Analisis Kebijakan Kenaikan Harga BBM Pada Masa Pemerintahan SBY-JK Periode 2004-2009

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN KENAIKAN HARGA

BBM PADA MASA PEMERINTAHAN SBY-JK

PERIODE 2004-2009

SKRIPSI

DIAJUKAN OLEH

STEVAN IVANA MANIHURUK

040903031

ILMU ADMINISTRASI NEGARA

GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Abstrak

“Analisis Kebijakan Kenaikan Harga BBM Pada Masa Pemerintahan SBY-JK Periode 2004-2009”

Nama : Stevan Ivana Manihuruk NIM : 040903031

Jurusan : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Pembimbing : Hatta Ridho, S.Sos, M.SP

Sejak dulu Indonesia dikenal sebagai salah satu Negara yang memiliki sumber daya minyak yang melimpah sehingga pernah mengalami masa “oil boom” yakni melimpahnya uang Negara karena kenaikan harga minyak mentah dunia. Namun pada perkembangannya, kondisi tersebut sudah sangat tidak relevan. Ketika terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia, pemerintah menjadi bingung karena subisidi BBM dalam APBN akan semakin membengkak dan terpaksa harus melakukan langkah-langkah mengurangi subsidi BBM. Langkah pengurangan subsidi tersebut berarti juga menaikkan harga eceran BBM dalam negeri.

Dalam penelitian ini dikaji deskripsi dan juga proses perumusan kebijakan kenaikan harga BBM pada masa pemerintahan SBY-JK yang sudah terjadi sebanyak tiga kali. Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan teknik pengumpulan data dokumentasi kemudian data dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif kualitatif dimana data-data yang sudah diperoleh kemudian diolah dan disusun secara sistematis sehingga diperoleh kesimpulan akhir penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukkan proses perumusan kebijakan kenaikan harga BBM yang sudah terjadi sebanyak tiga kali pada masa pemerintahan SBY-JK masih belum mencerminkan tahap-tahap perumusan kebijakan sebagaimana mestinya. Masih banyak catatan penting dalam proses perumusan kebijakan tersebut yang kurang diperhatikan dan pada akhirnya menimbulkan gejolak terhadap kebijakan yang sudah dimabil oleh pemerintah. Saran maupun masukan yang dikemukakan oleh para ahli dan juga anggota legislatif di parlemen cenderung kurang diperhatikan dan terkesan diabaikan oleh pemerintah.

Penulis juga memberikan catatan kritis berupa pentingnya perubahan paradigma kebijakan yang selama ini masih bersifat responsif, parsial dan juga jangka pendek menjadi bersifat antisipatif, komprehensif, dan juga jangka panjang. Selain itu, koordinasi antar lembaga legislatif dan eksekutif juga menjadi sorotan penting untuk diperhatikan pada masa mendatang.


(3)

KATA PENGANTAR

Segala hormat dan puji syukur bagi Tuhan, yang oleh karena berkat-Nya penulis diperkenankan untuk menulis dan menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “Analisis Kebijakan Kenaikan Harga BBM Pada Masa Pemerintahan SBY-JK Periode 2004-2009” yang mana hal ini telah mengakhiri setengah dasa warsa hidup penulis di almamater FISIP USU, tempat penulis bergumul dengan pencarian jati diri. Di samping sebagai salah satu syarat penyelesaian studi, skripsi ini penulis harapkan dapat berguna bagi masyarakat, aparat pemerintah, dan juga mahasiswa khususnya yang tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai analisis kebijakan public.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kelemahan dan kekurangan oleh karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis, namun dengan segala kerendahan hati perkenankanlah penulis mengajukan hasil penulisan ini.

Dengan hormat penulis mengucapkan terimakasih buat banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terkhusus kepada:

1. Bapak Prof. M. Arif Nasution selaku Dekan FISIP USU, semoga FISIP lebih maju di masa yang akan dating.

2. Bapak Hatta Ridho, S.Sos, M.SP selaku Dosen Pembimbing penulis.

3. Bapak Dr. Marlon Sihombing selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara.

4. Seluruh staf pengajar dan administrasi FISIP USU, terimakasih untuk ilmu dan bantuannya.


(4)

Akhirnya dengan penuh haru penulis haturkan terimakasih yang terdalam kepada kedua orangtua penulis Bapak M. Manihuruk dan Ibu R. Gultom yang dengan kasih tak terbatas telah memberi inspirasi arti cintakasih dan pengorbanan bagi penulis. Terimakasih juga buat Kakak Sondang Manihuruk, S.Pd dan Lae Sahat Pakpahan, S.Pd, juga kepada adik-adik tercinta Riana Manihuruk, Marthin Manihuruk dan Prengky Manihuruk.

Buat kawan-kawan UKM KMK FISIP USU; Koordinasi, PKK, AKK, Alumni yang tidak tersebutkan satu persatu, thanks untuk doa dan dukungannya. Selanjutnya, untuk rekan-rekan seperjuangan di KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial) Medan dimana penulis banyak belajar dan memperoleh pengalaman yang sangat berharga. Tetap semangat dalam berjuang Vor Veritas (Demi Kebenaran)

Buat KK Amazing Grace (K’Dili, Nofi, Junita, Ester) thanks untuk dukungan dan doa-doanya ya..Juga buat adek-adek KK Light of Sun (Joel dan Martha) semoga hidup kita benar-benar menjadi terang bagi kegelapan dunia ini.

Akhirnya terimakasih juga buat teman-teman di kampus khususnya jurusan Administrasi Negara yang tidak tersebutkan satu persatu, thanks untuk dukungannya.

Semoga skripsi ini berguna

Penulis


(5)

Daftar Isi

Kata pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Lampiran Abstrak

BAB I: PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH : 1

B. PERUMUSAN MASALAH : 8

C. TUJUAN PENELITIAN : 9

D. MANFAAT PENELITIAN : 9

E. KERANGKA TEORI

E.1. KEBIJAKAN PUBLIK : 10

E.2. ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK : 15

E.2.1. BENTUK-BENTUK ANALISIS KEBIJAKAN : 17 E.2.2. PROSEDUR ANALISIS KEBIJAKAN : 19 E.2.3. PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN : 20 E.2.4. TAHAP-TAHAP PERUMUSAN KEBIJAKAN : 23 E.2.5. AKTOR DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN : 25

F. DEFENISI KONSEP : 30

G. DEFENISI OPERASIONAL : 30


(6)

H.1. TEKNIK PENGUMPULAN DATA : 31

H.2. TEKNIK ANALISA DATA : 31

BAB II: LATAR BELAKANG KEBIJAKAN KENAIKAN HARGA BBM

A. PERPRES NO 22 TAHUN 2005 : 38

B. PERPRES NO 55 TAHUN 2005 : 39

C. PERATURAN MENTERI ESDM NO 16 TAHUN 2008 : 39

BAB III: DESKRIPSI DAN PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN

I. DESKRIPSI KEBIJAKAN : 42

II. PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN : 45

BAB IV: ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN

A. ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN : 57

B. TINJAUAN KRITIS : 63

BAB V : PENUTUP

A. KESIMPULAN : 65

DAFTAR PUSTAKA : 66


(7)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 : Realisasi Subsidi BBM dari tahun 2000-2008 2. Tabel 2 : Tiga pendekatan dalam Analisis Kebijakan

3. Tabel 3 : Jumlah produksi, konsumsi, ekspor, impor, minyak bumi Indonesia


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Undang–undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi 2. Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara 3. Undang-undang Nomor 36 tahun 2004 tentang APBN 2005 4. Undang-undang Nomor 45 tahun 2007 tentang APBN 2008

5. undang Nomor 16 tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 45 tahun 2007 tentang APBN 2008

6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri

7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri

8. Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2008 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Tanah, Bensin, dan Solar

9. Surat Pengajuan judul Skripsi 10.Berita acara Seminar Proposal


(9)

Abstrak

“Analisis Kebijakan Kenaikan Harga BBM Pada Masa Pemerintahan SBY-JK Periode 2004-2009”

Nama : Stevan Ivana Manihuruk NIM : 040903031

Jurusan : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Pembimbing : Hatta Ridho, S.Sos, M.SP

Sejak dulu Indonesia dikenal sebagai salah satu Negara yang memiliki sumber daya minyak yang melimpah sehingga pernah mengalami masa “oil boom” yakni melimpahnya uang Negara karena kenaikan harga minyak mentah dunia. Namun pada perkembangannya, kondisi tersebut sudah sangat tidak relevan. Ketika terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia, pemerintah menjadi bingung karena subisidi BBM dalam APBN akan semakin membengkak dan terpaksa harus melakukan langkah-langkah mengurangi subsidi BBM. Langkah pengurangan subsidi tersebut berarti juga menaikkan harga eceran BBM dalam negeri.

Dalam penelitian ini dikaji deskripsi dan juga proses perumusan kebijakan kenaikan harga BBM pada masa pemerintahan SBY-JK yang sudah terjadi sebanyak tiga kali. Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan teknik pengumpulan data dokumentasi kemudian data dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif kualitatif dimana data-data yang sudah diperoleh kemudian diolah dan disusun secara sistematis sehingga diperoleh kesimpulan akhir penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukkan proses perumusan kebijakan kenaikan harga BBM yang sudah terjadi sebanyak tiga kali pada masa pemerintahan SBY-JK masih belum mencerminkan tahap-tahap perumusan kebijakan sebagaimana mestinya. Masih banyak catatan penting dalam proses perumusan kebijakan tersebut yang kurang diperhatikan dan pada akhirnya menimbulkan gejolak terhadap kebijakan yang sudah dimabil oleh pemerintah. Saran maupun masukan yang dikemukakan oleh para ahli dan juga anggota legislatif di parlemen cenderung kurang diperhatikan dan terkesan diabaikan oleh pemerintah.

Penulis juga memberikan catatan kritis berupa pentingnya perubahan paradigma kebijakan yang selama ini masih bersifat responsif, parsial dan juga jangka pendek menjadi bersifat antisipatif, komprehensif, dan juga jangka panjang. Selain itu, koordinasi antar lembaga legislatif dan eksekutif juga menjadi sorotan penting untuk diperhatikan pada masa mendatang.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya alam melimpah. Kekayaan alamnya membentang dari ujung pulau sumatera hingga pulau papua yang meliputi sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan juga yang tidak dapat diperbaharui. Para pendiri bangsa (founding fathers) ketika merumuskan konstitusi negara (UUD 1945) menyadari betul potensi kekayaan alam Indonesia. Oleh karena itu, dalam konstitusi secara khusus pasal 33 UUD 1945 ayat 3 dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Artinya, kekayaan sumber daya alam yang dimiliki negara ini harus benar-benar dikelola negara dengan sebaik-baiknya agar dapat dinikmati oleh segenap masyarakat dan bukan hanya oleh segelintir orang.

Salah satu kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah adalah minyak bumi. Sejak dulu, Indonesia sudah dikenal sebagai salah satu penghasil minyak terbesar di dunia. 1

1Awalil Rizky. 2008. Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta. E Publishing Company. Hal 167

Sejarah juga mencatat Indonesia sebagai negara yang kandungan minyaknya paling awal dieksploitasi secara komersial (sejak tahun 1885), bahkan lebih dahulu dari kebanyakan negara di Timur Tengah. Indonesia juga menjadi saksi sejarah perkembangan awal Royal Dutch (Shell), perusahaan yang kemudian tumbuh menjadi raksasa minyak di dunia. Wilayah Indonesia adalah sumber awal surplus ekonomi yang membuat perusahaan tersebut


(11)

berkembang secara pesat di penghujung abad ke 19. Pada tahun 1974-1982, Indonesia sendiri pernah mengenal istilah periode ”oil boom” yaitu periode melimpahnya uang negara sebagai akibat naiknya harga minyak dan gas di pasar internasional.

Sangat disayangkan karena kondisi saat ini sangat bertolakbelakang dengan yang terjadi pada masa dulu. Sekarang, ketika terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia justru dianggap membawa musibah bagi negeri ini. Pemerintah menjadi kebingungan ketika harga minyak mentah dunia terus mengalami kenaikan. 2

Pada tanggal 24 Mei 2008 dini hari, pemerintah secara resmi kembali mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga penjualan BBM bersubsidi kepada masyarakat sebesar 28,7%.

Akhirnya, salah satu langkah yang terpaksa ditempuh oleh pemerintah adalah menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi kepada masyarakat. Secara khusus, pada masa pemerintahan SBY-JK sudah dilakukan tiga kali kebijakan menaikkan harga BBM sejak awal periode pemerintahannya tahun 2004-2009.

3

2 Istilah subisidi sendiri masih banyak yang meragukan. Setidaknya, mereka keberatan dengan opini publik yang dikembangkan, pemerintah seolah-olah mengeluarkan sejumlah dana untuk itu. Kejadian yang sebenarnya, perhitungan subsidi adalah ”di atas kertas” atau disebut dengan subsidi ekonomi. Awalil Rizky. 2008. Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta. E Publishing Company. hal 187

3 Artikel Harga BBM mencari Hari Baik Mengumumkan, Kompas 23 Mei 2008

Kebijakan ini merupakan yang ketiga kalinya pada pemerintahan SBY-JK setelah pada tanggal 28 Februari 2005 sebesar 29% dan juga tanggal 1 Oktober 2005 sebesar 128%. Adapun yang menjadi alasan pemerintah mengambil kebijakan tersebut adalah karena harga minyak mentah dunia yang semakin melonjak tinggi dan bahkan sudah melebihi 100 Dollar per barrel. Harga minyak dunia yang demikian tinggi kemudian membuat pemerintah


(12)

merasa kuatir dan tidak sanggup untuk menanggung beban subsidi terutama BBM yang jauh dari asumsi yang dicantumkan dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). 4

Tahun

Adapun besarnya alokasi dana yang diberikan pemerintah untuk subsidi BBM dalam realisasi APBN dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut :

2000 2001 2002 2003 2004 2005 (P) 2006 2007 2008 (P) Subidi BBM (Rp triliun) 53,8 68,4 31,2 30,0 69,0 95,7 85,1 83,8 126,8

5

Alasan lain yang diberikan oleh pemerintah adalah bahwa saat ini subsidi BBM justru mayoritas dinikmati oleh golongan orang kaya sehingga dianggap sudah salah sasaran. Resistensi masyarakat kemudian bermunculan sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan kenaikan harga BBM yang diambil pemerintah. Gelombang unjuk rasa yang dimotori oleh mahasiswa, kaum buruh, dan masyarakat akhirnya terjadi hampir di seluruh penjuru tanah air.

6

4 Awalil Rizky. 2008. Neoliberalisme mencengkeram Indonesia. Jakarta. E Publishing Company. hal 184

5 Pendapat ini pun segera mendapat sanggahan keras dari berbagai pihak. Pemerintah dianggap keliru karena lupa bahwa subsidi BBM justru ibarat oli dalam mesin pertumbuhan ekonomi terutama usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang tentunya sangat banyak melibatkan kehidupan masyarakat ekonomi lemah. Opini Ilyani S Andang, APBN untuk Siapa? Kompas 23 Mei 2008. Lebih sederhana, Kwik Kian Gie menyatakan bahwa pemerintah lupa subsidi BBM juga sangat dibutuhkan oleh orang miskin seperti supir bis, metromini, nelayan, dan juga

penumpang angkot. Kwik menambahkan, jumlah pemilik mobil mewah di Indonesia hanya sekitar 10 juta atau < 5% jumlah penduduk Indonesia.

6 Artikel Kenaikan Harga BBM, Presiden Menunggu Apa dan Siapa? Kompas 30 Mei 2008

Dalam hal antisipasi reaksi yang berlebihan dari masyarakat dalam menyikapi kebijakan kenaikan harga BBM yang diambil, pemerintah dinilai cukup cerdik dalam memilih waktu yang tepat untuk mengumumkan secara resmi kebijakan tersebut. Kenaikan yang pertama sebesar 29 % dilakukan pada hari kerja, senin malam 28 Februari 2005. Namun, kenaikan harga baru berlaku Selasa, 1 Maret 2005 pukul 00.00 WIB. Secara kebetulan, kenaikan harga BBM pada 1


(13)

Maret itu bertepatan pada peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949 ke Yogyakarta yang waktu itu tengah diduduki Belanda. Karena itu, kenaikan harga BBM tersebut diplesetkan sebagai serangan harga kepada rakyat. Kenaikan harga BBM yang kedua diumumkan pemerintahan SBY-JK pada jumat malam, 30 September 2005. Namun efektifnya berlaku pada hari kesaktian Pancasila atau tepatnya sabtu 1 Oktober 2005. Selanjutnya pemerintah dinilai tidak peduli dengan peringatan hari Kesaktian Pancasila yang jatuh pada hari tersebut. Pancasila yang suci dinodai dengan kenaikan harga BBM yang rata-rata sebesar 120% lebih. Pakar Ekonomi Faisal Basri menilai, kenaikan harga BBM hingga 100% lebih sebenarnya sudah melampaui batas kemampuan masyarakat yang hanya mampu menanggung kenaikan 50%. Lebih lanjut, dia berpendapat kenaikan harga BBM ini sangat berbahaya dan akan berdampak panjang bagi masyarakat apalagi saat itu menjelang puasa dan hari lebaran. Namun, justru disinilah letak kecerdikan pemerintah dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengumumkan kebijakan tersebut. Momentum bulan puasa yang dimulai 5 Oktober 2005 diyakini akan membuat masyarakat yang sedang berpuasa dan mengendalikan diri untuk tidak marah tidak akan melakukan aksi yang berlebihan dengan turun ke jalan. Alasan kedua, penggunaan BBM akan lebih minim karena masyarakat hanya memasak menjelang sahur dan buka. Tidak seperti hari biasa yang memasak tiga kali.

Reaksi penolakan terhadap kenaikan harga BBM dirasakan lebih hebat pada saat pemerintah menaikkan kebijakan yang serupa untuk ketiga kalinya. Jika kenaikan harga BBM pertama direspon masyarakat dengan melakukan aksi protes selama seminggu, dan pada saat kenaikan yang kedua yang melebihi 100% aksi


(14)

protes hanya berlangsung sekitar dua minggu, kenaikan yang ketiga sebesar 28,7% menimbulkan reaksi yang lebih hebat. Masyarakat seolah sudah kehilangan kesabaran dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap sama sekali tidak pro rakyat. Akhirnya aksi demonstrasi sebagai wujud reaksi penolakan masyarakat terhadap kebijakan kenaikan harga BBM tersebut bermunculan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tidak jarang aksi demonstrasi yang dilakukan justru berakhir bentrok dengan aparat keamanan. Peristiwa yang sangat tragis adalah wafatnya Maftuh Fauzi salah seorang massa demonstran yang juga adalah mahasiswa UNAS (Universitas Nasional).

Peran anggota legislatif sebagai wakil rakyat di parlemen juga mendapat sorotan yang sangat tajam. 7

Reaksi masyarakat yang melakukan penolakan kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga BBM sebenarnya sangat beralasan dan masuk akal. Berdasarkan pengalaman, kenaikan harga BBM biasanya akan diikuti dengan kenaikan harga bahan pokok kebutuhan masyarakat. Ini terjadi karena BBM Mereka dianggap mengabaikan kepentingan rakyat yang seharusnya diperjuangkan dan hanya mementingkan dirinya sendiri. DPR (Legislatif) sebagai wakil rakyat dianggap tidak respon terhadap masalah yang sedang dihadapi rakyat karena menyetujui rencana kenaikan harga BBM tersebut. Selain itu, lembaga legislatif juga dianggap sebagai lembaga yang sangat lamban dan korup. Hal ini didukung fakta banyaknya anggota legislatif yang harus berurusan dengan pihak berwenang karena diduga melakukan tindakan penyelewengan yaitu korupsi.

7

Ketika pemerintah baru menaikkan harga BBM sebanyak dua kali pada tahun 2005 yaitu 29% dan 128%, tidak lama setelah itu yaitu tahun 2006, DPR mengajukan kenaikan gaji yang tidak tanggung-tanggung yakni sebesar 40-60%. Sehingga, total penambahan gaji anggota DPR pada masa itu mencapai Rp. 200 miliar. Kenaikan gaji tersebut dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat dan sangat melukai nurani keadilan


(15)

terkait hampir ke semua sektor produksi, sehingga mempengaruhi struktur biaya produsen. Jika biaya produksi naik, maka harga produknya pun pasti dinaikkan. Hal ini lah yang akan sangat memberatkan masyarakat. Rendahnya tingkat pendapatan yang dimiliki oleh masyarakat jika ditambah lagi dengan tingginya biaya hidup, maka akan membuat hidup mereka semakin menderita. Program BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang diajukan oleh pemerintah sebagai dana kompensasi bagi masyarakat miskin juga dirasakan sangat tidak mencukupi memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Dana sebesar Rp100 ribu per bulan masih sangat terlalu kecil jika dibandingkan harga kebutuhan pokok yang sudah melambung tinggi. Hal ini ditambah lagi dengan resiko pendistribusian dana yang tidak merata karena data yang dipakai pemerintah untuk menetapkan penduduk yang berhak mendapatkan dana bantuan itu mengacu pada data BPS (Badan Pusat Statistik) yang terkadang tidak lagi relevan dengan kondisi riil yang ada. 8Para pengamat ekonomi juga sudah memprediksi angka masyarakat miskin akan semakin bertambah pasca kenaikan harga BBM. Jika sebelum kenaikan BBM yang ketiga kali nya jumlah penduduk miskin sekitar 36,6 juta jiwa (16,85), diprediksi angka tersebut akan melonjak tajam hingga mencapai 52 juta jiwa (25,4%) pasca kenaikan harga BBM. Jumlah pengangguran pun diprediksi akan jauh bertambah yaitu sebesar 18,61 juta jiwa (sehingga total penganggur terbuka mencapai 29,61juta lebih). Sementara harga barang juga akan mengalami kenaikan sekitar 26,94 %.

9

8 Opini Harga BBM, Buah Si Malakama oleh Ivan A Hadar, Kompas 24 Mei 2008 9

Opini Harga BBM dan Langkah ke Depan oleh Kurtubi, Kompas 26 Mei 2008

Dampak kenaikan harga minyak mentah dunia sebenarnya bisa menjadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia yang notabene adalah negara yang memiliki


(16)

potensi sumber daya minyak yang luar biasa. Namun yang menjadi masalah ketika harga minyak dunia meningkat, justru produksi minyak (lifting) nasional dilaporkan merosot tajam jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Produksi minyak nasional relatif sangat rendah (924.000 barrel) per hari dibandingkan kebutuhan minyak mentah untuk konsumsi dalam negeri sekitar 1,4 juta barrel per hari. Artinya, untuk menutupi defisit produksi minyak untuk konsumsi dalam negeri, Indonesia bahkan harus melakukan impor dari negara lain. Indonesia pada akhirnya harus dikeluarkan dari organisasi OPEC karena sudah tidak mampu lagi untuk melakukan ekspor minyak tetapi justru sudah melakukan impor. Masalah kedua adalah gagalnya langkah antisipatif yang dicanangkan pemerintah dalam menghadapi kenaikan harga minyak dunia. Sebut saja program konversi minyak tanah ke LPG, konversi premium ke bahan bakar gas untuk sektor pengangkutan, konversi BBM ke batubara di sektor industri, pengembangan biofuel (BBN) berbasis non pangan serta optimalisasi pemanfaatan energi panas bumi. 10

10

Opini Andaikan Harga BBM (Tak) Naik oleh Imam Sugema, Kompas 12 Mei 2008

Menurut pengamat, krisis BBM yang melanda Indonesia seharusnya membuat negeri ini untuk segera menoleh kepada sumber energi non konvensional, baik dalam lingkup perorangan, industri, maupun nasional. Hal ini dikarenakan negeri ini sebenarnya amat diberkati oleh sinar matahari, angin, geotermal, dan ombak pantai berlimpah. Masalah ketiga adalah program atau anjuran pemerintah untuk melakukan langkah penghematan yang tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Meskipun pemerintah dengan gencar melakukan himbauan dan ajakan untuk melakukan penghematan melalui iklan-iklan di media massa,


(17)

langkah ini dinilai kurang produktif dan hanya dapat dijadikan program jangka panjang dan berkelanjutan.

Selain ketiga masalah tersebut, pengelolaan sumber daya minyak nasional pun banyak menuai pertanyaan sekaligus kritikan. Sebagaimana diketahui, saat ini pengelolaan sumber daya minyak secara mayoritas justru banyak dikelola oleh perusahaan asing misalnya Exxon, Shell, BP, Chevron, dan perusahaan asing lainnya melalui kontrak bagi hasil dengan pemerintah Indonesia. 11

11 Sistem kontrak bagi hasil dianggap tidak adil karena baru akan berlaku setelah dipotong cost

recovery yang besarnya justru ditetapkan oleh perusahaan asing. Artinya, jika tidak ada sisa

setelah pemotongan cost recovery maka Indonesia tidak akan mendapat apa-apa. Kompas 13 Oktober 2006 mencatat, di blok natuna setelah dipotong cost recovery, Indonesia mendapat 0 dan Exxon memperoleh 100%. Berdasarkan temuan yang ada, cost recovery tersebut sangat rentan dengan tindakan korupsi.

Namun, sistem kontrak bagi hasil yang dilakukan dianggap tidak adil karena hanya memberi sedikit keuntungan bagi pemerintah sementara perusahaan asing tersebut justru memperoleh keuntungan yang sangat besar. Hal lain yang juga mendapat sorotan adalah kinerja PT Pertamina yang dinilai tidak menjalankan tugas dengan baik. Alih-alih menjalankan tugas dengan baik, PT Pertamina justru dianggap sebagai ”lahan subur” terjadinya tindakan korupsi yang bernilai hingga triliunan rupiah.

Dengan sedikit deskripsi di awal, penulis merasa tertarik untuk mengangkatnya dalam sebuah penelitian yang berjudul: Analisis Kebijakan

Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada masa Pemerintahan

SBY-JK periode 2004-2009.


(18)

12

1. Untuk memberikan deskripsi dan proses perumusan kebijakan kenaikan harga BBM pada masa pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009.

Arikunto menyatakan bahwa dalam suatu penelitian, agar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka peneliti haruslah merumuskan masalah dengan jelas. Perumusan masalah juga diperlukan untuk mempermudah menginterpretasikan data dan fakta yang diperlukan dalam suatu penelitian.

Adapun yang menjadi perumusan masalah pada penelitian ini berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di awal adalah: Bagaimana proses perumusan kebijakan kenaikan harga BBM pada masa pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009.

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

2. Menganalisa proses perumusan kebijakan kenaikan harga BBM tersebut.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara Subyektif. Sebagai suatu sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah, sistematis dan metodologis penulis dalam menyusun berbagai kajian literatur untuk menjadikan suatu wacana baru dalam memperkaya khazanah kognitif.

12

Suharsimi Arikunto. 1996. Prosedur penelitian ; suatu pendekatan praktek edisi ke 3. Jakarta. Rineka Cipta. Hal.19


(19)

2. Secara Akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak bagi kepustakaan jurusan ilmu administrasi negara dan bagi kalangan penulis lainnya yang tertarik untuk mengeksplorasi kembali kajian tentang analisis kebijakan pemerintah khususnya terkait kebijakan harga BBM.

E. Kerangka Teori

E.1. Kebijakan Publik

Banyak defenisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan. 13

Kebijakan publik membahas soal bagaimana isu-isu dan persoalan disusun (constructed) dan didefinisikan dan bagaimana kesemuanya itu diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik. Atau, seperti yang diungkapkan oleh Dye, Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do). Sementara itu, istilah publik dalam rangkaian kata public policy mengandung tiga konotasi: pemerintah, masyarakat, dan umum. Ini dapat dilihat dalam dimensi subyek, obyek, dan lingkungan dari kebijakan. Dalam dimensi subyek, kebijakan publik adalah kebijakan dari pemerintah. Maka itu salah satu ciri kebijakan adalah ”what government do or not do”. Kebijakan dari pemerintah lah yang dapat dianggap kebijakan yang resmi dan dengan demikian mempunyai kewenangan yang dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Dalam dimensi lingkungan yang dikenai kebijakan, penegertian publik di sini adalah masyarakat.

13


(20)

kebijakan publik adalah studi tentang apa yang dilakukan pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut. Ide kebijakan publik mengandung anggapan bahwa ada suatu ruang atau domain dalam kehidupan yang bukan privat atau murni milik individual, tetapi milik bersama atau milik umum. Publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang

dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah maupun atau aturan sosial atau setidaknya oleh tindakan bersama.

14

1. Public policy is purposive, goal-oriented behavior rather than random or chance behavior. Setiap kebijakan mesti ada tujuannya. Artinya, pembuatan suatu kebijakan tidak boleh sekedar asal buat atau karena kebetulan ada kesempatan membuatnya. Bila tidak ada tujuan, tidak perlu ada tujuan.

James Anderson mengemukakan beberapa ciri dari kebijakan, seperti berikut :

2. Public policy consists of courses of action rather than separate, discrete decision or actions performed by government officials. Maksudnya, suatu kebijakan tidak berdiri sendiri, terpisah dari kebijakan lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam masyarakat, dan berorientasi pada pelaksanaan, interpretasi dan penegakan hukum.

3. Policy is what government do not what they say will do or what they

intend to do. Kebijakan adalah apa yang dilakukan pemerintah, bukan apa yang ingin atau diniatkan akan dilakukan pemerintah.

14


(21)

4. Public policy may be either negative or positive. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau melarang dan juga dapat berupa pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan.

5. Public policy is based on law and is authoritative. Kebijakan didasarkan pada hukum, karena itu memiliki kewenangan untuk memaksa masyarakat untuk mematuhinya.

Sebagai sebuah sistem yang terdiri dari sub-sistem atau elemen, komposisi dari kebijakan dapat dilihat dari dua perspektif : dari proses kebijakan dan dari struktur kebijakan. Dari sisi proses kebijakan, ada beberapa tahapan diantaranya: identifikasi masalah dan tujuan, formulasi kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan. Sementara jika dilihat dari segi struktur, terdapat lima unsur kebijakan. Unsur pertama, tujuan kebijakan. Seperti penjelasan sebelumnya, suatu kebijakan dibuat karena ada tujuan yang ingin dicapai. Tanpa ada tujuan, tidak perlu ada kebijakan. Kebijakan yang baik mempunyai tujuan yang baik. Tujuan yang baik sekurang-kurangnya memenuhi empat kriteria yaitu; diinginkan untuk dicapai, rasional atau realistis, jelas, dan berorientasi ke depan. Unsur kedua, masalah. Masalah merupakan unsur yang sangat penting dalam kebijakan. Kesalahan dalam menentukan masalah secara tepat dapat menimbulkan kegagalan total dalam seluruh proses kebijakan. Dengan kata lain, jika suatu masalah telah dapat diidentifikasikan secara tepat berarti sebagian pekerjaan dapat dianggap sudah dikuasai. Unsur ketiga, tuntutan. Tuntutan muncul antara lain karena salah satu dari dua sebab : Pertama, karena terabaikannya kepentingan suatu golongan dalam proses perumusan kebijakan, sehingga kebijakan yang dibuat pemerintah


(22)

dirasakan tidak memenuhi atau merugikan kepentingan mereka. Kedua, karena munculnya kebutuhan baru setelah suatu tujuan tercapai atau suatu masalah terpecahkan. Unsur keempat, dampak. Dampak merupakan tujuan lanjutan yang timbul sebagai pengaruh dari tercapainya suatu tujuan. Seberapa besar dampak yang terjadi untuk tiap jenis kebijakan sulit diperhitungkan karena : tidak tersedianya informasi yang cukup, dalam bidang sosial pengaruh dari satu kebijakan sulit dipisahkan dari pengaruh kebijakan lain, proses berjalannya pengaruh dari sesuatu kebijakan di bidang sosial sulit untuk diamati. Unsur kelima, sarana atau alat kebijakan. Suatu kebijakan dilaksanakan dengan menggunakan sarana yang dimaksud. Beberapa dari sarana ini antara lain : kekuasaan, insentif, pengembangan kemampuan, simbolis, dan perubahan kebijakan itu sendiri.

Kebijakan sebagai Proses

Salah satu model kebijakan yang terkenal adalah model proses yang banyak dibahas oleh Charles O Jones. Proses yang ditawarkan bukan berarti tahap yang harus dilalui pada setiap sistem, tetapi dimungkinkan untuk saling mendahului.

15

1. Persepsi dan Defenisi. Tahap ini merupakan tahap kegiatan fungsional yang dianggap sebagai problem dalam pemerintahan, atau sejauhmana suatu isu dianggap sebagai problem. Atau dengan kata lain, apabila terjadi Adapun proses yang dimaksud adalah sebagai berikut:


(23)

sesuatu, seseorang membuat persepsi dari sudut tertentu dan mendefenisikannya sebagai suatu permasalahan.

2. Agregasi dan Organisasi. Agregasi didefenisikan sebagai sekumpulan orang yang terkena sesuatu yang terjadi dalam masyarakat. Agregasi menjadi penting apabila terorganisir dengan baik dalam masyarakat.

3. Representasi. Representasi merupakan salah satu konsep demokrasi yang paling fundamental. Idealnya, representasi berarti perwakilan atas kepentingan orang banyak dan diwakili oleh sang wakil yang harus bersikap netral dari kepentingan pribadinya. Dalam kenyataan, hal ini sangat sulit terjadi.

4. Penyusunan agenda. Agenda disusun atas dasar persepsi, agregasi, defenisi, dan representasi mengenai isu yang tersusun dengan produk potensial prioritas-prioritas. Sesuatu isu dapat masuk menjadi agenda karena banyak dipengaruhi oleh akses dan kontak-kontak politis.

5. Formulasi. Tahap ini merupakan serangkaian aktivitas kebijakan yang bukan sekedar membuat perencanaan, tetapi juga menentukan apa yang harus dilakukan dalam mengatasi masalah umum. Formulasi masalah-masalah yang ada dalam masyarakat untuk dipecahkan, disajikan dalam bentuk usulan atau proposal.

6. Legitimasi. Legitimasi didefinisikan sebagai memberi kekuatan hukum, wewenang, atau penilaian terhadap sesuatu. Lolosnya sebuah formulasi ditandai dengan pemberian legitimasi. Kegiatan legitimasi pada proses kebijakan mencakup persetujuan tatacara (pengesahan), dan pengesahan itu sendiri untuk menghasilkan suatu keputusan atau program. Secara


(24)

umum yang terlibat dalam proses legitimasi adalah badan legislatif, yang dirancang mewakili kepentingan masyarakat, namun hal itu tergantung pada konstitusi negara tersebut. Dalam konstitusi negara Indonesia yakni dalam UUD 1945, terdapat dua lembaga tinggi negara yang diatur secara eksplisit terlibat dalam legitimasi yaitu:

7. Penganggaran. Secara sederhana penganggaran merupakan rencana pemasukan dan pengeluaran dalam proses kebijakan yang bukan merupakan tahap yang berdiri sendiri.

8. Implementasi. Euguene Bardach menyebutkan bahwa implementasi merupakan hal yang paling sulit dilaksanakan dalam bentuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap sebagai pendukung (klien), lebih sulit dari membuat dan memformulasikan sebuah permasalahan.

9. Evaluasi. Kegiatan ini mencakup spesifikasi, pengukuran, analisis dan rekomendasi. Spesifikasi mengidentifikasi tujuan-tujuan serta kriteria yang harus dievaluasi. Pengukuran merupakan pengumpulan informasi yang relevan menyangkut kualitas dan kuantitas. Analisis adalah penyerapan dan penggunaan informasi yang dikumpulkan guna mengambil keputusan. Rekomendasi adalah penentuan mengenai apa yang dilakukan selanjutnya ke depan. Evaluasi dilakukan oleh badan-badan pemerintah, badan pengawasan dan elemen masyarakat.


(25)

16

Analisis Kebijakan (policy analysis) merupakan suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif, dan preskriptif. 17

16

William N Dunn. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Hal 44

17Ibid, hal 97

Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan : Pertama, nilai yang pencapaiannya merupakan tolak ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi. Kedua,

fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian

nilai. Ketiga, tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai. Di dalam menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan tersebut, seorang analis dapat memakai satu atau lebih dari tiga pendekatan analisis yaitu : empiris, valuatif, dan normatif. Pendekatan empiris ditekankan terutama pada penjelasan berbagai sebab dan akibat dari suatu kebijakan publik tertentu. Dalam hal ini, informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif. Sementara itu, pendekatan valuatif ditekankan pada penentuan bobot atau nilai beberapa kebijakan. Adapun tipe informasi yang dihasilkan pada pendekatan ini adalah bersifat valuatif. Pendekatan normatif ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah publik, sehingga tipe informasi yang dihasilkan bersifat preskriptif


(26)

PENDEKATAN PERTANYAAN UTAMA TIPE INFORMASI

EMPIRIS Adakah dan akankah ada (fakta) Deskriptif dan prediktif

VALUATIF Apa manfaatnya (nilai) Valuatif

NORMATIF Apakah yang harus diperbuat (aksi) Preskriptif

E.2.1. 18

1. Analis yang berorientasi pada disiplin (discipline oriented analysts). Kelompok ini sebagian besar terdiri dari para ilmuwan politik dan sosiologi yang terutama berusaha untuk mengembangkan dan menguji

Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan

Analisis Kebijakan Prospektif

Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan cenderung mencirii cara beroperasinya para ekonom, analis sistem, dan peneliti operasi. Analisis prospektif acapkali menimbulkan jurang pemisah yang besar antara pemecahan masalah yang diunggulkan dan upaya-upaya pemerintah untuk memecahkannya.

Analisis Kebijakan Retrospektif

Analisis kebijakan retrospektif dalam banyak hal sesuai dengan deskripsi penelitian kebijakan yang dikemukakan sebelumnya. Analisis kebijakan rertrospektif dijelaskan sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan, mencakup berbagai tipe kegiatan yang dikembangkan oleh tiga kelompok analis :

18 William N Dunn. 2000. Pengantar Analisa Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press hal


(27)

teori yang didasarkan pada teori dan menerangkan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan. Kelompok ini jarang berusaha untuk mengidentifikasikan tujuan-tujuan dan sasaran spesifik dari para pembuat kebijakan dan tidak melakukan usaha apapun untuk membedakan variabel kebijakan yang merupakan hal dapat diubah melalui manipulasi kebijakan, dan variabel situasional yang tidak dapat dimanipulasi.

2. Analis yang bersorientasi pada masalah (problem oriented analysts). Kelompok ini juga sebagian besar terdiri dari para ilmuwan ilmu politik dan sosiologi yang berusaha untuk menerangkan sebab-sebab dan konsekuensi dari kebijakan. Walaupun demikian, para analis yang berorientasi pada masalah ini kurang menaruh perhatian pada pengembangan dan pengujian teori-teori yang dianggap penting di dalam disiplin ilmu sosial, tetapi lebih menaruh perhatian pada identifikasi variabel-variabel yang dapat dimanipulasi oleh para pembuat kebijakan untuk mengatasi masalah.

3. Analis yang berorientasi pada aplikasi (applications oriented analysts). Kelompok analis yang ketiga ini mencakup ilmuwan politik dan sosiologi, tetapi juga orang-orang yang datang dari bidang studi profesional pekerjaan sosial dan administrasi publik dan bidang studi yang sejenis seperti penelitian evaluasi. Kelompok ini juga berusaha untuk menerangkan sebab dan konsekuensi kebijakan-kebijakan dan program publik, tetapi tidak menaruh perhatian terhadap pengembangan dan pengujian teori-teori dasar. Lebih jauh, kelompok ini tidak hanya menaruh perhatian pada variabel-variabel kebijakan, tetapi juga melakukan


(28)

identifikasi tujuan dan sasaran kebijakan dari para pembuat kebijakan dan pelaku kebijakan.

Analisis Kebijakan Yang Terintegrasi

Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk mengaitkan tahap penyelidikan retrosektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus-menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat. Analis yang terintegrasi dengan begitu bersifat terus-menerus, berulang-ulang, tanpa ujung, paling tidak dalam prinsipnya. Analisis dapat memulai penciptaan dan transformasi informasi pada setiap titik dari lingkaran analisis, baik sebelum dan sesudah aksi. Analisis kebijakan yang terintegrasi mempunyai semua kelebihan yang dimiliki metodologi analisis prospektif dan retrospektif, tetapi tidak satupun dari kelebihan mereka. Analisis yang terintegrasi melakukan pemantauan dan evaluasi kebijakan secara terus menerus sepanjang waktu. Tidak demikian halnya dengan analisis prospektif dan retrospektif yang menyediakan lebih sedikit informasi.

E.2.2.Prosedur Analisis Kebijakan

Dalam menggunakan analisis kebijakan sebagai proses pengkajian (inquiry), maka perlu dibedakan antara metodologi, metode, dan teknik.


(29)

Metodologi analisis kebijakan menggabungkan standar, aturan, dan prosedur. Prosedur merupakan subordinat dari standar plausabilitas dan relevansi kebijakan, sehingga peranan prosedur adalah untuk menghasilkan informasi mengenai masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan. Prosedur sendiri tidak menghasilkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia: defenisi, prediksi, preskripsi, deskripsi, dan evaluasi. Dalam analisis kebijakan, prosedur-prosedur tersebut memiliki nama khusus. Perumusan masalah (defenisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu. Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah. Pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. Evaluasi, yang mempunyai nama yang sama dengan yang dipakai dalam bahasa sehari-hari, menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah. Kelima prosedur analisis kebijakan tersebut berguna sebagai alat untuk menggambarkan keterkaitan antara metode-metode dan teknik-teknik analisis kebijakan.


(30)

Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politik tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Proses pembuatan kebijakan publik melibatkan aktivitas pembuatan keputusan yang cenderung mempunyai percabangan yang luas, mempunyai perspektif jangka panjang, dan penggunaan sumber daya kritis untuk meraih kesempatan yang diterima dalam kondisi lingkungan yang berubah. 19

Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif termasuk tidak melakukan sesuatu. Hal ini dilakukan Pembuatan kebijakan merupakan proses sosial yang dinamis dengan proses intelektual yang lekat di dalamnya.

Perumusan Masalah

Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari defenisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda (agenda setting). Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.

Peramalan

19 Hal ini berarti bahwa proses pembuatan kebijakan merupakan suatu proses yang melibatkan proses-proses sosial dan proses-proses intelektual. Budi Winarno. 2002.Teori dan Proses


(31)

dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat menguji masa depan yang plausibel, potensial, dan secara normatif bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik dari berbagai pilihan.

Rekomendasi

Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakapstian, mengenali eksternalitas dan akibat ganda, menentukan kriteria dalam pembuatan pilihan, dan menentukan pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan.

Pemantauan

Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan. Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggungjawab pada setiap tahap kebijakan

Evaluasi

Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang


(32)

benar-benar dihasilkan. Jadi, ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan ; tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah.

E.2.4.20

20 Ibid hal 82-84

Tahap-tahap Perumusan Kebijakan Publik

Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa pembuatan kebijakan dan perumusan kebijakan sekilas merupakan konsep yang mirip namun sebenarnya merupakan konsep yang sama sekali berbeda walaupun antara keduanya tidak dapat dipisahkan secara tegas. Menurut Anderson, perumusan kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa saja yang berpartisipasi. Ia merupakan proses yang secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khusus. Sedangkan pembentukan kebijakan lebih merujuk pada aspek-aspek misalnya, bagaimana masalah-masalah publik menjadi perhatian para pembuat kebijakan, bagaimana proposal kebijakan dirumuskan untuk masalah-masalah khusus dan bagaimana proposal tersebut dipilih di antara berbagai alternatif yang ada. Berikut akan dijelaskan tahap-tahap dalam perumusan kebijakan.


(33)

Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefenisikan dengan baik pula. 21

Isu

Perumusan masalah kebijakan akan menentukan kebijakan yang akan diambil. Misalnya dapat digambarkan dalam contoh berikut;

Problem Kebijakan

(orang tidur di jalanan) (tunawisma) (perumahan lebih banyak)

Bisa saja kita sepakat dengan isu yang ada tersebut, namun perbedaan dalam memandang permasalahan akan mempengaruhi juga kebijakan yang akan diambil. Jika kita melihat orang tidur di jalanan sebagai sebuah problem gelandangan, maka respon kebijakannya mungkin dibungkus dalam term penegakan hukum dan ketertiban. Sebuah problem harus didefinisikan, didefinisikan, diletakkan dalam batas-batas tertentu dan diberi nama.

2. Tahap kedua : Agenda kebijakan

Agenda kebijakan tidak lain daripada sebuah daftar permasalahan atau isu yang mendapat perhatian serius karena berbagai sebab untuk ditindaklanjuti atau diproses pihak yang berwenang menjadi kebijakan. Tidak semua masalah publik akan masuk dalam agenda kebijakan. 22

21 Wayne Parsons. 2005. Public Policy. Jakarta. Prenada Media. Hal 89

22 Said Zainal Abidin.2002. Kebijakan Publik Edisi Revisi. Jakarta.Yayasan Pancur Siwah.Hal 127

Jika proses perumusan masalah dapat dilakukan melalui langkah-langkah tertentu dan dengan menggunakan kriteria yang jelas dan rasional, proses masuknya isu ke dalam agenda kebijakan tidak sepenuhnya dapat dilakukan secara rasional. Proses ini cenderung lebih bersifat


(34)

politis daripada rasional. Suatu masalah untuk dapat masuk dalam agenda kebijakan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti misalnya apakah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat.

3. Tahap ketiga : Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah

Setelah masalah-masalah publik didefenisikan dengan baik dan para perumus kebijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut dalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Di sini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan yang dapat diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ini perumus kebijakan akan berhadapan pada pertarungan kepentingan antarberbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan.

4. Tahap keempat : Tahap penetapan kebijakan

Tahap paling akhir dalam pembuatan kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Penetapan kebijakan dapat berbentuk berupa undang-undang, yurispurdensi, keputusan presiden, keputusan menteri, dan lain sebagainya.

E.2.523

Ada perbedaan penting diantara aktor-aktor pembuat kebijakan di negara berkembang dan negara maju. Di negara berkembang, struktur pembuatan kebijakan cenderung lebih sederhana dibandingkan dengan negara maju.

. Aktor-aktor Dalam Perumusan Kebijakan

23 Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta. Media Pressindo hal 84-91


(35)

Kecenderungan struktur pembuatan keputusan di negara maju lebih kompleks. Perbedaan ini disebabkan oleh aktor-aktor yang terlibat dala perumusan kebijakan. Di negara berkembang di mana perumusan kebijakan lebih dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh massa rakyat lebih sedikit, maka proses perumusan kebijakan cenderung lebih sederhana. Sementara itu, di negara-negara Eropa Barat dan Amerika dimana setiap warga negara-negara mempunyai kepentingan terhadap kebijakan publik negaranya, kondisi ini akan mendorong struktur yang lebih kompleks.

Menurut James Anderson, aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses perumusan kebijakan daat dibagi ke dalam dua kelompok yakni para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Yang termasuk ke dalam pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif, dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok pemeran serta tidak resmi meliputi; kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warga negara individu. Berikut sedikit penjelasan mengenai aktor-aktor tersebut.

Pemeran serta resmi dalam perumusan kebijakan

Badan-badan administrasi (agen-agen pemerintah)

Dalam perkembangan kondisi saat ini, badan-badan administrasi telah menjadi aktor yang penting dalam proses pembuatan kebijakan dan keberadaanya perlu mendapat perhatian oleh para ilmuwan politik yang tertarik untuk mengkaji kebijakan-kebijakan publik. Hal ini juga terjadi pada masyarakat industri yang mempunyai tingkat kompleksitas yang tinggi dimana badan-badan administrasi sering membuat banyak keputusan yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi


(36)

politik dan kebijakan yang luas. Selain itu, badan administrasi juga menjadi sumber utama mengenai usul-usul pembuatan undang-undang dalam sistem politik. Hal ini bisa ditunjukkan misalnya melalui cara bagaimana suatu departemen tertentu menggalang kekuatan untuk mendukung suatu kebijakan.

Presiden (eksekutif)

Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai peran yang penting dalam perumusan kebijakan. Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam rapat-rapat kabinet. Selain keterlibatan secara langsung yang dilakukan oleh presiden dalam merumuskan kebijakan publik, kadangkala presiden juga membentuk kelompok-kelompok atau komisi-komisi penasihat yang terdiri dari warganegara swasta maupun pejabat-pejabat yang ditujukan untuk menyelidiki kebijakan tertentu dan mengembangkan usul-usul kebijakan.

Lembaga Yudikatif

Lembaga ini memegang peranan yang sangat besar dalam pembentukan kebijakan di Amerika Serikat. Namun sejauh mana badan ini mempunyai pengaruh di dalam pembentukan kebijakan di Indonesia tentunya memerlukan telaah yang lebih lanjut, walaupun bila didasarkan pada UUD badan ini mempunyai kekuasaan cukup besar untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui pengujian kembali suatu undang-undang atau peraturan. Pada dasarnya, tinjauan yudisial merupakan kekuasaan pangadilan untuk menentukan apakah tindakan-tindakan yang diambil oleh cabang-cabang eksekutif maupun legislatif sesuai dengan konstitusi atau tidak. Bila keputusan-keputusan tersebut melawan


(37)

atau bertentangan dengan konstitusi negara, maka badan yudikatif ini berhak membatalkan atau menyatakan tidak sah terhadap peraturan atau undang-undang yang telah ditetapkan.

Lembaga legislatif

Di Amerika Serikat lembaga ini lebih dikenal sebagai kongres. Sementara di Indonesia, lembaga ini disebut sebagai DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Lembaga ini bersama-sama dengan pihak eksekutif (presiden dan pembantunya) memegang peranan penting di dalam perumusan kebijakan. Setiap undang-undang menyangkut persoalan-persoalan publik harus mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatiaf. Selain itu, keterlibatan lembaga legislatif dalam perumusan kebijakan juga dapat dilihat dari mekansisme dengar pendapat, penyelidikan-penyelidikan dan kontak-kontak yang mereka lakukan dengan pejabat-pejabat administrasi, kelompok kepentingan dan lain sebagainya. Dengan demikian, bersama-sama dengan lembaga eksekutif, lembaga legislatif memegang peran yang krusial dalam pembuatan keputusan kebijakan.

Pemeran serta tidak resmi dalam perumusan kebijakan

Di samping para pembuat keputusan kebijakan yang resmi, ada juga para pemeran serta yang tidak resmi. Mereka biasanya berpartisipasi di dalam proses pembuatan kebijakan. Kelompok-kelompok ini dikatakan tidak resmi karena meskipun mereka terlibat secara aktif dalam proses perumusan kebijakan, akan tetapi mereka tidak mempunyai kewenangan yang sah untuk membuat keputusan


(38)

yang mengikat. Berikut penjelasan singkat mengenai para pemeran serta tidak resmi dalam perumusan kebijakan.

Kelompok-kelompok kepentingan

Kelompok ini merupakan pemeran serta tidak resmi yang memainkan peran penting dalam pembuatan kebijakan di hampir semua negara terutama di negara yang menganut sistem politik demokrasi. Hal ini terjadi karena dalam sistem politik demokrasi, kebebasan berpendapat dilindungi serta warganegara lebih mempunyai keterlibatan politik. Kelompok kepentingan memiliki fungsi artikulasi kepentingan yaitu menyatakan tuntutan-tuntutan dan memberikan alternatif-alternatif tindakan kebijakan. Selain itu, kelompok ini juga sering memberikan informasi kepada para pejabat publik dimana informasi yang diberikan bersifat teknis mengenai sifat serta konsekuensi yang mungkin timbul dari usul-usul kebijakan yang diajukan. Pengaruh kelompok kepentingan terhadap keputusan kebijakan tergantung pada banyak faktor yang menyangkut ukuran keanggotaan kelompok, keuangan dan sumbernya, kepaduannya, kecakapan dari orang yang memimpin kelompok tersebut, ada tidaknya persaingan organisasi, tingkah laku para pejabat pemerintah, dan tempat pembuatan keputusan dalam sistem politik.

Partai-partai politik

Dalam sistem demokrasi, partai-partai politik memegang peranan penting. Dalam sistem ini, partai politik digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Namun hal ini tidak berarti bahwa partai politik tidak berperan sama sekali dalam kebijakan publik dan hanya berorientasi pada kekuasaan. Dalam masyarakat


(39)

modern, partai-partai politik seringkali melakukan agregasi kepentingan yaitu berusaha untuk mengubah tuntutan-tuntutan tertentu dari kelompok-kelompok kepentingan menjadi alternatif-alternatif kebijakan.

Warganegara individu

Dalam pembahasan mengenai perumusan kebijakan, warganegara individu sering diabaikan dimana peran legislatif dan kelompok kepentingan dan pemeran serta lainnya justru lebih menonjol. Walaupun tugas pembuatan kebijakan pada dasarnya diserahkan kepada para pejabat publik, namun dalam beberapa hal para individu warganegara masih dapat mengambil peran secara aktif dalam pengambilan keputusan. Di negara-negara yang mendasarkan diri pada sistem otoriter, kepentingan dan keinginan warganegara biasanya merupakan akibat dari kebijakan-kebijakan publik. Para diktator dalam ssitem otoriter tetap akan menaruh perhatian pada keinginan rakyat agar kekacauan sedapat mungkin diminimalkan. Sementara itu di negara-negara demokratis, pemilihan umum barangkali merupakan tanggapan tidak langsung terhadap tuntutan-tuntutan warganegara.

F. Defenisi Konsep

Untuk lebih memperjelas pemahaman dalam tulisan ini, dapat dijelaskan defenisi konsep di bawah ini :

1. Kebijakan publik adalah keputusan tetap yang dikeluarkan oleh pemerintah dan secara wajib dipatuhi oleh pihak yang dikenai kebijakan tersebut.


(40)

G. Defenisi Operasional

Untuk memberi kejelasan terhadap batasan yang akan diteliti, maka di bawah ini akan dijelaskan defenisi operasional sebagai berikut :

1. Kebijakan publik yang dimaksud adalah kebijakan pemerintah yang ditetapkan berupa peraturan yaitu peraturan presiden dan peraturan Menteri ESDM yang dalam hal ini terkait kebijakan kenaikan harga BBM. 2. Harga BBM yang dimaksud adalah harga BBM bersubsidi yaitu bensin,

solar, dan minyak tanah dimana besarnya subsidi sudah diatur dalam APBN dengan mencantumkan asumsi dasar harga minyak mentah dunia. 3. Kenaikan harga BBM yang dimaksud adalah kenaikan pada masa

pemerintahan SBY-JK dan dibatasi pada kenaikan yang sudah terjadi yaitu sebanyak tiga kali.

H. Metode Penelitian

24

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik pengumpulan data sekunder yaitu data-data digali dari berbagai sumber Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.

H.1. Teknik Pengumpulan Data


(41)

seperti buku-buku, majalah, koran, artikel maupun dokumen lainnya baik dari media cetak maupun elektronik yang dianggap relevan dengan penelitian.

H.2. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini, data-data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data-data yang diperoleh akan diolah, disusun, diperinci secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang menunjukkan hasil akhir dari penelitian ini.


(42)

BAB II

LATAR BELAKANG KEBIJAKAN KENAIKAN HARGA BBM PADA PEMERINTAHAN SBY-JK PERIODE 2004-2009

Pemilihan legislatif dan eksekutif tahun 2004 yang lalu menjadi pemilihan yang bersejarah bagi negeri ini dimana rakyat memilih secara langsung para calon yang diajukan oleh partai politik. Jika sebelumnya rakyat hanya memilih partai politik yang ada dan selanjutnya partai yang menentukan anggota di legislatif dan anggota legislatif tersebut kelak yang menentukan presiden dan wakil presiden, maka pemilihan 2004 yang lalu menjadi peristiwa penting karena rakyat yang langsung memilih presiden dan wakil untuk masa jabatan lima tahun.

Pemilihan presiden-wakil presiden 2004 putaran pertama diikuti oleh lima pasang calon yang didukung oleh partai politik masing-masing. Kelima pasangan calon presiden-wakil presiden tersebut sesuai dengan nomor urutnya adalah:

1. Wiranto-Salahuddin Wahid

2. Megawati Soekarnoputri-KH Hasyim Muzadi 3. Amien Rais-Siswono Yudohusodo

4. Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla 5. Hamzah Haz-Agung Gumelar

Akhirnya karena tidak diperoleh suara yang mencukupi untuk langsung dinyatakan sebagai pemenang pada pemilihan putaran pertama, maka pemilihan harus dilanjutkan dengan putaran kedua dan diikuti oleh dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak yakni pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim


(43)

Muzadi dan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) akhirnya menunjukkan bahwa pasangan SBY-JK berhasil menjadi pemenang mengalahkan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dan dinyatakan sebagai presiden-wakil presiden terpilih periode 2004-2009. Pasangan SBY-JK dengan motto ”Bersama Kita Bisa” akhirnya berhasil menjadi presiden-wakil presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Selama masa kampanye, pasangan ini menawarkan

visi sebagai berikut:

1. Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai.

2. Terwujudnya masyarakat, bangsa dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak-hak asasi manusia.

3. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, pasangan ini juga menawarkan

misi sebagai berikut :

1. Mewujudkan Indonesia yang aman damai

2. Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis 3. Mewujudkan Indonesia yang sejahtera.

Visi dan misi tersebut diperjelas lagi dengan adanya strategi dasar, agenda, seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.

Strategi dasar

1. Menata kembali sistem ketatanegaraan RI berdasarkan jiwa, semangat dan

konsensus dasar berdirinya NKRI; yaitu, dengan memastikan bahwa Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI, dan berkembangnya sistem kemasyarakatan yang majemuk menjadi dasar penataan tersebut. Hal ini untuk mengembangkan:

(a) sistem sosial-politik yang berkelanjutan; dan

(b) sistem dan kelembagaan pembangunan, pemerintahan, dan ketatanegaraan yang tahan terhadap berbagai goncangan dan krisis.

2. Membangun Indonesia di segala bidang melalui peningkatan kapasitas dan


(44)

(a) penyediaan dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat;

(b) penciptaan landasan yang kokoh bagi pembangunan berkelanjutan; dan (c) pengembangan kemasyarakatan di berbagai bidang.

Agenda dan program kerja

I. Pertahanan, Keamanan, Politik, dan Sosial untuk Mewujudkan Indonesia yang Lebih Aman dan Damai

1.Peningkatan saling percaya dan harmoni antar kelompok masyarakat dan

terbangunnya masyarakat sipil yang semakin kokoh.

2.Pencegahan dan penanggulangan separatisme.

3.Penegakan hukum dan ketertiban yang tegas, adil, dan tidak diskriminatif.

4.Pencegahan dan pemberantasan kriminalitas, termasuk produksi, penggunaan

dan penyebaran narkoba.

5.Pencegahan dan penanggulangan gerakan terorisme. 6.Peningkatan kemampuan pertahanan negara.

7.Pemantapan politik luar negeri dan peningkatan kerjasama internasional.

II. Keadilan, Hukum, HAM dan Demokrasi untuk Mewujudkan Masyarakat yang Lebih Adil dan Demokratis

1.Pembenahan sistem dan politik hukum yang menjamin penegakan dan kepastian

hukum.

2.Penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

3.Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan kroni-isme. 4.Penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuknya.

5.Pengembangan kebudayaan nasional dan daerah.

6.Pengembangan dan pendalaman desentralisasi dan otonomi daerah. 7.Pengembangan pengakuan hak-hak asasi manusia.

8.Peningkatan kualitas kehidupan rumah tangga dan peran perempuan. 9.Pemberantasan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.

III. Ekonomi dan Kesejahteraan Untuk Mewujudkan Masyarakat yang Lebih Sejahtera

1.Perbaikan dan penciptaan kesempatan kerja. 2.Penghapusan kemiskinan.

3.Peningkatan kuantitas dan kualitas infrastruktur ekonomi dan sosial, termasuk

infrastruktur pertanian, pedesaan, kaitan pedesaan-perkotaan, dan Indonesia Timur.

4.Revitalisasi pertanian dan pedesaan serta peningkatan kesejahteraan dan kualitas

hidup petani dan rumah tangga petani.

5.Pengembangan ragam aktivitas ekonomi pedesaan dengan mendorong

industrialisasi pedesaan.

6.Pelaksanaan reforma agraria.

7.Pengembangan aktivitas ekonomi kelautan dan kawasan pesisir serta


(45)

8.Pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta usaha

informal.

9.Pengembangan akses petani, nelayan, UMKM, dan usaha informal terhadap

sumber permodalan, informasi, serta kepastian dan perlindungan hukum.

10.Penciptaan iklim investasi dan iklim usaha yang mendorong tumbuhnya

perekonomian nasional, khususnya sektor riil.

11.Peningkatan kinerja dan stabilitas ekonomi makro.

12.Pengelolaan fiskal, termasuk hutang publik, secara lebih efektif, efisien, dan

bertanggung jawab.

13.Pengembangan fiskal yang mendorong tumbuhnya sektor riil, kesempatan

kerja, dan hak-hak dasar rakyat dengan tetap memperhatikan keberlanjutan fiskal.

14.Peningkatan upaya-upaya penyehatan dan penertiban lembaga keuangan dan

perbankan.

15.Pengelolaan aset-aset negara secara efisien dan bertanggung jawab.

16.Restrukturisasi dan profesionalisasi usaha-usaha sektor publik melalui

debirokratisasi dan depolitisasi.

17.Pengembangan ekonomi pasar yang berdasarkan hukum yang berkeadilan serta

praktek ekonomi yang berlaku secara internasional.

18.Peningkatan peran Indonesia dalam kerjasama ekonomi antar negara.

19.Pengembangan industri manufaktur, pariwisata, dan IT yang memiliki daya

saing dan responsif terhadap penyerapan tenaga kerja.

20.Peningkatan akses rakyat terhadap pendidikan dan keterampilan yang lebih

berkualitas.

21.Pengembangan fasilitas pendidikan serta peningkatan kesejahteraan dan

kualitas tenaga pendidik.

22.Peningkatan kesejahteraan pegawai negeri, TNI, Polri, dan pensiunan dalam

rangka meningkatkan pelayanan publik yang berkualitas.

23.Peningkatan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang lebih

berkualitas.

24.Pengembangan sistem jaminan kesehatan bagi rakyat miskin.

25.Peningkatan kesejahteraan rumah tangga, perempuan, dan anak terutama

golongan miskin, penyandang cacat, serta yang tinggal di daerah terpencil dan di daerah konflik.

26.Penghapusan ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik dalam berbagai

bentuknya.

27.Perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian mutu lingkungan

hidup.

28.Perbaikan kualitas, proses, dan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan

desentralisasi yang menjamin mobilitas barang, jasa, manusia, dan modal serta pelayanan publik.

Beberapa catatan penting mewarnai kinerja pasangan ini dalam menjalankan roda pemerintahan. Berdasarkan data yang ada, pasangan ini dinilai


(46)

cukup berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nasional jika dibandingkan pemerintahan sebelumnya.

25

Namun selain prestasi tersebut, banyak juga pihak yang kurang puas dengan kinerja pasangan ini terutama menyangkut kebijakan-kebijakan ekonomi yang dinilai seringkali mengabaikan kepentingan rakyat kecil.

Misalnya, pertumbuhan ekonomi pada 2004 ketika SBY-JK memulai memerintah adalah 5,03 persen. Tahun berikutnya naik menjadi 5,69 persen, lalu turun ke 5,51 persen pada 2006, kemudian pada tahun 2007 naik menjadi 6,32 persen. Pada semester pertama tahun 2008, meningkat lagi menjadi 6,36 persen. Oleh pemerintahan SBY-JK, data-data ini dijadikan acuan bahwa pemerintahan yang sedang berjalan sudah berhasil sesuai dengan yang diharapkan sehingga dianggap sebagai prestasi yang patut dibanggakan.

26

25 Tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada pemerintahan SBY-JK diakui lebih baik dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, meskipun masih relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan pemerintahan rezim Soeharto yang rata-rata mencapai 7% dan bahkan pernah mencapai 9,9% pada tahun 1980. Menakar Prestasi SBY-JK oleh Imam Sugema, Tempo 23 Oktober 2008 26 Ketidaksesuaian janji dan komitmen yang pernah diungkapkan SBY-JK pada masa kampanye dengan realisasi ketika terpilih menjadi presiden dan wakil presiden akhirnya menuai kritik yang sangat keras. Misalnya saja buku yang ditulis oleh Fahmy Radhi seorang dosen UGM baru-baru ini (2008) yang berjudul Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat;Antara Komitmen dan Jargon penerbit Republika Jakarta. Dalam buku tersebut, si penulis berkesimpulan kebijakan ekonomi pro rakyat yang diungkapkan SBY-JK pada masa kampanye hanya menjadi jargon/isapan jempol belaka.

Acapkali kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintahan SBY-JK dianggap tidak pro rakyat sehingga justru mengingkari komitmen dan janji yang pernah diungkapkan pada masa kampanye yaitu akan selalu memikirkan dan menjalankan kebijakan pro rakyat. Salah satu kebijakan yang dianggap sangat merugikan rakyat kecil adalah kebijakan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada masyarakat. Sebagaimana sudah dijelaskan pada awal tulisan ini, kebijakan kenaikan harga BBM pada masa pemerintahan SBY-JK sudah terjadi tiga kali yaitu tanggal 1 Maret 2005 sebesar 29 %, 1 Oktober 2005 sebesar 128% dan 24 Mei 2008 sebesar


(47)

28,7 %. Dalam rangka legalisasi masing-masing kebijakan kenaikan harga BBM, dikeluarkan Perpres No 22 tahun 2005 untuk kenaikan 1 Maret 2005, Perpres No 55 tahun 2005 untuk kenaikan 1 Oktober 2005 dan Peraturan Menteri ESDM No 16 tahun 2008 untuk kenaikan 24 Mei 2008. 27

27 Pernyataan ini mengundang kritikan. Ekonom Imam Sugema misalnya menyatakan pernyataan tersebut berarti sebelum pemerintah mengambil kebijakan kenaikan harga BBM, maka harus ada langkah pertama, kedua, dan seterusnya. Lebih lanjut, ia berpendapat pemerintah belum

melakukan apa-apa dan langsung mengambil kebijakan menaikkan harga BBM. Oleh sebab itu, lahirnya kebijakan menaikkan harga BBM perlu untuk diteliti. Baca Trust edisi 7-13 Juli 2008,

Tertekan Harga Minyak dan Hak Angket.

Pemerintahan SBY-JK berpendapat kebijakan kenaikan harga BBM merupakan pilihan terakhir yang harus diambil demi menyelamatkan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

Fluktuasi harga minyak mentah dunia yang sangat sulit diprediksi menjadi alasan utama bagi pemerintahan SBY-JK untuk mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi di tanah air. Kenaikan harga minyak mentah dunia di pasar internasional akan sangat berpengaruh karena sebagaimana diketahui bahwa penjualan BBM di tanah air masih bergantung pada subsidi yang tercantum dalam APBN dari tahun ke tahun. Dalam APBN tersebut dicantumkan asumsi harga minyak yang akan ditanggung oleh negara dan ketika harga minyak dunia sudah melebihi asumsi yang dicantumkan, maka pemerintah merasa tidak sanggup untuk menanggung beban subsidi yang pastinya akan membengkak. Selain karena melonjaknya harga minyak mentah dunia, hal lain yang menyebabkan membengkaknya subsidi BBM adalah karena meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap BBM bersubsidi dari tahun ke tahun sementara di sisi lain tingkat produksi minyak (lifting) tanah air justru menurun dari tahun ke tahun.

Berikut ini tabel jumlah produksi, konsumsi, ekspor, dan impor minyak bumi tanah air dari tahun ke tahun (barrel)


(48)

Tahun Produksi Konsumsi Ekspor Impor

2000 517,415,695.00 383,955,955.00 225,840,000.00 79,206,903.00

2001 489,849,297.00 375,668,315.00 239,947,960.00 118,361,896.00

2002 455,738,915.00 358,806,832.00 216,901,729,00 121,269,175.00

2003 415,814,157.00 373,190,759.00 211,195,794.52 129,761,738.00

2004 400,486,234.00 375,494,636.00 180,234,938.00 148,489,589.00

2005 385,497,959.00 357,493,997.00 156,766,006.00 120,159,324.81

2006 359,289,337.00 349,845,435.00 111,172,003.15 113,545,934.13

2007 344,094,946.00 321,302,814.00 127,134,792.00 110,448,506.36

Adapun hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan kenaikan harga BBM pada masa pemerintahan SBY-JK dapat dijelaskan sebagai berikut.

A. Kenaikan 1 Maret 2005 (Perpres No 22 tahun 2005)

Berdasarkan data, besarnya subsidi BBM yang dicantumkan dalam APBN 2005 pada akhir tahun 2004 lalu adalah sebesar Rp19 triliun dengan asumsi harga minyak dunia adalah US$ 24 per barrel, kurs Rp 8.600. Pada perkembangannya yaitu awal tahun 2005, harga minyak dunia justru meningkat dan jauh di atas asumsi APBN yaitu US$35 per barrel dan bahkan pada perkembangan selanjutnya, harga minyak dunia selalu di atas US$50 per barrel dan kurs rupiah rata-rata diatas Rp 8900. Akibatnya, realisasi pengeluaran subsidi BBM dalam bulan pertama tahun 2005 telah mencapai Rp15 triliun dan dikhawatirkan akan terus membengkak jika tidak segera dilakukan penyesuaian harga BBM.


(49)

Akhirnya, hal ini lah yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan pemerintah tentang penyesuaian harga BBM pada tanggal 28 Februari 2005 dan berlaku efektif mulai tanggal 1 Maret 2005. Penyesuaian harga jual BBM dalam negeri ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2005.

B. Kenaikan 1 Oktober 2005 (Perpres No 55 tahun 2005)

Setelah terjadi kenaikan harga minyak dunia pada awal tahun 2005 yang kemudian menyebabkan kenaikan harga penjualan BBM dalam negeri tanggal 1 Maret 2005, pemerintah pada bulan itu juga melakukan langkah penyesuaian APBN yang tercantum dalam APBN-P 2005. Pemerintah mengajukan rancangan APBN-P tersebut kepada DPR pada tanggal 23 Maret 2005. Dalam APBN-P 2005 tersebut, pemerintah menetapkan asumsi harga minyak dunia sebesar US$35 per barrel dengan asumsi kurs Rp 8.900 per dollar AS. Namun seiring berjalannya waktu, harga minyak dunia justru semakin meningkat dan mencapai kisaran US$ 68 per barrel dengan nilai kurs Rp 10.900 per dollar AS. Lagi-lagi hal ini membuat pemerintah merasa khawatir karena membengkaknya jumlah subsidi BBM karena ketidaksesuaian asumsi yang sudah ditetapkan sehingga perlu dilakukan penyesuaian harga eceran BBM dalam negeri. Keputusan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2005 yang ditetapkan tanggal 30 September 2005 dan mulai berlaku efektif tanggal 1 Oktober 2005. Kenaikan harga BBM kali ini tergolong sangat ”luar biasa” karena rata-rata mencapai angka128%.


(50)

Dalam APBN 2008 yang ditetapkan tanggal 6 November 2007, besarnya subsidi BBM adalah Rp 45,8 triliun dengan asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 60 per barrel. Selanjutnya karena harga minyak mentah dunia yang cenderung meningkat, APBN tersebut mengalami penyesuaian. Berdasarkan APBN-P 2008, harga minyak mentah dunia dipatok sebesar US$ 95 per barrel. Dengan asumsi demikian, maka jumlah subsidi BBM yang direncanakan adalah sebesar Rp 126,8 triliun. Namun dalam perkembangannya, nilai asumsi tersebut juga menjadi tidak realistis lagi karena harga minyak mentah dunia yang terus mengalami peningkatan. Harga minyak mentah dunia sejak awal tahun 2008 selalu mengalami peningkatan yang cukup signifikan dan rata-rata selalu berada di atas kisaran US$100 per barrel. Pada triwulan pertama 2008 harga minyak mentah dunia tidak pernah bergeser dari angka rata-rata US$ 120 per barrel dan bahkan dikhawatirkan akan menyentuh angka US$ 150 per barrel. Akibat dari kenaikan tersebut, beban subsidi pun membengkak dan melebihi angka Rp 200 triliun. Akhirnya pemerintah kembali melakukan penyesuaian harga eceran BBM dalam negeri rata-rata sebesar 28,7% melalui Peraturan Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) No 16 tahun 2008 yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2008 dan mulai berlaku efektif sejak tanggal 24 Mei 2008.


(51)

BAB III

DESKRIPSI KEBIJAKAN DAN PROSES PERUMUSANNYA

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam rangka penyesuaian harga eceran bahan bakar minyak (BBM) kepada masyarakat sebagai konsekuensi melambungnya harga minyak mentah dunia, pemerintahan SBY-JK telah mengeluarkan peraturan yang terkait hal tersebut. Jika pada kenaikan harga yang pertama dan kedua tahun 2005 diatur dengan peraturan presiden, maka pada kenaikan harga yang ketiga yakni tanggal 23 Mei 2008 diatur dalam Peraturan Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral).

Secara umum, isi dari masing-masing kebijakan tersebut memuat perihal penyesuaian harga jual eceran bahan bakar minyak dalam negeri sebagai langkah untuk meringankan beban keuangan negara yang semakin berat dalam penyediaan dan pengadaan bahan bakar minyak dalam negeri namun dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat kurang mampu, melalui berbagai program peningkatan kesejahteraannya. Pada masing-masing kebijakan, dimuat hal yang menjadi dasar pertimbangan keluarnya kebijakan penyesuaian harga eceran BBM dalam negeri tersebut. Untuk dua peraturan presiden yang mengatur penyesuaian harga eceran BBM dalam negeri, maka yang menjadi dasar pertimbangannya adalah: Untuk meringankan beban keuangan negara yang semakin berat dalam penyediaan dan pengadaan BBM di dalam negeri, dan perlunya mengurangi subsidi BBM dalam negeri. Sementara untuk peraturan menteri ESDM yang memuat penyesuaian harga eceran BBM dalam negeri


(52)

tanggal 23 Mei 2008, lebih tegas lagi dijelaskan bahwa yang menjadi dasar pertimbangannya adalah: Semakin meningkatnya harga minyak dunia dan berdampak kepada semakin besarnya subsidi BBM sehingga akan memberatkan APBN.

I. Deskripsi Kebijakan Kenaikan Harga BBM Pada Pemerintahan SBY-JK

Periode 2004-2009.

Berikut deskripsi masing-masing kebijakan penyesuaian harga eceran BBM dalam negeri tersebut. Adapun yang akan dipaparkan pada bagian ini bukanlah secara keseluruhan isi dari kebijakan tersebut melainkan hanya beberapa poin yang dianggap penting penting.

A. Peraturan Presiden No 22 Tahun 2005

Dalam peraturan ini, yang dimaksud dengan bahan bakar minyak adalah bensin premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel, dan minyak bakar. Pasal 2 menyatakan;

1. Harga jual eceran BBM jenis minyak tanah untuk rumah tangga dan usaha kecil, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk setiap liter ditetapkan Rp 700,00 (tujuh ratus rupiah).

2. Harga jual eceran BBM jenis Minyak solar untuk transportasi pengisian di SPBU, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) untuk setiap liter ditetapkan Rp 2.100,00 (dua ribu seratus rupiah).


(53)

Harga jual eceran BBM jenis bensin premium dan minyak tanah yang digunakan selain untuk rumah tangga dan usaha kecil; minyak solar yang digunakan selain untuk transportasi pengisian di SPBU; dan minyak diesel termasuk PPN untuk setiap liter ditetapkan sebagai berikut :

a. Bensin Premium : Rp.2.400,00 (dua ribu empat ratus rupiah) b. Minyak Tanah : Rp.2.200,00 (dua ribu dua ratus rupiah) c. Minyak Solar : Rp.2.200,00 (dua ribu dua ratus rupiah) d. Minyak Diesel : Rp. 2.300,00 (dua ribu tiga ratus rupiah)

B. Peraturan Presiden No 55 Tahun 2005

Dengan keluarnya peraturan ini, peraturan presiden sebelumnya yaitu Perpres No 22 tahun 2005 dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam peraturan ini, yang dimaksud dengan BBM (Bahan Bakar Minyak) adalah bensin premium, minyak tanah (kerosene), dan minyak solar (gas oil) atau nama lain yang mempunyai spesifikasi sama.

Pasal 2 menyatakan;

1. Harga jual eceran minyak tanah (kerosene) untuk rumah tangga dan usaha kecil, termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) untuk setiap liter ditetapkan Rp.2.000,00 (dua ribu rupiah)

2. Harga jual eceran bensin premium dan minyak solar untuk usaha kecil, transportasi, dan pelayanan umum di titik serah termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) untuk setiap liter ditetapkan sebagai berikut : a. Bensin Premium : Rp.4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah) b. Minyak solar : Rp.4.300,00 (empat ribu tiga ratus rupiah)


(1)

Selain itu, keputusan yang diambil pemerintah pun dinilai terlalu dipaksakan dan kurang memperhatikan nasib rakyat miskin yang akan terkena dampak kebijakan tersebut sehingga dapat mengakibatkan gejala sosial yang berkepanjangan.

Akhirnya di tubuh parlemen itu sendiri timbul dua kubu antara yang pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah. Pihak yang pro menyatakan dapat memaklumi kebijakan pemerintah karena dianggap merupakan langkah terakhir dalam menyelamatkan perekonomian nasional. Sementara pihak yang kontra tetap mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang bahkan jika perlu harus mencabut kebijakan tersebut. Yang paling ekstrem tentunya usulan salah satu fraksi agar DPR (legislatif) melakukan langkah pemakzulan (pemberhentian) presiden dari jabatannya karena dinilai tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.

Berdasarkan deskripsi tersebut, penulis melihat ketidakharmonisan hubungan antara lembaga eksekutif dan juga legislatif. Padahal sebagaimana sudah disinggung pada bagian sebelumya dalam tulisan ini, kedua lembaga tersebut (legislatif dan eksekutif) seharusnya melakukan fungsi check and balance yang terkoordinasi terutama dalam mengeluarkan suatu kebijakan. Sangat disayangkan jika akhirnya terjadi suatu kondisi dimana salah satu dari lembaga tersebut melakukan kewenangan secara tersendiri tanpa melakukan fungsi koordinasi dengan lembaga yang lain. Prinsip koordinasi dalam menetapkan kebijakan yang harus dilakukan oleh lembaga legislatif dan eksekutif juga secara eksplisit sudah diatur dalam konstitusi Indonesia yakni pada UUD 1945. Secara spesifik prinsip koordinasi tersebut juga diatur dalam UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

B. TINJAUAN KRITIS

Setelah melakukan analisis terhadap proses perumusan kebijakan secara khusus mengenai kebijakan kenaikan harga BBM yang terjadi pada masa pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009, penulis mengemukakan beberapa tinjauan kritis.


(2)

Berdasarkan hasil analisa terhadap proses perumusan kebijakan yang sudah dilakukan, penulis berpendapat bahwa sudah saatnya dilakukan perubahan paradigma kebijakan pemerintah yang selama ini masih bersifat responsif, parsial, dan jangka pendek menjadi kebijakan yang lebih antisipatif, komprehensif, dan jangka panjang. Secara teknis misalnya dalam hal menanggapi fluktuasi harga minyak mentah dunia yang sangat sulit diprediksi dan dapat berdampak buruk bagi nasional, maka sejak dini perlu dilakukan langkah-langkah sejak dini yang sifatnya berkelanjutan dan jangka panjang. Langkah yang dimaksud misalnya pengembangan BBA (Bahan Bakar Alternatif) yang harus dilakukan secara berkelanjutan dan jangka panjang. Hal ini tentunya dalam rangka mengantisipasi kondisi-kondisi tertentu misalnya kenaikan harga minyak mentah dunia secara tiba-tiba dan juga kelangkaan BBM (Bahan Bakar Minyak) sebagai akibat meningkatnya tinkat konsumsi masyarakat terhadap BBM.

2. Prinsip Koordinasi antarlembaga

Timbulnya masalah perbedaan pandangan terhadap suatu kebijakan sebagai alternatif menyelesaikan permasalahan diantara legislatif dan eksekutif pada akhirnya menimbulkan pertanyaan mengenai kejelasan prinsip koordinasi antara dua lembaga tersebut. Seharusnya, legislatif dan eksekutif secara bersama-sama berdiskusi dan melakukan koordinasi dalam rangka mencapai suatu keputusan menetapkan kebijakan.


(3)

BAB V

PENUTUP A. Kesimpulan

Dalam konteks negara yang menganut paham demokrasi, terlihat jelas peran sentral pemerintah dalam menetapkan kebijakan-kebijakan publik yang dianggap penting dan menyangkut kehidupan rakyat banyak. Namun hal yang tidak boleh dilupakan bahwa dalam menetapkan suatu kebijakan harus senantiasa dipertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan. Oleh sebab itu, proses perumusan kebijakan menjadi faktor yang sangat penting dalam menghasilkan kebijakan yang benar-benar tidak merugikan kepetingan rakyat.

Berdasarkan hasil analisis proses perumusan kebijakan khususnya kebijakan kenaikan harga BBM pada masa pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009 yang sudah terjadi sebanyak tiga kali dapat disimpulkan bahwa proses perumusan kebijakan tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Beberapa catatan penting dalam tahap-tahap perumusan kebijakan kenaikan harga BBM tersebut menjadi bukti argumen tersebut. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pemerintah masih kurang mau mendengar setiap masukan-masukan yang datang dari berbagai pihak dalam proses perumusan kebijakan. Hal ini pada akhirnya menimbulkan perdebatan panjang yang tidak kunjung henti karena perbedaan pendapat mengenai kebijakan yang harus diambil dalam menangani suatu masalah tertentu.


(4)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Abidin, Said Zainal. 2002. Kebijakan Publik Edisi Revisi. Jakarta. Yayasan Pancur Siwah

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktek edisi ke 3. Jakarta. Rineka Cipta

Dunn, William N. 2000. Pengantar Analisa Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press

Jones, Charles O. 1994. Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta. Rajawali Press Nazir, Moh . 1998. Metode Penelitian cetakan ke-3. Jakarta. Ghalia Indonesia. Parsons, Wayne.2005. Public Policy. Jakarta. Prenada Media

Pontoh, S Rudy. 2004. Janji-janji dan Komitmen SBY-JK. Yogyakarta. Media Pressindo

Radhi, Fahmi. 2008. Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat; Antara Komitmen dan Jargon. Jakarta. Republika

Rizky, Awalil. 2008. Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta. E Publishing Company

Sanusi, Bachrawi. 2004. Potensi Ekonomi Migas Indonesia. Jakarta. Rineka Cipta Subarsono, AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik; Konsep, Teori dan Aplikasi.


(5)

Tsalik, Svetlana. 2006. Covering Oil. A Reporters Guide to Energy and Development. Diterjemahkan oleh Muh Fatah Yasin Juni 2007. Jakarta Selatan. Pantau

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta. Media Pressindo

Artikel dan Opini

APBN untuk Siapa? oleh Ilyani S Andang, Kompas 28 Mei 2008

APBN 2005, Harga Minyak Dunia, Harga BBM oleh Bachrawi Sanusi, Tempo 4 Desember 2004

Andaikan Harga BBM (Tak) Naik oleh Imam Sugema, Kompas 12 Mei 2008 Analisis Kebijakan Politik Minyak Di Indonesia oleh Syafuan Rozi, 28 Maret

2007

Esensi Subsidi dan Kenaikan Harga BBM oleh Pri Agung Rakhmanto, Kompas 12 Mei 2008

Faktor Fluktuasi Harga Minyak Dunia oleh Maizar Rahman, Suara Karya 16 Desember 2005

Harga BBM dan Langkah ke Depan oleh Kurtubi, Kompas 26 Mei 2008 Harga BBM, Buah Si Malakama oleh Ivan A Hadar, Kompas 24 Mei 2008 Harga BBM, Mencari Hari Baik Mengumumkan, Kompas 23 Mei 2008

Kebijakan Harga BBM dan Dampak pada APBN, Ekonomi dan Sosial oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan RI, 15 Mei 2008 Kenaikan Harga BBM, Presiden Menunggu Apa dan Siapa?, Kompas 30 Mei


(6)

Kinerja Pemerintahan SBY-JK di Bidang Perekonomian oleh Harry Azhar Azis 27 Maret 2008

Menakar Prestasi SBY-JK oleh Imam Sugema, Tempo 23 Oktober 2008 Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahannya

Undang–undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-undang Nomor 36 tahun 2004 tentang APBN 2005 Undang-undang Nomor 45 tahun 2007 tentang APBN 2008

Undang-undang Nomor 16 tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 45 tahun 2007 tentang APBN 2008

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri

Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2008 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Tanah, Bensin, dan Solar

Situs internet