Broecke menjelang akhir abad ke16 di antaranya mengemukakan adanya bahan- bahan yang diperkirakan berasal dari pohon kelapa sawit.
Telaah linguistic juga mendukung pendapat bahwa kelapa sawit berasal dari afrika. Di Suriname misalnya, nama-nama yang dipakai untuk kelapa sawit
merupakan modifikasi kata “Afrika” dalam bahasa-bahasa Yoruba, Fanti-Twi, dan Ki
kongo. Demikian pula nama “dede” yang dipakai di Brazil diperkirakan berasal dari kata “ndende” yang memberikan petunjuk bahwa kelapa sawit dibawa ke
benua Amerika dalam abad ke-16 bersama-sama dengan budak belian, dan tumbuh dengan baik di Brazil.
Pendapat kedua, yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan, didukung antara lain oleh Cook, yang mengemukakan dua
alasan sebagai berikut: 1 Kelapa sawit tumbuh secara alamiah di pantai Brazil, dan 2 Marga-marga palma lainnya kebanyakan berasal dari Amerika Selatan.
Tetapi alasan-alasan ini dianggap kurang meyakinkan, karena 1 sifat mudah tumbuh dan cepat berkembang biak memang merupakan karakteristik dari
keluarga palma, dan 2 suatu jenis palma yang berasal dari Afrika Selatan, yaitu Jubaeopsis caffra
ternyata juga merupakan anggota dari suku tribe Cocoinae.
2.2.2 Upaya Pembudidayaan Kelapa Sawit
Upaya pembudidayaan kelapa sawit di dunia secara kebetulan pertama- tama terjadi di Indonesia. Catatan Tesymann menunjukkan bahwa kelapa sawit
diintroduksikan ke Indonesia pada tahun 1848. Dari introduksi tersebut empat
pohon ditanam di Kebun Raya Bogor, dua di antaranya berasal dari Hortus
Botanicus Amsterdam, dan dua lagi dari Reunion atau Mauritius. Diduga keempat
Universitas Sumatera Utara
pohon tersebut berasal dari wilayah pertumbuhan yang sama di benua Afrika, tetapi tiba di Indonesia melalui jalan yang berbeda.
Setelah pohon-pohon tersebut menghasilkan, pengamatan Teysman menunjukkan bahwa sebagai penghasil minyak nabati kelapa sawit sawit memang
lebih unggul daripada kelapa. Keturunan dari keempat pohon tersebut kemudian ditanam di berbagai daerah di kawasan Nusantara, dengan tujuan untuk
memperluas pengenalan kelapa sawit kepada petani. Sebelum tahun 1860 telah dibangun petak-petak pertanaman di Banyumas Jawa dan Palembang, dan pada
tahun 1875 dibangun perkebunan kelapa sawit di wlayah Deli Sumatera Utara. Keturunan dari pertanaman kelapa sawit di wilayah Deli inilah tipe Dura atau
bercangkang tebal yang kelak digunakan untuk merintis pengembangan perkebunan kelapa sawit di temat-tempat lain di kawasan Asia Tenggara maupun
kawasan benua Afrika. Kelapa sawit Deli serta keturunannya yng disebar di berbagai daerah,
ternyata lebih unggul daripada nenel moyangnya di Afrika. Ukuran buahnya lebih besar, dan potensi bagian mesokarp bagian yang mengandung minyak kelapa
sawitdari tiap buah juga lebih tinggi. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa seluruh pertanaman kelapa sawit yang bibitnya berasal dari Kebun Raya Bogor
sangat seragam. Fakta ini mengundang dua macam interpretasi, yaitu: a Keempat pohon inttroduksi yang ditanam di Kebun Raya Bogor berasal dari satu
pohon yang sama,atau b Seluruh pertanaman yang tersebar di berbagai tempat Indonesia berasal dari hanya salah satu dari keempat pohon introduksi.
Universitas Sumatera Utara
Upaya pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dirintis oleh Adrian
Hallet berkebangsaan
Belgia yang
mempunyai pengalaman
pembudidayaan kelapa sawit di Afrika. Pada tahun 1911 ia membangun perkebunan kelapa sawit pertama dalam skala besar di Sungai Liput pantai timur
Aceh dan Pulu Raja Asahan dengan menggunakan benih dari Deli. Pada tahun 1914 perkebunan ini telah mencapai luas 3.250 ha, tetapi penanaman selanjutnya
mengalami stagnasi karena pecahnya Perang Dunia I dan kurangnya informasi mengenai pasar maupun cara-cara pengolahan yang lebih maju. Bersama dengan
rintisan oleh A.Hallet, seorang berkebangsaan Jerman bernama Karl Valentine Theodore Schadt, adalah pelopor pembudidayaan tanaman kelapa sawit di kebun
Tanah Itam Ulu di wilayah konsesi Deli. Upaya pengembangan kelapa sawit selanjutnya di Indonesia cukup pesat. Pada tahun 1925 di pulau Sumatera telah
ditanam 39.000 ha, dan pada tahun 1938 seluas 114.000 ha. Mangoesoekarjo, S, 2003.
2.3 Ekologi Kelapa Sawit