Tindak pidana pemalsuan data dalam undang-undang no. 11 tahun 2008 tentang ite dan kajian hukum Islam

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

HURRIYATUL FIKRIYAH NIM: 107045101833

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKUKTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1432 H/2011 M


(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) HURRIYATUL FIKRIYAH

107045101833

Dibawah Bimbingan :

Pembimbing I : Pembimbing II :

Zubir Laini, S.H Dr.H.M.Nurul Irfan, M.Ag

NIP. 150009273 NIP. 197308022003121001

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam (Siyasah Syar’iyyah).

Jakarta, 21 Juni 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. Asmawi M.Ag

NIP197210101997031008

2. Sekretaris : Afwan Faizin M.Ag

NIP 197210262003121001

3. Pembimbing I : Zubir Laini, S.H

NIP 150009273

4. Pembimbing II : Dr.H.M.Nurul Irfan, M.Ag NIP 197308022003121001

5. Penguji I : Dr. Asmawi M.Ag NIP 197210101997031008

6. Penguji II : Afwan Faizin M.Ag NIP 197210262003121001


(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Sarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 06 Juni 2011


(5)

i

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah SWT dan seluruh umat manusia yang mencintai ilmu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW, atas tetesan darah dan air mata beliaulah kita mampu berdiri dengan rasa bangga sebagai umat Islam yang menjadi umat yang terbaik diantara semua kaum. Tidak lupa kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia hingga akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan karena adanya mereka segala macam halangan dan hambatan yang menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat Bapak:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM selaku Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta


(6)

ii

menyelesaikan studi srata 1 dengan sebaik-baiknya.

3. Afwan Faizin, MA., Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.

4. Prof. Masykuri Abdillah selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dalam proses pembuatan proposal skripsi ini sehingga skripsi dapat diseminarkan dengan baik.

5. Zubir Laini, SH dan Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

6. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan Ikhlas menyalurkan ilmu dan pengetahuannya secara ikhlas dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis jalani.

7. Kedua orang tua penulis yang membantu dengan sekuat tenaga dan pengorbanan serta doa yang bergema dalam dzikir dan tahajudnya sehingga


(7)

iii dukungan kepada penulis.

8. Bapak Ferdinandus Setu, SH, MH., sebagai Kepala Sub Bagian Penyusunan rancangan Peraturan Sekretariat Ditjen Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Jl. Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Pusat) yang telah bersedia untuk diwawancara oleh penulis dan membantu memberikan data dan berbagai artikel dalam kegiatan penelitian.

9. Teman-teman Program Studi Pidana Islam Angkatan 2007 terima kasih telah menemani saya selama kuliah dan memberikan inspirasi untuk berjuang dalam hidup, terutama ( Shanti, Rahmah, Farhan, Novi, Ridho ) terimakasih sebanyak-banyaknya yang selalu bersedia menemani penulis baik berdiskusi maupun berpetualang, dan mohon maaf semuanya saya lulus duluan.hehee, 

10.Teman-teman Program Studi Pidana Islam Angkatan 2008 dan Angkatan 2008 terutama ( Indah, Amin, Fahdun, Rada, Maul ) terima kasih telah banyak

memberi semangat dan do’anya.

Tiada cita dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan Allah SWT sehingga penulis dapat memberikan kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis


(8)

iv Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Jakarta, 06 Juni 2011


(9)

v

DAFTAR ISI ……….. v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……….………... 1 B. Pembatasa dan Perumusan Masalah ………...………... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………….…………...…………. 7 D. Metode Penelitian ……….. 9 E. Sistematika Penulisan ………... 10

BAB II KONSEP TINDAK KEJAHATAN PEMALSUAN DATA

A. Kejahatan Komputer ……….... 11

B. Kendala Menciptakan Masyarakat Informasi ……….. 13 C. Faktor Pendorong Laju Pertumbuhan Tindak Pidana Pemalsuan

Data ………. 21

BAB III KETENTUAN DAN SANKSI HUKUMAN BAGI PELAKU TINDAK KEJAHATAN PEMALSUAN DATA

A. Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Data Menurut Hukum Islam


(10)

vi

dalam UU ITE ………... 43

BAB IV TINDAK PIDANA PEMALSUAN DATA SERTA

PENANGGULANGAN MENURUT UU ITE DAN HUKUM ISLAM

A. Pemalsuan Data Menurut Undang-Undang ITE

1. Penjelasan atas Undang-Undang ITE ……… 47

2. Definisi Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan Data

Menurut Undang-Undang ITE ……….. 51

B. Jenis-Jenis Tindak Pidana Pemalsuan Data ………... 56 C. Definisi Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan Data

menurut Hukum Islam ……… 59

D. Penanggulangan Kejahatan Pemalsuan Data dalam UU ITE …. 65 E. Analisis Pandangan Hukum Islam dan UU ITE Terhadap Tindak

Pidana Pemalsuan Data ………... 68

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……….. 71


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadirnya masyarakat informasi (information society) yang diyakini sebagai salah satu agenda penting masyarakat dunia pada milenium ketiga, antara lain ditandai dengan pemanfaatan internet yang semakin meluas dalam berbagai aktifitas kehidupan manusia, bukan saja di Negara-negara maju tapi juga di Negara berkembang termasuk Indonesia. Fenomena ini pada gilirannya telah menempatkan Informasi sebagai komoditas ekonomi yang sangat penting dan menguntungkan.1

Kecanggihan Teknologi Informasi ini telah memberikan fasilitas-fasilitas dan kemudahan-kemudahan yang sangat membantu pekerjaan manusia serta kebutuhan-kebutuhan lainya. Perpaduan teknologi komputer dengan teknologi telekomunikasi telah mampu menciptakan jaringan-jaringan atau komputer network yang bersifat mendunia, aplikasinya pun kini semakin berkembang bukan hanya di lingkungan Universitas, Pusat penelitian dan Laboratorium untuk keperluan yang bersifat ilmiah atau Riset, akan tetapi kini telah berkembang di lingkungan perusahaan, Perbankan, Instansi Pemerintah, Militer, Hukum dan

1

Ashadi Siregar, Negara, Masyarakat, dan Teknologi Informasi, makalah pada Seminar Teknologi Informasi, Pemberdayaan Masyarakat, dan Demokrasi, Yogyakarta, 19 September 2001. h. 47


(12)

Peradilan dan individu / perorangan.2 Sebagaimana yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto bahwa, “Pembangunan merupakan perubahan terencana dan teratur yang antara lain mencakup aspek-aspek politik, ekonomi, demografi, psikologi, huku, intelektual maupun teknologi.”3

Kini ada kecenderungan bahwa berbagai kebijakan didasarkan pada sistem komputer. Internet saat ini telah menghubungkan jaringan komputer lebih dari tiga ratus ribu (300.000) network of networks yang menjangkau sekitar seratus (100) Negara di dunia setiap 30 menit (waktu rata-rata) muncul satu jaringan tambahan lagi atau ratusan halaman informasi web pages yang baru tersajikan setiap menitnya sehingga memperkaya khazanah yang telah ada yaitu sekitar lima puluhan juta halaman, ditafsirkan bahwa memakai internet akan melonjak melebihi seratus juta orang di awal tahun 2000. Sekarang bahkan telah terdapat TV net yaitu Pesawat Televisi dengan kemampuan menjelajahi Informasi dan membuat orang yang sama sekali tidak mengetahui kemampuan, dan membuat orang yang sama sekali tidak mengetahui pengetahuan tentang komputer dapat memanfaatkan kecanggihan teknologi information super highway bagi kehidupan mereka sehari-hari, misalnya untuk berbelanja jarak jauh, menyaksikan live concert, mengikuti seminar internasional, melacak informasi dan sebagainya.

2

Budi Raharjo, Pernak Pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di Indonesia, 2003. h. 107

3

Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Bandung, 1989. h. 11


(13)

Ada juga teknologi Wireless Application Protocol (WAP) yang memungkinkan teknologi telepon genggam mengakses internet, membayar rekening bank, sampai dengan memesan tiket pesawat Fenomena tersebut menunjukkan bahwa semakin meningkatnya kehidupan masyarakat modern terhadap teknologi komputer, sehingga komputer merupakan teknologi kunci keberhasilan pembangunan pada masa sekarang dan masa yang mendatang, dengan kata lain kehadiran teknologi di bidang komputer merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan untuk menunjang pembangunan nasional. Namun di samping itu patut pula disadari bahwa perkembangan teknologi komputer tersebut dapat atau telah menimbulkan berbagai kemungkinan yang buruk baik yang diakibatkan karena keteledoran, dan kekurang mampuan maupun kesengajaan yang dilandasi karena itikad buruk, oleh sebab itu kebijakan pengembangan teknologi komputer harus pula diimbangi dengan kebijakan di bidang proteksinya, terutama kebijakan yang berkaitan dengan proteksi yuridisnya (dengan peraturan perundang-undangan).4

Fenomena tindak kejahatan pada internet memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak berbeda dengan kejahatan lain pada umumnya. Kejahatan pada internet dapat dilakukan tanpa mengenal batas teritorial dan tidak diperlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan. Bisa

4

Gultom, Elisatris., Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi. Cet, pertama. PT Refika Aditama. Bandung: 2005. h. 25


(14)

dipastikan dengan sifat global internet, semua negara yang melakukan kegiatan internet hampir pasti akan terkena impas perkembangan kejahatan ini.

Dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE tersirat perbuatan pemalsuan data yakni terdapat dalam Pasal 31 ayat (1) (2) dan (3), Pasal 32 ayat (1) (2) dan (3).

Pemberlakuan UU ITE ini dapat dikatakan sebagai ketentuan aturan hukum dalam menjerat pelaku cyber crime yang dalam penelitian ini dikhususkan dalam kasus pemalsuan data. Menurut perspektif hukum pidana Islam (Fiqih Jinayah), karena di dalam undang-undang tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang ada dalam fiqih jinayah. Penerapan sanksi yang diberikan kepada pelaku pemalsuan data ini menurut fiqih jinayah dengan menggunakan sanksi ta’zir, di mana sanksi ta’zir ini hukumannya tidak ditentukan oleh nas maupun hadis, melainkan diserahkan kepada Ulil Amri. Tujuan dari sanksi ta’zir ini untuk memberikan rasa jera pada setiap pelaku jarimah.

Dalam kajian hukum Islam tindak kejahatan pemalsuan data pada jaringan internet ini bisa diqiyaskan dengan tindakan penipuan atau pencurian data informasi, yang mana dalam hal ini terdapat dalil yang berkaitan tentang penelitian ini, yaitu:

Surat Al-Hajj (ayat 30)

...






















(15)

Artinya : “…….. Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”

Sehubungan dengan hal di atas menarik perhatian penulis untuk menyusun skripsi yang berjudul : ”TINDAK PIDANA PEMALSUAN DATA DALAM UNDANG UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN KAJIAN HUKUM ISLAM”

B. Pembatasan Dan Rumusan Masalah

Penelitian ini menjelaskan kejahatan pada internet dalam kasus tindak pidana pemalsuan data pada internet, perkembangan kejahatan pada internet, dan upaya penanganannya dalam era informasi yang semakin meningkat pada zaman sekarang ini dari apa yang terkandung dalam UU No.11 Tahun 2008 ITE dan konsep-konsep yang ada dalam hukum pidana Islam.

Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam skripsi ini penulis membatasi, meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Tindak Pidana Pemalsuan data yang penulis maksud, adalah tindak kejahatan pemalsuan data yang dijelaskan di dalam Kitab Undang-Undang ITE dan mengkaji dengan kacamata hukum Islam.

2. Tinjauan hukum Islam yang penulis maksud, adalah ancaman hukuman, dan penanganan tindak kejahatan pemalsuan data dalam hukum Islam. 3. UU NO.11 tahun 2008 tentang ITE yang penulis maksud adalah tindak


(16)

tersebut, dengan memperhatikan pasal-pasal yang berhubungan dalam tindak kejahatan tersebut.

Dari pembatasan masalah diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apa sanksi hukum yang ditentukan dalam perundang-undangan Indonesia yang khususnya pada UU ITE terhadap pelaku tindak kejahatan pemalsuan data?

2. Adakah sanksi hukum yang ditentukan dalam hukum Islam terhadap pelaku tindak kejahatan pemalsuan data?

3. Bagaimana upaya menanggulangi tindak kejahatan pemalsuan data pada komputer yang semakin canggih di zaman modern sekarang ini?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Secara umum, studi ini bertujuan, yang pertama, menjelaskan secara komprehensif tindak kejahatan pemalsuan data dengan perundang-undangan khusus di Indonesia, yang berupa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Yang pada gilirannya menggambarkan wujud transformasi hukum pidana islam ke dalam hukum pidana nasional. Adapun secara spesifik penelitian ini bertujuan:

a. Menjelaskan mengenai pengertian tindak kejahatan pemalsuan data pada jaringan internet.


(17)

b. Untuk mencari jalan keluar dalam memberikan sanksi sebagai bentuk pencegahan dari tindak kejahatan pemalsuan data dalam Undang-Undang ITE.

c. Untuk mengetahui ketentuan khusus yang terkandung didalam perundang-undangan khususnya di dalam Undang-Undang ITE, mengenai efek yang akan dialami masyarakat informasi mengenai tindak kejahatan pemalsuan data.

d. Mencari jawaban atas permasalahan serta upaya menanggulangi tindak kejahatan pemalsuan data.

2. Manfaat Penelitian

Sedangkan Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Hasil penelitian ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui seberapa besar pengaruh dunia internet di dalam meningkatnya kriminalitas (kejahatan).

b. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk menambah khazanah keilmuan bagi pembaca.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya, agar berhati-hati dalam dunia informasi jaringan sosial pada internet.


(18)

d. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk mempermudah pembaca dalam memahami tindak kejahatan pada komputer khususnya jaringan internet.

D. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode Deskriptif Analitis yaitu menggambarkan dan memaparkan secara sistematis tentang apa yang menjadi objek penelitian dan kemudian dilakukan analisis.5

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian normatif yaitu suatu penelitian dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang telah ada. Dalam mengolah dan menganalisa data, penulis menggunakan metode kualitatif dengan cara menggambarkan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dan fakta-fakta dilapangan tanpa menggunakan rumus dan angka.

Adapun mengenai sumber data yang penulis gunakan adalah sumber data primer. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil kajian hukum terhadap perundang-undangan, yang dalam hal ini perundang-undangan sebagai acuan utama untuk membatasi permasalahan yang dihadapi.6 Dalam hal ini adalah buku-buku, majalah-majalah, dan literatur-literatur lainnya yang berhubungan dengan

5

Dr. Johnny Ibrahim, S. H., M. Hum. Teori dan Metodologi Penenlitian Hukum Normatif.

Cet, ke-2. Bayu Media Publishing. Jakarta: 2006

6


(19)

penulisan skripsi ini. Setelah data-data terkumpul, kemudian penulis mengolah dan menganalisa data tersebut dengan menggunakan metode :

Metode Deduktif, yaitu suatu cara menganalisa data bertitik tolak dari data yang bersifat umum, kamudian ditarik atau diambil kesimpulan yang bersifat khusus.

Metode Komparatif, yaitu membandingkan keduanya antara hukum Islam dan hukum positif, dengan menganalisa keduanya.

Teknik penulisan dalam pembuatan skripsi ini mengacu kepada buku

pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.7

E. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika penulisan pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dari kata pengantar, daftar isi, dan dibagi menjadi bab dan sub bab serta diakhiri dengan kesimpulan dan saran. Untuk lebih jelasnya pembagian bab-bab sebagai berikut :

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifiksi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

7 Fakultas Syari’ah dan Hukum Syar

if Hidayatullah Jakarta tahun 2007, Buku Pedoman Penulisan Skripsi,)Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007(.


(20)

BAB II Konsep tindak kejahatan pemalsuan data. Yang terdiri dari tiga sub bab. Yang pertama, pengertian mengenai kejahatan komputer. Kedua, kendala menciptakan masyarakat informasi. Ketiga, faktor pendorong laju pertumbuhan tidak pidana pemalsuan data.

BAB III Ketentuan dan sanksi hukuman bagi pelaku tindak kejahatan pemalsuan data menurut hukum Islam dan Undang Undang ITE. Yang terdiri dari dua subbab. Yang pertama, dasar hukum serta sanksi bagi pelaku tindak pidana pemalsuan data menurut hukum islam. Kedua, sanksi dan ancaman pidana tindak kejahatan pemalsuan data dalam Undang-Undang ITE.

BAB IV Tindak pidana pemalsuan data serta penanggulangan menurut UU ITE dan Hukum Islam. Yang terdiri dari lima subbab. Yang pertama, Pemalsuan data menurut UU ITE. Kedua, jenis-jenis tindak pidana pemalsuan data. Ketiga, pemalsuan data menurut hukum islam. Keempat, penanggulangan tindak kejahatan pemalsuan data dalam UU ITE. Kelima, analisis pandangan hukum islam dan undang-undang ITE tentang pemalsuan data.

BAB V Penutup, yang terdiri dari dua subbab, yang pertama kesimpulan, yang kedua saran-saran.


(21)

BAB II

KONSEP TINDAK KEJAHATAN PEMALSUAN DATA

A. Kejahatan Komputer

Kejahatan Komputer adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan memakai komputer sebagai sarana / alat atau komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain. Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis utama komputer dan jaringan telekomunikasi ini dalam beberapa literatur dan prakteknya dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain:8

a) Illegal Access / Akses Tanpa Ijin ke Sistem Komputer

Dengan sengaja dan tanpa hak melakukan akses secara tidak sah terhadap seluruh atau sebagian sistem komputer, dengan maksud untuk mendapatkan data komputer atau maksud-maksud tidak baik lainnya, atau berkaitan dengan sistem komputer yang dihubungkan dengan sistem komputer lain. Hacking merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang sangat sering terjadi.

b) Illegal Contents / Konten Tidak Sah

8

H. Heru Soepraptomo, Kejahatan komputer dan siber serta antisipasi pengaturan pencegahannya di Indonesia, (Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis Volume 12, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2001). h. 12.dapat diakses melalui underlaw98.tripod.com/azam3.pdf.


(22)

Kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.

c) Data Forgery / Pemalsuan Data

Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui internet. Kejahatan ini bisaanya ditujukan pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi salah ketik yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku.

d) Data Theft / Mencuri Data

Kegiatan memperoleh data komputer secara tidak sah, baik untuk digunakan sendiri ataupun untuk diberikan kepada orang lain. Identity theft merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang sering diikuti dengan kejahatan penipuan (fraud). Kejahatan ini juga sering diikuti dengan kejahatan data leakage.

e) Misuse of devices / Menyalahgunakan Peralatan Komputer

Dengan sengaja dan tanpa hak, memproduksi, menjual, berusaha memperoleh untuk digunakan, diimpor, diedarkan atau cara lain untuk kepentingan itu, peralatan, termasuk program komputer, password komputer, kode akses, atau data semacam itu, sehingga seluruh atau sebagian sistem komputer dapat diakses dengan tujuan digunakan untuk melakukan akses tidak sah, intersepsi tidak sah, mengganggu data atau


(23)

sistem komputer, atau melakukan perbuatan-perbuatan melawan hukum lain.

Contoh penyalahgunaan peralatan komputer : Pemalsuan data / dokumen-dokumen, pemalsuan kartu kredit, perjudian melalui komputer, pelanggaran terhadap hak cipta, dll.

B. Kendala Menciptakan Masyarakat Informasi

Masyarakat informasi, istilah itulah yang sedang berkembang di kalangan praktisi telematika dan pemerintahan. Istilah masyarakat informasi menurut Ronfeld (1992) diartikan sebagai masyarakat yang menunjukkan batas yang semakin kabur antara perangkat keras komputer, sistem berkomunikasi dan satelit komunikasi, jaringan global dan sebagainya (Sulistyo Basuki, 1999). Berdasarkan definisi tersebut jelas bahwa dengan adanya masyarakat informasi, maka interaksi antar individu satu dengan individu lainnya akan semakin dibantu dengan keberadaan jaringan satelit komunikasi.9

Ada beberapa alasan mengapa masyarakat informasi sangat penting untuk dilaksanakan. Pertama, masyarakat akan semakin mudah untuk menerima akses informasi yang sedang berkembang. Ketika dulu masyarakat hanya mungkin

9

Ashadi Siregar, Negara, Mayarakat, dan Teknologi Informasi, makalah pada seminar Teknologi Informasi, (Yogyakarta: 19 September 2001).


(24)

mendapatkan informasi dari koran ataupun televisi yang mungkin pembahasannya terbatas hanya pada wacana nasional saja. Tapi ketika adanya masyarakat informasi, maka masyarakat akan dimungkinkan untuk mengakses semua informasi dari seluruh penjuru dunia ini tanpa adanya batasan-batasan ruang dan waktu. Kedua, akan mengefektifkan kegiatan masyarakat. Misalnya ketika dulu transaksi jual beli hanya bisa dilakukan ketika antara si penjual dan pembeli telah bertemu. Tetapi ketika sudah ada sistem IT, maka transaksi jual beli dimungkinkan dilakukan di dunia maya. Proses tawar menawar dimungkinkan terjadi, walaupun si penjual dan pembeli tidak bertemu. Hal ini jelas akan mengefektifkan dari semua aspek baik itu waktu, biaya, dan tenaga. Ketiga, akan memermudah pemerintah untuk menjalankan sebagian fungsi utamanya yaitu pelayanan dan regulasi. Di sini pemerintah bisa mengumpulkan sebanyak mungkin masalah yang berkembang di masyarakat dan kemudian ketika sudah ditemukannya solusi berupa kebijakan, maka pemerintah dapat mensosialisasikan informasi itu kembali pada masyarakat.10

Namun, ternyata dalam mewujudkan masyarakat iinformasi itu sangat sulit. Ada beberapa kendala yang menghadang terwujudnya masyarakat informasi, yaitu :

10

Zamri. Kejahatan di Bidang Teknologi Informasi, Tantangan Penegakan Hukum dan Permasalahannya. (presentasi pada Sosialisasi UU ITE). Dapat diakses pada http://www.computeksd.com/DefamationJuice.gif


(25)

1. Dana

Seperti kita ketahui utnuk membeli peralatan-peralatan IT sangat mahal harganya dibandingkan kemampuan bangsa ini. Di saat kondisi perekonomian negeri ini yang kurang baik, maka IT belum bisa dijadikan prioritas utama oleh pemerintah. Pembangunan infrastruktur lain lebih diutamakan, mengingat ternyata IT memang belum menjadi kebutuhan primer masyarakat.

2. Konektivitas

Di mana tidak semua daerah Indonesia terkoneksi dengan audio, video, komputer dan web-based technology. Hal ini disebabkan negara kita yang terdiri dari berbagai kepulauan, sehingga hal ini menyulitkan pemerintah dalam membangun infrastruktur yang mendukung sistem informasi yang dapat dinikmati oleh semua daerah. Maka tidak mengerankan pembangunan sistem IT masih terbatas di wilayah perkotaan, yang mempunyai struktur geografis yang merata.11

3. Adanya kesenjangan informasi dan pengetahuan

Hambatan lain adalah masih adanya kesenjangan informasi dan pengetahuan. Kesenjangan ini dapat terjadi apabila informasi tidak tersebar secara merata kepada seluruh masyarakat dan apabila banyak

11

Zamri. Kejahatan di Bidang Teknologi Informasi, Tantangan Penegakan Hukum dan Permasalahannya. (presentasi pada Sosialisasi UU ITE). Dapat diakses pada http://www.computeksd.com/DefamationJuice.gif


(26)

informasi yang tertutup, sehingga masyarakat mempunyai informasi yang terbatas. Ketidakseimbangan arus informasi tersebut dapat terjadi antara masyarakat kota dan masyarakat pedesaan, antara kelompok minoritas =yang kaya dengan kelompok mayoritas yang miskin dan antara kelompok elite dan massa, yang menyebabkan berkurangnya kegiatan

komunikasi dan mengurangi kegiatan persediaan dan permintaan di “pasar

informasi”, sehingga dapat mengurangi sirkulasi informasi yang lebih bebas. Sampai saat ini masih ada kesenjangan informasi antara masyarakat kota dengan masyarakat pedesaan dan daerah terpencil. Kesenjangan ini disebabkan masih terbatasnya infrastruktur di daerah pedesaan dan daerah terpencil sehingga masih kesulitan untuk mengakses informasi yang mereka butuhkan, sedangkan di perkotaan sumber-sumber informasi itu relatif banyak dan mudah didapatkan. Perbedaan status sosial seperti ekonomi, pendidikan dan sebagainya juga dapat menyebabkan kesenjangan informasi. Orang kaya cenderung mudah mendapatkan berbagai sumber informasi, sedangkan orang miskin tidak mampu untuk mendapatkan sumber-sumber informasi terebut karena lebih memikirkan ekonominya dari pada memikirkan untuk mendapatkan suatu sumber informasi. Orang yang berpendidikan tinggi juga cenderung mudah mendapatkan sumber-sumber informasi yang mereka butuhkan, sedangkan orang yang berpendidikan rendah akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan informasi.


(27)

4. SDM yang lemah

Sumber daya manusia yang lemah, baik di masyarakat maupun kalangan pemerintahan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka buta huruf dan masih rendahnya minat baca serta masih berkembangnya tradisi lisan, terutama pada masyarakat yang hidup di pedesaan dan daerah terpencil. Padahal informasi dan pengetahuan bisaanya disajikan dalam media bacaan, baik cetak maupun non cetak, seperti buku, koran, majalah, internet dan sebagainya. Namun sadar informasi bukan hanya terbatas pada kebisaaan membaca, tetapi lebih dari itu yaitu kesanggupan untuk memahaminya (literasi informasi). Rendahnya kualitas sumber daya manusia tersebut dapat menyebabkan rendahnya posisi tawar dan fungsi kontrol mereka terhadap kelemahan berbagai lembaga pelayanan publik.12

5. Regulasi yang kacau

Hambatan terhadap kebebasan informasi ini sering disebabkan karena adanya regulasi yang kacau. Sehingga yang terjadi adalah peraturan yang menekan, adanya sensor, intimidasi dan kekerasan fisik, birokrasi yang berbelit-belit, infrastruktur yang tidak memadai dan takut pada penguasa. Hambatan terebut pernah terjadi pada masa pemerintahan orde baru, dan

12

Zamri. Kejahatan di Bidang Teknologi Informasi, Tantangan Penegakan Hukum dan Permasalahannya. (presentasi pada Sosialisasi UU ITE). Dapat diakses pada http://www.computeksd.com/DefamationJuice.gif. di akses pada tanggal 15 April 2011


(28)

setelah terjadi reformasi, beberapa hambatan berangsur-angsur mulai menghilang. Namun pada saat ini yang sering terjadi adalah adanya birokrasi yang masih berbelit-belit dan kinerja aparat pelayanan publik yang belum transparan dan akuntabel, di sisi lain masyarakat belum mempunyai bargaining power dan kontrol terhadap kinerja aparat tersebut.

Adanya berbagai masalah seperti tersebut di atas menyebabkan sampai saat ini masyarakat dan negara kita belum mempunyai empowerment dalam menghadapi era informasi yang sangat kompetitif ini. Untuk menyelesaikan masalah tersebut maka perlu ada perhatian dari semua pihak yang terkait seperti pemerintah, lembaga legislatif, para profesional dan sebagainya. Selain itu keberhasilan memecahkan masalah ini juga sangat tergantung dari partisipasi masyarakat agar selalu aktif mencari dan memanfaatkan informasi yang dibutuhkan serta menyampaikan berbagai keluhan kepada pemerintah apabila mendapat pelayanan informasi yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.13

Adapun hal–hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah yaitu :

1. Penyediaan infrastruktur pendukung IT

13

Zamri. Kejahatan di Bidang Teknologi Informasi, Tantangan Penegakan Hukum dan Permasalahannya. (presentasi pada Sosialisasi UU ITE). Dapat di akses pada http://www.computeksd.com/DefamationJuice.gif. di akses pada tanggal 15 April 2011


(29)

Dalam membangun dan mengembangkan sarana dan prasarana telekomunikasi seyogianya tidak hanya bertumpu kepada komunikasi telepon kabel dan seluler/satelit saja. Melihat kondisi ekonomi kita yang terpuruk, yang terpenting dalam pembangunan dan pengembangan sistem komunikasi adalah segi biaya yang murah. Penghematan biaya seperti yang diusulkan pakar telekomunikasi DR Onno Widodo Purbo (Kompas, 10/1) perlu dijadikan alternatif yang bisa dilakukan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri. Untuk daerah-daerah kepulauan atau pedalaman yang sulit dijangkau komunikasi kabel dan seluler bisa digunakan komunikasi radio, seperti HF (high frequency) dan VHF (very high frequency). Sistem komunikasi tersebut memang sedikit atau bahkan sudah terpinggirkan (marjinal), namun dalam kondisi geografis dan keadaan ekonomi bangsa ini, sistem komunikasi radio itu dapat menjadi alternatif pilihan. Sistem komunikasi utama (kabel dan satelit) jika diintegrasikan dengan sistem komunikasi radio mungkin bisa menjadi salah satu solusi dalam rangka pemerataan informasi.14

2. Perbaikan SDM

Untuk meningkatkan sumber daya manusia yang sadar teknologi informasi perlu ada gerakan sadar teknologi informasi yang tidak hanya bagi masyarakat kota, namun juga masyarakat pedesaan. Hasil survei yang

14


(30)

dilakukan Lapan pada tahun 2003, ternyata banyak operator komunikasi radio di pemerintah kabupaten (sub bagian sandi dan telekomunikasi) di luar Jawa yang masih memerlukan peningkatan kemampuan. Belum lagi masih banyak ibu kota kecamatan yang belum terjangkau sarana komunikasi sama sekali. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan komunikasi radio tersebut. Perlu juga mendorong masyarakat atau pemerintah daerah (kabupaten dan kecamatan) untuk menggunakan sarana komunikasi alternatif (marjinal) yang lebih murah untuk mendukung operasional rutin.

3. Dibuatnya regulasi yang mendukung penerapan IT

Sudah saatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dapat mendukung diwujudkannya masyarakat informasi. Dengan demikian maka akan ada pedoman yang jelas dalam pelaksanaan semua kegiatan baik masyarakat dan pemerintah. Hal ini akan mengefektifkan kinerja pemerintah dalam hubungannya pelayanan terhadapa publik. Kemudian adanya regulasi yang tepat, akan meminimalisir kejahatan-kejahatan yang terjadi di dunia maya.

Ketiga solusi yang saya tawarkan tadi, mungkin hanya sebagaian kecil dari solusi-solusi yang ada. Yang terpenting disini adalah adanya kerjasama dari semua elemen, bak itu pemerintah, masyarakat, dan sawasta. Karena percuma saja


(31)

pemerintah berusaha secara keras, jika ternyata tidak didukung oleh masyarakat dan sektor swasta. Dengan kebersamaan itu penulis yakin bahwa untuk mewujudkan masyarakat informasi, bukan cuma mimpi belaka.

C. Faktor Pendorong Laju Pertumbuhan Tindak Pidana Pemalsuan Data

Proses pembangunan yang selama ini terus menerus dilakukan merupakan salah satu konsekuensi dari eksistensi Indonesia sebagai Negara berkembang. Segala bentuk aktivitas pembangunan diharapkan dapat berjalan dalam koridor yang tepat, sehingga tujuan pembangunan yang tercapainya masyarakat yang adil dan makmur, material dan spiritual dapat segera terwujud.

Perlunya proses pembanguan dilakukan secara berkelanjutan (sus-ainable development) merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi mengingat besarnya resiko yang harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat apabila terjadi kemandengan dalam proses pembangunan, seperti: rendahnya angka pertumbuhan ekonomi, meningkatnya angka kriminalitas, yang semuanya akan bermuara pada hilangnya kepercayaan masyarakat terharap pemerintah sebagaimana pernah terjadi beberapa tahun yang lalu pada saat Indonesia diterpa krisis moneter.15

15

Elisatris. Gultom. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi. (Bandung: PT Refika Aditama), 2005. Cet. 1. h. 90


(32)

Pentingnya proses pembangunan berjalan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan dimaksudkan agar hasil pembangunan dapat memberikan kontribusi positif bagi pembangunan bangsa. Pengalaman di beberapa Negara berkembang menunjukkan bahwa pembangunan yang dilaksanakan tanpa perencanaan yang akan mengakibatkan munculnya pemborosan anggaran negara baik akibat kualitas pembangunan kualitas pembangunan yang tidak sesuai dengan harapan maupun adanya berbagai penyelewengan anggaran Negara oleh berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab.

Proses pembangunan hampir dipastikan akan membawa dampak yang meluas pada berbagai aspek kehidupan manusia, seperti dikemukakan Soejorno Soekanto bahwa pembangunan merupakan perubahan terencana dan teratur yang antara lain mencakup aspek-aspek politik, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi.16

Berkaitan dengan pembangunan di bidang teknologi, dewasa ini perbedaan manusia dihadirkan dengan adanya fenomena baru yang mampu mengubah hampir setiap aspek kehidupan manusia, yaitu perkembangan teknologi informasi melalui internet (Interconnetion Network).

Bagi sebagian orang munculnya fenomena ini telah mengubah perilaku manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain, baik secara individu maupun kelompok. Di samping itu, kemajuan teknologi tentunya akan berjalan bersamaan

16

Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalahan Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), h. 11


(33)

dengan munculnya perubahan-perubahan di bidang kemasyarakatan. Perubahan-perubahan tersebut dapat mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, pola-pola perikelakuan, organisasi, susunan, lembaga kemasyakat, kekuasaan dan wewenang interaksi sosial dan lain sebagainya.17

Hal yang sama dikemukakan pula oleh Satjipto Raharjo pada saat menyatakan: “Dalam kehidupan manusia banyak alasan yang dapat di kemukakan sebagai penyebab timbulnya suatu perubahan di dalam masyarakat, tetapi perubahan dalam penerapan hasil-hasil teknologi modern dewasa ini banyak disebut-sebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan

social”.18

Kemajuan teknologi informasi khusunya media internet, dirasakan banyak memberikan manfaat seperti dari segi keamanan, kecepatan serta kenyamanan. Contoh sedehana, dengan dipergunakannya media internet sebagai sarana pendukung dalam pemesanan / reservasi tiket (pesawat terbang, kereta api), hotel, pembayaran tagihan telepon, listrik, telah membuat konsumen semakin nyaman dan aman dalam menjalankan aktivitasnya. Konsumen tidak perlu keluar rumah dan antri untuk memperoleh layanan yang dinginkan karena proses pemesanan / reservasi dapat dilakukan di dalam rumah, kantor, bahkan di dalam

17

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: (Rajawali Pers, 1980), h. 87-88

18


(34)

kendaraan, begitu pula tingkat keamanan dalam berinteraksi relative terjamin karena transaksi dilakukan secara on line.

Pada umumnya, bagi suatu masyarakat yang mengalami perubahan, khusunya perubahan yang bersumber dari kemajuan teknologi akan lebih mudah menghadapi masalah-masalah sosial. Kondisi ini dapat terjadi karena masyarakat itu sendiri belum siap untuk menerima perubahan tersebut atau karena nilai-nilai masyarakat yang telah berubah menilai kondisi lama sebagai kondisi yang tidak lagi dapat diterima.19 Contoh, dampak negativ dari mulai diterapkannya proses pemintalan benang dengan mempergunakan mesin-mesin tekstil modern untuk menggantikan alat pemintalan benang manual / konvensional mengakibatkan banyak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Akibat dari PHK, angka pengangguran menjadi meningkat yang pada akhirnya akan memicu pula terjadinya peningkatan tindak pidana / kriminalitas (instabilitas social).

Kondisi yang relatif sama akan dihadapi akibat maraknya penggunaan media internet dalam kehidupan masyakat dewasa ini. Melalui media Internet beberapa jenis tindak pidana semakin mudah untuk dilakukan seperti, tindak pidana pencemaran nama baik, pornografi, perjudian, pembobolan rekening, penipuan, pemalsuan data / dokumen-dokumen penting, hingga tindak pidana terorisme.

19

Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi (alih bahasa Aminuddin Ram), (Jakarta: Erlangga, 1984), h. 237


(35)

Roy Suryo, seorang pakar teknologi informasi, dalam salah satu penelitiannya pernah mengemukakan: Kejahatan siber (cybercrime) kini marak di lima kota besar di Indonesia dan dalam taraf yang cukup mengkhawatirkan serta dilakukan oleh para hacker yang rata-rata anak muda yang kelihatannya kreatif, tetapi sesungguhnya mereka mencuri nomor kartu kredit melalui internet.

Bagaimana proses kejahatan siber tersebut terjadi? Para Hacker melakukan pencurian melalui internet dengan cara membeli barang menggunakan kartu kredit milik orang lain di luar negeri yang diperoleh melalui internet. Mengenai hal ini Roy Suryo mengharapkan bahwa untuk mengantisipasi kejahatan siber diperlukan perangkat hukum semacam badan pengawasan penggunaan internet atau undang-undang Elektronik yang dapat memberi sanksi hukum terhadap pelanggaran dan kejahatan di bidang tersebut.

Pernyataan di atas jelas menyiratkan bahwa kemajuan teknologi sangat potensial terhadap munculnya berbagai bentuk tindak pidana, bahkan yang lebih mengkhawatirkan aktivitas illegal ini dilakukan oleh kelompok masyarakat yang selama ini dianggap jauh dari kemungkinan melakukan tindak pidana.

Oleh karena itu, agar suatu kemajuan teknologi (penemuan baru) dapat dipergunakan ke arah kemajuan karena memang itulah yang menjadi tujuan utama lahirnya penemuan-penemuan baru maka diharapkan inovasi akan dibawa / terjadi pada masyarakat yang siap (mempunyai predisposisi) untuk mengadakan


(36)

kemajuan masyarakat yang diinginkan. Tanpa predisposisi, tidak mudah untuk mengarahkan kemajuan teknik kearah kemajuan untuk masyarakat.20

Kesiapan masyarakat yang diperlukan dalam menghadapi kemajuan teknologi dapat berwujud kesiapan infrastruktur pendukung, mental masyarakat yang akan menghadapi kemajuan bahkan perangkat perundang-undangan yang mengaturnya, yang pada gilirannya akan memaksa dirumuskan suatu norma-nomra baru,

Apabila dipandang dari sudut alat komunikasi, Internet memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan alat komunikasi lainnya seperti telepon, surat, atau fax. Melalui internet pertukaran informasi dapat dilakukan secara cepat, tepat, serta dengan biaya yang relative murah. Dengan memperhatikan karakteristik internet yang demikian khusus, maka internet dapat menjadi media yang memudahkan seseorang untuk melakukan berbagai tindak pidana yang berbasiskan teknologi informasi (cyber crime). Selama ini, banyak informasi yang diperoleh perihal banyaknya tindak pidana dengan mempergunakan internet sebagai alat bantunya.

Hal yang menarik untuk diperhatikan berkenaan dengan semakin maraknya kejahatan yang dilakukan dengan memepergunakan media internet adalah pelaku tindak pidana umumnya berasal dari kelompok masyarakat yang berpendidikan. Di Amerika Serikat, Robert Tappan Morris yang menciptakan

20

Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan sosial, (Bandung: Putra Abardin, 1999), h. 160


(37)

program Worm yang mampu membayar di Internet secara otonom dan tak terkendali, sehingga mampu memacetkan ribuan komputer di internet adalah lulusan dari universitas ternama yaitu Cornell university. Begitu pula Dennis M. Richie, seorang hacker yang lahir di New York adalah lulusan program PhD Matematika Terapan di Harvard University.

Dari gambaran di atas terlihat dengan jelas bahwa pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi internet mampu mengubah berbagai pola-pola yang sudah mapan dalam suatu tindak pidana dengan kata lain modus operandi yang umumnya dilakukan dalam kejahatan konvensional melalui teknologi internet telah diubah menjadi modus operandi yang sifatnya baru, sehingga hal ini mengakibatkan perlunya ditemukan upaya-upaya penanganan yang baru pula.

Di bawah ini Penulis akan mencoba memberikan gambaran faktor-faktor penyebab sehingga angka cybercrime dalam kasus pemalsuan data cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.21

1. Kesadaran Hukum Masyarakat

Proses penegakan hukum pada dasarnya adalah upaya mewujudkan keadilan dan ketertiban di dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui system peradilan pidana dan system pemindahan. Pada dasarnya hak-hak warga Negara yang terganggu akibat perbuatan melawan hukum seseorang akan diseimbangkan kembali.

21

Budi Raharjo, Pernak Pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di Indonesia, 2001, http//www.budi.insan.co.id, h. 2.


(38)

Kejahatan Pemalsuan Data adalah sebuah perbuatan yang tercela dan melanggar kepatutan di dalam masyarakat serta melanggar hukum, sekalipun sampai sekarang sukar untuk menemukan norma hukum yang secara khusus mengatur cyber crime dalam kasus pemalsuan data. Oleh karena itu peran masyarakat dalam upaya penegakan hukum terhadap cyber crime dalam kasus pemalsuan data adalah penting untuk menentukan sifat dapat dicela dan melanggar kepatutan masyarakat dari suatu perbuatan cyeber crime dalam kasus pemalsuan data.

Sampai saat ini, kesadaraan hukum masyarakat Indonesia dalam merespon aktivitas cyber crime masih dirasakan kurang. Hal ini disebabkan anatar lain oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan lack of information) masyarakat terhadap jenis kejahatan cyber crime dalam pemalsuan data. Lack of information ini menyebabakan upaya penanggulangan cyber crime dalam kasus pemalsuan data mengalami kendala, dala hal ini kendala yang berkenaan dengan penataan hukum dan proses pengawasan (controlling) masyarakat terhadap setiap aktivitas yang berkaitan dengan cybercrime dalam kasus pemalsuan data.22

Mengenai kendala yang pertama yaitu mengenai proses penataan terhadap hukum, jika masyarakat di Indonesia memiliki pemahaman yang

22

Fressy Haris, Cybercrime dari Persfektif Akademis, Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, h. 4. dalam <http:www.gipi.or.id>


(39)

benar akan tindak pidana cybercrime khusus nya dalam kasus pemalsuan data maka baik secara langsung maupun tidak langsung masyarakat akan membentuk suatu pola penataan. Pola penataan ini dapat berdasarkan karena ketakutan akan ancaman pidana yang dikenakan bila melakukan perbuatan cyber crime dalam kasus pemalsuan data atau pola penataan ini tumbuh atas kesadaran mereka sendiri sebagai masyarakat hukum.

Melalui pemahaman yang komprehensif mengenai cyber crime, peran masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pengawasan, ketika masyarakat mengalami lack of information, peran mereka akan menjadi mandul. Misalnya, dalam sebuah masyarakat yang lack of information datang seorang mahasiswa yang membawa seperangkat komputer dan ditempat nya yang baru ini, si mahasiswa memasang barang-barang mewah melalui carding, maka tidak ada kecurigaan atas perbuatan si mahasiswa ini, bahkan sebaliknya masyarakat cenderung terkesan dengan pola tingkah mahasiswa dimaksud.23

Lain halnya dengan detik-detik konvensional seperti pencurian. Masyarakat secara umum telah mengetahui apa yang dimaksud dengan pencurian sehingga ketika ada warga masyarakat yang dicurigai akan melakukan pencurian, masyarakat sekitar dapat mengantisipasinya. Atau jika

23

Fressy Haris, Cybercrime dari Persfektif Akademis, Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, h. 5. dalam <http:www.gipi.or.id>


(40)

telah terjadi pencurian di dalam suatu kompleks masyarakat, warga sekitar segara melaporkan kepada aparat kepolisian setempat.

2. Faktor Keamanan

Rasa aman tentunya akan dirasakan oleh pelaku kejahatan (cybercrime) pada saat sedang menjalankan “aksinya”. Hal ini tidak lain karena Internet lazim dipergunakan ditempat-tempat yang relative tertutup, seperti rumah, kamar, tempat kerja, perpustakaan bahkan di warung internet (warnet). Aktivitas yang dilakukan oleh pelaku di tempat-tempat tersebut sulit untuk diketahui oleh pihak luar. Akibatnya, pada saat pelaku sedang melakukan tindak pidana/kejahatan sangat jarang orang luar mengetahuinya. Hal ini sangat berbeda dengan kejahatan-kejahatan yang sifatnya konvensional, yang mana pelaku akan mudah diketahui secara fisik ketika

sedang melakukan “aksinya”.24

Begitu pula, ketika pelaku sedang beraksidi tempat terbuka, tidak

mudah orang lain mengetahui “aksinya”. Misalnya di warnet yang tidak

mempunyai penyekat ruangan, sangat sulit bagi orang awam untuk mengetahui bahwa seorang sedang melakukan tindak pidana. Orang lain akan beranggapan bahwa pelaku sedang menggunakan komputer untuk keperluan bisaa, padahal sebenarnya ia sedang melakukan kejahatan. Kondisi ini akan

24

Soedjono Dirdjosisworo, Respon Terhadap Kejahatan, Introduksi Hukum Penanggulangan Kejahatan (Introduction To The Law of Crime Prevention), (Bandung: STHHB, 2002), h. 104


(41)

membuat pelaku menjadi semakin berani. Di samping itu, apabila pelaku telah melakukan tindak pidana, maka dengan mudah pelaku dapat menghapus semua jejak kejahatan yang telah di lakukan mengingat internet menyediakan fasilitas untuk menghapus data / file yang ada. Akibatnya pada saat pelaku tertangkap sukar bagi aparat penegak hukum untuk menemukan bukti-bukti kejahatan.25

3. Faktor Penegak Hukum

Faktor penegak hukum sering menjadi penyebab maraknya kejahatan siber (cybercrime). Hal ini dilatarbelakangi masih sedikitnya aparat penegak hukum yang memahami seluk beluk teknologi informasi (internet), sehingga pada saat pelaku tindak pidana ditangkap, aparat penegak hukum mengalami kesulitan untuk menemukan alat bukti yang dapat dipakain menjerat pelaku, terlebih apabila kejahatan yang dilakukan memilki system pengoprasian yang sangat rumit.

Di samping itu, aparat penegak hukum di daerah pun belum siap dalam mengantisipasi maraknya kejatan ini karena masih banyak institusi kepolisian di daerah baik polri maupun Polsek, belum dilengkapi dengan jaringan internet. Perlu diketahui, dengan teknologinya yang sedemikian canggih, memungkinkan kejahatan dilakukan disatu daerah namun akibat

25

Kristina, Yudi. Penegakan Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik dan Implikasinya,


(42)

yang ditimbulkan dapat terjadi di daerah lain, bahkan hingga ke luar negeri. Jangan menyelidiki dan menyidik kasus cyber crime mengenal internet pun belum tentu aparat penegak hukum mengetahuinya (kuhusnya untuk penegak hukum di daerah).26

26

Elisatris. Gultom. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi. (Bandung: PT Refika Aditama), 2005. Cet. 1. h. 92


(43)

BAB III

KETENTUAN DAN SANKSI HUKUMAN BAGI PELAKU TINDAK KEJAHATAN PEMALSUAN DATA

A. Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Data Menurut Hukum Islam 1. Dasar Hukum Larangan Tindak Pidana Pemalsuan Data

Sebagaimna uraian sebelumnya bahwa di dalam hukum Islam, pembahasan secara khusus dan jelas, mengenai tindak pidana pemalsuan data ini belum ditemukan, akan tetapi, bukan berarti tidak ada ketentuan yang bisa dijadikan landasan larangan terhadap tindak pidana pemalsuan ini, mengingat hukum islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia yang berlaku secara universal, relevan pada setiap zaman (waktu), dan makan (ruang) manusia.27

Secara umum perbuatan memalsukan data merupakan perbuatan dusta (bohong), karena pada dasarnya di dalam perbuatan tersebut terdapat dusta yakni dengan tidak memberikan keterangan yang sebenarnya / seharusnya di dalam data-data yang dipalsukan tersebut, baik mengenai tanda tangan, isi data-data, stempel maupun cara memperoleh data-data tersebut.

27

Said Agil Husin al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamdani, 2004) Cet. 1, h. 6


(44)

Di dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang melarang dengan tegas untuk tidak berbuat dusta (al-Kidzb). Secara etimologis, kata al-Kidzb difahami sebagai lawan dari al-Shidiq. Lafadz kadzaba dalam segala bentuknya terdapat 238 buah di dalam al-Qur’an. Ungkapan dusta dalam ayat -ayat tersebut sering ditunjukan kepada orang kafir, karena mereka tidak membenarkan Wahyu Allah, bahkan mereka sering membuat ungkapan tandingan dalam rangka mendustakan ayat. Dalam surat An-Nahl ayat 116 Allah mengingatkan :



























Artinya : Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yng disebut-sebut

oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk

mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Q.S. An-Nahl 16: 116).

Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa berbohong adalah sifat tercela dan sangat berbahaya, termasuk dalam konteks pemalsuan data yang berarti berbohong dalam memberikan keterangan yang sebenarnya di dalam isi data tersebut.

Hukum Islam sangat mengecam perbuatan-perbuatan yang mengandung unsur kebohongan dan kepalsuan karena akibat-akibat buruk


(45)

yang ditimbulkannya, seperti contoh perbuatan sumpah palsu dan kesaksian palsu. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim yang bersumber dari Abu Bakrah yang berbunyi :

ّص ه ْ س ق ْع ه ض ْبأ ْ ع ْ ب بأ ْب ْح ل ْع ْ ع

ه ب ْشإْل ق ه ْ س ّب ّْق ئ ْل ْ أب ْم أ اأ مّس ّْع ه

اأ ْ ل ش ْ ل ْ ق اأ ف سّجف م

ْ ل ْل ْ ع

لْ ف ْ ل ش ْ ل ْ ق

(

ل

)

Artinya : Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari bapaknya berkata Rasulullah SAW bersabda, maukah kalian saya beritahu tentang dosa-dosa besar?, kami menjawab tentu wahai Rasulullah, beliau bersabda, menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, pada saat itu beliau duduk bersandar, lalu bersabda, menyekutukan Allah, juga ucapan atau kesaksian palsu, beliau terus bersabda tentang kesaksian palsu (HR.Bukhari).28

Selain itu, perbuatan memalsu juga termasuk ke dalam penipuan dan pengelabuan. Islam melarang umatnya mengelabui dan menipu dalam berbagai hal, sekalipun dalam menjalankan jual beli dan seluruhnya dan seluruh permuamalahan di antara manusia. Sebab, penipuan dan pengelabuan adalah suatu perbuatan aniaya dan orang, yakni menletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Di samping itu, penipuan dan pengelabuan merusak kewajiban tanggung jawab dan kepercayaan serta membisaakan diri memakai yang haram. Karena itu penipuan dan pengelabuan termasuk ke dalam salah

28


(46)

satu sifat orang munafik. Orang yang menipu dan mengelabui, maka pada dirinya telah sadarat seperempat kadar munafik.29

Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang berbunyi :30

ق مّس ّع ه ل ع ب ه ع ع

:

ف م عب

ح

ل م ّصخ ف

م ّصخ ف

م صل خ ف م

ع

:

فّخ ع

ف خ

)

,

ع

ح

جف مص خ غ

(

ل

)

Artinya : Dan Abdullah Ibn Amr, bahwa Nabi Muhammad Saw telah

bersabda: “Ada empat perkara, barang siapa terdapat sifat itu

maka ia benar-benar seorang munafik dan barang siapa yang ada dalam dirinya salah satu dari sifat-sifat tersebut, maka ia memiliki karakter kemunafikan hingga ia melepaskannya, yaitu jiaka dipercaya ia berkhianat, (dalam riwayat lain: jika berjanji ia mengingkari). Jika berbicara ia berdusta, jika membuat perjanjian

ia serta, dan jika berdebat ia berlaku curang.”(H.R. Bukhari).

Islam melarang segala macam bentuk penipuan dan pengelabuan, termasuk perbuatan pemalsuan data, karena perbuatan zalim. Adapun dari segi bahasa pengertian zalim ialah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Ia adalah perbuatan melampaui batas atau bertindak terhadap hak manusia dengan cara yang tidak benar. Allah mengharamkan manusia berlaku zalim

29

TM. Hasbi Ash-Shiddiqi, Al-Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1998), Cet. 1, h. 583

30

Muhammad Nashiriddin Al-Bani, Mukhtasar Shahih Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), Cet. 2, h. 33


(47)

terhadap sesamanya sebagaimana hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi :

مّّْل إف مّّْل ّّل

ق مّس ّْع ه ّص ه ْع ْب ب ج ْ ع

س ْ أ ّع ْم ّ ح ْم ّْق ْ م ّْ أ ّّل ْ

م ْل مْ

ّظ

ْم م حم ْ ّح ْس ْم ء م

(

مّسم

)

Artinya : Dari Jabir bin Abdullah bahwasannya Rasulullah Saw telah bersabda; Hindarilah kezaliman, karena kezaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat kelak, Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan. (H.R. Muslim)31

Berdasarkan adanya kesesuaian antara tindak pidana pemalsuan data dengan jarimah pemalsuan tanda tangan dan pemalsuan stempel, maka tindakan Khalifah Umar bin Al-Khatab yang pernah memberikan hukuman

terhadap Mu’an ibn Zaidah, sebagai pelaku jarimah pemalsuan stempel Bait-Mal cukup untuk dijadikan landasan hukum larangan terhadap tindak pidana pemalsuan surat tersebut.32 Karena tindakan pemberian hukuman oleh Khalifah Umar ibn Al-Khatab terhadap pelaku pemalsuan tersebut menunjukkan bahwa, setiap perbuatan memalsukan adalah melakukan perbuatan yang dilarang karena termasuk ke dalam perbuatan dusta, penipuan, dan pengelabuan. Sedangkan perbuatan menipu dan mengelabui merupakan

31

Subhan dan Imran Rasyadi, Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003) Cet. 1, h. 256

32

Abd. Al-Aziz Amir, At-Takzir Fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, (Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1969), h. 262-268. Lihat juga A.H. Djazuli, Fiqh Jinayat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 205


(48)

perbuatan zalim yang dapat merugikan bahkan dapat mencelakakan orang lain, karena zalim adalah perbuatan menganiaya. Oleh karenanya harus diberikan hukuman bagi siapa saja yang melakukannya, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 279.



















Artinya : Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Al-baqarah 2: 279)

2. Sanksi Pidana Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Data dalam Hukum Islam

Dalam uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa tindak pidana pemalsuan data digolongkan ke dalam jarimah takzir, karena berdasarkan kesesuaian dengan jarimah pemalsuan tanda tangan, pemalsuan stempel dan pemalsuan Al-Qur’an. Oleh karenanya terhadap tindak pidana pemalsuan data maka ini dijatuhan hukuman takzir kepada setiap pelakunya.

Hukuman takzir adalah hukuman yang belum ditetapkan syara dan diserahkan sepenuhnya kepada Ulil Amri untuk menetapkannya. Sedangkan


(49)

para ulama fikih mendefinisikannya sebagai hukuman yang wajib menjadi hak Allah atau bani adam pada tiap-tiap kemaksiatan yang tidak mempunyai batasan tertentu dan tidak pula ada kafaratnya.33 Hukuman takzir ini jenisnya beragam namun secara garis besar dapat dibagi dalam empat kelompok, yaitu:

1. Hukuman takzir yang berkaitan dengan badan, seperti hukuman mati dan hukuman jilid.

2. Hukuman takzir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti hukuman penjara dan hukuman pengasingan.

3. Hukuman takzir yang berkaitan dengan harta, seperti denda penyitaan, perampasan harta dan penghancuran barang.

4. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh Ulil Amri demi kemaslahatan umum.34

Berdasarkan jenis-jenis hukuman takzir tersebut di atas, maka hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana pemalsuan surat adalah hukuman jilid dan hukuman pengasingan. Hal ini berdasarkan atas tindakan Khalifah Umar Ibn al-Khattab terhadap Mu’an Ibn Zaidah yang memalsukan stempel Bait Maal. Demikian pula terhadap tindak pidana pemalsuan

al-Qur’an, Khalifah Umar Ibn al-Khattab mengangsingkan Mu’an Ibn Zaidah setelah sebelumnya dikenakan hukuman takzir.

33 Ruway’I Ar-Ruhaly, Fiqh Umar,

Penerjemah A.M Basalamah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1994), Cet. 1, h. 110

34

A. Rahaman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, (Syari’ah), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2002), Cet. 1, h. 292-293


(50)

Hukuman jilid dalam pidana takzir ditentukan berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah serta ijma. Di dalam al-Qur’an misalnya dalam Surat an-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi:































































Artinya : Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya. Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya, Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Annisa 4: 34).

Meskipun hukuman jilid merupakan hukuman had, dan dalam ayat di atas takzir tidak dijatuhkan oleh Ulil Amri melainkan oleh suami, namun oleh para ulama ayat tersebut dijadikan dasar diperbolehkannya hukuman takzir.35

Sedangkan hadits yang menunjukkan bolehnya takzir dengan jilid adalah Haits Abu Burdah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi:36

35

Muslich, Hukum Pidana Islam,h. 196

36


(51)

ا ْ مّس ّْع ه ّص ه ْ س ع س أ

صْأْل ْ ب بأ ْ ع

ه ْ ح ْ م ح ط ْسأ ّع ْ ف حأ ّْج

Artinya : “Dari Abu burdah al-Anshari r.a. bahwa dia mendengar Rasulullah

Saw bersabda: “seseorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh

kali cambukan, kecuali dalam salah satu dari had Allah SWT”. (H.R. Muslim).

Dan pandangan para ulama, terdapat perbedaan dalam materi maksimal dan minimal hukuman jilid dalam jarimah takzir. Imam Al-Yusuf mengatakan tidak boleh lebih dari pada 39 (tiga puluh sembilan) kali dan batas serendahnya harus mampu memberikan dampak preventive dan reprensif. Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa batas maksimal adalah 79 (tujuh puluh sembilan) kali, dan ulama syafii’ah berpendapat batas maksimal tidak boleh dari 10 (sepuluh) kali, sedang menurut Imam Maliki batas maksimal jilid dalam takzir boleh melebihi had selama mengandung kemaslahatan.37

Ketentuan mengenai hukuman pengasingan terdapat al-Quran suratal-Maidah ayat 33 yang berbunyi:

37

Ahmad Dzazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 198


(52)



































Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka didunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar (al-Maidah 5: 33)

Meskipun ketentuan hukuman pengasingan dalam ayat tersebut dimaksudkan kepada pelaku jarimah hudud, tetapi para ulama menerapkan hukuman pengasingan ini dalam jarimah takzir.38

Tempat pengasingan menurut imam Malik adalah Negara Muslim ke Negara Non-Muslim dan Imam Abu hanifah menyamakannya dengan penjara, sedangkan menurut Imam Syafi’i yaitu jarak antara kota asal dengan kota pembuangannya adalah jarak perjalanan Qashar dalam shalat.

Adapun lama pengasingan menurut Imam abu Hanifah adalah 1 (satu)

tahun, sedangkan Syafi’iah dan sebagian Hanabilah tidak boleh melebihi 1

38


(53)

(satu) tahun, dan menurut sebagian yang lain, bila hukum pengasingan itu sebagai hukman takzir boleh lebih dari 1 (satu) tahun.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa hukuman yang dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana pemalsuan surat menurut hukum Islam adalah berupa hukiman takzir yakni dalam bentuk hukuman jilid dan pengasingan. Sebagaimana Khalifah Umar Ibn al-Khattab telah mengasingkan

Mu’an Ibn zaidah yang memalsukan stempel Bait al-Maal setelah sebelumnya

dijilid sebanyak 100 (seratus) kali.

B. Sanksi dan Ancaman Pidana Tindak Kejahatan Pemalsuan Data dalam Undang-Undang ITE

Hukum dibuat dan diberlakukan sebagai perlindungan kepada setiap orang agar dapat memberikan rasa aman dari semua perbuatan yang dapat menunggu dan mengancamnya. Adanya sanksi dalam hukum, diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada setiap manusia dari berbagai gangguan tersebut. Tindak pidana pemalsuan data merupakan salah satu perbuatan yang dirasa mengganngu dan merugikan, sehingga ketentuan dan sanksinya harus benar-benar ditegakkan.

Begitu pula di dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik akan ditemukan ketentuan sanksi pidana bagi


(54)

siapa saja yang melakukan pemalsuan data yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan sebagai bukti palsu dari pada suatu hal, atau melakukan pemalsuan terhadap akta-akta otentik. Tersirat perbuatan pemalsuan data yakni terdapat dalam :

Pasal 30

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.39

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

Pasal 31

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/ atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.

39

Redaksi New Merah Putih, Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik),


(55)

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 32

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.

(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.

Ketentuan pidana Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32 Undang – undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elktronik diatur dalam:

Pasal 46

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan / atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan / atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan / atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 47

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 8.00.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).


(1)

3. Di dalam hukum Islam belum ditemukan pembahasan yang khusus mengenai tindak pidana pemalsuan data. Akan tetapi, secara umum perbuatan memalsukan adalah termasuk ke dalam kebohongan (al-Kidzb), penipuan dan pengelabuan, dan merupakan perbuatan zalim. Akan tetapi, berdasarkan adanya kesesuaian antara tindak pidana pemalsuan data termasuk dengan pemalsuan tanda tangan dan jarimah pemalsuan stempel Bait al-Maal, maka tindak pidana pemalsuan data bisa digolongkan kedalam jarimah takzir, mengingat tindak pidana ini baik jenis maupun hukumannya tidak disebutkan di dalam nash syara.

B. Saran-saran

Atas beberapa hal yang penulis tulis dalam skripsi ini, maka penulis mencoba menyampaikan beberapa saran-saran, sebagai berikut:

1. Untuk mencegah terjadinya tindak pidana pemalsuan data diharapkan kepada para penegak hukum dan masyarakat agar lebih diperhatikan lagi mengenai tindakan tersebut, khususnya hukuman yang akan diberikan pada pelaku. 2. Untuk bisa mengantisipasi atau sekurang-kurangnya meminimalisir tindak

pidana pemalsuan data, maka pemerintah terutama hakim harus lebih tegas dan memberikan sanksi yang diberikan tersebut benar-benar bisa memberikan efek jera bagii yang telah melakukannya (fungsi keprensif), dan bisa membuat takut untuk melakukan bagi orang yang belum melakukan tindak pidana pemalsuan data (fungsi preventif), mengingat dampak dari pelaku pemalsuan


(2)

data dapat merugikan masyarakat dan Negara atau dapat merugikan berbagai pihak, karena kasus pemalsuan data ini merupakan salah satu jenis tindak pidana dengan derajat keseriusan yang cukup tinggi dan memberikan sanksi yang berarti dapat memberikan efek jera bagi pelakunya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahan

Abu Zahrah, Muhammad. Al-Jarimah Wal “Uqubah Fi al-Fikih Al-Islami, Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1998.

Agil Husin al-Munawar, Said. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamdani, 2004 Cet. 1.

Al-Aziz Amir, Abdul. At-Takzir Fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, Dar Fikr Al-Arabi, 1969.

Ash-Shiddiqi, TM. Hasbi. Al-Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1998, Cet. 1. Bukhari, Al-Maktabatu Syamilah, Juz 18.

Djazuli, A.H. Fikih Jinayat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Fakultas Syaria’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007, Buku

Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Syaria’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

Gultom, Elisatris., Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi. Bandung: PT Refika Aditama, 2005. Cet. 1.


(4)

Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995, Cet. 7.

Ibrahim, Jhonny., Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Bayu Media Publishing. 2006. Cet. 2.

Nashiriddin Al-Bani, Muhammad. Mukhtasar Shahih Bukhari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2004, Cet. 2.

Paul B. Horton dan Chester L. Hunt. Sosiologi (alih bahasa Aminuddin Ram), Jakarta: Erlangga, 1984.

Qadir Audah, Abdul. At-Tasyri’ Al-Islami, Beirut: Ar-Risalah, 1998, Cet. 14.

Raharjo, Budi., Pernak Pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Raharjo, Sajtipto. Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980.

Ramli, Ahmad., Cyberlaw dan Haki dalam Sistem Hukum Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2004. Cet. 1.

Redaksi New Merah Putih, Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). New Merah Putih. Cet. 1, Yogyakarta: 2009.


(5)

Siregar, Ashadi., Negara, Masyarakat, dan Teknologi Informasi. Makalah pada Seminar Teknologi Informasi, Pemberdayaan Masyarakat, dan Demokrasi, Yogyakarta, 19 September 2001.

Soekanto, Soerjono. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalahan Hukum, Bandung: Alumni, 1986.

Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 1980. Soekanto, Soerjono., Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 1986. Cet. 3.

Soepraptomo, H. Heru. Kejahatan komputer dan siber serta antisipasi pengaturan pencegahannya di Indonesia, Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis Volume 12, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2001.

Subhan dan Imran Rasyadi, Ringkasan Shahih Muslim, Jakarta: Pustaka Azzam, 2003 Cet. 1.

Susanto, Astrid S. Pengantar Sosiologi dan Perubahan sosial, Bandung: Putra Abardin, 1999.

Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat: Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Peradaban, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.


(6)

Yudi, Kristina. Penegakan Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik dan Implikasinya, Jakarta: Presentasi pada Sosialisasi UU ITE, 2009

Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1998. Yusuf Randi, Proteksi terhadap kriminalitas dalam bidang komputer, Bandung:

Refika Aditama, 2000.

Zamri. Kejahatan di Bidang Teknologi Informasi, Tantangan Penegakan Hukum dan Permasalahannya. (presentasi pada Sosialisasi UU ITE). Dapat diakses pada http://www.computeksd.com/DefamationJuice.gif