Pengadilan Internasional Buku Perlindungan Saksi dan Korban

16 Perlindungan terhadap Saksi dan Korban dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Tentunya semua acuan ini perlu ditinjau ulang dan diberi landasan berpijak atas kebutuhan- kebutuhan nyata yang dihadapi di Indonesia. Tim penyusun menggunakan keseluruhan bahan-bahan ini untuk membangun suatu sistem perlindungan dan dukungan terhadap saksi dan korban yang komprehensif dan efektif. Bahan acuan ini kemudian menjadi salah satu bahan advokasi hingga lahirnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 2. 3. Siapakah yang Berhak Memperoleh Perlindungan dan Dukungan? Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memberikan deinisi saksi dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut: ”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, danatau ia alami sendiri”. Deinisi ini relatif sama dengan deinisi mengenai saksi menurut Pasal 1 angka 36 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP yaitu ”Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Saksi dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban maupun dalam KUHAP sebagai sebuah acuan praktek hukum dewasa ini, tidak dideinisikan dengan lebih rinci dari deinisi tersebut di atas, sementara dalam KUHAP kategori saksi hanya Definisi Saksi dalam UU No. 132006 17 2. Gambaran Umum dikenal saksi biasa dan saksi ahli, dan hanya terdapat beberapa ketentuan mengenai hak- hak seorang saksi yang diatur dalam KUHAP. UU Perlindungan Saksi dan Korban, juga memberikan perlindungan kepada korban termasuk keluarganya, dengan deinisi dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 5 sebagai berikut: ”Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan isik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Sedangkan deinisi keluarga yakni ”Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan Saksi danatau Korban”. Di luar ketentuan UU Perlindungan Saksi dan Korban serta KUHAP, dalam perkembangan praktek peradilan, pengertian ini meluas dengan memasukkan orang-orang yang sekedar ”mengetahui” sesuatu yang berkenaan dengan tindak pidana dalam kategori saksi. Misalnya ketentuan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang membedakan antara ”saksi” dan ”pelapor”. Dalam Pasal 2 ayat 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa ”Pelapor adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi” dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Namun, pembedaan antara saksi dan pelapor ini tidak dijelaskan dengan rinci dalam penjelasan UU tersebut. Di samping itu, mengenai hak saksi pelapor untuk mendapatkan perlindungan hukum juga tidak dijelaskan secara rinci bentuk dan prosedurnya. Tentulah dengan kondisi demikian, terbuka kemungkinan