang bersifat terikat antara lain, yaitu IMB, izin HO, izin usaha industri dan lain-lain.

Perbedaan antara izin yang bersifat bebas dan terikat adalah penting dalam hal apakah izin dapat ditarik kembali/ dicabut atau tidak. Pada dasarnya izin yang merupakan keputusan tata usaha negara yang bebas dapat ditarik kembali/ dicabut, hal ini karena tidak ada persyaratan yang bersifat mengikat bahwa izin tidak dapat ditarik kembali/ dicabut (Adrian Sutedi, 2008: 174). Pada izin yang bersifat terikat, pembuat undang-undang memformulasikan syarat-syarat izin dapat diberikan dan izin dapat ditarik kembali/ dicabut. Hal yang penting dalam pembedaan di atas adalah dalam hal menentukan kadar luasnya dasar pengujian oleh hakim tata usaha negara apabila izin tersebut sebagai keputusan tata usaha negara apabila digugat.

c. Izin yang bersifat menguntungkan, merupakan izin yang isinya mempunyai sifat menguntungkan bagi yang bersangkutan. Izin yang bersifat menguntungkan isi nyata keputusan yang memberikan anugerah kepada yang bersangkutan (Adrian Sutedi, 2008: 175). Dalam arti, yang bersangkutan diberikan hak-hak tertentu atau pemenuhan tuntutan yang tidak akan ada


(19)

tanpa keputusan tersebut. Izin yang bersifat menguntungkan, antara lain SIM, SIUP, SITU dan lain-lain.

d. Izin yang bersifat memberatkan, merupakan izin yang isinya mengandung unsur-unsur memberatkan dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang berkaitan kepadanya (Adrian Sutedi, 2008: 175). Di samping itu, izin yang bersifat memberatkan juga merupakan izin yang memberi beban kepada orang lain atau masyarakat sekitarnya. Izin yang bersifat memberatkan, antara lain pemberian izin kepada perusahaan tertentu.

2. 1. 3 Izin Sebagai Bentuk Ketetapan

Dalam negara hukum modern tugas dan kewenangan pemerintah tidak hanya sekedar menjaga ketertiban dan keamanan, tetapi juga mengupayakan kesejahteraan umum. Tugas dan kewenangan pemerintah untuk menjaga ketertiban dan keamanan merupakan tugas klasik yang sampai pada saat ini masih tetap dipertahankan. Dalam rangka melaksanakan tugas ini kepada pemerintah diberikan wewenang dalam bidang pengaturan, yang dari fungsi pengaturan ini muncul beberapa instrumen yuridis untuk menghadapi peristiwa individual dan konkret, yaitu dalam bentuk ketetapan. Sesuai dengan sifatnya, individual dan konkret, ketetapan ini merupakan ujung tombak dari instrumen hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan (Philipus M. Hadjon, 1998: 125). Salah satu wujud dari ketetapan ini adalah izin.

Berdasarkan jenis-jenis ketetapan, izin termasuk sebagai ketetapan yang bersifat konstitutif, yakni ketetapan yang menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dari ketetapan itu atau ketetapan


(20)

yang memperkenankan sesuatu yang sebelumnya tidak diperbolehkan (C.J.N. Versteden dalam Adrian Sutedi, 2008: 184). Dengan demikian, izin merupakan instrumen yuridis dalam bentuk ketetapan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan pemerintah untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret. Sebagai ketetapan, izin itu dibuat dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku pada ketetapan pada umumnya.

2. 1. 4 Tujuan Sistem Perizinan

Melalui izin, pemerintah terlibat dalam kegiatan warganegara. Dalam hal ini, pemerintah mengarahkan warganya melalui instrumen yuridis berupa izin. Kadangkala kebijakan pemerintah untuk terlibat dalam kegiatan masyarakat, bahkan tidak berhenti pada satu tahap, melainkan melalui serangkaian kebijakan, setelah izin diproses, masih dilakukan pengawasan, pemegang izin diwajibkan meyampaikan laporan secara berkala dan sebagainya. Pemerintah melakukan pengendalian terhadap kegiatan masyarakat dengan melakukan instrumen perizinan. Izin dapat dimaksudkan untuk mencapai berbagai tujuan tertentu. Menurut Spelt dan ten Berge, motif-motif untuk menggunakan sistem izin dapat berupa keinginan mengarahkan (mengendalikan/sturen) aktivitas-aktivitas tertentu, hendak membagi benda-benda yang sedikit, dan mengarahkan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas. Secara lengkap tujuan dari izin adalah sebagai berikut:

a. Mengarahkan aktivitas-aktivitas tertentu; b. Mencegah bahaya terhadap lingkungan; c. Keinginan melindungai objek-objek tertentu;


(21)

e. Menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas lainnya.

Menurut Spelt dan ten Berge, pada umumnya sistem ini terdiri atas larangan, persetujuan yang merupakan dasar perkecualian (izin) dan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin, yaitu sebagai berikut:

a. Larangan;

b. Persetujuan yang merupakan dasar pengecualian (izin); c. Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin.

2. 1. 5 Urgensi dan Susunan Izin

Keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah seringkali dapat dibedakan dari sisi wujudnya menjadi dua hal, yaitu keputusan lisan dan keputusan tertulis. Keputusan lisan dapat dikeluarkan oleh pemerintah terhadap hal yang bersifat mendesak atau segera harus diambil. Tidak terlalu sulit untuk mendapatkan gambaran mengenai hal ini, seperti dalam hal terjadi kebakaran, organ pemerintah yang berwenang, yaitu aparatur kepolisian segera memerintahkan agar orang-orang menyingkir dari jalan yang akan dilalui oleh mobil pemadam kebakaran. Izin pada umumnya dibuat melalui serangakaian proses dalam jangka waktu tertentu. Misalnya sebagai landas dan hukum, sebagai instrumen untuk menjamin kepastian hukum, sebagai instrument untuk melindungi kepentingan dan sebagai alat bukti dalam hal ada klaim.

Izin yang sama dapat termuat hal-hal yang berbeda-beda apabila yang menerbitkan itu instansi yang berbeda. Mengingat izin yang dikeluarkan oleh pemerintah itu demikian banyaknya, tentu juga dapat beragam susunannya. Untuk


(22)

izin tertentu ada yang tersusun dalam bagian-bagian yang ringkas dan padat, tetapi untuk jenis izin yang lain ada yang susunannya terurai secara terperinci.

2. 1. 6 Prosedur Penerbitan Izin

Penerbitan sebuah izin pada umumnya akan menempuh prosedur sebagai berikut: 1. Permohonan

Izin merupakan sebuah keputusan pemerintah, atau menurut Undang-Undang No. 51 Tahun tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Negara (PTUN) disebut sebagai keputusan tata usaha negara. Sebagai sebuah keputusan pemerintah, izin lahir tidak dengan sendirinya, melainkan terlebih dahulu mesti ada permohonan dari seseorang atau suatu pihak tertentu. Sebagai sebuah keputusan dari badan/pejabat yang berwenang, izin lain melalui serangkaian proses yang dimulai dari permohonan yang kemudian diproses melalui serangkaian tahapan yang kadangkala begitu panjang.

2. Penelitian persyaratan dan peran serta

Hal ini merupakan bagian yang penting dari tahapan penerbitan izin. Kecermatan, kematangan, dan kehati-hatian perlu digunakan meskipun tidak harus sampai berlebihan. Prinsip bertindak cermat dan hati-hati merupakan hal yang tidak bisa diabaikan dalam pengambilan keputusan hukum. Sekali keputusan keluar dapat menimbulkan akibat hukum tertentu yang kadang kala implikasinya cukup banyak.

3. Pengambilan keputusan

Izin merupakan keputusan yang lahir dari adanya permohonan, sebelum izin keluar tentu ada dua kemungkinan keputusan terhadap permohonan itu.


(23)

Kemungkinan pertama adalah permohonan itu dikabulkan yang berarti izin diterbitkan dan kemungkinan yang kedua permohonan itu tidak dikabulkan yang berarti izin tidak diterbitkan.

Proses pengambilan keputusan seringkali dilakukan tidak dengan seketika melainkan melalui serangkaian proses. Pengambilan keputusan atas izin kadangkala juga tidak murni sebagai keputusan satu pihak saja melainkan keputusan itu dibuat dalam serangkaian proses memutuskan.

4. Penyampaian izin

Apabila proses penanganan izin telah selesai, yaitu apabila pejabat atau organ pemerintah yang berwenang telah menandatangani izin tersebut, maka proses selanjutnya adalah penyampaian izin. Penyampaian izin dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya melalui penyampaian langsung. Untuk surat izin mengemudi (SIM), misalnya pemohon cukup menerima izin tersebut langsung ditempat pengurusan karena biasanya setelah pemohon mengajukan permohonan, langsung dilakukan pengujian baik tertulis maupun lisan.

2. 1. 7 Waktu Penyelesaian Izin

Waktu penyelesaian izin harus ditentukan oleh instansi yang bersangkutan. Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan. Dimensi waktu selalu melekat pada proses perizinan karena adanya tata cara yang harus ditempuh seseorang dalam mengurus izin tersebut. Dengan demikian regulasi dan deregulasi harus memenuhi kriteria berikut (Adrian Sutedi, 2008: 187).


(24)

b. waktu yang ditetapkan sesingkat mungkin; dan

c. diinformasikan secara luas bersama-sama dengan prosedur dan

persyaratan

2. 1. 8 Biaya Perizinan

Biaya atau tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian izin. Penetapan besaran biaya pelayanan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. rincian biaya harus jelas untuk setiap perizinan, khususnya yang memerlukan tindakan seperti penelitian, pemeriksaan, pengukuran dan pengajuan;

b. ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan atau dan memperhatikan prosedur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Adrian Sutedi, 2008: 187).

Pembiayaan menjadi hal yang mendasar dari pengurusan perizinan. Namun perizinan sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk mengatur aktivitas masyarakat sudah seharusnya memenuhi sifat-sifat sebagai pelayanan publik. Dengan demikian, meskipun terdapat pembiayaan, sesungguhnya bukan untuk alat budgetaire negara.

Biaya perizinan harus memenuhi syarat-syarat (Adrian Sutedi, 2008: 188) sebagai berikut:

a. disebutkan dengan jelas; b. mengikuti standar nasional;

c. tidak ada pengenaan biaya lebih dari sekali untuk setiap obyek (syarat) tertentu;

d. perhitungan didasarkan pada tingkat real cost (biaya yang sebenarnya); e. besarnya biaya diinformasikan secara luas.


(25)

2. 2 Perdagangan

2. 2. 1 Pengertian Perdagangan

Perdagangan atau perniagaan pada umumnya adalah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat dan suatu waktu dan menjual barang tersebut di tempat dan waktu lainnya untuk memperoleh keuntungan. Perdagangan atau pertukaran mempunyai arti khusus dalam ilmu ekonomi. Perdagangan diartikan sebagai proses tukar menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak. Perdagangan mempunyai tugas, yaitu:

a. Membawa atau memindahkan barang-barang dari tempat-tempat yang

berkelebihan (surplus) ke tempat-tempat yang kekurangan (minus).

b. Memindahkan barang-barang dari produsen ke konsumen.

c. Menimbun dan menyimpan barang-barang itu dalam masa yang berlebihan

sampai mengancam bahaya kekurangan.

2. 2. 2 Jenis Perdagangan

Jenis perdagangan dapat diklasifikasikan berdasarkan: 1. Menurut pekerjaan yang dilakukan pedagang, yaitu:

a. Perdagangan mengumpulkan dan

b. Perdagangan menyebarkan.

2. Menurut jenis barang yang diperdagangkan, yaitu:

a. Perdagangan barang yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani manusia, misalnya hasil pertanian, pertambangan, pabrik.


(26)

b. Perdagangan buku, musik, kesenian.

c. Perdagangan uang dan kertas-kertas berharga (bursa efek). 3. Menurut daerah atau tempat perdagangan dijalankan, yaitu:

a. Perdagangan dalam negeri.

b. Perdagangan luar negeri (perdagangan internasional), yang meliputi perdagangan ekspor dan perdagangan impor.

c. Perdagangan meneruskan (perdagangan transito).

Selain perdagangan, terdapat pula perniagaan (handelszaak). Usaha perniagaan adalah segala usaha kegiatan baik aktif maupun pasif, termasuk juga segala sesuatu yang menjadi perlengkapan perusahaan tertentu yang kesemuanya itu dimaksud untuk memperoleh keuntungan.

2. 3 Minuman Beralkohol

2. 3. 1 Pengertian Minuman Beralkohol

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 43/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol Pasal 1 angka 1, minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung ethanol yang berasal dari fermentasi.


(27)

2. 3. 2 Penggolongan Dan Jenis Minuman Beralkohol

Penggolongan dan jenis minuman beralkohol berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 43/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, yaitu sebagai berikut:

a. Minuman Beralkohol golongan A adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) diatas 0% (nol perseratus) sampai dengan 5% (lima perseratus);

b. Minuman Beralkohol golongan B adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 5% (lima perseratus) sampai dengan 20% (dua puluh perseratus); dan

c. Minuman Beralkohol golongan C adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 20% (dua puluh perseratus) sampai dengan 55% (lima puluh lima perseratus).

2. 3. 3 Dasar Hukum Perdagangan Minuman Beralkohol

Pemerintah demi melindungi kesehatan, ketenteraman dan ketertiban serta kehidupan moral masyarakat dari akibat buruk konsumsi minuman beralkohol, maka perlu mengatur kebijakan yang berkaitan dengan aspek pengadaan, pengedaran dan penjualan minuman beralkohol yang berasal dari dalam negeri dan impor. Oleh karena itu, diperlukan peraturan perundang-undanga yang mengatur perdagangan minuman beralkohol.

Peraturan tingkat pusat yang mengatur kegaiatan perdagangan minuman beralkohol salah satunya adalah Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor:


(28)

43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 53/M-DAG/PER/12/2010 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Pada tingkat daerah peraturan mengenai perdagangan minuman beralkohol diatur dalam peraturan perundang-undangan tingkat daerah seperti peraturan daerah. Perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung dilakukan dengan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Pengedaran Penjualan Minuman Beralkohol, Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 80 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol dan Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 81 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol.

2. 4 Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol

Perizinan perdagangan minuman beralkohol diperlukan demi ketenteraman dan ketertiban serta kehidupan masyarakat dari akibat buruk konsumsi minuman beralkohol. Perizinan tersebut yang berkaitan dengan aspek pengadaan, pengedaran dan penjualan minuman beralkohol yang berasal dari dalam negeri dan impor. Izin perdagangan minuman beralkohol terdiri dari Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (ITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB).


(29)

2. 4. 1 Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (ITP-MB)

Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol adalah izin yang diberikan kepada orang pribadi atau badan untuk keperluan penjualan minuman beralkohol dari bupati/walikota dalam hal ini Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi UKM. Setiap perusahaan yang melakukan kegiatan pengadaan, pengedaran dan/atau penjualan minuman beralkohol wajib memiliki ITP-MB. Klasifikasi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, terdiri dari:

a. Golongan A, yaitu hotel dan restoran;

b. Golongan B, yaitu diskotik, pub, bar dan tempat karaoke; c. Golongan C, yaitu klab malam.

Untuk memperoleh izin maka pemohon harus mengajukan permohonan kepada Bupati cq. Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi UKM kabupaten/kota secara tertulis menggunakan Bahasa Indonesia. Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (ITP-MB) berlaku tiga tahun dan harus mendaftar ulang setiap tahun. Bupati/walikota dapat menolak untuk mengeluarkan izin apabila:

a. Lokasi tempat penjualan minuman beralkohol jaraknya kurang dari 200 (dua ratus) meter dari tempat ibadah, rumah sakit, sekolah-sekolah, kantor pemerintahan dan pusat pemukiman;

b. Lokasi atau tempat penjualan minuman beralkohol tidak pada lokasi yang diperbolehkan;


(30)

2. 4. 2 Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB)

Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus minuman beralkohol Golongan B dan/atau Golongan C. Setiap perusahaan yang melakukan kegiatan pengadaan, pengedaran, dan/atau penjualan minuman beralkohol Golongan B dan/atau C wajib memiliki SIUP-MB. Adapun mekanisme penerbitan SIUP-MB, sebagai berikut:

a. Permohonan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP-MB) untuk Distributor

dan Sub Distributor hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia.

b. Permohonan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP-MB) untuk Sub

Distributor dapat dilakukan oleh perusahaan yang berbentuk badan hukum, perseorangan atau persekutuan

c. Permohonan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP-MB) untuk penjual langsung (minum ditempat) hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang berbentuk badan hukum, perseorangan atau persekutuan.

2. 4. 3 Konsekuensi Pemberian Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol

Pemberian izin perdagangan minuman beralkohol memiliki konsekuensi bagi pemerintah yang mengeluarkan izin dan bagi individu dan badan usaha yang menerima izin tersebut. Konsekuensi bagi pemerintah adalah mengawasi pelaksanaan izin yang telah diberikan kepada individu dan badan usaha yang menerima izin dan memberikan sanksi apabila izin digunakan tidak sebagaimana mestinya.


(31)

Konsekuensi bagi penerima izin adalah menggunakan izin sesuai dengan peruntukkannya. Selain itu, penerima izin memiliki kewajiban memberikan kontribusi terhadap daerah salah satunya dengan membayar retribusi sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan daerah. Khusus untuk izin perdagangan minuman beralkohol, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 141, izin tempat penjualan minuman beralkohol merupakan objek retribusi perizinan tertentu. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol adalah pemberian izin untuk melakukan penjualan minuman beralkohol di suatu tempat tertentu. Oleh karena itu, penerima izin yang melakukan penjualan minuman beralkohol wajib membayar retribusi kepada daerah. Dalam hal besarnya tarif retribusi yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah.

2. 5 Pengawasan

2. 5. 1 Pengertian Pengawasan

Pengawasan merupakan suatu kegiatan yang sangat penting agar pekerjaan maupun tugas yang dibebankan kepada aparat pelaksana terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan (Nurmayani, 2009: 81). Hal ini sesuai dengan pendapat dari Sondang P. Siagian yang menyatakan pengawasan adalah suatu proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya (Sondang P. Siagian, 1980: 135).

Menurut Sujamto, pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas


(32)

atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak (Sujamto, 1983: 17). Pengertian pengawasan tersebut menekankan pada suatu proses pengawasan yang berjalan secara sistematis sesuai dengan tahap-tahap yang telah ditentukan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Soekarno K. yang menyatakan bahwa pengawasan adalah proses yang menentukan tentang apa yang harus dikerjakan agar apa yang diselenggarakan sejalan dengan rencana (dalam Nurmayani, 2009: 82). Hal ini dipertegas kembali oleh T. Hani Handoko yang menyatakan bahwa pengawasan adalah proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai (T. Hani Handoko, 1984: 354).

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, penulis sepaham dengan pengertian pengawasan yang diungkapkan oleh Sondang P. Siagian karena pengawasan merupakan hal penting dalam menjalankan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.

Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. Melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.


(33)

Konsep pengawasan demikian sebenarnya menunjukkan pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen, pengawasan dianggap sebagai bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada pihak di bawahnya. Berdasarkan ilmu manajemen, pengawasan ditempatkan sebagai tahapan terakhir dari fungsi manajemen. Apabila ditinjau dari segi manajerial, pengawasan mengandung makna pula sebagai pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan atau suatu usaha agar suatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan dan dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan, sedangkan hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui yang kemudian dapat dilakukan tindakan perbaikannya. Sementara itu, apabila ditinjau dari segi Hukum Administrasi Negara, pengawasan dimaknai sebagai proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau diperintahkan.

Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan terjadinya kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good governance itu sendiri.


(34)

Apabila dikaitkan dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif, baik pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan ekstern (external control) serta mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control). Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya penyimpangan atas rencana atau target.

2. 5. 2 Fungsi Pengawasan

Fungsi pengawasan adalah suatu kegiatan yang dijalankan oleh pimpinan ataupun suatu badan dalam mengamati, membandingkan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepada aparat pelaksana dengan standar yang telah ditetapkan guna mempertebal rasa tanggung jawab untuk mencegah penyimpangan dan memperbaiki kesalahan dalam pelaksanaan pekerjaan (Nurmayani, 2009: 82). Hakikatnya setiap kebijaksanaan yang dilakukan oleh pimpinan suatu badan mempunyai fungsi tertentu yang diharapkan dapat terlaksana, sejalan dengan tujuan kebijaksaan tersebut. Demikian pula halnya dengan pelaksanaan pengawasan pada suatu lingkungan kerja atau suatu organisasi tertentu. Pengawasan yang dilaksanakan mempunyai fungsi sesuai dengan tujuannya. Mengenai hal ini, Soerwarno Handayanigrat menyatakan empat hal yang terkait dengan fungsi pengawasan, yaitu:

a. Mempertebal rasa tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi tugas dan wewenang dalam melaksanakan pekerjaannya;

b. Mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan;

c. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan, kelalaian, dan kelemahan agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan;


(35)

d. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan agar pelaksanaan pekerjaan tidak mengalami hambatan-hambatan dan pemborosan (dalam Nurmayani, 2009: 82).

2. 5. 3 Tujuan Pengawasan

Pengawasan yang dilakukan adalah bermaksud untuk mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan sehingga dapat terwujud daya guna, hasil guna, dan tepat guna sesuai rencana dan sejalan dengan itu, untuk mencegah secara dini kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan. Dengan demikian pada prinsipnya pengawasan itu sangat penting dalam pelaksanaan pekerjaan, sehingga pengawasan itu diadakan dengan maksud sebagai berikut:

a. mengetahui lancar atau tidaknya pekerjaan tersebut sesuai dengan yang telah direncanakan;

b. Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat dengan melihat

kelemahan-kelemahan, kesulitan-kesulitan dan kegagalan-kegagalan dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan yang sama atau timbulnya kesalahan baru;

c. Mengetahui apakah penggunaan fasilitas pendukung kegiatan telah sesuai dengan rencana atau terarah pada sasaran;

d. Mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah ditetapkan dalam perencanaan semula;

e. Mengetahui apakah segala sesuatu berjalan efisien dan dapatkah diadakan perbaikan-perbaikan lebih lanjut sehingga mendapatkan efisiensi yang besar.


(36)

Menurut Sujamto, pengawasan diadakan dengan tujuan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas dan pekerjaan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak (Sujamto, 1986: 115). Suatu pengawasan yang dilakukan oleh suatu pimpinan dari suatu lingkungan kerja tertentu mempunyai tujuan yang diharapkan tercapai. Soekarno K. mengungkapkan beberapa hal pokok mengenai tujuan pengawasan, yaitu:

a. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan telah sesuai dengan rencana; b. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu yang dilaksanakan sesuai dengan

instruksi-instruksi dan asas-asas yang telah ditetapkan;

c. Untuk mengetahui mengetahui kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan

yang mungkin timbul dalam pelaksaan pekerjaan;

d. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan secara efisien;

e. Untuk mengetahui jalan keluar, jika ternyata dijumpai kesulitan-kesulitan dan kelemahan-kelemahan ke arah perbaikan (Soekarno, 1989: 146).

2. 5. 4 Jenis-Jenis Pengawasan

Pengawasan merupakan fungsi manajerial yang keempat setelah perencanaan, pengorganisasian dan pengarahan. Sebagai salah satu fungsi manajemen, mekanisme pengawasan di dalam suatu organisasi memang mutlak diperlukan. Pelaksanaan suatu rencana atau program tanpa diiringi dengan suatu sistem pengawasan yang baik dan berkesinambungan jelas akan mengakibatkan lambatnya atau bahkan tidak tercapainya sasaran dan tujuan yang telah ditentukan.

Pengawasan dapat diklasifikasikan atas beberapa jenis apabila ditinjau dari beberapa segi, antara lain:

1. Pengawasan ditinjau dari segi cara pelaksanaanya

Pengawasan apabila ditinjau dari segi cara pelaksanaanya dibedakan atas pengawasan langsung dan Pengawasan tidak langsung.


(37)

a. Pengawasan Langsung

Pengawasan langsung adalah pangawasan yang dilakukan dengan cara mendatangi atau melakukan pemeriksaan di tempat terhadap objek yang diawasi. Pemeriksaan setempat ini dapat berupa pemeriksaan administratif atau pemeriksaan fisik di lapangan. Kegiatan secara langsung melihat pelaksanaan kegiatan ini bukan saja dilakukan oleh perangkat pengawas akan tetapi perlu lagi dilakukan oleh pimpinan yang bertanggung jawab atas pekerjaan tersebut. Dengan demikian dapat melihat bagaimana pekerjaan itu dilaksanakan dan bila dianggap perlu dapat memberikan petunjuk-petunjuk dan instruksi maupun keputusan-keputusan yang secara langsung menyangkut dan mempengaruhi jalannya pekerjaan.

b. Pengawasan tidak langsung

Pengawasan tidak langsung adalah kebalikan dari pengawasan langsung, yang dilakukan tanpa mendatangi tempat pelaksanaan pekerjaan atau objek yang diawasi. Pengawasan ini dilakukan dengan mempelajari dan menganalisa dokumen yang menyangkut objek yang diawasi yang disampaikan oleh pelaksana atau pun sumber lain. Pengawasan tidak langsung selain dilakukan melalui laporan tertulis tersebut di atas, juga dapat dilakukan dengan mempergunakan bahan yang berupa laporan lisan. 2. Pengawasan ditinjau dari segi hubungan antara subjek pengawasan dan objek yang diawasi.

Pengawasan apabila ditinjau dari segi hubungan antara subjek pengawasan dan objek yang diawasi dibagi atas pengawasan intern dan pengawasan ekstern.


(38)

Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. Artinya bahwa subjek pengawas yaitu pengawas berasal dari dalam susunan organisasi objek yang diawasi. Pada dasarnya pengawasan ini harus dilakukan oleh setiap pimpinan akan tetapi dapat saja dibantu oleh setiap pimpinan unit sesuai dengan tugas masing-masing. b. Pengawasan ekstern.

Pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi sendiri, artinya bahan subjek pengawas berasal dari luar susunan organisasi yang diawasi dan mempunyai sistem tanggung jawab tersendiri.

3. Pengawasan ditinjau dari segi waktu pelaksanaan pekerjaan

Pengawasan yang ditinjau dari segi waktu pelaksanaan pekerjaan dibagi atas pengawasan preventif dan pengawasan respresif.

a. Pengawasan preventif

Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum pekerjaan mulai dilaksanakan, misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lainnya.

b. Pengawasan refresif

Pengawasan refresif adalah pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan atau kegiatan tersebut dilaksanakan, hal ini diketahui melalui audit dengan pemerikasaaan terhadap pelaksanaan pekerjaan di tempat dan meminta laporan pelaksanaan kegiatan.


(39)

III. METODE PENELITIAN

3. 1 Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Pendekatan normatif dimaksudkan sebagai usaha mengadakan pembahasan dengan bertitik tolak kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendekatan empiris dilakukan dengan mengadakan pengamatan terhadap kenyataan yang ada di lapangan dalam rangka pelaksanaan peraturan-peraturan yang berlaku, khususnya mengenai perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pihak-pihak yang mengetahui masalah yang berhubungan dengan penelitian ini.

3. 2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. 1. Data primer adalah data yang bersumber dari hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam perizinan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung, yaitu:

a. Guntari selaku Kepala Bidang Usaha Kecil Menengah pada Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandar Lampung;


(40)

b. Muntahar selaku Kepala Bidang Pelayanan Perizinan pada Badan Penanaman Modal dan Perizinan Kota Bandar Lampung.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka terhadap bahan hukum yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu meliputi:

a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;

b) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

c) Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 53/M-DAG/PER/12/2010 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol;

d) Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol;

e) Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 80 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;

f) Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 81 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol.

b. bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang bersumber dari buku-buku ilmu hukum dan tulisan-tulisan hukum lainnya.


(41)

c. bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang bersumber dari kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia majalah, surat kabar dan jurnal penelitian hukum serta bersumber dari bahan-bahan yang didapat melalui internet.

3. 3 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 3. 3. 1 Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Studi kepustakaan (library research) atau studi dokumen, untuk memperoleh data sekunder dipergunakan studi kepustakaan, yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mengutip dan merangkum data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Studi lapangan (field research), dilakukan dengan wawancara (interview) untuk mengumpulkan data dengan cara mengajukan pertanyaan kepada informan penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara, sehingga tanya jawab dan diskusi menjadi lebih terarah sesuai dengan data yang dibutuhkan dalam penelitian.

3. 3. 2 Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan setelah data yang dibutuhkan terkumpul, baik berupa dari primer maupun data sekunder. Adapun prosedur pengolahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa dan mengoreksi data yang masuk, apakah berguna atau tidak, sehingga data yang terkumpul benar-benar bermanfaat untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.


(42)

b. Sistematisasi, yaitu proses penyusunan data menurut sistem yang telah ditetapkan.

c. Klasifikasi data, yaitu menyusun dan mengelompokkan data berdasarkan jenis data.

3. 4 Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif, yaitu dengan cara menguraikan secara terperinci hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas dari jawaban permasalahan yang dibahas dan kesimpulan atas permasalahan tersebut. Penarikan kesimpulan dari analisis menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir dalam menarik kesimpulan dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang khusus yang merupakan jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil penelitian.


(43)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Setiap pengusaha yang melakukan kegiatan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung wajib memiliki Surat Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB). Pengusaha yang ingin memiliki Surat Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dapat mengajukan permohonan kepada walikota melalui Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandar Lampung. Bagi pengusaha yang ingin memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB), pengusaha dapat mengajukan permohonan kepada walikota melalui BPMP Kota Bandar Lampung.

b. Pengawasan dan pengendalian perdagangan minuman beralkohol dilakukan terhadap pengusaha baik yang tidak memiliki maupun yang memiliki Surat Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB). Bagi pengusaha melakukan perdagangan minuman beralkohol tanpa Surat Izin Tempat


(44)

Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) akan dilakukan penyitaan, pemusnahan minuman beralkohol dan penutupan tempat usaha yang bersangkutan. Bagi pengusaha yang memiliki Surat Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) namun melakukan pelanggaran akan diberikan sanksi pemberhentian sementara izin dan pencabutan izin.

5. 2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti menyarankan:

a. Pemerintah harus mengadakan sosialisasi yang maksimal kepada pengusaha yang melakukan kegiatan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung mengenai kewajiban memiliki Surat Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB).

b. Pemerintah yaitu walikota segera membuat petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) terkait dengan tata cara pengawasan dan pengendalian perdagangan minuman beralkohol khususnya tata cara atau prosedur pengawasan dan pemberian sanksi berupa pemberhentian sementara dan pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) kepada pengusaha yang melakukan pelanggaran izin.


(45)

(Skripsi)

Oleh

Meyzon Duanda Herginawan

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2012


(46)

I. PENDAHULUAN ...

1

1. 1 Latar Belakang ...

1

1. 2 Permasalahan dan Ruang Lingkup ...

6

1. 2. 1 Permasalahan ...

6

1. 2. 2 Ruang Lingkup...

6

1. 3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...

6

1. 3. 1 Tujuan ...

7

1. 3. 2 Kegunaan ...

7

II. TINJAUAN PUSTAKA...

8

2. 1 Perizinan...

8

2. 1. 1 Pengertian Izin...

8

2. 1. 2 Sifat Izin ...

13

2. 1. 3 Izin Sebagai Bentuk Ketetapan ...

15

2. 1. 4 Tujuan Sistem Perizinan...

16

2. 1. 5 Urgensi dan Susunan Izin...

17

2. 1. 6 Prosedur Penerbitan Izin ...

18

2. 1. 7 Waktu Penyelesaian Izin ...

19

2. 1. 8 Biaya Perizinan ...

20

2. 2 Perdagangan ...

21

2. 2. 1 Pengertian Perdagangan ...

21

2. 2. 2 Jenis Perdagangan ...

21

2. 3 Minuman Beralkohol...

22

2. 3. 1 Pengertian Minuman Beralkohol ...

22

2. 3. 2 Penggolongan dan Jenis Minuman Beralkohol ...

23

2. 3. 3 Dasar Hukum Perdagangan Minuman Beralkohol...

23

2. 4 Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol...

24

2. 4. 1 Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol ...

25

2. 4. 2 Surat Izin Perdagangan Minuman Beralkohol ...

26

2. 4. 3 Konsekuensi Pemberian Izin Perdagangan Minuman

Beralkohol ...

26

2. 5 Pengawasan ...

27

2. 5. 1 Pengertian Pengawasan ...

27

2. 5. 2 Fungsi Pengawasan ...

30

2. 5. 3 Tujuan Pengawasan...

31


(47)

3. 2 Sumber Data...

35

3. 3 Pengumpulan dan Pengolahan Data...

37

3. 4 Analisis Data ...

38

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...

39

4. 1 Perizinan Perdagangan Minuman Beralkohol di Kota

Bandar Lampung ...

39

4. 1. 1 Surat Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol

(SITP-MB) ...

42

4. 1. 2 Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol

(SIUP-MB)...

47

4. 2 Pengawasan Terhadap Perizinan Perdagangan Minuman Beralkohol

di Kota Bandar Lampung ...

52

V. KESIMPULAN DAN SARAN ...

63

5. 1 Kesimpulan ...

63

5. 2 Saran ...

64

DAFTAR PUSTAKA...


(48)

Buku:

Atmosdirjo, S. Prajudi. 1994.

Hukum Administrasi Negara

. Ghalia Indonesia,

Jakarta

Hadjon, Philipus M., 1991.

Pengantar Hukum Perizinan

. Penerbit Alumni,

Bandung

---. 2005.

Pengantar Hukum Administrasi Indonesia

. Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta

Muslimin, Amrah. 1980.

Beberapa Asas-Asas dan Pengertian Pokok Tentang

Administrasi dan Hukum Administrasi Neg

ara. Penerbit Alumni, Bandung

Muhammad, Abdulkadir. 2008.

Metode Penelitian Hukum

. PT Citra Aditya Bakti.

Bandung.

Mustafa, Bacshan. 1985.

Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara

. Penerbit

Alumni, Bandung

Nurmayani. 2009.

Hukum Administrasi Daerah

. Universitas Lampung, Bandar

Lampung.

Ridwan H.R. 2002.

Hukum Administrasi Negara

, Cetakan Pertama, UII Press,

Yogyakarta

Sinambela, L.P., 1992.

Ilmu dan Budaya, Perkembangan Ilmu Administrasi

Negara

, Edisi Desember

____________. 2006.

Reformasi Pelayanan Publik; Teori Kebijakan dan

Implementasi

, Bumi Aksara, Jakarta

Sunggono, Bambang. 2003.

Metodologi Penelitian Hukum

, Cetakan keenam, Raja

Grafindo Persada, Jakarta

Sutedi, Adrian.2008.

Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik

. Sinar

Grafika, Jakarta.


(49)

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah

Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang

Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan

dan Pengendalian

Minuman Beralkohol

Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 53/M-DAG/PER/12/2010 tentang

Perubahan

Peraturan

Menteri

Perdagangan

RI

Nomor:

43/M-DAG/PER/9/2009 Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan

Pengendalian Minuman Beralkohol

Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian

Minuman Beralkohol di Kota Bandar Lampung

Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 80 Tahun 2011 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pemungutan Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman

Beralkohol

Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 81 Tahun 2011 tentang Tata Cara

Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol


(1)

64

Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) akan dilakukan penyitaan, pemusnahan minuman beralkohol dan penutupan tempat usaha yang bersangkutan. Bagi pengusaha yang memiliki Surat Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) namun melakukan pelanggaran akan diberikan sanksi pemberhentian sementara izin dan pencabutan izin.

5. 2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti menyarankan:

a. Pemerintah harus mengadakan sosialisasi yang maksimal kepada pengusaha yang melakukan kegiatan perdagangan minuman beralkohol di Kota Bandar Lampung mengenai kewajiban memiliki Surat Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB).

b. Pemerintah yaitu walikota segera membuat petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) terkait dengan tata cara pengawasan dan pengendalian perdagangan minuman beralkohol khususnya tata cara atau prosedur pengawasan dan pemberian sanksi berupa pemberhentian sementara dan pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) kepada pengusaha yang melakukan pelanggaran izin.


(2)

PERIZINAN PERDAGANGAN MINUMAN BERALKOHOL DI KOTA BANDAR LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh

Meyzon Duanda Herginawan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(3)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ... 1

1. 1 Latar Belakang ... 1

1. 2 Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

1. 2. 1 Permasalahan ... 6

1. 2. 2 Ruang Lingkup... 6

1. 3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

1. 3. 1 Tujuan ... 7

1. 3. 2 Kegunaan ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA... 8

2. 1 Perizinan... 8

2. 1. 1 Pengertian Izin... 8

2. 1. 2 Sifat Izin ... 13

2. 1. 3 Izin Sebagai Bentuk Ketetapan ... 15

2. 1. 4 Tujuan Sistem Perizinan... 16

2. 1. 5 Urgensi dan Susunan Izin... 17

2. 1. 6 Prosedur Penerbitan Izin ... 18

2. 1. 7 Waktu Penyelesaian Izin ... 19

2. 1. 8 Biaya Perizinan ... 20

2. 2 Perdagangan ... 21

2. 2. 1 Pengertian Perdagangan ... 21

2. 2. 2 Jenis Perdagangan ... 21

2. 3 Minuman Beralkohol... 22

2. 3. 1 Pengertian Minuman Beralkohol ... 22

2. 3. 2 Penggolongan dan Jenis Minuman Beralkohol ... 23

2. 3. 3 Dasar Hukum Perdagangan Minuman Beralkohol... 23

2. 4 Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol... 24

2. 4. 1 Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol ... 25

2. 4. 2 Surat Izin Perdagangan Minuman Beralkohol ... 26

2. 4. 3 Konsekuensi Pemberian Izin Perdagangan Minuman Beralkohol ... 26

2. 5 Pengawasan ... 27

2. 5. 1 Pengertian Pengawasan ... 27

2. 5. 2 Fungsi Pengawasan ... 30

2. 5. 3 Tujuan Pengawasan... 31


(4)

III. METODE PENELITIAN ... 35

3. 1 Pendekatan Masalah... 35

3. 2 Sumber Data... 35

3. 3 Pengumpulan dan Pengolahan Data... 37

3. 4 Analisis Data ... 38

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 39

4. 1 Perizinan Perdagangan Minuman Beralkohol di Kota Bandar Lampung ... 39

4. 1. 1 Surat Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (SITP-MB) ... 42

4. 1. 2 Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB)... 47

4. 2 Pengawasan Terhadap Perizinan Perdagangan Minuman Beralkohol di Kota Bandar Lampung ... 52

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

5. 1 Kesimpulan ... 63

5. 2 Saran ... 64


(5)

Daftar Pustaka

Buku:

Atmosdirjo, S. Prajudi. 1994.Hukum Administrasi Negara. Ghalia Indonesia, Jakarta

Hadjon, Philipus M., 1991. Pengantar Hukum Perizinan. Penerbit Alumni, Bandung

---. 2005.Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Muslimin, Amrah. 1980. Beberapa Asas-Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi Negara. Penerbit Alumni, Bandung Muhammad, Abdulkadir. 2008.Metode Penelitian Hukum. PT Citra Aditya Bakti.

Bandung.

Mustafa, Bacshan. 1985. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Penerbit Alumni, Bandung

Nurmayani. 2009.Hukum Administrasi Daerah. Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Ridwan H.R. 2002. Hukum Administrasi Negara, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta

Sinambela, L.P., 1992. Ilmu dan Budaya, Perkembangan Ilmu Administrasi Negara, Edisi Desember

____________. 2006. Reformasi Pelayanan Publik; Teori Kebijakan dan Implementasi, Bumi Aksara, Jakarta

Sunggono, Bambang. 2003.Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan keenam, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Sutedi, Adrian.2008.Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik. Sinar Grafika, Jakarta.


(6)

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol

Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 53/M-DAG/PER/12/2010 tentang Perubahan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 43/M-DAG/PER/9/2009 Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol

Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol di Kota Bandar Lampung

Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 80 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol

Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 81 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol