berhubungan sosial dengan orang lain dan sebagian dari mereka mengalami kesulitan dalam mengembangkan kompetensi interpersonal.
Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kompetensi interpersonal
pada Remaja Panti Asuhan. Mengacu dari rumusan masalah tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Hubungan antara Penerimaan Diri dengan
Kompetensi interpersonal pada Remaja panti Asuhan.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui: 1.
Hubungan penerimaan diri dengan kompetensi interpersonal pada remaja panti asuhan.
2. Sumbangan penerimaan diri terhadap kompetensi interpersonal pada remaja
panti asuhan. 3.
Tingkat kompetensi interpersonal dan penerimaan diri pada remaja panti asuhan.
C. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi remaja panti asuhan
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan gambaran bagaimana keterkaitan antara penerimaan diri dengan kompetensi interpersonal pada remaja panti asuhan
PAKYM, serta memberi pemahaman bagi seluruh anak-anak penghuni panti asuhan, bahwa tinggal di panti asuhan harus benar-benar disadari sebagai
kesempatan mereka untuk berkembang dan tumbuh sebagai pribadi yang dapat menerima keadaan diri sendiri, mampu memiliki kompetensi interpersonal yang
tinggi serta mampu memanfaatkan keterampilan yang diajarkan di panti agar yakin menghadapi masa depannya.
2. Bagi Pengelola panti asuhan
Bagi pengelola panti asuhan hasil penelitian ini memberikan pemahaman tentang hubungan antara penerimaan diri dengan kompetensi interpersonal pada remaja
panti asuhan, sehingga diharapkan dapat memberikan bimbingan agar terbentuk penerimaan diri dan kompetensi interpersonal yang baik.
3. Bagi orangtua yang memiliki anak di panti asuhan
Bagi orangtua yang memiliki anak di panti asuhan, penelitian ini memberikan informasi khususnya yang berkaitan dengan penerimaan diri dan kompetensi
interpersonal, selain itu memberi pemahaman dan kesadaran bagi orangtua bahwa meskipun anaknya tinggal di panti namun orangtua tetap mempunyai tanggung
jawab terhadap masa depan ana k-anaknya.
4. Bagi pemerintah
Bagi pemerintah khususnya bidang sosial dan kesejahteraan sosial, penelitian ini memberikan informasi bagaimana kondisi psikologis anak-anak yang tinggal di
panti asuhan, sehingga pemerintah diharapkan dapat memberikan perhatian yang lebih optimal kehidupan anak-anak yang tinggal di panti asuhan.
5. Bagi ilmuwan psikologi
Penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi bagi ilmu psikologi khususnya tentang hubungan antara penerimaan diri dengan kompetensi
interpersonal pada remaja panti asuhan.
6. Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini dapat memberikan hasil empiris mengenai hubungan antara penerimaan diri dengan kompetensi interpersonal pada remaja panti asuhan,
sehingga dapat dijadikan sebagai pengembangan penelitian sejenis.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian kompetensi interpersonal
Pengertian dasar kompetensi competency adalah kemampuan atau kecakapan. Disamping berarti kemampuan, menurut McLeod Syah, 2003
kompetensi juga berarti: “…the state of being legally competent or qualified”, yakni keadaan berwewenang atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum.
Chaplin 2001 mendefinisikan kompetensi sebagai kelayakan kemampuan atau pelatihan untuk melakukan satu tugas, dan dalam psikologis forensik merupakan
satu keadaan mental yang memberikan kualifikasi seseorang untuk berwewenang dan bertanggung jawab atas tindakan atau perbuatannya. Susanto Nurahmati, 1995
mendefinisikan kompetensi sebagai karakteristik-karakteristik yang mendasari individu untuk mencapai kinerja superior.
Jones dalam Nurahmati, 1995 mengemukakan bahwa kompetensi dalam suatu konteks hubungan sosial dapat diartikan sebagai sarana kemampuan untuk
memahami perilaku orang lain dan kemampuan untuk memahami perilaku diri sendiri dalam kaitannya dengan lingkungan sosial. Kompetensi merupakan suatu konstruksi
global dan terbagi menjadi berbagai jenis kompetensi. Jenis kompetensi yang berbeda
dibutuhkan untuk jenis hubungan dan tingkat kedekatan yang berbeda dalam suatu hubungan.
Setiap jenis kompetensi memiliki komponen-komponen pembentuknya. Buhrmester dan Reis 1998 menggunakan dua pendekatan untuk menentukan
komponen dari kompetensi interpersonal yaitu pendekatan yang melibatkan bagian- bagian dari kompetensi interpersonal berdasarkan dimensi-dimensi tugas
interpersonal task domain, seperti berinisiatif dalam percakapan dan menolak permintaan yang tidak masuk akal. Kedua adalah pendekatan yang yang
mengidentifikasikan ketrampilan-ketrampilan yang termanifestasikan dalam bentuk perilaku behavioral skill yang dapat membentuk terciptanya interaksi yang efektif,
seperti kemampuan dalam memahami komunikasi non verbal dan ekspresi emosional. Kompetensi interpersonal merupakan kemampuan seorang individu untuk
melakukan suatu komunikasi yang efektif Spitzberg dan Cupach dalam De Vito, 1999. Kompetensi interpersonal di sini terdiri atas kemampuan-kemampuan yang
diperlukan untuk membentuk suatu interaksi yang efektif. Di dalamnya termasuk pengetahuan tentang konteks yang ada dalam interaksi, pengetahuan tentang perilaku-
perilaku non verbal orang lain, kemampuan untuk menyesuaikan komunikasi dengan konteks dari interaksi yang berlangsung, sesuaikan dengan orang yang ada dalam
interaksi tersebut dan kemampuan-kemampuan lainnya. De Vito 1999 mengemukakan bahwa adanya pengetahuan dan kemampuan yang baik dala m
komunikasi interpersonal akan mendukung kompentensi interpersonal dan kompetensi interpersonal yang tinggi akan membuat interaksi interpersonal menjadi
lebih efektif. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud kompetensi interpersonal adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki seorang
individu untuk menciptakan suatu interaksi yang efektif dalam suatu konteks hubungan interpersonal dengan orang lain.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan kompetensi interpersonal dalam penelitian ini adalah kemampuan untuk melakukan hubungan antar pribadi
secara efektif, dimana di dalamnya terdapat karakteristik-karakteristik psikologis yang meliputi pikiran, perasaan dan tindakan yang mendukung untuk menciptakan,
membina dan mempertahankan relasi interpersonal yang baik dan efektif..
2. Aspek-aspek kompetensi interpersonal
Kompetensi interpersonal pada seseorang terjadi karena aspek yang dimiliki sebagai karakteristik kepribadian individu. Berkaitan dengan hal ini Buhrmester dan
Reis 1998 mengemukakan lima aspek kompetensi interpersonal : a.
Kemampuan berinisiatif, yaitu kemampuan untuk memulai suatu bentuk interaksi dan hubungan dengan orang lain.
b. Kemampuan untuk bersikap terbuka adalah kemampuan untuk terbuka kepada
orang lain, menyampaikan info yang bersifat pribadi mengenai dirinya dan memberikan perhatian kepada orang lain sebagai suatu bentuk penghargaan yang
akan memperluas kesempatan untuk terjadinya sharing.
c. Kemampuan untuk bersikap asertif yaitu kemampuan untuk mempertahankan
hak-hak pribadi secara tegas, mengemukakan gagasan, perasaan dan keyakinan secara langsung, jujur, jelas dan dengan cara yang sesuai.
d. Kemampuan untuk memberikan dukungan emosional adalah kemampuan untuk
memberikan empati dan kemampuan untuk mene nangkan serta memberikan rasa nyaman bagi orang lain.
e. Kemampuan dalam mengatasi konflik interpersonal adalah upaya agar konflik
yang muncul tidak semakin memanas. Burns 1996 menambahkan adanya self disclosure yang menggambarkan
dalam tingkah laku. Self disclosure sangat penting artinya dalam membentuk suatu persahabatan, dengan self disclosure kadang-kadang seseorang akan menurunkan
pertahanan dirinya dan membiarkan orang lain mengetahui dirinya secara lebih mendalam. Menurut Lange dan Jakubouwsky Calhoun Acocella, 1990,
kemampuan bersikap asertif adalah kemampuan untuk mempertahankan hak-hak pribadi, mengemukakan gagasan, perasaan, dan keyakinan secara langsung, jujur dan
dengan cara yang sesuai. Asertif adalah kemampuan dan kesediaan seseorang untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya secara jelas dan mempertahankan hak-haknya
secara tegas. Setiap jenis kompetensi memiliki komponen-komponen pembentuknya,
seperti yang dikatakan Marlowe 1986 yaitu memiliki aspek-aspek perhatian pada orang lain, pe rcaya pada kemampuan sendiri, mempunyai kemampuan berempati
kemampuan menghargai orang lain, menjalin persahabatan dan mempunyai
kemampuan berperilaku sosial. Aspek lain adalah emosi meliputi toleransi frustrasi, perasaan-perasaan positif dan antusias dan motivasi.
Menambah pendapat sebelumnya Tetrawati 1989 menyatakan aspek-aspek
kompetensi sosial yaitu a pengetahuan sosial, adalah pengetahuan mengenai keadaan emosi yang memadai dengan konteks sosial tertentu. b percaya pada diri
sendiri , berhubungan dengan kepercayaan diri dalam melakukan tindakan dan
memecahkan suatu masalah. c mempunyai kemampuan empati, adalah kemampuan
menghargai orang lain dan tulus dalam menjalin hubungan dengan orang lain d
sensitivitas sosial , adalah kemampuan emosional untuk menangkap kebutuhan-
kebutuhan orang lain. Berdasarkan teri-teori yang dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan
ketahui aspek-aspek kompetensi interpersonal meliputi : kemampuan berinisiatif, kemampuan untuk bersikap terbuka self disclosure, kemampuan untuk bersikap
asertif, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional, kemampuan dalam mengatasi konflik interpersonal, emosi, sensitivitas sosial dan empati .
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal
Kompetensi interpersonal merupakan bagian dari kompetensi sosial Hurlock, 2000. Kompetensi sosial dipengaruhi oleh partisipasi sosial yang dilakukan oleh
individu, semakin besar partisipasi sosial semakin besar pula kompetensi sosialnya. Partisipasi sosial dipengaruhi oleh pengala man sosial, dengan demikian dapat
dikatakan bahwa perkembangan kompetensi interpersonal dipengaruhi faktor
pengalaman dimana pengalaman tersebut tidak terlepas dari faktor usia dan kematangan seksualnya.
Menurut Monks, dkk. 1990, ada beberapa faktor ya ng mempengaruhi kompetensi interpersonal, yaitu :
a. Umur. Konformisme semakin besar dengan bertambahnya usia, terutama terjadi pada remaja usia 15 atau belasan tahun.
b. Keadaan sekeliling. Kepekaan pengaruh dari teman sebayanya sangat mempengaruhi kuat lemahnya interaksi teman sebaya.
c. Jenis kelamin. Kecenderungan laki-laki untuk berinteraksi dengan teman sebaya lebih besar daripada perempuan
d. Kepribadian ekstrove rt. Anak-anak ekstrovert lebih komformitas daripada introvert.
e. Besar kelompok Pengaruh kelompok menjadi makin besar bila besarnya kelompok bertambah.
f. Keinginan untuk mempunyai status. Adanya dorongan untuk memiliki status inilah yang menyebabkan remaja berinteraksi dengan teman sebayanya,
individu akan menemukan kekuatan dalam mempertahankan dirinya di dalam perebutan tempat di dunia orang dewasa.
g. Interaksi orang tua. Suasana rumah yang tidak menyenangkan dan tekanan dari orang tua menjadi dorongan individu dalam berinteraksi dengan teman
sebayanya.
h. Pendidikan. Pendidikan yang tinggi adalah salah satu faktor dalam interaksi teman sebaya karena orang yang berpendidikan tinggi mempunyai wawasan
pengetahuan yang luas, yang mendukung dalam pergaulannya. Selain faktor-faktor di atas, Lunandi 1987 menyatakan faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kompetensi interpersonal antara lain: a.
Faktor psikologis, yaitu segala sesuatu yang ada di benak komunikator dan komunikan, termasuk sikap dan situasi kejiwaan komunikator. Hal ini
akan menggiring komunikasi yang terjadi menjadi formal, tidak formal, tegang, atau bersahabat.
b. Faktor fisik, yaitu lingkungan fisik saat terjadi komunikasi, seperti
restoran, bioskop, gereja, atau kantor. Lingkungan fisik akan mempengaruhi komunikasi yang terjadi.
c. Faktor sosial, meliputi hubungan manusia satu sama lain, misalnya
orangtua dan anak, guru dan murid, atau antar teman sekerja. Relasi interpersonal yang terjadi mengikuti aturan-aturan sosial yang ada dalam
masyarakat. d.
Faktor budaya, meliputi tradisi, kebiasaan, dan adat yang memiliki kekuatan besar untuk mempengaruhi karakter seseorang. Seluruh isi
komunikasi akan mengikuti kebiasaan normal suatu budaya.
e. Faktor waktu, yaitu kapan sebuah komunikasi interpersonal terjadi. Waktu komunikasi bisa pagi, siang, sore, atau malam. Hari, minggu, dan bulan akan
berpengaruh pada bentuk komunikasi. Karena sebagian orang aktif berkomunikasi di pagi hari sedangkan sebagian yang lain aktif berkomunikasi di malam hari, maka
faktor waktu mempengaruhi kompetensi interpersonal. Individu yang memiliki kesempatan untuk dapat berinteraksi dengan orang lain
akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial dan perkembangan emosi serta lebih mudah da lam membina kemampuan
interpersonal. Menurut Soekanto 1982, faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal yaitu :
a. Imitasi, mempunyai peran yang penting dalam proses interaksi. Salah satu
segi positif dari imitasi adalah mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Tetapi imitasi juga dapat menyebabkan hal-hal negatif,
misalnya ditirunya tindakan-tindakan yang menyimpang dan mematikan daya kreasi. b.
Sugesti, hal ini terjadi apabila individu memberi suatu pandangan atau sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima pihak lain. Berlangsung
sugesti bisa terjadi karena pihak yang menerima sedang labil emosinya sehingga menghambat daya pikirnya secara rasional. Biasanya orang yang memberi sugesti
orang yang berwibawa atau mungkin yang sifatnya otoriter. c.
Identifikasi, sifatnya lebih mendalam, karena kepribadian individu dapat terbentuk atas dasar proses identifikasi. Proses ini dapat berlangsung dengan
sendirinya ataupun disengaja sebab individu memerlukan tipe -tipe ideal tertentu di dalam proses kehidupannya.
d. Simpati, merupakan suatu proses dimana individu merasa tertarik pada
pihak lain. Didalam proses ini perasaan individu memegang peranan sangat penting walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk kerjasama
dengannya. Selain faktor -faktor yang telah disebutkan di atas, faktor lain yang dapat
berpengaruh terhadap kompetensi interpersonal dan menjadi variabel bebas pada penelitian ini yaitu penerimaan diri. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Sarwono 2000, salah satu faktor keberhasilan remaja panti asuhan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan ditentukan oleh kesanggupan
dalam menerima keadaan dirinya sendiri. Seseorang dengan penerimaan diri yang baik akan menangkal emosi yang muncul karena dapat menerima diri dengan apa
adanya. Selain itu menurut Hurlock 2000 beberapa kondisi berperan dalam penerimaan diri seseorang.: 1 pemahaman diri, 2 harapan yang realistis, 3 bebas
dari hambatan sosial, 4 perilaku sosial yang menyenangkan, 5 konsep diri yang stabil, dan 6 kondisi emosi yang menyenangkan. Apabila remaja panti asuhan
mampu memahami diri sendiri, memiliki harapan yang realistis, bebas dari hambatan sosial, dan memiliki konsep diri, perilaku sosial dan emosi yang menyenangkan maka
diharapakan lebih mampu dalam meningkatkan kompetensi interpersonalnya. Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa faktor -
faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal antara lain, umur, keadaan sekeliling, jenis kelamin, kepribadian ekstrovert, besar kelompok, keinginan untuk
memperoleh status, interaksi orang tua, pendidikan, psikologis, fisik, sosial, budaya waktu, imitasi, sugesti, identifikasi, simpati dan penerimaan diri.
B. Penerimaan Diri 1.
Pengertian penerimaan diri
Salah satu faktor keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan dan lingkungannya ditentukan oleh kesanggupan individu dalam menerima
keadaan dirinya sendiri. Penerimaan diri adalah hal yang penting dan serius dalam kehidupan manusia. Mengabaikan usaha untuk berusaha memahami tentang
penerimaan diri ini sama artinya berusaha membunuh satu generasi anak manusia yang sehat dan seimbang secara psikologis Powell, 1995.
Belajar menerima keadaan diri sendiri bukanlah hal yang mudah. Banyak individu mengalami kesukaran dalam menerima kekurangan-kekurangan dirinya, dan
sebagian besar dari mereka tidak dapat mencapai penerimaan secara optimal. Memandang diri serba baik membuat individu sulit mengolah diri sendiri dan
problem kehidupan. Seperti yang diungkapkan
Powell 1995 bahwa penerimaan diri dapat dikatakan sebagai akar penyebab mengapa seseorang tidak dapat berprestasi secara
maksimal, kurang berani dan tidak percaya diri untuk bersaing de
ngan orang lain, serta ragu dalam mengambil keputusan. Masalahnya buka n karena mereka tidak memiliki
kelebihan dan sesuatu yang dapat mereka andalkan, tampilkan, dan banggakan
dibanding dengan orang lain. Tidak percaya pada kemampuan dan kelebihan diri sendiri menjadi penyebab utamanya
Surtain Purnama, 1997 mengartikan pe nerimaan diri sebagai suatu kesadaran diri untuk menerima dan memahami diri seperti apa adanya, hal ini tidak
berarti individu yang bersangkutan hanya menerima begitu karakter atau kondisi dirinya tanpa ada usaha untuk mengembangkannya secara lebih jauh. Orang yang
menerima diri berarti berarti dia telah mengenali apa dan bagaimana dirinya serta mempunyai hasrat untuk mengembangkan diri ke arah yang menggantikan
penerimaan diri sebagai tingkat sejauhmana seseorang menerima karakteristik personalnya dan menggunakan untuk menjalani hidup.
Nataniel 1999 mengartikan penerimaan diri adalah mengarah pada nilai diri dan komitmen diri yang secara fundamental berasal dari fakta bahwa individu hiup
penuh kesadaran dan memiliki eksistensi. Apabila menerima fakta-fakta yang dirasakan pada setiap keadaan, individu berarti memberikan kesempatan pada diri
sendiri untuk menjadi sadar sepenuhnya dan hakekat dari pilihan dan tindakan- tindakan, dengan demikian perkembangan diri tidak mengalami hambatan atau
kendala yang berarti. Penerimaan diri adalah suatu tingkatan kesadaran individu tentang
karakteristik pribadinya dan mempunyai kemampuan untuk hidup dengan keadaan tersebut. Santrock 2002 mendefinisikan penerimaan diri sebagai suatu kesadaran
untuk menerima diri sendiri apa adanya. Penerimaan ini tidak berarti seseorang menerima begitu saja kondisi diri tanpa berusaha mengembangkan diri lebih lanjut.
Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah kemampuan menerima kondisi diri sendiri secara jujur dan terbuka serta tidak
malu dan ragu mengakui adanya dengan mengakui kelemahan dan kelebihan pada diri sendiri dan di hadapan orang lain.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri, menurut Hurlock 2000 ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang menerima dirinya, yaitu:
a. Pemahaman diri, merupakan persepsi yang murni terhadap dirinya sendiri, tanpa
merupakan persepsi terhadap diri secara realistik. Rendahnya pemahaman diri berawal dari ketidaktahuan individu dalam mengenali diri. Pemahaman dan
penerimaan diri merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Individu yang memiliki pemahaman diri yang baik akan memiliki penerimaan diri yang
baik, sebaliknya individu yang memiliki pemahaman diri yang rendah akan memiliki penerimaan diri yang rendah pula.
b. Harapan-harapan yang realistik. Harapan-harapan yang realistik akan membawa
rasa puas pada diri seseorang dan berlanjut pada penerimaan diri. Seseorang yang mengalahkan dirinya sendiri dengan ambisi dan standar prestasi yang tidak
masuk akal berarti seseorang tersebut kurang dapat menerima dirinya. c.
Bebas dari hambatan lingkungan. Harapan individu yang tidak tercapai banyak yang berawal dari lingkungan yang tidak mendukung dan tidak terkontrol oleh
individu. Hambatan lingkungan ini bisa berasal dari orangtua, guru, teman,
maupun orang dekat lainnya. Penerimaan diri akan dapat terwujud dengan mudah apabila lingkungan dimana individu berada memberikan dukungan yang penuh.
d. Sikap lingkungan seseorang. Sikap yang berkembang di masyarakat akan ikut
andil dalam proses penerimaan diri seseorang. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik pada individu, maka individu akan cenderung untuk senang dan
menerima dirinya. e.
Ada tidaknya tekanan emosi yang berat. Tekanan emosi yang berat dan terus menerus seperti di rumah maupun di lingkungan kerja akan mengganggu
seseorang dan menyebabkan ketidakseimbangan fisik dan psikologis. Secara fisik akan mempengaruhi kegiatannya dan secara psikis akan mengakibatkan individu
malas, kurang bersemangat, dan kurang bereaksi dengan orang lain. Dengan tidak adanya tekanan yang berarti pada individu, akan memungkinkan anak yang
lemah mental untuk bersikap santai pada saat tegang. Kondisi yang demikian akan memberikan kontribusi bagi terwujudnya penerimaan diri.
f. Frekuensi keberhasilan. Setiap orang pasti akan mengalami kegagalan, hanya
saja frekuensi kegagalan antara satu orang dengan orang lain berbeda-beda. Semakin banyak keberhasilan yang dicapai akan menyebabkan individu yang
bersangkutan menerima dirinya dengan baik. g.
Ada tidaknya identifikasi seseorang. Pengenalan orang-orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik akan memungkinkan berkembangnya sikap positif
terhadap dirinya serta mempunyai contoh atau metode yang baik bagaimana harus berperilaku.
h. Perspektif diri. Perspektif diri terbentuk jika individu dapat melihat dirinya sama
dengan apa yang dilihat orang lain pada dirinya. Rendahnya perspektif diri akan menimbulkan perasaan tidak puas dan penolakan diri. Namun perspektif diri
yang obyektif dan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya akan memudahkan dalam penerimaan diri.
i. Latihan pada masa kanak-kanak. Pelatihan yang diterima masa kanak-kanak akan
mempengaruhi pola -pola kepribadian anak selanjutnya. Latihan yang baik pada masa kanak-kanak akan memberikan pengaruh positif pada penerimaan diri,
sebaliknya penerimaan diri yang tidak baik akan memberikan pengaruh negatif, yaitu sikap pe nolakan terhadap diri sendiri.
j. Konsep diri yang stabil. Konsep diri yang stabil bagi seseorang akan
memudahkan dia dalam usaha menerima dirinya. Apabila konsep dirinya selalu berubah-ubah maka dia akan kesulitan memahami diri dan menerimanya
sehingga terjadi penolakan pada dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena individu memandang dirinya selalu berubah-ubah.
Penerimaan diri merupakan dasar bagi individu untuk berinteraksi dengan orang lain di samping itu penerimaan diri juga merupakan salah satu
dasar untuk mengerti tentang orang lain. Individu selain sebagai makhluk pribadi, individu juga berfungsi sebagai makhluk sosial. Dengan demikian
manusia selalu dituntut untuk selalu berinteraksi dengan individu atau kelompok lain. Interaksi yang terbentuk diharapkan dapat saling
menguntungkan dan serasi, dimana tidak ada pihak yang dikecewakan atau dirugikan, akan tetapi para individu saling harga menghargai dan hormat
menghormati. Hjelle dan Ziglir dalam Suhardi, 2003 menyatakan bahwa bagaimanapun juga penerimaan diri merupakan ciri kepribadian yang masak,
sehingga individu yang dapat menerima diri akan mempunyai pandangan yang positif terhadap apa yang ada dalam dirinya.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disebutkan, faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri antara lain : pemahaman diri, harapan-harapan yang
realistik, bebas dari hambatan lingkungan, sikap lingkungan seseorang, ada tidaknya tekanan emosi yang berat, frekuensi keberhasilan, identifikas, perspektif diri, latihan
masa akan-kanak dan konsep diri yang stabil.
3. Aspek-Aspek Penerimaan Diri
Penerimaan diri tidak berarti seseorang menerima begitu saja kondisi diri tanpa berusaha mengembangkan diri lebih lanjut, orang yang menerima diri berarti
telah mengenali dimana dan bagaimana dirinya saat ini, serta mempunyai keinginan untuk mengembangkan diri lebih lanjut. Sheerer Adilla, 1999 mengemukakan
aspek-aspek penerimaan diri sebagai berikut: a. Perasaan sederajat. Individu menganggap dirinya berharga sebagai
manusia yang sederajat dengan orang lain, sehingga individu tidak merasa sebagai orang yang istimewa atau menyimpang dari orang lain. Individu merasa dirinya
mempunyai kelemahan dan kelebihan seperti halnya orang lain.
a. Percaya kemampuan diri. Individu yang mempunyai kemampuan untuk
menghadapi kehidupan. Hal ini tampak dari sikap individu yang percaya diri, lebih suka mengembangkan sikap baiknya dan mengeliminasi keburukannya dari pada
ingin menjadi orang lain, oleh karena itu individu puas menjadi diri sendiri. b.
Bertanggung jawab. Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya. Sifat ini tampak dari perilaku individu yang mau menerima kritik dan
menjadikanya sebagai suatu masukan yang berharga untuk mengembangkan diri. c.
Orientasi keluar diri. Individu lebih mempunyai orientasi diri keluar dari pada kedalam diri, tidak malu yang menyebabkan individu lebih suka meperhatikan
dan toleran terhadap orang lain, sehingga akan mendapatkan penerimaan sosial dari lingkungannya.
d. Berpendirian. Individu lebih suka mengikuti standarnya sendiri dari pada
bersikap conform terhadap tekanan sosial. Individu yang mampu menerima diri mempunyai sikap dan kepercayaan diri yang menurut pada tindakannya sendiri dari
pada mengikuti konvensi dan standar dari orang lain serta mempunyai ide aspirasi dan pengharapan sendiri.
e. Menyadari keterbatasan. Individu tidak menyalahkan diri akan
keterbatasannya dan mengingkari kelebihannya. Individu cenderung mempunyai penilaian yang realistik tentang kelebihan dan kekurangannya.
f. Menerima sifat kemanusiaan. Individu tidak menyangkal impuls dan emosinya atau merasa bersalah karenanya. Individu mengenali perasaan marah, takut
dan cemas tanpa menganggapnya sebagai sesuatu yang harus diingkari atau ditutupi..
Orang yang sehat secara psikologis dan yang dapat digolongkan sebagai orang yang menerima diri adalah orang yang selalu terbuka terhadap setiap pengalaman
serta mampu menerima setiap kritikan dan masukan dari orang lain. Seperti dikemukakan Jourand dalam Hurlock, 2000 ada dua hal penting dalam hal
penerimaan diri seseorang yaitu : a. Individu harus senang menjalani perannya dengan baik dan mendapatkan
kepuasan dari perannya tersebut. Ketidakpuasan individu terhadap dirinya dan peran yang harus dijalaninya secara lambat atau cepat akan mempengaruhi kesehatan
mentalnya. b. Individu harus berperan sesuai dengan tuntutan atau norma-norma yang
ada. Agar kedua hal tersebut dapat dilakukan, individu tersebut harus mampu menerima dirinya. Dengan demikian untuk mencapai kepribadian yang sehat secara
psikologis harus memiliki penerimaan diri atau self acceptance yang baik. Penerimaan diri merupakan komponen dari kesehatan mental. Menurut
Purnama 1997, secara garis besar ada tiga aspek yang dapat menggambarkan penerimaan diri pada seseorang, yaitu:
a. Perasaan senang, hal ini berkaitan dengan sikap positif terhadap kenyataan yang ada dan dialami oleh individu, dimana kenyataan-kenyataan tersebut oleh
individu digunakan untuk menjalani kehidupan secara baik. b. Perasaan puas dalam menjalani kehidupan ini. Individu tidak akan lepas
dari kenyataan yang ada dalam dirinya, apa yang dimiliki dan dirasakannya harus
dapat dimanfaatkan secara optimal. Kemampuan individu untuk mengatasi masalah atau meraih sesuatu yang dia harapkan dalam kehidupan ini akan menghasilkan
perasaan puas terhadap prestasi yang dicapai. c. Penghargaan. Orang yang dapat menerima dirinya senantiasa berusaha
untuk menerima kelemahan ataupun kelebihan yang dimilikinya. Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
aspek-aspek penerimaan diri antara lain mempunyai perasaan sederajat dengan orang lain, berorientasi keluar diri, berpendirian, menyadari keterbatasan diri dan mampu
menerima sifat kemanusiaan dirinya, perasaan senang, puas dan adanya rasa penghargaan.
C. Remaja 1. Pengertian remaja
Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa bukan hanya psikologis tetapi juga fisik dan sosialnya, serta munculnya tanda-tanda
pubertas. Karakteristik masa ini adalah kondisi psikologis remaja yang masih sangat labil sehingga mudah dipengaruhi. Secara umum remaja dibagi menjadi dua bagian,
yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Garis pemisah antara remaja awal dan remaja akhir terletak pada usia 17 tahun. Awal remaja berlangsung kira-kira dari usia
13 tahun sampai 16 tahun atau 17 tahun. Dan akhir masa remaja bermula dari 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu us ia matang secara hukum Hurlock, 2000.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja pada dasarnya merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Pada masa ini remaja
mengalami perubahan psikologis, fisik dan sosial mulai dengan tanda-tanda pubertas. Masa ini berlangsung sekitar usia 13-18 tahun.
2. Ciri-ciri masa remaja
Menurut Hurlock 2000, masa remaja memiliki ciri-ciri yang terdiri dari:
a. Masa remaja sebagai periode perubahan. Remaja mengalami perubahan
penting dalam hidupnya baik dari segi fisik maupun mentalnya untuk menuju kedewasaan diri.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan. Dalam setiap periode peralihan,
status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan perannya yang harus dilakukan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang
dewasa.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan . Ada empat perubahan yang
hampir bersifat universal. Pertama, meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua,
perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial, menimbulkan masalah baru. Bagi remaja masalah baru yang timbul tampaknya lebih
banyak dan remaja akan tetap merasa ditimbuni masalah, sampai ia sendiri menyelesaikannya menurut kepuasannya. Ketiga, berubahnya nilai-nilai, apa yang di
masa anak-anak dianggap penting sekarang setelah hampir dewasa tidak penting lagi. Keempat, sebagaian besar remaja bersifat ambivalen terhadap setiap perubahan,
mereka menginginginkan perubahan dan menuntut kebebasan, tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya.
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah. Masalah masa remaja sering
menjadi masalah yang sulit diatasi. Ketidakmampuan mereka untuk mengatasi masalah membuat banyak remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya tidak
selalu sesuai dengan harapan mereka.
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas. Pada periode ini remaja
melakukan identifikasi dengan tokoh atau orang yang dikaguminya.
f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan. Adanya
stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang berperilaku merusak, mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri dan akhirnya
membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit.
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Remaja cenderung
melihat kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya,
terlebih dalam hal cita-cita.
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Remaja mulai memusatkan
diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status kedewasaan, yaitu merokok, minum -minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan seks bebas.
Simanjuntak 1990 menguraikan ciri-ciri remaja yaitu :
a. Perubahan fisik. Pada masa remaja perubahan fisik sering kali
menimbulkan bentuk badan tidak proporsional. Pada remaja awal penampilan fisik
menjadi faktor penting bagi penerimaan terhadap diri mereka sendiri. Penampilan yang kurang sempurna juga mengakibatkan perilaku menghindar dari kontak sosial
dengan lingkungan.
b. Perubahan sosial. Banyak masalah sosial yang menjadi gangguan psikis
bagi remaja, antara lain penyesuaian diri dengan masyarakat dan norma-norma yang berlaku di dalamnya.
c. Perkembangan psikososial. Selama masa remaja perhatian mengenai
hubungan lawan jenis menjadi sesuatu yang sangat menarik bagi mereka. Hal ini ditunjang dengan organ seksual yang mulai matang.
d. Persahabatan. Remaja yang mengalami hambatan dalam hubungan
persahabatan memunculkan perasaan tertekan dan merasa tidak diterima dengan lingkungan sekitar.
e. Emosi. Masa remaja merupakan masa yang penuh tekanan dan gejolak
sehingga menyebabkan emosi yang meninggi. Kondisi ini dapat menimbulkan ketegangan diri dan mempengaruhi tingkah lakunya.
f. Hubungan dengan orang tua. Pada masa remaja anak mulai berusaha untuk
melonggarkan hubungannya dengan orang tua dan lebih banyak menjalin hubungan dengan teman-teman sebaya. Sehingga sering kali menimbulkan konflik dengan
orang tua. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rangkaian ciri yang
terjadi pada remaja dapat menimbulkan ketegangan, kebingungan, dan konflik.
Bilamana remaja tersebut tidak dapat mengatasinya dengan baik maka akan memimbulkan kesulitan di lingkungan sosial maupun diri sendiri.
3. Remaja panti asuhan
Keluarga merupakan elemen penting dalam pembinaan perkembangan anak. Keluarga inti adalah salah satu unit sosial yang paling kecil dan utuh. Keluarga yang
beranggotakan ayah, ibu,dan anak-anak merupakan suatu keseluruhan yang saling mempengaruhi. Bertambah atau berkurangnya anggota keluarga akan mempengaruhi
suasana secara keseluruhan dan sebaliknya suasana hubungan keluarga akan memberi dampak pada perasaan, pemikiran dan perilaku anggotanya khususnya kematian ayah,
ibu, atau keduanya dengan sendirinya akan memberi dampak pada anaka yang ditinggalkan, menyebabkan anak menjadi kurang kasih sayang dan pemeliharaan
terhadap bimbingan dan perkembangan karena pada dasarnya orang tua adalah pembina pribadi yang pertama di dalam kehidupan anak Daradjat, 1991.
Panti asuhan adalah suatu lembaga kesejahteraan sosial yang bertanggung- jawab memberikan layanan pengganti dalam pemenuhan kebutuhan fisik, psikis dan
sosial pada anak asuh, sehingga memperoleh kesempatan yang luas tepat memadai bagi perkembangan kepribadiannya. Selain memenuhi kebutuhan fisik, psikis dan
sosial Panti Asuhan juga memberikan layanan pendidikan dan keagamaan, ketrampilan, kesehatan, olah raga dan layanan sosial kemasyarakatan Sumhudi,
1995
Individu yang tinggal di panti asuhan adalah mereka yang tidak memiliki keluarga lagi atau juga bisa disebabkan karena orang tua yang bercerai atau sudah
meninggal dunia atau memang sengaja menitipkan anak tersebut di panti asuhan. Individu yang tinggal di panti asuhan berasal dari latar belakang yang berbeda serta
usia yang berbeda-beda pula. Tapi kebanyakan dari mereka, masih berusia anak-anak dan remaja awal. Mereka oleh pihak Panti Asuhan dididik dan dibina, selain
diberikan layanan-layanan yang mereka butuhkan. Pihak Panti Asuhan membantu membimbing anak asuhan untuk bekerja sama, disiplin diri kearah kebiasaan,
toleransi serta tanggung jawab terhadap berbagai tugas keluarga, bantuan khusus dalam hal bimbingan belajar, menciptakan suasana yang menguntungkan bagi
terciptanya proses pengembangan kemampuan dan ketrampilan tertentu. Adanya suasana pe ngertian, perhatian, dan kasih sayang akan membantu perkembangan anak
Sumhudi, 1995. Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan pada dasarnya remaja
yang tinggal di panti asuhan memerlukan adanya kebutuhan akan pengakuan, perhatian, dan kasih kasih sayang. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut akan
menyebabkan remaja mengalami hambatan dalam tugas selanjutnya. Remaja yang tinggal dalam panti asuhan sering memiliki perasaan bahwa dirinya tidak sama seperti
anak-anak yang tinggal dalam keluarga yang normal. Adanya orang tua sebagai keluarga pengganti yang diperoleh di panti asuhan tidak selamanya dapat membantu
perkembangan jiwa remaja. Hal ini cenderung mengakibatkan kemunduran-
kemunduran yang berdampak pada penerimaan diri maupun kompetensi interpersonalnya.
D. Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kompetensi Interpersonal Pada remaja Panti Asuhan
Masa remaja adalah masa transisi, di mana remaja mengalami masa sulit yang belum pernah ditemui sebelumnya . Berbagai tuntutan-tuntutan yang berlaku di
masyarakat membuat mereka mau tidak mau harus berusaha untuk selalu menyesuaikan diri agar dapat diterima dalam lingkungan. Tuntutan-tuntutan tersebut
akan dapat dipenuhi oleh seorang remaja apabila ia mempunyai kemampuan untuk memahami berbagai situasi sosial, dan
menentukan perilaku yang sesuai dan tepat dalam situasi sosial tersebut. kemampuan yang dimaks ud adalah kompetensi
interpersonal, dengan adanya kompetensi interpersonal yang remaja menjadi bisa memahami diri sendiri, memahami norma sosial, bersikap penuh pertimbangan pada
orang lain dan mampu mengatur emosi-emosinya Fasikhah, 1995. Menumbuhkan kompetensi interpersonal tidak selamanya mudah karena
perkembangan tingkah laku individu dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dialami individu dalam lingkungan. Individu sebelum berperilaku perlu
memperhatikan bahwa ia harus mampu memperhitungkan apakah ia bisa atau tidak berperilaku sesuai kaidah atau normal sosial. Remaja yang memiliki
kemampuan interpersonal akan berani mengemukakan, menghargai serta
menerima pikiran, perasaan dan pendapat orang lain secara terus terang. Namun remaja yang tinggal dalam panti asuhan sering memiliki perasaan
bahwa dirinya tidak sama seperti anak-anak yang tinggal dalam keluarga yang normal. Hal ini cenderung mengakibatkan kemunduran-kemunduran yang
berdampak pada penerimaan diri pada anak yatim Bastaman dalam Kuntari, 2005. Sikap atau lingkungan sosial yang mendukung akan membentuk sikap
dari diri seseorang self attitude, oleh karena itu jika lingkungan memberikan sikap yang baik pada individu, maka individu akan cenderung untuk senang
dan dapat menerima dirinya. Penerimaan diri akan dapat terwujud dengan mudah apabila lingkungan tempat individu berada memberikan dukungan yang
penuh. Menurut Hurlock 2000 terdapat dampak negatif panti asuhan terhadap pola
perkembangan kepribadian anak asuhnya, dimana mereka tidak dapat menemukan lingkungan pengganti keluarga yang benar-benar dapat menggantikan fungsi keluarga
adalah: terbentuknya kepribadian anak yang interior, pasif apatis, menarik diri, mudah putus asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan, sehingga anak akan sulit
menjalin hubungan sosial dengan orang lain. disamping itu mereka menunjukan perilaku yang negatif, takut melakukan kontak dengan orang lain, lebih suka
sendirian, menunjukkan rasa bermusuhan, dan lebih egosentrisme. Remaja panti asuhan yang sebenarnya juga hidup berdampingan dalam
masyarakat seringkali mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, kesulitan ini dapat terjadi karena adanya anggapan negatif yang datang dari masyarakat, tetapi dapat pula muncul karena adanya hambatan dari dalam
diri individu sendiri. Lebih-lebih keluarga atau orang yang dekat dengan kehidupannya juga berpengaruh terhadap perilaku yang dimunculkan. Bila harapan
yang dimunculkan positif maka remaja akan terdorong untuk memiliki perasaan mampu dan berharga dan sebaliknya bila penilaian dan harapan yang diberikan
negatif maka remaja akan merasa bahwa dirinya kurang mampu, kurang berharga dan selanjutnya akan memunculkan perilaku negatif yang dapat berupa penarikan dirinya
dari lingkungan sosial. Salah satu faktor keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan ditentukan oleh kesanggupan individu dalam menerima keadaan dirinya sendiri. Kenyataanya tidak semua lingkungan sosial dapat menerima individu dengan
baik. Remaja yang tinggal dipanti asuhan sangat kaku dalam berhubungan sosial dengan orang lain dan sebagian dari mereka mengalami kesulitan dalam menjalin
kompetensi interpersonal. Ditambah lagi dengan masyarakat sebagai lingkungan sosial cenderung memberikan label yang negatif terhadap anak yang tingggal di panti
asuhan sehingga akan semakin sulit bagi anak untuk meningkatkan kemampuan kompetensi interpersonalnya.
Surtain dalam Andayani dan Kumara, 1996 mendefinisikan penerimaaan diri sebagaimana adanya. Penerimaan diri ini tidak berarti seseorang menerima begitu
saja tanpa berusaha untuk mengembangkan diri lebih lanjut, orang yang menerima
diri berarti telah mengenali dimana dan bagaimana dirinya saat ini serta mempunyai keinginan untuk mengembangkan diri lebih lanjut. penerimaan diri sebagai suatu
sikap yang mencerminkan rasa senang sehubungan dengan kenyataan yang ada pada diri. Tingkat penerimaan diri yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi
tingkat kemampuan interpersonalnya. Kompetensi interpersonal diasumsikan sebagai bagian dari kompetensi sosial
yang memiliki aspek-aspek seperti kemampuan untuk membentuk persahabatan, kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain, keterlibatan dalam situasi sosial,
kemampuan untuk berinisiatif, mampu berusaha untuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan sosial, mampu mengontrol situasi dan memiliki kapasitas
untuk berinteraksi dengan lingkungan. Kompetensi sosial ini merupakan pola hubungan yang luas meliputi orang banyak dan masyarakat sosial pada umunya.
Sedangkan kompetensi interpersonal memiliki ruang lingkup yang lebih sempit karena merupakan suatu pola hubungan antara individu dengan lainnya. Hurlock,
2000. Dinamika psikologis hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kompetensi Interpersonal Pada remaja Panti Asuhan dapat dilihat pada halaman berikut.
Bagan 1
Dinamika psikologis hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kompetensi Interpersonal Pada remaja Panti Asuhan
Berdasarkan bagan di atas dapat dikatakan bahwa penerimaan diri punya andil yang besar pada keberhasilan kompetensi interpersonal yang dilakukan
Kompetensi Interpersonal Remaja Panti Asuhan
kurang memperoleh cinta kasih sayang dari keluarganya,
terkekang oleh aturan-aturan yang ketat
menarik diri dari lingkungan, apatis
hubungan sosial dengan
Penerimaan Diri
Dimiliki
Dipengaruhi
-Menerima keadaan diri -Membuka diri dan berusaha
menjalin hubungan sosial -berinteraksi dengan
masyarakat Terdapat aspek-aspek
- mempunyai perasaan sederajat dengan orang lain,
- berorientasi keluar diri,
- berpendirian, menyadari keterbatasan diri dan mampu
menerima sifat kemanusiaan dirinya
Tidak dimiliki
Kompetensi interpersonal rendah
Kompetensi interpersonal tinggi
remaja. Individu yang mempunyai penerimaan diri tinggi tentu akan lebih mudah memahami realitas yang ada pada dirinya, menerima fakta-fakta yang dirasakan pada
setiap keadaan berarti individu memberikan kesempatan pada dirinya sendiri untuk menjadi dasar sepenuhnya akan hakekat dari pilihan dan tindakan-tindakannya,
dengan demikian perkembangan diri individu tidak mengalami hambatan atau kendala yang berarti.
E. Hipotesis