17
BAB II PERNIKAHAN DALAM ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan, Rukun Syarat Pernikahan,
Hukum dan Tujuan Mahar, Larangan-larangan Pernikahan
Nikah berasal dari kata nakaha, yankihu, nikahan yang berarti Mengumpulkan. Menurut bahasa, nikah berarti suatu ikatan akad perkawinan
dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.
1
Nikah juga berarti penggabungan dan percampuran. dan bisa juga berarti kebersamaan, berkumpul, dan menjalin
ikatan antara suami istri.
2
Sedangkan menurut istilah syariat, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubunganya menjadi
halal.
3
Definisi nikah menurut syara’ yang dikemukakan oleh Mohammad Asmawi adalah, melakukan aqad perjanjian antara calon suami dan istri agar
dihalalkan melakukan “Pergaulan” sebagaimana suami istri mengikuti Norma, nilai-nilai sosial dan etika agama. Aqad dalam sebuah pernikahan merupakan
pengucapan ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan pengucapan qabul dari pihak calon suami bisa diwakilkan.
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2000, hal. 179
2
Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musna Khalid bin Ali Al-Anbari.Penerjemah: Musifin As’ad dan H.Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya. Jakarta : Pustaka Al-kautsar,
hal.17
3
Syaikh Hasan Ayyub, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, Fikih Keluarga, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005, cet ke 5, hal.3
18
Dalam kehidupan ini, semua makhluk hidup baik manusia, binatang atapun tumbuh tumbuhan tidak bisa lepas dari pernikahan atau perkawinan. Ini
merupakan sunnatullah hukum alam untuk kelangsungan hidup umat manusia, berkembang biaknya binatang-binatang dan untuk melestarikan lingkungan alam
semesta.
4
Hal ini terdapat dalam Firman Allah SWT:
ÏΒuρ Èe≅à2
óx« oΨøn=yz
È÷y`÷ρy— ÷ä3ª=yès9
tβρã©.x‹s? ﺍﱠﺬﻟﺍ
ِﺕﺎﻳِﺭ :
٤٩
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami jadikan berjodoh-jodohan agar kamu sekalian mau berfikir.” QS.Adzaariyaat 51 : 49
Juga terdapat dalam firman-Nya yang lain
:
≈ysö6ß™ “Ï©
t,n=y{ yl≡uρø—F{
yγ¯=à2 £ϑÏΒ
àMÎ7Ψè? ÞÚö‘F{
ôÏΒuρ óΟÎγÅ¡àΡr
£ϑÏΒuρ Ÿω
t βθßϑn=ôètƒ ﺲﻳ
: ٣٦
Artinya: “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan segala, sesuatu berjodoh- jodohan, baik tumbuhan maupun diri mereka sendiri dan lain-lain yang
tidak mereka ketahui.” QS.Yaasiin 36: 36
Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan
yang di tetapkan syariat agama. Orang yang melangsungkan sebuah pernikahan bukan semata-mata untuk
memuaskan nafsu birahi yang bertengger dala tubuh dan jiwanya, melainkan untuk meraih ketenangan, ketentraman dan sikap saling mengayomi di antara
suami istri dengan dilandasi cinta dan kasih sayang yang mendalam.
4
Mohammad Asmawi, Nikah, dalam perbincangan dan perbedaan, Yogyakarta : Darrusalam, 2004, hal.18
19
Disamping itu, untuk menjalin tali persaudaraan diantara dua keluarga dari pihak suami dan pihak istri yang berlandaskan pada etika dan estetika yang
bernuansa ukhuwah basyariyah dan islamiyah.
5
Jadi tujuan yang hakiki dalam sebuah pernikahan adalah mewujudkan mahligai rumah tangga yang sakinah yang selalu dihiasi mawaddah dan rahmah.
Tujuan pernikahan termaktub secara jelas dalam firman Allah SWT:
ôÏΒuρ ÿϵÏG≈tƒu
÷βr t,n=y{
ä3s9 ôÏiΒ
öΝä3Å¡àΡr [`≡uρø—r
þθãΖä3ó¡tFÏj9 yγøŠs9Î
Ÿ≅yèy_uρ Νà6uΖ÷t
Zο¨Šuθ¨Β ºπyϑômu‘uρ
4 ¨βÎ
’Îû y7Ï9≡sŒ
;M≈tƒUψ 5ΘöθsÏj9
tβρã©3xtGtƒ ﺍ
ﺮﻟ ﻭ
ﻡ :
٢١
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri dari jenismu sendiri, supaya kamu bisa hidup tenang
bersamanyadan Dia jadikan rasa cinta dan kasih sayang sesame kamu. Sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda kekuasaan-Nya
bagi kaum yang berfikir.” QS. Ar-ruum 30 : 21
Dasar Hukum Pernikahan
Dalam perspektif Fikih, nikah disyariatkan dalam Islam berdasarkan al- Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’. Ayat yang menunjukan nikah disyariatkan adalah
firman Allah dalam QS.an-Nisa3 :
÷βÎuρ ÷ΛäøÅz
āωr θäÜÅ¡øè?
’Îû 4‘uΚ≈tGu‹ø9
θßsÅ3Ρsù tΒ
zsÛ Νä3s9
zÏiΒ Ï|¡ÏiΨ9
4o_÷WtΒ y]≈n=èOuρ
yì≈tâ‘uρ …÷
ﺍ ﺂﺴﻨﻟ
ُﻋ :
٣
Artinya: “…maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga, empat.”
5
Mohammad Asmawi, Nikah, dalam perbincangan dan perbedaan, hal.19
20
Selanjutnya disebutkan dalam surah an-Nur 24 : 32
θßsÅ3Ρruρ 4‘yϑ≈tƒF{
óΟä3ΖÏΒ tÅsÎ=≈¢Á9uρ
ôÏΒ öä.ÏŠt6Ïã
öΝà6Í←tΒÎuρ 4
βÎ θçΡθä3tƒ
utsèù ãΝÎγÏΨøóãƒ
ª ÏΒ
ÏÎôÒsù 3
ªuρ ììÅ™≡uρ
ÒΟŠÎ=tæ ﺍ
ﻮﻨﻟ
ﺭ :
٣٢
Artinya:“ Dan kawinlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang- orang yang layak berkawin dari hamba sahayamu yang laki dan hamba
sahayamu yang perempuan. QS. An-Nur 24 : 32
Adapun dari hadits Nabi SAW yang menerangkan masalah ini adalah hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud ra:
ِﺝﺮﹶﻔﹾﻠِﻟ ﻦِﺼﺣﹶﺍﻭ ِﺮﺼﺒﹾﻠِﻟ ﻮﻀﹶﻏﹶﺃ ﻪﻧِﺈﹶﻓ ﺝﻭﺰﺘﻴﹾﻠَﹶﻓ ﹸﺓَﺀﺎﺒﹾﻟﺍ ﻢﹸﻜﻨِﻣ ﻉﺎﹶﻄﺘﺳﺍ ِﻦﻣ ِﺏ ﹶﺎﺒﺸﱠﻟﺍ ﺮﺸﻌﻣ ﺎﻳ
٦
ﺒﹾﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ ﻢِﻠﺴﻣ ﻭ ﻯِﺭﺎﺨ
Artinya: “Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukan
pandangan dan menjaga kemaluan dari perbuatan Zina dan barang siapa yang tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa
itu adalah sebuah penawar.” HR. al-Bukhari dan Muslim
Dari segi ijma’, para ulama sepakat mengatakan nikah itu disyariatkan. Hukum asal suatu pernikahan adalah mubah, namun bisa berubah menjadi
Sunnah, wajib, makruh dan haram. Perinciannya sebagaimana dibawah ini. 1.
Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang mampu untuk menikah dan kuatir akan melakukan perbuatan zina. Alasannya, dia wajib
menjaga dirinya agar terhindar dari perbuatan haram.
6
Imam Muhyiddin Annawawi, Shahih Muslim, Beirut: Darul Marifah, 2007, h. 176.
21
2. Haram hukumnya bagi orang yang yakin akan menzalimi dan membawa
mudarat kepada istrinya karena ketidakmampuan dalam member nafkah lahir dan batin.
3. Sunnah hukumnya menurut jumhur ulama bagi yang apabila tidak menikah,
sanggup menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan haram dan, apabila ia menikah ia yakin tidak akan mendzalimi dan membawa mudarat kepada
isterinya. 4.
Makruh hukumnya bagi orang yang kuatir kan berbuat nista dan membawa mudarat kepada isterinya dan tidak merasa yakin dapat menghindari hal itu
jika ia menikah, misalnya merasa tidak yakin dapat menghindari hal itu jika ia menikah, memberi perlakuan tidak baik kepada isteri serta merasa tidak terlalu
berminat terhadap perempuan.
7
Rukun Syarat Perkawinan
Di dalam melaksanakan proses pernikahan terdapat syarat rukun yang harus di penuhi. Keduannya terdapat perbedaan. Rukun nikah adalah merupakan
bagian dari hakikat akan kelangsungan perkawinan seperti laki-laki, perempuan, wali, saksi dan sebagainya. Tanpa ada hakikat dari pernikahan semisal laki-laki
atau perempuantidak bisa dilaksanakan. Sedangkan syarat nikah adalah sesuatu yang pasti atau harus ada ketika pernikahan berlangsung, tetapi tidak termasuk
7
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernilahan dan keluarga, Jakarta : Graha Paramuda, 2008, hal.8
22
pada salah satu bagian dari hakikat pernikahan, misalnya syarat saksi harus laki- laki, dewasa baligh, berakal, dan sebagainya.
8
1. Calon Pengantin Laki-laki dan Perempuan
Salah satu unsur penting dalam keabsahan nikah adalah pasangan calon suami istri. Namun untuk mengetahui layak atau tidak mereka melangsungkan
pernikahan, dapat diketahui melalui kriteria berikut ini: a.
Calon suami diharuskan memiliki kriteria berikut ini: 1
Keahlian bertindak. Artinya calon suami tersebut harus mampu melakukan sendiri akad itu, baik terhadap dirinya maupun terhadap
lain. Dan disyaratkan sudah mumayyiz. 2
Dapat mendengar perkataan. Maksudnya setiap dari keduanya dapat mendengar perkataan satu sama lain atau yang serupa dengan itu,
seperti menulis perihal akad jika si wanita tidak ditempat.
9
b. Adapun calon istri disyaratkan memenuhi criteria sebagai berikut:
1 Benar-benar seorang wanita artinya di ketahui dengan jelas jenis
kelaminnya. 2
Statusnya diketahui dengan pasti bahwa ia bukan wanita yang haram dinikahi.
10
8
Asmawi, Nikah, dalam perbincangan dan perbedaan, hal.50
9
Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernilahan dan keluarga, hal 28
10
Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernilahan dan keluarga, hal.29
23
2. Wali
Wali memegang peranan penting terhadap kelangsungan suatu pernikahan. Menurut Maliki dan Syafi’i, bahwa keberadaan wali adalah
termasuk salah satu rukun nikah. Sedangkan pendapat Hanafi dan Hanbali bahwa wali merupakan salah satu syarat-syarat nikah. Suatu pernikahan tanpa
di hadiri oleh wali dari pihak perempuan adalah tidak sah atau batal. Adapun perbedaan dua pendapat di atas hanya tentang nama saja, beda dalam
menyebutkan termasuk syarat atau rukun. Sedangkan akibatnya adalah sama, bahwa suatu pernikahan tanpa kehadiran wali dari pihak perempuan adalah
batal atau tidak sah.
11
Tidak sembarang orang bisa menjadi wali karena bertanggung jawab terhadap sahnya akad nikah yang dilangsungkan. Para ulama mazhab yang
empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali sepakat bahwa syarat-syarat yang menjadi wali adalah Islam, baligh, berakal sehat. Syarat lainnya, menurut
Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, orang yang berhak menjadi Wali adalah harus laki-laki. Disamping itu seorang yang menjadi wali harus tertanam dalam
jiwanya sikap adil, bukan orang yang termasuk katagori fasik. 3.
Saksi Sahnya suatu pernikahan akad nikah harus dihadiri oleh dua orang
saksi laki-laki. Ini pendapat mayoritas ulama, namun masih ada perbedaan
11
Asmawi, Nikah , dalam perbincangan dan perbedaan, hal.60
24
tentang keberadaan saksi-saksi yang berkaitan dengan identitasnya.
12
Keberadaan dua orang saksi dalam pernikahan berlandaskan kepada hadits Nabi Muhammad SAW : “ Pernikahan tidak sah kecuali ada wali dan dua
orang saksi yang adil.” HR. Ahmad Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang dua orang
saksi yang harus menghadiri upacara pernikahan sehingga akad nikah yang di ucapkan itu benar-benar sah. Kesepakatan para ulama ini terutama kalangan
ulama salaf, berdasarkan kepada keshahihan hadist di atas. Identitas dua orang saksi, menurut Maliki dan Syafi’i, adalah harus berkelamin laki-laki, muslim,
adil, baligh, berakal, melihat, mendengar, dan mengerti tujuan akad nikah. Sedangkan pendapat Hanafi dan Hanbali bahwa dalam akad nikah di hadiri
satu orang saksi laki-laki dan dua orang perempuan. Dua saksi dari jenis perempuan adalah sama kualitas kesaksiannya dengan seorang laki-laki.
13
4. Shigat
Salah satu rukun nikah adalah Shigat adanya akad Nikah. Pengucapan akad Nikah ijab, menurut syafi’i, harus terlebih dahulu oleh wali pihak
perempuan atau wakilnya, kemudian dijawab kabul oleh pihak laki-laki calon suami atau wakilnya. Syarat ijab-kabul, menurut Syafi’i dan Hanbali,
12
Asmawi, Nikah , dalam perbincangan dan perbedaan, hal.61
13
Asmawi, Nikah , dalam perbincangan dan perbedaan, hal.62
25
harus menggunakan lafal yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, yaitu lafal inkah dan tazwij atau menggunakan terjemahannya nikah dan kawin.
14
Sedangkan pendapat Hanafi, bahwa lafal ijab-kabul tidak harus menggunakan lafal yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadits. Bahkan dia
membolehkan lafal hibah, sedekah, tamlik member kepemilikan, dan sebagainya.
Pendapat ini juga berpedoman pada salah satu riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menggunakan lafal Aku Milikkan dia
kepadamu. Hanafi memberikan argumentasi bahwa lafal inkah nikah atau tazwij kawin adalah kata kiasan.
15
Salah satu ke-sah-an Ijab Kabul dalam suatu pernikahan, menurut Syafi’i, Maliki dan Hanbali, harus berlangsung dalam satu majlis dan rentang
waktu antara ijab dan Kabul harus tidak berselang lama, serta lafal yang diucapkan itu harus didengar oleh dua belah pihak, demikian juga harus didengar
oleh minimal dua orang saksi. Sedangkan pendapat Hanafi, rentang waktu ucapan antara ijab dan Kabul boleh lama asalkan masih berada dalam satu majlis.
16
Hukum dan Tujuan Mahar
Mahar maskawin adalah bentuk pembayaran yang wajib diberikan oleh suami kepada istrinya ketika akad nikah dilangsungkan sebagai bukti adanya
14
Asmawi, Nikah, dalam Perbincangan dan Perbedaan, hal.52
15
Asmawi, Nikah, Perbincangan dan Perbedaan, hal.53
16
Asmawi, Nikah, dalam Perbincangan dan Perbedaan, hal.54
26
ikatan seorang perempuan terhadap seorang laki-laki yang berfungsi sebagai suaminya. Bentuk pembayaran yang dinamakan maskawin itu bisa berupa uang
atau barang harta benda.
17
Kewajiban maskawin ini kepada pihak suami berlandaskan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an. QS. An-nisa 4 : 4
θè?uuρ u|¡ÏiΨ9
£ÍκÉJ≈s߉|¹ \søtÏΥ
4 βÎsù
t÷ÏÛ öΝä3s9
tã óx«
çµ÷ΖÏiΒ T¡øtΡ
çνθè=ä3sù \↔ÿ‹ÏΖyδ\↔ÿƒÍ÷£∆
ﺍ ﺎﺴﻨﻟ
ﻋ
: ٤
Artinya: “Berikanlah maskawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian yang wajib.” QS. An-nisa4 : 4
Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib di berikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh
anggota badannya. Hal ini menunjukan bahwa Islam sangat menghargai dan memperhatikan fungsi dan kedudukan perempuan, dengan memberikan hak dalam
menentukan sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya. Maskawin itu merupakan hak mutlak perempuan yang akan dinikahi.
Demikian juga dalam, menentukan besar atau kecilnya jumlah yang diinginkan. Dalam kitab shahih Bukhari diriwayatkan, dari Sahal bin Sa’ad, bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi wa sallam pernah berkata kepada seseorang.
18
17
Asmawi, Nikah, dalam Perbincangan dan Perbedaan, hal.160
18
Asmawi, Nikah, dalam Perbincangan dan Perbedaan, hal.162
27
Karena mahar merupakan syarat sahnya pernikahan, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikan mahar adalah
wajib.
Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon Istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. HartaBendanya berharga.
2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat.
3. Barangnya bukan Ghasab.
4. Bukan baran yang tidak jelas keadaannya.
19
Dasar Hukum mahar
Para ahli fiqih ada yang berpendapat bahwa mahar merupakan rukun akad nikah dan yang berpendapat bahwa mahar merupakan syarat sahnya pernikahan,
karena itu tidak boleh ada persetujuan untuk meniadakannya.
20
Sesuai dengan firman Allah : QS. An-nisa :4 dan Firman Allah QS. An-nisa ayat 25.
Artinya: “…Karena itu kawinilah mereka dengan seizin keluarga dan
berilah maskawinnya menurut yang patut…” QS: An-nisa4 : 25
19
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta : Kencana Media Group, 2008 cet ke 3, hal .87
20
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang perkawinan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987 cet ke2, hal 82
28
Larangan-larangan Pernikahan
Secara garis besar, larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita menurut Syara’ di bagi menjadi dua, yaitu halangan abadi dan halangan
sementara. Di antara halangan-halangan abadi ada yang telah disepakati dan ada pula yang masih diperselisihkan.
21
Yang telah disepakati ada tiga, yaitu: 1.
Nasab keturunan 2.
Pembesanan karena pertalian kerabat semenda. 3.
Sesusuan Sedangkan yang di perselisihkan ada dua, yaitu:
1. Zina
2. Li’an
Halangan-halangan sementara ada Sembilan, yaitu: 1.
Halangan bilangan. 2.
Halangan mengumpulkan. 3.
Halangan kehambaan. 4.
Halangan kafir. 5.
Halangan ihram. 6.
Halangan sakit 7.
Halangan ‘iddah meski masih di perselisihkan segi kesemantaraannya. 8.
Halangan perceraian tiga kali bagi suamiyang menceraikan.
21
Ghazali, Fiqh Munakahat, hal.103
29
9. Halangan peristrian.
22
Larangan kawin karena pertalian Nasab
Larangan kawin tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat An- Nisa’ ayat 23 :
ôMtΒÌhãm öΝà6ø‹n=tã
öΝä3çG≈yγ¨Βé öΝä3è?oΨtuρ
öΝà6è?≡uθyzruρ öΝä3çG≈£ϑtãuρ
öΝä3çG≈n=≈yzuρ ßNoΨtuρ
ˈF{ ßNoΨtuρ
ÏM÷zW{ ãΝà6çF≈yγ¨Βéuρ
ûÉL≈©9 öΝä3oΨ÷è|Êö‘r
Νà6è?≡uθyzruρ
... ﺍ
ﺎﺴﻨﻟ ﻋ
: ٢٣
Artinya: “ Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki dan
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…” QS. An-Nisa’4: 23
Berdasarkan ayat diatas, wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selama- lamanya halangan abadi kerena pertalian nasab adalah :
1. Ibu.
2. Anak perempuan
3. Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atay seibu saja.
4. Bibi: yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung ayah
atau seibu dan seterusnya keatas.
22
Ghazali, Fiqh Munakahat, hal.105
30
Terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasala 39 Ayat 1 yaitu: Karena Pertalian Nasab:
1. Dengan seorang wanita melahirkan atau menurunkannya atau keturunannya.
2. Dengan seorang wanita keturunan ayah
3. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
Larangan Kawin karena Hubungan Sesusuan.
Larangan kawin karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan surat An- Nisa’ ayat 23 di atas:
Artinya :“Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu yang menyusukan kamu, dan saudara-saudara perempuan sepersusuan…” QS. An-
Nisa4: 23 Terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 39 ayat 3 yaitu : Karena
Pertalian Sesusuan 1.
Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.
2. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah.
3. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, kemenakan sesusuan kebawah.
4. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.
5. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.
Wanita yang Haram Dinikahi karena Hubungan Mushaharah Pertalian
kerabat semenda
31
Keharaman ini disebutkan dalam lanjutan ayat 23 Surat An-Nisa :
ßNoΨt àM≈yγ¨Βéuρ öΝä3Í←|¡ÎΣ
ãΝà6ç6Íׯ≈tu‘uρ ÉL≈©9
’Îû Νà2Í‘θàfãm
ÏiΒ ãΝä3Í←|¡ÎpΣ
ÉL≈©9 ΟçFù=yzyŠ
£ÎγÎ βÎsù
öΝ©9 θçΡθä3s?
ΟçFù=yzyŠ ∅ÎγÎ
Ÿξsù yyoΨã_
öΝà6ø‹n=tæ ã≅Íׯ≈n=ymuρ
ãΝà6Í←oΨör tÉ‹©9
ôÏΒ öΝà6Î7≈n=ô¹r
ﺍ ﺎﺴﻨﻟ
ﻋ
: ٢٣
Artinya: “Dan diharamkan ibu-ibu istrimu, anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istrimu yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan istrimu itu dan sudah kamu ceraikan maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan istri-istri anak
kandungmu…. QS. An-Nisa4 :23
Jika di perinci adalah sebagai berikut: Mertua perempuan, nenek perempuan istri dan seterusnya keatas, baik
garis ibu atau ayah. 1.
Anak Tiri, dengan syarat kalau telah terjadi hubungan kelamin antara suami dengan ibu anak tersebut.
2. Menantu, yakni istri anak, istri cucu, dan seterusnya kebawah.
3. Ibu tiri, yakni bekas istri ayah, untuk ini tidak di syaratkan harus adanya
hubungan seksual antara ibu dan ayah.
23
Yang menjadi persoalan dalam hubungan mushaharah ini adalah, apakah keharaman itu disebabkan karena semata-mata akad perkawinan yang sah, atau
dapat juga karena perzinaan. Imam syafi’i berpendapat bahwa larangan perkawinan karena mushaharah hanya disebabkan karena semata-mata akad saja,
23
Ghazali, Fiqh Munakahat, hal.108
32
tidak bisa karena perzinaan yang dicela itu disamakan dengan hubungan mushaharah. Sebaliknya Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa larangan
perkawinan karena mushaharah, disamping disebabkan akad yang sah, bisa juga disebabkan karena perzinaan. Perselisihan pendapat ini karena berbeda dalam
menafsirkan firman Allah surat An-Nisa ayat 22 yang berbunyi:
Ÿωuρ θßsÅ3Ζs?
tΒ yxs3tΡ
Νà2äτtu ...
ﺍ ﺎﺴﻨﻟ
ﻋ
: ٢٢
Artinya: “Janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oeh ayah- ayahmu..” QS. An-Nisa4 : 22
Terdapat dalam kompilasi hukum Islam pasal 39 ayat 2, Karena Pertalian kerabat semenda:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya.
b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya.
c. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya kecuali
putusnya hubungan perkawinan itu qabla al-dukhul. d.
Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.
Wanita yang Dinikahi karena Sumpah Li’an
Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat Zina tanpa mendatangkan empat orang saksi. Maka Suami diharuskan bersumpah 4 kali dan yang kelima
kali dilanjutkan dengan menyatakan bersedia menerima laknat Allah apabila tindakannya itu dusta. Istri yang mendapat tuduhan itu bebas dari hukuman zina
kalau mau bersumpah seperti sumpah suami di atas 4 kali dan yang kelima kalinya
33
diteruskan bersedia mendapat laknat bila tuduhan suami itu benar. Sumpah demikian disebut sumpah li’an. Apabila terjadi li’an antara suami istri maka
putuslah hubungan perkawinan keduanya untuk selama-lamanya
24
. Keharaman ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat an-Nur ayat 6-9:
tÏ©uρ tβθãΒötƒ
öΝßγy_≡uρø—r óΟs9uρ
ä3tƒ öΝçλ°;
ây‰pκà− HωÎ
öΝßγÝ¡àΡr äοy‰≈yγt±sù
óΟÏδωtnr ßìtö‘r
¤N≡y‰≈uηx© «Î
…絯ΡÎ zÏϑs9
Ïω≈¢Á9 ·
.èπ|¡Ïϑ≈sƒø:uρ ¨βr
|MuΖ÷ès9 «
ϵø‹n=tã βÎ
tβx. zÏΒ
tÎÉ‹≈s3ø9 ﺍ
ﻮﻨﻟ
ﺭ :
٩ -
٦ Artinya: “ Dan orang-orang yang menuduh istrinya, berzina padahal mereka
tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah
sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika ia termasuk
orang-orang yang dusta. Istrinya dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu
benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan sumpah yang kelima laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang
yang benar.” QS An-Nur: 6-9
Terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 43: 1.
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang Pria: a.
Dengan seorang wanita bekas Istri yang di Thalaq 3 b.
Dengan seorang wanita bekas istrinya yang di Li’an 2.
Larangan tersebut pada ayat 1 huruf a gugur, kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan habis
masa ‘iddahnya.
24
Ghazali, Fiqh Munakahat, hal.109
34
Wanita Yang Haram Dinikahi Sementara
Wanita-wanita yang haram dinikahi tidak untuk selamanya bersifat sementara adalah sebagai berikut:
25
1. Dua Perempuan bersaudara haram dikawini oleh seorang laki-laki dalam
waktu yang bersamaan, maksudnya mereka haram dimadu dalam waktu bersamaan. Keharaman megumpulkan dua wanita dalam satu perkawinan, ini
juga diberlakukan terhadap dua orang yang mempunyai hubungan keluarga bibi dan kemenakan.
2. Wanita yang terikat perkawinan dengan Laki-laki lain, haram dinikah oleh
seorang laki-laki. 3.
Wanita yang sedang dalam ‘iddah, baik ‘iddah cerai maupun ‘iddah ditinggal mati berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 228 dan 232.
4. Wanita yang dithalaq tiga, haram bagi dengan bekas suami. Kecuali kalau
sudah kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta di cerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa ‘iddahnya berdasarkan
firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229-230. 5.
Wanita yang sedang melakukan ihram, baik ihram umrah maupun ihram haji, todak boleh dikawini.
6. Wanita Musyrik, haram dinikahi. Yang dimaksud wanita musyrik ialah yang
menyembah selain Allah. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah dalamsurat
25
Ghazali, Fiqh Munakahat, hal 112
35
Al-Baqarah ayat 24. Adapun wanita ahli kitab, yakni wanita Batas Usia Menurut Fiqh
7. Nasrani dan wanita Yahudi boleh dinikah, berdasarkan firman Allah dalam
surat Al-Maidah ayat 5.
26
B. Pengertian Pernikahan Dini