Rehabilitasi Pengguna Narkotika TINJAUAN PUSTAKA

bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Ketentuan mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04Tahun 2010 yang merupakan revisi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009 dan Perautaran Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011. Ketentuan mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika yang diatur di dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 54 dan 103. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Serta Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa: 1 Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat: a. Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. 2 Masa menjalani pengobatan danatau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Kemudian di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 yang mengatur ketentuan mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika diatur di dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa : 1 Pecandu Narkotika yang telah melaksanakan Wajib Lapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 wajib menjalani rehabilitasi medis danatau rehabilitasi social sesuai dengan rencana rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat 2. 2 Kewajiban menjalani rehabilitasi medis danatau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 berlaku juga bagi Pecandu Narkotika yang diperintahkan berdasarkan : a. Putusan pengadilan jika Pecandu Narkotika terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; b. Penetapan pengadilan jika Pecandu Narkotika tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. 3 Pecandu Narkotika yang sedang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis danatau rehabilitasi sosial. 4 Penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis danatau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Ayat 3 merupakan kewenangan penyidik, penuntut umum, atau bahkan hakim sesuai dengan tingkat pemeriksaaan setelah mendapatkan rekomendasi dari Tim Dokter. 5 Ketentuan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis danatau sosial sebagaimana dimaksud pada Ayat 3 dan Ayat 4 berlaku juga bagi Korban Penyalahgunaan Narkotika. 6 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis danatau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Ayat 3, Ayat 4, dan Ayat 5 diatur oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian besar narapidana dan tahanan kasus narkotika adalah termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan dalam hal pemberdayaan dan pengobatan terhadap pecandu dan penyalahguna narkotika pada saat ini tidaklah mendukung proses penyembuhan baik mental maupun fisik pecandu dan penyalahguna narkotika, karena dampak negatif keterpengaruhan oleh perilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan yang diderita para narapidana narkotika akan semakin berat. DAFTAR PUSTAKA Literatur : Andrisman, Tri. 2009. Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Hamzah, Andi. 1985. Pengantar Hukum Pidana Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta. Waluyo, Bambang. 2004. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika. Jakarta. Perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman TLN Nomor 5076 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika LN Tahun 2009 Nomor 143 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika LN Tahun 2011 Nomor 46

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian ini merupakan penelitian yang dirumuskan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini. Sedangkan yuridis empiris adalah menelaah hukum terhadap objek penelitian sebagai pola perilaku yang nyata dalam masyarakat yang ditujukan kepada penerapan hukum yang berkaitan dengan putusan Hakim tentang rehabilitasi pengguna narkotika Nomor: 466PIDSUS2011PN.TK.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lapangan dan kumulatif. Sedangkan jenis data meliputi : 1. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian lapangan yang berkaitan dengan Putusan Hakim tentang rehabilitasi pengguna narkotika Nomor: 466PIDSUS2011PN.TK. 2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki Johnny Ibrahim, 2008 : 282. Seperti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan putusan hakim, narkotika dan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika, yakni Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku, jurnal-jurnal hukum, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian. a. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan dari objek pengamatan atau objek penilitian Burhan Ashofa, 1996 : 79 . Dari populasi tersebut ditentukan sampel yang akan diteliti dengan menggunakan purposive sampling, yaitu sampel yang disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dan dianggap telah mewakili terhadap permasalahan yang hendak digambarkan dan dicapai. Responden yang akan dijadikan sampel sejumlah 4 empat orang dengan rincian sebagai berikut : 1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 orang 2. Direktur Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung : 1 orang 3. Dosen Fakultas Hukum Unila : 1 orang + Jumlah : 3 orang

D. Analisa Data

Keseluruhan data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Analisa kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian dianalisa secara deskriptif sehingga dapat menggambarkan dan mengungkapkan kesimpulan deduktif. DAFTAR PUSTAKA