BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik PPOK
2.1.1. Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003. PPOK adalah sebuah istilah keliru yang sering dikenakan pada pasien yang menderita
emfisema, bronkitis kronis, atau campuran dari keduanya. Ada banyak pasien yang mengeluh bertambah sesak napas dalam beberapa tahun dan ditemukan mengalami batuk kronis,
toleransi olahraga yang buruk, adanya obstruksi jalan napas, paru yang terlalu mengembang, dan gangguan pertukaran gas John B. West, 2010.
PPOK adalah penyakit pada pernapasan, yang dapat mengakibatkan hambatan aliran udara dengan manifestasi sesak napas dan gangguan oksigenasi jaringan Amin, 1996.
PPOK merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan batuk produktif dan dispnea dan terjadi obstruksi saluran napas sekalipun penyakit ini bersifat kronis dan merupakan
gabungan dari emfisema, bronkitis kronik maupun asma, tetapi dalam keadaan tertentu terjadi perburukan dari fungsi pernapasan Rab Tabrani, 2010.
2.1.2. Etiologi
Berbeda dengan asma, penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran pernapasan yang bersifat ireversibel. Gejala yang ditimbulkan pada PPOK biasanya terjadi bersama-sama
dengan gejala primer dari penyebab penyakit ini. Etiologi PPOK yang utama adalah emfisema, bronkitis kronik, dan perokok berat. Yang karakteristik dari bronkitis kronik adalah
adanya penyempitan dari dinding bronkus diagnosis fungsional, sedangkan dari emfisema adalah diagnosis histopatologinya, sementara itu pada perokok berat adalah diagnosis
kebiasaan merokoknya habit.
2.1.3. Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat memicu terjadi PPOK ini, yaitu: a.
Kebiasaan merokok
Universitas Sumatera Utara
Pada perokok berat kemungkinan untuk mendapatkan PPOK menjadi lebih tinggi Amin, 1996. WHO menyatakan hampir 75 kasus bronkitis kronik dan emfisema
diakibatkan oleh rokok The Tobacco Atlas, 2002. Dilaporkan perokok adalah 45 lebih beresiko untuk terkena PPOK dibanding yang bukan perokok WHO, 2010.
Menurut Guyton 2006, secara umum telah diketahui bahwa merokok dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Terdapat beberapa alasan yang mendasari
pernyataan ini. Pertama, salah satu efek dari penggunaan nikotin akan menyebabkan konstriksi bronkiolus terminal paru, yang meningkatkan resistensi aliran udara ke dalam
dan keluar paru. Kedua, efek iritasi asap rokok menyebabkan peningkatan sekresi cairan ke dalam cabang-cabang bronkus serta pembengkakan lapisan epitel. Ketiga, nikotin
dapat melumpuhkan silia pada permukaan sel epitel pernapasan yang secara normal terus bergerak untuk memindahkan kelebihan cairan dan partikel asing dari saluran
pernapasan. Akibatnya lebih banyak debris berakumulasi dalam jalan napas dan kesukaran bernapas menjadi semakin bertambah. Hasilnya, semua perokok baik berat
maupun ringan akan merasakan adanya tahanan pernapasan dan kualitas hidup berkurang.
b. Polusi udara
Polutan adalah bahan-bahan yang ada di udara yang dapat membahayakan kehidupan manusia. Polutan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu senyawa-senyawa di dalam udara
murni pure air yang kadarnya dia atas normal, molekul-molekul gas-gas selain yang terkandung dalam udara murni tanpa memperhitungkan kadarnya dan partikel Amin,
1996.
c. Pekerjaan
Pekerja tambang yang bekerja di lingkungan yang berdebu akan lebih mudah terkena PPOK.
Perjalanan debu yang masuk ke saluran pernapasan dipengaruhi oleh ukuran partikel tersebut. Partikel yang berukuran 5 µ m atau lebih akan mengendap di hidung,
nasofaring, trakea dan percabangan bronkus. Partikel yang berukuran kurang dari 2 µ m akan berhenti di bronkiolus respiratorius dan alveolus. Partikel yang berukuran kurang
dari 0,5 µ m biasanya tidak sampai mengendap di saluran pernapasan akan tetapi akan dikeluarkan lagi.
Apabila terdapat debu yang masuk ke sakkus alveolus, makrofag yang ada di dinding alveolus akan memfagositosis debu tersebut. Akan tetapi kemampuan fagositik
Universitas Sumatera Utara
makrofag terbatas, sehingga tidak semua debu dapat difagositosis. Debu yang ada di dalam makrofag sebagian akan di bawa ke bulu getar yang selanjutnya akan dibatukkan
dan sebagian lagi tetap tertinggal di interstisium bersama debu yang tidak sempat di fagositosis. Debu organik dapat menimbulkan fibrosis sedangkan debu mineral
inorganik tidak selalu menimbulkan akibat fibrosis jaringan. Reaksi tersebut dipengaruhi juga oleh jumlah dan lamanya pemaparan serta kepekaan individu untuk
menghadapi rangsangan yang diterima Amin, 1996. Makrofag yang sedang aktif akan mempengaruhi keseimbangan protease-antiprotease
melalui beberapa mekanisme, yaitu meningkatkan jumlah elastase, mengeluarkan faktor kemotaktik yang dapat menarik neutrofil dan mengeluarkan oksidan yang dapat
menghambat aktivitas AAT Senior, 1980 dalam Amin, 1996. Pekerja yang pada pekerjaannya terpapar aluminium, selama bekerja 30 tahun dengan
terpaparnya partikel tersebut sama saja dengan perokok yang merokok 75 gramminggu Malo, Chan-Yeung, Kennedy, 2002.
d. Berbagai faktor lain, yakni :
1. Jenis kelamin, dimana pasien pria lebih banyak daripada wanita. Ini dikarenakan
perokok pria lebih banyak 2 kali lipat daripada wanita Fisher, 1990 dalam Amin, 1996.
2. Usia
Ini berhubungan dengan lamanya seseorang merokok, berapa banyak bungkus rokok yang telah dihabiskan. Semakin dewasa usia seseorang maka semakin
banyak rokok yang telah dihisap Kamangar, 2010. 3.
Infeksi saluran pernapasan Infeksi saluran pernapasan adalah faktor resiko yang berpotensi untuk
perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Infeksi saluran pernapasan pada anak-anak juga dipercaya berpotensi sebagai faktor predisposisi
perkembangan PPOK. Walaupun infeksi saluran pernapasan adalah salah satu penyebab penting terjadinya eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi saluran
pernapasan dewasa dan anak-anak dengan perkembangan PPOK masih belum bisa dibuktikan Reilly, Edwin, Shapiro, 2008.
4. Hiperresponsif saluran pernapasan
Universitas Sumatera Utara
Ini bisa menjurus kepada remodelling saluran pernapasan yang menyebabkan terjadinya lebih banyak obstruksi pada penderita PPOK Kamangar, 2010.
5. Faktor genetik, dimana terdapat protease inhibitor yang rendah.
Inhibitor adalah sekelompok protein atau peptida yang menunjukkan sifat menghalangi kerja enzim proteolitik. Fungsi inhibitor protease adalah untuk
mengontrol protease yang selalu berperan dalam berbagai proses biologis Janoff 1985, Kimbel 1975, Kueppers 1975, Lieberman 1975 dalam Amin, 1996.
Keenam antiprotease tersebut adalah alfa-1-antitripsin AAT, alfa-1- antikimotripsin A1X, antitrombin III AT III, CI inaktivator CI Ina dan alfa-2-
makroglobulin A2M. Dari keenam inhibitor protease IP tersebut yang berhubungan langsung dengan
jaringan paru adalah AAT dan A2M. Akan tetapi peran AAT lebih besar daripada A2M.
AAT sangat penting sebagai perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami, dan kekurangan antiprotease ini memiliki peranan penting dalam patogenesis
emfisema. Protease dihasilkan oleh bakteri, PMN, monosit, dan makrofag, sewaktu proses fagositosis berlangsung dan mampu memecahkan elastin dan makromolekul
lain pada jaringan paru. Pada orang yang sehat, kerusakan jaringan paru dicegah oleh kerja antiprotease, yang menghambat aktivitas protease. Pada orang yang
merokok, dapat mengakibatkan respons peradangan sehingga menyebabkan pelepasan enzim proteolitik protease, sementara bersamaan dengan itu oksidan
pada asap menghambat AAT Wilson, 2005.
2.1.4. Klasifikasi