REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM TRUE GRIT (STUDI ANALISIS SEMIOTIKA PEREMPUAN DALAM FILM TRUE GRIT)

(1)

Representasi Perempuan dalam Film True Grit (Studi Analisis Semiotika Perempuan dalam Film True Grit)

SKRIPSI

(Disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Srata 1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi – Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta)

Disusun Oleh : Teuku Iqbal Fahmie

20120530104

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Teuku Iqbal Fahmie NIM : 20120530104

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan : Ilmu Komunikasi

Konsentrasi : Public Relations

Universitas : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan seluruh sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Apabila dikemudian hari karya saya ini terbukti merupakan plagiat/menjiplak karya orang lain maka saya bersedia dicabut gelar kesarjanaanya.

Yogyakarta, 21 Desember 2016


(3)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Karya ini untuk : Abu dan Mama

Bang ipad, Kak Monik, Putrek, Nepidzh Khanza Amira Zika


(4)

v

MOTTO

Dan Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan

memberinya jalan keluar dari setiap kesulitan yang dihadapinya, dan

memberinya rezeki dari arah yang tidak terduga-duga.


(5)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam senantiasa tercurah ke haribaan hamba dan utusan-Nya, Muhammad bin ‘Abdullah, penutup para Nabi, beserta keluarganya yang suci, para Sahabatnya yang mulia dan segenap umatnya yang mengikuti petunjuk beliau hingga hari akhir.

Alhamdulillah, dengan izinNya penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul “Representasi Perempuan dalam film True Grit tahun 2010”. Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memperoleh gelar sarjana (S-1) Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kelemahan dan kekurangan yang perlu diperbaiki. Dengan rasa hormat, penulis menyampaikan maaf yang sedalam-dalamnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan penulis dalam menciptakan proses pembelajaran yang baik bagi penulis dan sebagai sarana perbaikan karya tulis di masa yang akan datang. Tidak lupa penulis juga berterimakasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang yang telah mencurahkan waktu dan pikirannya, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Haryadi Arief Nuur Rasyid, S.IP., M.Sc selaku Ketua Jurusan Ilmu KomunikasiUniversitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(6)

vii

2. Ibu Firly Annisa, S.IP., MA. selaku dosen pembimbing I yang telah banyak membantupenulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk setiap ilmu dan nasehat yangdiberikan atas penelitian ini.

3. Ibu Wulan Widyasari, S.Sos., MA. selaku dosen penguji I. Terima kasih telah meluangkanbanyak waktu selama ujian maupun selama penulis menyusun skripsi ini.

4. BapakBudi Dwi Arifianto, S.sn., M.Sn. selaku dosen penguji II. Terima kasih telah meluangkanbanyak waktu selama ujian maupun selama penulis menyusun skripsi ini.

5. Kedua Orang tuapenulis yang telah memberikan dukungan do’a tak terhingga sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

6. Bapak/ Ibu Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi terima kasih atas ilmu yang telah diberikanselama di bangku perkuliahan.

7. Bapak Mujono, Pak Muryadi dan Mba Siti, TU Jurusan Komunikasi, atas kemudahannya melengkapiberkas administrasi dan senantiasa memberikan informasi demi kelancaran jalannya skripsi.

8. Teman-teman IK ’12 yang baik sengaja maupun tidak sengaja selama masa perkuliahaan hingga skripsi telah membantu selama proses studi.


(7)

viii

Penulis berharap semoga penelitian ini dapat member manfaat dan dapat dikembangkan untuk penelitian – penelitian lain di masa yang akan datang. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan karena keterbatasan waktu dan pengetahuan penulis. Dengan dasar itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar penelitian ini menjadi lebih berkualitas.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 21 Desember 2016 Penulis


(8)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR BAGAN ... xiii

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Kajian Teori ... 8

1. Perempuan dalam Film ... 8

2. Representasi Media ... 10

3. Ketidakadilan dalan Bias Gender ... 15

F. Metode Penelitian ... 20

1. Metode Penelitian ... 20

2. Obyek Penelitian ... 22

3. Tehnik Pengumpulan Data ... 22

4. Tehnik Analisis Data... 23

BAB II GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN A. Perempuan Amerika Serikat Pada Tahun 1800 - 1863 ... 30

B. Perempuan dalam Film Western ... 39


(9)

x

D. Sinopsis Film True Grit ... 45 E. Penelitian Terdahulu ... 48

BAB III PEMBAHASAN

1. Perempuan Hidup Atas Stereotipe Laki - Laki ... 55 2. Perempuan Masih Membutuhkan Bantuan Laki - Laki ... 63 3. Perempuan Ideal dalam Film Western adalah perempuan yang menggunakan simbol Laki

- Laki ... 67

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 73 B. Saran ... 74


(10)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Size Shot ... 28 Tabel 2: Definisi Angle Kamera ... 29


(11)

xii

DAFTAR GAMBAR

Keterangan Gambar 1: Cover Film True Grit ... 42

Keterangan Gambar 2: Saat pertama kali Mattie Rose melihat jenazah ayahnya ... 56

Keterangan Gambar 3: Mattie Rose bertemu dengan seorang Sheriff ... 58

Keterangan Gambar 4: Mattie Rose sedang berdialog dengan seorang pendeta ... 60

Keterangan Gambar 5: Mattie Rose datang ke sebuah pengadilan untuk melihat Rooster ... 63

Keterangan Gambar 6: Mattie Rose bertemu Rooster ... 64

Keterangan Gambar 7: Mattie Rose menggunakan pakaian koboi ... 67


(12)

xiii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1: Klasifikasi Biner ... 16

Bagan 2: Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes ... 23

Bagan 3: Metabahasa ... 25

Bagan 4: Konotasi ... 25

Bagan 5: Klasifikasi Biner ... 27


(13)

xiv

ABSTRAK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Jurusan Ilmu Komunikasi Konsentrasi Public Relations Teuku Iqbal Fahmie

20120530104

Representasi Perempuan dalam Film True Grit

(Studi Analisis Semiotika Pemimpin Perempuan dalam Film True Grit) Tahun skripsi : 2016 + 81 Halaman+ 2 Tabel + 6 Bagan+ 23 Gambar Daftar kepustakaan : 22 Buku + 5 Jurnal + 9 Buku online & Internet + 3 Skripsi + 3 Tesis

Dalam film bergenre Western umumnyapada keseluruhan cerita selalu menampilkan tokoh laki – laki (koboi) sebagai pemeran utama, laki – laki dikonstruksikan sebagai simbol utama dalam film bergenre Western, Sedangkan perempuan selalu mendapatkan inferior di mana perannya marginal, meskipun memiliki peran, perempuan selalu ditampilkan berperan yang marjinal dalam sebuah film bergenrekan Western. Namun diantara film bergenre Western terdapat film yang menampilkan perempuan yang mempunyai peran penuh dalam keseluruhan cerita yang dimiliki oleh laki - laki. Film tersebut ialah True Grit menceritakan tentang seorang anak perempuan yang masih berumur 14 tahun bernama Mattie Rose dimana ingin mendapatkan keadilan atas kematian ayahnya yang telah di bunuh oleh seorang bandit dengan cara mencari dan menangkap sang bandit agar diadili. Dalam film ini perempuan di tampilkan berbeda dengan tokoh perempuan umumnya pada film genre Western, tokoh perempuan dalam film ini memiliki peran yang tidak marginal pada keseluruhan ceritanya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui bagaimana perempuan direpresentasikan dalam film True Grit.

Pada penelitian ini, jenis penelitiannya adalah kualitatif serta menggunakan metode analisis semiotika signifikasi dua tahap denotasi dan konotasi Roland Barthes untuk mengetahui tanda – tanda yang terdapat dalam film tersebut melalui analisis per adegan gambar film. Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun perempuan memiliki peran penuh pada keseluruhan cerita namun tetap saja bahwa perempuan ditampilkan dalam film genre Western musti mengikuti bentukan dari budaya laki – laki patriarkal, di mana perempuan dalam film Western itu idealnya harus menggunakan simbo – simbol laki – laki dan hal – hal lainnya yang berhubungan dengan budaya laki – laki patriarki. Artinya perempuan pada akhirnya masih saja berada pada kontrol laki – laki yang memiliki kekuasaan.


(14)

xv

ABSTRACT University of Muhammadiyah Yogyakarta Faculty of Social and Political Science Communication Department

Concentration of Public Relations Teuku Iqbal Fahmie

20120530104

Representation of Women in The True Grit Movie

(Study Semiotic Analysis of Women in The True Grit Movie)

Year of Thesis : 2016 + 81 Page + 2 Tables + 6 Chart + 23 Pictures List of literature 22 books + 5 Journals + 9 Online Sources + 3Essay + 3 Theses

In movie with Western genre, generally the whole story always show western movie the male figure (cowboy) as the main actor, men constructed as a symbol in the movie, while women always get inferior in marginal role. Even if she has a role, women are always displayed as a personwho tends to get a gender bias. But among the Western genre films are films that show women who had a full role in the overall story that is owned by mens. The True Grit tells the story of a girl who was 14 years old named Mattie Rose where want to get justice for the death of his father who had been killed by a bandit with a way to find and arrest the bandits are prosecuted. In this film women are show different from another figures are generally in the Western genres. The women characters in this movie have a role that is not marginal to the overall story. The purpose of this study is to determine how women as the main role are represented in the movie.

This Study used qualitative approach with two stages semiotic analysis method, denotation and connotation Roland Barthes to know the signs contained in the film through the analysis scene by scene. The study concluded that although women have a full role in the whole story, but nonetheless that the women featured in the film genre of Western must follow the formation of a culture of mens patriarchal, where women in the movie Western was ideally should use the symbol - symbol of mens and things of other matters relating to the culture of mens patriarchy. This means that women in the end still be in control of mens who have power.


(15)

(16)

ABSTRAK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Jurusan Ilmu Komunikasi Konsentrasi Public Relations Teuku Iqbal Fahmie

20120530104

Representasi Perempuan dalam Film True Grit

(Studi Analisis Semiotika Pemimpin Perempuan dalam Film True Grit) Tahun skripsi : 2016 + 81 Halaman+ 2 Tabel + 6 Bagan+ 23 Gambar Daftar kepustakaan : 22 Buku + 5 Jurnal + 9 Buku online & Internet + 3 Skripsi + 3 Tesis

Dalam film bergenre Western umumnyapada keseluruhan cerita selalu menampilkan tokoh laki – laki (koboi) sebagai pemeran utama, laki – laki dikonstruksikan sebagai simbol utama dalam film bergenre Western, Sedangkan perempuan selalu mendapatkan inferior di mana perannya marginal, meskipun memiliki peran, perempuan selalu ditampilkan berperan yang marjinal dalam sebuah film bergenrekan Western. Namun diantara film bergenre Western terdapat film yang menampilkan perempuan yang mempunyai peran penuh dalam keseluruhan cerita yang dimiliki oleh laki - laki. Film tersebut ialah True Grit menceritakan tentang seorang anak perempuan yang masih berumur 14 tahun bernama Mattie Rose dimana ingin mendapatkan keadilan atas kematian ayahnya yang telah di bunuh oleh seorang bandit dengan cara mencari dan menangkap sang bandit agar diadili. Dalam film ini perempuan di tampilkan berbeda dengan tokoh perempuan umumnya pada film genre Western, tokoh perempuan dalam film ini memiliki peran yang tidak marginal pada keseluruhan ceritanya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui bagaimana perempuan direpresentasikan dalam film True Grit.

Pada penelitian ini, jenis penelitiannya adalah kualitatif serta menggunakan metode analisis semiotika signifikasi dua tahap denotasi dan konotasi Roland Barthes untuk mengetahui tanda – tanda yang terdapat dalam film tersebut melalui analisis per adegan gambar film. Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun perempuan memiliki peran penuh pada keseluruhan cerita namun tetap saja bahwa perempuan ditampilkan dalam film genre Western musti mengikuti bentukan dari budaya laki – laki patriarkal, di mana perempuan dalam film Western itu idealnya harus menggunakan simbo – simbol laki – laki dan hal – hal lainnya yang berhubungan dengan budaya laki – laki patriarki. Artinya perempuan pada akhirnya masih saja berada pada kontrol laki – laki yang memiliki kekuasaan.


(17)

ABSTRACT University of Muhammadiyah Yogyakarta Faculty of Social and Political Science Communication Department

Concentration of Public Relations Teuku Iqbal Fahmie

20120530104

Representation of Women in The True Grit Movie

(Study Semiotic Analysis of Women in The True Grit Movie)

Year of Thesis : 2016 + 81 Page + 2 Tables + 6 Chart + 23 Pictures List of literature 22 books + 5 Journals + 9 Online Sources + 3Essay + 3 Theses

In movie with Western genre, generally the whole story always show western movie the male figure (cowboy) as the main actor, men constructed as a symbol in the movie, while women always get inferior in marginal role. Even if she has a role, women are always displayed as a personwho tends to get a gender bias. But among the Western genre films are films that show women who had a full role in the overall story that is owned by mens. The True Grit tells the story of a girl who was 14 years old named Mattie Rose where want to get justice for the death of his father who had been killed by a bandit with a way to find and arrest the bandits are prosecuted. In this film women are show different from another figures are generally in the Western genres. The women characters in this movie have a role that is not marginal to the overall story. The purpose of this study is to determine how women as the main role are represented in the movie.

This Study used qualitative approach with two stages semiotic analysis method, denotation and connotation Roland Barthes to know the signs contained in the film through the analysis scene by scene. The study concluded that although women have a full role in the whole story, but nonetheless that the women featured in the film genre of Western must follow the formation of a culture of mens patriarchal, where women in the movie Western was ideally should use the symbol - symbol of mens and things of other matters relating to the culture of mens patriarchy. This means that women in the end still be in control of mens who have power.


(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perempuan di Amerika Serikat dalam sejarahnya khususnya pada tahun 1800an dimana pada tahun itu di Amerika Serikat dikenal sebagai tahun ekonomi berkembang. Menurut Howard Zinn dalam A People History of the United States, 1492-present. Laki-laki memiliki sifat yang agresif dan juga lebih mendominasi pekerjaan berkaitan dengan pekerjaan di luar rumah. Sedangkan perempuan pada saat itu menghabiskan waktu penuhnya setiap hari di rumah karena di luar dianggap berbahaya bagi kaum perempuan, selain itu perempuan juga di tuntut untuk bersikap penurut terhadap laki-laki.

Selain kelembagaan keluarga dimana patriarki begitu sangat kental dalam hal mengatur dan memposisikan perempuan sesuai dengan keinginan laki-laki tersebut di Amerika Serikat. Terdapat beberapa kelembagaan seperti, pendidikan pada saat itu perempuan yang menjadi seorang guru paling banyak adalah dari kalangan lajang yang bersedia mendapatkan gaji yang sangat minim. Pada kelembagaan hukum perempuan juga di pandang sebelah mata, di mana perempuan cenderung akan di beri label tidak akan mampu mengurusi hal yang terkait dengan keadilan hukum bahkan hal itu adalah yang mengenai hak– haknya sendiri. Selain itu juga terdapat anggapan dari masyarakat pada umumnya yang memberikan sifat yang di lekatkan kepada perempuan yang sangat mempengaruhi kehidupan perempuan itu sendiri di tengah-tengah masyarakat.


(19)

2

Film sebagai produk dari media massa mampu memberikan suguhan visual yang menarik untuk dinikamati sebagai media hiburan oleh khalayaknya. Dengan esensi-esensi yang terdapat dalam film seperti genre film dan lainnya, selain sebagai media hiburan, film juga dapat berfungsi sebagai media informatif, edukatif dan terkadang persuasif (Ardiyanto dan Erdinaya, 2004: 136). Selain itu film juga mampu merepresentasikan sesuatu yang ada di sekitar kehidupan kita, baik itu orang, fenomena, peristiwa, sejarah, masalah sosial dan lain-lainnya kepada khayalak.

Film bergenre Western adalah film yang berlatar belakang kehidupan Amerika Serikat pada abad ke-17 hingga abad ke 19, dekat dengan kondisi yang sangat kelam dimana terjadi perbudakan dimana-mana, kekerasan, pembunuhan, rasisme dan juga termasuk pada penindasan terhadap perempuan. Sebab pada saat itu budaya patriarki dimana laki-laki dianggap mempunyai superioritas yang tinggi dan sarat keberadaannya. Film bergenre western dapat merepresentasikan keadaan perjuangan pemenuhan hak-hak bagi perempuan (Women Right) pada saat itu karena tepat dengan waktu perjuangan perempuan di Amerika Serikat yang di mulai pada abad ke- 17 hingga abad ke- 19.

Genre Western sebelumnya telah populer dalam berbagai macam media, seperti bentuk novel, acara di radio, serta pertunjukkan teatrikal, menurut Corkin (2004:1) Western adalah salah satu genre film yang menguntungkan bagi Hollywood dan juga paling dihormati karena berkaitan dengan mitos atau budaya kuno yang hanya dimiliki oleh Amerika Serikat, hal tersebut mengundang banyaknya akademisi untuk melakukan penelitian dalam bentuk isi genre sastra populer seperti genre Western. Faktor lain yang


(20)

3

menyebabkan film Western begitu populer adalah kisah kehidupan nyata para koboi yang telah melegenda di daerah barat Amerika Serikat yang membuat film genre Western semakin menarik dan menjadi salah satu genre film populer diantara genre –genre film lainnya (Andriadi, 2014:3).

Secara umum tokoh koboi dalam film genre Western dikenal sebagai tokoh laki-laki yang kuat, pemberani, pemberontak, agresif dan menekankan nilai-nilai kejantanaan seperti mempunyai kekuasaan diantara kelompoknya dan lain-lain, dominasi tersebut telah di kenal secara universal. Selain itu anggapan tersebut juga telah terkonstruksi secara sosial serta melalui proses kultur yang panjang. Tokoh koboi dalam film western berkaitan dengan kisah kehidupan nyata para koboi legendaris seperti Kit Carson, Wild Bill, Hickok, Butch Cassidy, dan Jesse James (Andriadi, 2014:3) sehingga peran perempuan cenderung termarjinalkan dalam keseluruhan cerita dalam film western.

Namun dari sederetan film Western yang telah diproduksi hingga saat ini dimana menampilkan tokoh koboi laki-laki pada umumnya, di antaranya terdapat film Western yang berjudul True Grit dimana menampilkan tokoh perempuan yang memiliki peran penuh pada keseluruhan cerita selain itu tokoh perempuan dalam film True Grit ditampilkan berbeda dengan tokoh perempuan pada umumnya dalam film Western di mana tokoh perempuan biasanya hanya ditampilkan hanya sebagai pelengkap cerita dan memiliki peran marjinal dalam keseluruhan cerita (Andriadi, 2014:4).


(21)

4

True Grit adalah film genre Western yang di produksi tahun 2010 oleh Paramount Pictures dan Sky Dance Productions, di sutradarai oleh Coen bersaudara Joel Coen & Ethan Coen, di produseri oleh Steven Spielberg. Film ini di buat ulang pada tahun 2010 dimana sebelumnya di produksi untuk pertama kalinya pada tahun 1969, film ini sebelumnya sudah populer pada tahun 1969 di buktikan dengan mendapatkan penghargan 1 piala oscars, dan 7 nominasi dari penghargaan lainnya. Sedangkan film yang dibuat kembali pada tahun 2010 mendapatkan 10 nominasi oscars, memenangkan 36 penghargaan, dan 146 nominasi dari ajang penghargaan lainnya, Selain itu menurut situs online IMBD.com, film True Grit adalah film yang mendapatkan peringkat pertama dalam Best Western Film Since 2000.

Film True Grit merupakan adaptasi dari novel karya Charles Portis pada tahun 1968 yang menceritakan tentang seorang gadis remaja berumur 14 tahun yang bernama Mattie Rose yang di perankan oleh Hailee Steinfeld, seorang perempuan muda yang telah kehilangan seorang ayahnya, karena dibunuh oleh seorang bandit kejam bernama Tom Chaney yang diperankan oleh Josh Brolin, secara garis besar film ini menceritakan tentang seorang perempuan muda yang ingin menuntut keadilan serta hak atas kematian ayahnya dengan cara menemukan sang bandit dan menangkapnya dengan tujuan agar dapat di adili secara hukum di kota tempat tinggalnya. Namun dalam perjalanannya, sebagai perempuan Mattie Rose selalu dipandang inferior dan mendapatkan berbagai ketidakadilan.


(22)

5

Dalam film genre Western perempuan pada umumnya dikenal sebagai sosok atau peran yang termarjinalkan dan dipandang inferior. Secara tidak langsung sosok perempuan dianggap terbatas dalam melakukan pekerjaan atau hal lainnya yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Sehingga bias gender pun tidak terhindarkan dan menimbulkan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan itu sendiri.

Gender selalu dikaitkan dengan jenis kelamin serta menurut pembagian kerja seksual dan perannya masing-masing dalam kehidupan sosial. Pemahaman untuk dapat membedakan pengertian yang mendasar antara laki-laki dan perempuan menurut jenis kelamin dan gender masih begitu tabu dalam pola fikir masyarakat. Dimana sifat-sifat yang melekat pada perempuan dan laki-laki telah terkonstruksi secara sosial dan melalui proses kultur yang panjang dengan didukung oleh kelembagaan keluarga, bahkan budaya dan tradisi sehingga perbedaan gender selalu dipahami sebagai ketentuan Tuhan seperti halnya pengertian jenis kelamin (Fakih, 2006:8).

Pemahaman mengenai gender secara universal pada awalnya di dasari dari kelembagaan keluarga dimana seorang ayah, ibu, kakek, nenek, serta sanak saudara lainnya telah mengkonstruksi pemahaman universal mengenai gender tersebut. Sehingga perempuan diharuskan untuk mengakui dan mengikuti ketentuan yang telah diciptakan baik oleh kelembagaan keluarga maupun masyarakat itu sendiri. Sehingga memunculkan batasan-batasan tertentu bagi perempuan dalam segala aspek di dalam kehidupannya yang menyudutkan serta merugikannya (Fakih, 2006:71-72).


(23)

6

Konstruksi sosial tersebut menimbulkan bias gender dalam kehidupan sosial perempuan, dimana perempuan dianggap inferior dalam melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki termasuk dalam memperjuangkan keadilan dan hak-hak yang seharusnya mutlak terpenuhi secara penuh. Hal tersebut terjadi secara universal dan secara umum dan tidak di sadari oleh masyarakat sebab konstruksi sosial yang sudah terjadi sejak lama dan melalui prores kultur yang panjang. Sehingga bias gender tersebut menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan itu sendiri dalam berbagai aspek kehidupan di tengah – tengah masyarakat.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, alasan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul, “Representasi Perempuan dalam Film True grit (2010). Karena tokoh perempuan dalam film genre Western (True Grit) adalah tokoh perempuan yang memiliki karakter dan sifat yang berbeda dengan tokoh perempuan dalam film Western lainnya, selain itu tokoh perempuan dalam film True Grit memiliki peran yang penuh dalam keselurhan cerita. Untuk itu peneliti ingin mengetahui lebih dalam lagi, ingin menganalisis lebih dalam lagi bagaimana sosok perempuan dalam film True Grit yang sebenarnya dan kaitannya mengapa perempuan dalam film True Grit pada umumnya mendapatkan peran yang marjinal serta cenderung tidak memiliki peran yang penuh pada keseluruhan cerita.


(24)

7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana perempuan direpresentasikan dalam Film True Grit (2010) ?”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perempuan direpresentasikan dalam film True Grit (2010)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari Penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan serta wawasan yang baru mengenai representasi perempuan dalam genre film Western.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan pemikiran kepada masyarakat bahwa perempuan juga mampu berjuang dalam hal mendapatkan keadilan serta hak-haknya baik secara hukum maupun kehidupan sosial.


(25)

8

E. Kajian Teori

1. Perempuan dalam Film

Eksistensi perempuan dalam film selalu menjadi perbincangan dan perdebatan bagi para kritikus film, akademisi, gerakan perempuan serta khalayak umum. Opini-opini yang muncul mengenai penggambaran perempuan pada umumnya dalam film terbentuk melalui bagaimana peran yang dimainkan oleh perempuan itu sendiri dalam sebuah film, secara tekstual hal tersebut adalah tampilan lahiriah yang sedemikian rupa di ciptakan oleh orang – orang yang bertanggung jawab di balik layar.

Selain hal – hal yang terkait tampilan lahiriah yang terdapat dalam film yang melatar belakangi bagaimana penggambaran perempuan dalam film. Juga terdapat konteks, artinya bagaimana perempuan ditampilkan dalam sebuah film juga dibentuk berdasarkan suatu ideologi, budaya, propaganda, mitos dan lainnya yang ada dalam kehidupan nyata. Hal – hal tersebut lebih kental dan dekat kaitannya dengan budaya laki - laki patriarkal karena secara universal memang patriarki berawal dari kelembagaan keluarga dimana seorang ayah mempunyai keistimewaan dan superioritas dalam mengambil keputusan terhadap keluarganya.

Budaya dominan patriarki yang telah ada dalam kelembagaan keluarga sejak lama tersebut seiring berjalannya waktu dan juga melalui proses kultur yang panjang tanpa disadari pada level kognisi manusia juga terbawa keluar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pada bidang perfilman dimana telah mengatur penggambaran perempuan yang ideal dalam film tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai patriarki tersebut yang tidak boleh keluar dari budaya dominan patriarki itu sendiri, misalnya dalam film terdapat penguasa yang


(26)

9

merefleksikan budaya dominan patriarki dimana mengharuskan perempuan dalam film harus diperankan secara khusus dalam film, penguasa dalam film bisa jadi adalah seorang produser, sutradara, casting director atau pihak lainnya yang mempunyai kepentingan utama dalam film dimana pada umumnya adalah laki-laki yang dianggap mempunyai kekuasaan dalam mengambil keputusan dalam hal ini bagaimana perempuan itu sendiri di tampilkan di dalam film bagaimana perannya dan lain-lainnya.

Dalam perspektif feminis yang dikemukakan oleh mulvey dalam (Nadhifah, 2011:18) dari bukunya yaitu Visual Pleasure and Narrative Cinema menjabarkan bagaimana perempuan dalam film ditampilkan berdasarkan bentukan dari sistem patriarki sosial dimana tokoh perempuan dalam film bukanlah sebagai pencipta makna, melainkan hanyalah sebagai pembawa makna, dengan begitu perempuan berperan dalam film dibentuk oleh laki-laki, artinya peran perempuan dalam film cenderung di tentukan oleh laki-laki oleh karena itu tidak jarang bahwa kita melihat perempuan hanya sebagai objek dari sebuah film, dan jarang menjadi subjek utama.

Selain itu Mulvey juga mengemukakan istilah Scopophilia, dalam mengkritisi bagaimana perempuan dalam film ditampilkan, Scopophilia bermakna bagaimana seseorang sebagai subjek mendapatkan kenikmatan ketika menjadikan orang lainnya sebagai objek pandangan tertentu. Kenikmatan yang dimaksudkan bukan hanya sebagai objek seksualitas, contohnya dalam film – film tertentu yang memperdengarkan jeritan seorang perempuan dalam film Horror, perempuan yang sedang di sakiti, bahkan seorang perempuan yang hanya memiliki peran figura, dimana perannya hanya sekali lewat saja begitu dinikmati oleh mata – mata tertentu (Nadhifah, 2011:18).


(27)

10

Mulvey juga memperkenalkan istilah Narcisstic identification yaitu penonton yang mengidentifikasi dirinya dengan tokoh - tokoh utama laki-laki yang ada di dalam film dengan pengidentifikasian tersebut. Penonton laki-laki seolah-olah mendapatkan kendali penuh atas pemeran perempuan dan aksi yang terdapat pada film. Penonton laki-laki dapat memuaskan egonya untuk berkuasa dan merasa sebagai pemegang kendali atas apa yang dilihat oleh tokoh utama laki-laki dalam layar (Nadhifah, 2011:19).

Gambaran umum mengenai perempuan dalam film dengan fokus kepada bagaimana keterlibatan perempuan itu sendiri secara keseluruhan dalam film dimana berdasarkan bentukan dari laki-laki ternyata juga dibenarkan oleh perempuan itu sendiri (Irawan, 2014:5). Dalam hal ini ada kemungkinan tertentu mengapa perempuan membenarkan hal tersebut, yang pertama adalah terdapat pola fikir yang umum dimiliki oleh perempuan itu sendiri mengenai narsisme dimana perempuan harus tampil untuk eksistensinya, sementara tanpa disadari mereka telah menjadi komodifikasi di dalam film dimana tubuh, penderitaan, serta hal-hal yang membuat perempuan itu sendiri terlihat inferior adalah komoditinya.

2. Representasi Media

Representasi adalah kegiatan untuk membentuk suatu ilmu pengetahuan yang sesuai dengan kapasitas otak. Lebih jelasnya representasi didefinisikan sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindera, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu. Charles Peirce menjelaskan bahwa bentuk fisik tertentu dari representasi di


(28)

11

analogikan dengan huruf X dan Y, X sebagai representamen (secara harfiah berarti yang merepresentasikan), sedangkan Y adalah obyek yang direpresentasikan. Makna – makna yang telah dapat dibentuk dari representasi di analogikan dalam bentuk (X = Y) yang disebut interpretan, sedangkan keseluruhan dalam proses menentukan makna representasi disebut interpretasi (Danesi, 2011:20).

Representasi menurut Barker (dalam Vera, 2014:97) adalah konstruksi sosial yang mengharuskan kita mengeksplorasi pembentukan makna tekstual dan menghendaki penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada beragam konteks, representasi dan makna budaya memiliki materialitas tertentu, mereka melekat pada bunyi, prasasti, obyek, citra, buku, majalah, dan program televisi.

Istilah representasi juga mengacu pada bagaimana seseorang, kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam produk media. terdapat dua penjelasan mengenai istilah representasi yang dimaksudkan. Pertama, apakah seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya, kata semestinya diartikan pada apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apa adanya atau sebaliknya, atau dalam pemberitaannya apakah terdapat unsur yang ditambah atau dikurangi. Kedua bagaimanakah representasi itu ditampilkan, untuk dapat mengetahuinya diperlukan analisa melalui penggunaan kata, kalimat, aksentuasi yang digunakan. (Eriyanto, 2007:113).


(29)

12

Dalam proses kerja representasi khususnya yang berkaitan dengan media, bagaimana media menampilkan atau menghadirkan kembali suatu realitas, budaya, gagasan, orang, serta peristiwa tergantung pada aspek-aspek yang mempengaruhinya, apakah sesuatu direpresentasikan dengan makna yang sebenarnya atau terdapat unsur yang dikurangi dan ditambah dalam penyajiannya, dan siapakah yang bertanggung jawab dalam proses representasi tersebut. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan yang sesuai dengan konteks representasi yang di inginkan.

Agar mendapatakan keseluruhan representasi yang sesuai dan tepat dengan konteks representasi yang diinginkan maka dibutuhkan suatu pendekatan khusus dalam representasi sebagai acuan dalam merepresentasikan sesuatu, berikut terdapat tiga pendekatan representasi menurut Stuart Hall (1997):

1. Reflektif adalah: yang berkaitan dengan pandangan atau makna tentang representasi yang entah dimana ‘di luar sana’ dalam masyarakat sosial kita 2. Intensional adalah: yang menaruh perhatian terhadap pandangan

kreator/produser representasi tersebut.

3. Konstruksionis adalah: yang menaruh perhatian terhadap pandangan bagaimana representasi dibuat melalui bahasa, termasuk kode-kode visual (Burton, 2008:136).

Lebih jelasnya Stuart Hall dalam The Work of Representation menjabarkan ketiga pendekatan tersebut yaitu pendekatan reflektif menjelaskan bagaiamana suatu kebenaran tersedia sebagai pandangan dalam kehidupan nyata, sedangkan makna hanya sesuatu untuk mengelabui fenomena yang pada akhirnya bahasalah yang mempunyai peran sebagai penyampai yang sesungguhnya terhadap pandangan tersebut sehingga menjadi refleksi terhadap pandangan atau makna yang ada (Hall, 1997: 10).


(30)

13

Sedangkan pendekatan intensional menjelaskan bagaimana bahasa tidaklah mencerminkan suatu makna dengan sendirinya melainkan terdapat seseorang yang bertanggung jawab terhadap representasi itulah yang berperan penting dalam menyampaikan suatu representasi yang ada, dalam hal ini adalah seorang yang berkuasa terhadap sesuatu yang direpresentasikan itu, dengan kata lain bahasa bekerja untuk menciptakan suatu makna atas ketentuan seseorang yang menciptakan suatu representasi yang ada (Hall, 1997:10).

Pendekatan konstruksionis menjelaskan bagaimana suatu makna dikonstruksi melalui bahasa dan visual atau gambar, pada pendekatan ini bahasa dan visual tidaklah bekerja sendiri dalam mengkonstruksi suatu makna melainkan bekerja sama dengan sistem penandaan dimana sistem penandaan dapat meliputi berbagai aspek yang ada di dalam kehidupan kita seperti, budaya, ideologi dan lain sebagainya serta konsep-konsep representasi lainnya (Hall, 2013:11). visual atau gambar menjadi salah satu elemen penting dalam pendekatan konstruksionis dimana ia bekerja untuk membentuk suatu makna dalam representasi dengan apa adanya dan mendapati proses seleksi yang baik dalam pembentukan suatu makna.


(31)

14

Dari tiga penjabaran pendekatan dalam representasi di atas, peneliti memlih pendekatan konstruksionis sebagai pendekatan yang sesuai dengan konteks penelitian peneliti, dimana dalam memproduksi suatu makna selain melalui bahasa juga melalui visual atau gambar dengan meliputi tanda-tanda lainnya yang dapat dikonstruksi sehingga dapat memproduksi makna secara keseluruhan.

“Menurut Graeme Turner dalam (Irawanto, 1999:14). makna film adalah sebagai representasi dari realitas masyarakat. Berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas, refleksi dalam film hanya sekedar “memindah” realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode -kode, konveksi-konveksi dan ideologi dari kebudayaan” (Sobur, 2006:128).

Terlepas dari makna sebuah film adalah sebagai representasi dari realitas yang ada di tengah-tengah masyarakat, representasi dalam film khususnya dalam media visual dikonstruksi dari sudut pandang tertentu. Frasa atau sudut pandang memiliki dua makna yaitu pertama, sudut pandang ditempatkan pada dimana posisi kamera sebagai alat untuk merekam dan memotret sesuatu pandangan spasial yang masih kosong, lalu menempatkan kamera pada pandangan yang tepat dalam kekosongan ruang, menyebabkan kita masuk kedalam hubungan yang dekat dengan subjek dan menentukan bagaimana kita memahaminya. Kemudian bagaimana posisi kamera dipilih dengan tujuan tertentu agar dapat menentukan posisi kita sebagai penonton, apakah hanya sebagai partisipan atau pengamat subjek yang ada. Kedua, berhubungan dengan pandangan intelektual dan kritis yang diambil dengan acuannya adalah materi media itu sendiri, baik itu secara teknisnya atau teori-teori serta kajian - kajian penting yang ada di dalamnya (Burton, 2008:136). Materi di dalam media sebagai konstruksi sudut pandang representasi dapat dilihat dari film bagaimana


(32)

15

tanda dibentuk untuk memahami makna yang ada melalui mata kamera dari sudut dan ruang yang tertentu.

3. Ketidakadilan dalam Bias Gender

Perbedaan antara laki-laki dan perempuan harus dipisahkan menurut jenis kelamin dan gender agar tidak terdapat kerancuan dalam pemahamannya. Menurut definisi jenis kelamin laki-laki dan perempuan dibedakan dari unsur biologis yang telah ditetapkan oleh kodrat Tuhan diantara keduanya. Sedangkan dalam agenda gender laki-laki dan perempuan dikonstruksi secara sosial dan melalui proses budaya yang panjang mempunyai sifat-sifat tertentu yang melekat dimana sifat-sifat yang melekat tersebut cenderung menyudutkan perempuan daripada laki-laki di dalam kehidupan masyarakat (Fakih, 2006: 71-72).

Sejak lama pola-pola sosialiasi telah dilakukan secara berbeda antara perempuan dan laki-laki, baik itu dalam keluarga maupun lingkungan sosialnya. Anak perempuan disosialisasi menjadi perempuan yang lemah lembut, pasif, dan dependen (Morris dalam Sihite, 2007: 6). Hal tersebut berpengaruh terhadap perilaku perempuan seperti alamiah terlihat feminin, patuh, tidak agresif dan berperilaku sebagaimana pantasnya menurut gender, melalui pola pengasuhan yang didominasi pada penekanan peran dan pembagian kerja berdasarkan gender, apabila perempuan melakukan tindakan berbeda dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat maka akan dicap aneh, abnormal, dan bertingkah laku menyimpang.


(33)

16

Dalam pendekatan strukturalisme terutama yang dikembangkan oleh Levi-Strauss yang berlandaskan pada prinsip opisisi biner diterangkan bahwa di setiap masyarakat, modern atau primitif, terdapat suatu struktur pemikiran universal yang mendasarkan diri pada pengklasifikasian segala sesuatu ke dalam dua kutub yang berlawanan, pengklasifikasian ini sudah terjadi di tingkat pemikiran tak sadar di otak manusia dan fungsinya menyaring segala rangsangan dari luar serta mengaturnya ke dalam kedua kategori yang mempunyai hubungan yang berlawanan (Saptari dan Holzner, 1997:76).

Pemahaman mengenai perbedaan, peran hingga terjadinya bias gender sendiri dianggap sebagai sistem pengklasifikasian universal. Dalam pendekatan strukturalisme yang berlandaskan pada prinsip oposisi biner dimana satu kategori dianggap mempunyai ciri yang berlawanan dengan kategori lainnya dalam kajian gender dapat diklasifikasikan melalui oposisi biner ini dengan melihat bagaiaman perempuan dan laki-laki dipahami menurut konsep gender, berikut adalah pemahaman mengenai perbedaan gender antara perempuan dan laki-laki menurut klasifikasi biner:

Bagan 1.1: Klasifikasi biner perempuan > < laki-laki

alam > < budaya

hal-hal fisik > < hal- hal mental emosi > < rasio /fikiran

supertisi (takhayul) > < pengetahuan ilmiah pengasuhan anak > < pencarian nafkah

(Sumber: Saptari & Holzner. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. 1997: 206).


(34)

17

Dalam klasifikasi biner perempuan laki-laki selalau diasosiasikan dengan segala sesuatu yang lebih tinggi. Mempunyai kekuasaan terhadap hal-hal yang pada umumnya yang hanya dapat dimiliki oleh laki-laki. Sedangkan perempuan selalu menempati posisi kedua perempuan laki-laki dengan hal-hal yang melekat dalam dirinya (Holzner dan Saptari, 1997: 206).

Bias gender pun tidak dapat terhindarkan, perempuan dianggap inferior karena sifat-sifat yang telah melekat terkonstruksi melalui pola fikir masyarakat dan telah tersosialisasi sejak lama. Hal tersebut menempatkan perempuan dalam keadaan yang tidak menguntungkan, sebab memunculkan permasalahan dalam berbagai aspek kehidupan perempuan yang berujung pada timbulnya ketidakadilan bagi perempuan baik itu dalam tatanana kehidupan sosial, pemenuhan mengenai hak-hak perempuan, dan lain sebagainya.

Ketidakadilan menjadi permasalahan penting dalam kajian mengenai gender. Ketidakadilan terhadap perempuan muncul dari perbedaan gender dan didukung oleh peran gender yang sangat dekat dengan pemahaman mengenai jenis kelamin sehingga melanggengkan proses ketidakadilan terhadap perempuan. Berikut adalah bentuk dari ketidakadilannya: marginalisasi sebagai pemiskinan ekonomi terhadap perempuan, subordinasi anggapan bahwa perempuan selalu patuh dan tidak dapat dan perlu mengambil keputusan, Stereotipe terhadap perempuan berarti pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja berlebih (Fakih, 2006: 13-22).


(35)

18

Dalam konteks penelitian ini, ada beberapa ketidakadilan yang dialami oleh perempuan yaitu upaya yang dilakukan oleh laki-laki untuk memarginalisasi terhadap tokoh perempuan dalam film yang harusnya mendapatkan haknya atas ekonomi. Selain itu juga terdapat ketidakadilan subordinasi dan stereotipe terhadap tokoh perempuan dimana tokoh perempuan dianggap tidak mampu untuk melakukan suatu yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Terakhir adalah kekerasan, kekerasan disini tidak melalui fisik tetapi nonfisik yaitu melalui verbal dan nonverbal yang sangat menganggap rendah perempuan.

Hal tersebut sangat bertentangan dengan gerakan untuk memperjuangkan hak-hak dan keadilan bagi perempuan oleh perempuan itu sendiri. Dimana hak-hak dan keadilan bagi perempuan mustinya terpenuhi dan telah menjadi tanggung jawab yang harus diemban oleh pihak-pihak lain seperti Negara dan lembaga-lembaga yang pro terhadap penguatan berbasis gender yang baik. Bagi negara khususnya yang bertanggung jawab dalam pemenuhan hak-hak dan keadilan bagi warga negaranya baik bagi laki-laki maupun perempuan dimana didalamnya selain permasalahan suku, agama, dan ras, gender juga menjadi permasalahan yang penting untuk dapat dibenahi dengan baik dan khusus.


(36)

19

Permasalahan gender sebenarnya telah menjadi perhatian khusus bagi dunia internasional dibuktikan dengan deklarasi universal mengenai keseteraan bagi perempuan. Dimana perempuan mempunyai hak yang harus dipenuhi dan harusnya memiliki kesetaraan dengan laki-laki secara garis besar gender sebagai berikut (Sihite, 2007: 50):

1. Hak atas kehidupan 2. Hak atas perempuan

3. Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi 4. Hak atas perlindungan yang sama di muka umum 5. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi

6. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya

7. Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik

8. Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi atau sewenang-wenang

Melalui deklarasi universal tersebut dan masih banyak lagi deklarasi-deklarasi lain yang khusus dibuat dari berbagai pihak pemerhati permasalahan gender yang menjadi acuan khusus bagi setiap negara untuk dapat di realisasikan agar tidak terjadinya bias gender yang dialami oleh perempuan. namun memang proses pembenahan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama karena harus berhadapan dengan pola fikir universal masyarakat yang telah terkonstruksi secara sosial dimana juga telah ada sejak lama di dalam pemikiran masyarakat dan melalui prores sosial dan kultur yang panjang.


(37)

20

F. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dimana bertujuan untuk membuat deskripsi yang sistematis, tentang fenomena - fenomena dan fakta – fakta yang masih tersembunyi dibalik suatu obyek yang akan diteliti (Kriyanto, 2007: 69). Sedangkan metode yang akan digunakan dalam konteks penelitian ini adalah analisis semiotika.

Semiotika adalah metode yang berbasis analisis yang mempunyai fungsi untuk mengkaji suatu tanda tertentu, tanda –tanda itu sendiri dianalogikan sebagai suatu alat yang akan digunakan untuk dapat berusaha mencari tau mengenai makna yang terdapat di dunia, diantara manusia dan bersama-sama manusia itu sendiri, suatu tanda menandakan sesuatu yang lainnya selain dirinya sendiri, dan makna ialah hubungan antara suatu obyek atau ide dan suatu tanda (Sobur, 2006:15).

Sedangkan menurut fiske dalam (Vera, 2014: 2) Semiotika adalah Studi tentang pertanda dan makna dari sistem tanda, ilmu tentang tanda, tentang bagaimana makna dibangun dalam teks media atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apa pun dalam masyarakat yang mengkomunikasikan makna. Dalam konteks penelitian ini peneliti akan menggunakan analisis semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes untuk mengkaji tanda-tanda yang terdapat dalam film yang akan diteliti melalui unsur-unsur kunci yang terdapat dalam film tersebut seperti dialog dan visualnya.

Konsep-konsep dasar semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes adalah mengenai ide tentang dua tatanan signifikasi melalui tiga cara kerja tanda. Yang pertama adalah bagaimana relasi antara penanda (Signifier)


(38)

21

dan Petanda (Signified) di dalam tanda antara obyek yang diwakili dalam realitas yang ada di sebut denotasi, denotasi diartikan sebagai suatu yang telah dianggap kebenarannya oleh kognisi (Fiske, 2012:140).

Selanjutnya adalah konotasi sebagai tahap kedua dalam kerja signifikasi tanda di jelaskan sebagai interaksi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari penggunaan nilai-nilai dalam budaya, makna diartikan secara subjektif atau intersubjektif yang berarti ketika interpretasi (Interpretant ) dipengaruhi sama kuatnya dengan penafsir (Interperter) dan obyek atau tanda itu sendiri. Dalam hal ini tanda dalam konotasi dilihat melalui mitos – tertentu yang ada di tengah masyarakat, mitos muncul dari nilai-nilai kebudayaan yang terdapat dari realitas eksternal itu sendiri (Fiske, 2012:141).

Tahap ketiga adalah simbol, Barthes menuturkan sebuah obyek menjadi simbol ketika diakui melalui konvensi dan menggunakan makna yang memungkinkan mewakili hal lain, misalnya smartphone Iphone adalah simbol kemewahan dan kekayaan (Fiske, 2012: 150).

Dari ketiga cara kerja tanda yang dikemukakan oleh Barthes di atas maka semua tahap itu akan dihubungkan satu sama lainnya dengan cara di analisis untuk mendapatkan makna yang sebenarnya dari realitas yang ada. Dalam proses menganalisis tanda yang terdapat di dalam sebuah realitas, untuk membentuk suatu makna di butuhkan keaktifan pembaca (The Reader) yang berarti seorang peneliti agar semua tahap kerja tanda yang di analisis dapat membentuk suatu makna tertentu dari realitas yang ada (Sobur, 2006:69). Hal tersebut dijelaskan oleh Barthes yang memperkenalkan istilah The Death of Author (matinya pengarang) dimana peran pengarang dalam suatu karyanya hanya berhenti pada penciptaan karyanya itu saja, selanjutnya dalam proses


(39)

22

interpretasi suatu tanda adalah mutlak milik pembaca (The Reader) atau peneliti (Barthes, 2007:25).

2. Obyek Penelitian

Obyek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah film Western yang berjudul True Grit, diproduksi pada tahun 2010. Penelitian dilakukan dengan cara menganalisis setiap dialog dan visual yang terdapat dalam potongan adegan film dengan fokus pada bagaimana perempuan direpresentasikan.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teknik Observasi

Peneliti akan melakukan observasi terhadap obyek penelitian, pengamatan dilakukan dengan cara menonton film untuk memilih dan menentukan data-data yang dibutuhkan dalam konteks penelitian.

b. Teknik Dokumentasi

Selanjutnya adalah dengan melakukan pendokumentasian terhadap data – data yang telah ditentukan sebagai data utama dalam konteks penelitian dengan cara memotong gambar-gambar yang telah dipilih dari setiap adegan yang terdapat di dalam film.

c. Studi Pustaka

Studi pustaka berasal dari sumber-sumber ilmiah dan sumber data tertentu yang menjadi acuan utama dalam keseluruhan penelitian. Buku jurnal, majalah,


(40)

23

artikel, interntet dan lain-lain sebagainya adalah bagian dari studi pustaka yang digunakan untuk mengumpulkan data.

4. Tehnik Analisis Data

Teknik analisis data yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah analisis semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes, dalam proses kerjanya menganalisis makna-makna yang tersirat melalui tingkatan sistem signifikasi, tingkatan sistem signifikasi yang dimaksud terdapat pada penemuan Roland Barthes mengenai model sistematis yang berfokus pada gagasan mengenai signifikasi dua tahap (Two Order of Signification) Seperti pada gambar dibawah ini:

Bagan 1.2: Signifikasi dua Tahap Roland Barthes

Tahap Pertama Tahap Kedua

Realitas Tanda Budaya

Bentuk

Isi

(Sumber: Fiske dalam Sobur. Analisis Teks Media. 2006: 127)

Untuk menjelaskan gambar signifikasi dua tahap Roland Barthes adalah sebagai berikut: Signifikasi tahap pertama menjelaskan bahwa makna denotasi merupakan hubungan antara petanda (Signified) dan penanda Denotasi

Penanda

Petanda

Konotasi


(41)

24

(Signified) di dalam sebuah tanda terhadap realitas yang ada di dalam kehidupan nyata, bisa dikatakan bahwa makna detonasi adalah makna yang nyata atau yang sesungguhnya, sedangkan signifikasi tahap kedua makna konotasi di jelaskan bahwa tidak memiliki makna yang sebenarnya atau makna yang nyata untuk menjelaskan interaksi yang terjadi pada saat bertemu dengan perasaan atau emosi serta nilai-nilai budaya dari pembaca dalam memahami suatu peristiwa atau hal –hal tertentu lainnya, bisa dikatakan bahwa makna konotasi adalah makna yang bertumpu pada kajian tertentu seperti mitos serta ideologi tertentu dalam memahami kehidupan nyata (Sobur, 2006:128).

Barthes juga menjelaskan makna suatu tanda, dengan memperkenalkan konsep R (Relasi) – E(Ekspresi pengungkapan) – C(Contenu/isi atau konsep) ketiganya dapat bekerja melalui proses dua tahap signifikasi yaitu Signifiant dan Signifie, dimana Signifiant dapat berarti apa yang kita lihat dan kita kenal atau tidak kita kenal tentang sesuatu lalu di serap dan di cerna dalam fikiran kita, setelah itu oleh Signifie dibantu pemaknaannya melalui ekspresi pengungkapan (Hoed, 2014:96).

Bagi barthes hubungan R (Relasi) antara E (Ekspresi) dan C (isi) jauh di dalam fikiran manusia (kognisi) dalam prosesnya melalui dua tahap, tahap primer dan sekunder. Tahap primer terjadi pada saat tanda untuk pertama kali diserap, yakni adanya R1 antara E1 dan C1, proses ini disebut juga dengan denotasi yakni pemaknaan yang secara umum dapat di terima dalam aturan-aturan dasar sebuah masyarkat, untuk dapat memaknai suatu tanda secara menyeluruh maka dilanjutkan ke tahap dua untuk dapat mengembangkannya yaitu menuju ke sistem sekunder, yakni R2 antara E2 dan C2. Sistem sekunder


(42)

25

E

2

R

2

C

2

Orang yang pandaI

Mengobati secara spiritual

adalah suatu proses lanjutan yang mengembangkan segi E mapun C (Hoed, 2014:97).

Dalam proses pengembangannya, sistem primer mengikuti dual jalur, jalur pertama adalah Metabahasa dan konotasi berikut adalah penjelasaannya:

Bagan 1.3: Metabahasa

Sistem Sekunder Sistem Sekunder METABAHASA

Sistem Primer DENOTASI

Bagan 1.4: Konotasi

Sistem Primer DENOTASI

Sistem Sekunder

KONOTASI

(Sumber: Barthes 1957 dan 1964 dalam Hoed, 2014: 98)

E

2

R

2

C

2

Dukun

Paranormal

Orang pinter

Dukun

Tanda

E

1

R

1

C

1

Mer edes Mobil buatan jerman Be z Mer edes Be z

Tanda

o il ewah o il ora g kaya

E

1

R

1

C

1

o il ko glo erat si ol status


(43)

26

Jalur pertama adalah pengembangan pada segi E, Suatu tanda mempunyai lebih dari satu E untuk C yang sama disebut metabahasa. Dicontohkan dalam bahasa pengertian ‘seorang yang dapat menggunakan ilmu gaib untuk tujuan tertentu’ di beri nama secara umum atau (diekspresikan) dukun, paranormal atau orang pintet, dalam linguistic gejala ini disebut sinomini. Sedangkan pada jalur kedua, pengembangan pada segi C, suatu tanda mempunyai lebih satu C untuk E yang sama disebut konotasi. contohnya pada bagan di atas dalam bahasa bisa di kategorikan dengan kata atau (diekspresikan) Mercy (E) yang maknanya (C) dalam sistem primer adalah kependekan dari ‘Mercedes Benz, merek sebuah mobil buatan jerman’.

Pada proses selanjutnya makna primer itu (C) berkembang menjadi ‘mobil mewah, mobil orang kaya, mobil konglomerat, atau symbol status sosial ekonomi yang tinggi). Metabahasa dan konotasi merupakan hasil proses pengembangan dalam cara manusia memaknai suatu tanda tertentu, melalui bahasa dan kata-kata yang merupakan prinisip-prinsip linguistik yang diteruskan dari konsep Signifiant-Signifie dari ilmu yang mengkaji tentang tanda yang hidup dalam masyarakat (Hoed, 2014: 97-98).


(44)

27

Berdasarkan dalam kajian teori yang membahas mengenai ketidakadilan dalam bias gender maka peneliti juga akan menggunakan pendekatan struktuktural yang dikembangkang oleh Levi Strauss yaitu yang berlandaskan oposisi biner ke dalam teknik analisis data untuk dapat membantu mengkaji dan menganalisis simbol-simbol bias gender yang terdapat dalam konteks penelitian ini, peneliti akan menggunakan klasifikasi biner yang menjelaskan antara laki-laki dan perempuan dari dua penjelasan yang berbeda dan berlawanan dimana perempuan secara universal dianggap (alam) sedangkan laki-laki adalah (budaya), seperti yang digambarkan pada bagan berikut:

Bagan 1.5: Klasifikasi biner

perempuan > < laki-laki alam > < budaya

hal-hal fisik > < hal- hal mental emosi > < rasio /fikiran

supertisi (takhayul) > < pengetahuan ilmiah pengasuhan anak > < pencarian nafkah

(Sumber: Saptari & Holzner . Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. 1997: 206).

Dalam penelitian ini bagaimana letak kamera dalam sebuah film dapat membantu dalam proses penerapan analisis semiotika agar dapat mengungkap makna secara lebih rinci dalam film itu sendiri, maka dari itu peneliti akan menggunakan konsep teknis kamera dalam film menurut Arthur Asa Berger. Teknik pengambilan gambar melalui kamera menurut ukuran gambar dan angle kamera secara bahasa visual dikaitkan dengan tujuan untuk menampilkan


(45)

28

keadaan tertentu dari tokoh, latar belakang, serta tempat yang ada di dalam film seperti berikut:

Tabel 1.1: Size Shot (ukuran gambar)

Penanda (Konotatif) Definisi Petanda (makna)

Close Up (CU)

Hanya wajah Keintiman

Medium Shot (MS)

Hampir Seluruh Wajah Hubungan personal

Long Shot (LS)

Setting dan karakter Konteks, Skope, Jarak Publik

Full Shot (FS)

Seluruh tubuh Hubungan sosial


(46)

29

Tabel 1.2: Defenisi Angle Kamera

Penanda Definisi Petanda

Tilt Down (High Angle)

Kamera mengarah ke bawah Kekuasan, kewenangan

Tilt Up (Low Angle) Kamera mengarah keatas Kelemahan, pengecilan Dolly in Kamera bergerak kedalam Pengamatan, fokus

Fade in Gambar terlihat pada layar kosong

Permulaan

Fade out Gambar di layar menjadi hilang

Penutup

Cut Perpindahan gambar Bersinambungan, menarik

Wipe Gambar terhapus dari layar Penentuan kesimpulan (Sumber: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques. 2014: 31)

Langkah selanjutnya yang akan dilakukan peneliti dalam penelitian ini adalah menganalisis film bergenre Western yaitu film True Grit dengan memotong gambar-gambar yang telah ditentukan dari setiap adegan –adegan yang dapat digunakan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai tokoh perempuan yang direpresentasikan sebagai tanda (Sigh), sedangkan Mattie Rose sebagai tokoh perempuan ditampilkan sebagai penanda (Signifier) dan simbol-simbol ketidakadilan bagi perempuan yang direpresentasikan menjadi petanda (Signified).


(47)

30

BAB II

GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

A. Perempuan Amerika Serikat Pada Tahun 1800 – 1863

Sejarah kaum perempuan di Amerika menjelaskan ironi – ironi dan kontradiksi – kontradiksi dalam masyarkat. Sekalipun kaum perempuan di Amerika merupakan kaum mayoritas penduduknya, namun mereka kerap kali diperlakukan seperti kelompok minoritas mendapat tempat tertentu dalam tatanan sosial, tidak memperoleh akses di kehidupan sosial, dan dipandang sebagai tergantung, lemah, dan penurut sesuai kodratnya. Sebaliknya, berbeda dengan kelompok – kelompok minoritas, kaum perempuan tidak hidup berkumpul dengan sebuah ghetto, melainkan tersebar merata di seluruh wilayah, kelas, dan kelompopok sosial, dan kerap kali lebih merasa dekat dan hangat.

Oleh karena itu setiap upaya untuk memahami pengalaman kaum perempuan Amerika, mau tidak mau harus mengerti kesatuannya maupun keragamannya. Meskipun demi tujuan – tujuan pengendalian sosial kaum perempuan menurut sejarahnya dipandang sebagai sama saja, kegiatan – kegiatan pribadi dan kisah masing – masing sangat beraneka ragam. Karena paradoks – paradoks ini, sejarah kaum perempuan memberikan suatu titik pandang istimewa untuk memahami dan menilai bagaimana masyarakat kita telah berlangsung di masa lampau dan perubahan – perubahan yang telah terjadi pada akhir – akhir ini.


(48)

31

Jelaslah, setiap perubahan dalam tingkah laku yang mempengaruhi satu – satunya kelompok paling besar di Amerika akan mempunyai dampak besar sekali terhadap masyarakat. Demikian pula, setiap perubahan dalam sikap – sikap budaya tentang laki – laki dan perempuan akan menuntut penyesuaian – penyesuaian penting dalam citra diri kita sendiri. Namun dalam menyelidiki perubahan – perubahan ini tidak boleh mengaburkan kelanjutan pengalaman yang dimiliki oleh kaum perempuan, atau apa yang dikatakan oleh keberlanjutan – keberlanjutan ini kepada kita mengenai bagaimana jenis kelamin berpengaruh terhadap kategori – kategori lain seperti ras dan kelas sehingga merampas kemungkinan peluang serta perlakuan yang sama bagi perorangan maupun kelompok.

Salah satu dari generalisasi yang barangkali diterima oleh sebagian besar sejarawan kaum perempuan wanita ialah bahwa ketetapan – ketetapan budaya mengenai tempat yang wajar bagi kaum perempuan secara menakjubkan tetap sama sepanjang waktu. Perempuan – perempuan dari masa kolonial misalnya diajar untuk bersikap sopan, saleha, setia, penurut, dan penuh perhatian.

Mantapnya norma – norma budaya tidak dengan sendirinya berarti bahwa kaum perempuan pada umumnya bertindak untuk mewujudkan impian – impian semacam itu dalam kehidupan mereka sehari – hari. Contohnya kaum perempuan kulit hitam, kaum perempuan miskin, dan imigran – imigran baru tidak pernah dimasukkan kedalam kategori mantapnya norma – norma budaya yang ada di dalamnya, tidak jarang kaum perempuan – perempuan tersebut tidak dapat mendapatkan perhatian lebih,


(49)

32

hanya dibiarkan membanting tulang mereka di lading, pabrik – pabrik, serta menerima upah dan perlakuan yang buruk (Luedtke 1994:117 – 118).

Hingga pada 50 tahun pertama abad ke – 19 pada massa Industrialisasi sejarah perempuan berubah, dari munculnya pertumbuhan organisasi sosial, kesempatan belajar, dan konvensi hak – hak perempuan yang pertama kali di Senecca Falls pada tahun 1848, dapat dikatakan merupakan periode kemajuan yang kokoh dalam hal hak – hak perempuan. Tetapi apabila dicermati kembali pada kehidupan perempuan secara cermat melalui perbandingan ras, kelas etnis, dan agama akan terlihat sedikit kerancuan seperti yang akan dijelaskan pada beruikut (Juliasih 2009:84-85).

1. Perempuan Amerika dalam Sosial – budaya dan ekonomi pada masa Industrialisasi

Industrialisasi diawali sebelum perang saudara. Perang tersebut semakin memacu perkembangan industri, antara lain, dibangunnya pabrik – pabrik amunisi, senjata, perkapalan, mesin – mesin, garmen, dan pengalengan. Banyak perempuan bekerja di pabrik – pabrik tersebut, khusunya pada waktu perang meletus. Mereka menggantikan tenaga laki – laki yang berperang

Perkembangan ekonomi industri pada 1800-an mengubah definisi perempuan pekerja yaitu perempuan yang mendapatkan upah sebagai buruh, antara lain, guru, menjahit, pembantu rumah tangga, dan pekerja pabrik. Tidak ada satu pun pekerjaan ini yang memberikan status dan gaji yang layak. Mengajar adalah pekerjaan yang paling terhormat yang tersedia bagi perempuan yang belum menikah yang memerlukan uang untuk hidup. Mereka menjadi guru sejak remaja, dan bagi mereka yang tidak menikah


(50)

33

dan masih tetap bekerja sebagai guru maka selama hidupnya tetap miskin karena gaji sebagai guru sangat sedikit. Sebagian besar perempuan lebih memilih bekerja di pabrik dari pada bekerja sebagai pembantu. Waktu untuk bersenang – senang adalah alasan perempuan tidak bekerja sebagai pembantu. Banyak diantara mereka yang bekerja dari jam 5 pagi sampai jam 10 malam selama 6 hari atau bahkan 7 hari terus menerus. Jarak status dan peran antara pembantu dan majikan sangat besar.

Dari awal revolusi industri perempuan diperlukan untuk barang produksi masal yang pernah mereka hasilkan untuk keluarga, misalnya antara lain, menjahit baju. Memproduksi barang – barang tersebut dapat dikerjakan di rumah atau pabrik. Pada umumnya, perempuan yang sudah menikah mengerjakan di rumah dan perempuan yang belum menikah di sewa untuk bekerja di pabrik. Pabrik – pabrik ini memberikan pekerjaan yang relative aman dan gaji yang wajar kepada perempuan Amerika. Para pengusaha mencari perempuan muda yang belum menikah sebagai pekerjanya. Pemilik pabrik percaya bahwa mereka kaum perempuan muda mau menerima gaji lebih rendah daripada laki – laki.

Namun ketika pemilik pabrik menghadapi banyak persaingan dan kondisi bisnis memburuk, mereka menarik biaya tempat tinggal mereka. Para pekerja menjadi sangat marah. Karena kondisi semakin menurun pada tahun 1840, pemilik pabrik mulai menyewa emigrant perempuan, antara lain, dari Irlandia yang mau menerima upah rendah dab lebih banyak di bebani pekerjaan.


(51)

34

Kebanyakan perempuan bekerja di industri pakaian. Biasanya mereka membawa pekerjaan pulang. Karena kompetisi, upah untuk pekerjaan tersebut sangat murah. Mereka harus bekerja lebih lama untuk memperoleh upah lebih banyak. Akibatnya, mereka tidak mempunyai waktu untuk keluarga, anak – anak, dan diri mereka sendiri. Mereka bahkan hampir tidak mencukupi dirinya sendiri dan membiarkan anaknya mereka mencari makan sendiri. Perempuan Amerika pada masa Industrialisasi seperi yang telah di jelaskan di atas menunjukkan bahwa mereka menanggung beban ganda. Mereka tidak hanya harus menanggung pekerjaan rumah tangga, tetapi juga harus mencari nafkah untuk mencukupi keperluan rumah tangga mereka dan anak – anak mereka (Juliasih 2009:85 – 87).

2. Perempuan Amerika dalam agama pada masa Industrialisasi

Selama tahun – tahun meletusnya kerusuhan revolusi, orang Amerika kurang memperhatikan kehidpuan rohaniah dan lebih memperhatikan kemerdekaan bangsa. Para pendeta khawatir adanya kematian kehidupan beragama dalam bangsa dan menghujat para jemaatnya karena kegagalan mereka dalam kewajiban menjalankan agama. Maka dari itu muncul lah kebangkitan agama kedua yang kembali menghidupkan kehidupan beragama diantara masyarakatnya. Pada kebangkitan agama kedua ini perempuan lebih aktif dan religius dibandingkan dengan laki – laki. Mereka merupakan jemaat yang paling besar di gereja – gereja. Banyaknya jumlah jemaat perempuan menunjukkan adanya dominasi mereka dalam kehidupan beragama.


(52)

35

Alasan – alasan resiko melahirkan, ajaran pengorbanan diri, kesibukan laki – laki dalam dunia dagang, dan pendidikan anak – anak, para pendeta juga merupakan pendorong spiritual anggota perempuan jemaah gereja yang mendorong perempuan untuk menjadi jemaat yang setia. Bimbingan spiritual para pendeta sangat penting artinya, begitu juga hubungan antar anggotanya dalam ikatan keyakinan yang sama. Keaktifan perempuan di dunia keagamaan menunjukkan bahwa mereka benar – benar serius menjadi jemaat yang setia. Diantara bentuk loyalitas mereka yang nyata pada agama adalah ketika perempuan – perempuan amerika mulai bernai membuat gerakan sosial di bawah naungan keagamaan.

Dimana perempuan mulai mengubah pertemuan doa bersama menjadi asosiasi yang lebih ambisius. The Female Religious dan Cent Society of Jericho Center di Vermont merupakan contoh kelompok pertama yang mengadakan pertemua untuk berdoa dan melakukan kegiatan sosial. Mereka mengunpulkan uang untuk gerakan misionaris pada awal abad 19. Selain gerakan sosial perempuan Amerika dalam agama pada masa Industrialiasi juga juga mendirikan organisasi misionaris di seluruh Amerika bagian utara. buah dari perkembangan gerakan sosial sebelumnya yang bernama The Whitestone Female Charitable Organization, organisasi tersebut mempunyai cabang di berbagai tempat di Amerika. Selain itu perempuan – perempuan Amerika juga membuat gerakan anti perbudakan dengan rujukannya adalah Al-kitab yang objektif (Juliasih 2009:94-103).


(53)

36

3. Keintelektualan Perempuan Amerika pada Masa Industrialisasi

Pada tahun 1810-an untuk memperluas pengetahuan perempuan, ditambahkan matapelajaran, antara lain, filsafat, sastra, psikologi, dan fisiologi. Pada tahun 1819 Emma Willard, salah seorang pendukung pendidikan secara luas bagi perempuan, mengusulkan dan mendesak sistema yang didukung pemerintah untuk sekolah menengah pertama. Dalam An Address to the Public; Particulary to the Members of the Legislature of New York, Proposing a Plan for Improving Female Education ‘Pidato untuk umum terutama anggota dewan perwakilan New York yang mengusulkan rencana untuk memperbaiki pendidikan perempuan’, Willard mengatakan bahwa pendidikan intelektual bagi perempuan akan memberikan a new and happy era in the history of her sex, and of her country, and of mankind ‘era baru dan kebahagiaan dalam kebahagiaan dalam sejarah kaumnya, negaranya, dan seluruh umat manusia (Juliasih 2009:107).

Berkaitan dengan keadaan dan kondisi perempuan Amerika Serikat pada tahun 1800an secara khusus menurut Professor Cunnea dalam jurnalnya yaitu a timeline of women’s legal in the United States dimana dari jurnal tersebut kita dapat mengenal perempuan Amerika Serikat pada tahun tersebut. Beliau menjelaskan bahwa pada tahun – tahun tersebut kita sudah dapat mengenal perempuan Amerika Serikat muncul sebagai perempuan yang pemberani, perempuan yang tidak ingin di tindas, dan cenderung tampil dengan gagasan pendapatnya untuk dapat mempertahankan hak-hak yang harus di miliki serta memperjuangkan keadilan atas kehidupan pribadinya di hadapan dunia secara umum, bahkan perempuan pada saat itu diantaranya juga ikut andil dalam menyuarakan hak-hak serta keadilan kaum


(54)

37

tertentu pada saat itu. Berikut adalah Timeline perempuan Amerika Serikat dari tahun ke tahun:

Pada Tahun 1831 seorang perempuan bernama Maria W. Miller Stewart, adalah seorang perempuan imigran dari Afrika, seperti yang di ketahui bahwa pada tahun tersebut seorang imigran dari Afrika di Amerika seringkali tertindas dan seringkali menjadi budak atau bahkan tidak menjadi perhatian bagi khalayak di Amerika Serikat karena begitu kuatnya permasalahan rasisme pada saat itu, meskipun begitu tidak menghentikan Maria untuk menyuarakan hak-hak serta keadilan untuk dirinya sebagai perempuan dan juga untuk kaumnya, hal tersebut di tunjukkan bahwa Maria adalah perempuan pertama di amerika serikat yang menjadi orator profesional di publik Amerika dengan Topiknya adalah mengenai pendidikan perempuan dan sejarah perempuan, dan hak asasi untuk kaum imigran Afrika.

Pada tahun 1839, seorang perempuan yang telah menikah yang bernama Betsy Allen, perempuan pertama penggagas perlindungan atas kekerasan dalam berumah tangga, hak-hak seorang istri mengenai perlindungan properti rumah atas suami, serta hak-hak lainnya yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga. Selanjutnya adalah pada tahun 1848 dimana pada saat itu perempuan mendapatkan perlawanan dari politisi Amerika Serikat dari kalangan laki-laki yang ingin melakukan Penghapusan atas pergerakan perempuan atau Abolition Movement pada saat itu yang berdampak pada kelangsungan hidup bagi perempuan ke depan nya dalam hal pemenuhan hak-hak serta keadilan bagi perempuan itu sendiri, namun upaya tersebut di hentikan oleh Elizabeth Cady Stanton dan Lucretia Mott


(55)

38

dengan cara segera mengatur gagasan-gagasan mengenai hak asasi untuk perempuan dan agar segera di deklarasikan dan juga untuk di publikasikan kepada khalayak yang ada di amerika serikat.

Dan pada tahun yang sama pula yaitu pada tahun 1848, kasus yang di alami oleh seorang perempuan yang bernama Myra Clark Gaines dalam usahanya untuk mendapatkan hak-haknya atas warisan harta ayahnya meskipun mendapatkan kecurigaan bahwa akte kelahirannya tidak sah, namun setelah menuai proses yang panjang dimana kasus ini telah tiga kali di dengar oleh mahkamah agung selama 56 tahun di antaranya pada tahun 1851, 1861, dan pada tahun 1867 akhirnya Gaines menang melawan Daniel Webster dengan argumen yang tegas bahwa warisan harta ayahya berhak dimiliki secara penuh olehnya (Cunnea, 1998:3).

Dan perempuan yang paling di kenal pada awal abad ke 19 yaitu pada tahun 1863 adalah Harriet Tubman, seorang bekas budak imigran Afrika, kisahnya adalah antara lain mempertaruhkan hidupnya sebagai konduktor di rel kereta api bawah tanah agar dapat meloloskan budak dan mendapat kebebasan dan penghapusan sebagai seorang budak dari negara utara (Uni), selain itu beliau juga dikenal sebagai mata-mata untuk Uni selama perang sipil Amerika Serikat dan merupakan perempuan pertama dalam sejarah amerika serikat yang memimpin ekspedisi militer. Dikutip dari Tom Allen yang menceritakan kisah Harriet Tubman dalam buku National Geographic, Harriet Tubman, Secret Agent. Tom mengatakan perempuan biasanya dibatasi untuk peran domestik seperti masak dan menyusui, Tubman pun melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, tapi dia juga bekerja berdampingan dengan laki-laki, tubman memutuskan untuk


(56)

39

membantu tentara Uni karena ia menginginkan kebebasan ratusan orang imigran dari Afrika yang dipaksa menjadi budak ( http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/02/harriet-tubman-bekas-budak-yang-jadi-agen-rahasia , di akses pada tanggal tanggal 24 agustus 2016 jam 11:00 WIB. )

B. Perempuan dalam film Western

Kepopuleran film western awalnya muncul dari suguhan naratif yang menarik dan baru berkaitan dengan mitos perbatasan Amerika Serikat, serta elemen – elemen utama di dalamnya yang mudah dikenali masyarakat seperti gurun pasir, bar, baku tembak, duel satu lawan satu di antara koboi, poster wanted dan daerah Amerika Serikat bagian barat yang menjadi ikonik dalam film western, selain itu film western juga terinspirasi dari kisah nyata legendaris koboi yang hidup pada abad ke 19 seperti Kit Carson, Wild Bill, Hickok, dan Jesse James, namun tokoh koboi dalam film Western biasanya menekankan imaji ideal sosok seorang laki-laki, seperti menunjukan keagresifan seorang laki-laki yang powerful dan menekankan nilai-nilai kejantanan (Andriadi, 2014:3)

Perempuan dalam film western dikenal mempunyai peran termarjinalkan, secara umum perannya hanya berkutat pada peran domestik, sebagai ibu rumah tangga, pelayan di sebuah bar, sebagai dokter, sebagai budak, PSK, dan peran marjinal lainnya, selain mendapatkan peran marjinal, di dalam film western, perempuan cenderung diperlihatkan tertindas, tidak jarang mendapatkan kekerasan, tersubordinasikan, sehingga tampak jelas


(57)

40

ketimpangan bias gender di dalam film western dimana perempuan cenderung terinferiorkan.

Dari sederetan film western populer dari tahun 2000-2015 yang menjadi rujukan data mengenai perempuan dalam film western sebagai acuan dalam penelitian ini yang menunjukkan perempuan termarjinalkan serta hanya sebagai pelengkap dalam cerita adalah sebagai berikut ada dalam dalam film (2000) All the Pretty Horses, (2001) American Outlaws, (2002) King of Texas, (2003) Open Range, (2004) The Alamo, (2005) The Proposition, (2006) Seraphim Falls, (2007) 3.10 to Yuma, (2008) Appaloosa, (2009) Dark Frontier, (2010) Tracker, (2011) Blackthorn, (2012) Django Unchained, (2013) The lone Ranger, (2014) The Dark Valley, (2015) The Hateful Eight.

Seperti yang dijelaskan di atas bahwasannya salah satu faktor yang membuat film western begitu menarik adalah berkaitan dengan kisah nyata kehidupan koboi legendaris seperti Kit Carson, Wild Bill, Hickok, dan Jesse James dimana tokoh-tokoh koboi legendaris tersebut sering atau bahkan selalu diangkat perannya pada film western dimana dianggap lebih menarik daripada diperankan oleh seorang perempuan sehingga perempuan dalam film western perannya cenderung termarjinalkan dan hanya sebagai pelengkap cerita padahal pada era kisah nyata kehidupan legendaries koboi laki-laki juga terdapat sosok koboi legendaris perempuan terkenal di antaranya adalah Martha Jane Canary, Laura Bullion, Belle Starr, Anna Emmaline McDoulet dan Coura Hubbard, kelima legenda koboi perempuan tersebut juga mempunyai kisah nyata kehidupan yang juga tidak kalah menarik.


(58)

41

Timko (2016:3). dalam jurnalnya yaitu The Promotion of Masculinity in the Western Film mengatakan bahwa Film Western mempromosikan maskulinitas dengan menunjukkan koboi sebagai karakter dominan yang memiliki banyak keterampilan dan selalu berada pada kondisi yang berbahaya, laki-laki dan perempuan dalam film western di analogikan seperti laki-laki lebih sering diam dengan kewibawaannya untuk menunjukkan superioritasnya sedangkan perempuan cenderung banyak bicara menunjukkan inferioritas perempuan seperti sering bergantung dengan mengadu, mencurahkan isi hati serta meminta tolong.

C. Profil Film True Grit

True Grit adalah film bergenre Western yang di produksi pada tahun 2010 oleh Paramount Pictures dan Sky Dance Productions, di sutradarai oleh Coen bersaudara yaitu Joel Coen & Ethan Coen, serta di produseri oleh Steven Spielberg. Film ini di buat ulang pada tahun 2010 dimana sebelumnya di produksi untuk pertama kalinya pada tahun 1969, True Grit sebelumnya sudah populer pada tahun 1969 di buktikan dengan mendapatkan penghargan 1 piala oscars, dan 7 nominasi dari penghargaan lainnya. Sedangkan film yang dibuat kembali pada tahun 2010 mendapatkan 10 nominasi oscars, memenangkan 36 penghargaan, dan 146 nominasi dari ajang penghargaan lainnya, Selain itu menurut situs online IMBD.com, film True Grit adalah film yang mendapatkan peringkat pertama dalam Best Western Film Since 2000


(1)

76

Holznet, Brigitte dan Saptari, Ratna. (1997). Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Hoed, H. Benny. (2014). Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya: Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Julia Kristeva, Jacques Derrida, Charles Sanders Peirce, Marcel Danesi & Paul Perron. Depok: Komunitas Bambu.

Kusharyanto, Juliasih. (2009). Potensi Perempuan Amerika:tinjauan feminism. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kriyanto, Rachmat. (2007). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta :Kencana. Luedtke, Luther S. (1994). Mengenal Masyarakat dan Budaya Amerika Serikat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sobur, Alex. (2006). Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

_________. (2006). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika, Analisis Framing. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Sihite, Romany. (2007). Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Soegiono, M. Srie. (1987) .Media Film Indonesia.Jakarta: Institus Kesenian Jakarta.

Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta :Pusat Bahasa.

Vera, Nawiroh. (2014). Semiotika dalam Riset Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesi.


(2)

77

Ridwan, M.Ag. (2006). Kekerasan Berbasis Gender (Rekonstruksi Teologis, Yuridis, dan Sosiologis). Purwokerto: Pusat Studi Gender (PSG).

Mann, Arthur. (1990). Yang Satu dan Yang Banyak: Refleksi tentang Identitas Amerika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

THESIS:

Andriadi. (2014). Konvensi dan Invensi Dalam Cerita-Cerita Koboi Mutakhir: Kajian Formula Terhadap Film Western Periode 1995 – 2012. Yogyakarta: ProgramPascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Setiani, Palupi. (2013). Resistensi Perempuan Terhadap Mitos Keperawanan. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Nadhifah, L. Nurul. (2011). Representasi Perempuan dalam film ringu dan remake the ring: Tinjauan pada male gaze dan teknik mise en scene. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

SKRIPSI

Sulista, Gelvi. (2011). Representasi Pemimpin perempuan dalam Film The Iron Lady. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Haryati, Dwi, Garnis. (2013). Representasi Perempuan Pada Tokoh Aung San Suu Kyi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang


(3)

78

Chusna, Tsabitul, Nurdini. (2014). Representasi Perempuan Sebagai Objek Seksualitas. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

JURNAL

Irawan, Edi. Rahmat. (2014). Representasi Perempuan dalam Industri Sinema: Jurnal Humaniora Vol. 5 No. 1 April 2014: 18. Jakarta Barat: Marketing

Communication Department, Faculty of Economic and Communication. BINUS University.

Meiliani, Sylvie. (2011). Perdebatan Mengenai Perempuan di Amerika Serikat: Jurnal Ilmu Humaniora. Jakarta: Universitas Nasional. Diakses dari

http://sippm.unas.ac.id/page/download.php?path=../files/lp_tc_penelitian/&file= 51245-62_silvy,_feminis.pdf tanggal 12 Maret, 2016 jam

Siregar, ashadi (2004). Ketidakadilan Konstruksi Perempuan di Film dan Televisi. Yogyakarta: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Diakses dari

http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/187/182tanggal 13 Maret, 2016 jam 13.00 WIB.

Isdiwayati, Sri. (2006). Roland Barthes dan Mithologi. Semarang : Jurnal Unnes Vol. 2 No. 2. Diakses dari

journal.unnes.ac.id/nju/index.php/imajinasi/article/viewFile/1441/1567 tanggal 25 Agustus 2016 jam 14.00 WIB.

Eriyanto (2004). Analisis Framing : Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKIS. Diakses dari


(4)

79

www.jurnalkommas.com/docs/JURNAL_Yuvita%20Balianna_D0211104.pdf tanggal 25 Agustus 2016 jam 13.00 WIB.

Buku Online dan Internet:

Berger, Asa, Arthur. (2014). Media Analysis Technique. USA: San Francisco State University. Diakses dari

https://uk.sagepub.com/sites/default/files/upm-binaries/59327_Chapter_1.pdf tanggal 13 April, 2016 jam 05.00 WIB. Corkin, Stanley. (2004). Cowboys as Cold Warriors.The Western and U.S. History.(Culture and the Moving Image.) Philadelphia: Temple University Press. Diakses dari http://ahr.oxfordjournals.org/content/112/1/245.extrat tanggal 14 Januari, 2016 jam 19.00 WIB.

Dikuhnel (2011). Best Western Film Since 2000. Diakses dari www.imdb.com tanggal 19 Februari 2016 jam 09.00 WIB.

Hall, Stuart. (2013). Chapter One: The Work Of Represntation. United Kingdom: Sage Publication. Diakses dari

http://uk.sagepub.com/sites/default/files/upm-binaries/66880_The_Work_of_Representation.pdf tanggal 12 Maret, 2016 jam 22.00 WIB.

Zinn, Howard (1994). A People’s History of the United States. Longman Group UK limited:England. Diakses dari: (

https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ved=0ahU KEwixoK2SsdnOAhVMOI8KHQiLBa4QFggnMAE&url=http%3A%2F%2Flibrary.un


(5)

80

iteddiversity.coop%2FMore_Books_and_Reports%2FHoward_Zinn-A_peoples_history_of_the_United_States.pdf&usg=AFQjCNFEObQ07JGIVIixidLwbq F6acmKmw&bvm=bv.130731782,d.c2I&cad=rja ) tanggal 14 Mei 2016 jam 13.00 WIB.

Cunnea, Professor (1998). a timeline of women's legal History in the United States. Stanford University. Diakses dari : (

https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&u act=8&ved=0ahUKEwissYCVsNnOAhWHMo8KHRoVCbwQFgghMAA&url=http%3

A%2F%2Fwlh.law.stanford.edu%2Fwp-

content%2Fuploads%2F2011%2F01%2Fcunnea-timeline.pdf&usg=AFQjCNHawdHn4WVNmgNoifjLoKJDWk12bQ ) pada tanggal 25 Mei 2016 jam 11:00 WIB

Fauziah, Lutfi (2016) Harriet Tubman, Bekas Budak yang jadi Agen Rahasia. Diakses dari http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/02/harriet-tubman-bekas-budak-yang-jadi-agen-rahasia tanggal 24 agustus 2016 jam 11:00 WIB.

Timko, John. (2016). The Promotion of Masculinity in the Western Film. Michigan:

Saginaw Valley State University. Diaskses dari

https://www.svsu.edu/media/writingcenter/John_Timko.pdf tanggal 25 Agustus 2016 jam 21.00 WIB

Purwianti, Eka, Ciput. (2016). Gender dan Perspektif Keadilan Gender dalam Redd+. Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Di akses dari https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&u act=8&ved=0ahUKEwjM0JOHsOTQAhUTSY8KHbluCX0QFgghMAA&url=http%3 A%2F%2Fwww.unorcid.org%2Fupload%2FREDD%2B%2520Academy%2520Trainin


(6)

81

g%2520%2FREDD%2B%2520Academy%2520January%25202016%2FCiput_E_Purw ianti_Gender_and_REDD.pdf&usg=AFQjCNFVtXUFzspMOo_t30wWHGv_shtv-Q tanggal 25 Agustus 2016 jam 15.00 WIB.

Budiman, Kris. (2000). Feminis Laki – Laki dan Wacana Gender. Magelang: IndonesiaTera. Di akses dari

https://books.google.co.id/books?id=ba-wWn89cmcC&pg=PA97&lpg=PA97&dq=rokok+koboi&source=bl&ots=efYpGxXqv B&sig=nf_DCYWIrnfWoFRoPapGHnbmqEk&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwieypaz-vLQAhXFO48KHWxvDXY4FBDoAQguMAQ#v=onepage&q&f=false tanggal 14 Desember 2016 jam 13.10 WIB.