D. Kontribusi Ekspor-Impor terhadap Pendapatan Negara dalam Ekonomi
Islam
Perdagangan Internasional adalah perdagangan antar negara yang melintasi batas-batas suatu negara. Sebelum teori perdagangan internasional ditemukan di
Barat, Islam telah menerapkan konsep-konsep perdagangan internasional. Adalah ulama besar yang bernama Abu Ubaid bin Salam bin Miskin bin Zaid al-Azdi telah
menyoroti praktik perdagangan internasional ini, khususnya impor dan ekspor. Abu Ubaid merupakan orang pertama yang memotret kegiatan perekonomian di zaman
Rasulullah SAW, khulafaur Rasyidin, para sahabat dan tabiin-tabiin.
37
Pemikiran Abu Ubaid tentang ini dapat dilihat dalam kitabnya, Al Amwaal yang ditulisnya hampir 1000 tahun sebelum Adam Smith 1723-1790 menelurkan
teori keunggulan absolutnya. Pemikiran Abu Ubaid tentang ekspor impor ini dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu tidak adanya nol tarif dalam perdagangan
internasional, cukai bahan makanan pokok lebih murah, dan ada batas tertentu untuk dikenakan cukai.
Tidak Adanya Nol Tarif
Pengumpulan cukai merupakan kebiasaan pada zaman jahiliah dan telah dilakukan oleh para raja bangsa Arab dan non Arab tanpa pengecualian. Kebiasaan
mereka adalah memungut cukai barang dagangan impor apabila masuk ke dalam
37
Hendri Tanjung, ―Abu Ubaid dan Perdagangan Internasional‖, Harian Republika edisi 30 September 2010, h. 6.
negeri mereka. Dari Abdurrahman bin Maqil, ia berkata, Saya pernah bertanya kepada Ziyad bin Hudair, Siapakah yang telah kalian pungut cukai barang impornya?
Ia berkata, Kami tidak pernah mengenakan cukai atas Muslim dan Mua-hid. Saya bertanya, Lantas, siapakah orang yang telah engkau kenakan cukai atasnya? Ia
berkata, Kami mengenakan cukai atas para pedagang kafir harbi, sebagaimana mereka telah memungut barang impor kamiapabila kami masuk dan mendatangi
negeri mereka. Hal tersebut diperjelas lagi dengan surat-surat Rasulullah, dimana beliau mengirimkannya kepada penduduk penjuru negeri seperti Tsaqif, Bahrain,
Dawmatul Jandal dan lainnya yang telah memeluk agama Islam. Isi surat tersebut adalah Binatang ternak mereka tidak boleh diambil dan barang dagangan impor
mereka tidak boleh dipungut cukai atasnya.
38
Dari uraian diatas, Abu Ubaid mengambil kesimpulan bahwa cukai merupakan adat kebiasaan yang senantiasa diberlakukan pada zaman jahiliah.
Kemudian Allah membatalkan sistem cukai tersebut dengan pengutusan Rasulullah dan agama Islam. Lalu, datanglah kewajiban membayar zakat sebanyak seperempat
dari usyur 2.5. Dari Ziyad bin Hudair, ia berkata, Saya telah dilantik Umar menjadi petugas bea cukai. Lalu dia memerintahkanku supaya mengambil cukai
barang impor dari para pedagang kafir harbi sebanyak usyur 10, barang impor pedagang ahli dzimmah sebanyak setengah dari usyur 5, dan barang impor
pedagang kaum muslimin seperempat dari usyur 2.5.
39
38
Ibid.
39
Ibid.
Yang menarik, cukai merupakan salah satu bentuk merugikan orang lain, yang sekarang ini didengungkan oleh penganut perdagangan bebas free trade, bahwa
tidak boleh ada tarif barrier pada suatu negara. Barang dagangan harus bebas masuk dan keluar dari suatu negara. Dengan kata lain, bea masuknya nol persen. Tetapi,
dalam konsep Islam, tidak ada sama sekali yang bebas, meskipun barang impor itu adalah barang kaum muslimin. Untuk barang impor kaum muslimin dikenakan zakat
yang besarnya 2.5. Sedangkan non muslim, dikenakan cukai 5 untuk ahli dzimmah kafir yang sudah melakukan perdamaian dengan Islam dan 10 untuk
kafir harbi Yahudi dan nasrani. Jadi, tidak ada praktiknya sejak dari dahulu, bahwa barang suatu negara bebas masuk ke negara lain begitu saja.
40
Cukai Bahan Makanan Pokok
Untuk minyak dan gandum yang merupakan bahan makanan pokok, cukai yang dikenakan bukan 10 tetapi 5 dengan tujuan agar barang impor berupa
makanan pokok banyak berdatangan ke Madinah sebagai pusat pemerintahan saat itu. Dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya, ia berkata, Umar telah memungut
cukai dari kalangan pedagang luar; masing-masing dari minyak dan gandum dikenakan bayaran cukai sebanyak setengah dari usyur 5. Hal ini bertujuan
supaya barang impor terus berdatangan ke negeri madinah. Dan dia telah memungut cukai dari barang impor al-Qithniyyah sebanyak usyur 10.
41
40
Ibid.
41
Ibid.
Ada Batas Tertentu untuk Cukai
Yang menarik, tidak semua barang dagangan dipungut cukainya. Ada batas- batas tertentu dimana kalau kurang dari batas tersebut, maka cukai tidak akan
dipungut. Dari Ruzaiq bin Hayyan ad-Damisyqi dia adalah petugas cukai di perbatasan Mesir pada saat itu bahwa Umar bin Abdul Aziz telah menulis surat
kepadanya, yang isinya adalah, Barang siapa yang melewa-timu dari kalangan ahli zimmah, maka pu-ngutlah barang dagangan impor mereka. Yaitu, pada setiap dua
puluh dinar mesti dikenakan cukai sebanyak satu dinar. Apabila kadarnya kurang dari jumlah tersebut, maka hitunglah dengan kadar kekurangannya, sehingga ia mencapai
sepuluh dinar. Apabila barang dagangannya kurang dari sepertiga dinar, maka janganlah engkau memungut apapun darinya. Kemudian buatkanlah surat
pembayaran cukai kepada mereka bahwa pengumpulan cukai akan tetap diberlakukan sehingga sampai satu tahun.
42
Jumlah sepuluh dinar adalah sama dengan jumlah seratus dirharn di dalam ketentuan pembayaran zakat. Seorang ulama Iraq, Sufyan telah menggugurkan
kewajiban membayar cukai apabila barang impor ahli dzimmah tidak mencapai seratus dirharn. Menurut Abu Ubaid, seratus dirharn inilah ketentuan kadar terendah
pengumpulan cukai atas harta impor ahli dzimmah dan kafir harbi.
43
Selain Abu Ubaid, Ibn Khaldun juga mendukung bidang ekonomi
internasional. Melalui pengamatannya dan pikiran analitisnya, ia menerangkan
42
Ibid.
43
Ibid.
keuntungan perdagangan antar negara. Melalui perdagangan luar negeri, menurut Ibn Khaldun, kepuasan masyarakat, laba pedagang, dan kekayaan negara semuanya akan
meningkat. Pertimbangan untuk mengadakan foreign trade adalah: 1 lebih murah dibanding memproduksi secara internal, 2 mutu yang lebih baik, atau 3 a totally
new product . Ibn Khaldun dalam analisa dan pengamatan perdagangan luar negerinya
pengenalan layak mendapat penghargaan dalam bidang ekonomi internasional.
44
Menurut Ibnu Khaldun, kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi kekayaan suatu negara ditentukan oleh
tingkat produksi domestik dan neraca pembayaran yang positif dari negara tersebut.
45
Dengan demikian, negara yang makmur adalah negara yang mampu memproduksi lebih banyak dari yang dibutuhkan, sehingga kelebihan hasil produksi
tersebut diekspor, dan pada akhirnya akan menambah kemakmuran di negara tersebut.
46
Berikut merupakan konsep ekonomi menurut Ibnu Khaldun sebagai indikator dari kekayaan suatu negara.
47
1 Tingkat Produk Domestik Bruto
Bila suatu negara mencetak uang dengan sebanyak-banyaknya, itu bukan merupakan refleksi dari pesatnya pertumbuhan sektor produksi baik
44
http:ekisonline.comindex.php?option=com_contentview=articleid=191:pemikiran- ekonomi-ibnu-khalduncatid=36:akuntansi
, artikel diakses pada 12 Juni 2011.
45
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Granada Press, 2007, h. 197.
46
http:ponpes-nu.blogspot.com201104pemikiran-ekonomi-ibnu-khaldun.html ,
diakses pada 12 Juni 2011.
47
Ibid.
barang maupun jasa. Maka uang yang melimpah itu tidak ada artinya, jika jumlah uang lebih banyak dibanding jumlah ketersediaan barang dan jasa.
2 Neraca Pembayaran Positif
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa neraca pembayaran yang positif akan meningkatkan kekayaan negara tersebut. Neraca pembayaran yang positif
menggambarkan dua hal:
a Tingkat produksi yang tinggi. Jika tingkat produksi suatu negara tinggi dan melebihi dari jumlah
permintaan domestik negara tersebut, atau supply lebih besar dibanding demand. Maka memungkinkan negara tersebut melakukan
kegiatan ekspor. b Tingkat efisiensi yang tinggi
Bila tingkat efisiensi suatu negara lebih tinggi dibanding negara lain, maka dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi maka komoditi suatu
negara mampu masuk ke negara lain dengan harga yang lebih kompetitif.
Teori Ibnu Khaldun tentang pembagian kerja division of labor merupakan embrio dari teori perdagangan internasional yang berkembang pesat pada era
merkantilisme di abad ke-17. Hal itu disadari analisisnya tentang pertukaran atau perdagangan diantara negara-negara miskin dan negara kaya yang menimbulkan
kecenderungan suatu negara untuk mengimpor ataupun menekspor dari negara lain. Bagi penganut paham merkantilisme, sumber kekayaan negara adalah dari
perdagangan luar negeri, dan uang sebagai hasil surplus perdagangan adalah sumber kekuasaan.
48
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa melalui perdagangan luar negeri, kepuasan masyarakat, keuntungan pedagang dan kekayaan negara semuanya meningkat. Dan
barang-barang dagangan menjadi lebih bernilai ketika para pedagang membawanya dari suatu negara ke negara lain. Perdagangan luar negeri ini dapat menyumbang
secara positif kepada tingkat pendapatan negara, tingkat pertumbuhan serta tingkat kemakmuran. Jika barang-barang luar negeri memiliki kualitas yang lebih baik dari
dalam negeri, ini akan memicu impor. Pada saat yang sama produsen dalam negeri harus berhadapan dengan produk berkualitas tinggi dan kompetitif sehingga mereka
harus berusaha untuk meningkatkan produksi mereka.
49
48
Ibid.
49
Ibid.
BAB III PROFIL NEGARA INDONESIA DAN ARAB SAUDI
A. Profil Negara Indonesia
Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa lain. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting setidaknya sejak abad ke-7, yaitu
ketika Kerajaan Sriwijaya di Palembang menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India. Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah tumbuh pada
awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan rempah-
rempah Maluku
semasa era
penjelajahan samudra.Setelah
berada di
bawah penjajahan Belanda,
Indonesia yang
saat itu
bernama Hindia Belanda menyatakan kemerdekaannya di akhir Perang Dunia II. Selanjutnya,
Indonesia mendapat berbagai hambatan, ancaman dan tantangan dari bencana alam, korupsi, separatisme, proses demokratisasi dan periode perubahan ekonomi yang
pesat.
50
Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Suku Jawa adalah grup etnis terbesar dan secara politis paling
dominan. Lambang negara Indonesia adalah burung garuda. Semboyan nasional Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika Berbeda-beda tetapi tetap satu, berarti
keberagaman yang membentuk negara. Selain memiliki populasi padat dan wilayah
50
http:id.wikipedia.orgwikiIndonesia , diakses pada 11 Juni 2011.