tanaman terinfeksi. Sementara itu, makrokonidium mempunyai tiga sampai lima sel dan berbentuk lengkung. Jenis spora ini umumnya banyak dijumpai di permuakaan
tanaman yang mati karena infeksi jamur ini Agrios, 2010. Menurut Domsch et al., 2010, makrokonidium berbentuk gelendong, lonjong, ujung tajam, mempunyai 3-5
sekat, dan ukuran [20-27 – 46-60 x 3,5-4,5 5] µm. Klamidospora berbentuk bulat, berdinding tebal, dihasilkan di bagian ujung
maupun di tengah miselium yang tua atau pada makrokonidium, dengan diameter 5- 15 µm Domsch et al., 2010. Menurut Sastrahidayat 2010, klamidospora dihasilkan
apabila keadaan lingkungan tidak sesuai bagi patogen dan berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidup patogen.
4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit Moler
Faktor-faktor iklim dan penyakit tumbuhan. Dari konsep segitiga penyakit tampak jelas bahwa iklim sebagai faktor lingkungan fisik sangat berpengaruh
terhadap proses timbulnya penyakit. Pengaruh faktor iklim terhadap patogen bisa terhadap siklus hidup patogen, virulensi daya infeksi, penularan, dan reproduksi
patogen. Pengaruh perubahan iklim akan sangat spesifik untuk masing masing penyakit. Faktor-faktor iklim juga berpengaruh terhadap ketahanan tanaman inang.
Penyakit moler terutama berkembang pada musim hujan dengan kondisi lingkungan yang lembap dan intensitas sinar matahari yang rendah. Penyakit juga
banyak ditemukan di daerah-daerah yang mempunyai jenis tanah berat, juga pada
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
lahan yang selalu ditanami bawang merah dengan benih yang berasal dari pertanaman sebelumnya yang menunjukkan gejala penyakit moler Wiyatiningsih, 2007b.
Lahan sawah Nganjuk berjenis tanah Vertisol, tanpa pergiliran tanaman. Kondisi cuaca di Nganjuk pada musim hujan saat pengujian adalah suhu udara 27,3 -
31,8°C, kelembapan udara 74,0 - 89,0, suhu tanah 24,1 - 28,3°C, dan curah hujan 9,3 mmhari Wiyatiningsih, 2007a.
Produksi bawang merah di Kabupaten Nganjuk menempati urutan pertama di Jawa Timur, pada tahun 2006 ditanam pada luasan 5.859 ha, dengan produksi 50.563
ton. Pertanaman bawang merah di Kabupaten Nganjuk terletak di daerah dengan
ketinggian tempat 50 – 100 m dpl, dengan suhu dan rerata kelembapan udara adalah 25 – 30°C dan 65 – 80, serta curah hujan mencapai 1.876 mmtahun. Jenis tanah
Vertisol dengan pH 6,0 – 8,0 Anonim, 2006.
Menurut Tondok 2003, Fusarium oxysporum, yang merupakan penyebab penyakit moler pertumbuhan optimum in vitro adalah pada suhu 25 - 30º C sementara
F. oxysporum pada bawang merah di lapang mempunyai suhu pertumbuhan optimum 28 - 30 º C. Pada suhu yang tinggi umumnya tanaman lebih stres dan lebih rentan
terhadap F. oxysporum. Walaupun sulit untuk mengatakan bahwa perubahan iklim yaitu peningkatan suhu merupakan satu satunya penyebab peningkatan status
penyakit ini, karena juga terkait dengan kandungan bahan organik tanah yang makin rendah, serta distribusi yang luas melalui umbi bibit, namun tampaknya cukup
berkontribusi dalam peningkatan keparahan penyakit twisting.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Menurut Sastrahidayat 2010, Fusarium oxysporum sangat sesuai pada tanah dengan kisaran pH 4,5-6,0; tumbuh baik pada biakan murni dengan kisaran pH 3,6-
8,4; sedangkan untuk pensporaan, pH optimum sekitar 5,0. Pensporaan yang terjadi pada tanah dengan pH di bawah 7,0 adalah 5-20 kali lebih besar dibandingkan dengan
tanah yang mempunyai pH di atas 7. Pada pH di bawah 7, pensporaan terjadi secara melimpah pada semua jenis tanah, tetapi tidak akan terjadi pada pH di bawah 3,6 atau
di atas 8,8. Jenis dan kelimpahan cendawan penghuni daun bawang merah yang bersifat
saprofitik dipengaruhi oleh curah hujan dan kelembaban udara relatif Wiyono, 1997.
5. Siklus dan Daur Penyakit Moler