LANDASAN TEORI

b. Landasan Pelaksanaan Program Akselerasi

1) Landasan Hukum Program Akselerasi

Penyelenggaraan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa (selanjutnya disingkat menjadi pendidikan khusus bagi peserta didik CI/BI ) di Indonesia menggunakan landasab hukum sebagai berikut :

commit to user

Nasional : (1) Pasal 3, ” Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

(2) Pasal 5 ayat 4 ” warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan

bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. (3) Pasal 32 ayat 1, ” pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

(4) UU No. 23/ 2002tentang Perlindungan Anak pasal 52, ” anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesbilitas untuk memperol eh pendidikan khusus. ”

(5) PP No 72/91, tentang Pendidikan Luar Biasa (6) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang

Kedudukan Tugas, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

(7) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementrian Negara Republik Indonesia;

(8) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187 / M Tahun 2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 171/ M Tahun 2005;

(9) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Manajemen

commit to user

Nasional (10) Keputusan Mendiknas No. 053/ 2001 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah.

(11) Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan. (12) Peraturan Mendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi (13) Peraturan Mendiknas No. 23 tahun 2006 tentang Standar

Kompetensi Lulusan. (14) Peraturan Mendiknas No. 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menegah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasioanal Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

(15) Permendiknas No. 34 / 2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang memiliki Potensi Kecerdasan dan/ atau bakat Istimewa.

(16) Rancangan Peraturan Pemerintah ( RPP) tentang Pengelolaan

Pendidikan. (Depdiknas,2009 :4-6)

2) Landasan Teoritis

Menurut Feldhusen (1994) yang dikutip oleh Depdiknas (2009:8) penggunaan istilah potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa berkait erat dengan latar belakang teoritis yang digunakan. Potensi kecerdasan berhubungan dengan kemampuan intelektual, sedangkan bakat tidak hanya terbatas pada kemampuan intelektual. Anak berbakat adalah anak yang diidentifikasi oleh orang dengan kualifikasi profesional yaitu anak yang telah mampu menunjukkan prestasinya dan atau berupa potensi kemampuan pada beberapa bidang seperti :

a) kemampuan intelegensi umum

commit to user

c) berpikir produktif atau kreatif

d) kemampuan kepemimpinan

e) kemampuan di bidang seni

f) kemampuan psikomotorik Prinsip mengidentifikasi peserta didik cerdas istimewa dilakukan dengan menggunakan pendekatan multidimensional, artinya kriteria yang digunakan lebih dari satu, yaitu bukan sekedar batasan peserta didik memiliki dimensi kemampuan umum pada taraf kecerdasan skor IQ 130 ke atas dengan menggunakan skala Wechesler.

Menurut Depdiknas (2009:18) Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan dari Renzulli (1978,2005) banyak digunakan dalam menyusun pendidikan untuk anak cerdas istimewa, dan merupakan teori yang mendasari pengembangan pendidikan anak cerdas istimewa dan berbakat istimewa (Gifted and Talented children). Berdasarkan Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan tersebut ditentukan giftedness saling keterkaitan antara tiga komponen yang penting yaitu :

a) Kemampuan umum ( kapasitas intelektual ) dan atau kemampuan khusus diatas rata – rata.

b) Kreativitas yang tinggi

c) Komitmen terhadap tugas yang tinggi Penggunaan model Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan dari Renzulli lebih berorientasi pada psikotes dan prestasi, masih belum menyentuh seluruh populasi anak cerdas istimewa dan berbakat istimewa (gifted and talented ).

Menurut Adinugroho-Horstman (2007) yang dikutip oleh Depdiknas (2009 :19) ada beberapa kelompok anak berbakat yang kemungkinan besar terlewatkan dengan model identifikasi semacam itu, seperti : anak – anak yang cerdas istimewa namun memiliki kesenjangan tinggi antara kemampuan dan kinerja atau prestasinya (underarchiever), anak – anak cerdas istimewa yang memiliki kesenjangan tinggi diantara

commit to user

prestasi maupun bakat dengan ketimpangan kemampuan kognisi dan kemampuan adaptif serta prestasi di lapangan.

Menurut Monks dan Ypenburg (1995) yang dikutip dalam Depdiknas (2009:19) untuk mengatasi masalah belum mendapat tempatnya beberapa kategori anak berbakat dalam Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan muncullah konsep The Triadich dari Renzulli-monks yang merupakan pengembangan dari Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan dan disebut sebagai model multifaktor yang melengkapi Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan. Konsep The Triadich menyebutkan bahwa potensi kecerdasan istimewa (giftedness) yang dikemukakan Renzulli itu tidak akan terwujud jika tidak mendapatkan dukungan yang baik dari sekolah, keluarga, dan lingkungan di mana si anak tinggal.

Model multifaktor merupakan model pendidikan anak cerdas istimewa tidak dapat dilepaskan dari peran orang tua dan lingkungan dalam menanggapi gejala – gejala kecerdasan istimewa (giftedness), toleran terhadap berbagai karakteristik yang ditampilkannya baik yang positif maupun berbagai gangguan tumbuh kembangnya yang menjadi penyulit baginya, serta dalam mengupayakan layanan pendidikannya, model pendekatan ini menuntut keterlibatan berbagai pihak yakni sistem pendidikan, keluarga, dan lingkungan untuk dapat memberikan dukungan yang baik dan mengupayakan agar anak didik dapat mencapai prestasi istimewanya, sehingga diharapkan tidak akan terjadi adanya kondisi berprestasi rendah (underarchiever) pada seorang anak cerdas istimewa. Dengan model pendekatan teori ini juga, maka anak – anak yang mempunyai ciri – ciri berkecerdasan istimewa sekalipun (underarchiever) masih dapat terdeteksi sebagai anak berkecerdasan istimewa yang memerlukan dukungan dari sekolah, keluarga dan lingkungan agar ia dapat mencapai prestasi yang istimewa sesuai potensinya.

Model pendekatan multifaktor lebih fleksibel dalam melakukan deteksi dan diagnosis anak cerdas istimewa, terutama dalam menghadapi

commit to user

disinkronitas yang besar dan penting, berkesulitan dan bergangguan belajar (learning difficulties dan learning disabilities), serta yang mengalami komorbiditas dengan gangguan lainnya (gangguan emosi dan perilaku yang patologis). Fleksibilitas dalam melakukan deteksi yang dimaksud adalah dimungkinkannya penggunaan daftar dan alat – alat ukur asesmen yang lebih beragam. Model multifaktor ini kemudian dikembangkan oleh Heller (2004) dalam Depdiknas (2009 :20). Model yang dikembangkan Heller merupakan modifikasi dari Triadic Interdependence Model Monks (Model pendekatan Multifaktor) serta Multiple Intelligences dari Howard Gardner. Konsep keberbakatan Heller (2004) ini dapat ditinjau berdasarkan empat dimensi multifaktor yang saling terkait satu sama lain, yaitu (1) faktor talenta (talent) yang relatif mandiri. (2) faktor kinerja (performance). (3)faktor kepribadian. (4) faktor lingkungan.

Faktor kepribadian dan faktor lingkungan menjadi perantara utnuk terjadinya transisi dari talenta menjadi kinerja. Faktor bakat (talent) sebagai potensi yang ada dalam individu dapat meramalkan aktualisasi kinerja (performance) dalam area yang spesifik. Bakat ini mencakup tujuh area yang masing – masing berdiri sendiri, yaitu (1) kemampuan intelektual, (2) kemampuan kreatif, (3) kompetensi sosial, (4) kecerdasan praktis, (5) kemampuan artistik, (6) musikalitas, (7) keterampilan psikomotor. Faktor kinerja (performance) meliputi delapan area kinerja, yaitu (1) Matematika, (2) Ilmu Pengetahuan Alam, (3) Teknologi Komputer, (4) Seni (musik,lukis), (5) Bahasa, (6) Olah Raga, (7) Relasi Sosial

Bakat (talent) dapat berkembang menjadi kinerja dengan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu : (1) karakteristik kepribadian yang mencakup : cara mengatasi stres,

motivasi berprestasi, strategi belajar dan strategi kerja, harapan – harapan akan pengendalian, harapan akan keberhasilan atau

commit to user

pengetahuan (2) kondisi – kondisi lingkungan yang mencakup : iklim keluarga, jumlah saudara dan kedudukan dalam keluarga, tingkat pendidikan orang tua, stimulasi lingkungan rumah, tuntutan dan kinerja yang ada di rumah, lingkungan belajar, kualitas pembelajaran, iklim kelas, dan peristiwa – peristiwa kritis.

Dalam proses terwujudnya bakat menjadi kinerja, bakat juga dapat mempengaruhi faktor kepribadian dan kondisi lingkungan, misalnya bakat yang ada pada anak dapat mempengaruhi perlakuan orang tua dan guru pada anak tersebut.

Pada dasarnya, ciri-ciri yang dimiliki peserta didik cerdas dan atau berbakat istimewa serupa dengan peserta didik pada umumnya, yaitu ada sisi positif dan sisi negatif. Sebagaimana anak pada umumnya, anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa mempunyai kebutuhan pokok akan pengertian, penghargaan, dan perwujudan diri. Apabila kebutuhan – kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, mereka akan menderita kecemasan dan keragu – raguan. Jika minat, tujuan, dan cara laku mereka yang berbeda dengan peserta didik pada umumnya, tidak memperoleh pengakuan, maka mereka walaupun memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa akan mengalami kesulitan.

Ciri – ciri tertentu dari peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dapat atau mungkin mengakibatkan timbulnya masalah – masalah tertentu seperti yang disebutkan oleh Martinson (1974) yang dikutip oleh Depdiknas(2009:22), yakni sebagai berikut :

a) kemampuan berpikir kritis dapat mengarah ke arah sikap meragukan (skeptis), baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain

b) kemampuan kreatif dan minat untuk melakukan hal – hal yang baru, bisa menyebabkan mereka tidak menyukai atau lekas bosan terhadap tugas tugas rutin

commit to user

keinginan untuk memaksakan atau mempertahankan pendapatnya

d) kepekaan yang tinggi, dapat membuat mereka menjadi mudah

tersinggung atau peka terhadap kritik

e) semangat, kesiagaan mental, dan inisiatifnya yang tinggi, dapat membuat kurang sabar dan kurang tenggang rasa jika tidak ada kegiatan atau jika kurang tampak kemajuan dalam kegiatan yang sedang berlangsung

f) dengan kemampuan dan minatnya yang beraneka ragam, mereka membutuhkan keluwesan serta dukungan untuk dapat menjajaki dan mengembangkan minatnya

g) keinginan mereka untuk mandiri dalam belajar dan bekerja, serta kebutuhannya dan kebebasan, dapat menimbulkan konflik karena tidak mudah menyesuaikan diri atau tunduk terhadap tekanan dari orang tua, sekolah atau teman – temannya. Ia juga bisa merasa ditolak atau kurang dimengerti oleh lingkungannya

h) sikap acuh tak acuh dan malas, dapat timbul karena pengajaran yang diberikan di sekolah kurang mengundang tantangan bagi mereka.

Selain hal – hal yang diungkapkan oleh Martinson (1974) diatas, berdasarkan penelitian Henry (1993) yang dikutip dalam Depdiknas (2009 : 23), mereka juga suka mengganggu teman – teman sekelasnya, karena kecerdasannya dengan sekali penjelasan dari guru peserta didik cerdas dan berbakat istimewa sudah mampu memahami materi yang disampaikan sehingga ia memiliki banyak waktu luang, yang apabila tidak diantisipasi gurunya akan melakukan hal – hal usil. Akibat lebih lanjut, mereka dapat menjadi anak yang berprestasi rendah (underachiever) atau bahkan malah mungkin menjadi anak yang bermasalah (mengalami kesulitan belajar).

Menurut Henry(1996) dalam Depdiknas (2009:23) terhadap peserta didik SD di provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Ampung, dan Kalimantan Barat, yang menunjukkan bahwa 22 % dari peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa beresiko tinggal kelas (nilai rata-rata rapornya kurang dari 6,00). Demikian pula peserta didik SLTP di empat provinsi yang sama menunjukkan bahwa 20 % dari peserta didik SLTP yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa juga beresiko tinggal kelas. Sementara itu, hasil penelitian Yaumil Achir (1990) yang

commit to user

yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa menunjukkan bahwa sekitar 38,7 % dari sampel tergolong underachiever.

Underachiever tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di negara lain. Beberapa penelitian di negara maju, seperti Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 15-50 % dari peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa tergolong underachiever sedangkan di Inggris sekitar 25 % ( Utami Munandar, 1999 :20). Sementara itu hasil penelitian Balitbang Diknas (1998) dalam Depdiknas (2009 :25) menyimpulkan ada dua faktor yang menyebabkan peserta didik cerdas istimewa mengalami gejala prestasi kurang ( underachiever), yaitu:

a) lingkungan belajar yang kurang menantang mereka untuk mewujudkan potensinya secara optimal

b) model pembelajaran yang kurang kondusif.

3) Landasan Filosofis

Menurut Depdikbud (1994) yang dikutip oleh Depdiknas (2009 :

26) penyelenggaraan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan istimewa, salah satu bentuk atau model layanannya adalah program percepatan (akselerasi) belajar dan didasari filosofi yang berkenaan dengan :

a) Hakekat manusia

b) Hakekat pembangunan nasional

c) Tujuan pendidikan

d) Usaha untuk mencapai tujuan pendidikan.

4) Landasan historis

Menurut Depdiknas (2009:27) upaya pemerintah memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi PDCI/BI telah dilakukan sejak tahun 1974 dalam beberapa bentuk layanan dengan model :

a) PPSP dengan pendekatan maju berkelanjutan dan belajar tuntas

b) Kelas – kelas khusus dan unggulan

c) Sekolah – sekolah unggulan di sejumlah propinsi

commit to user

e) Pondok pesantren modern dengan pola asrama

f) Pemberian beasiswa kepada peserta didik yang cerdas Secara historis kebijakan pemerintah yang terkait dengan layanan pendidikan bagi peserta didik cerdas istimewa dapat dilihat pada Tabel

2.1 berikut ini : Tabel 2.1 Layanan Pendidikan Bagi Peserta Didik Cerdas Istimewa Tahun

Bentuk Kebijakan / Program 1974

Pemberian beasiswa bagi peserta didik Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berbakat dan berprestasi tinggi tetapi lemah kemampuan ekonomi keluarganya.

1982 Balitbang Dikbud membentuk Kelompok Kerja Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat (KKPPAB). Kelompok ini terdiri dari individu – individu yang mewakili unsur – unsur struktural serta unsur – unsur keahlian seperti Balitbang Dikbud, Ditjen Dikdasmen, Ditjen Dikti, Perguruan Tinggi, serta unsur keahlian di bidang sains, matematika, teknologi (elektronika, otomotif, dan pertanian ), bahasa, dan humaniora, serta psikologi.

1984 Balitbang Dikbud menyelenggarakan perintisan pelayanan pendidikan anak berbakat dari tingkat SD, SMP, SMA di satu daerah perkotaan (Jakarta) dan satu daerah pedesaan (Kabupaten Cianjur). Program pelayanan yang diberikan berupa pengayaan (enrichment) dalam bidang sains (Fisika, Kimia, Biologi, dan Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa, matematika, teknologi (elektronika, otomotif, dan pertanian), bahasa (Inggris dan Indonesia), humaniora, serta keterampilan membaca, menulis dan meneliti. Pelayanan Pendidikan dilakukan di kelas khusus di luar program kelas reguler pada waktu – waktu tertentu. Perintisan pelayanan pendidikan bagi anak berbakat ini pada tahun 1986 dihentikan seiring dengan pergantian pimpinan dan kebijakan di jajaran Depdikbud.

1989 Di dalam UU no.2 tahun 1989 tentang Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 8 ayat 2 dikemukakan

commit to user

bahwa warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus. Pasal 24, setiap peserta didik pada satuan pendidikan mempunyai hak – hak sebagai berikut : (1) mendapat perlakuan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, (2) menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang telah ditentukan.

1993 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan kebijakan tentang Sistem Penyelenggaraan Sekolah Unggul ( Schools of Excellence) dan membukanya di seluruh provinsi sebagai langkah awal kembali untuk menyediakan program pelayanan khusus bagi peserta didik dengan cara mengembangkan aneka bakat dan kreativitas siswa.

1994 Depdikbud mengeluarkan dokumen tentang ” Pengembangan Sekolah Plus ” yang menjadi naskah induk tentang ” Sistem Penyelenggaraan Sekolah Menengah Umum Unggul ”.

1998/1999 Dua sekolah swasta di DKI Jakarta dan satu sekolah swasta di Jawa Barat melakukan ujicoba pelayanan pendidikan bagi anak berpotensi kecerdasan dan bakat istimewa dalam bentuk program percepatan belajar (akselerasi), yang mendapat arahan dari Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah.

2000 Program percepatan belajar dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional pada Rakernas Depdiknas menjadi Program Pendidikan Nasional. Dirjen Dikdasmen menyampaikan Surat Keputusan (SK) Mendiknas tentang Penentapan Sekolah Penyelenggara Program Percepatan Belajar kepada 11 sekolah terdiri dari

1 SD, 5 SMP, dan 5 SMA di DKI Jakarta dan Jawa Barat. 2001/2002 Diputuskan penetapan kebijakan diseminasi program percepatann belajar pada beberapa sekolah di beberapa provinsi di Indonesia.

2003 UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (4) menyebutkan warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Pasal 32 ayat (1) Pendidikan khusus merupakan

commit to user

pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikutii proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan /atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

2006 Diterbitkan Permendiknas no 34/2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 115 sampai dengan pasal 118 tentang pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi dan/atau bakat istimewa.

(Sumber : Depdiknas, 2009 : 31-32)

c. Prinsip prinsip Penyelenggaraan Sekolah Program Akselerasi 1). Otonomi

Prinsip otonomi memberikan implikasi bahwa penyelenggaran Pendidikan Khusus bagi PDCI/BI, memiliki keleluasaan untuk mengelola program dan keuangan secara mandiri. Prinsip otonomi ini dapat dipahami dengan memahami karakteristik desentralisasi pendidikan. Prinsip – prinsip desentralisasi pendidikan dalam mengefektifkan kebijakan otonomi sekolah, antara lain :

 Bersifat multidimensional dan bersifat luwes terhadap perubahan dan perkembangan

 Mencakup multi pemangku kepentingan (stakeholder) dan mendorong partisipasi mereka.  Manajemen program harus dilakukan secara demokratis , transparan, sesuai dengan kondisi sekolah serta tersedianya sumber daya manusia

yang berkualitas  Tidak bersifat lokal, sempir, primordial dan sentimen kelompok

tertentu, tetapi senantiasa mengacu pada tujuan pendidikan nasional  Pengembangan lembaga dan program secara bottom-up melalui

pemanfaatan sumber daya secara optimal.

commit to user

pendidikan adalah pemberian keleluasaan (independency) dan kemandirian kepada sekolah penyelenggara Pendidikan Khusus bagi PDCI / BI untuk melakukan perbaikan secara terus menerus (continouse improvement).

2). Partisipasi

Partisipasi artinya keterlibatan mental dan emosional orang – orang dalam suatu kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi pada tujuan kelompok dengan berbagai tanggung jawab pencapaian tujuan itu. Penyelenggaran Pendidikan Khusus bagi PDCI/BI memerlukan partisipasi anggota masyarakat. Melalui partisipasi ini, masyarakat diharapkan dengan sukarela memberikan perhatian, pengorbanan, dan kerjasama untuk meningkatkan kualitas penyelenggaran program akselerasi.

Penyelenggaraan Pendidikan Khusus bagi PDCI/BI dapat melibatkan instansi atau lembaga terkait yang memiliki program pembinaan dan pengembangan keilmuwan. Melalui kerjasama ini, penyelenggaraan Pendidikan Khusus bagi PDCI/BI diharapkan menjadi lebih optimal. Partisipasi ini akan dapat mendorong terjadi keberlangsungan (sustanbility). Hal ini akan penting karena keberlangsungan penyelenggaraan Pendidikan Khusus bagi PDCI/BI memerlukan dukungan moral, teknis, dan finansial dari pemerintah dan masyarakat setempat. Hal ini mengingat tidak semua peserta didik berkecerdasan istimewa memiliki kemampuan ekonomis yang memadai untuk mengikuti Pendidikan Khusus bagi PDCI/BI secara optimal.

3). Akuntabilitas

Akuntabilitas adalah kewajiban seseorang atau pimpinan kolektif suatu organisasi untuk mempertanggung jawabkan dan menjelaskan kinerja kepada pihak – pihak untuk meminta jawaban dan penjelasan atas hasil seluruh tindakannya. Akuntabilitas kinerja Pendidikan Khusus bagi PDCI/BI merupakan bentuk pertanggung jawaban yang harus dilakukan penyelenggara program terhadap keberhasilan fungsi manajerial, prosess,

commit to user

atas hasil dan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah (Direktorat PSLB , Dinas Pendidikan), masyarakat (komite sekolah), dan stakeholders lainnya.

4). Jaminan Mutu

Jaminan mutu (quality assurance) adalah penetapan mutu berdasarkan standar –standar yang dibuat oleh pemerintah maupun sekolah penyelenggara program akselerasi. Jaminan mutu ini harus memiliki sistem audit yang berfungsi mengecek apakah semua Pendidikan Khusus bagi PDCI/BI terlaksana sebagaimana mestinya, dan sejalan dengan itu, terdapat sistem perbaikan ven berfungsi memperbaikan kesalahan yang ditemukan .

Jaminan mutu merupakan penetapan mutu berdasarkan suatu standar yang mencakup indikator –indikator, yakni input, proses, dan output. Dalam penyelenggaraan Pendidikan Khusus bagi PDCI / BI keseluruhan indikator tersebut melingkupi : pengorganisasian kurikulum, peserta didik, guru, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan, peran serta masyarakat, dan evaluasi.

5). Evaluasi yang Transparan

Evaluasi adalah suatu proses untuk mengambil keputusan dengan informasi yang diperoleh. Maksud evaluasi adalah memberi nilai tentang kualitas sesuatu. Evaluasi tidak sekedar mencari jawaban terhadap pertanyaan tentang apa, tetapi lebih diarahkan kepada menjawab pertanyaan tentang bagaimana suatu proses penyelenggaraan Pendidikan Khusus bagi PDCI/ BI dilakukan atau bagaimana hasil akhir program itu diperoleh/didapatkan.

Evaluasi merupakan suatu proses sistematis dalam mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan informasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan Pendidikan Khusus bagi PDCI/BI dengan kriteria tertentu untuk pengambilan keputusan. Informasi hasil evaluasi dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan. Seluruh

commit to user

atau transparan. Yaitu suatu keadaan dimana mulai dari perencanaan, proses maupun hasil evaluasi diinformasikan kepada masyarakat. Artinya mekanisme penilaian, kriteria penilaian, dan hasil penilaian dapat diketahui masyarakat pada saat evaluasi berlangsung. Di sisi lain hasil evaluasi mengimplikasikan perlunya pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Direktorat PSLB, Pengawas Sekolah, serta lembaga terkait. Pembinaan dilakukan dalam upaya menjamin bahwa penyelenggaraan Pendidikan Khusus bagi PDCI / BI berjalan sesuai dengan ketentuan – ketentuan yang telah ditetapkan dan berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan.

2. Karakteristik Mata Pelajaran Fisika

Mata pelajaran fisika adalah cabang dari ilmu pengetahuan yang menguraikan dan menjelaskan tentang unsur-unsur dalam alam serta fenomenanya secara empiris, logis, sistematis dan rasional. Pada mata pelajaran fisika, siswa banyak mempelajari tentang zat, energi, dan gerakan. Pelajaran fisika juga merupakan ilmu pengetahuan kuantitatif atau ilmu pengetahuan tentang pengukuran, dan percobaan. (Siregar, 2003:6).

Pada dasarnya, pelajaran Fisika sebagai salah satu cabang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis pemahaman kuantitatif gejala atau proses alam dan sifat-sifat zat serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Kesuksesan dalam belajar mata pelajaran fisika dapat dicapai jika siswa memiliki kemampuan untuk memahami tiga hal pokok fisika yaitu konsep-konsep / pengertian, hukum-hukum / asas-asas, dan teori-teori (Siregar, 2003:6).

Menurut Subratha (2007: 8) disebutkan bahwa ruang lingkup mata pelajaran Fisika di Sekolah Menengah Atas (SMA) meliputi aspek – aspek sebagai berikut:

commit to user

alat-alat optik, kalor, konsep dasar listrik dinamis, dan konsep dasar gelombang elektromagnetik

b. Gerak dengan analisis vektor, hukum Newton tentang gerak dan gravitasi, gerak getaran, energi, usaha, dan daya, impuls dan momentum, momentum sudut dan rotasi benda tegar, fluida, termodinamika

c. Gejala gelombang, gelombang bunyi, gaya listrik, medan listrik, potensial dan energi potensial, medan magnet, gaya magnetik, induksi elektromagnetik dan arus bolak-balik, gelombang elektromagnetik, radiasi benda hitam, teori atom, relativitas, radioaktivitas.

Pembelajaran Fisika pada Program Akselerasi menurut Depdiknas (2009 :

63) dituntut menggunakan level tinggi dalam konsep yang digunakan, level tinggi dalam isi pelajaran, dan bercorak interdisciplinary study. Dengan demikian seharusnya tidak ada dalam penyelenggaraan akselerasi yang menerapkan level materi yang standar atau rerata bobotnya. Materi harus advanced level content. Menjadi tidak logis apabila materi pelajaran yang diterapkan dalam penyelenggaraan pendidikan akselerasi menggunakan standar isi dari Kepmendiknas 22 yang masih standar.

3. Pengukuran, Assesmen dan Evaluasi

Dalam melakukan penilaian ada tiga istilah yang biasa digunakan. Ketiga istilah tersebut saling berkaitan, yaitu pengukuran, assesmen, dan evaluasi. Ketiganya dilakukan dengan cara pengumpulan data, menganalis data kemudian mengambil keputusan.

Menurut Norman E. Gronlund (1981:5) dijelaskan bahwa “…there is

some confusion concerning the meaning of the term evaluation as it applies to classroom instruction. In some instances it is used as a synonym for the term measurement ”. Pernyataan tersebut berarti terdapat sedikit kebingungan mengenai arti dari istilah evaluasi yang digunakan pada pengajaran di kelas. Pada beberapa kasus evaluasi digunakan sebagai sinonim dari istilah pengukuran. Gronlund melanjutkan “In other case evaluation is used as a collective term for those

commit to user

appraisal methods that do not depend on measurement. It use of the two term

distinguishes “evaluations qualitative descriptios of pupil behavior” (e.g.,

anecdotal records of behavior) from “measurement,”which are quantitative descriptions (e.g., test score) ”. Artinya, pada kasus lain evaluasi digunakan sebagai istilah pada metode - metode penilaian yang tidak tergantung pada pengukuran. Kedua istilah tersebut digunakan secara berbeda. Evaluasi mendiskripsikan secara kualitatif dari perilaku siswa (misalnya catatan anekdot perilaku) dan pengukuran yang mendeskripsikan secara kuantitatif (misalnya: nilai tes). Berikut ini penjelasan mengenai ketiga istilah di atas .

a. Pengukuran

Pengukuran didefinisikan berbeda-beda oleh para ahli. Victor H

Noll(1965:7) menyatakan bahwa “…measurement is a quantitative process, the result of measurement are always expressed in numbers…”. Pendapat Noll di atas

dapat disimpulkan bahwa pengukuran merupakan proses kuantitatif, hasil dari pengukuran selalu dinyatakan dengan angka. Pendapat Noll di atas sejalan dengan pendapat Remmers, Gage dan Rummel (1960 :7) yaitu “ Measurement refers to observation that can be expressed quantitatively and answer the question how much”. Pernyataan di atas dapat diartikan pengukuran berkenaan dengan pengamatan yang dinyatakan secara kuantitatif dan menjawab pertanyaan “berapa banyak”. Sedangkan Anas Sudijono (2005 : 4) mengungkapkan bahwa “ Pengukuran yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan measurement dan dalam bahasa arabnya adalah muqayasah, dapat diartikan sebagai kegiatan yang

dilakukan untuk “mengukur” sesuatu. Berdasarkan ketiga pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengukuran merupakan kegiatan membandingkan sesuatu dengan atau atas dasar ukuran tertentu yang berhubungan dengan pengamatan secara kuantitatif dan hasilnya dinyatakan dengan angka

Pengukuran juga diterapkan dalam dunia pendidikan. Mimin Haryati (2007 :14) menyatakan ” Pengukuran adalah proses pemberian angka atau usaha

memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan dimana seorang peserta didik telah mencapai karakteristik tertentu”. Di sekolah istilah pengukuran sering

diganti dengan tes, sebagai contoh tes prestasi belajar. Hal ini disebabkan karena

commit to user

pengukuran. Pengukuran pada proses pembelajaran dilakukan secara tidak langsung dan hasilnya biasanya dinyatakan dengan skor. Sebagai contoh siswa diberi skor oleh guru dengan terlebih dahulu mengerjakan serangkaian tes yang hasilnya dikoreksi, kemudian diambil keputusan untuk pemberian skor sesuai dengan hasil tes yang dikerjakan. Skor tersebut dinyatakan dalam angka.

b. Asesmen

Joanne Caldwell (2008:22) mengemukakan pendapat mengenai asesmen yaitu “When we assess, we collect evidence and we analyze this evidence. As a

result of our analysis, we make a judgment that leads to a decision or to some form of action ”. Kalimat tersebut kurang lebih berarti : ketika melakukan asesmen, fakta-fakta dikumpulkan kemudian dianalisis,dari hasil analisis dibuat keputusan yang digunakan untuk menentukan tindakan selanjutnya.

Joanne Caldwell(2008 :23) menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam proses asesmen terdapat empat langkah yang harus ditempuh yaitu : 1). Mengidentifikasi hal yang akan dinilai. 2). Mengumpulkan informasi atau fakta-fakta. 3). Menganalisis fakta-fakta. 4). Mengambil keputusan.

Dalam dunia pendidikan menurut TGAT (Task Group on Assesment and Testing ) yang dikutip Djemari Mardapi (2008:1) adalah: Asesmen mencakup semua cara yang digunakan untuk menilai unjuk kerja

individu atau kelompok. Proses asesmen meliputi pengumpulan bukti-bukti tentang pencapaian belajar peserta didik. Bukti ini tidak selalu diperoleh melalui tes saja, tetapi juga bisa dikumpulkan melalui pengamatan atau laporan diri. Definisi asesmen berkaitan dengan semua proses pendidikan, seperti karakteristik peserta didik, karakteristik metode mengajar, kurikulum, fasilitas, dan administrasi.

Assesmen yang efektif seharusnya dapat membantu siswa untuk mengerti apa yang dibutuhkan ketika mengerjakan tugas. Hal ini seperti apa yang dinyatakan oleh Milne, Heinrich dan Morrison (2008:491) menyatakan bahwa

”Effective assesment should help students to understand what is required of them

commit to user

when submitting assignments and appreciate what high quality works looks like .” Artinya, asesmen yang efektif membantu siswa untuk mengerti apa yang dibutuhkan ketika mengerjakan tugas dan menghargai pekerjaan berkualitas yang telah dilakukan. Asesmen seharusnya menjadi bagian dari pembelajaran, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran. Assesmen (penilaian) pada program akselerasi menerapkan authentic assesment (penilaian otentik). Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai (Nurhadi, 2004: 172).

Hakikat penilaian pendidikan menurut konsep authentic assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengindikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, asesmen tidak hanya dilakukan di akhir periode (semester) pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (seperti UAN), tetapi dilakukan bersama dan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran (Nurhadi, 2004: 168). Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran (Nurhadi, 2004: 168).

Penilaian otentik menurut Santoso (2004 : 15) memiliki beberapa karakteristik, yaitu :

1) penilaian merupakan bagian dari proses pembelajaran.

2) penilaian mencerminkan hasil proses belajar pada kehidupan nyata.

commit to user

sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar.

4) penilaian harus bersifat komprehensif dan holistik yang mencakup semua

aspek dari tujuan pembelajaran. Sedangkan Nurhadi (2004 :173) mengemukakan bahwa karakteristik authentic assesment adalah sebagai berikut:

1) melibatkan pengalaman nyata (involves real-world experience)

2) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung

3) mencakup penilaian pribadi (self assesment) dan refleksi

4) yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta

5) berkesinambungan

6) terintegrasi

7) dapat digunakan sebagai umpan balik

8) kriteria keberhasilan dan kegagalan diketahui siswa dengan jelas Dalam pelaksanaan dari penilaian otentik menurut Santoso (2004:17) memiliki beberapa prinsip adalah sebagai berikut:

1) Keeping track, yaitu harus mampu menelusuri dan melacak kemajuan siswa

sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah ditetapkan.

2) Checking up, yaitu harus mampu mengecek ketercapaian kemampuan peserta

didik dalam proses pembelajaran.

3) Finding out, yaitu penilaian harus mampu mencari dan menemukan serta

mendeteksi kesalahan-kesalahan yang menyebabkan terjadinya kelemahan dalam proses pembelajaran.

4) Summing up, yaitu penilaian harus mampu menyimpulkan apakah peserta

didik telah mencapai kompetensi yang ditetapkan atau belum. Menurut Santoso (2004:20) Pada pelaksanaannya penilaian otentik ini dapat menggunakan berbagai jenis penilaian diantaranya adalah: 1) tes standar prestasi,

2) tes buatan guru, 3) catatan kegiatan, 4) catatan anekdot, 5) skala sikap, 6) catatan tindakan, 7) konsep pekerjaan, 8) tugas individu, 9) tugas kelompok atau kelas, 10) diskusi, 11) wawancara, 12) catatan pengamatan, 13) peta perilaku, 14) portofolio, 15) kuesioner, dan 16) pengukuran sosiometri.

commit to user

Sedangkan menurut Nurhadi (2004 :174) hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar penilaian prestasi siswa sesuai penilaian otentik adalah sebagai berikut:

1) proyek/kegiatan dan laporannya

2) hasil tes tulis (ulangan harian, semester, atau akhir jenjang pendidikan)

3) portofolio (kumpulan karya siswa selama satu semester atau satu tahun)

4) pekerjaan rumah

5) kuis

6) karya siswa

7) presentasi atau penampilan siswa

11) karya tulis

12) kelompok diskusi

13) wawancara

c. Evaluasi

Evaluasi memliki pengertian yang berbeda-beda menurut beberapa ahli. Evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran (John M.Echols dan Hasan Shadily,1983:220). Pendapat lain mengatakan bahwa ditinjau dari sudut bahasa, penilaian diartiakan sebagai proses menentukan nilai suatu objek (Nana Sudjana,1989:3). Sedangkan menurut Edwind dan Gerald W.Brown dalam bukunya Essentials of Educational dikatakan bahwa: Evaluation refer to the act or process to determining the value of something (Wand and Brown,1957:1). Evaluasi adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Dari pengertian yang berbeda- beda tersebut dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan suatu proses untuk menafsirkan suatu nilai dengan melalui tindakan mengukur atau menaksir dan menilai.

Evaluasi digunakan hampir diseluruh ranah kehidupan, tidak luput juga dalam dunia pendidikan. Berikut ini adalah beberapa hal tentang evaluasi

commit to user

penentuan hasil evaluasi pendidikan :

1) Evaluasi Pendidikan Di Indonesia sendiri Lembaga Administrasi Negara mengemukakan batasan mengenai evaluasi pendidikan sebagai berikut:

a) Proses/kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang telah ditentukan.

b) Usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (feedback) bagi penyempurnaan pendidikan Dalam dunia pendidikan evaluasi pun ada bermacam – macam, ada yang mengevaluasi kebijakan – kebijakan yang diambil oleh pemerintah, evaluasi terhadap administrasi sekolah, dan evaluasi terhadap hasil pembelajaran. Dilihat dari fungsi dan tujuannya evaluasi hasil belajar memiliki fungsi sebagai berikut (Suharno, dkk, 2000:76-78)

a) Untuk diagnostik dan pengembangan / remidi Tidak semua siswa dapat mengikuti dan menguasai/ memahami seluruh materi pelajaran yang diberikan guru. Salah satu cara untuk mengetahui kesulitan yang dihadapi siswa terhadap bagian-bagian pelajaran yang yang telah diberikan maka guru dapat mengguanakn tes diagnostik. Dengan demikian tes diagnostik bertujuan untuk mengetahui kesulitan atau hal-hal yang belum dikuasai siswa terhadap suatu pelajaran.

Informasi tentang berbagai kesulitan yang diperoleh melalui tes diagnostic dapat digunakan oleh guru untuk melakukan remidiasi atau pembinaan. Guru memberikan pembenaran kepada siswa yang gagal dalam tes diagnostik, sementara yang lainnya dapat melakukan pendalaman atau pengayaan.

b) Untuk seleksi Sering sekolah dihadapkan pada suatu situasi dimana fasilitas yang dimiliki tidak sesuai dengan yang membutuhkan, seperti penerimaan siswa baru, pemberian beasiswa, pemilihan siswa teladan, dan sebagainya. Untuk membuat keputusan yang adil dan dapat diterima semua pihak

commit to user

dan siapa yang gagal.

c) Untuk kenaikan kelas (promotion) Tes hasil belajar merupakan faktor penentu dalam hal penentuan siswa untuk mengikuti pelajaran berikutnya. Penentuan seseorang layak untuk naik atau tinggal kelas adalah melalui tes hasil belajar yang tertuang dalam bentuk rapor.

d) Untuk penempatan (placement) Dalam suatu program pembelajaran sering ditemui adanya variasi kemampuan siswa terhadap suatu mata pelajaaran. Pada situasi demikian guru dapat mengelompokan siswa berdasarkan kemampuannya yang dilihat dari tes hasil belajar mereka. Dengan adanya kelompok-kelompok tersebut maka guru dapat memberikan pelayanan sesuai degan kemampuan anak sehingga diperoleh hasil yang lebih baik.

2) Teknik evaluasi Ada dua teknik evaluasi yang dikenal yakni teknik nontes dan tes, yang tergolong teknik nontes adalah skala bertingkat (rating scale), kuisioner (questionair), daftar cocok (check list), wawancara (interview), pengamatan (observation), dan riwayat hidup. Sedangkan untuk teknik tes bisa ditinjau dari peserta tes yakni tes individual dan tes kelompok. Ditinjau dari pembuatannya yakni tes standar dan tes buatan guru. Ditunjau dari bentuk soalnya yakni tes objektif dan subjektif serta ditinjau dari kegunaannya yakni tes formatis, sumatif, diagnostik dan penempatan. (Suharsimi Arikunto, 1995: 29-30)

3) Evaluasi Hasil Belajar Siswa Program Akselerasi Evaluasi hasil belajar siswa program akselerasi pada dasarnya sama dengan program regular, hanya saja jika dilihat dari kegiatan pembelajarannya yang menerapkan problem based learning pada pembelajarannya yang mengacu pada tingkat masalah tingkat tinggi yang disebut types of problem situation dan lebih banyak mengutamakan produk atau proyek sehingga sebagai konsekuensinya guru harus menetapkan bobot soal setidaknya C4 (analisis) dan

commit to user

tinggi dan kritis.

4. Pengembangan Tes Hasil Belajar

Dalam program penilaian pendidikan di sekolah pentestingan lebih dominan digunakan oleh guru untuk mengukur hasil belajar siswa. Menurut (Mudjio, 1995: 3) tes memiliki kegunaan-kegunaan tertentu yang mungkin sulit dicapai oleh teknik-teknik lainnya. Tuckman mengatakan kegunaan-kegunaan itu sebagai berikut :

a. Untuk mendukung obyektivitas pengamatan yang dilakukan guru.

b. Untuk menimbulkan perilaku di bawah kondisi yang relatif terkontrol.

c. Untuk mengukur sampel kemampuan individu (siswa).

d. Untuk memperoleh kemampuan-kemampuan dan mengukur hasil yang sesuai dengan tujuan dan tolok ukurnya.

e. Untuk mengungkapkan perilaku yang tidak kelihatan.

f. Untuk mendeteksi karakteristik dan komponen-komponen perilaku.

g. Untuk meramalkan perilaku yang akan datang.

h. Untuk menyediakan data sebagai umpan balik dan membuat keputusan.

Di sekolah seringkali digunakan tes buatan guru yang disebut teacher made test. Tes yang dibuat oleh guru terutama untuk menilai kemajuan siswa dalam pencapaian hal yang dipelajari. Sebelum menuliskan sebuah tes menurut Depdiknas(2008 :9) ada beberapa langkah yang harus disiapkan oleh setiap guru agar menghasilkan suatu tes yang handal dan sahih, yaitu : (1)menentukan tujuan tes, (2) memperhatikan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD), (3) menentukan jenis alat ukurnya, (4) menyusun kisi-kisinya dan menulis butir soal beserta pedoman penskorannya. Berikut ini adalah penjelasan dari langkah- langkah tersebut :

a. Menentukan tujuan penilaian. Tujuan penilaian sangat penting karena setiap tujuan memiliki penekanan yang berbeda-beda. Misalnya untuk tujuan tes prestasi belajar, diagnostik, atau seleksi.

b. Memperhatikan standar kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD).

commit to user

yang harus diukur melalui setiap kompetensi dasar yang ada atau melalui gabungan kompetensi dasar.

c. Menentukan jenis alat ukurnya. Menentukan jenis alat ukur disini adalah, jenis alat ukur apa yang sebaiknya digunakan apakah alat ukur yang berupa tes ataukah non tes. Penggunaan materi dilakukan sebagai pendukung kompetensi dasar. Syaratnya adalah materi yang diujikan harus mempertimbangkan urgensi (wajib dikuasai peserta didik), kontinuitas (merupakan materi lanjutan), relevansi (bermanfaat terhadap mata pelajaran yang lain), dan keterpakaian dalam kehidupan sehari- hari tinggi (UKRK). Setelah menentukan jenis tes apa yang digunakan maka kemudian ditentukanlah bentuk tes yang sebaiknya digunakan.

Menurut Djemari M ardapi (2008 : 69) “ Bentuk tes yang digunakan di lembaga pendidikan dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu tes objektif dan tes non objektif . Objektif dapat dilihat dari system penskorannya, siapapun tester yang memeriksa lembar jawaban akan menghasilkan skor yang sama. Sedangkan tes non objektif adalah tes yang system penskorannya dipengaruhi subjektifitas pembuat skor. Menurut Djemari Mardapi (2008 :

73) “Bentuk tes ini menuntut kemampuan peserta didik untuk menyampaikan, memilih, dan memadukan gagasan atau ide yang telah dimilikinya dengan menggunakan kata- katanya sendiri “.

Tes objektif ada bermacam-macam jenisnya, yaitu menjodohkan benar-salah, dan pilihan ganda. Tes pilihan ganda sering digunakan pada mata pelajaran eksak. Menurut Djemari Mardapi (2008 : 70) “Soal pada tes ini

jawabannya hanya satu, mulai dari memilih rumus yang tepat, memasukkan angka dalam rumus, menghitung hasil dan menafsirkan hasilnya”.

Tes pilihan ganda merupakan salah satu jenis tes obyektif. Tes jenis pilihan ganda menghadapkan kepada siswa sejumlah alternatif jawaban, umumnya antara 3 sampai 5 alternatif untuk setiap soal. Siswa diharuskan memilih salah satu dari beberapa alternatif jawaban tersebut yang dianggap benar berdasarkan suatu dasar pemikiran tertentu. Ada beberapa istilah yang

commit to user

distractors . Stem adalah bagian pokok dari soal yang merumuskan isi soal. Stem bisa berbentuk pertanyaan, perintah maupun kalimat tidak sempurna. Alternatif-alternatif jawaban yang menyertainya dinamakan options atau kalau diterjemahkan secara langsung pilihan-pilihan. Alternatif yang benar dinamakan key ataau kunci, sedangkan alternatif-alternatif lainnya yang bertujuan mempersulit proses pencapaian jawaban yang benar dinamakan distractors , atau kalau secara langsung diterjemahkan penganggu- pengganggu/ pengecoh (Slameto, 2001: 59).

Tes pilihan ganda dikatakan baik apabila murid-murid yang menguasai bahan pelajaran dapat menunjukkan secara jelas jawaban mana yang benar dan dapat memlihnya. Sebaliknya murid-murid yang tidak menguasai bahan- bahannya akan mendapat kesulitan untuk mengidentifikasi jawaban yang benar. Hal ini disebabkan berfungsinya distactor pada item tersebut. Distractor tersebut cukup dapat menarik perhatian untuk dijadikan pilihan yang benar (Moh Kasiram, 1984: 24).

Tes pilihan ganda saat ini banyak dipakai dan dikembangkan untuk ujian sekolah terutama pada ulangan harian maupun akhir semester dan ujian akhir sekolah serta ujian masuk perguruan tinggi. Tes pilihan ganda dianggap mempunyai tingkat validitas dan reliabilitas yang tinggi, selain itu tes ini juga bersifat fleksibel . T Raka Joni (Mudjio, 1995: 2) menyatakan bahwa jenis tes bentuk multiple choice merupakan bentuk tes yang sangat fleksibel. Demikian fleksibelnya sehingga batas kemungkinan pemakaiannya itu adalah ditentukan oleh daya pikir dan cipta penyusunnya (Mudjio, 1995: 3).

Adapun untuk mengolah skor dalam tes bentuk pilihan ganda digunakan 2 macam rumus :

1) Dengan denda

commit to user

Keterangan : S = skor yang diperoleh (Raw Score) R = jawaban yang betul W = jawaban yang salah O = banyaknya option

1 = bilangan tetap

2) Tanpa denda S=R Keterangan : S = skor yang diperoleh (Raw Score) R = jawaban yang betul

Pada pengembangan instrumen tes ini, skor penilaian siswa adalah tanpa denda.

Kaidah penulisan soal bentuk pilihan ganda seperti yang dikemukakan oleh Sumarna Surapranata (2005: 243-244) meliputi enam belas hal sebagai berikut

1) Materi soal yang disajikan minimal mencerminkan jabaran substansi materi yang terkandung dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.

2) Pengecoh harus berfungsi.

3) Setiap soal harus mempunyai satu jawaban yang benar atau paling

benar.

4) Pokok soal harus dirumuskan secara jelas dan tegas.

5) Rumusan pokok soal dan pilihan jawaban harus merupakan

pernyataan yang diperlukan.

6) Pokok soal jangan memberi petunjuk kearah jawaban benar.

7) Pokok soal jangan mengandung pernyataan yang bersifat negatif

ganda.

8) Pilihan jawaban harus homogen dan logis ditinjau dari segi materi.

9) Panjang rumusan pilihan jawaban harus relatif sama.

10) Pilihan jawaban yang berbentuk angka atau waktu harus disusun berdasarkan urutan besar kecilnya nilai angka tersebut atau kronologis waktunya.

11) Gambar, grafik, tabel, diagram dan sejenisnya yang terdapat pada

soal harus jelas dan berfungsi.

12) Butir soal jangan bergantung pada jawaban soal sebelumnya.

13) Pilihan jawaban jangan mengulang kata atau frase yang bukan

merupakan satu kesatuan pengertian.

commit to user

dimengerti.

15) Setiap soal harus menggunakan bahasa yag sesuai dengan kaidah

bahasa Indonesia.

16) Jangan menggunakan bahasa daerah setempat jika soal akan

digunakan untuk daerah lain atau nasional. Sebuah tes dikatakan baik sebagai alat pengukur harus memenuhi

persyaratan tes, yaitu memiliki :1) validitas, 2) reliabilitas, 3) obyektivitas, 4) praktikabilitas, 5) ekonomis (Suharsimi Arikunto, 1995:56). Keterangan dari masing-masing ciri akan diberikan dengan lebih terperinci sebagai berikut: 1). Validitas

Sebuah tes disebut valid apabila tes itu dapat tepat mengukur apa yang hendak diukur. Ada beberapa macam validitas yaitu validitas logis (logical validity), validitas ramalan (predictive validity), dan validitas kesejajaran (concurrent validity).

2). Reliabilitas Tes dikatakan dapat dipercaya (reliabel) jika memberikan hasil yang tetap apabila diteskan berkali-kali. sebuah tes dikatakan reliable apabila hasil-hasi tes tersebut menunujukkan ketetapan. Jika kepada para siswa diberikan tes yang sama pada waktu yang berlainan, maka setiap siswa akan tetap berada pada urutan (rangking) yang sama dalam kelompoknya.

3). Objektivitas Sebuah tes dikatakan memiliki objektivitas apabila dalam melaksanakan tes itu tidak ada faktor subyektivitas yang mempengaruhi. apabiladikaitka dengan reiliabilitas, maka objektivitas menekankan ketetapan (consistency) dalam scoring sedangkan reliabilitas menekankan tetetapan dalam hasil tes.

4). Praktikabilitas Sebuah tes dikatakan memiliki praktikabilitas tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis, tes yang praktis adalah tes yang sebagai berikut :

commit to user

dan memberi kebebasan kepada siswa untuk mengerjakan terlebih dahulu bagian yang dianggap mudah oleh siswa.

b) Mudah pemeriksaannya, artinya tes itu dilengkapi dengan kunci jawaban maupun pedoman skoringnya. Untuk soal bentuk objektif, pemeriksaan akan lebih mudah dialkukan jika dikerjakan oleh siswa dalam lembar jawaban.

c) Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas sehingga dapat diberikan oleh orang lain. 5). Ekonomis Ekonomis yang dimaksudkan disini ialah pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang banyak dan waktu yang lama.(Suharsimi Arikunto, 1995:56-61)

Secara umum ada beberapa prinsip dasar yang perlu dicermati dalam menyusun tes hasil belajar agar tes tersebut dapat mengukur tujuan instruksional khusus untuk mata pelajaran yang telah diajarkan atau mengukur kemampuan dan keterampilan peserta didik yang diharapkan, setelah mereka menyelesaikan suatu unit pengajaran tertentu, yaitu :

1) Tes hasil belajar harus dapat mengukur secara jelas hasil belajar (learning outcomes ) yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan instruksional.

2) Butir-butir soal tes harus merupakan sampel yang representatif dari populasi bahan pelajaran yang telah diajarkan.

3) Bentuk soal yang dikeluarkan dalam tes hasil belajar harus dibuat bervariasi.

4) Tes hasil belajar harus didesain sesuai dengan kegunaannya untuk memperoleh hasil yang diinginkan.

5) Tes hasil belajar harus memiliki reliabilitas yang dapat diandalkan.

6) Tes hasil belajar disamping harus dapat dijadikan alat pengukur keberhasilan belajar siswa, juga harus dapat dijadikan alat untuk mencari informasi yang berguna untuk memperbaiki cara belajar siswa dan cara mengajar guru itu sendiri. (Anas Sudijono, 2005: 97-98 )

commit to user

menetapkan spesifikasi tes yaitu suatu uraian yang menunjukkan keseluruhan kualitas dan ciri-ciri yang harus dimiliki oleh tes yang akan dikembangkan (Sumadi,1987:5). Kegiatan merencanakan spesifikasi tes merupakan proses pengambilan keputusan. Keputusan yang diambil berupa keputusan yang berdasarkan pertimbangan berbagai hal. Berikut beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam merencanakan spesifikasi tes menurut Sumadi Suryabrata (1987:5) :

1) Menentukan tujuan-tujuan umum serta persyaratan tes

2) Menyusun “blue print” atau kisi-kisi tes yang memuat secara khusus ruang lingkup serta tekanan tes dan bagian-bagiannya.

3) Memilih tipe-tipe soal

4) Menentukan taraf kesukaran soal dan distribusinya

5) Menentukan banyaknya soal untuk seluruh tes dan untuk masing-masing bagiannya

6) Menentukan cara mengkompilasikan soal-soal dalam bentuk akhirnya, dan

7) Menyiapkan penulisan soal (item writing) dan penelaahan soal (item review ). Jika sebuah instrumen tes sudah memenuhi kaidah – kaidah seperti diatas, maka untuk melihat kevalidan sebuah tes maka tes tersebut perlu diujikan untuk bisa melihat apakah tes tersebut baku atau tidak. Kriteria yang harus terpenuhi dari sebuah tes baku adalah sebagai berikut :

1) Taraf kesukaran Tingkat kesukaran adalah angka yang menunjukan proporsi siswa yang menjawab betul suatu soal (Slameto,2001). Makin besar tingkat kesukaran berarti soal itu makin mudah demikian juga sebaliknya yaitu makin rendah tingkat kesukaran berarti soal itu makin sukar. Menurut Suharsimi Arikunto (2001 : 207), “Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah dan tidak teralu sulit”. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa soal yang baik adalah soal dengan taraf kesukaran yang sedang.

commit to user

rumus :

Keterangan : P : indeks kesukaran

B : banyaknya siswa yang menjawab soal betul Js : jumlah seluruh siswa peserta tes Taraf kesukaran soal dapat ditentukan berdasarkan hasil

perhitungan indeks kesukaran dengan ketentuannya sebagai berikut :

a) Soal sukar jika

: 0,00 ≤ P < 0,30

b) Soal sedang jika : 0,30 ≤ P  0,70

c) Soal mudah jika : 0,70  P  1,00 (Allen & Yen, 1979 : 121)

Menurut Elvin & Surantoro (2010 :185) tingkat kesukaran yang berada di sekitar 0,5 dianggap yang terbaik, asumsi yang digunakan yaitu bahwa soal yang terlalu mudah atau cenderung mudah lebih tepat digunakan untuk tes diagnostik. Sedangkan soal yang terlalu sulit atau cenderung sulit lebih tepat digunakan untuk tes seleksi. Oleh karena itu, untuk keperluan tes yang mengukur hasil belajar (kompetensi) siswa tertentu akan dianggap baik bila termasuk dalam interval sedang.

2) Daya Beda Daya beda item adalah kemampuan suatu butir item tes hasil belajar untuk dapat membedakan antara testee yang berkemampuan tinggi dengan testee yang kemampuannya rendah demikian rupa sehingga sebagian besar testee yang memiliki kemampuan yang tinggi untuk menjawab butir item tersebut lebih banyak menjawab butir item tersebut lebih banyak yang menjawab betul, sementara testee yang kemampuannya rendah untuk menjwab butir item tersebut sebagian besar tidak dapat menjawab item dengan betul (Anas sudijono, 2001). Untuk menghitung

commit to user

:138) sebagai berikut :

Keterangan : niT : Jumlah peserta tes yang menjawab benar dari kelompok tinggi NT : Jumlah peserta tes kelompok atas niR :Jumlah peserta tes yang menjawab benar dari kelompok rendah NR : Jumlah peserta tes kelompok rendah

D : Daya Pembeda, rumus daya pembeda Daya pembeda soal (nilai D) diklasifikasikan sebagi berikut menurut Djemari (2005 :5) :

D 0,3 : direvisi

c) D > 0,3

: diterima

3) Efisiensi Pengecoh (Distraktor) Pada tes pilihan ganda terdapat beberapa pilihan jawaban, dan hanya ada satu pilihan jawaban yang benar. Penyebaran pilihan jawaban dijadikan dasar dalam penelaahan soal. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui berfungsi tidaknya jawaban yang tersedia. Pilihan jawaban selain kunci jawaban disebut pengecoh (distraktor). Menurut Elvin & Surantoro (2010 :186) “Efektifitas pengecoh merupakan seberapa baik pilihan jawaban yang salah dapat mengecoh peserta tes yang memang tidak mengetahui kunci jawaban yang tersedia “.Oleh karena itu semakin banyak

peserta tes yang memilih pengecoh maka semakin baik pula pengecoh menjalankan tugasnya.

Menurut Azwar (2007 :142) efektifitas distraktor dapat dilihat dari dua criteria, yaitu; 1) distraktor dipilih oleh peserta tes dari kelompok rendah, dan 2) pemilih distraktor tersebar relative proporsional pada masing-masing distraktor yang ada. Sedangkan menurut Suharsimi (2001 : 211) soal pilihan jawaban (pengecoh) dapat dikatakan berfungsi apabila

commit to user

banyak dipilih oleh kelompok siswa yang yang belum paham materi.

4) Reliabilitas Reliabilitas suatu tes adalah kemampuan suatu tes untuk memberikan hasil yang relatif ajeg atau tetap bila digunakan pada waktu atau tempat yang berlainan. Untuk menghitung reliabilitas digunakan rumus yang dikemukakan oleh Kuder dan Richardson (rumus K-R 20) sebagai berikut:

r 11 : reliabilitas tes secara keseluruhan p : proporsi subyek yang menjawab item dengan benar q : proporsi subyek yang menjawab item dengan salah (q = 1-p) Σpq : jumlah hasil perkalian antara p dan q n : banyaknya item S : standar deviasi dari tes

Hasil perhitungan tingkat reliabilitas tersebut kemudian dikonsultasikan dengan tabel r product moment. Apabila harga r hitung >r tabel , maka dapat ditarik kesimpulan bahwa instrumen tes reliabel. Selain itu, terdapat beberapa kriteria nilai reliabilitas sebagai berikut :

1. 0,800 ≤ r 11 ≤ 1,00 : sangat tinggi

2. 0,600 ≤ r 11 < 0,800 : tinggi

3. 0,400 ≤ r 11 < 0,600 : cukup

4. 0,200 ≤ r 11 < 0,400 : rendah

5. 0,000 ≤ r 11 < 0,200 : sangat rendah

(Slameto, 2001:215)

d. Menyusun Kisi-kisi tes. Menurut Depdiknas (2008 :15) “kisi-kisi(test blue print atau table of specification ) merupakan deskripsi kompetensi dan materi yang akan diujikan. Tujuan penyusunan kisi-kisi adalah untuk menentukan ruang lingkup dan

commit to user

menulis soal”. Kisi-kisi ini perlu dibuat terlebih dahulu agar seandainya soal ini dibuat oleh siapa pun dapat memiliki bobot yang sama, meskipun dibuat oleh orang yang berbeda.

Menurut Depdiknas (2008:15) kisi-kisi yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan berikut ini: 1). Kisi-kisi harus dapat mewakili isi silabus /kurikulum atau materi yang telah diajarkan secara tepat dan proporsional. 2). Komponen-komponennya diuraikan secara jelas dan mudah dipahami. 3). Materi yang hendak ditanyakan dapat dibuatkan soalnya.

Dalam pembuatan kisi-kisi diawali dengan penjabaran Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) menjadi indicator. Menurut Depdiknas (2008 : 15) “Indikator dalam kisi-kisi merupakan pedoman dalam merumuskan soal yang dike hendaki”. Untuk merumuskan indikator dengan tepat, para tutor/guru harus memperhatikan isi kolom dalam kisi-kisi yaitu : materi yang akan diujikan, hasil belajar/pengalaman belajar/indikator pembelajaran, dan kompetensi dasar. Indikator yang baik adalah indikator yang dirumuskan secara singkat dan jelas. Menurut Depdiknas(2008:15-16) syarat indikator yang baik adalah : 1). Menggunakan kata kerja operasional (perilaku khusus) yang tepat, 2). Menggunakan satu kata kerja operasional untuk soal objektif, dan satu atau

lebih kata kerja operasional untuk soal uraian/ tes perbuatan, 3). Dapat dibuatkan soal atau pengecohnya (untuk soal objektif).

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan adalah sebagai berikut :

1. Judul Penelitian : Pengembangan Instrumen Evaluasi IPA Terpadu untuk Mengukur Prestasi Belajar Siswa SMP pada Tema Energi Kalor dalam Kehidupan.

Penelitian ini dilakukan oleh Nikmah Choiriyatun dari Universitas Negeri Malang. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan instrumen evaluasi sesuai

commit to user

pada tema energi kalor dalam kehidupan dan untuk menemukan kelebihan dan kekurangan instrumen evaluasi IPA terpadu yang dikembangkan.

Penelitian ini berdasarkan langkah-langkah penelitian dan pengembangan (research and development, R&D) yang dikemukakan oleh Borg dan Gall yang telah dimodifikasi. Kegiatan pada langkah-langkah penelitian pengembangan ini adalah (1) studi pendahuluan yang meliputi studi pustaka, survey lapangan dan penyusunan draf instrumen evaluasi, dan (2) pengembangan, meliputi judgement, revisi draf instrumen evaluasi, ujicoba terbatas, analisis butir soal dan produk hasil pengembangan. Produk pengembangan ini adalah instrumen evaluasi IPA terpadu untuk mengukur prestasi belajar siswa pada ranah kognitif dalam bentuk pilihan ganda dengan empat pilihan jawaban.

Hasil evaluasi oleh evaluator menunjukkan bahwa instrumen evaluasi yang dikembangkan memenuhi kriteria baik dengan persentase rata-rata 96,52%. Berdasarkan hasil analisis butir soal yang meliputi validitas, taraf kesukaran, daya beda dan reliabilitas, diketahui bahwa dari 40 butir soal yang dibuat, 80%(32 butir soal) diterima tanpa revisi, sedangkan butir soal yang diterima dengan revisi sebanyak 12,5% (5 butir soal) dan sebanyak 7,5% (3 butir soal) ditolak.

Kelebihan instrumen evaluasi ini diantaranya adalah dapat digunakan sebagai instrumen evaluasi untuk mengukur pada prestasi belajar siswa pada ranah kognitif, sebagai pelengkap instrumen evaluasi dalam pembelajaran terpadu. Selain itu, pemeriksaan hasil tes dapat dibantu oleh orang lain sehingga dapat dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Kekurangannya adalah instrumen evaluasi ini hanya bisa digunakan untuk mengukur prestasi belajar pada ranah kognitif saja, belum dapat mengukur prestasi belajar pada ranah psikomotor.

2. Judul penelitian : Pengembangan Tes Pemahaman Konsep Fisika SMA.

Penelitian ini dilakukan oleh I Komang Werdiana dan kawan-kawan dari Universitas Tadulako. Penelitian ini bertujuan mengembangkan tes pemahaman konsep yang bermanfaat menguji pemahaman konsep siswa SMA tentang listrik arus searah. Pengembangkan tes dilakukan dengan cara menyusun dua tes, yakni tes pemahaman konsep (TPK) dan tes hitungan (TH).

commit to user

biserial, validitas dan reliabilitas. Indeks kesukaran adalah ukuran tingkat kesukaran tiap butir soal dan indeks pembeda adalah ukuran daya pembeda masing-masing item dalam tes. Koefisien korelasi biserial (kadang-kadang disebut sebagai indeks relibilitas item) adalah ukuran konsistensi item tes dengan keseluruhan tes. Validitas yang dimaksud di sini adalah validitas isi, yakni kesesuaian antara butir soal dengan konsep yang diukur. Selain analisis item juga dilakukan analsis pilihan jawaban siswa dan analisis perbedaan hasil TPK dengan hasil TH.

Uji validitas isi dilakukan dengan meminta pertimbangan dari tiga orang pakar. Ketiga pakar diminta untuk menilai kedua tes (TPK dan TH), mengenai kesuaian antara butir soal dengan konsep dan tujuan yang akan diukur. Hasil penilain ketiga pakar menunjukan bahwa semua butir soal TPK dan TH memenuhi validitas isi. Hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Hasil Analisis Penelitian

Uji tes

Jumlah soal

Jumlah siswa

Indeks kesukaran rata-rata

Daya pembeda rata-rata

Koefisien korelasi Biserial(r pbs ) Rata-rata

Koefisien reliabilitas

TPK TH TPK TH TPK TH TPK TH Tahap

Tabel 2.2 Hasil Analisis Penelitian

Indeks kesukaran rata-rata P TPK hasil uji tahap I > 0,30, ini berarti TPK masuk kategori sedang. Sedangkan P TPK hasil uji tahap II < 0,30, ini berarti TPK masuk kategori sukar. Dari tabel di atas nampak koefisien reliabilitas tes, pbs r dan D TPK pengujian tahap II lebih besar daripada pengujian tahap I. Namun P TPK pengujian tahap II lebih kecil dibandingkan sebelumnya.

commit to user

Koefiseian reliabilitas tes ini rendah.TPK dapat digunakan untuk menguji pemahaman konsep siswa dan juga miskonsepsi yang dialami siswa terhadap arus listrik serah. Hasil uji perbedaan antara TPK dan TH, menunjukkan ada perbedaan yang siginifikan antara hasil TPK dan TH.

C. Kerangka Berfikir

Evaluasi Hasil belajar merupakan kegiatan yang tak terpisahkan dalam kegiatan pembelajaran. Salah satu teknik evaluasi hasil belajar yang sering digunakan yaitu teknik tes. Tes dapat digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui seberapa jauh tujuan pembelajaran telah tercapai.

Pada pembelajaran program akselerasi evaluasi pembelajaran dilakukan dengan model autentic assessment, yaitu proses pengumpulan data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Salah satu cara untuk melakukan penilaian otentik ini adalah dengan melakukan tes formatif. Apabila tes sudah dipersiapkan dan dilaksanakan dengan secermat mungkin, maka informasi yang dihasilkan dapat menunjukkan sejauh mana tujuan-tujuan instruktusional yang telah ditetapkan itu tercapai. Program akselerasi adalah program belajar yang menuntut high level thinking pada pembelajaran maupun evaluasinya, namun dewasa ini belum banyak dikembangkan intrumen tes yang sesuai dengan cirri khas program akselerasi tersebut sehingga perlu adanya pengembangan instrument tes untuk program akselerasi.

Saat ini tes pilihan ganda banyak digunakan pada tes formatif maupun tes sumatif. Hal ini dikarenakan tes pilihan ganda dianggap lebih efektif dibanding tes uraian. Selain itu penggunaan tes pilihan ganda juga memudahkan guru dalam hal pengoreksian, dan hasilnya lebih obyektif meski dikoreksi oleh siapa pun. Tetapi tes pilihan ganda memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dalam penyusunannya.

Dalam penyusunan tes pilihan ganda terdapat beberapa aturan yang harus diikuti dalam penyusunan tes jenis ini. Penyusunannya tidak boleh secara acak

commit to user

langkah berikutnya. Karena penyusunannya yang rumit, terkadang guru mengalami kendala dalam proses penyusunannya. Keterbatasan waktu juga menyebabkan guru tidak sempat menguji instrumen tes tersebut sebelum digunakan sehingga kualitas tes yang dihasilkan tidak memenuhi kriteria tes yang baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu pengembangan tes yang mampu menghasilkan suatu tes yang baik.

Untuk mengetahui bahwa instrumen tes yang dikembangkan telah memenuhi kriteria baik, maka dilakukan analisis baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan melibatkan para ahli baik ahli materi, ahli evaluasi maupun ahli bahasa untuk menelaah tes secara isi maupun konstruksi, sedangkan analisa kuantitatif dilakukan dengan menganalisis hasil tes siswa menggunakan teori tes klasik. Skema kerangka berpikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir

Wawancara Studi Pustaka

adanya kesulitan dalam penyusunan tes

Identifikasi Masalah

Pengembangan tes

Validasi Ahli

Uji coba Kelompok Kecil

Revisi

Produk Akhir

Persetujuan ahli

Uji coba Kelompok Besar

commit to user

D. Pertanyaan Penelitian

Dari keramgka berpikir yang telah dibuat, didapatkanlah pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana penyusunan instrumen tes formatif pilihan ganda untuk kelas

XI semester gasal mata pelajaran Fisika sekolah Program Akselerasi ?

2. Apakah instrument tes formatif pilihan ganda untuk kelas XI semester gasal mata pelajaran Fisika sekolah Program Akselerasi telah memenuhi kriteria baik ?

commit to user