Pendidikan Buddhis

4. Pendidikan Buddhis

“Secara seimbang, berusaha untuk mendapatkan kesenangan sebagai alternatif dari bekerja dapat dilihat sebagai kesalahpahaman yang fatal dari salah satu kebenaran dasar eksistensi manusia, karena bekerja dan kesenangan adalah bagian yang saling melengkapi dalam proses hidup yang sama dan keduanya tidak dapat dipisahkan tanpa merusak kenikmatan dari kerja dan kebahagiaan dari kesenangan.”

(Schumacher 1999, 38-39)

Tragedi negara-negara berkembang adalah mereka telah didorong oleh negara- negara barat selama masa penjajahan, dan oleh para elit mereka sendiri yang berpendidikan barat setelah masa kolonial, untuk meniru institusi-institusi sosial barat sampai ke hal yang sekecil-kecilnya. Dalam banyak kasus mereka gagal dengan amat Tragedi negara-negara berkembang adalah mereka telah didorong oleh negara- negara barat selama masa penjajahan, dan oleh para elit mereka sendiri yang berpendidikan barat setelah masa kolonial, untuk meniru institusi-institusi sosial barat sampai ke hal yang sekecil-kecilnya. Dalam banyak kasus mereka gagal dengan amat

Sistem pendidikan umumnya gagal di negara-negara berkembang, sering kali karena alasan sepele seperti terlalu sedikitnya uang yang diinvestasikan di sana, pemerintah terlalu miskin atau tidak tertarik untuk berinvestasi lebih banyak; buku- buku teks digunakan untuk kepentingan propaganda dan ketinggalan jaman; penguasa di bidang pendidikan banyak yang tidak peduli dan korup, gaji guru sangatlah rendah dan kurang dilatih. Pendekatan barat ini mengasingkan anak-anak dari lingkungannya sendiri.

Pendidikan tradisional telah dimusnahkan oleh penguasa kolonial, atau, dalam proses modernisasi yang dilakukan oleh para elit yang diperngaruhi barat. Namun, pendidikan tradisional telah mengalami kebangkitan di beberapa belahan dunia, dimana pendidikan barat dianggap telah gagal. Dalam dunia Buddhis Theravada, pendidikan tradisional diberikan oleh para bhikkhu kepada anak-anak di vihara.

Saat ini, banyak anak-anak Thailand yang belajar di sekolah-sekolah yang berlokasi di halaman-halaman vihara, tapi mereka masih mengikuti kurikulum ala barat. Di sekolah-sekolah Asoke, para siswanya belajar bahasa inggris, ilmu alam, dan komputer, tapi mereka juga belajar mengapresiasi keterampilan tradisional kaum pedesaan Thailand.

4.1 Samma Sikkha – Belajar Benar

“Oleh sebab itu sangatlah jelas, bahwa ekonomi Buddhis haruslah sangat berbeda dengan ekonomi materialisme modern, karena kaum Buddhis melihat esensi peradaban bukan dari pelipatgandaan keinginan tapi dari pemurnian sifat-sifat manusia, dan pada saat yang sama, esensi peradaban dibentuk terutama oleh pekerjaan yang dilakukan manusia. Dan pekerjaan, yang dilakukan secara tepat dengan menjunjung harkat, martabat dan kebebasan manusia, memberkahi mereka yang melaksanakannya sekaligus dengan produk-produknya.”

(Schumacher 1999, 39)

Sekolah-sekolah Asoke disebut sebagai sekolah Samma Sikkha, yang merujuk pada Jalan Utama Berunsur Delapan seperti Pengertian Benar, Ucapan Benar dan seterusnya. Sekolah-sekolah lanjutan telah didirikan 10 tahun yang lalu dan, saat ini, terdapat lebih dari 500 siswa di sekolah-sekolah lanjutan Samma Sikkha. Baru-baru ini juga telah dibuka lagi beberapa sekolah dasar dan sekolah-sekolah kejuruan.

Semua guru bekerja sebagai relawan. Beberapa guru berasal dari sekolah- sekolah luar dan terkadang mencoba mendorong sekolah-sekolah Asoke ke arah sistem sekolah-sekolah negeri pada umumnya. Banyak bhikkhu dan biarawati bekerja Semua guru bekerja sebagai relawan. Beberapa guru berasal dari sekolah- sekolah luar dan terkadang mencoba mendorong sekolah-sekolah Asoke ke arah sistem sekolah-sekolah negeri pada umumnya. Banyak bhikkhu dan biarawati bekerja

Sekolah Samma Sikkha selalu berada dalam sebuah proses perubahan yang konstan, seiring dengan bergabungnya guru-guru baru yang ingin melakukan perubahan terhadapnya sesuai dengan visi-visi pribadi mereka. Para siswa di sini belajar untuk menjadi orang yang tangguh dan dipersiapkan dengan baik untuk mempertahankan hak-hak dan kepentingan-kepentingannya. Para siswa melakukan pertemuan rutin dimana mereka belajar mendiskusikan masalah, menawarkan solusi dari konflik dan mengambil tanggung jawab tertentu atas apa yang telah mereka perbuat dan atas perbuatan teman-temannya. Proses ini didukung oleh para guru.

Beberapa siswa meninggalkan sekolah-sekolah Asoke dengan beragam alasan. Mereka yang tinggal, sering kali tinggal di komunitas Asoke bahkan setelah lulus. Beberapa melanjutkan ke sekolah-sekolah kejuruan di pusat-pusat Asoke, beberapa melanjutkan studinya di “Universitas” Asoke (Sammasikkhalaya Wang Jiwit) atau di universitas-universitas terbuka seperti Universitas Ramkhamhaeng. Sangat sedikit yang meninggalkan komunitas secara permanen, umumnya mereka tinggal berdekatan secara geografis maupun spiritual.

Sekolah-sekolah Asoke menggunakan pendekatan holistik terhadap pendidikan dimana pengetahuan teoritis diimbangi dengan keterampilan praktis seperti berkebun, memasak, membersihkan, memproduksi dan menjual barang, memperbaiki mobil dan mesin-mesin, menjahit, dan keperawatan. Pusat-pusat Asoke saat ini juga melatih “dokter-dokter tanpa alas kaki” mereka sendiri bekerja sama dengan salah satu rumah sakit di timur laut.

Sekolah-sekolah Asoke adalah tempat bagi para praktisi awam menunjukkan pengabdiannya, yang dianggap sebagai bagian yang penting dari Buddhisme Asoke. Mendanakan uang ke vihara-vihara atau yayasan-yayasan Asoke bukanlah hal yang dipaksakan. Para pengunjung yang baru pertama kali datang tidak diperkenankan menyumbangkan uangnya sebelum mereka mengunjungi vihara sebanyak tujuh kali dan mengerti ajaran-ajaran vihara tersebut. Bekerja untuk vihara jauh lebih berharga daripada dana materi apapun, sebab kerja dianggap sebagai latihan spiritual.

4.3 Nibbana – sekarang!

“Kesederhanaan dan tanpa kekerasan secara nyata berkaitan sangat erat. Pola konsumsi optimal, yang menghasilkan derajat kepuasan manusia yang tinggi dengan penggunaan tingkat konsumsi yang relatif rendah, memungkinkan manusia untuk hidup tanpa tekanan dan rasa khwatir yang besar dan mengikuti petunjuk ajaran Buddhis: berhenti melakukan kejahatan; berusaha melakukan kebajikan.”

(Schumacher 1999, 42)

Mengabdi dan bekerja bagi vihara berasal dari ajaran Asoke tentang pencerahan atau Nibbana. Pencerahan adalah tujuan tertinggi semua Buddhis, tapi di banyak negara Buddhis, pencerahan umumnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh seorang umat awam. Karena alasan ini, seorang peneliti berkebangsaan Amerika dengan spesialisasi dalam Buddhisme Burma, Melford Spiro membagi praktek Buddhis menjadi dua kategori yang berbeda: Buddhisme Karmis dan Buddhisme Nibbanis. Buddhisme Karmis berupaya untuk memperbaiki karma seseorang di kehidupan ini dan masa datang, sedangkan Buddhisme Nibbanis

ditujukan hanya untuk para bhikkhu. 9 Interpretasi Asoke telah memperjelas konsep tersebut dengan membagi

Nibbana menjadi Nibbana “kecil” dan “besar” (Parinibbana). Nibbana kecil ada di sini dan saat ini serta dapat diraih dengan menyingkirkan kekotoran-kekotoran batin (Kilesa). Di kehidupan sekarang ini, Nibbana ditandai dengan kondisi batin. Pencapaian ke arah Nibbana diraih melalui tahapan-tahapan tertentu, yang dapat diraih seorang Buddhis melalui perjuangan mereka sendiri.

Di dalam ajaran Buddhis arus besar tahapan-tahapan ini dilihat sebagai langkah-langkah dari perjalanan panjang beberapa kelahiran kembali yang berulang- ulang (Samsara). Tahap pertama adalah Sotapa ñña, pencapai tahap ini akan menjadi arahat setelah menjalani tujuh kali kelahiran. Tahap selanjutnya adalah Sakadagami, orang yang hanya akan terlahir satu kali lagi, seseorang yang telah menghancurkan bentuk-bentuk lanjutan dari kenikmatan-kenikmatan sensual dan kebencian. Tahap selanjutnya adalah Anagami, orang yang tidak terlahir kembali, dan tahapan tertinggi

adalah arahat, yang akan memasuki Nibbana saat ia meninggal. 10 Seluruh pengikut Asoke didorong agar berusaha sekuat tenaga untuk

tercerahkan. Berdasarkan interpretasi Asoke, tahapan-tahapan ini dapat diraih pada kehidupan ini: tahapan terendah Sotapañña mensyaratkan seseorang harus bebas dari enam sifat buruk: kecanduan, berkeliaran pada saat yang tidak pantas, mengunjungi hiburan-hiburan, berjudi, bergaul dengan teman-teman yang jahat dan kemalasan. Sebagai tambahan, orang itu juga harus mampu menjalankan lima sila – tidak membunuh, mencuri, berbuat asusila, berbohong dan menggunakan zat-zat terlarang. Seseorang tersebut juga harus memberi penghormatan terhadap “Tri Ratna” yakni menjadi praktisi Buddhis yang baik yang menghormati Buddha, Dhamma dan Sangha. Menurut interpretasi Asoke bahkan seorang perumah tangga pun dapat melatih diri dan mencapai Sotapañña. Untuk melatih diri dengan cara bekerja di vihara memberikan seseorang kesempatan untuk meraih Nibbana tingkat Sotapañña.

9 Melford Spiro 1970. Michael Ames menjelaskan tentang laukika dan lokuttara sebagai orientasi dunia ini dan dunia lain dalam Buddhisme. Ames 1964.

10 Ruth-Inge Heinze 1977.

Tahap selanjutnya, Sakadagami, dapat dicapai dengan cara membebaskan diri dari nafsu keinginan dan kemarahan. Ia harus dapat menjalankan delapan Sila. Hal ini mensyaratkan seseorang dapat, pertama-tama, menjalankan lima Sila, dan lebih lanjut mensyaratkan seseorang baik laki maupun perempuan mengurangi jatah makan hariannya, menghindari bernyanyi, menari, dan bersolek serta menghindari tidur di tempat yang tinggi dan sofa. Sila ketiga dalam kasus ini mensyaratkan kehidupan selibat (tidak berumah tangga dan tidak melakukan hubungan seksual*).

Tahap selanjutnya adalah Anagami, saat seseorang telah bebas dari semua urusan-urusan keduniawian, seseorang tidak merasa tergoda oleh kesenangan- kesenangan duniawi dan kejadian-kejadian duniawi tidak memberikan dampak bagi dirinya. Orang di level ini tetap memiliki sedikit kekotoran batin di dalam pikirannya, tapi kekotoran batin ini tidak tampak di luar. Tahapan akhir adalah Arahat, saat seseorang telah benar-benar terbebas dari konsep “Aku”, dan dapat bekerja untuk kebahagiaan orang lain karena ia telah mengatasi egonya. Tahap ini adalah Nibbana, yang merupakan kondisi batin, dimana seseorang tidak memiliki ke-aku-an,

kemarahan, keserakahan dan kebodohan batin. 11 Konsep Nibbana dalam ideologi Asoke berbeda dengan ide umum dari

Buddhis Thailand. Secara tradisonal Nibbana dideskripsikan sebagai sesuatu yang sangat jauh, tak terbayangkan, dan sulit dijangkau. Hanya para bhikkhu yang memiliki kesempatan nyata untuk mencapai nibbana. Umat awam tidak tidak berorientasi pada pencapaian nibbana, tapi mereka berkonsentrasi pada pengumpulan jasa (bun) agar dapat terlahir pada kondisi sosial ekonomi yang menyenangkan di kehidupan mendatang. Kelompok Asoke mengajarkan bahwa nibbana dapat dicapai di kehidupan ini sebab ia merupakan kondisi pikiran. Nibbana bukanlah sesuatau yang bersifat supranatural atau dunia lain. Tercerahkan berarti menjadi damai dan tenang serta tidak memiliki sifat mementingkan diri sendiri.

Kesimpulan

Kelompok Asoke telah berhasil menciptakan komunitas desa yang sangat sehat dan bermanfaat di wilayah-wilayah termiskin di Thailand. Desa-desa tersebut telah berhasil untuk mandiri atau berswasembada dalam hal makanan, komoditas rumah tangga seperti shampo, deterjen dan obat-obatan herbal. Sebagian besar barang-barang mahal dimiliki secara kolektif dan uang dikumpulkan melalui berbagai yayasan untuk investasi-investasi baru.

Desa-desa Asoke telah menjadi percontohan bagi pemerintah daerah dan semua pusat-pusat Asoke terlibat dalam pelatihan ribuan kaum tani Thailand dalam pertanian organik, swasembada ekonomi, dan etika Buddhis.

11 Untuk diskusi lebih lanjut, baca Heikkilä-Horn: Buddhism with Open eyes. Belief dan Practise of Santi Asoke. Hal. 111-121, 1997.

Apakah pemerintah pusat dan kaum elit Bangkok benar-benar ingin memiliki komunitas lokal yang kuat dengan kaum tani yang memiliki kebanggaan dan kepercayaan diri yang akan menolak membeli produk-produk impor, masih harus kita amati lebih lanjut. Sampai saat ini pemerintah Thailand masih tetap menerapkan kebijakan untuk tetap menekankan ekspor tanaman pangan, kebijakan bidang pariwisata yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan dan globalisasi lanjutan yang secara keseluruhan bertentangan dengan pemikiran-pemikiran ekonomi Buddhis Schumacher dan komunitas desa mandiri Asoke.