Demokrasi, Nasionalisme, dan Agama sebagai Pandangan Dunia dalam No-­‐ vel Senja di Jakarta

Demokrasi, Nasionalisme, dan Agama sebagai Pandangan Dunia dalam No-­‐ vel Senja di Jakarta

Pandangan dunia demokrasi, nasionalis-­‐ me, dan agama dalam novel Senja di Ja-­‐ karta terekspresikan melalui perilaku tokoh-­‐tokoh ceritanya. Demokrasi hanya untuk orang-­‐orang kaya, yaitu kaum in-­‐ dividualis yang tidak lain adalah tokoh-­‐ tokoh partai politik atau kaum borjuis yang mempunyai NV-­‐NV fiktif.

Baik! kata Husin Limbara, dan dia me-­‐ mukul meja karena gembira. Menurut hitungan, partai kita memerlukan uang sedikitnya tiga puluh juta dalam pemi-­‐ lihan umum yang akan datang, supaya kita bisa menang. Dapatkah uang ini ki-­‐ ta kumpulkan dalam waktu enam bu-­‐ lan? Raden Kaslan diam sebentar menghi-­‐ tung-­‐hitung, Ah tidak susah katanya. Baik, kata Husin Limbara lagi, saya se-­‐ rahkan mengatur rencananya pada Saudara.” Tapi ada satu prinsip lagi yang mesti di-­‐ selesaikan, kata Raden Kaslan, berapa persen untuk partai, dan berapa persen untuk orang yang mengerjakan? Peker-­‐ jaan ini tentu ada resikonya…! “Ah per-­‐ kara resiko, Saudara jangan takut. Men-­‐ teri-­‐menteri kita yang akan melin-­‐ dungi” (Lubis, 2009, hlm. 91-­‐93).

Di sisi lain, masih banyak orang mis-­‐ kin yang hidup serba kekurangan. Ketika delman milik Pak Ijo menyenggol mobil Raden Kaslan yang diparkir di tepi jalan, Raden Kaslan marah besar kepada Pak Ijo. Raden Kaslan minta ganti rugi kare-­‐ na mobilnya penyok sebagian. Sebalik-­‐ nya, Pak Ijo hanya menangis karena ti-­‐ dak mempunyai uang untuk mengganti

kerusakan mobil Raden Kaslan. Pak Ijo mencari uang dengan jalan menjadi ku-­‐ sir delman. Saat kejadian itu, Pak Ijo se-­‐ dang sakit. Karena tidak mempunyai uang untuk membeli beras, Pak Ijo ter-­‐ paksa menjalankan delmannya. Ketika kuda penarik delman itu sedang berlari, tiba-­‐tiba di depan ada seekor anjing me-­‐ nyeberang jalan, mengejar seekor ku-­‐ cing. Kuda itu terkejut hingga terjatuh menimpa mobil Raden Kaslan yang di-­‐ parkir di pinggir jalan.

Bunyi tabrakan itu amat mengejutkan orang-­‐orang yang makan-­‐makan, mi-­‐ num-­‐minum dan tertawa-­‐tawa di da-­‐ lam restoran. Raden Kaslan lalu me-­‐ lompat berdiri, dan bergegas ke jalan, dan ketika dia melihat peot dan cat mo-­‐ bil yang luka dan sebuah kaca pintu yang hancur, bukan kepalang marah-­‐ nya. Hai, bebal, mana matamu? Mobil saya sekarang rusak kamu bikin, mengaku salah atau tidak? Kamu ganti ini semua kerusakan! Raden Kaslan berteriak amat marahnya. Pak Ijo pucat mukanya, menggigil selu-­‐ ruh tubuhnya, dan suaranya gemetar seakan orang sakit sedang diserang ma-­‐ laria. Pak Ijo sudah seperti orang sakit. Tubuhnya amat kurus, pakaiannya ko-­‐ tor dan koyak-­‐koyak, dan matanya me-­‐ rah pudar di dalam cekungan pipinya. (Lubis, 2009, hlm. 78-­‐80).

Seorang pemuda nasionalis berna-­‐ ma Pranoto baru saja pulang dari Ame-­‐ rika. Pranoto melihat kemiskinan dan kelaparan bangsanya terjadi di mana-­‐ mana. Jiwa Pranoto tergugah untuk membela rakyat kecil. Meskipun demi-­‐ kian, para pemimpin masih dapat me-­‐ lontarkan semboyan nasionalisme, teta-­‐ pi dalam praktiknya nasionalisme tidak memberikan isi pada tujuan kemerde-­‐ kaan. Nasionalisme yang sekarang masih dipuja-­‐puja itu telah bercampur baur de-­‐ ngan jiwa irasional, misalnya seperti pe-­‐ mujaan terhadap mitos atau pada hero

Urbanisme, Urbanisasi, dan Masyarakat Urban … (Purwantini)

tertentu sehingga usaha pemerintah ha-­‐ nya mendirikan tugu-­‐tugu nasional saja.

Kini terlalu banyak pemimpin yang ma-­‐ sih melontarkan semboyan nasionalis-­‐ me ini, tapi kelihatan dalam praktek na-­‐ sionalisme semata ini tidak memberi-­‐ kan isi pada tujuan-­‐tujuan kemerdeka-­‐ an yang dahulu kita maksud. Apalagi nasionalisme yang oleh banyak pemim-­‐ pin kita sampai sekarang masih dipuja-­‐ puja itu bercampur aduk dengan sikap jiwa dan pikiran yang irasional, mereka campur baur dengan mitos-­‐mitos dan pemujaan pada heroik-­‐heroik. Usaha-­‐usaha pemimpin-­‐pemimpin ini lebih diberatkan hendak mendirikan tugu-­‐tugu nasional raksasa, pencarian yang dilakukan mereka untuk menda-­‐ pat macam-­‐macam mitos … (Lubis, 2009, hlm. 394-­‐395).

Di masyarakat, kelompok komunis mulai melaksanakan rencananya, yakni mengacau situasi yang sudah tidak kon-­‐ dusif. Mereka mengerahkan tukang be-­‐ cak dan memberikan uang agar tukang becak dan orang-­‐orang kampung mela-­‐ kukan aksi gerakan antri beli bahan ma-­‐ kanan pokok. Aksi orang-­‐orang komunis itu berhasil dan terjadilah kerusuhan hingga kematian tokoh agama yang ber-­‐ nama Murhalim.

Hayuuuh! Serbu! Bakar! Itu pengacau! Mendengar teriakan ini orang-­‐orang yang sudah setengah gila dan kalap kembali meluap-­‐luap, yang sebentar di-­‐ ragukan karena munculnya Murhalim, dan mereka yang di depan mengangkat tangan, dan Itam melompat mengayun-­‐ kan sepotong kayu di tangannya … Stop! Saya kawanmu! Saya mau meno-­‐ long kamu! Murhalim berseru pada Itam. Murhalim memutar badannya mengangkat tangannya menutup mu-­‐ kanya dari pukulan Itam, akan tetapi Itam cepat mengalih tujuan pukul-­‐ annya, dan kayu yang dihantamkan Itam dengan kerasnya beradu dengan pinggir kepala Nurhalim.

Murhalim roboh, dan orang banyak me-­‐ mukuli dan menginjak-­‐injak dirinya. Darah mengalir dari kepalanya, hidung-­‐ nya, telinganya, mulutnya (Lubis, 2009, hlm. 384-­‐385).

Agama Islam dan komunis selama-­‐ nya tidak akan bersatu karena perbe-­‐ daan keyakinan dan perbedaan penda-­‐ pat. Meninggalnya Murhalim, tokoh aga-­‐ ma Islam, identik dengan pembubaran Masyumi oleh Presiden Soekarno yang terjadi pada tahun 1960. Jadi, demokrasi hanya berlaku untuk orang kaya, nasi-­‐ onalisme hanya berbentuk tugu, dan agama telah dimatikan. Dengan demiki-­‐ an, pandangan dunia yang diekspresikan oleh pengarang ada tiga: pertama, demo-­‐ krasi, yakni kesamaan hak dan kewajib-­‐ an, serta perlakuan yang sama bagi selu-­‐ ruh rakyat Indonesia; kedua, hormatilah kaum nasionalis dan berikan mereka ke-­‐ sejahteraan agar tidak hidup miskin; dan, ketiga, gunakan agama sebagai pe-­‐ gangan hidup, dan bubarkan PKI.