PEMANFAATAN BERBAGAI MACAM BIOAKTIVATOR TERHADAP EFEKTIFITAS PENGOMPOSAN DAUN JATI (Tectona grandis, L) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN SAWI PUTIH (Brassica sinensis, L)
i
PEMANFAATAN BERBAGAI MACAM BIOAKTIVATOR
TERHADAP EFEKTIFITAS PENGOMPOSAN DAUN JATI
(
Tectona grandis,
L
)
DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN SAWI PUTIH
(
Brassica sinensis,
L)
SKRIPSI
Oleh : Anton Nugroho
20110210054
Program Studi Agroteknologi
Kepada
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015
(2)
ii
Skripsi yang berjudul
PEMANFAATAN BERBAGAI MACAM BIOAKTIVATOR
TERHADAP EFEKTIFITAS PENGOMPOSAN DAUN JATI
(
Tectona grandis,
L
)
DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN SAWI PUTIH
(
Brassica sinensis,
L)
yang dipersiapkan dan disusun oleh:Anton Nugroho 20110210054
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 30 Desember 2015
Skripsi tersebut telah diterima sebagai syarat yang diperlukan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian
Pembimbing Utama: Anggota Penguji:
Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P Taufiq Hidayat, S.P
NIP :19601120.198903.1.001 NIK : 201333
Pembimbing Pendamping:
Ir. Titiek Widyastuti, M.S NIP : 19580512.198603.2.001
Yogyakarta, Desember 2015 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Dekan Fakultas Pertanian
( Ir. Sarjiyah, MS ) NIP. 19610918.199103.2.001
(3)
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan :
1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik, baik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta maupun di perguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Karya tulis ada gagasan, rumusan dan penelitian saya setelah mendapatkan arahan dan saran dari Tim Pembimbing. Oleh karena itu, saya menyetujui pemanfaatan karya tulis ini dalam berbagai forum ilmiah.
4. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
5. Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah saya peroleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi.
Yogyakarta, 30 Desember 2015 Yang membuat pernyataan,
Anton Nugroho 20110210054
(4)
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini yang merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program studi strata 1 Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa tanpa adanya bimbingan, dorongan semangat dan bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Ir. Sarjiyah, MS, selaku dekan fakultas pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2. Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P selaku dosen pembimbing utama yang telah membimbing dan memberikan motivasi kepada penulis hingga skripsi ini dapat selesai.
3. Ir. Titiek Widyastuti, M.S selaku dosen pembimbing pendamping yang telah membimbing dan memberikan pengarahan dalam menyelesaikan skripsi. 4. Taufiq Hidayat, S.P selaku dosen penguji yang telah berkenan menguji karya
tulis ini dan memberikan banyak masukan.
5. Kedua orang tuaku yang telah memberikan do’a dan apapun yang bisa membuat kemajuan pada diri penulis.
(5)
v
6. Semua dosen dan staff Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
7. Rekan-rekan seperjuangan angkatan 2011 dan orang terdekatku yang telah memberikan semangat, motivasi dan membantu dalam penyelesaian skripsi. 8. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini
Penulis berharap semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi penulis maupun pembaca.
Yogyakarta, 30 Desember 2015
(6)
vi
DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
INTISARI ... xi
ABSTRACT ... xii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
A. Kompos ... 5
B. Bioaktivator ... 12
C. Tanaman Sawi putih ... 16
D. Hipotesis ... 20
III. TATA CARA PENELITIAN ... 21
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 21
B. Bahan dan Alat Penelitian ... 21
(7)
vii
D. Tata Cara Penelitian ... 22
E. Parameter yang Diamati ... 27
F. Analisis Data ... 30
IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 31
A. Kondisi Umum Penelitian ... 31
B. Hasil Dan Pembahasan ... 31
1. Tingkat kematangan kompos ... 31
2. Pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih ... 48
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63
A. kesimpulan ... 63
B. Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 64
(8)
viii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1: Standar kualitas kompos salah satu perusahaan dan asosiasi ... 11
Tabel 2 : Perubahan suhu kompos ... 34
Tabel 3 : Perubahan pH pengomposan ... 39
Tabel 4 : Perubahan warna kompos ... 43
Tabel 5 :Perubahan bau kompos ... 46
Tabel 6 : Hasil analisis rasio C/N ... 47
Tabel 7 : Rata-rata pengukuran tinggi tanaman, jumlah daun, berat segar tanaman, berat kering tanaman, berat segar akar, berat kering akar dan panjang akar.. ... 49
(9)
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 1 : Grafik perubahan suhu kompos ... 35
Gambar 2 : Grafik perubahan pH pada proses pengomposan ... 40
Gambar 3 : Grafik rerata perubahan tinggi tanaman ... 52
(10)
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1. Layout Penelitian ... 66
Lampiran 2. Perhitungan Dosis Pupuk/Tanaman... 67
Lampiran 3. Tabel sidik ragam ... 69
Lampiran 4. Hasil pemotretan proses pembuatan bioaktivator ... 71
(11)
xi
INTISARI
Penelitian yang berjudul “Pemanfaatan Berbagai Macam Bioaktivator Terhadap Pengomposan Daun Jati (Tectona grandis, L) dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi Putih (Brassica sinensis, L)” telah dilakukan di kabupaten Klaten untuk proses pengomposan dan di kabupaten Gunung kidul untuk aplikasi kompos pada tanaman sawi putih dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai jenis bioaktivator pada pengomposan daun jati dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih.
Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen digunakan 5 jenis perlakuan kompos : Kompos daun jati dengan bioaktivator rumen sapi (A), Kompos dari jati dengan bioaktivator rumen kerbau (B), Kompos dari jati dengan bioactivator rumen kambing (C), Kompos daun jati dengan aktivator EM4 (D), dan Kompos daun jati tanpa bioaktivator (E). Penelitian ini disusun dalam rancangan acak lengkap dengan 10 perlakuan. Perlakuan yang digunakan adalah: P1 = Kompos A 5 ton/hektar; P2 = Kompos A 10 ton/hektar; P3 = Kompos B 5 ton/hektar; P4 = Kompos B 10 ton/hektar; P5 = Kompos C 5 ton/hektar; P6 = Kompos C 10 ton/hektar; P7 = Kompos D 5 ton/hektar; P8 = Kompos D 10 ton/hektar; P9 = Kompos E 5 ton/hektar; P10 = Kompos E 10 ton/hektar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bioaktivator rumen kerbau memberikan efek yang lebih baik pada kualitas kompos daun jati, dan semua perlakuan tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan dan hasil caisim putih.
(12)
xii
ABSTRACT
The research titled "The Utilization of various of Bio-activator on Teak
Leaves Composting and It’s Influence on Growth and Yield of White Caisim" was conducted at Klaten regency to composting proses and Gunung kidul regency to application of compos to white caisim from 15 Mart up to 15 Juny 2015. The research aims to determine the effect of various kinds of bio-activator on teak leaves composting and its influence on growth and yield of white caisim.
The research was done in experimental method used 5 kinds of compost : Composting leaves of teak with a bio-activator cow rumen (A), Composting leaves of teak with a activator buffalo rumen (B), Composting leaves of teak with a bio-activator goat rumen (C), Composting leaves of teak with the bio-activator EM4 (D), and Composting leaves of teak without bio-activator (E). The research was arranged in completely randomized design with 10 treatments. The treatments are : P1= 5 tons/hectare of compost A; P2= 10 tons/hectare of compost A; P3= 5 tons/hectare of compost B; P4= 10 tons/hectare of compost B; P5= 5 tons/hectare of compost C; P6= 10 tons/hectare of compost C; P7= 5 tons/hectare of compost D; P8= 10 tons/hectare of compost D; P9= 5 tons/hectare of compost E; P10= 10 tons/hectare of compost E.
The results showed that the use of bio-activator of buffalo rumen gave the better effect on the quality of teak leaves composting, and all of treatments have no significantly different to growth and yield of white caisim.
(13)
Skrip ylng
berjudulrNNN*XTAATAN BERBAGAI MACAM BIOAKTTVATOR
TAruIADAP
EF'EKTIF'ITAS PENGOMPOSAN
DATII{i.I.N
{Tecflorr,a gtandis,
U
DAN
PEHGARIJIINYA TERIIADAP
PERTI}MBUITAN
I}AN HASIL TANAMAN
SA}VIPUTNI
(Brassiea
sinensis,L\
yang dipersiapkas dan disrsus oleh:
Anton Nngroho
t011B2t$tls4 i
Tslah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 3* Desemkr ?S15
$laipsi ters*ut telah diterima sebagai syarat yang diperlukan guna memperoleh rJerqiaf SarJarra Perfanian
Fembirnbing Utama:
M
Anggota Pengqfi:ffi^
Thufiq Hidayal S-P
NIK:201333
k-
k- Gtrowan Fndivsrfo- M"PHtF "I
ffi
I ] ?t_ I 98903. 1.0S1Ir- Titiek Widyastuti- M.S N{F : t95S$5r?.1986S3.?.S01
Yogyakarta Desember 2015 Universitas Muha:nmadiyah Ycgyakarta Pemb^imbingPendamping:
(14)
(
Brassica sinensis,
L)
The Utilization of various of Bio-activator on Teak Leaves (Tectona grandis, L) Composting and It’s Influence on Growth and Yield of White
Caisim(Brassica sinensis, L) Anton Nugroho
Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P / Ir. Titiek Widyastuti, M.S Agrotechnology Departement Faculty Of Agriculture Muhammadiyah
University Of Yogyakarta ABSTRACT
The research titled "The Utilization of various of Bio-activator on Teak
Leaves Composting and It’s Influence on Growth and Yield of White Caisim" was conducted at Klaten regency to composting proses and Gunung kidul regency to application of compos to white caisim from 15 Mart up to 15 Juny 2015. The research aims to determine the effect of various kinds of bio-activator on teak leaves composting and its influence on growth and yield of white caisim.
The research was done in experimental method used 5 kinds of compost : Composting leaves of teak with a bio-activator cow rumen (A), Composting leaves of teak with a bio-activator buffalo rumen (B), Composting leaves of teak with a bio-activator goat rumen (C), Composting leaves of teak with the activator EM4 (D), and Composting leaves of teak without bio-activator (E). The research was arranged in completely randomized design with 10 treatments. The treatments are : P1= 5 tons/hectare of compost A; P2= 10 tons/hectare of compost A; P3= 5 tons/hectare of compost B; P4= 10 tons/hectare of compost B; P5= 5 tons/hectare of compost C; P6= 10 tons/hectare of compost C; P7= 5 tons/hectare of compost D; P8= 10 tons/hectare of compost D; P9= 5 tons/hectare of compost E; P10= 10 tons/hectare of compost E.
The results showed that the use of bio-activator of buffalo rumen gave the better effect on the quality of teak leaves composting, and all of treatments have no significantly different to growth and yield of white caisim.
(15)
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jati (Tectona grandis, L) merupakan tanaman berkayu yang pada umumnya hidup ditempat yang beriklim tropis. Tanaman jati banyak ditanam atau dibudidayakan, dikarenakan selain memiliki nilai dekoratif yang tinggi, mudah diolah dan tahan terhadap jamur, pohon dari tanaman jati ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi, namun tanaman jati memberikan limbah berupa daun tanaman jati yang berjatuhan.
Limbah merupakan bahan sisa yang tidak termanfaatkan, limbah dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Beberapa dampak tersebut diantaranya dapat mencemari lingkungan baik dari segi bau, pencemaran terhadap air, tanah dan terhadap pandangan. Daun jati merupakan salah satu limbah yang dinilai mencemari lingkungan dari segi pandangan. Sampai saat ini limbah daun jati masih kita temui bertumpukan dan berserakan dibawah pohonnya dengan pemanfaatan yang kurang bahkan sama sekali tanpa adanya pemanfaatan, bahkan limbah daun jati ini hanya dibakar sehingga dapat menyebabkan pencemaran udara.
Pada penelitian Hapsari (2001) tetang pengomposan daun jati menggunakan bioaktivator kotoran sapi, bahwa pengomposan daun jati berlangsung selama 1 bulan dan kompos daun jati ini memiliki kandungan unsur hara N=2,40%, P=0,42%, K=0,435, Ca= 1,05%, Mg=0,70% dan Fe=10,103 ppm.
(16)
2
Pengomposan merupakan proses penguraian bahan organik atau proses dekomposisi bahan organik dimana dalam prosesnya terdapat mikroorganisme yang membantu perombakan bahan organik tersebut. Pada dasarnya proses pengomposan akan terjadi dengan sendirinya namun proses penguraiannya akan berlangsung lama dikarenakan kurangnya mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan. Proses pengomposan yang cenderung lama ini maka perlu adanya penambahan mikroorganisme dalam mempercepat proses pengomposan diantaranya menggunakan bioaktivator. Bioaktivator merupakan bahan yang digunakan untuk mempercepat proses pengomposan, dalam bioaktivator memiliki kandungan mikroba yang berperan untuk menguraikan bahan organik sehingga proses pengomposan dari bahan organik tersebut lebih cepat. Rumen merupakan kotoran dari ternak ruminansia yang masih terdapat pada usus halus maupun usus besar hewan ruminansia tersebut. Dalam rumen terdapat berbagai macam mikroorganisme yang cukup tinggi seperti bakteri, protozoa, dan jamur yang dapat mempercepat proses pengompomposan. Rumen biasanya banyak kita jumpai di rumah potong hewan yang belum dimanfaatkan secara lebih hanya dijual bahkan hanya dibuang. Adanya rumen di rumah potong hewan yang belum termanfaatkan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan terutama dapat menimbulkan bau, sehingga perlu adanya pemanfaatan salah satunya dengan menggunakan rumen tersebut sebagai bahan bioaktivator untuk mempercepat proses pengomposan.
(17)
3
Adanya kandungan mikroorganisme yang tinggi, maka rumen dapat dijadikan sebagai bahan dasar untuk membuat bioaktivator/starter untuk mempercepat proses pengomposan. Dengan melihat penelitian Hapsari (2001) tentang pengomposan daun jati, maka perlu adanya kajian lain untuk mempercepat proses pengomposan. Pada penelitian ini penulis bermaksud untuk mendapatkan jenis bioaktivator yang cocok untuk mempercepat proses pengomposan pada daun jati.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka didapatkan beberapa rumusan masalah antara lain:
1. Bioaktivator dari bahan apakah yang paling cocok dan dapat mempercepat proses pengomposan daun jati?
2. Adakah perbedaan kualitas kompos yang dihasilkan dari berbagai bahan bioaktivator yang digunakan?
3. Adakah pengaruh kompos yang dihasilkan terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukan penelitian tentang pengaruh berbagai macam bioaktivator yaitu:
1. Untuk mendapatkan bioativator yang terbaik dalam proses pengomposan daun jati.
(18)
4
2. Untuk mengetahui perbedaan kualitas kompos yang dihasilkan dari berbagai macam bioaktivator.
3. Untuk mengetahui pengaruh kompos yang dihasilkan terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih.
(19)
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kompos
Kompos merupakan pupuk yang berasal dari sisa-sisa bahan organik yang dapat memperbaiki sifat fisik dan struktur tanah, meningkatkan daya menahan air, kimia tanah dan biologi tanah. Sumber bahan pupuk kompos antara lain berasal dari limbah organik seperti sisa-sisa tanaman (jerami, batang, dahan), sampah rumah tangga, kotoran ternak (sapi, kambing, ayam, itik), arang sekam, abu dapur dan lain-lain (Rukmana, 2007).
Pupuk organik dalam bentuk yang telah dikomposkan ataupun segar berperan penting dalam perbaikan sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta sumber nutrisi tanaman. Penggunaan kompos/pupuk organik pada tanah memberikan manfaat diantaranya menambah kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah dan gembur, memperbaiki sifat kimiawi tanah, sehingga unsur hara yang tersedia dalam tanah lebih mudah diserap oleh tanaman, memperbaiki tata air dan udara dalam tanah, sehingga akan dapat menjaga suhu dalam tanah menjadi lebih stabil, mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara, sehingga mudah larut oleh air dan memperbaiki kehidupan jasad renik yang hidup dalam tanah. Untuk memperoleh kualitas kompos yang baik perlu diperhatikan pada proses pengomposan dan kematangan kompos, dengan kompos yang matang maka frekuensi kompos akan meracuni tanaman akan rendah dan unsur hara pada kompos akan lebih tinggi dibanding dengan kompos yang belum matang. (Rukmana, 2007).
(20)
6
Pengomposan merupakan proses penguraian bahan organik atau proses dekomposisi bahan organik dimana didalam proses tersebut terdapat berbagai macam mikrobia yang membantu proses perombakan bahan organik tersebut sehingga bahan organik tersebut mengalami perubahan baik struktur dan teksturnya. Bahan organik merupakan bahan yang berasal dari mahluk hidup baik itu berasal dari tumbuhan maupun dari hewan. Adapun prinsip dari proses pengomposan adalah menurunkan C/N bahan organik hingga sama atau hampir sama dengan nisbah C/N tanah (<20), dengan demikian nitrogen dapat dilepas dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Indriani, 2002). Tujuan proses pengomposan ini yaitu merubah bahan organik yang menjadi limbah menjadi produk yang mudah dan aman untuk ditangan, disimpan, diaplikasikan ke lahan pertanian dengan aman tanpa menimbulkan efek negatif baik pada tanah maupun pada lingkungan pada lingkungan. Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau anaerobik (tidak ada oksigen) (Harada, 1995). Pada dasarnya proses pengomposan secara aerobik lebih cepat dibandingkan dengan pengomposan secara anaerobik. Pada proses pengomposan dengan adanya oksigen akan menghasilkan CO2, NH3, H2O dan panas, sedangkan pada proses pengomposan tanpa adanya oksigen akan menghasilkan prosuk akhir berupa (CH4), CO2, CH3, sejumlah gas dan assam organik.
Menurut (Gaur, 1983; Crawford, 1984) proses penguraian bahan organik yang terjadi secara aerobik adalah sebagai berikut:
(21)
7 Dalam reaksi keseluruhan :
Bahan organik Mikroorganisme CO2 + H2O + Unsur hara + Humus + Energi Reaksi pengomposan secara anaerobik menurut Gaur (1981) sebagai berikut:
Pada proses pengomposan terdapat beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi kecepatan dalam pengomposan. Beberapa faktor tersebut yaitu:
1. Nisbah C/N bahan
Pada proses pengomposan nisbah C/N akan sangat mempengaruhi kecepatan dari pengomposan. Dengan nisbah C/N yang tinggi maka proses pengomposan akan berlangsung lebih lama dan sebaliknya apabila nisbah C/N rendah maka proses pengomposan akan lebih cepat. Adapun nisbah C/N optimum untuk pengomposan yaitu 20-40 (Gaur, 1983).
(22)
8 2. Ukuran bahan
Ukuran bahan ini mempengaruhi pada perkenaan bahan terhadap mikroorganisme maupun bahan pengomposan yang lain. Bahan organik yang memiliki ukuran bahan lebih besar akan memperlambat proses pengomposan sedangkan bahan organik yang memiliki ukuran kecil, proses pengomposan akan berlangsung lebih cepat (Alienda, 2004). Sehingga sering kita jumpai dalam pembuatan kompos bahan organik yang digunakan terlebih dahulu akan dijadikan dalam ukuran kecil atau dihaluskan.
3. Komposisi bahan
Bahan yang memiliki komposisi yang kadar nitrogennya rendah akan memperlambat proses pengomposan. Selain itu komposisi bahan ini juga dilihat dari segi mikroorganisme yang terdapat pada bahan tersebut. Dalam pengelompokan bahan, sisa-sisa tanaman dan binatang dapat dikategorikan menjadi bahan dengan sumber utama yaitu karbohidrat, lignin, tannin, glikosida, asam-asam organik, lemak, resin, komponen nitrogen, pigmen-pigmen dan bahan-bahan mineral. Berdasarkan pengelompokan bahan-bahan tersebut dapat dikategorikan bahan yang dapat cepat mengalami dekomposisi dan bahan yang lambat mengalami dekomposisi. Bagian bahan yang dapat mengalami dekomposisi dengan cepat diantaranya pati, hemisellulosa, selulosa, protein dan bahan yang mudah larut dalam air, sedangkan bahan yang sukar atau lambat mengalami dekomposisi diantaranya lignin, lilin atau lemak dan tannin (Andi, 1985).
(23)
9 4. Kelembaban dan aerasi
Pada umumnya mikroorganisme dapat bekerja secara optimum yaitu pada kelembaban 40-60%. Apabila kelembaban terlalu tinggi atau terlalu rendah maka proses pengomposan kan berlangsung lebih lambat karena mikroorganisme yang membantu dalam proses pengomposan tidak bisa berkembang atau mati (Indriani, 2002). Selain kelembaban aerasi juga perlu diperhatikan dalam proses pengomposan, jika bahan yang digunakan pada proses pengomposan kering maka proses pengomposan akan lambat. Selain itu apabila bahan yang digunakan terlalu basah akan mengakibatkan penguapan air dan kehilangan panas yang cepat pada saat proses pengomposan berlangsung.
5. Suhu/temperatur
Suhu atau temperatur ini berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme yang membantu dalam proses pengomposan. Suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan mikroorganisme akan mati dan sebaliknya apabila suhu rendah maka aktivitas organisme dalam pengomposan tersebut belum ada atau belum aktif. Suhu optimal yang dikehendaki dalam proses pengomposan yaitu 30-50°C. pada awal proses pengomposan akan terjadi kenaikan suhu yaitu sekitar 55-60°C sehingga dalam proses pengomposan perlu adanya pembalikan kompos untuk menghindari suhu yang terlalu tinggi. Setelah proses pengomposan selesai dan kompos mencapai tingkat kematangan maka suhu kompos akan menurun. (Indriani, 2002).
(24)
10 6. Keasaman bahan
Tingkat keasaman pada proses awal pengomposan biasanya asam dan apabila proses engomposan berhasil maka pH dari kompos tersebut akan netral. Adapun standar tingkat keasaman yang terdapat pada proses pengomposan yaitu 6,5-7,5 (Indriani, 2002).
7. Penggunaan aktivator
Penggunaan aktivator ini berhubungan dengan orgnisme yang membantu dalam proses pengomposan. Dengan adanya aktivator dalam proses pengomposan akan mempercepat dekomposisi bahan organik sehingga proses` pengomposan akan berlangsung lebih cepat.
Kompos untuk dapat digunakan dengan aman dan memiliki kandungan unsur hara yang maksimal dapat ditentukan oleh tingkat kematangan kompos tersebut. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat kematangan suatu kompos diantaranya:
1. Temperatur kompos yang menurun/rendah pada akhir pengomposan 2. Nisbah C/N < 20
3. Tidak ada aktivitas serangga atau larva pada akhir pengomposan 4. Hilangnya bau tidak sedap
5. Muncul warna putih atau abu-abu karena berkembangnya antinomicetes 6. Perubahan warna menjadi coklat sampai hitam
(25)
11
7. Tekstur kompos remah dan apabila digunakan pada tanah memberikan efek positif untuk pertumbuhan tanaman.
Selain beberapa pendekatan tersebut beberapa pihak seperti perusahaan memiliki standar kualitas kompos sendiri. Adapun standar kualitas kompos yang diajadikan acuan oleh bebeapa perusahaan atau asosiasi dapat dilihat dalam tabel 1. Tabel 1: Standar kualitas kompos salah satu perusahaan dan asosiasi
Parameter mutu Satuan
Standar mutu PT. Mekaro Daya
Mandiri (1995)
Asosiasi Bark Kompos Jepang dalam harada et
al (1993)
Fisik
Kotoran - Tidak ada -
Warna - Coklat tua -
Bau - Sedikit -
Kadar air % 10-20 55-65
pH - 5,5-6,5 5,5-7,5
Daya ikat % 100-150 -
Biologi Uji benih* - - Dapat diterima
Kimia
Bahan % - -
C/N - Maks 20 <35
Total N % 2,5-3,5 >1,2
N tersedia % 50-70 -
P2O5 % 1-1,5 >0,5
K2O % 1-1,5 >0,3
KTK Meq/100
g
75-100 >70
Logam % Tidak ada -
Daun jati merupakan limbah yang belum banyak dimanfaatkan. Limbah daun jati merupakan salah satu limbah yang kita jumpai bertumpukan dan banyak terlihat pada saat musim kemarau. Limbah daun jati ini merupakan hasil dari proses gugurnya daun jati akibat adanya proses pengurangan penguapan oleh tanaman jati itu sendiri.
(26)
12
Tanaman jati merupakan tanaman yang masuk kedalam family Verbenaceae yang dapat tumbuh pada tanah yang subur, dengan pH tanah 6,5 – 7 serta berdrainase baik. Selain itu tanaman jati dapat tumbuh pada cahaya matahari penuh dan sangat sensitif terhadap adanya naungan (Keiding, 1985). Tanaman jati dapat tumbuh di tanah latosol, andosol dan aluvial, bahkan pada tanah yang mengandung kapur tanaman jati masih dapat tumbuh (Hamzah, 1983).
Pada penelitian Hapsari (2001), daun jati memiliki kandungan unsur hara yaitu N= 1,77%, C= 72,08%, P= 0,22%, K= 0,43%, Ca= 0,80%, Mg= 0,18% dan Fe = 11.468 ppm, Namun setelah daun jati menjadi kompos, limbah ini memiliki kanduagan unsur hara yang meningkat yaitu unsur hara N=2,40%, P=0,42%, K=0,435, Ca= 1,05%, Mg=0,70% dan Fe=10,103 ppm. Selain itu pada proses pengomposan daun jati memiliki hasil akhir kompos yang remah, warna berubah menjadi hitam, rasio C/N menjadi 18,68 dan pH kompos mendekati netral yaitu 7,1.
B. Bioaktivator
Bioaktivator merupakan bahan yang digunakan untuk mempercepat proses dekomposisi bahan organik, sehingga proses pengomposan akan dipercepat. Bioaktivator dapat didapatkan dari berbagai kotoran sapi termasuk rumen dan urine dan dapat juga menggunakan produk bioaktivator yang sudah tersedia secara langsung di pasaran seperti EM4, Stardec, Probion dan lainnya.
Rumen merupakan bagian dari proses pencernaan hewan ruminansia seperti kambing, domba, sapi dan kerbau yang masih berada dalam perut hewan tersebut.
(27)
13
Rumen merupakan bagian terbesar dari organ tubuh hewan ruminansia, rumen terletak di rongga abdominal bagian kiri. Rumen banyak didapat di rumah potong hewan yang merupakan sebuah limbah di rumah potong hewan yang biasanya belum dimanfaatkan secara maksimal dibuang atau dijual. Dengan adanya limbah rumen di rumah potong hewan yang pemanfaatannya kurang dan terus adanya rumen di rumah potong hewan ini maka perlu adanya penangannan agar limbah tersebut dapat termanfaatkan secara maksimal. Isi rumen merupakan limbah rumah potong hewan yang dihasilkan secara kontinyu dengan jumlah yang besar yaitu berkisar antara 10-12% dari berat hidup (Utami, 1991). Isi rumen berupa kotoran yang belum jadi atau setengah jadi yang didalamnya terkandung mikroorganisme yang sangat banyak. Beberapa mikroorganisme yang terdapat dalam rumen diantaranya bakteri (109 – 1012/ml cairan rumen), protozoa (105-106/ml cairan rumen), dan sejumlah keeping kapang (yeast) (Tsuda, 1976; Ogiomoto dan Imai, 1981). Bakteri yang terdapat pada rumen tergolong bakteri anaerob atau bakteri yang dapat hidup tanpa adanya oksigen, selain itu bakteri ini dapat hidup pada kisaran pH yaitu 5,5-7,0 dan temperatur 30-40°C (Hungate, 1966).
Berdasarkan jumlah mikroorganisme yang terdapat pada rumen sapi dan rumen kerbau menunjukan bahwa mikroorganisme pada rumen kerbau lebih tinggi dibandingan dengan rumen sapi. Hal ini dapat dilihat dengan jumlah bakteri pada rumen kerbau sebesar 16,20 x 108 dan pada rumen sapi sebesar 13,20 x 108. Selain itu populasi bakteri selulotik yang terkandung pada rumen kerbu 2-3 kali lebih besar
(28)
14
dibandingkan pada rumen sapi. Bakteri selulotik pada rumen kerbau sebesar 42,3%, sedangkan pada rumen sapi sebesar 19,5% (Pradhan 1994). Pada protozoa rumen antara kerbau dan sapi diketahui bahwa protozoa yang terkandung pada rumen kerbau lebih tinggi disbanding dengan protozoa rumen sapi. Pada rumen kerbau kandungan protozoa sebesar 1,2 – 2,8 x 105/ml dan pada rumen sapi sebesar 0,8 – 1,5 x 105ml (Pradhan, 1994).
Pada kemampuan mencerna makanan, binatang kerbau lebih baik dibandingkan dengan binatang sapi. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh kandungan mikroorganisme yang terdapat dalam rumen. Pada binatang kerbau dapat mencerna selulosa jerami gandum sebesar 30,7% dan sapi sebesar 24,3% (Commision on International Relations, 1981).
Rumen memiliki banyak manfaat selain dapat dijadikan pupuk untuk tanaman, rumen juga dapat dijadikan sebagai bahan untuk mempercepat proses pengomposan. Hal ini dikarenakan pada kotoran atau rumen hewan ternak memiliki kandungan unsur hara dan mikroorganisme yang dapat membantu proses dekomposisi bahan organik.
Kandungan dari kotoran hewan/ rumen pada setiap jenis hewan ternak yang satu dan yang lainnya berbeda-beda. Beberapa kandungan unsur yang terdapat pada kotoran hewan ternak berdasarkan jenis ternaknya diantaranya:
(29)
15 1. Sapi
Pada hewan ternak sapi beberapa kandungan unsur yang terkandung menurut Nurlela (1995), unsur N sebanyak 0,498%, unsur P sebanyak 71,75 ppm, unsur K sebesar 15,18 me/100 g, unsur Ca sebanyak 5,82 me/100 g, unsur Mg 9,04 me/100 g, dan unsur C sebesar 25,05%.
2. Kambing
Menurut Soepardi (1983), beberapa unsur yang tedapat pada kotoran kambing diantaranya N sebesar 5,06%, P sebesar 0,67% dan K sebanyak 3,97%.
3. Kerbau
Pada kotoran ternak kerbau beberapa unsur yang terdapat didalamnya diantaranya unsur N sebanyak 0,6%, unsur P sebanyak 0,3% dan unsur K sebanyak 0,34% (Soedijanto dan Hadmadi, 1977).
Isi rumen agar dapat dimanfaatkan sebagai bioaktivator untuk mempercepat proses pengomposan perlu adanya proses pembuatan starter atau bioaktivator. Selain rumen sebagai sumber utama pembuatan bioaktivator, perlu adanya bahan tambahan diantaranya air, bekatul dan gula jawa (Hardono, 2012). Adapun pembuatan bioaktivator dengan rumen yaitu:
1) Mengencerkan 2 kg gula jawa kedalam 10 liter air. 2) Mensterilkan 2 kg bekatul dengan cara dikukus. 3) Memasukan bekatul kedalam larutan nomor 1
(30)
16
5) Mengaduk campuran sampai homogen dan menutupnya rapat 6) Mendiamkan selama 7 hari.
7) Menyaring bioaktivator.
Pada pembuatan bioaktivator bekatul dapat digantikan dengan dedak atau sumber karbohidrat lainnya yang digunakan untuk sumber makanan bagi mikroorganisme, selain itu bahan gula jawa dapat digantikan dengan molase atau tetes tebu sebagai sumber energi. Bioaktivator yang sudah jadi akan ditandakan dengan berubahnya bau bahan utama menjadi bau seperti fermentasi.
C. Tanaman Sawi putih
Caisim atau sawi putih (Brassica sinensis L.) merupakan sayuran daun yang tumbuh di daerah panas maupun sejuk. Tanaman ini bisa tumbuh baik pada ketinggian hingga ketinggian 1200 meter dpl. Hasil terbaik untuk budidaya caisim adalah di dataran tinggi. Namun kebanyakan petani melakukan budidaya caisim pada ketinggian 100-500 meter dpl (Rukmana, 2007).
Selain kondisi iklim tersebut tanaman sawi putih Pada dasarnya sawi putih dapat ditanam di berbagai jenis tanah, namun yang baik adalah jenis tanah lempung berpasir, seperti tanah andosol, untuk jenis tanah liat perlu dilakukan pengolahan lahan secara sempurna antara lain dengan pernambahan pasir dan pupuk organik dalam dosis yang tinggi. Jadi syarat tanah ideal bagi tanaman sawi putih adalah subur, gembur, banyak mengandung bahan organik, tidak menggenang, tata udara
(31)
17
dalam tanah berjalan dengan baik dan pH tanah antara 6-7 (Rukmana, 2007). Tanaman sawi putih memiliki morfologi diantaranya:
1. Akar
Sistem perakaran tanaman sawi putih yaitu akar tunggang (radix primaria) menyebar ke semua arah pada kedalaman antara 30-50 cm.
2. Batang
Batang tanaman sawi putih berupa batang yang pendek dan beruas-ruas, sehingga hampir tidak kelihatan.
3. Daun
Daun tanaman sawi putih berupa daun yang bersayap, bertangkai panjang dan bentuknya pipih serta berwarna hijau.
4. Bunga
Bunga tanaman sawi putih tersusun dalam tangkai bunga (inflorescentia) yang tumbuh memanjang (tinggi) dan bercabang banyak. Tipe kuntumnya terdiri atas empat helai kelopak, empat helai mahkota bunga yang berwarna kuning cerah, empat helai benang sari dan satu buah putik yang berongga dua.
5. Buah
Buah tanaman sawi putih berupa buah dengan tipe buah polong yang bentuknya memanjang dan berongga. Tiap buah (polong) berisi 2-8 butir biji sawi putih.
(32)
18 6. Biji
Biji tanaman sawi putih bentuknya bulat kecil berwarna coklat atau coklat kehitam-hitaman.
Pada teknis budidaya tanaman sawi putih terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Beberapa aspek tersebut diantaramya:
1. Pengolahan tanah
Sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu lahan diolah dengan cara dicangkul. Pencangkulan ini dilakukan untuk menggemburkan tanah dan untuk memperbaiki aerasi tanah. Selain dilakukan penggemburan, lahan yang akan ditanami sawi putih terlebih dahulu diberi pupuk dasar. Pupuk dasar yang digunakan yaitu pupuk kandang sebanyak 10 ton/hektar.
2. Penanaman
Bedengan dengan ukuran lebar 120 cm dan panjang sesuai dengan ukuran petak tanah. Tinggi bedeng 20 – 30 cm dengan jarak antar bedeng 30 cm, seminggu sebelum penanaman dilakukan pemupukan terlebih dahulu yaitu pupuk kandang 10 ton/hektar. Sedang jarak tanam dalam bedengan 40 x 40 cm , 30 x 30 dan 20 x 20 cm (Margiyanto, 2007).
3. Pemeliharaan
Pemeliharaan yang dilakukan pada budidaya tanaman sawi putih yaitu penyiraman, penyulaman, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit.
(33)
19 a. Penyiraman
Penyiraman dilakukan dengan mengkondisikan suatu lahan, apabila lahan masih tergolong basah maka penyiraman tidak dilakukan.
b. Penyulaman
Penyulaman merupakan tahap untuk mengganti tanaman ssawi putih yang tidak tumbuh/mati dan tanaman yang tumbuh tidak normal. Penyulaman ini dilakukan dengan cara mengganti tanaman lama dengan tanaman sawi putih yang baru. Penyulaman dilakukan 1 minggu setalah tanam.
c. Pemupukan susulan
Pemupukan susulan tanaman sawi putih dilakukan pada umur 2 minggu dan 4 minggu setelah tanam. Adapun jenis dan dosis pupuk yang digunakan dalam pemupukan susulan tanaman sawi putih yaitu dengan Urea 54 kg/hektar, ZA 117 kg/hektar dan KCl 56 kg/hektar.
d. Pengendalian hama dan penyakit
Pengendalian hama dan penyakit ini dilakukan ketika tanaman sawi putih teridentifikasi terkena serangan hama maupun penyakit. Pengendalian yang digunakan yaitu secar kimia dengan menggunakan pestisida.
4. Panen
Tanaman sawi putih dapat dipanen pada kisaran umur 25-65 hari setelah tanam, akan tetapi umur panen ini tergantung pada varietas tanaman sawi putih yang di tanam. Adapun cirri-ciri tanaman sawi putih yang sudah siap panen yaitu
(34)
20
krop yang sudah kompak dan besar. Pemanenan sawi putih dilakukan dengan cara memotong pangkal tanaman yang dekat dengan tanah dengan menggunakan alat.
D. Hipotesis
1. Penggunaan bioaktivator dari rumen kerbau merupakan bioaktivator yang paling baik untuk pengomposan daun jati.
2. Penggunaan bioaktivator rumen kerbau memberikan kualitas yang paling baik pada kompos yang dihasilkan.
3. Kompos yang menggunakan bioaktivator rumen kerbau merupakan kompos yang paling baik untuk pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih.
(35)
21
III. TATA CARA PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 15 Maret sampai dengan 15 Juni 2015. Tempat yang digunakan yaitu di tempat peneliti di desa Pacing, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten sebagai tempat pembuatan kompos dan di lahan untuk mengetahui pengaruh terhadap tanaman sawi putih.
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain limbah daun jati kering, rumen sapi, kambing dan kerbau, EM4, air, bekatul, gula jawa, abu, kapur, Urea, Sp-36, KCl dan benih sawi putih. Alat yang digunakan yaitu timbangan, seprayer, penggaris, oven, pengaduk kompos dan ember pengomposan.
C. Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan dua tahap yaitu tahap pertama pengomposan daun jati dan tahap kedua yaitu aplikasi kompos pada tanaman sawi putih. Tahap pertama pengomposan daun jati dengan berbagai bioaktivator memiliki perlakuan sebagai berikut:
Kompos A = Pengomposan daun jati menggunakan bioaktivator rumen sapi
Kompos B = Pengomposan daun jati menggunakan bioaktivator rumen kerbau
Kompos C = pengomposan daun jati menggunakan bioaktivator rumen kambing
(36)
22
Kompos E = Pengomposan daun jati tanpa menggunakan bioaktivator
Penelitian tahap kedua aplikasi kompos pada tanaman sawi menggunakan metode percobaan yang disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL), perlakuan pemupukan kompos pada tanaman sawi putih adalah sebagai berikut:
P1= Pemupukan kompos A 5 ton/hektar P2 = Pemupukan kompos A 10 ton/hektar P3 = Pemupukan kompos B 5 ton/hektar P4 = Pemupukan kompos B 10 ton/hektar P5 = Pemupukan kompos C 5 ton/hektar P6 = Pemupukan kompos C 10 ton/hektar P7 = Pemupukan kompos D 5 ton/hektar P8 = Pemupukan kompos D 10 ton/hektar P9 = Pemupukan kompos E 5 ton/hektar P10 = Pemupukan kompos E 10 ton/hektar
Setiap perlakuan diulang 4 kali sehingga terdapat 40 unit percobaan dengan 1 unit percobaan menggunakan 3 tanaman.
D. Tata Cara Penelitian
Penelitian dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pengomposan daun jati dengan berbagai macam bioaktivator dan tahap kedua yaitu aplikasi kompos daun jati pada tanaman sawi putih. Tahap-tahap penelitian dapat dilihat sebagai berikut.
(37)
23 1. Pengomposan daun jati
Pada proses pengomposan, daun jati yang digunakan yaitu daun jati kering. Sebelum dikomposkan daun jati terlebih dahulu dilakukan beberapa proses yaitu:
a. Pemilahan
Pemilahan dilakukan dengan cara membuang kotoran yang terdapat dalam daun jati yang sudah dikumpulkan, baik dengan membuang plastik, daun lainnya dan kayu yang terdapat pada daun jati.
b. Pencacahan daun jati
Pencacahan dilakukan dengan cara mencacah daun jati menjadi ukuran kecil yaitu sekitar 1- 5 cm.
c. Perendaman
Perendaman ini dilakukan dengan merendam daun jati kering yang sudah dimasukan ke sak/bagor selama 1 minggu.
d. Pembuatan bioaktivator
Alat yang digunakan dalam pembuatan bioaktivator adalah pengaduk dan ember, sedangkan bahan yang digunakan yaitu isi rumen yang berasal dari usus halus/besar hewan sapi, kerbau dan kambing sebanyak 5 kg, air 10 liter, bekatul 2 kg dan gula jawa 2 kg (Hardono, 2012). Proses pembuatan bioaktivator sebagai berikut:
(38)
24
2) Mensterilkan 2 kg bekatul dengan cara dikukus. 3) Memasukan bekatul kedalam larutan nomor 1
4) Memasukan isi rumen sebanyak 5 kg kedalam campuran larutan. 5) Mengaduk campuran sampai homogen dan menutupnya rapat 6) Mendiamkan selama 7 hari.
7) Menyaring bioaktivator. e. Pengomposan daun jati
Pengomposan dilakukan secara anaerob dengan menggunakan ember dan ditutup rapat. Daun jati kering yang sudah direndam kemudian dikomposkan sesuai dengan perlakuan yang digunakan. Penggunaan dosis bioaktivator isi rumen pada masing-masing perlakuan adalah 40% (Stevia, 2013). Proses pengomposan bahan yang digunakan yaitu bahan utama 100%, dedak/bekatul 10%, abu 10% dan kapur/dolomit 2% (Murbandono, 2006). Langkah pengomposan yang digunakan pada pengomposan daun jati yaitu:
1) Menimbang bahan utama (daun jati) sebanyak 5 kg, dedak 10%, abu 10% dan dolomit 2%.
2) Mencampur semua bahan dan diaduk sampai homogen.
3) Mengambil bioaktivator isi rumen sebanyak 40% dari bahan utama (daun jati).
4) Memasukan bahan kedalam ember secara berlapis, setiap lapis diberi bioaktivator sesuai perlakuan.
(39)
25
5) Memberikan air untuk menjaga kadar air dan kelembaban berkisar antara 50%-60%.
6) Menutup rapat ember dan disimpan selama 1 bulan atau sampai kompos matang dengan dicirikan perubahan pada warna kompos menjadi coklat kehitaman, tak berbau, remah dan tidak panas. Selama proses penyimpanan dilakukan pembalikan 1 minggu sekali untuk menjaga suhu kompos tidak terlalu panas.
f. Analisis pengomposan
Aalisis pengomposan digunakan untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada kompos. Analisis pengomposan yang dilakukan diantaranya suhu, pH, warna, bau/aroma dan rasio C/N kompos.
2. Aplikasi kompos pada tanaman sawi putih
Aplikasi kompos pada tanaman sawi putih dilakukan dengan cara mencampur kompos dengan tanah sesuai dengan perlakuan pada saat penyiapan media tanam sawi putih dalam polybag.
a. Penyemaian sawi putih
Sawi putih terlebih dahulu disemai pada bak semai sebelum dilakukan penanaman ke media polybag. Media semai yang digunakan yaitu dengan campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Semaian sawi putih dipelihara sampai berumur 2 minggu dan memiliki 2 helai daun.
(40)
26 b. Penanaman
Sawi putih yang sudah berumur ± 2 minggu kemudian dipindahkan ke dalam
media tanam polybag sesuai dengan perlakuan yang digunakan. c. Pemeliharaan
1) Penyiraman
Penyiraman dilakukan setiap 1 hari sekali. Penyiraman ini dilakukan pada saat sore hari.
2) Pemupukan susulan
Pemupukan susulan dilakukan setelah 2 dan 4 minggu setelah tanam, pupuk yang digunakan yaitu Urea sebanyak 0,86 gram/tanaman, ZA 1,87 gram/tanaman dan KCl 0,9 gram/tanaman, sebagaimana dicantumkan dalam lampiran.
3) Pengendalian OPT
Pengendalian OPT dilakukan apabila tanaman sawi putih teridentifikasi terkena serangan. Pengendalian dilakukan dengan pestisida dengan menggunakan sprayer. Pada hasil penelitian yang telah dilakukan tanaman sawi putih teridentifikasi ada serangan hama berupa belalang dan ulat daun, akan tetapi pengendalian yang dilakukan hanya sebatas pengendalian manual dengan cara membuang hama secara langsung karena jumlah hama yang menyerang hanya kecil atau kurang dari ambang batas.
(41)
27 d. Pengamatan
Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih. Pengamatan yang dilakukan meliputi tinggi tanaman dan jumlah daun. Selain itu pada akhir penelitian dilakukan pengamatan terhadap berat basah dan kering tanaman, berat basah dan kering akar tanaman, dan panjang akar.
E. Parameter yang Diamati
1. Tingkat kematangan kompos a. Suhu kompos (ºC)
Suhu kompos diukur dengan menggunakan thermometer. Pengukuran suhu kompos ini dilakukan 3 hari sekali sampai akhir penelitian dengan menggunakan thermometer. Kompos yang sudah matang mengalami perubahan suhu dari suhu rendah ke tinggi dan turun kembali.
b. pH kompos
pH kompos merupakan pengukuran tingkat kemasaman kompos. pengamatan pH kompos ini dilakukan 1 minggu sekali dengan cara mengamati pH kompos dengan menggunakan alat pengukur pH / pH meter .
c. Warna kompos
Parameter warna kompos diamati setiap 1 minggu sekali. Pengamatan warna kompos ini dilakukan dengan cara mengamati perubahan warna pada kompos dari awal pembuatan sampai akhir penelitian. Kompos yang sudah matang
(42)
28
pada umumnya berwarna coklat sampai kehitaman. Pengamatan warna kompos ditentukan dengan menggunakan Muusel color chart, dengan cara mecocokan warna kompos terhadap Muusel color chart tersebut.
d. Bau kompos (bau +, sedang ++, tak berbau +++)
Bau kompos diamati setiap 1 minggu sekali sampai akhir penelitian, dengan cara mencium aroma pada kompos. Pada proses pengomposan akan terjadi perubahan dari bau yang busuk/bau seperti bahan awal sampai tak berbau/tidak busuk setelah kompos matang. Bau kompos ditentukan dengan skor, pada kompos yang masih berbau seperti bahan awal akan diberi skor (+) dan apabila bau kompos sudah turun diberi skor (++), sedangkan kompos yang sudah tak berbau diberi skor (+++).
e. Rasio C/N
Rasio C/N merupakan parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kematangan suatu kompos. Kompos yang sudah memenuhi syarat untuk diaplikasikan pada tanaman harus sudah mencapai tingkat kematangan, dengan rasio C/N kurang dari 20%.
2. Pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih a. Tinggi tanaman (cm)
Parameter tinggi tanaman diukur setiap 1 minggu sekali dengan cara mengukur tinggi tanaman dari pangkal sampai ujung daun.
(43)
29 b. Jumlah daun (Helai)
Pengamatan jumlah daun dilakukan setiap 1 minggu sekali dengan menghitung daun pada tanaman sawi putih.
c. Berat segar tanaman (gram)
Parameter berat segar tanaman diamati setelah akhir penelitian atau setelah dipanen. Pengamatan berat segar tanaman ini dilakukan dengan cara menimbang seluruh bagian tanaman dengan menggunakan timbangan analitik. d. Berat segar akar (gram)
Pengamatan berat segar akar dilakukan pada akhir penelitian bersamaan dengan pengamatan berat segar tanaman. Pengukuran berat segar akar ini dilakukan dengan cara menimbang akar tanaman sawi putih dengan menggunaka timbangan analitik.
e. Panjang akar (cm)
Panjang akar diamati pada akhir pengamatan dengan cara mengukur panjang akar tanaman sawi putih menggunakan penggaris.
f. Berat kering tanaman (gram)
Sebelum dilakukan pengamatan berat kering, terlebih dahulu tanaman sawi putih dikering anginkan dan dioven sampai konstan sekitar 12 jam. Pengamatan berat kering ini dilakukan dengan cara menimbang tanaman yang sudah dioven menggunakan timbangan analitik.
(44)
30 g. Berat kering akar (gram)
Berat kering akar diukur dengan menimbang akar tanaman sawi putih yang sudah kering oven selama 12 jam dengan menggunakan timbangan analitik.
F. Analisis Data
Hasil pengamatan disidik ragam pada taraf kepercayaan 5%. Rata-rata perlakuan yang berbeda nyata diuji jarak berganda Duncan’s 5%.
(45)
31
IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan terbagi menjadi dua tahap yaitu tahap pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi putih. Pada tahap pengomposan dilakukan pada bulan April – Mei dengan bertepatan musim penghujan dan kondisi suhu umum berkisar antara 29°C - 31°C. Pada tahap aplikasi hasil pengomposan terhadap tanaman sawi putih dilakukan pada bulan Juni – Juli yang bertepatan pada awal musim kemarau. Proses pengomposan daun jati dan aplikasi kompos daun jati terhadap tanaman sawi putih dilakukan di gunung kidul tepatnya di desa Candi, Tegalrejo, Gedangsari, Gunung kidul.
Pengomposan yang dilakukan dengan menggunakan bahan dasar yaitu daun jati kering dan menggunakan aktivator untuk mempercepat pengomposan yaitu dengan rumen kambing, sapi dan kerbau, EM4 serta tanpa aktivator sebagai control.
B. Hasil Dan Pembahasan
1. Tingkat kematangan kompos
Pada proses pengomposan yang berlangsung terjadi perubahan pada parameter yang diamati, roses pengomposan daun jati dengan berbagai macam aktivator berlangsung sekitar 2 bulan. Beberapa perubahan yang terjadi pada proses pengomposan diantaranya.
(46)
32 a. Suhu
Temperatur atau suhu merupakan parameter untuk mengetahui suatu kompos sudah dikatakan matang atau belum. Selain itu temperatur selama proses pengomposan dapat dijadikan tanda tinggi rendahnya aktivitas mikroorganisme pengomposan dalam menguraikan bahan-bahan organik. Pada dasarnya dengan adanya aktivitas mikroorganisme yang merombak atau mengurai bahan-bahan organik selama proses pengomposan akan ditandai dengan kenaikan suhu pada tumpukan kompos, suhu kompos yang tinggi menunjukan aktivitas mikroorganisme yang tinggi dan sebaliknya apabila suhu kompos rendah maka aktivitas mikroorganisme pada kompos rendah. Suhu optimum pada proses pengomposan yaitu berkisar antara 30-50°C dan pada awal pengomposan pada umumnya kompos akan mengalami kenaikan suhu yang tinggi yaitu sebesar 50-60°C, setelah pengomposan selesai atau kompos sudah mencapai tingkat kemataangan maka suhu tumpukan kompos akan sesuai atau sama dengan suhu ruangan atau lingkungan tempat dilakukan pengomposan. Apabila suhu pada proses pengomposan terlalu tinggi maka akan menyebabkan mikroorganisme mati sehingga perlu pembalikan pada proses pengomposan dan sebaliknya apabila suhu pengomposan terlalu rendah maka mikroorganisme dalam proses pengomposan belum aktif (Indriani, 2002).
(47)
33
Pada proses pengomposan suhu sangat berpengaruh pada kecepatan tingkat kematangan kompos. Adanya suhu yang tinggi memperlihatkan aktifitas mikroorganisme yang tinggi dalam menguraikan bahan-bahan organik, dengan terurainya bahan-bahan organik tersebut maka proses pengomposan akan berlangsung lebih cepat. Kenaikan suhu pada proses pengomposan selain dipengaruhi tinggkat aktifitas dan jumlah mikroorganisme juga dapat dipengaruhi oleh bahan pada utama yang dikomposkan. Pada dasarnya bahan organik yang kandungan selulosanya tinggi akan menghasilkan suhu yang tinggi dibandingkan dengan bahan yang kandungan ligninnya besar. Selulosa pada proses pengomposan akan diuraikan oleh mikroorganisme pengomposan yang akan menghasilkan karbon, nitrogen, serta senyawa-senyawa lain seperti air, energi dan humus, adanya hasil energi tersebut menyebabkan timbulnya panas pada tumpukan kompos (Andi, 1985).
Pada proses pengomposan yang telah berlangsung selama kurang lebih 2 bulan tidak terjadi perubahan suhu/temperatur secara drastis pada tumpukan kompos. Temperatur pada proses pengomposan berkisar antara 26°C - 31°C. Perubahan suhu yang tidak drastis atau suhu tidak mencapai suhu pengomposan optimal yaitu 40-50°C ini dikarenakan bahan yang digunakan dalam proses pengomposan yaitu berupa daun jati kering, dimana pada daun jati kering ini unsur lignin merupakan unsur yang banyak terkandung
(48)
34
didalamnya dan selulosa pada daun jati tergolong rendah sehingga panas yang dihasilkan pada proses pengomposan cenderung rendah. Suhu pengomposan dipengaruhi oleh kandungan unsur yang terdapat pada bahan, dimana bahan yang mengandung selulosa tinggi akan menghasilkan suhu yang optimal karena selulosa yang terdapat dalam bahan akan dirombak oleh mikroorganisme dalam kompos yang akan menghasilkan karbon, nitrogen, serta senyawa-senyawa lain seperti air, energi dan humus, dari hasil energi tersebut terciptalah panas pada tumpukan kompos.
Tabel 2 : Perubahan suhu kompos Pengamata
ke
Perlakuan
A B C D E
1 28 28 27 27 27
4 28 28 27 27 27
7 28 28 27 27 27
10 28.5 29 28 28.5 27.5
13 30 31 29 27 27
16 29 29 28.5 28 28.5 19 28 28.5 28.5 28 27.5 22 27.5 27.5 27 27 27 25 28.5 28.5 28 28 27.5 28 27.5 28.5 28.5 27.5 26.5 31 28 28 28 27.5 26.5 34 29.5 31 30 30 28.5 37 29 29 29.5 29 28.5
40 29 29.5 29 29 28
43 28.5 28.5 28 29 27.5
46 29 30 29 29.5 28
49 28 29 28 28 27.5
52 29 29 28.5 28.5 27.5
55 28.5 29 28 28 27
(49)
35
Berdasarkan hasil pengamatan suhu pada tumpukan kompos dalam tabel 2, terjadi perubahan suhu walaupun perubahan suhu yang terjadi pada tumpukan kompos tidak terlalu besar. Pada minggu pertama pengomposan tidak terjadi kenaikan atau perubahan suhu pada masing-masing perlakuan. Perubahan suhu pada tumpukan kompos terjadi pada awal minggu kedua. Pada proses pengomposan yang berlangsung perlakuan B merupakan perlakuan yang mengalami perubahan suhu yang tinggi dibanding perlakuan lainnya, hal ini dapat dilihat pada gambar 1 tentang perubahan suhu kompos. Gambar 1 : Grafik perubahan suhu kompos
Berdasarkan gambar 1 grafik perubahan suhu diatas terlihat bahwa perubahan suhu selama proses pengomposan pada umumnya mulai dari suhu rendah pada minggu pertama, kemudian mengalami kenaikan suhu pada minggu kedua yang selanjutnya perubahan suhu secara fluktuatif hingga pada
(50)
36
akhir pengomposan perubahan suhu cenderung konstan. Hal ini sebanding dengan dasar teori yang ada, perubahan suhu selama proses pengomposan yaitu dari rendah ke tinggi dan kemudian suhu kompos akan menurun konstan setelah kompos mencapai tingkat kematangan (Indriani, 2002).
Pada grafik perubahan suhu terlihat bahwa pada minggu kedua mengalami kenaikan suhu paling tinggi dibanding dengan minggu lainnya, hal ini dikarenakan pada minggu kedua ini terjadi perombakan bahan yang tinggi oleh mikroorganisme dalam rumen, sehingga pada minggu ini dapat dikatakan mikroorganisme rumen mengalami aktifitas secara maksimal pada proses pengomposan. Pada akhir pengomposan suhu menjadi konstan atau mendekati suhu awal dan tidak terjadi perubahan suhu yang drastis, hal ini dikarenakan mikroorganisme dalam kompos telah mengalami penurunan aktifitas perombakan sebanding dengan kematangan kompos. Dilihat pada grafik perubahan suhu kompos terlihat adanya perubahan suhu dari awal sampai akhir proses pengomposan, pada pengamatan hari ke- 13 sampai hari ke 22 terjadi penurunan suhu yang sangat drastis dan suhu kembali naik kembali pada pengamatan hari ke-34. Adanya penurunan suhu yang drastis pada pengamatan hari ke-13 sampai hari ke-22 dapat disebabkan aktifitas mikroorganisme menurun karena bahan utama (daaun jati) sudah terdekomposisi. Akan tetapi pada minggu ke-34 suhu kembali naik, hal ini dapat disebabkan adanya proses pembalikan dan ukuran bahan utama yang
(51)
37
tidak sama, sehingga dekomposisi bahan kembali dilakukan oleh mikroorganisme.
Pada proses pengomposan perlakuan B yaitu perlakuan aktivator rumen kerbau mengalami perubahan suhu yang paling besar dibanding dengan perlakuan lainnya. Perlakuan B dapat mengalami perubahan suhu yang paling tinggi dikarenakan aktifitas mikroorganisme pada rumen kerbau lebih aktif atau lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini dapat dihubungkan dengan jumlah mikroorganisme yang terkandung dalam rumen. Pada jumlah mikroorganisme yang terkandung dalam rumen, hewan ternak kerbau merupakan hewan yang memiliki jumlah mikroorganisme yang paling tinggi dibanding dengan perlakuan rumen lainnya. Rumen kerbau memiliki kandungan bakteri selulotik 2-3 kali lebih besar dibanding dengan rumen sapi (Pradhan, 1994). Selain itu dalam kemampuan mencerna makanan hewan kerbau dapat mencerna makanan selulosa jerami gandum 30,7% dan dibandingkan dengan hewan sapi sebesar 24,3% (Commision on International Relations, 1981). Berdasarkan teori tersebut dengan jumlah mikroorganisme yang tinggi serta berbanding lurus dengan kemampuan mencerna yang tinggi maka suhu yang dihasilkan lebih tinggi dibanding dengan perlakuan lainnya.
Perlakuan E yaitu perlakuan tanpa menggunakan aktivator merupakan perlakuan yang tidak mengalami perubahan suhu yang drastis dibandingkan dengan perlakuan lainnya, hal ini dapat disebabkan pada perlakuan E ini tidak
(52)
38
ada atau kandungan mikroorganisme pada perlakuan E sedikit sehingga energi panas yang dihasilkan selama proses pengomposan rendah. Suhu atau temperatur pengomposan dipengaruhi oleh jumlah bakteri atau mikroorganisme yang membantu dalam proses pengomposan (Indriani, 2002). b. Tingkat keasaman (pH)
Tingkat keasaman kompos menjadi parameter yang menandai aktifitas mikroorganisme pengomposan dan tingkat kematangan kompos yang dihasilkan. Pada dasarnya pH atau tingkat keasaman pada proses pengomposan akan terjadi kenaikan dan penurunan. Pada awal pengomposan pada umumnya akan terjadi penurunan pH, dan dengan semakin matangnya kompos pH kompos akan semakin naik hinggi netral sampai sedikit basa. Adanya penurunan pH pada awal proses pengomposan ini dikarenakan pada awal proses pengomposan terjadi perombakan oleh bakteri anaerob yang menghasilkan asam dan pemecahan bahan berkarbon komplek menjadi asam organik (Obeng dan Wright, 1987). Setelah beberapa minggu pH akan mengalami kenaikan hingga netral atau sedikit basa setelah kompos matang, adanya kenaikan pH ini dikarenakan pemecahan senyawa karbon menjadi asam-asam organik telah berhenti dan terjadi proses pemecahan asam-asam organik menjadi gas CO2 dan senyawa-senyawa volatile lain serta menghasilkan kation-kation basa sebagai hasil dari proses mineralisasi bahan organik.
(53)
39
Kompos yang sudah matang memiliki kisaran pH antara 6,5-7,5, adanya kisaran pH tersebut merupakan syarat kompos sudah dapat diaplikasikan pada tanah atau sebagai pupuk untuk tanaman. Apabila kompos yang memiliki pH rendah atau masam diaplikasikan ke tanah atau tanaman akan mengakibatkan pertumbuhan tanaman tidak optimal atau terganggu karena salah satu media tanam yang baik pada budidaya tanaman adalah memiliki pH netral.
Proses pengomposan daun jati yang dilakukan telah terjadi perubahan pH dari asam ke netral dan sedikit basa. Perubahan pH pengomposan pada masing-masing perlakuan dapat dilihat dalam tabel 3.
Tabel 3 : Perubahan pH pengomposan Pengamata
ke
Perlakuan
A B C D E
1 5.8 5.73 5.5 5.65 6.14
2 5.52 5.67 6.3 6.13 6.3
3 5.87 5.73 6.4 6.44 6.53
4 5.85 5.64 5.63 6.77 6.7
5 5.8 5.53 5.88 6.9 6.92
6 5.64 6.46 6.27 7.04 7.01
7 5.46 6.78 7.04 7.07 7.03
8 6.37 6.9 7.18 6.93 7.16
Berdasarkan hasil data pada tabel 3 diatas dapat dilihat adanya perubahan tingkat keasaman kompos dari berbagai perlakuan yang digunakan seiring dengan lamanya pengomposan yang berlangsung. Fluktuasi pH selama proses pengomposan disajikan pada gambar 2.
(54)
40
Gambar 2 : Grafik perubahan pH pada proses pengomposan
Berdasarkan gambar 2 diatas dapat dilihat bahwa selama proses pengomposan terjadi fluktuasi tingkat keasaman atau pH pada tumpukan kompos. Berdasarkan gambar 2 menunjukan bahwa penggunaan bioaktivator berpengaruh terhadap pH kompos selama proses pengomposan berlangsung, dimana pada selama proses pengomposan pada perlakuan menggunakan bioaktivator terjadi penurunan pH pada minggu awal dan terjadi kenaikan pH pada akhir pengomposan.
Pada perlakuan A, B dan C atau perlakuan menggunakan rumen sapi, kerbau dan kambing, terlihat pH tumpukan kompos berubah dari pH awal bahan ke asam yang kemudian naik lagi ke netral sampai sedikit basa. Adanya fluktuasi pH pada proses pengomposan yang dilakukan ini disebabkan oleh adanya aktifitas mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan
(55)
41
yang berlangsung. Pada minggu 1 sampai dengan minggu ke 5 pH pada perlakuan A, B dan C masih tergolong asam yaitu berkisar antara 5,5 – 5,88. Adanya pH asam ini disebabkan peran bakteri anaerob yang memecah senyawa karbon menjadi asam-asam organik (Obeng dan Wright, 1987). Pada minggu ke 6, perlakuan B dan C mulai mengalami kenaikan pH yaitu 6,46 dan 6,27, adanya kenaikan pH ini dikarenakan pemecahan senyawa karbon menjadi asam-asam organik telah berhenti dan terjadi proses pemecahan asam-asam organik menjadi gas CO2 dan senyawa-senyawa volatile lain serta menghasilkan kation-kation basa sebagai hasil dari proses mineralisasi bahan organik.
Pada perlakuan A, kenaikan pH terjadi pada minggu ke 8 dari 5,46 ke 6,35. Proses kenaikan pH yang berlangsung lebih lama dibandingkan dengan perlakuan B dan C ini dapat dikarenakan aktifitas mikroorganisme anaerob yang memecah senyawa karbon menjadi asam-asam organik berlangsung lebih lama dibandingkan dengan perlakuan B dan C. Selain itu kenaikan pH yang lama ini dapat disebabkan kondisi rumen yang digunakan pada perlakuan A yaitu rumen sapi masih dalam kondisi baru atau masih segar dibanding perlakuan rumen lainnya. Dengan kondisi rumen yang masih segar ini diduga mikroba rumen yang bersifat anaerob yang terkandung sangat tinggi karena mikroba tersebut saat didalam perut ternak sedang melakukan pemecahan senyawa organik (pakan) secara anaerob.
(56)
42
Hasil pengamatan pH kompos yang telah didapatkan menunjukan bahwa perlakuan B dan C merupakan perlakuan yang paling baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini dapat dikarenakan pada perlakuan B dan C telah mencapai kriteria pH selama proses pengomposan yaitu terjadi penurunan pH pada awal pengomposan dan terjadi kenaikan pH pada akhir pengomposan. Selain itu perlakuan B dan C ini dikatakan paling baik karena pada perlakuan B dan C telah mencapai perubahan pH ke standar pH kompos lebih dulu yaitu berkisar antara 6,5-7,5.
Pada perlakuan D dan E yaitu perlakuan aktivator EM4 dan tanpa aktivator tidak terjadi penurunan pH dari awal pengomposan sampai akhir pengomposan. pH pada perlakuan D dan E cenderung naik dari awal pengomposan yaitu dari 5,65 dan 6,14 hingga 6,93 dan 7,16. Tidak adanya penurunan pH tersebut dapat dikarenakan mikroba pada proses pengomposan tidak aktif atau tidak ada sehingga tidak terjadi pemecahan senyawa karbon. Pada perlakuan D yaitu aktivator EM4 terjadi penurunan pH pada minggu 7 ke minggu 8 yaitu dar 7,07-6,93. Adanya penurunan pH pada perlakuan D ini dapat dikarenakan pemecahan senyawa karbon menjadi asam-asam organik baru dimulai.
c. Warna
Warna kompos merupakan salah satu parameter yang dapat menunjukan tingkat kematangan suatu kompos. Kompos yang sudah matang
(57)
43
pada dasarnya akan mengalami perubahan warna dari warna bahan awal menjadi coklat kehitaman sampai hitam. Warna kompos selama proses pengomposan akan berubah setiap waktu seiring dengan tingkat kematangan suatu kompos. Kompos yang cenderung lebih cepat matang akan memiliki perubahan warna yang lebih cepat menjadi coklat kehitaman sampai hitam, dan sebaliknya apabila kompos matangnya lama maka perubahan warna kompos ke coklat kehitaman sampai hitam akan lambat. Kompos yang matang memiliki warna coklat hiam sampai hitam, dengan adanya parameter warna kompos yang mencapai coklat hitam sampai hitam ini dapat menjadi tanda bahwa proses pengomposan sudah selesai dan kompos sudah dapat dikatakan matang.
Pada proses pengomposan yang sudah dilakukan terjadi perubahan warna kompos dari awal sampai proses pengomposan selesai (tabel 4).
Tabel 4 : Perubahan warna kompos Pengamata
ke
Perlakuan
A B C D E
1 3/2 10 YR 3/2 10 YR 3/3 10 YR 3/3 10 YR 3/3 10 YR 2 3/1 10 YR 3/2 10 YR 3/2 10 YR 3/2 10 YR 3/3 10 YR 3 3/1 10 YR 3/1 10 YR 3/1 10 YR 3/2 10 YR 3/2 10 YR 4 3/1 10 YR 2/2 10 YR 3/1 10 YR 3/1 10 YR 3/2 10 YR 5 2/1 10 YR 2/1 10 YR 2/2 10 YR 3/1 10 YR 3/2 10 YR 6 2/1 10 YR 2/1 10 YR 2/2 10 YR 3/1 10 YR 3/1 10 YR 7 2/1 10 YR 2/1 10 YR 2/1 10 YR 3/1 10 YR 3/1 10 YR 8 2/1 10 YR 2/1 10 YR 2/1 10 YR 2/2 10 YR 3/1 10 YR Keterangan : 3/3 10 YR : , 3/2 10 YR : , 3/1 10 YR: , 2/2 10 YR : ,
(58)
44
Perubahan warna kompos selama proses pengomposan diukur dengan menggunakan mussel color chart, semakin kecil angka pertama pada mussel color chart menunjukan bahwa warna semakin hitam. Pada tabel 4 terlihat bahwa perlakuan B merupakan perlakuan yang paling cepat mengalami perubahan warna dibandingkan dengan perlakuan lainnya, hal ini terlihat pada minggu ke- 4 perlakuan B sudah mencapai titik 2/2 10 YR dan pada minggu ke-5 pada perlakuan B sudah mencapai titik 2/1 10 YR. Perubahan warna menjadi hitam ini dipengaruhi oleh tingkat kematangan kompos. Kompos yang sudah matang memiliki ciri yaitu warna kompos berubah menjadi coklat kehitaman sampai hitam (Murbandono, 2006). Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan penggunaan aktivator yang berbeda dapat mempengaruhi tingkat perubahan warna pada proses pengomposan. Hasil dari perubahan warna selama proses pengomposan, perlakuan A dan B atau perlakuan dengan menggunakan aktivator rumen sapi dan rumen kerbau merupakan perlakuan yang menunjukan pengaruh perubahan warna yang lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Selain itu berdasarkan tabel 3 menunjukan bahwa perlakuan yang menggunakan bioaktivator rumen lebih cepat mengalami perubahan warna dibandingkan dengan perlakuan yang menggunakan bioaktivator EM4 dan tanpa bioaktivator, hal ini terlihat pada tabel 3 menunjukan pada minggu ke-5 perlakuan A, B dan C sudah menunjukan warna yang mengidentifikasikan kompos sudah matang.
(59)
45
Pada hasil akhir pengomposan menunjukan bahwa perlakuan A, B dan C memiliki tingkat warna yang sama, hal ini menunjukan penggunaan aktivator rumen lebih dapat mempercepat proses kematangan kompos dengan melihat tingkat warna yang telah dihasilkan pada akhir proses pengomposan. Pada perlakuan D dan E yaitu perlakuan menggunakan aktivator EM4 ddan tanpa aktivator menunjukan perubahan warna yang lambat pada tumpukan kompos, hal ini dapat disebabkan dari aktifitas dan jumlah mikroorganisme yang terkandung dalam tumpukan kompos, dimana aktifitas dan jumlah mikroorganisme ini berpengaruh pada dekomposisi bahan organik. Semakin tinggi aktifitas mikroorganisme dan semakin tinggi jumlah mikroorganisme yang membantu dalam proses pengomposan maka semakin cepat dekomposisi bahan organik berlangsung.
d. Bau kompos
Bau kompos merupakan salah satu parameter fisik yang dapat menentukan tingkat kematangan suatu kompos. Kompos yang sudah matang pada umumnya tidak berbau atau berbau menyerupai tanah.
Pada propes pengomposan yang dilakukan telah terjadi perubahan bau dari awal pengomposan sampai akhir pengomposan. Perubahan tingkat bau pada kompos dapat dilihat dalam tabel 5.
(60)
46 Tabel 5 :Perubahan bau kompos
Pengamata ke
Perlakuan
A B C D E
1 + + + + +
2 + + + + +
3 ++ ++ + + +
4 ++ ++ ++ + +
5 +++ +++ ++ ++ ++
6 +++ +++ +++ ++ ++
7 +++ +++ +++ ++ ++
8 +++ +++ +++ ++ ++
+ = berbau, ++ = berbau sedang, +++ = tak berbau
Pada hasil pengamatan tentang bau kompos, pada semua perlakuan telah mengalami penurunan bau dari awal proses pengomposan sampai akhir proses pengomposan. Berdasarkan tabel 5, pada perlakuan A dan B atau perlakuan dengan menggunakan aktivator rumen sapi dan kerbau merupakan perlakuan yang paling cepat mengalami penurunan bau dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini terlihat pada pengamatan minggu ke 3 perlakuan A dan B sudah mengalami perubahan bau dari berbau menjadi berbau sedang. Adanya perubahan bau ini disebabkan adanya aktifitas mikroorganisme pada perlakuan A dan B yang lebih tinggi sehingga mempercepat kematangan kompos.
Berdasarkan hasil pengamatan bau kompos menunjukan penggunaan rumen sebagai aktivator untuk mempercepat proses pengomposan berpengaruh nyata pada perubahan bau yang dihasilkan pada tumpukan kompos, dimana pada penggunaan rumen sebagai aktivator pengomposan ini
(61)
47
lebih cepat menurunkan bau dibandingkan dengan perlakuan D dan E yaitu aktivator EM4 dan tanpa menggunakan aktivator. Hal ini dapat terlihat pada tabel 4 yang menunjukan pada minggu ke-5 perlakuan yang menggunakan bioaktivator rumen sudah memiliki kriteria hilangnya bau sehingga dapat dikatakan kompos sudah mulai mencapai tingkat kematangan.
e. Rasio C/N
Analisis C/N rasio digunakan untuk menentukan kematangan suatu kompos. Kompos yang sudah mencapai tingkat kematangan akan memiliki rasio C/N < 20, apabila kompos memiliki C/N rasio > 20 maka kompos belum dapat digunakan dan masih perlu pematangan.
Hasil nilai C/N rasio pada penelitian pengomposan daun jati dengan berbagai macam bioaktivator dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6 : Hasil analisis rasio C/N Perlakuan Kadar
lengas(%)
Kadar C(%)
Bahan organik(%)
N total(%) C/N ratio
A 12,6 20,74 35,76 1,8 11,53
B 11,5 21,73 37,47 1,59 13,66
C 11,79 18,51 31,91 1,86 9,95
D 13,32 17,48 30,13 1,71 10,23
E 12,12 20,96 36,14 1,48 14,21
Berdasarkan hasil analisis kimia kompos pada tabel 6 didapatkan bahwa pada semua perlakuan memiliki nilai C/N ratio < 20, sehingga dapat dikatakan bahwa kompos yang dihasilkan pada semua perlakuan telah mencapai tingkat kematangan dan dapat digunakan pada tanaman.
(62)
48
Berdasarkan hasil analisis kompos yang telah dilakukan yaitu pada parameter suhu, pH, warna, bau dan rasio C/N, terlihat bahwa perlakuan kompos yang menggunakan bioaktivator rumen lebih cepat mengalami perubahan ke tingkat kematangan dibandingkan dengan perlakuan EM4 dan tanpa penggunaan aktivator. Selain itu perlakuan B yaitu perlakuan dengan menggunakan bioaktivator rumen kerbau merupakan bioaktivator yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya dikarenakan pada perlakuan B menunjukan hasil yang lebih baik dalam membantu mempercepat proses pengomposan dan menghasilkan kualitas kompos yang mendekati standar kualitas kompos sebagaimana tabel 1.
2. Pertumbuhan dan hasil tanaman sawi putih
Hasil sidik ragam pada parameter tanaman sawi putih menunjukan bahwa semua parameter tidak berbeda nyata antara perlakuan menggunakan bioaktivator dengan kontrol yaitu perlakuan tanpa menggunakan bioaktivator atau semua perlakuan memberikan pengaruh yang sama (lampiran 3).
a. Tinggi tanaman
Hasil sidik ragam tinggi tanaman menunjukan tidak ada beda nyata antar perlakuan berbagai macam pupuk kompos daun jati dengan macam bioaktivator yang diberikan pada tanaman sawi putih (lampiran 3). Hasil rerata tinggi tanaman dapat dilihat pada tabel 7.
(63)
49
Tabel 7 : Rata-rata pengukuran tinggi tanaman, jumlah daun, berat segar tanaman, berat kering tanaman, berat segar akar, berat kering akar dan panjang akar.
Perlakuan Parameter Tinggi tanaman Jumlah daun Berat segar tanaman Berat kering tanaman Berat segar akar Berat kering akar Panjang akar Kompos jati rumen sapi 5
ton/hektar (P1)
25.41 25.0475 762.5 53.85 7.31 3.225 21.925 Kompos jati rumen sapi 10
ton/hektar (P2)
25.375 25.315 755 54.88 8.588 3.5525 24.738 Kompos jati rumen kerbau 5
ton/hektar (P3)
26.36 25.1275 753.75 53.623 7.27 3.32 20.538 Kompos jati rumen kerbau 10
ton/hektar (P4)
27.1925 25.6275 847.5 53.725 8.325 3.435 23.7 Kompos jati rumen kambing 5
ton/hektar (P5)
25.6425 25.455 763.75 56.258 8.52 3.715 20.3 Kompos jati rumen kambing 10
ton/hektar (P6)
26.18 26.285 795 54.2 8.288 3.13 21.588 Kompos jati aktivator EM4 5
ton/hektar (P7)
26.0975 25.095 783.75 54.993 7.418 2.8175 19.263 Kompos jati aktivator EM4 10
ton/hektar (P8)
26.4025 26.3125 882.5 60.96 8.903 3.3475 22.4 Kompos jati tanpa aktivator 5
ton/hektar (P9)
25.6025 26.565 736.25 48.03 6.668 2.915 20.413 Kompos jati tanpa aktivator 10
ton/hektar (P10)
(64)
50
Hasil analisis sidik ragam tinggi tanaman terlihat tidak ada beda nyata antar perlakuan pemupukan yang diberikan pada tanaman sawi putih. Hal ini menunjukan bahwa semua perlakuan yang diujikan memiliki pengaruh yang sama terhadap tinggi tanaman sawi putih. Adanya pengaruh yang sama pada semua perlakuan yang diberikan ini berhubungan dengan kebutuhan unsur hara tanaman sawi putih dan ketersediaan unsur hara pada media tanam yang digunakan. Pada dasarnya semua perlakuan kompos telah mencapai tingkat kematangan saat kompos diaplikasikan pada tanaman sawi putih. Tingkat kematangan kompos yang dihasilkan dapat ditandai dengan turunnya suhu kompos ke suhu ruang, pH yang sedikit masam sampai basa, warna menjadi coklat sampai hitam, tidak berbau dan C/N rasio kurang dari 20.
Adanya tingkat kematangan yang sama pada semua perlakuan kompos yang diujikan ini menyebabkan kompos dapat terurai pada media tanam dan dapat mencukupi kebutuhan unsur hara yang diperlukan tanaman sawi putih. Menurut hasil penelitian kompos B yaitu kompos dengan bioaktivator rumen kerbau merupakan kompos yang paling cepat mencapai tingkat kematangan namun tidak berpengaruh nyata dengan kompos E yaitu tanpa bioaktivator pada hasil sidik ragam tinggi tanaman sawi putih, adanya hasil tersebut maka penggunaan bioaktivator tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman sawi putih, namun penggunaan bioaktivator rumen kerbau lebih dapat mempercepat kematangan kompos daun jati.
(65)
51
Pada dosis pemberian pupuk kompos yang berbeda yaitu 5 ton/hektar dan 10 ton/hektar serta berbagai macam bioaktivator memberikan hasil pertumbuhan yang sama terhadap tinggi tanaman sawi putih, hal ini menunjukan bahwa media tanam yang digunakan sudah mencukupi kebutuhan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan sawi putih, sehingga dapat dikatakan tanaman sawi putih sudah dapat tumbuh secara maksimal dengan hanya pemberian pupuk kompos 5 ton/hektar, sehingga pada pemberian dosis kompos 10 ton/hektar akan menunjukan hasil pertumbuhan yang sama dengan dosis 5 ton/hektar. Suatu tanaman akan menyerap unsur hara untuk pertumbuhan sesuai dengan kebutuhan tanaman tesebut sehingga apabila unsur hara yang tersedia lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan tanaman, maka unsur hara tersebut akan tetap berada pada media tanam. Selain itu pada aplikasi kompos yang dilakukan, semua perlakuan kompos yang diberikan pada tanaman sawi putih telah mencapai tingkat kematangan sehingga kompos tidak memiliki efek negatif terhadap media tanam dan dapat terurai menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman.
Grafik rerata perubahan tinggi tanaman pada berbagai macam perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada gambar 3.
(66)
52
Gambar 3 : Grafik rerata perubahan tinggi tanaman
Berdasarkan hasil gambar 3 grafik rerata tinggi tanaman tersebut menunjukan bahwa semua perlakuan menunjukan perubahan tinggi tanaman yang hampir sama. Pada grafik tersebut terlihat minggu pertama sampai minggu ke-4 terjadi perubahan tinggi tanaman yang sangat besar, hal ini dikarenakan pada minggu pertama sampai minggu ke 5 merupakan fase dimana tanaman sawi putih memiliki tingkat pertumbuhan yang pesat dalam membentuk organ-organ tanaman. Selain itu pada minggu ke-2 dan minggu ke-4 dilakukan pemupukan susulan sehingga pada minggu pertama sampai minggu ke-4 ini unsur hara yang dibutuhkan tanaman dapat tersedia pada media tanam. Pada minggu ke-5 sampai minggu ke-8 menunjukan adanya perubahan tinggi tanaman yang cenderung rendah, hal ini dikarenakan pada minggu-minggu tersebut tanaman sawi putih mulai membentuk krop daun
(67)
53
sehingga cadangan makanan lebih digunakan untuk pembentukan krop daun pada tanaman sawi putih.
b. Jumlah daun
Berdasarkan hasil sidik ragam jumlah daun menunjukan bahwa tidak ada beda nyata antar perlakuan macam pupuk kompos daun jati yang diberikan atau dapat dikatakan semua perlakuan yang diujikan memiliki pengaruh yang sama terhadap jumlah daun tanaman sawi putih (lampiran 3). Hasil rerata jumlah daun pada tanaman sawi putih dapat dilihat pada tabel 6. Adanya pertumbuhan jumlah daun yang tidak beda nyata antar perlakuan kompos yang diberikan ini dapat disebabkan semua perlakuan pemupukan yang diberikan dapat mencukupi kebutuhan unsur hara yang diperlukan tanaman sawi putih dan sumua kompos yang diberikan pada tanaman sudah mencapai tingkat kematangan.
Tanaman dalam pertumbuhannya memerlukan unsur hara untuk pembentukan organ-organ tanaman salah satunya pembentukan daun. Dalam pertumbuhannya tanaman akan menyerap unsur hara yang tersedia dalam tanah atau media tanam yang akan dibawa ke daun untuk dilakukan fotosistesis yang kemudian hasil dari fotosintesis tersebut akan digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Tanaman akan menyerap unsur hara sesuai dengan kebutuhan tanaman sehingga pertumbuhan tanaman akan bergantug dengan ketersediaan unsur hara dalam tanah atau media tanamnya. Apabila unsur hara yang terkandung pada media tanam sedikit maka tanaman akan
(68)
54
kekurangan unsur hara dan pertumbuhan akan terhambat, namun apabila unsur hara yang tersedia dalam media tanam tinggi melebihi kebutuhan tanaman maka tanaman hanya menyerap unsur hara yang dibutuhkan saja.
Pada hasil analisis sidik ragam jumlah daun menunjukan semua perlakuan memberikan pengaruh yang sama pada jumlah daun tanaman sawi putih, hal ini menunjukan bahwa pada semua perlakuan dapat memberikan ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman sehingga penggunaan berbagai bioaktivator pada proses pengomposan tidak mempengaruhi pertumbuhan jumlah daun, selain itu perbedaan dosis pemupukan yaitu 5 ton/hektar dan 10 ton/hektar juga tidak memberikan pengaruh yang nyata dikarenakan pada dosis 5 ton/hektar kompos daun jati sudah dapat mencukupi kebutuhan unsur hara tanaman sawi putih, apabila diberikan pemupukan dengan dosis yang lebih besar maka tetap akan memberikan pengaruh yang sama.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, jumlah daun tanaman sawi putih memiliki perubahan dari pengamatan minggu pertama sampai pengamatan minggu terakhir. Tingkat perubahan jumlah daun dapat dilihat pada grafik rerata jumlah daun yang disajikan pada gambar 4.
(69)
55
Gambar 4 : Grafik rerata perubahan jumlah daun
Berdasarkan gambar 4 grafik rerata jumlah daun diatas menunjukan tingkat jumlah daun yang sama dari minggu pertama sampai minggu terakhir. Adanya tingkat perubahan jumlah daun yang tidak berbeda jauh ini dapat disebabkan semua perlakuan pupuk kompos daun jati yang diberikan dapat mencukupi unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sawi putih.
Pada gambar 4 menunjukan pada minggu ke-3 sampai minggu ke-7 mengalami penambahan jumlah daun yang lebih pesat dibanding minggu-minggu lainnya. Adanya penambahan jumlah daun yang lebih pesat pada minggu ke-3 sampai minggu ke-7 ini diduga pada minggu-minggu tersebut tanaman sawi putih mulai membentuk daun sehingga cadangan makanan pada tanaman sawi lebih digunakan dalam pembentukan daun. Hal ini diperkuat dengan hasil pertumbuhan tinggi tanaman sawi putih, pada grafik rerata tinggi
(70)
56
tanaman sawi putih menunjukan pada minggu ke-2 sampai minggu ke-4 terjadi pertumbuhan tinggi tanaman yang lebih pesat sedangkan pada minggu ke-5 sampai minggu ke-8 pertumbuhan tinggi tanaman berkurang. Pada minggu ke-8 dapat dilihat penambahan jumlah daun mulai rendah hal ini dikarenakan tanaman sawi putih sudah masuk pada masa panen sehingga tanaman sawi putih mulai menghentikan pertumbuhannya.
c. Berat segar tanaman
Pada hasil sidik ragam berat segar tanaman menunjukan tidak ada beda nyata antar perlakuan macam pupuk kompos daun jati yang diberikan atau semua perlakuan yang diberikan pada tanaman sawi putih berpengaruh sama terhadap berat segar tanaman sawi putih. Rerata berat segar tanaman dapat dilihat pada tabel 7, dan sidik ragamnya disajikan pada lampiran 3.
Berdasarkan hasil sidik ragam yang menunjukan tidak ada beda nyata antar perlakuan tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan rumen sebagai bioaktivator pengomposan dan dosis pemupukan kompos tidak berpengaruh pada pertumbuhan tanaman sawi putih. Kompos yang diberikan pada masing-masing perlakuan pada dasarnya dapat membantu meningkatkan daya ikat air pada media tanam sehingga tanaman akan tercukupi ketersediaan air. Adanya ketersediaan air ini berhubungan dengan berat segar tanaman. Berat segar tanaman merupakan total dari kandungan air didalam tanaman dengan total hasil fotosintesis. Dilain sisi adanya hasil sidik ragam yang tidak berbeda
(1)
68
3. ZA
Dosis/tanaman = dosis 1 hektar/populasi = 117 kg/62.500
= 0,00187 kg/tanaman = 1,87 gram/tanaman
4. KCl
Dosis/tanaman = dosis 1 hektar/populasi = 56 kg/62.500
(2)
69 Lampiran 3. Tabel sidik ragam
a. Tabel sidik ragam tinggi tanaman
Sumber db JK KT F
Hitung Pr > F Model 9 11.6827225 1.29808028 0.93 0.5169ns
Galat 30 42.050575 1.40168583
Total 39 53.7332975
Keterangan : ns : Non significant (Tidak ada beda nyata) b. Tabel sidik ragam jumlah daun
Sumber db JK KT F
Hitung Pr > F
Model 9 11.85084 1.31676 2.03 0.0706ns
Galat 30 19.4534 0.64844667
Total 39 31.30424
Keterangan : ns : Non significant (Tidak ada beda nyata) c. Tabel sidik ragam berat segar tanaman
Sumber db JK KT F
Hitung Pr > F Model 9 82780.625 9197.8472 1.05 0.4286ns
Galat 30 263818.75 8793.9583
Total 39 346599.375
Keterangan : ns : Non significant (Tidak ada beda nyata) d. Tabel sidik ragam berat segar akar
Sumber db JK KT F
Hitung Pr > F Model 9 18.9788225 2.10875806 0.8 0.6207ns
Galat 30 79.253175 2.6417725
Total 39 98.2319975
(3)
70 e. Tabel sidik ragam panjang akar
Sumber db JK KT F
Hitung Pr > F Model 9 116.475563 12.9417292 1.84 0.1023ns
Galat 30 211.319375 7.0439792
Total 39 327.794938
Keterangan : ns : Non significant (Tidak ada beda nyata) f. Tabel sidik ragam berat kering tanaman
Sumber db JK KT F
Hitung Pr > F Model 9 484.889952 53.876661 1.65 0.1459ns
Galat 30 979.535125 32.651171
Total 39 1464.42508
Keterangan : ns : Non significant (Tidak ada beda nyata) g. Tabel sidik ragam berat kering akar
Sumber db JK KT F
Hitung Pr > F Model 9 2.7424525 0.30471694 0.35 0.9487 ns
Galat 30 25.954525 0.86515083
Total 39 28.6969775
(4)
71
Lampiran 4. Hasil pemotretan proses pembuatan bioaktivator
Gambar 1. Proses pengadukan pada pembuatan bioaktivator
(5)
72
Lampiran 5. Hasil pemotretan tanaman sawi putih
Gambar 3. Tanaman sawi putih umur 2 minggu
(6)
73
Gambar 5. Tanaman sawi putih umur 6 minggu