Rent-seeking dan Korupsi dalam Pembangunan Jalan di Indonesia (Studi Kasus: Dua Masa Pemerintahan SBY, 2004-2013)

RENT-SEEKING DAN KORUPSI DALAM PEMBANGUNAN
JALAN DI INDONESIA (STUDI KASUS: DUA MASA
PEMERINTAHAN SBY, 2004-2013)

IKHSANNUDIN AL HAKIM

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Rent-Seeking dan
Korupsi dalam Pembangunan Jalan di Indonesia (Studi Kasus: Dua Masa
Pemerintahan SBY, 2004-2013) adalah benar karya saya dengan arahan dari
dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015

Ikhsannudin Al Hakim
NIM H14100097

ABSTRAK
IKHSANNUDIN AL HAKIM. Rent-Seeking dan Korupsi dalam Pembangunan
Jalan di Indonesia (Studi Kasus: Dua Masa Pemerintahan SBY, 2004-2013).
Dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI.
Jalan adalah sektor strategis yang mampu meningkatkan pembangunan
ekonomi di Indonesia, namun hasil pengadaannya tidak sebanding dengan
anggaran. Penelitian ini bertujuan menganalisis biaya-biaya transaksi dan polapola korupsi dalam mekanisme rent-seeking pada pembangunan jalan serta
potensi pembangunan jalan yang hilang. Penelitian ini menggunakan data primer
melalui wawancara mendalam dengan ahli di KPK, Mabes Polri, dan praktisi
pengadaan barang/ jasa pemerintah serta data sekunder yang diperoleh dari BPS,
Kementerian PU, MA, dan sebagainya. Metode analisisnya menggunakan analisis
ekonomi politik, analisis biaya transaksi, analisis korupsi dan rent-seeking, dan
analisis kebocoran anggaran (ICOR), lalu disajikan secara deskriptif kualitatif.

Hasilnya adalah biaya transaksi yang muncul adalah biaya negosiasi, biaya
pencarian dan informasi, pembebasan tanah, dan sebagainya meski sudah
menggunakan e-Procurement. Maka timbul rent-seeking yang dilakukan antara
penyelenggara dengan penyedia dan berujung korupsi (penyuapan,
penggelembungan dana, penggelapan anggaran, penyalahgunaan wewenang,
kolusi birokrat-perusahaan, monopoli-oligopoli, dan sebagainya) sebesar 18.13%
dari nilai kontrak, keuntungan supernormal-nya 26.48%, dan nilai proyek
terburuknya 53.85%. Selama dua masa pemerintahan SBY, potensi pembangunan
jalan yang hilang sebesar 15.58% dengan kebocoran anggarannya 57.88% atau
Rp16.77 triliun per tahun yang sebagian besarnya dinikmati oleh pelaku rentseeking dan korupsi pada pembangunan jalan, yaitu para penyedia dan para
penyelenggara (Bina Marga pusat maupun daerah) yang ‘memanfaatkan’ kondisi
tersebut.
Kata kunci: biaya transaksi, ekonomi politik, korupsi, pembangunan jalan, rentseeking

ABSTRACT
IKHSANNUDIN AL HAKIM. Rent-Seeking and Corruption at Road
Constructions in Indonesia (Case Study: Two Periods of SBY’s Reign, 20042013). Supervised by DIDIN S. DAMANHURI.
Road is strategic sector that can improve economic development, but the
output of its procurements are mismatch with the budget. The objectives of this
research are to analyze transaction costs and the patterns of corruption that found

in rent-seeking mechanism at road constructions and the missing road
construction potencies. The data used is primary data which from indepth
interview with the experts from KPK, Mabes Polri, and practitioner of goverment
goods/ services procurement and secondary data from BPS, Ministry of Public
Works, MA, etc. The analysis methods are using political economics analysis,
transaction cost analysis, corruption and rent-seeking analysis, and budget leakage

analysis (ICOR), presented in qualitative descriptive. The results are transaction
costs where found on road procurements are negosiation cost, searching and
information cost, land relinquishment, etc though e-Procurement has been used.
So there were rent-seeking activities by promoters with providers then corruptions
(bribery, mark up, misapropriation, power abuse, bureaucrat-company collusion,
and monopoly-oligopoly) were coming out are 18.13% from contract size, its
supernormal profit is 26.48%, and the worst of its project value is 53.85%. During
two periods of SBY’s Reign, the missing road construction potency is 15.58%
with the budget leakage is 57.88% or IDR16.77 trillion per annum which mostly
enjoyed by rent-seekers and corruptors, which are providers and promoters (both
central and regional Bina Marga) who ‘were utilizing’ this condition.
Key words: corruption, political economics, road contruction, rent-seeking,
transaction cost


RENT-SEEKING DAN KORUPSI DALAM PEMBANGUNAN
JALAN DI INDONESIA (STUDI KASUS: DUA MASA
PEMERINTAHAN SBY, 2004-2013)

IKHSANNUDIN AL HAKIM

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Rent-seeking dan Korupsi dalam Pembangunan Jalan di Indonesia

(Studi Kasus: Dua Masa Pemerintahan SBY, 2004-2013)
Nama
: Ikhsannudin Al Hakim
NIM
: H14100097

Disetujui oleh

Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A.
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dedi Budiman, M.Ec
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Pembangunan
jalan dipilih sebagai tema dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari
hingga September 2014 ini, dengan judul Rent-Seeking dan Korupsi dalam
Pembangunan Jalan di Indonesia (Studi Kasus: Dua Masa Pemerintahan SBY,
2004 -2013).
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. selaku
pembimbing dan juga pendidik;
2. Ibu Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr. selaku penguji utama dan
Bapak Dr. Muhammad Findi, ME selaku komisi pendidikan yang telah
memberi saran yang membangun;
3. Bapak AKPB Romylus (Kanit. Tipikor, Pidsus Mabes POLRI), Bapak
Deni R. Purwana (Spesialis Litbang KPK), Bapak Samsul Ramli
(praktisi dan trainer pengadaan barang/ jasa pemerintah; pendiri Pusat
Pengkajian Barang/ Jasa Indonesia [P3I]), dan BPK yang telah
menyempatkan waktu untuk melakukan wawancara mendalam;
4. Kementerian PU, KPK, BPS, dan Mahkamah Agung yang telah
membantu selama pengumpulan data;
5. Orang tua terkasih Bapak Slamet Iriana dan Ibu Hartati, serta Mbak
Rofi, Salsa, dan Zulfa atas segala doa dan kasih sayangnya;

6. Dosen dan staff Departemen Ilmu Ekonomi, FEM IPB yang telah
membantu selama perkualihan;
7. Teman-teman sebimbingan, Candri Yuniar Roisy, Erlangga Ryansha,
Khoerul Imam yang selalu memberi dukungan, masukan, dan dorongan;
8. Teman-teman sekosan, Ega, Rifal, Ricky, Najmi, Fahmi, Kautsar,
Quldino, dan Ade;
9. Teman sepermainan, Ratna, Afanina, Sauqi, Wirenza, Tria, dan Latifah;
10. Teman-teman dari Dept. Ilmu Ekonomi 46 - 49, FEM, IPB, BEM FEM
IPB, PT. Lodaya Makmur Perkasa, Kominfo, Omda, yang telah
memberi dukungan selama penelitian; serta
11. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa masih jauh dari kesempurnaan dalam tulisan ini.
Maafkan apabila banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan karya ilmiah
ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2015

Ikhsannudin Al Hakim

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Rumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian

5

Ruang Lingkup Penelitian

6

TINJAUAN PUSTAKA

6


Ekonomi Politik

7

Teori Pembangunan

9

Infrastruktur Jalan dalam Pembangunan

10

Biaya Transaksi (Transaction Cost)

13

Rent-Seeking

15


Korupsi dan Pola-Polanya

17

Pembangunan Jalan

20

Penelitian Terdahulu

21

Kerangka Pemikiran

23

METODE PENELITIAN

25

Lokasi dan Waktu Penelitian

25

Jenis dan Sumber Data

25

Metode Analisis Data

26

GAMBARAN UMUM

30

Kondisi Jalan di Indonesia

30

Korupsi, Rent-Seeking, dan Penanganannya di Indonesia

32

HASIL DAN PEMBAHASAN
Biaya Transaksi dalam Pembangunan Jalan di Indonesia

35
35

Pola-Pola Korupsi yang Terjadi pada Mekanisme Rent-Seeking dalam Proses
Pembangunan Jalan di Indonesia
45

Potensi Pembangunan yang Hilang Akibat Korupsi dan Rent-Seeking dalam
Pembangunan Jalan di Indonesia
55
SIMPULAN DAN SARAN

57

Simpulan

57

Saran

58

DAFTAR PUSTAKA

59

LAMPIRAN

61

RIWAYAT HIDUP

63

DAFTAR TABEL
1.1 Perkembangan panjang jalan menurut tingkat kewenangan
1.2 Indeks persepsi korupsi dan peringkat negara Asia 2014
4.1 Kondisi jalan nasional hasil survey 2008
5.1 Perbandingan biaya pencarian dan informasi dalam pengadaan jalan
penyedia) antara sistem manual dengan sistem elektronik
5.2 Perlakuan pajak dan tarifnya pada jasa konstruksi
5.3 Pengelompokan jenis rent-seeking
5.4 Kebocoran pembangunan jalan di Indonesia 2004 – 2013
5.5 Potensi pertumbuhan PDB jalan di Indonesia 2004 – 2013

2
3
32
(bagi
38
41
52
56
56

DAFTAR GAMBAR
2.1
2.2
2.3
2.4

Keterkaitan pembangunan jalan terhadap perekonomian
Skema lapisan biaya transaksi
Biaya-biaya monopoli
Kerangka pemikiran

12
15
17
24

DAFTAR LAMPIRAN
1 PMTB jalan berdasar PDB nasional 2004 – 2013 (000 rupiah)
2 Perbandingan jumlah kendaraan dengan panjang jalan 2003 – 2011
3 Keuntungan supernormal kasus rent-seeking dan korupsi dan nilai proyeknya
pada tahun 2005 – 2011

63
64
65

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan merupakan proses transformasi masyarakat yang tidak hanya
dilihat dari indikator pertumbuhan ekonomi saja, namun juga termasuk di
dalamnya terdapat perubahan mental, sosial, struktur, hingga kultur dalam
masyarakat. Setiap proses pembangunan seharusnya memiliki tiga tujuan inti
pembangunan yaitu peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai
barang kebutuhan hidup yang pokok; peningkatan standar hidup; serta perluasan
pilihan-pilihan ekonomis dan sosial 1. Upaya dalam pencapaian tujuan-tujuan inti
pembangunan tersebut dibutuhkan instrumen yang mampu mendukungnya, baik
yang disediakan oleh pemerintah berupa barang publik maupun yang disediakan
oleh swasta berupa barang privat.
Pembangunan infrastruktur merupakan hal yang berperan penting dalam
pembangunan ekonomi suatu negara. Pembangunan infrastruktur yang dimaksud
adalah pembangunan infrastruktur ekonomi/ fisik; seperti bandara, kereta api,
pelabuhan, perlistrikan, jalan raya, jalan tol, taman, penyediaan air bersih, tanggul,
dan sebagainya. Pembangunan infrastruktur yang baik tidak hanya menumbuhkan
perekonomian di sekitarnya, namun juga mampu meningkatkan kesejahteraan
sosial. Penyediaan barang publik yang baik dan lengkap menjadikan kualitas
hidup penduduk di negara tersebut semakin tinggi. Pembangunan infrastruktur
yang mampu meningkatkan distribusi barang kebutuhan pokok serta memperluas
pilihan-pilihan ekonomis dan sosial akan meningkatkan kesejahteraan setiap
individu pula.
Salah satu infrastruktur yang mampu meningkatkan kegiatan perekonomian
adalah sektor transportasi. Adanya sektor transportasi yang efektif dalam
mobilitas barang dan jasa dan aksesibilitas antar wilayah mampu meningkatkan
pemerataan pembangunan. Pembangunan jalan raya merupakan infrastruktur dari
sektor transportasi yang mampu mempercepat pemerataan pembangunan antar
wilayah di Indonesia. Oleh karenanya, pemerintah mengupayakan untuk
mengembangkan barang publik ini sebagai sarana dalam percepatan
pembangunan ekonomi. Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum menempatkan
infrastruktur jalan sebagai proyek strategis.
Perkembangan panjang jalan semakin bertambah seiring bertambahnya
tahun. Akan tetapi penambahan panjang jalan tersebut tidak berkembang secara
pesat setiap tahunnya. Perkembangan panjang jalan negara dan provinsi
cenderung kecil perkembangannya. Sementara perkembangan panjang jalan yang
cukup pesat adalah perkembangan panjang jalan yang terjadi pada tingkat
kewenangan kabupaten/ kota di setiap tahunnya. Penambahan panjang jalan ini
menunjukkan bahwa pembangunan jalan dilakukan hingga menyentuh lapisan
desa terpencil agar masyarakat dapat memperoleh akses dari adanya
pembangunan.

1

Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi, Jilid 1, Edisi 9. Haris
Munandar, penerjemah. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006). Terjemahan dari Economic
Development, h. 28-29.

2
Tabel 1.1 Perkembangan panjang jalan menurut tingkat kewenangana
Tahun Negara (km) Provinsi (km) Kabupaten/Kota (km) Jumlah (km)
2003
26 271
38 914
292 774
357 959

a

2004

34 628

40 125

298 175

372 928

2005

34 628

40 125

316 255

391 008

2006

34 628

40 125

331 816

406 569

2007

34 628

40 125

346 782

421 535

2008

34 628

40 125

363 006

437 759

2009

38 570

48 020

389 747

476 337

2010

38 570

53 291

395 453

487 314

2011

38 570

53 642

400 186

492 398

2012

38 570

53 642

409 757

501 969

2013

38 570

53 642

415 788

508 000

Sumber: [BPS] Badan Pusat Statistik, 2015, Panjang Jalan Dirinci Menurut Tingkat
Kewenangan 1987-2013 (km), http://www.bps.go.id [diakses tanggal 18 Maret 2015]

Pembangunan jalan merupakan tanggung jawab dari Kementerian Pekerjaan
Umum (Kemen PU), khususnya Dirjen Bina Marga dan/atau Dinas Pekerjaan
Umum (DPU). Bina Marga maupun DPU menggunakan anggaran penyediaan
infrastruktur jalan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebelum melakukan
pembangunan, Bina Marga maupun DPU melakukan pemilihan panitia lalu
membuat perencanaan melalui konsultan perencana. Setelah itu perencanaan
tersebut dijalankan melalui pelelangan, penunjukan langsung, pengadaan langsung,
atau swakelola. Pada pelaksanaannya, pengadaan jalan harus dijalankan sesuai
dengan perencanaan pembangunan, baik dari segi biaya maupun segi teknis. Oleh
karenanya, ketika pelaksanaan proyek pembangunan jalan, Bina Marga maupun
DPU memberikan kewenangan bagi konsultan pengawas untuk mengawasi
jalannya proyek agar sesuai dengan kontrak yang telah disepakati.
Setiap proses pembangunan jalan tersebut memiliki celah, mulai dari proses
perencanaan, pengalokasian dana APBN/D, pelaksanaan proyek, pengawasan
proyek, pemeliharaan, hingga pencairan dana, bagi elite politik untuk melakukan
tindakan negatif, seperti rent-seeking dan korupsi.
Kegiatan ekonomi pemburuan rente (rent-seeking economy activity)
merupakan proses pelaku ekonomi, baik individu maupun kelompok, untuk
memperoleh peningkatan pendapatan melalui pemanfaatan kebijakan pemerintah 2.
Sementara tindak korupsi merupakan kegiatan untuk mendapatkan keuntungan
pribadi melalui jabatan yang diduduki 3 . Dengan demikian, baik rent-seeking
maupun korupsi, keduanya memanfaatkan sumberdaya untuk kepentingan pribadi
atau kelompok tertentu tanpa memperhatikan keadilan dan kesejahteraan sosial.
2

Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan, Paradigma, Teori, dan Kebijakan, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2013), hlm. 107.
3
Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa dan H. Lindsey Parris, Penuntun Pemberantasan
Korupsi dalam Pemerintahan Daerah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 3.

3
Namun rent-seeking lebih menitikberatkan terhadap regulasi atau kebijakan,
sementara korupsi lebih menitikberatkan terhadap sistem.
Kegiatan ekonomi pemburuan rente terdapat berbagai cara, seperti
amandemen peraturan pemerintah untuk menguntungkan dirinya, monopoli,
hingga diikuti oleh tindakan korupsi berupa penyalahgunaan wewenang. Akan
tetapi, bukan berarti semua jenis korupsi merupakan kegiatan pemburuan rente.
Praktik korupsi dapat timbul bukan dikarenakan gaji/ upah yang sedikit, sebab
para elite politik yang memiliki kekayaan yang tinggi pun masih bisa melakukan
praktik tersebut. Praktik korupsi terjadi dapat diakibatkan oleh rendahnya kualitas
moral dan etika para elite politik. Selain buruknya moral, para elite politik
didukung dengan kemudahan untuk menguasai akses proyek-proyek strategis,
sehingga kemungkinan terjadi korupsi tinggi.
Tingkat korupsi antar negara berbeda-beda. Tingkat korupsi di Negara
Industri Maju (NIM) yang mendekati nol, sementara tingkat korupsi di Negara
Sedang Berkembang (NSB) cenderung tinggi. Transparency International –
Indonesia yang merupakan organisasi independen internasional dengan tujuan
memberantas korupsi internasional yang berada di Indonesia melalui
penelitiannya tahun 2014 mencatat bahwa Indonesia menempati peringkat ke-107
negara terbersih di dunia dari 175 negara. Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Indonesia hanya 34 dari 100. Dalam lingkup Asia, posisi Indonesia masih
tertinggal dengan Singapura, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Malaysia,
Filipina, dan Cina.
Tabel 1.2 Indeks persepsi korupsi dan peringkat negara Asia 2014a
Negara
Skor IPK
Peringkat
Singapura
84
7
Jepang
76
15
Hongkong
74
17
Korea Selatan
55
43
Malaysia
52
50
Filipina
38
85
Cina
36
100
Indonesia
34
107
Vietnam
31
119
Timor Leste
28
133
a

Sumber: [TI-Indonesia] Transparency International – Indonesia, 2014, Corruption
Perception Index 2014, http://www.ti.or.id [diakses tanggal 26 Februari 2015]

Menurut penelitian Bank Dunia dalam periode 2005 – 2011, penganggaran
negara terhadap pembangunan jalan di Indonesia adalah sekitar 40% dari total
anggaran belanja infrastruktur. Akan tetapi anggaran yang besar itu kurang
optimal dalam pelaksanaannya. Selain itu, Bank Dunia juga mencatat bahwa pada
tahun 2005 – 2011, anggaran sebesar 40% dari belanja total konstruksi hanya
menghasilkan output sebesar 20% yang diukur berdasar pada jalan yang
dipelihara dan dibangun 4 . Hal tersebut mengindikasikan tidak optimalnya

4

World Bank, 2013, Melakukan Investasi di Sektor Jalan di Indonesia: Meningkatkan Efisiensi
dan Menutup Kekurangan Pendanaan – Kajian Belanja Publik untuk Sektor Jalan 2012,
http://www.worldbank.org/in/news/feature/2013/02/12/investing-in-indonesia-roads-improvingefficiency-and-closing-the-financing-gap-road-sector-public-expenditure-review-2012

4
manajemen pembangunan jalan, salah satunya diakibatkan adanya kecurangan di
dalamnya.
Badan Pengawas Keuangan (BPK) menemukan nilai kerugian pada
pembangunan jalan dan jembatan. BPK mencatat pada Ikhtisar Hasil Pemeriksaan
Semester (IHPS) I tahun 2005 dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) 2005
terkait Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu tentang satuan kerja sementara
pembangunan jalan dan jembatan Provinsi Sumatra Utara, Sumatra Barat,
Sumatra Selatan, Jambi, dan Lampung ditemukan nilai temuan kerugian sebesar
Rp2 761.64 juta 5. Sementara pada IHPS I tahun 2009 dalam LHP 2009 terkait
Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu tentang pembangunan jalan dan jembatan
nasional dari lima provinsi ditemukan nilai temuan kerugian sebesar Rp94.26
miliar atau 2,4% dari cakupan temuan sebesar Rp3.96 triliun 6.
Tingkat rent-seeking dan korupsi yang tinggi menyebabkan pembangunan
infrastruktur di Indonesia menjadi berbiaya tinggi (high cost economy) sehingga
terjadi inefisiensi. Tingginya biaya tersebut akibat disalokasi sumberdaya oleh
para pejabat publik. Selain itu, hal tersebut juga disebabkan tingginya biaya
transaksi (transaction cost) dengan sistem birokrasi berbelit-belit yang ditetapkan
oleh pejabat publik dalam pembangunan infrastruktur. Biaya transaksi ini dapat
berupa biaya dalam perencanaan dan penyiapan kontrak, biaya proyek, biaya
administrasi, biaya pengawasan, pembebasan lahan, dan sebagainya.

Rumusan Masalah
Pembangunan jalan merupakan upaya pemerintah dalam perluasan akses
sektor transportasi untuk mencapai pemerataan pembangunan di Indonesia.
Infrastruktur jalan tersebut dapat berupa jalan nasional, jalan provinsi, maupun
jalan kabupaten/ kota. Pembangunan jalan hingga ke pelosok desa diharapkan
dapat meningkatkan akses masyarakat dalam memanfaatkan pembangunan
ekonomi sehingga mencapai kesejahteraan sosial secara merata.
Permasalahan yang timbul pada pembangunan jalan adalah adanya rentseeking dan korupsi. Rent-seeking dan korupsi yang terjadi di berbagai lini
birokrasi menyebabkan pembangunan jalan menjadi inefisien dengan terjadinya
“ekonomi biaya tinggi” (high cost economy). Tingginya pembiayaan
pembangunan jalan adalah akibat dari tingginya biaya transaksi (transaction cost)
dengan birokrasi berbelit-belit yang ditetapkan oleh pejabat publik.
Para pemburu rente berupaya dalam penguasaan proyek-proyek strategis
seperti pengadaan jalan melalui pemanfaatan kebijakan pemerintah untuk
menguntungkan dirinya maupun kelompoknya. Sementara itu, para pejabat publik
dengan moral yang buruk memanfaatkan proyek-proyek strategis pembangunan
jalan untuk melakukan korupsi melalui proyek, penyalahgunaan wewenang,
penggelembungan dana (mark up) pada perencanaan anggaran, penyempitan dana
(mark down) pada laporan anggaran, penggelapan dana, pemerasan, penyuapan,
hingga gratifikasi.
5

[BPK RI] Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester
I Tahun Anggaran 2005, (Jakarta: BPK RI, 2005), h. 104
6
[BPK RI] Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester
I Tahun Anggaran 2009, (Jakarta: BPK RI, 2009), h. 101

5
Adanya rent-seeking dan korupsi pada proyek pembangunan jalan
mengindikasikan bahwa pembangunan jalan tersebut tidak lagi berorientasi pada
kesejahteraan sosial masyarakat secara merata, akan tetapi keuntungan tersebut
hanya dinikmati oleh para pemburu rente dan para elite politik yang berbudi
pekerti buruk. Sehingga masyarakat tidak memperoleh akses pembangunan jalan
secara maksimal.
Sistem pengadaan jalan sudah menggunakan pengadaan secara elektronik
atau e-Procurement yang dimulai pada tahun 2002 hingga kini dan bertujuan
meminimalir terjadinya kecurangan. Tidak hanya pemerintahan dengan
desentralisasi fiskal (era Reformasi) namun Komisi Pemberantas Korupsi (KPK)
sudah dibentuk dan dianggap mampu memberantas korupsi di Indonesia selama
dua masa pemerintahan SBY. Meski demikian, selama rentang tahun tersebut
ditemukan kecurangan-kecurangan baik rent-seeking maupun korupsi pada
pembangunan jalan yang termuat di dalam putusan-putusan Mahkamah Agung.
Berdasar hal-hal yang diuraikan di atas, permasalahan yang dapat
dirumuskan pada penelitian ini adalah:
1. Biaya transaksi apa saja yang terdapat pada proses pembangunan jalan di
Indonesia?
2. Bagaimana pola-pola korupsi yang muncul di dalam mekanisme rentseeking pada proses pembangunan jalan di Indonesia?
3. Berapa potensi pembangunan yang hilang akibat korupsi dan rentseeking dalam proses pembangunan jalan di Indonesia?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan:
1. Menganalisis biaya-biaya transaksi yang terdapat pada proses
pembangunan jalan di Indonesia;
2. Menggambarkan pola-pola korupsi yang muncul di dalam mekanisme
rent-seeking pada proses pembangunan jalan di Indonesia; dan
3. Menganalisis besar potensi pembangunan yang hilang akibat korupsi dan
rent-seeking dalam proses pembangunan jalan di Indonesia.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat kepada berbagai
pihak, di antaranya:
Penulis
Mampu memberikan tambahan wawasan ilmu ekonomi khususnya terkait
dengan biaya transaksi, rent-seeking, dan korupsi yang terjadi pada pembangunan
jalan di Indonesia. Sehingga dapat menerapkan pengetahuan teoritis selama
perkuliahan terhadap pengetahuan praktisi.

6
Akademisi
Mampu dijadikan rujukan atau sumber informasi bagi penelitian-penelitian
selanjutnya dengan topik yang serupa, sehingga akan mampu menyempurnakan
penelitian sebelumnya.
Pemerintah
Mampu memberikan kontribusi bagi pemerintah dalam mengambil
kebijakan terkait pembangunan jalan yang efektif sehingga kecil kemungkinan
terjadi rent-seeking dan korupsi, mereduksi biaya transaksi, serta mampu
meningkatkan kesejahteraan sosial secara merata.
Masyarakat
Mampu memberikan informasi bagi masyarakat tentang biaya transaksi
serta pola-pola rent-seeking dan korupsi yang terjadi pada pembangunan jalan,
sehingga masyarakat dapat bersama-sama ikut mengawasi berjalannya proyek
pembangunan jalan agar tidak terjadi rent-seeking dan korupsi serta masyarakat
dapat sejahtera.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berfokus pada munculnya biaya transaksi serta pola-pola rentseeking dan korupsi yang terjadi pada pembangunan jalan di Indonesia.
Infrastruktur jalan yang dimaksud adalah jalan non-tol, yaitu jalan nasional, jalan
provinsi, dan jalan kabupaten/ kota.
Penelitian ini menggunakan studi kasus dari tahun 2004-2013 dikarenakan
pada periode tersebut, Indonesia sudah menerapkan sistem desentralisasi fiskal,
artinya pemerintah daerah memiliki kuasa atas daerah yang dipimpinnya. Tahun
2004-2013 merupakan dua masa periode kepemimpinan yang sama, yaitu di
bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selain itu,
pada tahun 2001 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dan mulai awal
pembentukannya hingga sekarang, KPK menorehkan prestasi yang signifikan
dalam upaya pemberantasan korupsi dibandingkan upaya pemberantasan korupsi
sebelum era Reformasi. Sementara itu, mulai tahun 2002 hingga saat ini
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menggunakan sistem pengadaan secara
elektronik (e-Procurement). Sehingga sistem pemerintahan, upaya pemberantasan
korupsi, serta sistem pengadaan pada pembangunan jalan selama tahun tersebut
cenderung sama.

TINJAUAN PUSTAKA
Infrastruktur jalan merupakan proyek strategis pemerintah Indonesia dalam
meningkatkan pembangunan ekonomi berupa pencapaian kesejahteraan sosial
secara merata di seluruh wilayah di Indonesia. Baik jalan nasional, jalan provinsi,
maupun jalan kabupaten/ kota diharapkan mampu menghubungkan antara wilayah
satu dengan wilayah lain, sehingga dampak dari pembangunan akan merata di

7
semua wilayah. Penelitian ini menitikberatkan pada munculnya biaya-biaya
transaksi dan pola-pola rent-seeking dan korupsi yang terjadi pada pembangunan
jalan dan analisis potensi yang hilang akibat adanya rent-seeking dan korupsi
tersebut.

Ekonomi Politik
Sebuah negara dalam menetapkan suatu kebijakan ekonomi, tidak akan
lepas dari kebijakan politik dari pemerintah negara tersebut, baik kebijakan
moneter, kebijakan fiskal, kebijakan luar negeri, maupun kebijakan pembangunan.
Didin S. Damanhuri berpendapat bahwa Negara-Negara Sedang Berkembang
(NSB) sering berorientasi pada peningkatan PDB saja, sehingga negara-negara
tersebut berlomba-lomba dalam meningkatkan pertumbuhan PDB-nya. Sayangnya,
pertumbuhan PDB yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan sosial masyarakat
negara tersebut. Sementara tujuan dari ilmu ekonomi adalah pencapaian
kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat 7.
Damanhuri menambahkan bahwa:
“Persoalan kesejahteraan masyarakat menyangkut bagaimana peran negara
dan pasar dalam kaitannya dengan persoalan kualitas dari pertumbuhan PDB
yang dihasilkan, mampu mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan
ketimpangan di NSB. Hal itu berarti menyangkut ilmu ekonomi
pembangunan. Sementara persoalan kualitas pertumbuhan yang diperankan
negara dan pasar juga akan menyangkut dengan dimensi politik dan
kekuasaan. Oleh karena itu, kita juga harus memahami hubungan timbal
balik antara aspek, proses, institusi politik dan kekuasaan dengan kegiatan
serta output ekonomi (produksi, investasi, penciptaan harga, perdagangan,
konsumsi, dan seterusnya) dengan kualitas pertumbuhan (dalam mengatasi
kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan). Yang terakhir ini berarti
menyangkut ekonomi politik. 8”

Pengertian ekonomi politik banyak diperbincangkan oleh para ahli ekonomi
politik. Caporaso dan Levine berpendapat bahwa pada awalnya ilmu ekonomi
politik berdiri dari konsep ilmu politik dan ilmu ekonomi. Meskipun secara
konseptual terpisah, bukan berarti di antara keduanya tidak memiliki hubungan
karena hubungan keduanya disebut dengan ilmu ekonomi politik 9 . Oleh
karenanya, sebelum membahas konsep ilmu ekonomi politik perlu dibahas konsep
ilmu ekonomi dan konsep ilmu politik terlebih dahulu.
Konsep ilmu ekonomi yang pertama adalah ekonomi kalkulasi. Konsep ini
menjelaskan tentang cara untuk memanfaatkan sumber daya yang ada untuk
memenuhi kebutuhan yang ada, sehingga muncul istilah efisiensi dan pembatasan
pilihan. Ciri khasnya adalah orientasinya yang statis dan sifatnya yang umum.
Konsep ini merupakan konsep ilmu ekonomi yang umum dipelajari 10 . Konsep
7

Didin S. Damanhuri, Ekonomi Politik dan Pembangunan, Teori, Kritik, dan Solusi bagi
Indonesia dan Negara Sedang Berkembang, (Bogor: IPB Press, 2010), h. 1
8
Ibid, h. 2
9
James A. Caporaso dan David P. Levine, Teori-Teori Ekonomi Politik. Suraji, penerjemah.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). Terjemahan dari Theories of Political Economy, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1992), h. 1-2
10
Ibid, h. 37-41.

8
yang kedua adalah penyediaan kebutuhan. Konsep ini merupakan konsep yang
lebih tua usianya dibandingkan konsep yang pertama. Penyediaan kebutuhan
menjadi sorotan tanpa memedulikan keefisienan, namun lebih memedulikan
keberlangsungan proses produksi merupakan ciri utama dari konsep ini 11. Yang
terakhir adalah ekonomi sebagai perekonomian. Konsep ini memisahkan dua
bagian ekonomi dari sebuah masyarakat yaitu sebagai perekonomian (the
economy) dan bidang politik (polity) 12.
Sedangkan konsep ilmu politik yang pertama adalah politik sebagai
pemerintahan. Pemerintah dalam artian ini adalah mekanisme politik formal dari
negara terkait, seperti semua institusi, perundang-undangan, kebijakan publik,
serta pelaku-pelaku utama dalam pemerintahan 13 . Konsep kedua adalah politik
sebagai publik. Melalui konsep ini, ekonomi dipandang sebagai urusan yang
berkaitan dengan pribadi, sementara politik sebagai urusan yang berkaitan dengan
publik. Sehingga tujuan dari politik adalah untuk menciptakan rasa kebersamaan
dalam kehidupan antara satu orang dengan orang yang lainnya dan terpenuhinya
kebutuhan sosial dan kehidupan 14. Konsep terakhir adalah politik sebagai alokasi
nilai oleh pihak yang berwenang. Dalam hal ini, ekonomi dan politik sama-sama
sebagai metode alokasi. Politik yang dimaksud di sini adalah cara tertentu untuk
penetapan kebijakan dalam memproduksi dan mendistribusikan sumber daya 15.
Dengan demikian, konsep ilmu ekonomi politik mempelajari hubungan dari
konsep ilmu ekonomi dan ilmu politik secara timbal balik. Dari ketiga konsep
ilmu ekonomi, ekonomi sebagai perekonomian dinilai tepat untuk mendefinisikan
hubungan ilmu ekonomi terhadap ilmu politik yang selanjutnya disebut ilmu
ekonomi politik, karena di sini ekonomi adalah sebuah bidang sosial 16.
Pada model kebijakan ekonomi menurut Pipitone, adanya dua perspektif
yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Pertama, pendekatan dengan
basis maksimalisasi kesejahteraan konvensional (conventional welfare
maximization), yaitu pemerintah (negara) diasumsikan memiliki sifat otonom dan
eksogen terhadap system ekonomi. Oleh karenanya, kebijakan yang ditetapkan
berorientasi pada kepentingan publik. Pemerintah juga diasumsikan memiliki
informasi yang sempurna dan hanya memiliki kepentingan publik (bukan
kepentingan pribadi), sehingga ketika terjadi kegagalan pasar dan inefisiensi
dalam pengalokasian sumber daya, pemerintah bertanggung jawab atas hal
tersebut 17.
Kedua, pendekatan “ekonomi politik baru” (new political economy) yaitu
pendekatan yang berdasarkan pada asumsi ekonomi politik. Pendekatan ini
memposisikan pemerintah (negara) tidak memiliki informasi yang sempurna,
sehingga pemerintah memiliki potensi besar dalam mengalami kegagalan.
Perilaku agen-agen pemerintah diasumsikan rasional serta berupaya dalam

11

Ibid, h. 44
Ibid, h. 54
13
Ibid, h. 4
14
Ibid, h. 11-22
15
Ibid, h. 22-23
16
Ibid, h. 66
17
Romina A. Pipitone, Lobbying: A New Approach for Agriculture Policies, (Palermo: Universita
degli Studi, tt), h. 3-4 dalam Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan, Paradigma, Teori,
dan Kebijakan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013), h.102
12

9
memaksimalkan keuntungan pribadi melalui lobi, kesejahteraan pemilih, dan
dukungan politik 18.
Dalam ekonomi politik terdapat berbagai pendekatan yang digunakan
sebagai landasan sebuah negara dalam membangun perekonomian negaranya,
salah satunya adalah ilmu ekonomi politik neoklasik. Menurut Caporaso dan
Levine, ilmu ekonomi neoklasik merupakan teori yang terkait dengan pertukaran
sukarela dan alokasi sumber daya secara efisien. Pendekatan ekonomi politik
neoklasik memandang bahwa individu dapat dan harus membuat pilihan. Oleh
karenanya, setiap orang akan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sesuai
dengan tingkat kepuasan tertinggi karena adanya kelangkaan. Setiap individu
diasumsikan rasional dalam membuat pilihan. Selain itu, pasar diasumsikan
memiliki informasi yang sempurna sehingga tidak dibutuhkan biaya untuk
memperoleh informasi dan ketika terjadi kegagalan pasar, maka pemerintah mulai
menanganinya, dalam arti lain, pendekatan neoklasik lebih menekankan ekonomi
dan politik diperlukan ketika terjadi kegagalan pasar 19.

Teori Pembangunan
Pada pandangan ekonomi tradisional, pembangunan merupakan kapasitas
dari perekonomian nasional dalam menciptakan atau mempertahankan kenaikan
Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Indeks lain yang digunakan dalam mengukur
pertumbuhan adalah pendapatan per kapita. Karena menurut pandangan ini
pembangunan dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, maka muncul istilah “efek
penetesan ke bawah” (trickle down effect), yaitu ketika terjadi pertumbuhan
ekonomi di suatu wilayah maka akan terjadi distribusi pendapatan secara merata 20.
Akan tetapi, pembangunan menurut pandangan tersebut tidak dapat
menjelaskan proses terjadinya kondisi suatu negara dengan tingkat pertumbuhan
yang tinggi, namun terjadi ketimpangan yang tinggi pula. Misalnya Indonesia,
menurut Didin S. Damanhuri:
“Pertumbuhan GDP yang tinggi selama ini (rata-rata 7% selama Orde Baru
dan 4% selama Reformasi) ternyata tidak diimbangi oleh pengurangan
kemiskinan dan ketimpangan secara signifikan. Bahkan sebaliknya,
terkadang kita melihat adanya paradox, di mana GDP naik namun
kemiskinan dan ketimpangan juga semakin buruk keadaannya. 21”

Menurut pandangan tradisional, seharusnya dengan tingkat pertumbuhan
yang tinggi tersebut, Indonesia mampu mengurangi tingkat ketimpangannya.
Namun kenyataannya, Indonesia tidak sejalan dengan teori pembangunan menurut
pandangan tradisional, sehingga pembangunan menurut pandangan tersebut tidak
berlaku bagi kasus Indonesia.
Pandangan lain dalam menjelaskan definisi pembangunan mengkritik bahwa
pembangunan tidak hanya dijelaskan melalui pertumbuhan ekonomi, namun perlu

18

Ibid, h. 102.
James A. Caporaso dan David P. Levine, op. cit, h. 184-229
20
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi, Jilid 1, Edisi 9. Haris
Munandar, penerjemah. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006). Terjemahan dari Economic
Development, h. 19 – 20
21
Didin S. Damanhuri, op. cit, h. 97

19

10
ada perubahan mental, kultur, sosial, hingga politik. Menurut pandangan F.
Perroux tentang pembangunan:
“Pembangunan (development) lebih luas dari pertumbuhan (growth).
Pembangunan merupakan fenomena kualitatif yang tidak cukup disimpulkan
oleh indikator-indikator pertumbuhan. Pembangunan mencakup sejumlah
transformasi dalam struktur ekonomi, sosial, dan kultural yang menyertai
dan mendasari terjadinya pertumbuhan. Pembangunan harus termasuk
perubahan mental dan sosial suatu penduduk yang membawa kemampuan
mereka untuk tumbuh, yang secara kumulatif dan berkelanjutan membawa
pertumbuhan produksi riil global 22.”

Pandangan F. Proux juga didukung oleh pandangan Soedjatmoko yang
menyatakan bahwa pembangunan tidak hanya berupa proses ekonomi, akan tetapi
juga didukung atas unsur-unsur kultur, sosial, dan politis 23.
Pandangan pembangunan ekonomi lainnya juga dijelaskan oleh Rostow.
Menurutnya pembangunan merupakan proses multidimensional yang berbentuk
tahapan atau transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern yang
didasarkan pada karakteristik perubahan ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi.
Transisi tersebut terdiri dari lima tahapan yaitu tahapan masyarakat tradisional,
tahapan prasyarat lepas landas, tahapan tinggal landas, tahapan menuju
kedewasaan, dan tahapan konsumsi yang tinggi. Pada kasus Indonesia, menurut
Didin S. Damanhuri:
“Ada yang mengatakan Indonesia sudah memasuki tahap lepas landas, tetapi
ada juga yang berpendapat bahwa kita masih berada pada tahap transisi (pra
take-off). Alasan yang mengatakan kita belum sampai pada tahap lepas
landas ialah kenyataan masih cukup banyaknya hambatan-hambatan sosial,
kelembagaan, dan politik yang belum dapat diatasi”24.

Pembangunan tidak serta merta tanpa adanya tujuan. Oleh karenanya,
Todaro menjelaskan bahwa pada proses pembangunan harus mencakup tiga tujuan
inti yang harus dimiliki yaitu 25:
“Terjadinya peningkatan ketersediaan dan perluasan distribusi kebutuhan
pokok, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan,
dan sebagainya; adanya peningkatan standar hidup. Standar hidup ini tidak
hanya peningkatan pendapatan, namun juga termasuk perbaikan kualitas
pendidikan, penambahan penyediaan lapangan kerja, serta peningkatan
perhatian terhadap nilai-nilai tradisional dan kemanusiaan; dan perluasan
pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap masyarakat secara
menyeluruh. Sehingga tidak lagi ada ketergantungan terhadap negara lain.”

Infrastruktur Jalan dalam Pembangunan
Infrastruktur merupakan sarana dasar yang dibutuhkan oleh suatu kelompok
masyarakat atau negara agar perekonomiannya berfungsi secara optimal.
Pembagian infratruktur pembangunan terdiri dari dua jenis, yaitu infrastruktur
ekonomi dan infrastruktur sosial. Infrastruktur ekonomi yaitu semua infrastruktur
22

Didin S. Damanhuri, op. cit, h. 61
Budi Winarno, Etika Pembangunan, (Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service,
2013), h. 39
24
Didin S. Damanhuri, op. cit., h. 37.
25
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, op. cit., h. 28
23

11
fisik yang digunakan pada proses produksi maupun yang dimanfaatkan oleh
masyarakat secara umum, seperti air bersih, perhubungan, tenaga listrik,
pembuangan limbah, telekomunikasi, dan lain-lain. Sementara infrastruktur sosial
terdiri dari prasarana kesehatan dan pendidikan 26.
Infrastruktur juga masuk ke dalam golongan public good. Penggolongan ini
awalnya merupakan pure public good yaitu penggunaannya tidak bersaing (nonrivalry) dan tidak dapat digunakan prinsip pengecualian (non-excludability),
namun pada perkembangannya sifat itu bergeser menjadi semi public good.
Berdasar pengertian di atas, jalan yang merupakan fokus pada penelitian ini
merupakan infrastruktur ekonomi. Infrastruktur jalan mampu menunjang aktivitas
lainnya, seperti transportasi, perdagangan, jasa, industri, hingga peningkatan
aktivitas perekonomian daerah yang dilaluinya maupun antardaerah.
Pembangunan tidak hanya sekedar rencana, akan tetapi juga proses. Proses
pembangunan perlu didukung oleh unsur yang mampu mempercepat
pembangunan tersebut. Sektor transportasi merupakan sektor yang mampu
mempercepat pertumbuhan dan pemerataan dalam pembangunan ekonomi di
Indonesia. Berikut beberapa manfaat dari adanya sektor transportasi pada
pembangunan ekonomi, antara lain 27:
1. Perubahan biaya relatif antara sarana transportasi tertentu terhadap sarana
transportasi lainnya;
2. Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat;
3. Peningkatan ketersediaan transportasi;
4. Peningkatan kualitas perjalanan yang dihasilkan oleh peningkatan
kualitas sarana serta teknologi infrastrukturnya;
5. Pengaruh tata guna lahan akibat migrasi antardaerah dan perubahan pola
pemukiman;
6. Peningkatan aktivitas ekonomi yang pada akhirnya juga mempengaruhi
timbulnya perubahan pola dan struktur konsumsi masyarakat;
7. Perubahan demografis; dan
8. Perubahan perilaku operasional dunia usaha di sekitar pembangunan
tersebut.
Pembangunan jalan, baik jalan negara, jalan provinsi, maupun jalan
kabupaten/ kota, diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup layak dan tingkat
kesejahteraan masyarakat secara merata.
Gambar 2.1 menunjukkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dapat
meningkat disebabkan adanya reduksi biaya transportasi melalui pengadaan jalan
yang memiliki banyak dampak terhadap perekonomian 28 . Pembangunan jalan
mampu mengefisiensikan biaya transportasi pada barang ekspor dan
mengakibatkan adanya penurunan tingkat harga barang ekspor sehingga terjadi
peningkatan permintaan barang ekspor. Begitu pula terhadap barang intermediate,
efisiensi biaya transportasi pada barang intermediate akibat adanya pembangunan
26

Rahadi Ramelan, Kemitraan Pemerintah-Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur di
Indonesia, (Jakarta: Koperasi Jasa LPPN, 1997), h.5.
27
Dixon, et. al dalam Hengki Purwoto, Dwi Ardianta K, Kajian Dampak Infrastruktur Jalan
Terhadap Pembangunan Ekonomi dan Pengembangan Wilayah, (Surabaya: Universitas Kristen
Petra, 2009), h.3–4 dalam Dara Restu Maharani, Dampak Pembangunan Jalan Tol di Indonesia
Terhadap Perekonomian dan Dampak Sosial Ekonomi Jalan Tol Bogor Outer Ring Road, Tesis,
Pascasarjana IPB, 2012, h.15–16
28
Ibid, h. 2

12
jalan akan meningkatkan permintaan barang intermediate. Pengefisiensian biaya
transportasi akibat pembangunan infrastruktur juga mengakibatkan harga barang
Pembangunan/
Perbaikan
J l

Efisiensi/
Reduksi Biaya

Harga Barang
Ekspor Lebih
Rendah

Harga Barang
Impor Lebih
Rendah

Harga Barang
Intermediate
Lebih Rendah
Peningkatan
Income

Peningkatan
Demand
Barang Ekspor

Peningkatan Demand
Barang Intermediate

Peningkatan
Produksi &
Lapangan
K j

Peningkatan
Demand
Barang Impor

Peningkatan
Final Demand

Penurunan
Produksi
Lokal &
Lapangan
Kerja di
Wilayah
C k

Pembangunan &
Pertumbuhan Ekonomi
Gambar 2.1 Keterkaitan pembangunan jalan terhadap perekonomian 29
impor menjadi rendah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya peningkatan
permintaan barang impor, sehingga berdampak pada penurunan produksi lokal
dan lapangan kerja di wilayah sekitar pembangunan jalan tersebut. Namun, hal

29

Kelejian & Robinson dalam Muktas Napitupulu, Mangara Tambunan, Arief Daryanto, dan Rina
Oktaviani, Dampak Infrastruktur Jalan Terhadap Perekonomian Pulau Jawa-Bali dan Sumatera,
Jurnal, Direktorat Jenderal Binamarga, Kementerian Pekerjaan Umum dan Institut Pertanian
Bogor, 2011, h. 3

13
positifnya adalah harga barang impor yang rendah akan meningkatkan pendapatan
penduduk, sehingga akan meningkatkan permintaan secara keseluruhan.

Biaya Transaksi (Transaction Cost)
Konsep ekonomi neoklasik menganggap bahwa pasar berjalan sempurna
sehingga tidak diperlukan adanya biaya untuk memperoleh informasi. Pada
kenyataannya, tidak ada pasar yang berjalan secara sempurna, maka untuk
mengatasi kegagalan pasar tersebut diperlukan informasi yang diperoleh dengan
mengeluarkan biaya, selanjutnya disebut biaya transaksi 30 . Seseorang ketika
membeli rumah, misalnya, dia tidak hanya ingin mengetahui harga rumah tersebut
saja sebelum membeli, namun juga harus tahu luas lahannya, tata ruangnya,
lingkungan sekitarnya, dan sebagainya. Keseluruhan informasi tersebut tidak
selalu dijelaskan secara rinci oleh penjual rumah, sehingga pembeli harus
menambahkan biaya transaksi, seperti biaya untuk mengakses internet, telepon,
transportasi, dan sebagainya.
Pada persoalan sederhana, ketika seseorang hendak memutuskan pilihan
untuk membeli susu bayi di supermarket. Seseorang yang berpikir rasional, tentu
akan memilih harga susu bayi yang lebih murah dengan asumsi bahwa merek susu
bayi tersebut sama. Untuk membandingkan harga tersebut, tentu pembeli susu
bayi itu membutuhkan informasi dari berbagai media. Sehingga ketika
mendapatkan susu bayi dengan harga yang murah masih ada tambahan biaya
untuk memperoleh informasi tersebut atau dapat disebut biaya transaksi. Akan
tetapi, konsep biaya transaksi tidak hanya sesederhana itu karena definisi dari
biaya transaksi sangat luas.
Menurut Yoram Bazrel, biaya transaksi didefinisikan sebagai ongkos yang
diasosiasikan dengan kegiatan transfer, menangkap, dan melindungi hak-hak
(transfer, capture, and protection of right). Apabila biaya transaksi diasumsikan
bahwa untuk aset apapun masing-masing biaya meningkat, dan bahwa baik
proteksi maupun transfer penuh dari hak-hak tersebut dicegah agar tidak muncul
biaya, maka kemudian biaya transaksi itu akan mengarahkan hak-hak yang
dimiliki menjadi tidak lengkap, karena orang-orang tidak akan pernah
menemukan hak-haknya cukup berharga untuk mendapatkan potensi keuntungan
dari aset-asetnya 31.
Sementara biaya transaksi menurut pandangan North didefinisikan sebagai
ongkos untuk menspesifikasi dan memaksakan kontrak yang mendasari
pertukaran, oleh karenanya biaya transaksi mencakup semua biaya organisasi
politik dan ekonomi yang memungkinkan kegiatan ekonomi mengutip laba dari
perdagangan (pertukaran) 32 . Kemudian North dan Wallis menambahkan bahwa
biaya transaksi dianggap sebagai ongkos untuk lahan, tenaga kerja, kapital, serta
keterampilan kewirausahaan (entrepreunership). Ongkos-ongkos tersebut
dibutuhkan dalam rangka mentransfer hak-hak kekayaan dari suatu kelompok ke
kelompok lainnya. Pendapat tersebut didukung oleh Mburu yang menyebutkan
30

Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan, Paradigma, Teori, dan Kebijakan, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2013), h.60
31
Ibid, h.120.
32
Ibid, h.60

14
bahwa biaya transaksi adalah biaya untuk lahan, tenaga kerja, kapital, dan
keterampilan kewirausahaan yang digunakan untuk mentransfer hak-hak
kepemilikan secara fisik input menjadi output 33.
Mburu berpendapat bahwa biaya transaksi dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
(1) biaya pencarian dan informasi; (2) biaya negosiasi (bargaining) dan keputusan
atau mengeksekusi kontrak; dan (3) biaya pengawasan (monitoring), pemaksaan,
dan pemenuhan/ pelaksanaan (compliance) 34.
Biaya transaksi dapat beroperasi jika dua asumsi terpenuhi, yaitu
rasionalitas terbatas (bounded rationality) dan perilaku oportunistik
(opportunistic). Rasionalitas terbatas mengarah pada tingkat dan batas
kesanggupan individu untuk menerima, menyimpan, mencari kembali, dan
memproses informasi tanpa adanya kesalahan. Prinsip dari rasionalitas terbatas
adalah individu atau kelompok tertentu tidak memiliki pengetahuan untuk
memproses dan menggunakan informasi yang ada; dan individu atau kelompok
tertentu tidak memperoleh informasi yang lengkap atau terjadi ketidakpastian
informasi. Asumsi kedua yaitu perilaku oportunistik. Perilaku oportunistik adalah
upaya untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui praktik yang tidak jujur atau
licik dalam melakukan transaksi 35.
Sementara itu, besaran biaya transaksi ditentukan oleh berbagai
penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut menurut Williamson
berupa: (1) penyimpangan atas lemahnya hak kepemilikan; (2) penyimpangan
pengukuran atas tugas yang kompleks dan prinsip yang beragam; (3)
penyimpangan intertemporal, yang dapat berbentuk kontrak yang timpang,
responsivitas waktu yang nyata, ketersembunyian informasi yang panjang,
penyalahgunaan strategis; (4) penyimpangan yang muncul karena kelemahan
dalam kebijakan kelembagaan, yang berhubungan dengan pembangunan dan
reformasi ekonomi; dan (5) kelemahan integritas. North mendefinikan salah satu
biaya transaksi adalah biaya kontrak, ditambahkan oleh Williamson dengan biaya
adaptasi yang meliputi: (1) biaya yang ditimbulkan ketika kontrak yang sudah
terjadi mengalami perpindahan ke situasi sub-optimal di bawah kondisi yang
diharapkan; (2) biaya negosiasi untuk mendapatkan skema kontrak yang lebih
baik dari pihak lain; dan (3) biaya arbitrasi atau pergi ke pengadilan apabila terjadi
sengketa/ perselisihan 36.
Biaya transaksi dapat bekerja ditunjukkan dengan pengambaran tiga level
skema yang digambarkan oleh Williamson pada gambar 2.2. Kelembagaan tata
kelola (kontrak intra-perusahaan, korporasi, birokrasi, nonprofit, dan sebagainya)
dibatasi oleh lingkungan kelembagaan dan individu. Tanda panah tebal
menunjukkan efek primer dari skema dan tanda panah garis menunjukkan efek
sekundernya. Segala perubahan yang terjadi di lingkungan kelembagaan
diperlakukan sebagai parameter perubahan (perubahan yang menggeser biaya
perbandingan pasar, hybrids, dan hierarki. Asumsi perilaku dari biaya transaksi
(rasionalitas terbatas dan perilaku oportunitis) sebagai implikasi kedua 37.

33

Ibid, h.63-64
Ibid, h.60
35
Ibid, h. 64-65
36
Ibid., h.67-68.
37
Ibid, h.68
34

15
Lingkungan
kelembagaan
Perubahan
parameter

Strategi
Tata kelola

Atribut
pelaku

Preferensi
endogen
Individu

Gambar 2.2 Skema lapisan biaya transaksi 38
Pada pembangunan jalan, biaya-biaya transaksi yang ada dianggarkan ke
dalam anggaran pembangunan. Biaya transaksi tersebut seperti biaya administrasi
yang ada pada pembangunan jalan. Biaya administrasi terdiri dari biaya
pengumuman pengadaan, honoranium pejabat pelaksana, biaya survei lapangan/
pasar, biaya pengadaan dokumen, biaya pendapat ahli hukum kontrak, biaya uji
coba, dan sebagainya. Selain biaya administrasi, terdapat juga biaya pendukung
seperti biaya pemasangan, biaya pengangkutan, biaya pembebasan lahan, dan
biaya pelatihan 39.

Rent-Seeking
Rente merupakan proses seseorang atau kelompok untuk memperoleh
keuntungan melalui aktivitas ekonomi, seperti penyewaan (rent), penanaman
modal (profit), maupun menjual tenaga kerjanya (upah). Pada ekonomi klasik,
rente merupakan aktivitas yang wajar bahkan dapat dikatakan positif disebabkan
hal tersebut mampu meningkatkan kegiatan ekonomi secara simultan. Dengan
demikian, kegiatan pemburuan rente dapat dilakukan secara legal (sah) 40.
Teori rent-seeking awalnya dikemukakan oleh Krueger dan kemudian
dikembangkan oleh Bhagwati dan Srinivasan. Menurut Khan dan Jomo, kegiatan
mencari rente (rent-seeking) merupakan kegiatan untuk memperoleh pendapatan
di atas normal dalam pasar yang kompetitif. Definisi lain dikemukakan oleh Clark
bahwa kelompok-kelompok bisnis dan perseorangan mencari rente ekonomi
ketika mereka menggunakan kekuasaan pemerintah untuk menghambat
penawaran atau peningkatan permintaan sumber daya yang dimiliki. Prasad juga
mengemukakan bahwa rent-seeking merupakan proses individu memperoleh
38

Ibid,