PENGEMBANGAN TANAMAN HORTIKULTURA ORGANIK

BAB IV. PENGEMBANGAN TANAMAN HORTIKULTURA ORGANIK

Tanaman hortikultura adalah salah satu golongan tanaman budidaya yang bernilai ekonomi tinggi. Budidaya tanaman hortikultura bertujuan menghasilkan produk pangan dan tanaman hias (eksotik). Tanaman hortikultura selama ini dikembangkan pada lahan sawah bersamaan budidaya padi yaitu sebagai tanaman sela atau tumpangsari, dan pasca musim padi sebagai tanaman tumpangsari dengan kedelai dan jagung atau monokultur. Tanaman yang dibudidayakan pada lahan sawah baik irigasi maupun tadah hujan kebanyakan adalah tanaman sayuran. Pada dataran rendah, sawah beririgasi saat ini dikembangkan bawang merah. Pada lahan kering terutama wilayah pegunungan (dataran tinggi) berjenis tanah Andisol banyak dikembangkan hortikultura sayuran ekonomi tinggi seperti kentang, wortel, brokoli, daun bawang, dll., namun ada pula dikembangkan komoditas buah- buahan khas pedataran tinggi contohnya strawberry. Berbagai komoditas hortikultura pada berbagai jenis lahan umumnya dibudidayakan dengan input luar yang sangat tinggi sampai tinggi. Khusus budidaya pada dataran tinggi menimbulkan dampak erosi sangat hebat karena kemiringan lereng lahan dan teknik budidaya umumnya tidak berkaidah konservasi tanah. Pemupukan untuk pemenuhan kebutuhan hara tanaman hortikultura dataran tinggi (sayuran dan buah) dan bawang merah, pemupukannya umumnya juga berdosis tinggi, demikian pula pemakaian pestisida untuk pengendalian OPT.

Seperti kondisi pada budidaya lahan sawah (komoditas pangan padi, kedelai, dan jagung), kesulitan mendapatkan pupuk kimia sintetik pabrikan juga dialami oleh petani lahan kering. Pupuk organik diperlukan dalam jumlah yang sangat besar karena rata-rata kadar C-organik tanah < 2 %. Keinginan Pemerintah melalui program “go organik” sebenarnya merupakan program yang cukup berat karena harus menyiapkan pupuk (bahan) organik yang cukup banyak. Menurut perhitungan Ismangil (2010), untuk meningkatkan 1 % kandungan C-organik tanah mineral pada 1 ha lahan dibutuhkan 24 ton C- organik. Mengacu standar baku mutu pupuk organik (SK Permentan tahun

2009), yaitu harus mempunyai kandungan C-organik minimal 12 %, maka

kebutuhan 24 ton C-organik tersebut harus dipasok dari 200 ton pupuk

organik (Ismangil, 2010). Kondisi tersebut harus dipenuhi karena menurut Simanungkalit et al., (2006), sebagian besar lahan pertanian intensif Indonesia produktivitasnya menurun karena kandungan C-organik tanah < 2 % (rendah), bahkan tanah sawah di pulau Jawa kandungan C-organik tanahnya < 1 %. Hal sama dilaporkan oleh Ismangil (2009), yaitu kandungan C-organik pada top soil (horizon O dan A) tanah lempung aktivitas rendah antara 0,5 dan 1 %. Apabila diperlukan kompos 200 ton/ha dengan asumsi

dilaksanakan 3-4 musim tanam, maka tiap musim tanam diperlukan 50-65 ton

pupuk organik/ha/musim. Apabila diproyeksikan material ruah campur pengkomposan mengalami penyusutan 50 %, maka dari manakah didapatkan material dengan keruahan 100-130 ton/ha/musim oleh petani? Program Go Organik yang memberdayakan adalah apabila petani atau paling tidak tiap kelompok tani mampu mengusahakan materialnya dan membuat komposnya sendiri sehingga ada kedaulatan tani dan ada input dalam yang tinggi.

Masalah di atas baru dari segi pengelolaan kesuburan tanah. Dari segi pengendalian OPT, maka petani organik juga harus mampu membuat pestisida hayati atau pestisida organik untuk mengatasi OPT. Khusus komoditas kentang yang berasal dari iklim sub tropika maka go organik sangat diragukan bisa dilaksanakan apabila budaya budidayanya tetap sama dengan saat ini, artinya budidaya pada lahan yang sama dan kondisi ekosistem yang sama. Oleh karena itu contoh kasus pengembangan kentang organik sebaiknya pada lahan-lahan baru yang tidak pernah berjangkit hama dan penyakit rutin (epidemi). Sedangkan pada komoditas sayuran lainnya atau

epidemik, diperlakukan/direncanakan yang sama juga. Namun demikian masih banyak aspek pertimbangan lainnya diperlukan untuk menentukan perencanaan. Khusus untuk pengembangan aplikasi agensia hayati sebagai cara mengameliorasi persoalan tanah lahan kering, maka antara tanah dataran tinggi, fisiografi perbukitan (ultisol dan axisol) dan dataran rendah (inseptisol/entisol) tidak bisa disamaratakan aplikasinya; ada keragaman spesies dan strain mikroba agensia (amelorator) khusus sesuai masalah kimia dan fisika tanah.

buah

yang

serangan

OPT-nya

bersifat

4.1. Strategi Pengembangan dan Pemasyarakatan Budidaya Hortikultura Organik

Mengingat bahwa go budidaya tanaman hortikultura terutama yang aslinya bukan tropika, maka harus menjadi perhatian pertama dari pengembang bahwa komoditas asal sub tropika tidak akan berkelanjutan apabila dibudidayakan secara organik-biodinamik. Alasan yang paling primer adalah serangan OPT yang berat. Namun demikian untuk komoditas tanaman hortikultura yang asal tropika terutama yang lokal akan sangat berprospek dibudidayakan secara organik pada fisiografi lahan apapun. Guna lebih memberikan kontribusi bagi pengembangan tanaman hortikultura untuk go organik maka penulis memberikan saran strategi pengembangannya pada pemaparan di bawah. Apabila telah ditetapkan oleh petani sendiri atau kelompok tani untuk segera go budidaya komoditas tanaman hortikultura diperlukan langkah strategi yang disajkan di bawah (dimodifikasi dari tulisan Sutanto, 2002).

a) Penentuan spesies tanaman yang akan go organik lebih aman bila asalnya lokal.

b) Bila ditentukan spesies asal sub tropika lebih baik budidaya teknologi seperti biasa apabila lahannya berlokasi tetap di wilayah reguler, namun bila mau go organik disarankan melakukan survei dahulu mencari lahan non-epidemi serangan OPT. Hal ini untuk menghindari pengendalian OPT menggunakan pestisida kimia sintetik. Apabila digunakan bukan produk organik lagi.

c) Pembelajaran iptek pengelolaan kesuburan tanah dan pengendalian organisme pengganggu tanaman terpadu organik-biodinamik; dilanjutkan latihan pembuatan agensia/pupuk hayati, kompos, pupuk organik cair, pestisida hayati, dan pestisida organik. Bahan-bahan pembuatan asal lokal, kalau diperlukan agar membudidayakan dalam lokasi.

d) Mengusahakan keanekaragaman hayati biota untuk budidaya (tanaman), biota untuk keragaman vegetasi (inang dan pionir), fauna untuk fungsi musuh alami hama, serta fauna dan mikroba tanah untuk perbaikan kesuburan tanah secara biologis dan musuh alami patogen dalam tanah.

e) Bahan pembuatan kompos dianekaragamkan yang tidak hanya yang telah dikenal petani sekarang misalnya jerami padi, berangkasan jagung dan kedelai, namun juga yang belum dikenal/populer oleh petani misalnya Azolla, limbah jamur merang, belotong, seresah tebu, orok-orok, gliriside, dll. Mengingat keperluan tersebut maka diperlukan kebijakan tingkat pedesaan untuk penataruangan lahan untuk membudidayakan tanaman pupuk hijau atau nantinya sebagai bahan kompos. Tanaman legum sebagai bahan kompos direkomendasikan untuk dibudidayakan bagaimanapun caranya.

f) Di wilayah yang populasi ternak ayam, sapi dan kambingnya tinggi dapat diusahakan bekerjasama dengan peternak untuk perolehan kotoran ternak untuk pembuatan kompos.

g) Di wilayah yang berdekatan dengan agroindustri seperti pabrik gula, alkohol, jamu dan bumbu masak, demikian pula pembudidayaan jamur merang, maka limbahnya dapat dipergunakan sebagai bahan pembuatan pupuk organik.

h) Mau belajar tentang ekologi tanah dan ekologi lahan agar setelah masa transisi selesai petani dan kelompok tani mampu menemukan keragaman hayati yang diperlukan untuk mendukung agroekosistem agar sistem pertanian organik bisa berkelanjutan.

i) Diperlukan peningkatan pengetahuan tentang pengelolaan pertanian organik melalui jalur pendidikan dan pelatihan atas dasar program pembelajaran yang sistematik yang akhirnya dapat dijadikan sebagai materi penyuluhan.

4.2. Manajemen dan Kebijakan Pertanian Organik: standarisasi

Penyelenggaraan pertanian organik di negara kita belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat dan Pemerintahan. Petani yang melaksanakan budidaya tanaman secara organik hanya merupakan bagian dari implementasi gerakan go organik beberapa LSM. Perguruan Tinggipun belum banyak dapat berbuat kuat untuk memback-up gerakan go organik, karena pelaksanaannya dan implikasinya masih dianggap berat. Namun demikian apa yang selama ini penulis alami selaku peneliti, pemerhati dan pecinta pertanian organik, melihat dan membuktikan bahwa petani tanaman organik Penyelenggaraan pertanian organik di negara kita belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat dan Pemerintahan. Petani yang melaksanakan budidaya tanaman secara organik hanya merupakan bagian dari implementasi gerakan go organik beberapa LSM. Perguruan Tinggipun belum banyak dapat berbuat kuat untuk memback-up gerakan go organik, karena pelaksanaannya dan implikasinya masih dianggap berat. Namun demikian apa yang selama ini penulis alami selaku peneliti, pemerhati dan pecinta pertanian organik, melihat dan membuktikan bahwa petani tanaman organik

Atas dasar kepenuhan hati dan kesulitan melaksanakan go organik maka pembudidaya tanaman organik paling tidak dapat dibagi dua yaitu: petani organik penuh dan petani semi organik. Ciri-ciri dari petani organik penuh yaitu ada lima sikap (“Panca Sikap”): (i) mengadakan sendiri bahan- bahan pembuatan input agensia hayati, kompos, POC, dan pestisida hayati, dan membuat sendiri input tersebut, (ii) membuat sendiri benih dan bibit lokal untuk keperluan budidaya tanaman, (iii) lahannya bisa menjadi contoh keragaman hayati agroekosistem yang diperlukan dalam pengelolaan kesuburan tanah dan pengendalian OPT, (iv) mau dan bersedia menjadi pendamping pengembangan pertanian organik karena memahami dan melaksanakan betul visi dan misi pertanian organik, dan (v) mencintai planet bumi, kedaulatan pangan, dan keberlanjutan sistem pertanian organik. Oleh karena masih adanya keragu-raguan masyarakat dan Pemerintah, namun sebenarnya telah banyak petani organik yang berketeladanan tinggi, maka sebaiknya diperlukan keberanian petani untuk membuat bersama suatu Asosiasi Pertanian Organik agar gerak langkahnya menuruti suatu aturan prosedur standar. Contoh standar dapat diacu antara lain dari IFOAM (International Federation of Organik Agriculture Movement).