Bunniyom sebagai Ekonomi Moral

3. Bunniyom sebagai Ekonomi Moral

“Kepemilikan dan konsumsi terhadap barang-barang adalah cara untuk memenuhi kebutuhan, dan konsep ekonomi Buddhis adalah studi yang sistematis tentang bagaimana memenuhi kebutuhan dengan sumber daya yang minimal.”

(Schumacher 1999, 41)

Asoke menganggap Bunniyom atau “paham kebajikan (meritism)” sebagai sebuah sistem ekonomi alternatif terhadap Thunniyom atau kapitalisme. Dalam kapitalisme, orang-orang menggunakan empat kriteria berikut untuk mengukur kesuksesan hidup: kekayaan materi; kedudukan duniawi; ketenaran dan kesenangan- kesenangan duniawi. Para kapitalis menginginkan rumah mewah dan lebih banyak Asoke menganggap Bunniyom atau “paham kebajikan (meritism)” sebagai sebuah sistem ekonomi alternatif terhadap Thunniyom atau kapitalisme. Dalam kapitalisme, orang-orang menggunakan empat kriteria berikut untuk mengukur kesuksesan hidup: kekayaan materi; kedudukan duniawi; ketenaran dan kesenangan- kesenangan duniawi. Para kapitalis menginginkan rumah mewah dan lebih banyak

Bunniyom oleh sebab itu juga dianggap sebagai alternatif yang ramah lingkungan. 7 Pada hakekatnya, toko-toko kaum bunniyom di semua pusat-pusat Asoke

berusaha mengikuti kebijakan “meritism” ini. Salah satu manifestasinya adalah barang-barang tersebut memiliki dua label harga: harga pokok dan harga jual. Selisih antara kedua harga tersebut amatlah sangat kecil.

Bunniyom tidak menekankan pada keuntungan, tapi sebaliknya menekankan pada kebajikan spiritual yang didapatkan saat mendanakan barang-barang kepada para konsumen atau saat mengambil keuntungan seminimal mungkin dari para konsumen. Empat pedoman prinsip ekonomi bunniyom adalah:

- Menjual dengan keuntungan rendah - Mengubah untuk persamaan harga - Mengubah untuk harga yang lebih rendah - Memberikan secara cuma-cuma Kekayaan pribadi bukanlah sesuatu yang dipuja di Asoke, sebaliknya sebagian

besar sumber daya dimiliki secara kolektif lewat berbagai yayasan, asosiasi atau organisasi, seperti Yayasan Dharma Santi dan Yayasan Gongtub Dharm. Para praktisi Asoke yang bekerja di luar secara teratur menyumbang ke yayasan-yayasan ini. Yayasan-yayasan ini selanjutnya mendukung berbagai aktivitas dari berbagai organisasi yang ada. Ketiga perusahaan yakni, Supermarket Palang Bun, pengecer For Life, dan perusahaan penerbit dan percetakan Fah Aphai terkait dengan yayasan- yayasan ini. Para pekerja di ketiga perusahaan itu menerima gaji yang sangat rendah,

sedangkan para pekerja di restoran-restoran vegetarian bekerja tanpa dibayar. 8 Uang dikumpulkan di kantor pusat (Sadharana bhogi), dari tempat inilah

berbagai basis pekerjaan dapat meminjam uang untuk membiayai proyek-proyek mereka. Baru-baru ini, kelompok Asoke juga telah mulai menjalankan kelompok simpanan pribadi (Sacca omsap), tempat dimana para anggotanya secara individu dapat meminjam uang untuk berbagai keperluan. Proyek-proyek ini haruslah yang dapat dijalankan dan etis. Uang tersebut dikembalikan dalam jangka waktu yang

7 Insight Into Santi Asoke III, naskah yang tidak dipublikasikan, hal. 122 , Bangkok 1992. 8 Keterangan lebih lengkap dalam Heikkilä-Horn: Buddhism with Open Eyes. Belief and Practise of

Santi Asoke. Hal. 137-140, 1997.

masuk akal, dengan bunga rendah. Dengan kata lain, sangat mirip dengan beberapa kumpulan arisan dan proyek-proyek pinjaman mikro di negara-negara berkembang lainnya.

Beberapa pusat memiliki pompa bensin yang disewa dari perusahaan minyak setempat. Beberapa pusat juga memiliki perpustakaan, pusat kesehatan dan klinik gigi. Beberapa pusat memiliki toko obat, penggilingan padi, dan Santi Asoke memiliki dua perumahan dengan kondominium.

Pusat-pusat ini dapat meminjam uang dari institusi luar untuk proyek-proyek pembangunan mereka atau untuk tujuan-tujuan lain. Beberapa pusat menerima dana dari Departemen Promosi Koperasi dari Kementerian Pertanian dan Koperasi, atau dari Institut Medis Tradisional Thailand. Juga dimungkinkan meminjam dari pusat- pusat Asoke yang lain atau dari kantor pusat (Sadharana bhogi) yang berkedudukan di Santi Asoke.

Pusat lain dimana komunitas Asoke dapat meminjam uang tanpa bunga adalah dari Dana Kesejahteraan (Gongboon sawaddikan). Akhirnya bunniyom dianggap sebagai suatu metode untuk membangun komunitas lokal yang kuat yang memberikan landasan yang kokoh bagi sebuah negara untuk bertahan dan menghindari krisis ekonomi serta mendukung tingkat kemandirian nasional. Berdasarkan ideologi Asoke, kebebasan dari materialisme adalah kebebasan sejati dan kebebasan dari keserakahan dapat membawa kita ke arah masyarakat yang damai. Bunniyom dapat dikatakan sebagai jalan yang praktis dan nyata untuk mengurangi sikap mementingkan diri sendiri.

3.1 Antikonsumerisme

“Karena konsumsi hanyalah alat bagi kesejahteraan umat manusia, tujuan seharusnya adalah memperoleh kesejahteraan maksimal dengan konsumsi minimal. Jadi, jika tujuan dari berpakaian adalah untuk memperoleh kenyamanan pada temperatur tertentu dan penampilan yang menarik, tugas kita adalah untuk mencapai tujuan ini dengan usaha yang sekecil-kecilnya, yang juga berarti, dengan kerusakan sekecil-kecilnya pada pakaian tersebut per tahunnya dan dengan rancangan yang melibatkan kerja keras melelahkan yang sekecil-kecilnya.”

(Schumacher, 1999, 41)

Salah satu bagian dari antikonsumerisme Asoke adalah menolak mengikuti perkembangan mode. Berdasarkan Buddhisme, umat manusia hanya memiliki empat kebutuhan pokok: makanan, pakaian, tempat tinggal dan obat. Para bhikkhu dan biarawati hanya memiliki 2-3 setel jubah, yang mereka cuci setiap hari, dan dikenakan hingga rusak. Sebagian besar umat awam mengikuti perilaku ini.

Banyak praktisi Asoke, khususnya mereka yang tinggal menetap di sekitar vihara, juga hanya memiliki dua setel pakaian. Untuk laki-laki, celana tradisional Shan, dan celana kaum tani Thai-Laos yang disebut mohom. Kaum wanitanya, sarung biru atau abu-abu dan juga mengenakan mohom. Sebagian besar umat awam juga tidak mengenakan alas kaki sebagaimana para bhikkhu dan bhikkhuni. Tidak ada merk jam tangan kesayangan, dan tidak mengenakan perhiasan adalah salah satu ciri pertama seorang praktisi Asoke yang serius.

Para murid sekolah mengenakan seragam biru sama dengan yang dikenakan oleh masyarakat awam. Mereka juga hanya memiliki 2-3 setel pakaian yang harus mereka cuci setiap hari.

Kertas didaur ulang, kalendar-kalendar saku bekas tidak dibuang, tapi digunakan sebagai buku catatan. Halaman kalendar dinding bulanan yang berukuran besar digunakan untuk menyampul buku-buku dan secara praktis setiap lembar kertas atau plastik digunakan kembali dengan berbagai cara. Konsumsi yang sia-sia diminimalkan sebanyak mungkin.

Seluruh praktisi Asoke umumnya memiliki potongan rambut pendek. Shampo asing yang mahal tidak disarankan, hampir semua orang menggunakan shampo, sabun dan deterjen buatan komunitas desa mereka sendiri. Kaum lelaki Asoke berpotongan rambut dengan gaya tradisional Thai yang agak militeristik, rambut kaum wanitanya juga dipotong sependek mungkin. Hal yang sama juga berlaku bagi anak-anak sekolah Asoke, tapi di sisi lain potongan rambut mereka, sebenarnya, sama persis dengan potongan rambut yang diwajibkan bagi seluruh anak-anak sekolah Thailand. Thailand – seperti sebagian besar negara-negara tetangganya di Asia – adalah tempat yang menjanjikan bagi seragam dan keseragaman.