Santi Asoke. Komunitas Dharmik Sosialis.

SANTI ASOKE KOMUNITAS DHARMIK SOSIALIS

Edisi Revisi 2002 Editor :

Marja-Leena Heikkilä-Horn Rassamee Krisanamis

Kata Pengantar Buku ini adalah edisi revisi dari terbitan sebelumnya “Insight Into Santi Asoke” bagian I dan II. Bagian pertama diedit oleh Porn Poompana pada bulan November 1989 setelah kelompok Asoke menghadapi masalah-masalah hukum. Bagian kedua diedit oleh orang yang sama pada tahun 1991 dan lebih terkait secara eksklusif dengan kasus pengadilan.

Pada edisi revisi ini kami memilih untuk melakukan beberapa perubahan yang radikal. Kami mempertahankan artikel pengantar “Tokoh di balik Santi Asoke” yang ditulis oleh seorang jurnalis ternama Sanitsuda Ekachai dari “Bangkok Post”. Artikel ini memberikan informasi mengenai latar belakang pendiri kelompok Asoke, Bhodiraksa, yang juga dapat disebut sebagai Phra (Bhante*) Bhodirak atau Photirak. Kami memutuskan tidak mencetak kembali bagian-bagian lain dari edisi-edisi sebelumnya karena sebagian bahan di kedua edisi tersebut mungkin sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Kasus di pengadilan berakhir pada tahun 1996 di Pengadilan Negeri dan tahun 1997 di Pengadilan Banding. Pada edisi ini terdapat juga artikel singkat oleh Sanitsuda Ekachai yang memberikan komentarnya terhadap putusan akhir yang mengambang terhadap pemimpin kelompok ini pada tahun 1997. Kasus pengadilan ini menjadi sensasi di akhir tahun 80-an dan awal tahun 90-an. Akademisi dan jurnalis dari Thailand maupun barat pun kemudian banyak yang menjadi tertarik terhadap kelompok ini, dan pada bagian akhir buku ini kami sajikan daftar judul dan penulis dari sejumlah buku dan artikel hasil dari ketertarikan tersebut.

Setelah kasus hukum di pengadilan, kelompok Asoke memperluas dan mengintensifkan kerjanya. Terdapat beberapa pusat Asoke di Thailand yang mempraktekkan pertanian alami, pola hidup mandiri, sederhana, bersahaja tanpa barang-barang mewah. Gerakan ini telah menjadi sebuah komunitas antikonsumerisme alternatif dan menerima lusinan pengunjung yang datang dari jauh maupun dekat setiap harinya. Asoke mengorganisir pelatihan-pelatihan bagi kaum tani Thailand mengenai pertanian alami dan pola hidup Buddhis, mereka juga memproduksi shampo, obat-obatan, teh dan deterjen yang dibuat dari tumbuhan (herbal). Kelompok ini mengelola beberapa restauran vegetarian di Thailand dan memiliki ratusan siswa sekolah tingkat dasar dan tingkat lanjutan di sekolah-sekolah mereka yang bernama “Samma Sikkha”.

Kelompok Asoke terdiri dari Santi Asoke yang berkedudukan di Bangkok, Phatom Asoke, Sali Asoke, Sima Asoke, Sisa Asoke dan Ratchathani Asoke (nama- nama pusat Asoke diambil dari nama daerah dimana mereka berdiri; seperti Phatom Asoke berasal dari Nakhon Phatom dsb.*) yang telah mentahbiskan 100 Bhikkhu dan Kelompok Asoke terdiri dari Santi Asoke yang berkedudukan di Bangkok, Phatom Asoke, Sali Asoke, Sima Asoke, Sisa Asoke dan Ratchathani Asoke (nama- nama pusat Asoke diambil dari nama daerah dimana mereka berdiri; seperti Phatom Asoke berasal dari Nakhon Phatom dsb.*) yang telah mentahbiskan 100 Bhikkhu dan

Artikel ketiga pada edisi revisi “Insight Into Santi Asoke” ini akan mendiskusikan perkembangan-perkembangan yang telah disebutkan di atas dan membandingkan komunitas Asoke dengan konsep Ekonomi Buddhis yang diperkenalkan oleh E.F. Schumacher pada bukunya yang sangat terkenal “Small is Beautiful.”

Bangkok Desember 2002 Marja-Leena Heikkilä-Horn Rassamee Krisanamis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Tokoh di balik Santi Asoke……Sanitsuda Ekachai Photirak yang mungkin tertawa paling akhir……Sanitsuda Ekachai Kecil itu Indah di Desa-desa Asoke……. Marja-Leena Heikkilä-Horn

Pendahuluan

1. Kehidupan Benar-Samma Ajiva

1.1 Tidak untuk Barang-barang Impor

1.2 Matikan Lampu

2. Mengapa Anda Lahir?

2.1 Melatih Diri melalui Kerja

3. Bunniyom sebagai Moral Ekonomi

3.1 Antikonsumerisme

4. Pendidikan Buddhis

4.1 Samma Sikkha-Belajar yang Benar

4.2 Nibanna-Sekarang! Kesimpulan Referensi Daftar Buku dan Arrtikel mengenai Gerakan Asoke

TOKOH DI BALIK SANTI ASOKE Bhante Bhodirak dari Pusat Buddhis Santi Asoke adalah orang yang akan anda cintai sekaligus benci. Namun Bhikkhu yang blak-blakan kalau bicara ini tidak akan ambil pusing. Setelah lebih dulu diboikot oleh sangha arus besar, beliau tetap menggemparkan seperti sebelumnya, mengobarkan kritik menentang komunitas konsumtif dan tingkah laku yang menyimpang dari para Bhikkhu arus besar (mainstream).

“Misi saya adalah membangkitkan kembali Buddhisme di Thailand,” sebagaimana yang ia nyatakan dalam otobiografinya “Kenyataan Hidupku.” Para pengagumnya menyatakan beliau adalah sosok yang jujur dan tanpa rasa takut. Para penentangnya mengatakan beliau adalah orang yang bebal dan arogan. Akan tetapi, bahkan para pengamat yang netral sekalipun terkejut saat beliau mengirimkan kejutannya yang berkarakter yakni mengklaim dirinya sebagai “Phra Bodhisatva”, reinkarnasi dari mahkluk suci dalam perjalanannya menyeberangi kehidupan menuju pencerahan.

Berdasarkan ajaran ortodok, para bhikkhu tidak diperkenankan untuk membicarakan tentang tingkat pencapaian spiritual yang telah mereka capai, apalagi mengklaim kalau dirinya akan menjadi Buddha lainnya.

Namun Bhikkhu lugas ini memiliki alasan tersendiri terhadap pernyataannya yang menggemparkan tersebut, Ia pun mempunyai jawaban-jawaban terhadap berbagai kritikan yang ditujukan padanya, seperti menunjukkan sikap arogan yang tidak mencerminkan sikap seorang bhikkhu, mengabaikan ajaran Buddha dan menjadi penyebab serius retaknya keharmonisan kehidupan Sangha.

“Ya, saya memiliki lidah yang tajam. Tapi ini hanya karena sudah banyak bhikkhu yang menggunakan “carrot” (pujian,hadiah*). Jadi adalah tugas saya untuk menggunakan “stick” (kritikan,teguran*).

“Saat ini dunia dalam keadaan tidak seimbang. Tidak ada seorang pun yang berani mengkritik. Mereka takut. Takut menuai kritikan balik. Takut tidak disenangi. Saya hanya menjadi pengimbang.”

“Saya seorang guru. Saya harus terus menegur dan mengkritik. Saya mengejutkan masyarakat dengan kritik-kritik saya yang sekuat halilintar, akibatnya mereka mulai berpikir dan melakukan instropeksi terhadap tingkah laku mereka. Oleh karena itu, mereka berubah,” demikian yang tertulis dalam biografinya.

Upaya untuk “menjatuhkan” Bhante Bhodirak telah lama dimulai sejak beliau memisahkan diri dari kelembagaan Sangha pada tahun 1975. Sangat jelas terlihat bahwa para bhikkhu merasa bahwa ancaman dari Santi Asoke adalah nyata dan telah semakin mendekat seiring dengan meningkatnya popularitas Partai Palang Dhamma. (partai ini didirikan oleh para anggota Asoke, salah seorang di antaranya sempat menjabat sebagai gubernur Bangkok dan tetap hidup sederhana dan bersahaja di pusat

Asoke*). Hal yang ditakutkan adalah jika partai ini campur tangan dalam urusan keagamaan negara, Bhante Bhodirak akhirnya akan memiliki kekuatan untuk “mengguncang perahu,” sebagaiman yang telah dijanjikannya.

Tentu saja, Bhante Bhodirak dapat melanjutkan dengan damai pekerjaan dan eksperimennya yang didasarkan pada kehidupan religius alternatif, komunitas mandiri berbasis pada konsep sepi ing pamrih rame ing gawe, kerja keras dan kesederhanaan, kehidupan religius menentang arus utama materialisme dan konsumerisme jika ia – sebagaimana kelompok-kelompok agama yang sedang berkembang lainnya – tidak menggangu dan menentang Sangha arus besar.

Tapi ia telah menjelaskan bahwa ia tidak akan membiarkan misinya dikekang oleh keraguan. “Saya jujur dan keras. Saya bukan seorang pengasuh anak. Tugas saya bukan untuk meninabobokan bayi.” Bhante Bhodirak adalah anak laki-laki tertua dalam sebuah keluarga besar yang harus bekerja keras agar dapat bertahan hidup. Tapi keadaan itu semakin menguatkan tekad anak laki-laki yang mandiri dan pekerja keras ini menggapai apa yang diinginkannya.

Sejak berumur 10 tahun ia telah bekerja sambilan untuk mendukung perekonomian keluarganya. Pada saat ibunya meninggal, ia menggantikan posisi ibunya sebagai kepala keluarga untuk merawat dan mendidik keenam adik perempuan dan laki-lakinya.

Anak laki-laki yang tidak pernah lelah berusaha ini, juga dikenal karena bakat seninya. Ketika menempuh pendidikan di Fakultas Seni dan Kerajinan Poh Cang, ia mengganti namanya dari Mongkol menjadi Rak, yang berarti “Cinta” dan ia bertekad untuk mengasah dan menunjukkan kemampuan menulisnya agar namanya dapat masuk dalam lingkungan dunia hiburan. Hal ini berhasil dicapainya.

Dia dengan cepat meraih sukses sebagai programmer TV, pengarang lagu dan penulis. Rak Rakpong menjadi nama yang dikenal luas bagi pemirsa televisi. Ia memiliki rumah yang megah, mobil-mobil mewah dan menjalani kehidupan kaum bujang pada umumnya. Namun pada saat yang sama ia juga tetap menjadi seorang kakak laki-laki tertua yang menyenangkan dan bertanggung jawab.

Rak melakukan sejumlah “pencarian” (spiritual*) sebelum akhirnya meninggalkan ketenaran, kesuksesan dan kesenangan-kesenangan duniawi lainnya. Ketertarikannya yang dalam terhadap kekuatan batiniah menggiringnya mempelajari hipnotis dan ilmu hitam. Ia kemudian menjadi pemanggil roh dan ahli pengobatan kebatinan selama beberapa tahun sebelum akhirnya tertarik untuk berlatih dhamma.

“Saat saya menentukan untuk berlatih dhamma, saya telah berpenghasilan 20.000 Baht. Karir saya sebagai pengarang lagu sedang pada puncaknya. Saya, seperti halnya Buddha, tidak tunduk pada kemakmuran, ketenaran dan kenyamanan.

“Saya bukanlah tipe orang yang melekat. Saya selalu dapat memutusnya kapanpun saya suka. Hanya sesederhana itu.” Ia kemudian membuat kaget keluarga dan teman-temannya dengan mencukur habis rambutnya, mengenakan hanya pakaian putih sederhana dan pergi kemana pun tanpa alas kaki. Seiring berjalannya waktu akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya, saat itu ia telah menjadi seorang vegetarian yang tekun selama beberapa tahun.

“Orang-orang berpikir saya sudah gila,” kenangnya sambil menambahkan bahwa ia telah mencapai “kesempurnaan” hanya dalam waktu 2 tahun setelah ia memulai latihan dhamma dan sebelum pentahbisannya.

“Saya cepat mencapainya karena saya mencurahkan seluruh pikiran saya terhadap apa yang saya kerjakan.” Ia berkata seraya menekankan pentingnya kekuatan pikiran dan bahwa ia adalah guru bagi dirinya sendiri, bukan orang lain.

Ia mengundurkan diri dari pekerjaannya pada 1970 dan ditahbiskan beberapa bulan kemudian di Sekte Dhammayutika, namun sebelumnya ia berpesan kepada kepala vihara agar tidak membiarkan bhikkhu lain “mengganggu” ketenangannya.

“Masyarakat tidak mau mendengar hanya karena saya bukan seorang bhikkhu. Jadi saya menjadi bhikkhu, meskipun jubah kuning ini tidak berarti apa-apa bagi saya.”

Ia mengundurkan diri dari Sekte Dhammayutika 3 tahun kemudian saat kepala vihara tidak mengijinkannya mengorganisir pertemuan untuk para pengikutnya yang juga dihadiri oleh bhikkhu-bhikkhu dari sekte Mahanikaya.

Selanjutnya ia mendirikan sebuah Pusat Buddhis di Nakhon Pathom, dimana bhikkhu-bhikkhunya menggunakan jubah kecoklat-coklatan dan mengikuti secara ketat vinaya para bhikkhu seperti yang dijalankan di masa-masa lampau.

Tapi ketika popularitas Bhikkhu Bhodirak semakin melambung di antara mereka yang jenuh terhadap ketidakefektifan orde Sangha ortodok, gaya mengkritik Bhante Bhodirak “Lebih Suci dari Kau” memicu perlawanan yang kuat dari orde Sangha ortodok.

Puncaknya adalah ketika orde Sangha ortodok mengancam untuk memusnahkan Pusat Buddhis Bhante Bhodirak dan memaksa pentahbisnya (acharya- nya*), yang saat itu sedang sakit keras, untuk mengeluarkan Bhante Bhodirak dari Sangha.

Pada tahun 1975, ia menyatakan independen dan mendirikan Santi Asoke, namun ia menekankan tidak berarti ia bukan lagi seorang Bhikkhu karena hal ini.

“Saya tidak pernah meninggalkan Kebhikkhuan. Saya tidak pernah berkata saya akan meninggalkan Kebhikkhuan, juga tidak pernah menyelenggarakan upacara untuk maksud tersebut. Hati saya tidak pernah meninggalkan kebhikkhuan.”

Ia berpendapat apa yang dilakukannya hanyalah mengembalikan sertifikatnya ke Sangha yang tidak dapat mendiskualifikasi dirinya sebagai bhikkhu karena ia tidak pernah melanggar aturan-aturan yang ditetapkan oleh Buddha (vinaya*).

Bhante Bhodirak kemudian secara bertahap membangun wilayah keagamaan barunya dimana ia meletakkan seluruh aturan-aturan dasar dan melakukan pentahbisan meskipun masa vasanya pada saat itu belum memenuhi syarat (belum 10 vasa*) untuk dapat melakukan pentahbisan.

Santi Asoke memiliki empat pusat dan “sepasukan semut” pengikut yang diantaranya menerbitkan 560.000 buku untuk dibagikan secara cuma-cuma per tahun dalam rangka menyebarkan ajaran-ajaran Bhante Bhodirak.

Di Santi Asoke, masyarakatnya secara ketat mengikuti prinsip-prinsip Buddhis dengan penekanannya yang kuat pada kesederhanaan, kerja keras dan kerelaan berkorban. Para Bhikkhu dan pengikutnya makan hanya satu kali dalam sehari dan itupun hanya makanan vegetarian. Bhikkhu dan Biarawati mengenakan jubah kecoklat-coklatan dan tidak mencukur alisnya sebagaimana yang tertulis dalam vinaya (di dalam vinaya seorang bhikkhu/bhikkhuni seharusnya mencukur alisnya*).

Dengan kesederhanaan dan kerja keras, mereka bertekad untuk hidup berbeda dari lingkungan yang buruk. Mereka bahkan sangat selektif dalam menerima dana dan anggota baru. Seseorang harus mengikuti aktivitas mereka minimal 7 kali terlebih dahulu agar dapat menjadi donatur .

Kembali pada ajaran fundamental Buddha, Santi Asoke melawan arus utama materialisme dan konsumerisme dan telah mendirikan sebuah “Komunitas Buddhis Utopis” di Nakhon Pathom dimana para anggotanya hidup, bekerja dan memproduksi makanan yang berbasis pada keharmonisan komunal.

Selain menjadi model pedesaan Buddhis, para anggota Santi Asoke – yang pada umumnya kaum profesional, kelas menengah sampai kelas menengah ke bawah – juga mendirikan sebuah model toko grosir dan bisnis produk herbal yang dilandasi keinginan mereka untuk membantu para konsumen ketimbang sekadar menghasilkan laba.

Proyek Santi Asoke telah menarik banyak perhatian dan kekaguman dari para akademisi karena proyeksi mereka terhadap kehidupan alternatif yang berdasarkan Buddhisme dan bertentangan dengan konsumerisme barat, begitu tertariknya mereka sehingga mereka mengabaikan pendapat Bhante Bodhirak yang antagonis.

Tapi tidak bagi Sangha. Menurut mereka, Bhante Bhodirak adalah ilegal, bebal, agresif dan pemecah

belah.

Bhikkhu yang lugas ini, menurut mereka juga melanggar salah satu prinsip dasar kebhikkhuan Buddhis – Jangan pernah menyombongkan pencapaian spiritual seseorang.

Dalam biografinya, Bhante Bhodirak mengatakan bahwa ia tidak memerlukan latihan formal karena ia memiliki pengetahuan dan jasa-jasa kebajikan sebagai hasil dari kehidupan lampaunya.

Ia menyebutkan nama Bhante Sariputta, salah seorang murid utama Sang Buddha, beberapa kali dalam biografinya, secara tersirat ia mengatakan dirinya merupakan reinkarnasi dari Sariputta atau minimal merupakan pengikut jejak Bhante Sariputta.

Dia juga menyerang Sangha dan aliran-aliran Buddhis lainnya di Thailand, menjelaskan sikap arogannya dan menolak tuduhan-tuduhan kepada dirinya bahwa tindakannya telah memecah belah.

Ia menyatakan bahwa ia tidak menyebabkan keretakan tapi ia hanya kembali mencoba membawa hal-hal yang baik bagi kedua pihak baik tradisi Mahayana maupun Theravada – dengan cara kembali ke ajaran dasar dan memprakktekkannya seperti di masa lampau sebagaimana yang ia pahami.

Vegetarianisme, menurutnya adalah salah satu hal baik yang ia pinjam dari Mahayana. Tapi ketika berpendapat soal Sangha, Ia mengkritik habis-habisan. “Mereka yang ada di atas sesungguhnya tidak berguna. Mereka belum memperoleh keselamatan spiritual dan bahkan mereka tidak memahami dengan benar ajaran-ajaran Buddha.”

Atau untuk bhikkhu hutan yang mengabdikan dirinya untuk pemurnian pikiran. “Mereka menjadi seperti pertapa, dan orang yang tidak memiliki kebijaksanaan. Tidak berguna bagi masyarakat.”

Kritikan-kritikannya terhadap aliran-aliran Buddhisme lainnya juga membuat dia tidak populer. Selain Santi Asoke, terdapat 2 aliran reformis terkemuka lainnya yang memiliki pengikut dalam jumlah besar dimana sebagian besarnya berasal dari kelas menengah profesional yang berpengaruh: Dhammakaya, aliran yang menekankan konsentrasi, meditasi dan Suan Mokh yang dipimpin oleh Bhikkhu Buddhadasa, yang mengajarkan kesadaran dan cara melenyapkan ke-aku-an.

Bhante Bhodirak mengatakan pendekatannya adalah mendidik masyarakat, selangkah demi selangkah, untuk melenyapkan penderitaan, pertama-tama melalui Sila atau kontrol diri, kemudian barulah menuju Samadhi atau meditasi dan terakhir Panna atau pemahaman terhadap alam.

Meskipun Bhante Bhodirak tidak menyebutkan nama, dapat dipahami bahwa ia mengkritik kedua aliran tersebut karena keduanya kurang lengkap dan tidak Meskipun Bhante Bhodirak tidak menyebutkan nama, dapat dipahami bahwa ia mengkritik kedua aliran tersebut karena keduanya kurang lengkap dan tidak

Ia menolak untuk mengubah pendekatannya. “Aturan adalah anak dari kemunafikan. Disana tidak ada ketulusan, tidak ada keteguhan hati yang tertinggal untuk mempertahankan kebenaran.”

Ia menyatakan ia telah berusaha untuk menjadi serendah hati mungkin. “Saya tidak menganggap diri saya tinggi. Saya tinggi dalam dhamma. Tapi

orang-orang ingin menjatuhkan saya.” “Kebenaran memang menyakitkan. Dan ada pemahaman yang salah bahwa Buddha hanya mengatakan hal-hal indah yang enak didengar. Pada suatu waktu, setelah Buddha menyampaikan salah satu kotbahnya, 60 bhikkhu meninggal seketika,

60 lainnya mengundurkan diri, dan 60 bhikhhu lainnya mencapai pencerahan.” “Tidak seorang pun meninggal atau mengundurkan diri karena kotbah saya hingga saat ini.” “Apa yang saya lakukan hanyalah menunjukkan sedikit permata yang saya miliki, tidak semua yang saya miliki. Tapi orang-orang malah tidak mampu menahan kilauannya.”

“Saya tidak bermaksud menyombongkan diri. Memang sesungguhnya saya adalah Bhante Sotapañña, Bhante Sakadagami. Apa yang salah saat kita bicara jujur tentang diri kita?” tanyanya, sehubungan dengan tingkat kesucian spiritual sebelum seseorang mencapai pencerahan.

Ia juga mengutip sebuah paritta dalam bahasa Pali yang menyatakan bahwa terdapat orang-orang yang sangat istimewa yang menemukan kenyataan-kenyataan hidup ini dengan usahanya sendiri. “Saya adalah salah satu diantaranya. Anda beruntung bisa bertemu dengan orang itu.”

Menanggapi komentar bahwa ia kurang mempelajari bahasa Pali dan ajaran- ajaran Buddha secara formal, Bhante Bhodirak berkata: “Saya tidak pernah belajar bahasa Pali secara formal, tapi saya dapat menerjemahkannya dengan intuisi saya.”

“Kehidupan lampau itu ada. Jika saya tidak mengetahui tentang kehidupan saya yang lampau, saya juga akan terkagum-kagum .” “Saya dapat menjelaskan ajaran-ajaran Buddha seperti merangkai karangan bunga yang indah, beragam, penting dan mendalam. Mengapa menolak itu semua? Tidakkah kalian mau mendengar?”

“Apa yang saya lakukan adalah untuk menjadikan Buddhisme satu. Tapi saya tidak bermaksud menghapuskan sekte-sekte yang ada. Saya hanya menyatakan kebenaran dan kebenaran tidak ada hubungannya dengan urusan sekte.”

“Orang-orang mengkritik saya karena terlalu ketat dan mensejajarkannya dengan kebenaran, tapi kita harus menghadapi godaan nafsu yang teramat besar. Itulah sebabnya mengapa kita harus sangat ketat.”

“Maaf kalau terdengar kasar. Tapi saya akan terus mencambuk, terus dan terus.” “Semakin lama, saya semakin percaya diri, semakin tekun. Saya yakin bahwa walaupun pekerjaan saya tidak setara dengan apa yang dilakukan Buddha, tapi yang saya lakukan berada dalam jalur yang sama, arah yang sama.”

“Saya adalah seorang ahli gizi yang memberikan makanan bagi jiwa, seorang apoteker yang memberikan obat bagi batin.” “Orang-orang tidak mengerti saya. Tapi suatu hari mereka akan mengerti.”

Bangkok Pos 22 Juli 1988 (Dicetak ulang dalam “Keeping the Faith. Thai Buddhism at the Crossroads.” Post Books, Bangkok 2001)

PHOTIRAK LAH YANG MUNGKIN TERTAWA PALING AKHIR Bhikkhu Photirak pendiri Santi Asoke untuk kesekian kalinya kalah dalam pertempuran untuk menjadi bhikkhu (seseorang membutuhkan Sangha untuk dapat diakui secara sah sebagai Bhikkhu, sementara Photirak telah dikeluarkan dari Sangha sehingga secara legal formal kebhikkuan ia tidak dapat disebut sebagai Bhikkhu*). Tapi karena kurangnya reformasi keagamaan, Sangha arus besar yang memenangkan pertarungan itu mungkin yang akan menjadi pecundang yang sesungguhnya.

Minggu lalu, Pengadilan Banding menguatkan putusan 6 bulan penjara dan skorsing selama 2 tahun terhadap mantan bhikkhu tersebut karena telah melecehkan ajaran Sang Buddha dan tidak mematuhi pemecatan yang dilakukan oleh Dewan Sangha.

Saya sering berpikir mengapa Sangha begitu keras terhadap pemimpin Santi Asoke, yang berusaha membawa kembali kesederhanaan dan disiplin moral yang ketat ke dalam Sangha kita yang telah begitu longgar kedisiplinannya dan telah terkomersialisasi. Sesungguhnya, kita dapat mengatakan kelahiran dan popularitas Santi Asoke berakar dari kelemahan Sangha arus besar.

Buddha mengajarkan kesederhanaan, kasih sayang dan toleransi, melarang keserakahan (Lobha), kebencian (Dosa) dan kebodohan batin (Moha). Buddha juga telah dengan jelas mengatakan bahwa komunitas bhikkhu harus bersifat egaliter dengan vinaya, atau aturan kedisiplinan kebhikkhuan, sebagai amanat pokok.

Amatilah sekeliling dan lihat seberapa jauh para bhikkhu kita telah menyimpang dari nasehat-nasehat Buddha. Kita sering mendengar tentang bhikkhu- bhikkhu yunior yang menjual hasil pindapatta pagi mereka pada para pedagang keliling. Tapi ini hanya perbandingan kecil dibandingkan bhikkhu-bhikkhu terkenal dan vihara yang telah memperjualbelikan secara besar-besaran simbol-simbol keagamaan dan menjadikan ketahyulan dalam masyarakat sebagai sasaran bisnis mereka. Kita juga dapat menyaksikan para bhikkhu menonton pertandingan tinju di televisi, hidup dengan gaya kelas atas, berpergian dengan mobil-mobil mewah, dan mengantungi donasi untuk dirinya sendiri. Begitu banyaknya praktek demikian sehingga kita telah menerima semua itu sebagai sesuatu yang normal.

Seringkali justru bhikkhu-bhikkhu yang sangat berkuasa menjadi contoh yang tidak baik. Mereka yang tidak setuju harus tetap bungkam karena takut akan penghambatan (terhadap “karier” kebhikkhuan mereka*) dari Sangha, walaupun feodalistik, struktur memerintah yang diktator adalah penghinaan terbesar terhadap prinsip demokrasi dari Buddha.

Apa yang Photirak (63 thn), telah lakukan adalah menawarkan sebuah alternatif kepada orang-orang Buddhis yang tidak puas terhadap kondisi tersebut. Berbanding terbalik dengan para bhikkhu arus besar, para pengikut Santi Asoke menjalani disiplin moral yang sangat ketat, makan hanya makanan vegetarian satu Apa yang Photirak (63 thn), telah lakukan adalah menawarkan sebuah alternatif kepada orang-orang Buddhis yang tidak puas terhadap kondisi tersebut. Berbanding terbalik dengan para bhikkhu arus besar, para pengikut Santi Asoke menjalani disiplin moral yang sangat ketat, makan hanya makanan vegetarian satu

Sementara Sangha yang feodal telah kehilangan hubungannya dengan dunia, Santi Asoke secara efektif menarik mereka yang larut dalam kehidupan materialisme dengan cara menawarkan kepada mereka perasaan memiliki sebuah misi dan memiliki komunitas yang akrab bersatu.

Kecerdasan Bhante Photirak juga terefleksi pada apa yang dikerjakan Santi Asoke dengan pertanian alaminya dan reformasi pendidikan, yang menekankan keseimbangan antara fisik dan pikiran, manusia dan alam.

Bhikkhu reformis ini juga secara efektif menggunakan buku-buku dan majalah-majalah untuk membangun perasaan sebagai komunitas di antara para pengikutnya, sementara itu para bhikkhu yang makmur tidak mempedulikan semakin lebarnya jurang pemisah dengan umat Buddha awam.

Hal ini bukan hendak mengatakan Photirak tidak memiliki kesalahan. Dia sulit untuk bersikap rendah hati dan ia bangga atas kedisiplinan gaya militer Santi Asoke dan menggunakannya untuk menyerang orang lain secara moral. Selain itu, aturan kebhikkhuan mensyaratkan seorang Acharya haruslah minimal telah 10 tahun menjalani kebhikkhuannya. Berdasarkan pada biografinya, ia telah mentahbiskan para pengikutnya saat ia baru 6 tahun menjalani kebhikkhuan. Ia juga menegaskan pencapaian spiritualnya yang luar biasa dan membuat marah para sarjana Buddhis dengan memberikan arti-arti baru terhadap kata-kata Pali kuno dalam ajarannya yang tidak konvensional.

Meskipun dengan berbagai kekurangan ini, percayalah pada saya, pemimpin Santi Asoke ini tidak akan mendapatkan banyak masalah jika tidak melontarkan kritiknya yang tajam terhadap Dewan Sangha. Kejahatan sesungguhnya bukanlah karena ia melanggar peraturan tapi karena ia menantang kekuasaan.

Karat menggerogoti terus menerus dari dalam, demikian sebuah pepatah orang Thailand. Dengan cara memberangus perbedaan pendapat tanpa memberikan perhatian terhadap kekurangan-kekurangannya sendiri, Sanghalah yang patut disalahkan karena menurunnya keyakinan publik. Dan akhirnya Photirak-lah yang tertawa paling akhir.

Bangkok Pos

26 Maret 1997

KECIL ITU INDAH DI DESA-DESA ASOKE “Karena bahan bakar sumber daya alam yang tak terperbaharui – batu bara, minyak bumi dan gas alam - disebarkan dengan sangat tidak merata di dunia dan tidak diragukan lagi amat terbatas jumlahnya, maka sangatlah jelas bahwa eksploitasi sumber daya alam yang terus meningkat adalah tindakan kekerasan terhadap alam yang pada akhirnya tidak terhindarkan lagi memicu kekerasan di antara umat manusia.”

(Schumacher, 1973) “Sementara kaum materialis amat tertarik dengan materi, penganut Buddhisme amat tertarik dengan pembebasan.” (Schumacher, 1973)

Pendahuluan Milenium baru telah dimulai dengan meningkatnya protes antiglobalisasi, serangan teror dan perang yang menghancurkan. Semua perkembangan ini semakin memperjelas pentingnya konsep kemandirian ekonomi lokal dalam hubungannya dengan kebutuhan dasar seperti makanan dan bahan bakar. Menyitir Ernest Schumacher, seorang ahli ekonomi kelahiran Jerman yang terkenal, dalam esainya yang terkenal mengenai konsep ekonomi Buddhis dalam bukunya “Small is Beautiful, Economic as if People Mattered,” diterbitkan pertama kali di tahun 1973:

“Karena sumber daya fisik dimanapun terbatas, masyarakat yang memenuhi kebutuhannya dengan cara menggunakan sumber daya secukupnya, lebih kecil kemungkinannya untuk saling menjatuhkan dibandingkan dengan masyarakat yang bergantung pada penggunaan sumber daya dalam jumlah besar. Demikian juga halnya, masyarakat yang hidup dalam komunitas lokal yang mandiri lebih kecil kemungkinannya terlibat dalam kekerasan dalam skala yang besar dibandingkan dengan masyarakat yang kehidupannya bergantung pada sistem perdagangan dunia.”

(Schumacher, edisi 1999, 42)

Kelompok Buddhis Asoke adalah salah satu pelopor di Thailand dalam mempraktekkan hidup mandiri pada tingkat komunitas desa. Kelompok ini telah sangat sukses dalam usaha kerasnya dan telah menjadi percontohan bagi pemerintah Thailand, terutama sekali setelah bencana kebangkrutan “bubble economy” tahun 1997, dan setelah pidato yang sangat terkenal dari Yang Mulia Raja pada Desember 1997, yang mendukung dan mendorong masyarakat Thailand untuk menjadi lebih mandiri.

1 Kelompok Asoke adalah kelompok Buddhis yang didirikan oleh Bhodiraksa. Bhodiraksa adalah Bhikkhu yang ditahbiskan oleh Sangha yang diakui negara, sekitar

tiga puluh tahun yang lalu. Ia kemudian tidak puas akan latihan yang dijalankan para bhikkhu arus besar dan akhirnya membentuk kelompok muridnya sendiri. Kelompok ini menjalankan vegetarian yang ketat, memberikan tekanan pada aturan-aturan Vinaya kebhikkhuan, mentahbiskan wanita sebagai biarawati dengan 10 sila, dan terkadang memberikan interpretasi yang sangat radikal terhadap konsep Buddhis dalam Bahasa Pali, hal ini menjengkelkan Sangha dan bhikkhu-bhikkhu tradisional dan umat awam Buddhis Thailand yang kurang disiplin dan lebih suka bersenang- senang.

Visi ekonomi kelompok Asoke, bagaimanapun jauh lebih positif. Kelompok ini telah didirikan pada tahun 70-an, dan buku-buku serta artikel-artikel dalam bahasa Thai tentang kelompok ini, selalu menggolongkan kelompok Asoke dengan

komunitas desanya sebagai “Utopis” 2 Kelompok ini telah mendirikan beberapa pusat-pusat Buddhis di berbagai

tempat di Thailand: Nakhon Pathom, Nakhon Ratchasima, Sisaket, Ubon Ratchathani, Nakhon Sawan dan Chiang Mai. Beberapa pusat-pusat sedang naik daun menunggu untuk bermekaran di Trang, Chaiyaphum, Nakhon Phanom, Udon Thani, Roi Et dan Loei.

Komunitas ini secara ekonomi berbasis pada pertanian organik. Mereka membeli atau menyewa lahan-lahan pertanian untuk menanam padi dan berkebun sayur mayur. Tiap-tiap pusat komunitas biasanya juga memproduksi sendiri tahu, jamur dan air minum. Sebagai tambahan mereka juga memproduksi dan menjual shampo herbal, deterjen, pengusir nyamuk, obat-obatan dari herbal (jamu) dan teh herbal. Produk-produk ini selanjutnya dijual kepada masyarakat melalui toko-toko koperasi dengan keuntungan sangat kecil. Meskipun demikian, dengan keuntungan tersebut, pusat-pusat komunitas ini telah mampu memiliki komputer, mobil, klinik gigi dan bahkan masih memiliki sisa yang cukup untuk menyelenggarakan pendidikan sekolah dasar, menengah, dan kejuruan secara cuma-cuma, dan jika terjadi keadaan darurat, mereka dapat mengirim anggota-anggota komunitas yang sakit ke rumah sakit modern dengan peralatan lengkap.

1 Di Thailand ia dikenal sebagai: Samana Photirak atau Pho Than Photirak.

2 Suwana Satha-anand (1990) merujuk pada dua artikel yang ditulis lebih awal dalam bahasa Thai oleh Sombat Chanteonwong “The Pathom Asoke Community. A Study of Buddhist Utopia”, dan Prawet

Wasi “Suan Mok, Thammakai, Santi Asok” keduanya dari tahun 1988. Apinya Fuengfusakul menggunakan istilah yang sama di penghujung tahun 1993 dalam artikelnya “Empire of Crystal and Utopian Commune: Two types of Contemporary Theravada reform in Thailand.”

Kelompok Asoke juga menerbitkan beberapa majalah bulanan yang mendiskusikan baik topik-topik Buddhis maupun topik umum dari masalah politik sampai perjalanan ( travelling ).

Buddhisme sebagaimana yang telah diinterpretasikan oleh pemimpin kelompok ini, Bhodiraksa, adalah sumber inspirasi spiritual terbesar mereka. Orang juga dapat merasakan nilai intelektual inspirasi Ernest Schumacher, pada bab tentang

Ekonomi Buddhis yang telah diterjemahkan oleh para simpatisan Asoke. 3 Pada studi ini, saya akan mendiskusikan beberapa ide dari Schumacher dan

menunjukkan bagaimana ide-ide tersebut diimplementasikan oleh kelompok Asoke.

1. Mata Pencaharian Benar – Samma Ajiva

“Mata pencaharian benar” adalah satu bagian dari Jalan Utama Berunsur Delapan. Oleh karena itu, hal semacam ekonomi Buddhis itu memang ada.”

(Schumacher, 1997, 37)

Jalan Utama Berunsur Delapan menyebutkan pada unsur kelimanya bahwa seorang praktisi Buddhis haruslah memilih dengan hati-hati pekerjaannya. Ada beberapa profesi dan pekerjaan tertentu yang benar-benar dilarang untuk umat Buddha. Seorang Buddhis tidak diperbolehkan berdagang senjata, narkoba dan zat-zat beracun lainnya. Demikian juga seorang Buddhis dilarang terlibat dalam perdagangan manusia (trafficking). Menjual binatang dan juga daging adalah hal yang dilarang, karena menghindari pembunuhan adalah sila (prilaku yang baik*) pertama yang harus dijalankan oleh seorang Buddhis. Lima pekerjaan yang tidak patut (Miccha Ajiva) adalah termasuk mencuri, berbuat curang, menipu, bekerja pada orang jahat dan bekerja hanya demi uang.

Memang tidak terdapat rekomendasi tentang profesi mana yang disarankan, tapi umumnya Buddhisme menekankan pada lawan dari membunuh dan mencuri yakni kasih sayang, belas kasihan dan memelihara kehidupan.

“Menghindari pembunuhan” adalah sila pertama. Sila-sila ini memiliki rekomendasi yang berlainan, dan rekomendasi pertama secara konsekuen menekankan pada pemeliharaan dan perlindungan terhadap semua kehidupan. Hal ini telah dijadikan pedoman bagi banyak bhikkhu Thailand, yang diantaranya telah berupaya untuk melindungi hutan perawan bersama-sama dengan komunitas lokal

melawan perusahaan penebangan kayu yang serakah dengan kelompok militernya. 4

Buku tersebut telah diterjemahkan lebih dari 20 tahun yang lalu oleh sekelompok simpatisan Asoke. 4 Kasus yang paling terkenal adalah Bhante Prachak Kuttachitto, seorang Bhikkhu di Buriram yang

berusaha melindungi hutan. Akhirnya ia menjadi buronan seumur hidupnya. Jim Taylor 1993; Rigg 1997, 58-59.

Asoke terus menerus menerapkan konsep memelihara dan melindungi semua kehidupan ini. Banyak tanah-tanah tandus berubah menjadi kebun yang subur di tangan para praktisi Asoke. Pusat-pusat di Isan, di Timur Laut Thailand, yang terkenal karena kekeringan dan kondisi alamnya yang tidak bersahabat, adalah salah satu area pusat berbagai penelitian pertanian Asoke. Kelompok Asoke saat ini memiliki tiga pusat paling sukses di Timur Laut, Sima Asoke, Sisa Asoke, dan Rachathani Asoke, semuanya telah menjadi percontohan bagi pemerintah setempat, dan semuanya terlibat secara aktif melatih penduduk lokal dalam seni pertanian alami, kehidupan mandiri/swadaya dan pembangunan berkelanjutan. Tujuan utama dari berbagai pelatihan ini adalah untuk melatih masyarakat untuk menjadi petani-petani yang hidup mandiri. Pelatihan-pelatihan ini dibiayai oleh Bank of Agriculture and Agricultural Cooperatives (BAAC). Pelatihan ini juga menekankan pada kebersihan (sanitasi),

panca sila, dan upaya untuk membersihkan enam sifat buruk 5 agar mereka terhindar dari jeratan hutang nantinya.

Menjadi petani, secara praktis adalah pilihan nomor satu dari “Mata pencaharian benar” bagi para praktisi Asoke. Alternatif lainnya di lingkungan perkotaan, adalah menjadi setidaknya seorang tukang kebun paruh waktu.

Sistem ekonomi monokultur tanaman pangan dengan orientasi ekspor tidak hanya semakin membuat miskin petani Thailand, tapi juga menurunkan kualitas tanah. Para petani tercekik oleh hutang lintah darat dan pemilik tanah, yang menyarankan penggunaan pupuk asing yang mahal, pestisida dan insektisida. Pupuk ini selanjutnya mengalir ke sungai dan persawahan membunuh semua kehidupan dalam air tersebut. Bahkan air tanah pun telah tercemar di beberapa wilayah. Oleh karena itu, pekerjaan kedua yang dihormati, bagi para praktisi Asoke yang serius adalah “Pemupuk Alami.”

Polusi telah menjadi masalah serius baik di perkotaan maupun di daerah pedesaan – tidak lupa tempat-tempat peristirahatan di pantai. Dengan budaya modern makan “makanan sampah” (junk food) sampah menumpuk di semua negara. Di semua pusat komunitas Asoke, sampah secara hati-hati disortir dalam kotak-kotak atau karung-karung yang berbeda. Oleh karena itu, “pekerjaan besar” ketiga adalah pemulung sampah dan tukang sortir. Sebagian besar sampah ini digunakan kembali baik sebagai kompos untuk pupuk, atau untuk mikroorganisme, yang digunakan untuk deterjen, sedangkan kertas tua, botol-botol, pecahan kaca, dan potongan-potongan besi dijual kembali. Kantong-kantong plastik digunakan kembali di toko-toko Asoke untuk mengemas barang-barang bagi komsumen. Sebagian sampah dibakar dan diproduksi kembali menjadi gas untuk memasak, contohnya di Phatom Asoke.

5 Enam sifat buruk antara lain: kecanduan, berkumpul pada saat yang tidak pantas, pamer, berjudi, pergaulan yang salah dan kemalasan.

1.1 Tidak untuk Barang-barang Impor

“Oleh karenanya, dari sudut pandang ekonomi Buddhis, produksi dari sumber daya lokal untuk kebutuhan lokal adalah cara yang paling rasional dari kehidupan ekonomi, sementara ketergantungan terhadap impor dari lokasi yang jauh dan kebutuhan memproduksi untuk ekspor bagi orang-orang yang tidak dikenal dan berada di tempat yang jauh sangatlah tidak ekonomis dan dapat dibenarkan hanya untuk kasus-kasus pengecualian dan dalam skala kecil.”

(Schumacher, 1999, 42)

Semua produksi di pusat-pusat Asoke utamanya diorientasikan pada masyarakatnya sendiri, dan selanjutnya adalah untuk komunitas Thailand secara luas. Sudah ada beberapa permintaan terhadap obat-obatan herbal Thailand dari luar negeri, misalnya Jepang, tapi sejauh ini ketertarikan ini masih belum diwujudkan. Pasar Thailand sendiri sudah cukup besar bagi produk-produk Asoke, dan ekspor berarti juga melibatkan masalah-masalah seperti tanggal kadaluarsa, bahan pengawet, kemasan, bea cukai dan rekanan dagang di negara-negara asing.

Pusat-pusat Asoke tidak dengan sengaja memboikot barang-barang asing, ataupun turut berpartisipasi dalam kampanye-kampanye “Gunakan produksi dalam negeri,” yang menjadi begitu populer di Thailand setelah tahun 1997. Namun dapat dikatakan bahwa yang mereka praktekkan adalah “boikot spiritual” menentang merek-merek asing terkenal dengan penekanan mereka pada kesederhanaan Buddhis. Sikap menghindari produk-produk asing bersumber dari sikap umum negatif mereka terhadap barang-barang mewah dan berbagai jenis kemewahan hidup. Oleh sebab itu, minum-minuman ringan asing – baik impor maupun yang diproduksi lokal dengan lisensi, bukanlah sesuatu yang digemari. Sebagai gantinya masyarakat Asoke mengkonsumsi minuman sari buah buatan lokal seperti jambu biji, asam dan sari buah-buahan lainnya. Mereka umumnya memproduksi sendiri susu kedelai. Makan coklat, es krim atau kue-kue adalah sesuatu yang kurang populer di Asoke.

Kesederhanaan (maknoy sandot) adalah satu konsep kunci dari Asoke dan segala macam permen serta manisan impor bahkan buatan lokal sekalipun pada umumnya dihindari. Para bhikkhu dan biarawati di Asoke hanya diperbolehkan makan satu kali dalam sehari, artinya tanpa sarapan, hanya makan siang – atau sarapan pagi sekaligus makan siang – terkadang sebelum tengah hari. Pada saat seseorang makan hanya satu kali dalam sehari, mengisi perut dengan segala sesuatu yang manis yang tidak memiliki kandungan gizi apa-apa adalah tindakan yang agak bodoh. Banyak orang awam Asoke berusaha mengikuti pola yang sama sebaik mungkin, sangat sedikit para praktisi serius Asoke yang makan lebih dari dua kali sehari. Penekanan yang sama terhadap makanan sehat dan bergizi juga diaplikasikan.

Seluruh anggota Asoke menghindari kebiasaaan merokok dan minum- minuman keras, kebiasaan ini semakin mengurangi konsumsi mereka terhadap berbagai produk impor asing.

Pada saat yang bersamaan, masyarakat Asoke juga cukup fleksibel. Tidak ada larangan untuk menggunakan pasta gigi atau sikat gigi bermerek asing. Hal yang sama juga berlaku pada produk-produk teknologi – mobil, komputer, kamera, tv dan peralatan elektronika lain yang umumnya buatan asing, sebab Thailand sendiri sangat minim memiliki produksi di bidang ini. Beberapa merek memang telah dirakit di Thailand.

1.2 Matikan Lampu

“Benda-benda yang tak terperbaharui hendaknya digunakan hanya jika benar-benar diperlukan sambil memperhatikan dengan seksama dan mempedulikan kepentingan konservasi. Menggunakan benda-benda itu secara sembrono atau berlebih-lebihan adalah tindakan kekerasan, dan sementara cara-cara yang benar- benar tanpa kekerasan bisa jadi tidak dapat dicapai di dunia ini, namun adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan bagi manusia untuk mengarahkan diri ke arah yang ideal yakni melakukan apapun tanpa kekerasan.”

(Schumacher 1999, 43-44)

Pada awalnya pusat-pusat komunitas Asoke umumnya tanpa listrik, keadaan yang cukup mengejutkan para pengunjung dari kota, dan itu pun karena kesan yang

muncul bahwa kelompok Asoke sangat ketat dan konservatif hingga ekstrim. 6 Padahal kenyataannya, memang, banyak daerah terpencil di Thailand belum memiliki

instalasi listrik. Namun, saat ini seluruh pusat Asoke telah memiliki instalasi listrik. Biasanya mereka juga memiliki sebuah televisi di aula ruang pertemuan (Sala), tempat dimana para anggota berkumpul pada sore hari untuk menonton televisi atau video selama beberapa jam.

Hampir semua pusat-pusat Asoke juga memiliki ruang komputer, yang pada umumnya ber-AC, karena sebagaimana yang kita ketahui komputer cukup sensitif terhadap suhu udara yang panas dan lembab seperti di Thailand. Biasanya tidak ada rumah-rumah pribadi (di Asoke*) yang ber-AC, sebab AC terkenal membutuhkan energi dalam jumlah besar, dan oleh karenaanya tagihan listrik selama musim panas cenderung naik dua kali atau tiga kali lipat dari biasanya. Tidak memiliki AC pribadi

6 Grant Olsom memaparkan beberapa penelitian awal terhadap kelompok Asoke dalam tesis M.A-nya “Sangha Reform in Thailand, Limitations, Liberation and the Middle Path” dari tahun 1983.

adalah cara mudah untuk hidup dalam kesederhanaan, mempraktekkan maknoy sandot, tapi juga secara sadar menghemat energi.

Beberapa rumah-rumah pribadi memiliki kipas angin listrik, kulkas dan terkadang juga tv pribadi, terutama sekali di kondominium-kondominium Pusat Santi Asoke di perkotaan. Pusat-pusat di pedesaan, rumah-rumah dibangun dengan gaya tradisional Thailand, yang berarti mereka tidak akan kepanasan dibandingkan apabila mereka berada di rumah-rumah gaya barat. Sayangnya, beberapa rumah di desa-desa Asoke memiliki atap-atap seng yang membuat rumah-rumah ini amat panas sepanjang musim panas dan menimbulkan suara berisik saat hujan turun di musim penghujan.

Sila ketujuh dalam Buddhisme, mendorong para praktisinya untuk menghindari segala jenis hiburan, seperti mendengar musik, menonton film, atau menyanyi (mereka mengembangkan dan melestarikan kesenian tradisional yang digunakan sebagai hiburan dengan mementaskannya di hari-hari tertentu-pent.). Banyak umat awam Asoke berusaha mengikuti Delapan Sila, yang menunjukkan ciri dari seorang Praktisi Asoke yang serius, sedangkan Panca Sila dihormati sebagai aturan umum untuk semua Buddhis. Sekali lagi, sebagaimana yang kita lihat, kelompok ini cukup fleksibel terhadap peraturan ini. Para bhikkhu, biarawati dan umat awam berkumpul untuk menonton film bersama-sama hampir setiap sore selama beberapa jam. Film-film tersebut, dipilih oleh para bhikkhu, dan yang memiliki fungsi-fungsi pendidikan. Juga sepanjang malam, film-film dokumenter sering dipertunjukkan dalam aula kotbah (Sala).

Masyarakat Asoke bangun pagi antara pukul 3-4 pagi, hal ini dapat mencegah mereka dari kebiasaan menonton tv sampai larut malam maupun menikmati hiburan- hiburan malam lainnya. Keuntungan dari bangun pagi adalah juga karena udaranya masih sangat sejuk, dan karenanya AC atau bahkan kipas angin pun tidak diperlukan lagi. Jauh di tengah malam, kondisi udara bisa saja tetap cukup panas dan lembab, tapi orang tidak akan terganggu oleh sebab ini disaat ia tidur. Itulah sebabnya aktivitas-aktivitas pada malam hari, membutuhkan lebih banyak energi daripada aktivitas saat pagi hari.

2. Mengapa Anda lahir?

“Mengatur pekerjaan dengan cara-cara yang membuatnya menjadi tidak memiliki arti, membosankan, melemahkan semangat, ataupun membuat gelisah para pekerja, bisa diartikan sebagai kejahatan kecil-kecilan; Hal tersebut menunjukkan perhatian yang lebih besar terhadap barang-barang produksi dibandingkan manusia, kurangnya kasih sayang dan merupakan suatu tingkat kemelekatan yang menghancurkan jiwa hingga sisi paling primitif dari eksistensi duniawi.”

(Schumacher 1999, 38)

Bekerja di seluruh pusat-pusat Asoke diatur dengan basis sukarela. Tidak seorang pun dipaksa bekerja di tempat kerja yang tidak menyenangkan bagi dirinya. Secara praktis tidak dibutuhkan keahlian khusus dalam pekerjaan apapun, karena semuanya dilakukan dengan kerja tim.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, prioritas paling utama diberikan kepada beberapa profesi tertentu seperti menjadi petani, tukang kebun, pemupuk dan pemulung. Bagaimanapun, terdapat lusinan basis pekerjaan di setiap pusat. Para bhikkhu tidak diijinkan bekerja di bidang perkebunan, karena pekerjaan yang berhubungan dengan tanah bisa membunuh kehidupan serangga tanpa disengaja. Oleh karenanya para bhikkhu dan juga biarawati, umumnya bekerja di kantor-kantor, sekolah, percetakan di bagian editing, menjadi penerjemah, juru ketik, menulis, memberi kotbah dan konsultasi bagi orang awam.

Untuk masyarakat awam terdapat banyak alternatif: semua pusat Asoke memiliki sekolah dasar ataupun sekolah lanjutan, dan terkadang sekolah kejuruan. Orang-orang dengan latar belakang mengajar diarahkan untuk bekerja di sekolah- sekolah ini. Namun, ada juga orang-orang Asoke yang merasa bahwa mereka telah menyelesaikan peran mereka sebagai guru di sekolah luar (Asoke*), dan lebih tertarik untuk bekerja di bidang lain setelah bekerja di Asoke. Ijin pasti diberikan, dan orang- orang bebas bergerak sesuai keinginannya.

Hampir semua pusat-pusat Asoke memiliki toko, yang membutuhkan sejumlah orang sebagai penjaga toko dan kasir. Sejumlah pusat memiliki restoran vegetarian yang memerlukan banyak pekerja untuk menyiapkan makanan, melayani dan menjual makanan, mencuci piring kotor, membersihkan meja-meja dan menjadi kasir.

Perusahaan percetakan dan penerbitan membutuhkan berbagai jenis pekerja dalam jumlah besar: anak-anak muda bertugas menangani komputer, yang lebih tua mengerjakan pekerjaan-pekerjaan percertakan secara manual.

Sebagian besar angkatan kerja di pusat-pusat Asoke adalah para relawan. Saat beberapa basis pekerjaan membutuhkan bantuan khusus, semua orang yang mempunyai waktu beramai-ramai membantu basis tersebut. Pekerja oleh karenanya sangat terbebas dari struktur. Mereka secara berkala bertukar basis pekerjaan, tidak ada sistem rotasi yang sistematik yang diatur oleh para supervisor, rotasi dilakukan secara spontan. Setiap orang bebas memilih basis pekerjaannya sebagaimana mereka bebas untuk berpindah ke basis pekerjaan lainnya.

Hal ini dalam prakteknya, berarti bahwa pekerjaan tidak selalu dipilih berdasarkan kualifikasi yang dimiliki seseorang dari luar. Secara sederhana kualifikasi bukanlah kriteria utama, karena kerja digunakan sebagai sarana untuk latihan spiritual.

2.1 Melatih Diri melalui Kerja

“Sudut pandang Buddhis meletakkan fungsi kerja setidaknya pada 3 unsur: memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menggunakan dan mengembangkan keahliannya; memungkinkan orang tersebut mengatasi sifat egosentrisnya dengan cara bergabung dengan orang lain dalam suatu tugas bersama; dan menyediakan barang dan jasa bagi kelangsungan kehidupan.”

(Schumacher 1999, 38)