Spatial Planning Inconsistency Analysis Viewed from Regional Physical Aspect; A Case Study Kabupaten and Kota Bogor

(1)

ANALISIS INKONSISTENSI TATA RUANG

DILIHAT DARI ASPEK FISIK WILAYAH:

KASUS KABUPATEN DAN KOTA BOGOR

MARTHEN MARISAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Inkonsistensi Tata Ruang dilihat dari Aspek Fisik Wilayah: Kasus Kabupaten Dan Kota Bogor adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2006

Marthen Marisan


(3)

ABSTRAK

MARTHEN MARISAN. Analisis Inkonsistensi Tata Ruang Dilihat dari Aspek Fisik Wilayah: Kasus Kabupaten dan Kota Bogor. Dibimbing oleh UUP S WIRADISASTRA, BUDI MULYANTO, dan ERNAN RUSTIADI.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan arahan umum penggunaan lahan suatu wilayah pada suatu periode tertentu guna memenuhi kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan. Penyusunannya didasarkan atas berbagai pertimbangan meliputi aspek fisik lahan, sosial ekonomi, politik dan budaya. Da lam pelaksanaannya, seringkali aspek sosial ekonomi lebih menonjol dibanding aspek fisik lahan sehingga pada kondisi tertentu dapat mengakibatkan bencana seperti tanah longsor, dan banjir. Pada tahun 2002 dan 2003 telah terjadi bencana banjir yang menggenangi hampir 60% wilayah Jakarta (Direktorat Jendral Penataan Ruang 2003) . Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebabnya adalah, berkurangnya kawasan resapan air di wilayah Bogor yang merupakan daerah hulu dari wilayah Jakarta. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis konsistensi RTRW dan faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW, (2) Menganalisis perubahan penutupan lahan dari tahun 1997 ke 2002 dan mengidentifikasi pusat-pusat perubahan penutupan lahan. Beberapa metode analisis yang digunakan adalah: Geographic Information System (GIS) untuk analisis spasial (peta), Principal Component Analysis (PCA) untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW, Multiple Regression Analysis untuk mengetahui keeratan hubungan antara luas inkonsistensi RTRW dengan faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW, Location Quotient (LQ) untuk identifikasi lokasi Kecamatan yang menjadi pusat-pusat perubahan penutupan lahan. Hasil analisis menunjukkan, bahwa sampai dengan tahun 2002 pada kedua wilayah studi terindikasi adanya inkonsistensi pemanfaatan ruang, yakni sekitar 22.05% untuk wilayah Kabupaten Bogor dan sekitar 5.76% untuk wilayah Kota Bogor. Hasil analisis perubahan penutupan lahan menunjukkan, bahwa dalam kurun waktu lima tahun (1997–2002) terjadi peningkatan areal ruang terbangun di Kabupaten Bogor sekitar 30.46%, dan di Kota Bogor sekitar 3.45%.


(4)

ABSTRACT

MARTHEN MARISAN. Spatial Planning Inconsistency Analysis Viewed from Regional Physica l Aspect; A Case Study Kabupaten and Kota Bogor. Under the direction of UUP S WIRADISASTRA, BUDI MULYANTO, and ERNAN RUSTIADI.

Regional spatial planning (RTRW) is a general guidance which is used for landuse establishment of a region for a certain period of time. The establishment is based on the consideration of land physica l characteristics, socio-economic, politics and cultures. In fact, in the implementation, the considerations are more on socio-economic, politics and culture than on land physica l characteristics. At some stage this could result in disasters such as landslides and floods. In the years 2002 and 2003 floods occurred in Jakarta and almost 60% of the area was inundated (Direktorat Jendral Penataan Ruang 2003). This occurrences apparently resulted from reductions of water infiltration area especially in the upland of Bogor. Referring to the mentioned problems, this study aim (1) to analyze the consistency of RTRW and to determine the prediction factors influencing inconsistency of RTRW; (2) to analysize land cover changes in 1997– 2002; and (3) to identify centers area of land cover changes. Analysis methods being used are: (1) Geographic Information System (GIS) for spatial analysis (maps); (2) Principal Component Analysis (PCA) to identify prediction determining factors of RTRW consistency; (3) Multiple Regression Analysis for analyzing correlation between RTRW inconsistency and determining factors of RTRW consistency; (4) Location Quotient (LQ) to identify center areas of land cover change in Kecamatan. The result shows that up to the year 2002 in the two study areas, both are showing indication of inconsistence of spatial planning, the RTRW has been inconsistence a t around 22.05% in Kabupaten Bogor , and 5.76% in Kota Bogor. In term of, land cover changes showing in the time range of five years in the built -up areas an increased up to 30.46% for Kabupaten Bogor and 3.45% for Kota Bogor.


(5)

© Hak Cipta milik Marthen Marisan, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(6)

ANALISIS INKONSISTENSI TATA RUANG

DILIHAT DARI ASPEK FISIK WILAYAH:

KASUS KABUPATEN DAN KOTA BOGOR

MARTHEN MARISAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(7)

Judul Tesis : Analisis Inkonsistensi Tata Ruang Dilihat dari Aspek Fisik Wilayah: Kasus Kabupaten dan Kota Bogor

Nama : Marthen Marisan

NIM : A. 225010054

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Uup S. Wiradisastra, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi PWL Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Pebruari sampai dengan Agustus 2005.

Terima kasih penulis uca pkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Uup S. Wiradisastra, M.Sc., Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc. selaku pembimbing dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku pembimbing dan Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah, serta Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS. sela ku ketua Departemen Tanah atas segala bantuan dan dukungan yang telah dilakukan selama proses penyelesaian studi.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. atas ijin perolehan data penelitian di Laboratorium Perencanaa n Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor, dan Ir. Ita Carolita, M.Si atas bantuan pemberian data kelerengan.

Pada kesempatan ini juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ayah, Ibu, Adik-adik, Istri, dan Anak-anak serta seluruh keluarga yang tercinta atas segala Doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2006 Marthen Marisan


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 20 Maret 1964 dari ayah Lazarus Marisan dan ibu Mariana Rawar. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri I/414 Abepura di Jayapura Papua, dan pada tahun yang sama lulus seleksi Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SIPENMARU) masuk Universitas Cenderawasih Papua. Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Pertanian di Manokwari Papua, dan lulus pada tahun 1992.

Tahun 1992 sampai 1994 penulis bekerja di PT. Henrison Iriana Bintuni (Hak Pengusahaan Hutan/HPH) Manokwari, tahun 1994 sampai 1996 bekerja di PT. Damai Setiatama Timber (Hak Pengusahaan Hutan/HPH) di Merauke Papua.

Pada Tahun 1996 penulis lulus seleksi Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Merauke Papua dan terpilih menjadi pegawai peserta Magang yang merupakan proyek dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia dari tahun 1996 sampai 1998 yang ditempatkan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Jabatan terakhir yang diperoleh adalah Kepala Sub Bidang Pencemaran Air pada Kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Merauke Papua.

Pada tahun 2003 saat melaksanakan pendidikan Program Pascasarjana (S2) di Program Studi Perencanaan Wilayah Institut Pertanian Bogor penulis dipindahtugaskan sebagai staf di lingkungan Setda Kabupaten Asmat Papua.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

Kerangka Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Ruang ... 5

Konsep Kewilayahan ... 5

Wilayah Homogen ... 6

Wilayah Nodal ... 6

Wilayah Administrasi ... 7

Wilayah Perencanaan ... 7

Rencana Tata Ruang ... 7

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ... 8

Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi ... 9

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota ... 10

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor (1999-2009) ... 10

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Lindung Kabupaten Bogor ... 11

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Kabupaten Bogor ... 12

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor (1999-2009) ... 12

Rencana Penggunaan Lahan Kota Bogor ... 13

Land Rent ... 14

Penutupan dan Penggunaan Lahan ... 15


(11)

ANALISIS INKONSISTENSI TATA RUANG

DILIHAT DARI ASPEK FISIK WILAYAH:

KASUS KABUPATEN DAN KOTA BOGOR

MARTHEN MARISAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Inkonsistensi Tata Ruang dilihat dari Aspek Fisik Wilayah: Kasus Kabupaten Dan Kota Bogor adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2006

Marthen Marisan


(13)

ABSTRAK

MARTHEN MARISAN. Analisis Inkonsistensi Tata Ruang Dilihat dari Aspek Fisik Wilayah: Kasus Kabupaten dan Kota Bogor. Dibimbing oleh UUP S WIRADISASTRA, BUDI MULYANTO, dan ERNAN RUSTIADI.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan arahan umum penggunaan lahan suatu wilayah pada suatu periode tertentu guna memenuhi kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan. Penyusunannya didasarkan atas berbagai pertimbangan meliputi aspek fisik lahan, sosial ekonomi, politik dan budaya. Da lam pelaksanaannya, seringkali aspek sosial ekonomi lebih menonjol dibanding aspek fisik lahan sehingga pada kondisi tertentu dapat mengakibatkan bencana seperti tanah longsor, dan banjir. Pada tahun 2002 dan 2003 telah terjadi bencana banjir yang menggenangi hampir 60% wilayah Jakarta (Direktorat Jendral Penataan Ruang 2003) . Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebabnya adalah, berkurangnya kawasan resapan air di wilayah Bogor yang merupakan daerah hulu dari wilayah Jakarta. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis konsistensi RTRW dan faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW, (2) Menganalisis perubahan penutupan lahan dari tahun 1997 ke 2002 dan mengidentifikasi pusat-pusat perubahan penutupan lahan. Beberapa metode analisis yang digunakan adalah: Geographic Information System (GIS) untuk analisis spasial (peta), Principal Component Analysis (PCA) untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW, Multiple Regression Analysis untuk mengetahui keeratan hubungan antara luas inkonsistensi RTRW dengan faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW, Location Quotient (LQ) untuk identifikasi lokasi Kecamatan yang menjadi pusat-pusat perubahan penutupan lahan. Hasil analisis menunjukkan, bahwa sampai dengan tahun 2002 pada kedua wilayah studi terindikasi adanya inkonsistensi pemanfaatan ruang, yakni sekitar 22.05% untuk wilayah Kabupaten Bogor dan sekitar 5.76% untuk wilayah Kota Bogor. Hasil analisis perubahan penutupan lahan menunjukkan, bahwa dalam kurun waktu lima tahun (1997–2002) terjadi peningkatan areal ruang terbangun di Kabupaten Bogor sekitar 30.46%, dan di Kota Bogor sekitar 3.45%.


(14)

ABSTRACT

MARTHEN MARISAN. Spatial Planning Inconsistency Analysis Viewed from Regional Physica l Aspect; A Case Study Kabupaten and Kota Bogor. Under the direction of UUP S WIRADISASTRA, BUDI MULYANTO, and ERNAN RUSTIADI.

Regional spatial planning (RTRW) is a general guidance which is used for landuse establishment of a region for a certain period of time. The establishment is based on the consideration of land physica l characteristics, socio-economic, politics and cultures. In fact, in the implementation, the considerations are more on socio-economic, politics and culture than on land physica l characteristics. At some stage this could result in disasters such as landslides and floods. In the years 2002 and 2003 floods occurred in Jakarta and almost 60% of the area was inundated (Direktorat Jendral Penataan Ruang 2003). This occurrences apparently resulted from reductions of water infiltration area especially in the upland of Bogor. Referring to the mentioned problems, this study aim (1) to analyze the consistency of RTRW and to determine the prediction factors influencing inconsistency of RTRW; (2) to analysize land cover changes in 1997– 2002; and (3) to identify centers area of land cover changes. Analysis methods being used are: (1) Geographic Information System (GIS) for spatial analysis (maps); (2) Principal Component Analysis (PCA) to identify prediction determining factors of RTRW consistency; (3) Multiple Regression Analysis for analyzing correlation between RTRW inconsistency and determining factors of RTRW consistency; (4) Location Quotient (LQ) to identify center areas of land cover change in Kecamatan. The result shows that up to the year 2002 in the two study areas, both are showing indication of inconsistence of spatial planning, the RTRW has been inconsistence a t around 22.05% in Kabupaten Bogor , and 5.76% in Kota Bogor. In term of, land cover changes showing in the time range of five years in the built -up areas an increased up to 30.46% for Kabupaten Bogor and 3.45% for Kota Bogor.


(15)

© Hak Cipta milik Marthen Marisan, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(16)

ANALISIS INKONSISTENSI TATA RUANG

DILIHAT DARI ASPEK FISIK WILAYAH:

KASUS KABUPATEN DAN KOTA BOGOR

MARTHEN MARISAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(17)

Judul Tesis : Analisis Inkonsistensi Tata Ruang Dilihat dari Aspek Fisik Wilayah: Kasus Kabupaten dan Kota Bogor

Nama : Marthen Marisan

NIM : A. 225010054

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Uup S. Wiradisastra, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi PWL Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


(18)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Pebruari sampai dengan Agustus 2005.

Terima kasih penulis uca pkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Uup S. Wiradisastra, M.Sc., Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc. selaku pembimbing dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku pembimbing dan Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah, serta Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS. sela ku ketua Departemen Tanah atas segala bantuan dan dukungan yang telah dilakukan selama proses penyelesaian studi.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. atas ijin perolehan data penelitian di Laboratorium Perencanaa n Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor, dan Ir. Ita Carolita, M.Si atas bantuan pemberian data kelerengan.

Pada kesempatan ini juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ayah, Ibu, Adik-adik, Istri, dan Anak-anak serta seluruh keluarga yang tercinta atas segala Doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2006 Marthen Marisan


(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 20 Maret 1964 dari ayah Lazarus Marisan dan ibu Mariana Rawar. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri I/414 Abepura di Jayapura Papua, dan pada tahun yang sama lulus seleksi Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SIPENMARU) masuk Universitas Cenderawasih Papua. Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Pertanian di Manokwari Papua, dan lulus pada tahun 1992.

Tahun 1992 sampai 1994 penulis bekerja di PT. Henrison Iriana Bintuni (Hak Pengusahaan Hutan/HPH) Manokwari, tahun 1994 sampai 1996 bekerja di PT. Damai Setiatama Timber (Hak Pengusahaan Hutan/HPH) di Merauke Papua.

Pada Tahun 1996 penulis lulus seleksi Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Merauke Papua dan terpilih menjadi pegawai peserta Magang yang merupakan proyek dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia dari tahun 1996 sampai 1998 yang ditempatkan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Jabatan terakhir yang diperoleh adalah Kepala Sub Bidang Pencemaran Air pada Kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Merauke Papua.

Pada tahun 2003 saat melaksanakan pendidikan Program Pascasarjana (S2) di Program Studi Perencanaan Wilayah Institut Pertanian Bogor penulis dipindahtugaskan sebagai staf di lingkungan Setda Kabupaten Asmat Papua.


(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

Kerangka Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Ruang ... 5

Konsep Kewilayahan ... 5

Wilayah Homogen ... 6

Wilayah Nodal ... 6

Wilayah Administrasi ... 7

Wilayah Perencanaan ... 7

Rencana Tata Ruang ... 7

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ... 8

Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi ... 9

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota ... 10

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor (1999-2009) ... 10

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Lindung Kabupaten Bogor ... 11

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Kabupaten Bogor ... 12

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor (1999-2009) ... 12

Rencana Penggunaan Lahan Kota Bogor ... 13

Land Rent ... 14

Penutupan dan Penggunaan Lahan ... 15


(21)

Klasifikasi Penutupan Lahan ... 17

Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 18

Komponen SIG ... 18

Fungsi Analisis ... 19

BAHAN DAN METODE ... 22

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

Jenis Data dan Alat ... 22

Metode Penelitian ... 22

Editing Peta ... 22

Overlay (Intersect) ... 23

Analisis Konsistensi RTRW ... 24

Analisis Faktor -faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi RTRW ... 26

Analisis Perubahan Penutupan Lahan ... 28

Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Penutupan Lahan ... 28

HASIL dan PEMBAHASAN ... 35

Wilayah Kabupaten Bogor ... 35

Kelerengan Wilayah Kabupaten Bogor ... 35

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor (1999– 2009) ... 35

Penutupan Lahan Tahun 2002 di Kabupaten Bogor ... 40

Analisis Konsistensi RTRW Kabupaten Bogor ... 42

Analisis Faktor -faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi RTRW Kabupaten Bogor ... 46

Analisis Perubahan Penutupan Lahan (1997–2002) di Kabupaten Bogor ... 49

Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Penutupan Lahan di Kabupaten Bogor ... 51

Wilayah Administrasi Kota Bogor ... 52

Kondisi Kelerengan Kota Bogor ... 52

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor (1999–2009) ... 57

Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2002 ... 59


(22)

xii Analisis Faktor -faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi

RTRW di Kota Bogor ... 61

Analisis Perubahan Penutupan Lahan (1997–2002) di Kota Bogor ... 65

Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Penutupan Lahan ... 67

SIMPULAN DAN SARAN ... 71 DAFTAR PUSTAKA ... 73 LAMPIRAN ... 75


(23)

DAFTAR TABEL

Teks

Nomor Halaman

1. Matriks Konsistensi antara Arahan Pemanfaatan Ruang (RTRW) dengan Penutupan Lahan Tahun 2002 di Kabupaten Bogor ... 25 2. Matriks Konsistensi antara Arahan Pemanfaatan Ruang (RTRW) dengan Penutupan Lahan Tahun 2002 di Kota Bogor ... 25 3. Variabel penduga faktor-faktor yang mempengaruhi Inkonsistensi RTRW Kabupaten Bogor ... 28 4. Variabel penduga faktor-faktor yang mempengaruhi Inkonsistensi

RTRW Kota Bogor ... 29

5. Luas (Ha) dan Proporsi (%) Arahan Pemanfaatan Ruang

Menurut RTRW di Kabupaten Bogor ... 39

6. Proporsi RTRW Terhadap Penutupan Lahan Tahun 2002

Kabupaten Bogor ... 42

7. Proporsi Inkonsistensi RTRW Menurut Kelas Kelerengan

di Kabupaten Bogor ... 43

8. Koefisien Korelasi antara Peubah Asal Penduga Penentu

Konsistensi RTRW Kabupaten Bogor ... 48

9. Luas dan Proporsi Rencana Tata Ruang Wilayah

Kota Bogor (1999-2009) ... 57

10. Luas Inkonsistensi RTRW Kota Bogor ... 61

11. Koefisien Korelasi antara Peubah Asal Penentu Inkonsistensi

RTRW Kota Bogor ... 63


(24)

DAFTAR GAMBAR

Teks

Nomor Halaman

1. Diagram Alur Pembentukan Basis Data SIG ... 30

2. Diagram Alur Analisis Konsistensi RTRW ... 31

3. Diagram Alur Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Inkonsistensi RTRW ... 32

4. Diagram Alur Analisis Perubaha n Penutupan Lahan ... 33

5. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Bogor ... 36 6. Peta Kelas Kelerengan Kabupaten Bogor ... 37 7. Peta RTRW Kabupaten Bogor ... 38 8. Grafik Luas dan Proporsi Penutupan Lahan Tahun 2002

di Kabupaten Bogor ... 40 9. Peta Penutupan Lahan Tahun 2002 Kabupaten Bogor ... 41 10. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Terhadap RTRW

Kabupaten Bogor ... 45 11. Grafik Luas dan Proporsi Penutupan Lahan Tahun 1997

di Kabupaten Bogor ... 49

12. Peta Penutupan Lahan Tahun 1997 Kabupaten Bogor ... 50

13. Grafik Luas Perubahan Penutupan Lahan (1997– 2002)

di Kabupaten Bogor ... 51 14. Peta Perubahan Penutupan Lahan (1997-2002)

di Kabupaten Bogor ... 53 15. Peta Pusat-pusat Perubahan Penutupan Lahan (1997-2002)

di Kabupaten Bogor ... 54 16. Peta Administrasi Wilayah Kota Bogor ... 55 17. Peta Kelas Kelerengan Kota Bogor ... 56 18. Peta RTRW Kota Bogor ... 58 19. Grafik Luas dan Proporsi Penutupan Lahan Tahun 2002

di Kota Bogor ... 59 20. Peta Penutupan Lahan Tahun 2002 Kota Bogor ... 60 21. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Terhadap RTRW


(25)

22. Grafik Luas dan Proporsi Penutupan Lahan Tahun 1997 Kota Bogor ... 66 23. Grafik PerubahanPenutupan Lahan (1997–2002) Kota Bogor ... 66 24. Peta Penutupan Lahan Tahun 1997 Kota Bogor ... 68 25. Peta Perubahan Penutupan Lahan Kota Bogor ... 69 26. Peta Pusat-pusat Perubahan Penutupan Lahan Kota Bogor ... 70


(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Teks

Nomor Halaman

1. Tabel Luas Penutupan Lahan Tahun 1997 Menurut Kecamatan

di Kabupaten Bogor ... 76

2. Tabel Luas Penutupan Lahan Tahun 2002 Menururt Kecamatan

di Kabupaten Bogor ... 77

3. Tabel Kelas Kelerengan Menurut Kecamatan di Kabupaten Bogor ... 78

4. Tabel Luas Inkonsistensi RTRW Menurut Desa

di Kabupaten Bogor ... 79

5. Tabel Variabel Data Te rkoleksi dari Data Potensi Desa Tahun 2002

Kabupaten Bogor ... 91

6. Tabel Set Data Baru Peubah Penentu Konsistensi RTRW

Kabupaten Bogor ... 93

7. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Produksi Menjadi Ruang Terbangun di Kabupaten Bogor ... 101

8. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Produksi Menjadi TPLB di Kabupaten Bogor ... 101

9. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Produksi Menjadi TPLK di Kabupaten Bogor ... 102

10. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Lindung Menjadi Ruang Terbangun di Kabupaten Bogor ... 102

11. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Lindung Menjadi TPLB di Kabupaten Bogor ... 103

12. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Hutan Lindung Menjadi TPLK di Kabupaten Bogor ... 103

13. Tabel Analisis Regr esi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Pertanian Menjadi Ruang Terbangun di Kabupaten Bogor ... 104

14. Tabel Luas Perubahan Penutupan Lahan (1997-2002) per Kecamatan

di Kabupaten Bogor ... 105

15. Tabel Luas Penutupan Lahan per Kecamatan Tahun 1997

di Kota Bogor ... 107

16. Tabel Luas Penutupan Lahan per Kecamatan Ta hun 2002


(27)

17. Tabel Luas Kecamatan Menurut Kelas Kelerengan

Kota Bogor ...….. 107

18. Tabel Luas Inkonsistensi RTRW per Desa

di Kota Bogor ... 108 19. Tabel Variabel Data Terkoleksi dari Data Potensi Desa Tahun 2002

Kota Bogor ... 110

20. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Lahan Konservasi Menjadi Ruang Terbangun di Kota Bogor ... 113

21. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Lahan Konservasi Menjadi TPLB di Kota Bogor ... 113

22. Tabel Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kawasan

Lahan Konservasi Menjadi TPLK di Kota Bogor ... 114 23. Tabel Set Data Baru Peubah Penentu Konsistensi RTRW

Kota Bogor ... 115 24. Tabel Luas Perubahan Penutupan Lahan (1997-2002) per Kecamatan


(28)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wilayah Bogor (Kabupaten dan Kota) memiliki arti penting bagi wilayah

Jakarta. Sebagai salah satu hinterland wilayah Jakarta, Bogor telah menjadi daerah

limpahan perluasan kawasan perkotaan untuk sektor permukiman, industri, maupun pariwisata. Selain itu, berdasarkan letak geografisnya Bogor merupakan daerah hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung yang mengalir ke wilayah Jakarta.

Pertambahan jumlah penduduk di wilayah Bogor baik karena proses alami maupun urbanisasi telah menimbulkan kebutuhan akan lahan (ruang) meningkat. Semakin bertambah jumlah penduduk, maka kebutuhan akan fasilitas pelayanan sosial terutama permukiman semakin meningkat. Potensi sumberdaya lahan tersedia dalam

jumlah tetap (fixed), sementara kebutuha n akan ruang terus meningkat sejalan dengan

bertambahnya jumlah penduduk. Untuk dapat memenuhi kebutuhan akan ruang (terutama permukiman) sebagai konsekuensi dari pertambahan jumlah penduduk, maka konversi lahan telah menjadi alternatifnya.

Konversi lahan umumnya dilakukan berdasarkan pertimbangan aspek fisik lahan dan aspek sosial ekonomi. Aspek fisik lahan (jenis tanah, ketinggian, kelerengan, iklim, geologi, dan lain-lain) merupakan aspek dasar yang sangat penting karena menyangkut kualitas lahan. Aspe k sosial ekonomi (pertumbuhan penduduk, pergeseran mata pencaharian, tingkat pendidikan, ketersediaan sarana dan prasarana) merupakan aspek penting lainnya yang menentukan terjadinya konversi lahan.

Pertimbangan-pertimbangan aspek fisik lahan dan aspek sosial ekonomi seringkali memiliki prespektif kepentingan yang berbeda. Aspek fisik lahan lebih mengarah pada kepentingan kelestarian alam sedangkan aspek sosial ekonomi lebih mengarah pada kesejahteraan sosial masyarakat. Namun demikian, dalam melakukan konversi lahan kedua kepentingan tersebut perlu diselaraskan guna dapat memberikan manfaat yang berkesinambungan.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan wujud dari upaya pemerintah untuk menyelaraskan aspek fisik lahan dengan aspek sosial ekonomi. Namun demikian, kompleksitas permasalahan sosial ekonomi masyarakat dan upaya meningkatan Pendapat Asli Daerah (PAD) seringkali melahirkan kebijakan-kebijakan baru yang kurang memperhatikan aspek fisik lahan sehingga dapat mengganggu


(29)

keseimbangan ekosistem. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya bencana seperti degradasi lahan, banjir, tanah longsor dan sebagainya yang dapat merugikan generasi sekarang maupun yang akan datang.

Bencana banjir yang menggenangi hampir 60% wilayah Jakarta di tahun 2002 dan 2003 telah menjadi isu yang cukup menarik perhatian baik nasional maupun internasional (Direktorat Jendral Penataan Ruang 2003). Beberapa pendapat menyatakan bahwa bencana banjir tersebut merupakan kiriman dari daerah hulu (Bogor) sebagai akibat dari perubahan penutupan lahan, sebagian lagi berpendapat bahwa tidak semata-mata kiriman dari daerah hulu (Bogor) tetapi disebabkan juga oleh faktor-faktor lain di daerah bencana seperti: curah hujan yang relatif tinggi, pasang air laut, perubahan penutupan lahan dan vegetasi. Menurut Direktorat Jendral Penataan Ruang (2003), terdapat beberapa permasalahan penting yang diduga mempengaruhi terjadinya bencana banjir tersebut, antara lain: berkurangnya fungsi kawasan-kawasan lindung di wilayah Bogor sebagai kawasan resapan air, dan berbagai inkonsistensi antara rencana dan pemanfaatan ruang. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka terdapat dua permasalahan pokok yang menarik untuk dikaji yakni: sejauh manakah pemanfaatan ruang wilayah Bogor konsisten denga n RTRW. Kedua, bagaimana kondisi perubahan penutupan lahan yang telah terjadi di wilayah Bogor.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) Menganalisis konsistensi RTRW dan faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW, dan 2) Menganalisis perubahan penutupan lahan dari tahun 1997 ke 2002 dan mengidentifikasi pusat-pusat perubahan penutupan lahan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi penting untuk menentukan langkah-langkah perbaikan apa yang perlu dilakukan guna mengantisipasi terjadinya bencana yang lebih besar.

Kerangka Pemikiran

Arahan pemanfaatan ruang secara umum (pertanian/non pertanian) pada dasarnya telah diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Berdasarkan peta RTRW diketahui, ba hwa setiap ruang dalam suatu wilayah dengan batasan administrasi


(30)

3 pemerintahan (Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota) telah dialokasikan penggunaannya dalam kawasan-kawasan tertentu. Hal tersebut dimaksudkan agar penggunaan lahan dapat memberikan manfaat yang optimal dan berkesinambungan. Peta RTRW pada tingkat Kabupaten atau Kota merupakan gambaran mengenai kondisi atau bentuk tata ruang pada 10 tahun mendatang sejak RTRW ditetapkan dengan asumsi bahwa pertambahan penduduk dan kebutuhan infrasturktur wilayah sesuai dengan prediksi yang dibuat.

Pesatnya pertambahan jumlah penduduk cenderung diikuti dengan meningkatnya aktifitas sosial ekonomi masyarakat. Dengan meningkatnya aktifitas tersebut maka kebutuhan akan lahan (ruang) menjadi meningkat pula baik pada lahan pertanian maupun non pertanian. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan/kesesuaian lahan dapat mengakibatkan terjadinya bencana seperti degradasi lahan, tanah longsor dan banjir.

Jenis penutupan lahan dan kondisi kelerengan suatu wilayah merupakan dua faktor fisik dari beberapa faktor fisik lainnya yang dapat berpengaruh terhadap laju aliran air hujan yang jatuh di permukaan bumi. Jenis penutupan lahan berupa ruang terbangun (permukiman, perkantoran, dan fasilitas sosial lainnya yang merupakan bangunan fisik) hampir tidak memiliki kemampuan dalam peresapan air hujan sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan. Sedangkan jenis penutupan lahan yang berbentuk vegetasi terutama vegetasi lebat/hutan memiliki kemampuan peresapan air hujan yang baik. Kecuraman lereng, panjang dan bentuk lereng (konvek atau konkaf) semuanya mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan (Arsyad 2000). Kondisi kelerengan suatu wilayah dapat berpengaruh terhadap laju aliran permukaan. Semakin curam lereng suatu wilayah semakin besar laju aliran permukaan.

Kondisi penutupan lahan yang merupakan gambaran dari pemanfaatan ruang suatu wilayah dapat dipantau secara cepat dan mudah melalui data penginderaan jauh. Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan salah satu teknologi yang dikembangkan untuk berbagai analisis yang menyangkut aspek spasial. Pada pengertian yang lebih luas SIG mencakup juga pengertian sebagai suatu sistem yang berorientasi operasi secara manual, yang berkaitan dengan operasi pengumpulan, penyimpanan dan manipulasi data yang bereferensi geografi secara konvensional (Barus dan Wiradisastra 2000).


(31)

Pengolahan data penginderaan jauh berupa peta-peta digital dilakukan secara

komputerisasi dengan menggunakan perangkat lunak ArcView Ver. 3.2. Overlay

merupakan salah satu fungsi analisis dari SIG. Dari hasil overlay tersebut diperoleh

poligon-poligon baru yang memiliki informasi tentang kondisi fisik wilayah berupa peta dan atribut. Informasi tersebut kemudian dijadikan sebagai data basis untuk berbagai analisis yang diperlukan seperti inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW, perubahan penutupan lahan.

Data atribut dari hasil overlay berupa luas perubahan penutupan lahan dan luas

inkonsistensi pemanfaatan ruang ter hadap RTRW kemudian dijadikan sebagai data dalam melakukan analisis selanjutnya untuk mengidentifikasi pusat-pusat perubahan

penutupan lahan dalam unit kecamatan dengan menggunakan metode Location

Quotient (LQ). Selain itu, data tersebut juga dipakai dalam analisis regresi guna

mengetahui keeratan hubungan antara luas area inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW dengan faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW dalam unit desa. Faktor -faktor yang mempengaruhi inkonsistensi diperoleh dari hasil

pengolahan data potensi desa dengan menggunakan analisis Principal Component


(32)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Ruang

Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Ruang (space) menurut istilah geografi secara umum adalah seluruh permukaan

bumi yang merupakan biosfer, tempat hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Ruang menurut istilah geografi regional sering diartikan sebagai suatu wilayah yang mempunyai batas geografi, yaitu batas menurut keadaan fisik, sosial, atau pemerintahan, yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah di bawahnya serta lapisan udara di atasnya (Jayadinata 1999).

Konsep Kewilayahan

Rustiadi et al. (2005) mengemukakan, beberapa istilah seperti ruang, wilayah,

dan kawasan seringkali di dalam penggunaannya tidak memiliki batasan yang jelas sehingga dapat saling dipertukarkan pengertiannya. Dari sisi teoritik sebenarnya tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah ruang, wilayah, dan kawasan, secara umum

semuanya dapat diistilahkan wilayah (region). Penggunaan istilah kawasan digunakan

karena adanya penekanan-penekanan fungsional dari suatu unit wilayah. Istilah mengenai ruang pada dasarnya merupakan unit geografis, karena merupakan peristilahan tentang bagian di atas permukaan bumi. Dengan demikian wilaya h dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas yang spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen dari wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling

berinteraksi secara fungsional. Batasan wilayah lebih bersifat “meaningful” baik untuk

perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi. Berdasarkan pengertian tersebut, maka batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti, tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah). Lebih lanjut dikemukakan, bahwa kerangka klasifikasi konsep wilayah yang dinilai lebih mampu menjelaskan berbagai konsep

wilayah yang dikenal selama ini, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah


(33)

region). Dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah ini, wilayah nodal hanya dipandang sebagai salah satu dari konsep wilayah sistem.

1. Wilayah Homogen

Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan

faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Homogenitas suatu

wilayah secara umum disebabkan oleh faktor alamiah dan faktor artificial. Faktor

alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas suatu wilayah adalah kemampuan

lahan, sedangkan faktor artific ial adalah homogenitas yang didasarkan pada

pengklasifikasian atas hal yang didasarkan faktor manusia, contohnya: kemiskinan Faktor dominan suatu wilayah pada dasarnya ditentukan oleh sistem penggunaan lahan yang didukung oleh potensi sumberdaya lahan (kemampuan dan kesesuaian) lahan tersebut. Penggunaan lahan yang sesuai dengan potensi sumberdaya lahan cenderung memberikan output yang lebih baik dibandingkan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensi sumberdaya lahannya. Sebagai contoh, penggunaan lahan didaerah Pantura Jawa didominasi oleh pertanian sawah, hal ini karena didukung oleh potensi sumberdaya lahannya. Dengan adaya dukungan potensi sumberdaya lahan maka dapat terjadi penghemata n-penghematan biaya proses produksi (input) sehingga budidaya padi lebih menguntungkan. Kondisi ini yang mencirikan daerah Pantura Jawa sebagai Wilayah homogen (produsen padi).

Berdasarkan definisi di atas maka wilayah dapat diartikan sebagai suatu unit geografi memiliki batas -batas tertentu yang spesifik dimana komponen-komponen penyusunnya saling berinteraksi satu sama lain. Komponen-komponen dimaksud

mencakup sumberdaya alam (natural resources), sumberdaya buatan (man-made

resources) dan sumbedaya manusia (human resources). Interaksi yang terjadi diantara

komponen-komponen tersebut membentuk suatu sistem yang sangat kompleks dan memiliki ketergantungan satu dengan lainnya. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa batas wilayah tidak selalu bersifat fisik tetapi seringkali bersifat dinamis.

2. Wilayah Nodal

Wilayah nodal (nodal region) adalah wilayah yang secara fungsional


(34)

7 suatu sistem dilandasi atas pemikiran bahw a komponen-komponen di suatu wilayah memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan.

Berdasarkan komponen-komponen yang membentuknya maka wilayah sebagai

sistem dapat dibagi menjadi wilayah sistem sederhana (dikotomis) dan wilayah sistem

kompleks (non dikotomis). Sistem sederhana adalah sistem yang bertumpu atas konsep

ketergantungan dua komponen wilayah (urban-rural, budidaya-non budidaya).

3. Wilayah Administratif

Wilayah administratif adalah wilayah yang batas-batas nya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa/Kelurahan, RT/RW.

Seringkali pengertian wilayah dalam konteks pembangunan lebih mengarah kepada wilayah administratif. Menurut Soekirno (1976) hal tersebut disebabkan oleh 2 faktor yakni: (a) Dalam melaksanakan kebijaksanaan dan rencana pembangunan wilayah diperlukan tindakan-tindakan dari berbagai badan pemerintahan. Dengan demikian lebih praktis apabila berbagai wilayah didasarka n pada satu wilayah administrasi yang telah ada, (b) wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan atas satuan administrasi pemerintahan lebih mudah di analisis, karena sejak lama pengumpulan data diberbagai bagian wilayah berdasarkan pada satuan wilayah administratisi tersebut.

4. Wilayah Perencanaan

Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapat sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang pada umumnya bersifat alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral, misalnya Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS sebagai kesatuan hidroorologis harus dikelola secara terpadu mulai dari hulu sampai hilir, karena perlakuan di hulu akan berakibat pada bagian hilir. Seringkali suatu DAS mencakup lebih dari satu wilayah administratif, oleh sebab itu perlu adanya koordinasi antar wilayah yang termasuk di dalam DAS tersebut dalam pengelolaannya.

Rencana Tata Ruang

Rustiadi et al. (2005) mengemukakan, Perencanaan Tata Ruang sering

disalahartikan sebagai suatu proses dimana perencanaan mengarahkan masyarakat


(35)

ruang yang modern, perencanaan ruang diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial dan ekonomi untuk mendukung dan me ngarahkan pemanfaatan ruang didalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas agar memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan. Sasaran utama perencanaan tata ruang dapat dikelompokkan atas tiga sasaran umum: (1) efisien, (2) keadilan dan akseptabilitas masyarakat, dan (3) keberlanjutan. Sasaran efisien merujuk pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan ruang diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (publik). Tata ruang harus merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat, oleh karenanya perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan tata ruang juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan kesejahteraan secara

berkelanjutan (sustainable).

Rencana tata ruang digambarkan dalam peta wilayah negara Indonesia, peta wilayah Propinsi, peta wilayah Kabupaten, dan peta wilayah Kota, yang tingkat ketelitiannya diatur dalam peraturan per undang-undangan. Dalam konteks pembangunan wilayah, perencanaan penataan ruang dapat dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi atau upaya pemerintah untuk menuju keterpaduan pembangunan melalui kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang guna menstimulasi sekaligus mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan pemanfaatan ruang suatu wilayah (Maryudi dan Napitupulu 2001).

Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, rencana tata ruang dibedakan atas:

a. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional untuk jangka waktu 25 tahun.

b. Rencana Tata Ruang wilayah Proponsi untuk jangka waktu 15 tahun.

c. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota jangka waktu 10 tahun. (saat ini

sedang direvisi akibat berbagai perkembangan dan diberlakukannya undang-undang no. 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi dengan undang-undang 32/2004 mengenai Pemerintah Daerah).

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW) Nasional merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara. RTRW Nasional berisi:


(36)

9

a. Penetapan kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan tertentu yang

ditetapkan secara nasional.

b. Norma dan kriteria pemanfaatan ruang.

c. Pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.

RTRW Nasional menjadi pedoman untuk:

a. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah nasional.

b. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar

wilayah serta keserasian antar sektor.

c. Pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat.

d. Penataan ruang wilayah Propinsi dan wilayah Kabupaten/Kota.

Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi

Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Propinsi. RTRW Propinsi berisi:

a. Pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya.

b. Pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu.

c. Pengembangan kawasan permukiman, kehutanan, pertanian, pertambangan,

perindustrian, pariwisata dan kawasan lainnya.

d. Pengembangan sistem pusat permukiman, perdesaan dan perkotaan.

e. Pengembangan sistem prasarana wilayah, meliputi transportasi, telekomunikasi,

energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan.

f. Pengembagan kawasan yang dipropritaskan.

g. Kebijakan tataguna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber

daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan sumber daya manusia dan sumber daya buatan.

RTRW Propinsi menjadi pedoman untuk:

a. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah Propinsi.

b. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar

wilayah Propinsi serta keserasian antar sektor.


(37)

d. Penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota yang merupakan dasar dalam pengawasan terhadap perizinan lokasi pembangunan.

Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota

Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi ke dalam strategi pelaksanaan manfaat ruang wilayah Kabupaten/Kota. RTRW Kabupaten/Kota berisi:

a. Pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya.

b. Pengelolaan kawasan perdesaan, perkotaan, dan kawasan tertentu.

c. Sistem kegiatan pembangunan dan sistem permukiman perdesaan dan

perkotaan.

d. Sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana

pengelolaan lingkungan.

e. Penatagunaan sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan

dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan. RTRW Kabupaten/Kota menjadi pedoman untuk:

a. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten/

Kota.

b. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar

wilayah Kabupaten/Kota serta keserasian antar sektor.

c. Penetapan lokasi investasi, yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat

di Kabupaten/Kota.

d. Penyusunan rencana rinci tata ruang di Kabupaten/Kota.

e. Pelaksanaan pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan

pembangunan.

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor (1999-2009)

Tujuan penyusunan RTRW Kabupaten Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah Kabupaten Bogor 2000) adalah:

1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang wilayah yang berkelanjutan dan

berwawasan linkungan sesuai dengan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta kebijaksanaan pembangunan nasional dan daerah.


(38)

11

2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan kawasan lindung dan kawasan

budidaya di perkotaan, kawasan perdesaan, dan kawasan tertentu yang ada di daerah.

3. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya

buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia.

4. Terwujudnya masyarakat yang sejahtera.

5. Terwujudnya rencana pemanfaatan ruang Kabupaten Bogor yang serasi dan

optimal sesuai dengan kebutuhan dan daya dukung lingkungan serta sesuai pula dengan kebijaksanaan pembangunan nasional dan daerah.

Sehubungan dengan pengembangan wilayah JABOTABEK (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) maka RTRW Kabupaten Bogor memiliki kebijaksanaan Tiga fungsi, yakni: 1) Penyangga bagi DKI Jakarta, berupa pengembangan permukiman perkotaan sebagai bagian dalam sistem Metropolitan Jabotabek, 2) Konservasi, berkenaan dengan posisi geografisnya di bagian hulu dalam tata air untuk Metropolitan Jabotabek, 3) Pengembangan pertanian khususnya hortikultura, sehubungan dengan perkembangan dan keunggulan yang telah ada, yang selanjutnya makin dipacu.

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Lindung Kabupaten Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor 2000)

Penetapan kawasan lindung didasarkan atas pola topografi, jenis tanah, pola aliran air (hidrologi), pemanfaatan lahan yang ada, serta berbagai penetapan kawasan lindung. Khusus kawasan lindung berskala luas diperoleh suatu pola bahwa kawasan lindung dimaksud terletak di kawasan hulu yaitu bagian selatan wilayah Kabupaten Bogor (yang merupakan hulu mayor/utama). Berdasarkan Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, maka bentuk kawasan lindung mencakup hutan lindung dan hutan suaka alam/taman nasional. Sementara untuk kawasan hulu minor (Kompleks Gunung Manceuri, dan Kompleks Gunung Hambalang) arahan pemanfaatan adalah budidaya terbatas, yaitu terutama berupa hutan produksi. Bentuk-bentuk kawasan lindung lainnya adalah kawasan perlindungan setempat (sempadan sungai, sempadan situ/danau), kawasan cagar budaya, dan kawasan bencana alam.


(39)

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Kabupaten Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor 2000)

1. Kawasan Hutan Produksi

Kawasan hutan produksi selain mempunyai fungsi produksi juga berperan sebagai pendukung untuk konservasi.

2. Kawasan Pertanian

a. Kawasan pertanian lahan basah (sawah dan tambak).

b. Kawasan pertanian lahan kering (kebun campuran dan tegalan).

c. Kawasan tanaman tahunan/perkebunan (selain berfungsi produksi

diharapkan juga sebagai pendukung konservasi).

3. Kawasan Pertambangan

Kawasan ini sangat terkait dengan deposit bahan tambang yang dieksploitasi. Bentuknya mencakup bahan galian C, dan Emas (di Gunung Pongkor).

4. Kawasan Peruntukan Industri

Secara umum peruntukan industri mencakup industri mengelompok (konsentrasi) dan menyebar (sporadis). Arahan konsentrasi industri adalah mengikuti konsentrasi industri yang telah ada, seperti di Kecamatan Citeureup, Cileungsi, dan Gunung Putri. Sementara yang tersebar tapi cenderung agak berdekatan terdapat di Kecamatan Cibinong dan Sukaraja.

5. Kawasan Pariwisata

Arahan pengembangan kawasan pariwisata terkait dengan pengembangan kegiatan periwisata yang ada dewasa ini dan pengembangan kawasan yang baru. Kawasan ini diarahkan pada wilayah Kecamatan Cisarua, Megamendung, Sukaraja, Pamijahan, Ciomas, Cibungbulang, dan Ciampea.

6. Kawasan Permukiman

Kawasan permukiman terdiri atas permukiman perkotaan dan perdesaan. Secara prinsip permukiman perkotaan dominan non pertanian, sementara kawasan perdesaan dominan kegiatan pertanian.

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor (Tahun 1999-2009)

Tujuan penyusunan RTRW Kota Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bogor 2000) adalah:


(40)

13

1. Meningkatkan fungsi dan peranan Kota Bogor dalam konteks dan konstelasi

regional serta mampu berfungsi sebagai sub pusat dalam sistem pengembangan regional (Tingkat Provinsi dan Jabotabek).

2. Menciptakan kelestarian lingkungan permukiman dan kegiatan kota yang

merupakan usaha menciptakan hubungan yang serasi antar manusia dan lingkungannya, yang tercermin dari pola intensitas penggunaan ruang kota.

3. Meningkatkan daya guna dan hasil guna pelayanan, dengan mengembangkan

fasilitas, sarana maupun prasarana yang merupakan upaya pemanfaatan ruang secara optimal. Hal ini tercermin dalam penentuan jenjang pelayanan kegiatan-kegiatan kota dan sistem jaringan jalan kota.

4. Memberikan kepastian hukum dalam hal pemanfaatan ruang yang merangsang

partisipasi investor dalam mengembangkan potensi yang ada.

5. Mengarahkan pembangunan kota yang lebih tegas dalam rangka upaya

pengendalian, pengawasan perencanaan pembangunan fisik kota baik kualitas maupun kuantitasnya.

6. Membantu penetapan prioritas pengembangan kota dan memudahkan

penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota disetiap kecamatan untuk dijadikan pedoman bagi tertib pengaturan ruang.

Sebagai bagian yang integral dalam wilayah Jabotabek maka Kota Bogor

diarahkan sebagai: (1) Kota yang difungsikan sebagai Counter Magnet bagi

perkembangan DKI Jakarta, (2) Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dengan kegiatan utama perdagangan regional, jasa, permukiman dan industri dengan kapasitas tampung mencapai 1.5 juta jiwa pada tahun 2005, dan (3) Kota yang dapat membantu DKI Jakarta dalam pengendalian banjir melalui pembangunan sodetan Ciliwung–Cisadane.

Rencana Penggunaan Lahan Kota Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bogor 2000)

Secara umum rencana penggunaan lahan Kota Bogor diklasifikasikan menjadi Kawasan Lahan Terbangun, Kawasan Belum Terbangun dan Kawasan Lahan yang Tidak Boleh Dibangun atau Lahan Konservasi.

1. Kawasan Lahan Terbangun

Kawasan lahan terbangun terdiri dari pemanfaatan lahan permukiman, pendidikan, peribadatan, kesehatan, perdagangan dan jasa, industri,


(41)

perkantoran/pemerintahan, rumah potong hewan/pasar hewan, Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), terminal/sub-terminal dan stasiun kereta api serta jalan.

2. Kawasan Lahan Belum Terbangun

Kawasan lahan belum terbangun terdiri dari jenis pemanfaatan lahan pertanian dan kebun campuran.

3. Kawasan Lahan Tidak Boleh Dibangun/Lahan Konservasi

Kawasan konservasi terdiri dari kebun raya, hutan kota, taman dan jalur hijau, kawasan hijau, lapangan olah raga, daerah aliran sungai serta situ-situ alami maupun buatan.

Land Rent

Land rent dapat diartikan sebagai pendapatan bersih yang diterima suatu bidang

lahan per satuan luas dalam waktu tertentu sebagai akibat dilakukannya kegiatan

ekonomi pada lahan tersebut. Land rent umumnya bervariasi menurut kondisi fisik

dan aktivitas sosial ekonomi pada lahan tersebut. Kondisi fisik lahan seperti topografi, jenis tanah, vegetasi, iklim dan lain-lain merupakan faktor -faktor pembatas dalam menentukan aktivitas pemanfaatan suatu lahan untuk tujuan produksi. Sedangkan tingkat kepadatan penduduk dan tingginya interaksi spasial antar wilayah merupakan bagian dari faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap land rent.

Land rent dapat dibedakan menjadi ricardian rent, location rent, dan

environment rent. Rustiadi et al. (2005) mengemukakan, ricardian rent adalah rent

yang timbul sebagai akibat dari kualitas dan daya dukung fisik (faktor intrinsik) lahan. Nilai intrinsik yang terkandung dalam sebidang lahan seperti kesuburan dan topografi

merupakan keunggulan produktifitas dari lahan lain. Location rent adalah rent atau

surplus yang timbul sebagai akibat lokasi/jarak suatu lahan relatif terhadap suatu

kegiatan tertentu (konsep Charles Trobout). Environmental rent adalah rent yang

timbul karena pada dasarnya setiap bidang lahan mempunyai fungsi ekologis. Jika penggunaan lahan tersebut mengganggu fungsi ekologis, maka akan terjadi biaya sosial yang ditanggung oleh orang lain. Misalnya salah satu persyaratan tata kota yang baik adalah suplai air, karena itu intensitas penutupan vegetasi lahan di daerah peresapan air harus tinggi untuk meningkatkan penyerapan air, karena jika faktor -faktor lain tetap, maka peresapan air tergantung pada intensitas penutupan vegetasi.


(42)

15

Penutupan dan Penggunaan Lahan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini. Penggunaan lahan secara umum

(major kinds of land use) adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti

pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi. Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan untuk evaluasi lahan

secara kualitatif atau dalam survai tinjau (reconnaissance) (Hardjowigeno dan

Widiatmaka 2001).

Saefulhakim (1994) mengemukakan, bahwa lahan terkait dengan karakteristik

fisik lahan seperti kemiringan (slope), pola drainase, resiko banjir, bencana erosi,

lokasi, dan tempat tumbuh tanaman. Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna, dan manusia di masa lalu maupun di masa kini.

Penutupan lahan (land cover) dan penggunaan lahan (land use) merupakan dua

istilah yang digunakan untuk memberikan gambaran tentang kondisi permukaan bumi. Menurut Marsh (1991) diacu dalam Saefulhakim (1994), penutupan lahan diartikan sebagai bahan-bahan dari vegetasi dan fondasi yang menutup tanah, sedangkan

penggunaan lahan (land use) dianalogkan dengan aktivitas manusia di atas lahan dalam

upaya memenuhi kebutuhannya. Disamping itu, penggunaan lahan dapat pula diartikan sebagai aktivitas manusia yang mencirikan suatu daerah sebagai daerah pertanian, industri dan permukiman.

Arsyad (2000) mengemukakan, bahwa penggunaan lahan diartikan sebagai bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian itu sendiri dibedakan berdasarkan penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini dikenal macam penggunaan lahan


(43)

seperti tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya.

Menurut Saefulhakim dan Nasoetion (1995), penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, perubahan yang terus menerus sebagai hasil dari perubahan pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu, sehingga masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan masalah yang kompleks.

Rustiadi et al. (2005) mengemukakan bahwa penutupan lahan dan penggunaan

lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, namun sebenarnya

mengandung penekanan yang berbeda. Penutupan lahan (land cover) lebih bernuansa

fisik, sedangkan penggunaan lahan (land use) menyangkut aspek aktivitas pemanfaatan

oleh manusia.

Istilah pemanfaatan lahan (ruang) dan penggunaan lahan sering juga memiliki pengertian yang saling dipertukarkan. Istilah penggunaan lahan didasarkan atas pertimbangan efektifitas atau kemampuan/kesesuaian lahan. Sedangkan istilah pemanfaatan ruang le bih didasarkan atas pertimbangan efisiensi atau berhubungan dengan keuntungan, jadi pemanfaatan ruang bisa dilakukan untuk suatu aktifitas produksi yang sesuai dengan kemampuan/kesesuaian lahan dan bisa juga tidak sesuai dengan kemampuan/kesesuaian lahan.

Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan dapat di artikan sebagai suatu proses pilihan pemanfaatan ruang guna memperoleh manfaat yang optimum, baik untuk pertanian maupun non pertanian. Menurut Saefulhakim (1999) secara umum struktur yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni: (1) struktur permintaan atau kebutuhan lahan, (2) struktur penawaran atau ketersediaan lahan, dan (3) struktur penguasaan teknologi yang berdampak pada produktifitas sumber daya alam.

Secara umum, struktur permintaan atau kebutuhan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama, yakni: (1) deforestasi baik ke arah pertanian maupun non-pertanian, (2) konversi lahan pertanian ke non-pertanian, (3) penelantaran lahan. Aspek permintaan lahan memiliki keterkaitan dengan kebijakan dan program pemerintah untuk meningkatkan efisiensi sosial ekonomi, industri dan kelembagaan, penurunan tingkah laku spekulatif dan pengontrolan peningkatan jumlah penduduk.


(44)

17 Penawaran sumberdaya lahan/ketersediaan lahan memiliki keterbatasan yakni luasan permukaan yang tetap dan kualitas lahan yang bervariasi serta penyebarannya secara spasial tidak merata, hal tersebut menyebabkan penawaran penggunaan lahan bersifat inelastik terhadap besarnya permintaan akan lahan. Hal lain yang juga berpengaruh terhadap penawaran sumberdaya lahan adalah penggunaan lahan saat ini. Penggunaan lahan untuk permukiman, industri dan fasilitas sosial ekonomi memiliki elastisitas yang rendah untuk berubah. Sedangkan penggunaan lahan untuk pertanian, kehutanan dan perkebunan memiliki elastisitas yang lebih tinggi untuk berubah ke penggunaan lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan efisiensi dalam penggunaan lahan, dimana penggunaan lahan untuk permukiman dan fasilitas sosial memiliki efisiensi lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan pertanian dan kehutanan.

Struktur penguasaan teknologi berkaitan langsung dengan produktivitas lahan. Penggunaan teknologi yang tepat dan benar akan memberikan manfaat atau produksi yang maksimum. Produktivitas lahan dengan teknologi yang tepat akan mampu menurunkan ketergantungan terhadap ekstensifikasi usahatani dan upaya meningkatkan produksi pertanian.

Alih fungsi lahan berskala luas maupun kecil seringkali memiliki permasalahan klasik berupa: (1) efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, (2) keterkaitannya dengan masalah pemerataan dan penguasaan sumberdaya, serta (3) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Ketiga masalah di atas memiliki keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya, sehingga permasalahan-permasalahan tersebut tidak bersifat independen dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan yang parsial

namun memerlukan pendekatan-pendekatan yang integratif (Rustiadi et al. 2005).

Klasifikasi Penutupan Lahan

Kondisi penutupan lahan dapat berbeda dari satu lokasi ke lokasi yang lain dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Salah satu upaya untuk mengenali/membedakan kondisi te rsebut guna mengetahui perubahan yang terjadi adalah dengan melakukan klasifikasi yang umumnya disesuaikan dengan kebutuhan.

Penutupan lahan di kawasan Jabotabek dapat diklasifikasikan menjadi 5 klasifikasi penutupan lahan (Lembaga Penelitian IPB 2002), yakni: Badan air, Hutan dan Vegetasi Lebat, Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB), dan Tanaman Pertanian


(45)

Lahan Kering (TPLK). Badan Air merupakan area penutupan lahan berupa air yang memiliki fungsi utama konservasi. Hutan dan vegetasi lebat merupakan area penutupan lahan berupa vegetasi dengan tajuk rapat, dan memiliki kemampuan daya resap air hujan serta tidak memiliki bentuk/pola tertentu. TPLB merupakan penutupan lahan berupa vegetasi/air yang memiliki fungsi utama budidaya dan memiliki bentuk dengan pola tertentu serta teridentifikasi sebagai sawah/tambak. TPLK merupakan area penutupan lahan berupa vegetasi tidak rapat yang memiliki fungsi utama budidaya dan memiliki bentuk/pola tertentu serta teridentifikasi sebagai tegal, kebun campuran, rumput semak, belukar.

Sistem Informasi Geografi (SIG)

SIG adalah suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi yang mencakup (a) pemasukan, (b) manajemen data (penyimpanan data dan pemanggilan lagi), (c) manipulasi dan analisis, (d) pengembangan produk dan pencetakan (Aronof 1989 diacu dalam Barus dan Wiradisastra 2000). Definisi lain mengatakan, SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, memeriksa, mengintegrasikan, dan menganalisa informasi-informasi yang berhubungan dengan permukaan bumi (Demers 1997 diacu dalam Prahasta 2002).

Komponen SIG

SIG di dalam prosesnya memiliki beberapa komponen utama (Prahasta 2002), yakni:

a. Data Input

Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dar i berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggungjawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan format-format data-data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG.

b. Data Output

Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian

basisdata baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy seperti: tabel, grafik,


(46)

19

c. Data Management

Subsistem ini mengorganisasikan ba ik data spasial maupun atribut ke dalam

sebuah basisdata sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update, dan di-edit.

d. Data Manipulation dan Analysis

Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.

Fungsi Analisis

Kemampuan SIG dapat juga dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukannya. Secara umum, terdapat dua jenis fungsi analisis, yakni: fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut (Prahasta 2002).

1. Fungsi analisis spasial

a. Klasifikasi dan Reklasifikasi (classify and reclassify)

Fungsi ini mengklasifikasikan atau mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu. Misalnya, dengan menggunakan data spasial ketinggian permukaan bumi (topografi), dapat diturunkan data spasial kemiringan atau gradien permukaan bumi yang dinyatakan dalam persentase nilai-nilai kemiringan. Nilai-nilai persentase kemiringan ini dapat diklasifikasikan hingga menjadi data spasial baru yang dapat digunakan untuk merancang perencanaan pengembangan suatu wilayah. Adapun contoh kriteria yang digunakan adalah 0-14% untuk pemukiman, 15-29% untuk pertanian dan perkebunan, 30-44% untuk hutan produksi, dan 45% ke atas untuk hutan lindung dan taman nasional. Contoh lain dari manfaat analisis spasial ini adalah untuk mendapatkan data spasial kesuburan tanah dar i data spasial kadar air atau kedalaman air tanah, kedalaman efektif, dan sebagainya.

b. Network

Fungsi ini merujuk data spasial titik-titik (point) atau garis -garis (lines) sebagai

suatu jaringan yang tidak terpisahkan. Fungsi ini sering digunakan dalam bidang-bidang transportasi dan utility (misalnya aplikasi jaringan kabel listrik, komunikasi, pipa minyak dan gas, air minum, saluran pembuangan). Sebagai contoh, dengan fungsi


(47)

menggunakan selisih absis dan ordinal titik awal dan titik akhirnya , teta pi

menggunakan cara lain yang terdapat di dalam lingkup network , yakni cari seluruh

kombinasi jalan-jalan (segmen-segmen) yang menghubungkan titik awal dan titik akhir yang dimaksud. Pada setiap kombinasi, hitung jarak titik awal dan akhir dengan mengakumulasikan jarak-jarak segmen-segmen yang membentuknya. Pilih jarak terpendek (terkecil) dari kombinasi-kombinasi yang ada (Prahasta 2002).

c. Overlay (Tumpang susun)

Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukkannya. Sebagai contoh, bila untuk menghasilkan wilayah-wilayah yang sesua i untuk budidaya tanaman tertentu (misalnya padi) diperlukan data ketinggian permukaan bumi, kadar air tanah, dan jenis tanah, maka fungsi analisis spasial overlay akan dikenakan terhada p ketiga data spasial (dan atribut) tersebut.

d. Buffering

Fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya. Data spasial titik akan menghasilkan data spasial baru yang berupa lingkaran-lingkaran yang mengelilingi titik -titik pusatnya. Untuk data spasial garis akan menghasilkan data spasial baru yang berupa poligon-poligon yang melingkupi garis-garis. Demikian pula untuk data spasial poligon, akan menghasilkan data spasial baru yang berupa poligon-poligon yang lebih besar dan konsentris.

e. 3D analysis

Fungsi ini terdiri dari sub-sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi data spasial dalam ruang 3 dimensi. Fungsi analisis spasial ini banyak menggunakan fungsi interpolasi. Sebagai contoh, untuk mena mpilkan data spasial ketinggian, tataguna tanah, jaringan jalan dan utility dalam bentuk model 3 dimensi, fungsi analisis ini banyak digunakan.

f. Fungsi Pengolahan Citra Digital(Digital Image Processing)

Fungsi ini dimiliki oleh perangkat SIG yang berbasiskan raster. Karena data spasial permukaan bumi (citra digital) banyak didapat dari perekaman data satelit yang berformat raster, maka banyak SIG raster yang juga dilengkapi dengan fungsi analisis ini. Fungsi analisis spasial ini terdiri dari banyak sub-sub fungsi analisis pengolahan citra digital. Sebagai contoh adalah sub fungsi untuk koreks i radiometrik, geometrik,


(48)

21 filtering, clustering dan sebagainya. Dan masih banyak fungsi-fungsi analisis spasial lainnya yang umum dan secara rutin digunakan di dalam SIG .

2. Fungsi analisis atribut terdiri dari:

a. Operasi dasar basisdata mencakup:

• Membuat basisdata baru (create database).

• Menghapus basisdata (drop database).

• Membuat tabel basisdata (create table).

• Menghapus tabel basisdata (drop table).

• Mengisi dan menyis ipkan data (record) ke dala m tabel (insert).

• Membaca dan mencari data (field atau record) dari tabel basisdata (seek, find,

search, retrieve).

• Mengubah dan meng-e dit data yang terdapat di dalam tabel basisdata (update)

• Menghapus data dari tabel basisdata (delete, zap, pack).

• Membuat indeks untuk setiap tabel basisdata.

b. Perluasan operasi basisdata mencakup:

• Membaca dan menulis basisdata dalam sistem basisdata yang lain (export dan

import).

• Dapat berkomunikasi dengan sistem basisdata yang lain.

• Dapat menggunakan bahasa basisdata standard SQL (structured query

language).

• Operasi-operasi atau fungsi analisis lain yang sudah rutin digunakan di dalam

sistem basisdata.

Berdasarkan beberapa definisi dan fungsi analisis SIG di atas, maka dapat dikatakan bahwa SIG merupakan teknologi informasi berbasis komputer yang bukan hanya semata-mata sebagai alat bantu pemetaan saja, tetapi memiliki kemampuan dalam melakukan analisis, prediksi, pemodelan dan pengolahan data atribut.


(49)

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah Kabupaten dan Kota Bogor. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Perencanaan Pengembangan Wilayah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai bulan Pebruari sampai dengan Agustus 2005.

Jenis Data dan Alat

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data spasial digital dan data Potensi Desa (PODES) tahun 2002. Data spasial digital yang digunakan meliputi: Penutupan Lahan Tahun 1997 dan Tahun 2002 skala 1: 250.000, Wilayah Administrasi Tahun 2002 skala 1: 250.000, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor (1999–2009) dan Kota Bogor (1999– 2009) skala 1: 250.000, serta Data Potensi Desa tahun 2002 yang meliputi data kependudukan, sarana dan prasarana, sosial ekonomi, dan lain-lain (Laboratorium Perencanaan Pengembangan Wilayah

(personal Comunication) seijin Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr). Data Kelas Lereng

skala 1: 250.000 diperoleh dari Ir. Ita Carolita, M.Si (personal Comunication). Alat

yang digunakan adalah seperangkat komputer, dengan perangkat lunak ArcView 3.2.,

Statistica 6.0., dan Microsoft Excel.

Metode Penelitian

Metode penelitian ini terdiri dari enam tahapan utama yakni: 1) Editing peta 2)

Overlay peta, 3) Analisis konsistensi RTRW, 4) Analsisis faktor-faktor yang

mempengaruhi inkonsistensi RTRW, 5) analsisis perubahan penutupan lahan, 6) identifikasi pusat-pusat perubahan penutupan lahan. Tahapan analisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Editing peta (lihat Gambar 1 halaman 30)

Data peta penutupan lahan wilayah Bogor tahun 2002 dikelompokkan dalam 10 jenis penutupan lahan, yakni: Air, Belukar, Kebun Campur, Lahan Terbuka, Perkebunan, Rumput Semak, Sawah, Sungai/Rawa/Situ, Tambak, dan Urban/Suburban. Sedangkan data peta penutupan lahan wilayah Bogor tahun 1997 dikelompokkan dalam 5 jenis penutupan lahan, yakni: Badan Air, Hutan dan vegetasi lebat, Ruang terbangun,


(50)

23 (TPLK). Untuk mempermudah dalam melakukan analisis perubahan penutupan lahan (sesuai dengan tujuan penelitian), maka dilakukan editing/pengelompokkan jenis penutupan lahan tahun 2002 yang disesuaikan dengan jumlah dan jenis penutupan lahan tahun 1997. Pengelompokkan/penggambungan beberapa jenis penutupan lahan lebih mudah dan lebih dapat dipertanggungjawabkan dibanding dengan melakukan

pemisahan/memilah-milah polygon yang telah terbentuk menjadi jenis penutupan lahan

yang berbeda.

Hasil pengelompokkan jenis penutupan lahan tahun 2002 dapat dijelaskan sebagai berikut: Badan Air merupakan kelompok jenis penutupan lahan alami atau buatan berupa air yang memiliki fungsi utama sebagai penampung/resapan air dan tempat mengalirkan air guna pengendalian aliran permukaan (terdiri dari sungai, rawa, dan situ). Hutan dan vegetasi lebat merupakan jenis penutupan lahan alami maupun buatan yang terdeteksi memiliki vegetasi lebat baik pada kawasan resapan air maupun kawasan lainnya dan yang dapat berfungsi untuk pengendalian aliran permukaan. Ruang Terbangun merupakan jenis penutupan lahan yang terdeteksi tidak memiliki vegetasi (Urban, Suburban, Lahan Terbuka). Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB) merupakan jenis penutupan lahan yang teridiri sawah dan tambak untuk tujuan budidaya. Tanaman Pertanian Lahan Kering (TPLK) merupakan jenis penutupan lahan yang terdiri dari kebun campuran, serta belukar dan rumput/semak yang berada pa da kawasan pertanian lahan kering untuk tujuan budidaya.

Proses pengelompokan penutupan lahan di atas berbeda dengan yang dilakukan oleh Tim Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor (LP IPB) tahun 2002. Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan ole h Tim LP IPB menggunakan Citra Landsat TM, dengan identifikasi path: 122, row: 064 dan 065 untuk mengkaji wilayah

seluas Jabodetabek. Metode yang digunakan adalah unsupervised clasification dan

membagi penutupan lahan menjadi 5 klasifikasi yaitu: Tanaman Pertanian Lahan Kering (TPLK), Ruang Terbangun, Hutan, Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB), dan Badan Air.

2) Overlay/Intersect(lihat Gambar 1 halaman 30)

Overlay/tumpangtindih peta merupakan salah satu fungsi dari SIG yang

bertujuan untuk menghasilka n data spasial baru dari minimal 2 data spasial yang menjadi masukkannya (Prahasta 2002).


(51)

Peta-peta digital yang terdiri dari peta penutupan lahan tahun 1997 dan 2002, peta RTRW, Peta Kelas Kelerengan, peta Administrasi wilayah (Kecamatan dan Desa)

di overlay/tumpangtindih. Overlay tersebut menghasilkan sebuah peta dimana setiap

poligonnya memiliki data dari semua peta yang menjadi masukkannya. Selanjutnya, peta tersebut dijadikan sebagai basis data dalam analsis SIG selanjutnya yakni untuk analisis Konsistensi RTRW dan Perubahan Penutupan Lahan.

3) Analisis Konsistensi RTRW (lihat Gambar 2 halaman 31)

Tujuan analisis ini adalah untuk melihat seberapa jauh tingkat konsistensi dan inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW. Analisis ini dilakukan dengan cara

membandingkan peta RTRW dengan peta penutupan lahan (land cover) tahun 2002.

Basis data SIG (pada poin 2) yang menyangkut data atribut RTRW dan

penutupan lahan tahun 2002 dieksport ke microsoft excel dan diolah. Pengolahan

dilakukan dengan cara membuat kolom baru yang memberikan informasi mengenai jenis penutupan lahan yang berada pada kawasan-kawasan yang telah ditetapkan dalam

RTRW (RTRW à Land Cover). Selanjutnya, hasil olahan data tersebut dikembalikan

kedalam basis data SIG dalam bentuk. Dengan demikian, dari basis data SIG tersebut dapat dimanipulasi untuk menampilkan data spasial yang konsisten atau inkonsisten terhadap RTRW.

Istilah “Konsistensi/Inkonsistensi” RTRW digunakan karena memiliki pengertian yang lebih longgar dalam hubungannya dengan tenggang waktu. Jangka waktu RTRW Kabupaten dan Kota Bogor adalah sepuluh tahun, yakni dari tahun 1999 sampai 2009 sedangkan data spasial pembanding dalam penelitian ini adalah penutupan lahan tahun 2002, hal ini berarti bahwa RTRW baru berjalan kurang lebih 3 tahun. Sehingga istilah lain seperti “penyimpangan” RTRW cukup riskan untuk digunakan, mengingat masa pelaksanaan RTRW baik Kabupaten Bogor maupun Kota Bogor masih berjalan sampai tujuh tahun lagi. Hal ini menunjukkan bahwa upaya-upaya pencapaian target yang ditetapkan dalam RTRW masih dalam proses dan belum final.

Penentuan konsistensi dan inkonsistensi dilakukan berdasarkan model logika efektifitas tata ruang (Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor 2002) (lihat Tabel 1 dan 2 halaman 25). Hal yang paling mendasar untuk dimengerti dari model logika ini

adalah, bahwa alih fungsi lahan menjadi ruang terbangun memiliki sifat irreversible,


(1)

Lanjutan Tabel Lampiran 19

(1) (2) (3)

45 Invers Jarak Desa ke Poliklinik /Balai Pengobatan (km) V701C3

46 Jumlah Puskesmas (unit) V701D2

47 Invers Jarak Desa ke Puskesmas (km) V701D3

48 Jumlah Puskesmas Pembantu (unit) V701E2

49 Invers Jarak Desa ke Puskesmas Pembantu (km) V7 01E3

50 Jumlah Tempat Praktek Dokter (unit) V701F2

51 Invers Jarak Desa ke Tempat Praktek Dokter (km) V701F3

52 Jumlah Tempat Praktek Bidan (unit) V701G2

53 Invers Jarak Desa ke Tempat Praktek Bidan (km) V701G3

54 Jumlah Posyandu (unit) V701H2

55 Jumlah Polindes (unit) V701I2

56 Invers Jarak Desa ke Polindes (km) V701I3

57 Jumlah Apotik (unit) V701J2

58 Invers Jarak Desa ke Apotik (km) V701J3

59 Jumlah Pos Obat Desa (unit) V701K2

60 Invers Jarak Desa ke Pos Obat Desa (km) V701K3

61 Jumlah T oko Khusus Obat/Jamu (unit) V701L2

62 Invers Jarak Desa ke Toko Khusus Obat/Jamu (km) V701L3

63 Rasio Dokter pria (jiwa) V703A1

64 Rasio Dokter wanita (jiwa) V703A2

65 Rasio Bidan (jiwa) V703B1

66 Rasio Bidan di desa. sesuai SK penempatan (jiwa) V703B2 67 Rasio Jumlah surat miskin yang dikeluarkan desa/kelurahan (Jiwa) V704A 68 Rasio keluarga menerima "kartu sehat" setahun teakhir (keluarga) V705 69 Rasio keluarga yang berlangganan telpon (keluarga) V1101 70 Jumlah Wartel/kiospon/warpostel/Warparp ostel (unit) V1103

71 Jumlah Warung internet (unit) V1104

72 Rasio keluarga yang mempunyai pesawat TV (keluarga) V1107

73 Rasio Lahan Sawah (Ha) V1202

74 Rasio Sawah berpengairan yang diusahakan (Ha) V1202A 75 Rasio Sawah tidak berpengairan yang tidak diusahakan (Ha) V1202B

76 Rasio Sawah sementara tidak diusahakan V1202C

77 Rasio Lahan bukan sawah (Ha) V1203

78 Rasio Ladang/ tegal/ kebun/ empang/ penggembalaan (Ha) V1203A

79 Rasio Perkebunan (Ha) V1203B

80 Rasio Hutan rakyat (Ha) V1203C

81 Rasio Perumahan dan pemukiman (Ha) V1203D

82 Rasio Lahan untuk bangunan industri (Ha) V1203E 83 Rasio Lahan untuk bangunan lainnya (perkantoran. pertokoan) (Ha) V1203F 84 Rasio lainnya (tidak termasuk hutan negara) (Ha) V1203G 85 Rasio Lahan bukan sawah yang sementara tidak diusahakan (Ha) V1203H

86 Jumlah Toko/Warung/Kios (unit) V1501

87 Invers Jarak Pertokoan Terdekat (km) V1502B


(2)

Lanjutan Tabel Lampiran 19

(1) (2) (3)

93 Jumlah Industri Kerajinan dari Kulit (unit) V1512A4 94 Jumlah Industri Kerajinan dari Kayu (unit) V1512B4 95 Jumlah Industri Kerajinan dari Logam/Logam Mulia (unit) V1512C4 96 Jumlah Industri Anyaman/Gerabah/Keramik (unit) V1512D4 97 Jumlah Industri Kerajinan dari Kain/Tenun (unit) V1512E4 98 Jumlah Industri Kerajinan Makanan (unit) V1512F4 99 Jumlah Industri Kerajinan Lainnya (unit) V1512G4


(3)

Tabel Lampiran 20 Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang

Kawasan Lahan Konservasi Menjadi Ruang Terbangun

di Kota Bogor

Regression Summary for Dependent Variable: K1 (reg kota.sta) R= .44240259 R²= .19572005 Adjusted R²= .07091799 F(9,58)=1.5682 p<.14657 Std.Error of estimate: 3.2616

St. Err. St. Err.

BETA of BETA B of B t(58) p-level

Intercpt 1.470588 0.3955246 3.7180698 0.0004543 FACTOR_1 -0.072868 0.1177578 -0.2465688 0.3984654 -0.6187959 0.5384737 FACTOR_2 -0.0863326 0.1177578 -0.2921299 0.3984654 -0.7331375 0.4664275 FACTOR_3 -0.0842014 0.1177578 -0.2849182 0.3984654 -0.7150388 0.4774535 FACTOR_4 0.3367842 0.1177578 1.139601 0.3984654 2.8599743 0.00588* FACTOR_5 -0.0913127 0.1177578 -0.3089812 0.3984654 -0.775428 0.441237 FACTOR_6 -0.0087088 0.1177578 -0.0294686 0.3984654 -0.0739551 0.9413006 FACTOR_7 0.1361824 0.1177578 0.4608101 0.3984654 1.156462 0.2522334 FACTOR_8 0.0562272 0.1177578 0.1902601 0.3984654 0.477482 0.6348134 FACTOR_9 -0.1797845 0.1177578 -0.6083498 0.3984654 -1.5267318 0.132263 Keterangan: * = Berpengaruh nyata

Tabel Lampiran 21 Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang

Kawasan Lahan Konservasi Menjadi Tanaman Pertanian

Lahan Basah (TPLB) di Kota Bogor

Regression Summary for Dependent Variable: K2 (reg kota.sta) R= .44888228 R²= .20149530 Adjusted R²= .07758940 F(9,58)=1.6262 p<.12918 Std.Error of estimate: 6.5909

St. Err. St. Err.

BETA of BETA B of B t(58) p-level

Intercpt 1.470588 0.7992645 1.8399268 0.0708978

FACTOR_1 -0.0392081 0.1173342 -0.2690662 0.8052071 -0.3341578 0.7394658 FACTOR_2 -0.2516093 0.1173342 -1.72667 0.8052071 -2.1443808 0.036205* FACTOR_3 -0.1154587 0.1173342 -0.7923365 0.8052071 -0.9840157 0.3291949 FACTOR_4 0.100485 0.1173342 0.6895789 0.8052071 0.8563994 0.3953013 FACTOR_5 0.0363252 0.1173342 0.2492817 0.8052071 0.309587 0.7579845 FACTOR_6 0.03185 0.1173342 0.2185707 0.8052071 0.2714466 0.7870114 FACTOR_7 -0.076863 0.1173342 -0.527473 0.8052071 -0.6550774 0.5150077 FACTOR_8 0.2016371 0.1173342 1.3837364 0.8052071 1.718485 0.0910424 FACTOR_9 -0.2536207 0.1173342 -1.74047 0.8052071 -2.1615234 0.034795* Keterangan: * = Berpengaruh nyata


(4)

Tabel Lampiran 22 Analisis Regresi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang

Kawasan Lahan Konservasi Menjadi Tanaman Pertanian

Lahan Kering (TPLK) di Kota Bogor

Regression Summary for Dependent Variable: K3 (reg kota.sta) R= .54464733 R²= .29664071 Adjusted R²= .18749875 F(9,58)=2.7179 p<.01029 Std.Error of estimate: 4.0613

St. Err. St. Err.

BETA of BETA B of B t(58) p-level

Intercpt 1.470588 0.4925022 2.9859527 0.0041356 FACTOR_1 -0.0657885 0.1101221 -0.2964151 0.496164 -0.5974136 0.5525566 FACTOR_2 -0.2581306 0.1101221 -1.16303 0.496164 -2.3440397 0.022523 * FACTOR_3 -0.1488879 0.1101221 -0.6708263 0.496164 -1.3520254 0.181616 FACTOR_4 0.0726632 0.1101221 0.3273896 0.496164 0.6598416 0.5119673 FACTOR_5 -0.2577455 0.1101221 -1.16129 0.496164 -2.340542 0.022716 * FACTOR_6 -0.0326932 0.1101221 -0.1473018 0.496164 -0.2968813 0.7676177 FACTOR_7 0.034007 0.1101221 0.1532211 0.496164 0.3088115 0.7585715 FACTOR_8 0.1581845 0.1101221 0.7127126 0.496164 1.4364458 0.1562478 FACTOR_9 -0.3233469 0.1101221 -1.45687 0.496164 -2.9362573 0.004756 * Keterangan: * = Berpengaruh nyata


(5)

(6)

Tabel Lampiran 24 Luas Perubahan Penutupan Lahan (1997– 2002) di Kota Bogor

No KECAMATAN Luas (Ha)

Badan Air ---> Ruang Terbangun

Ht & Veg Lebat --- >

Ruang Terbangun

TPLB ---> Ruang Terbangun

TPLK --- > Ruang Terbangun

Badan Air --- >

TPLK

Ht & Veg Lebat --- >

TPLK

TPLB ---> TPLK

1 BOGOR BARAT 2757.08 16.38 48.71 0.05

2 BOGOR SELATAN 3749.53 17.89 1.26 0.19 121.03

3 BOGOR TENGAH 838.70 17.31 0.18 9.72

4 BOGOR TIMUR 1236.06 10.72 3.14

5 BOGOR UTARA 1879.21 0.12 5.43 1.11

6 TANAH SAREAL 1981.21 8.68 2.39