Kandungan Asam Fitat dan Kualitas Dedak Padi yang Disimpan dalam Keadaan Anaerob.

(1)

KANDUNGAN ASAM FITAT DAN KUALITAS DEDAK PADI

YANG DISIMPAN DALAM KEADAAN ANAEROB

SKRIPSI

RETNO IRIANINGRUM

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(2)

RINGKASAN

RETNO IRIANINGRUM. D24051203. 2009. Kandungan Asam Fitat dan Kualitas Dedak Padi yang Disimpan dalam Keadaan Anaerob. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Abdul Djamil Hasjmy, MS. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Nahrowi, MSc.

Dedak padi merupakan hasil samping dari proses penggilingan padi menjadi beras, sehingga ketersediaannya berfluktuasi sepanjang tahun sesuai dengan musim panen. Pada musim panen padi jumlahnya melimpah dan harganya relatif murah, sedangkan pada musim kemarau jumlahnya berkurang dan harganya tinggi. Selain itu permasalahan lain yang terdapat dalam dedak padi yaitu adanya ketidakstabilan dedak selama proses penyimpanan. Ketidakstabilan dapat disebabkan oleh adanya aktifitas enzim yang dapat menyebabkan kerusakan atau ketengikan oksidatif pada komponen minyak yang ada dalam dedak padi.

Lebih jauh, dedak padi mengandung antinutrisi asam fitat sehingga penggunaannya dibatasi dalam ransum. Asam fitat mampu berikatan dengan mineral, protein dan pati membentuk garam atau komplek seperti fitat-mineral, fitat-protein, fitat mineral protein dan fitat-mineral-protein-pati. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dapat diterapkan metode penyimpanan dedak padi dalam keadaan anaerob. Metode ini mampu menurunkan kandungan asam fitat serta mempertahankan kualitas dedak padi selama proses penyimpanan.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2008 sampai bulan Maret 2009 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik, kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, keberadaan serangga serta kandungan asam fitat dari dedak padi yang disimpan dalam keadaan anaerob.

Bahan yang digunakan adalah dedak padi sebanyak 36 kg yang diperoleh dari penggilingan padi di daerah Darmaga. Perlakuan yang diberikan pada dedak padi meliputi 4 macam perlakuan, yaitu P1 = Dedak padi tanpa perlakuan (kontrol), P2 = Dedak padi yang dibuat silase tanpa penambahan bakteri asam laktat, P3 = Dedak padi yang dibuat silase dengan penambahan bakteri asam laktat dan P4 = Dedak padi yang dibuat silase yang dikeringkan. Peubah yang diamati antara lain sifat organoleptik (sifat fisik dedak padi), komposisi asam fitat (%),Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) (%), dan keberadaan serangga. Rancangan percobaan yang digunakan yaitu menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan 2 faktor (faktor A dan Faktor B) dan 3 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan Sidik Ragam (ANOVA) dan apabila terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji kontras orthogonal.

Perlakuan fermentasi dan lama penyimpanan sangat nyata berpengaruh menurunkan kandungan asam fitat dari 6,70% menjadi 2,07% dan meningkatkan nilai KCBK dan KCBO. Terjadi interaksi antara waktu penyimpanan dan perlakuan terhadap kandungan asam fitat dan KCBK, sedangkan pada nilai KCBO tidak terjadi interaksi. Nilai asam fitat yang paling rendah terdapat pada perlakuan P2 yang disimpan selama 12 minggu, sedangkan nilai KCBK pada perlakuan P2 dan P3 dengan nilai 70,56% dan


(3)

69,72% sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P1 dan P4 dengan nilai 63,06% dan 56,24% di waktu penyimpanan 12 minggu. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penyimpanan dedak padi dalam keadaan anaerob dapat mempertahankan kualitas, menurunkan kandungan asam fitat serta meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik.


(4)

ABSTRACT

The Quality and Phytic Acid Content of Rice Bran Stored in Anaerobic Condition

R. Irianingrum, A. D. Hasjmy and Nahrowi

The aim of this research was to study the physical characteristics, dry matter digestibility (DMD), organic matter digestibility (OMD) , and the occurance of the fungi as well as the content of phytic acid in rice bran stored in the anaerobic condition. The experiment was carried out using a Factorial randomized completely design with 2 factors and 3 replication. Factor A consisted of P1 = Rice bran without treatment (control), P2 = Silage of rice bran without additive, P3 = Silage of rice bran with additive and P4 = Silage of rice bran dried. Factor B consisted of time of storage i.e : 0 weeks, 6 weeks and 12 weeks. The variables observed in this experiment were the organoleptic characteristics (the physical characteristics of rice bran), the phytic acid, DMD, OMD, and the occurance of insects. The data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) and differences among treatments were tested by orthogonal contrast test (Steel and Torrie, 1993). The results showed that the treatments of fermentation and time of storage were significantly (P<0.01) decreased the phytic acid from 6.7% until 2.07% and increased the DMD and OMD value. There were interaction between time of storage and the treatmens on the content of phytic acid and DMD, but it was not happened in the DMO value. The phytic acid content was the lowest in the treatment P2 stored during 12 weeks. The DMD value in P2 and P3 were higher (P<0.01) than those of P1 and P4 (P<0.01). It is concluded that the quality withstanded phytic acid decreased and digestibility increased when rice bran was stored under anaerobic condition.


(5)

KANDUNGAN ASAM FITAT DAN KUALITAS DEDAK PADI

YANG DISIMPAN DALAM KEADAAN ANAEROB

RETNO IRIANINGRUM D24051203

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(6)

KANDUNGAN ASAM FITAT DAN KUALITAS DEDAK PADI

YANG DISIMPAN DALAM KEADAAN ANAEROB

Oleh :

RETNO IRIANINGRUM D24051203

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 26 Agustus 2009

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Ir. Abdul Djamil Hasjmy, M.S. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. NIP. 194606261974121000 NIP. 196204251986031002

Dekan Ketua Departermen

Fakultas Peternakan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr. Dr. Idat Galih Permana, M.Sc. NIP. 196701071991091003 NIP. 1967050619910311001


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Agustus 1986 di Jayapura. Penulis adalah anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan bapak Drs. Tunjung Priyatmo dan Ibu Sringatin.

Pendidikan dasar penulis diselesaikan di SDN 03 Pagi Cipinang pada tahun 1998. Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama diselesaikan di SLTPN 92 Rawamangun pada tahun 2001 dan Pendidikan Lanjutan Tingkat Atas diselesaikan di SMUN 22 Jakarta Timur pada tahun 2004.

Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB pada tahun 2005 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan pada tahun 2006 penulis berhasil diterima di Fakultas Peternakan dengan Mayor Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP) dan Minor Ilmu Gizi Masyarakat. Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah menjadi juara III lomba cerdas cermat Tingkat TPB yang diadakan oleh Fakultas Teknologi Pertanian (FATETA). Penulis pernah aktif menjadi staf Public Relation organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan periode 2006/2007. Penulis juga terlibat dalam anggota kepanitiaan Fapet Expo 2007 sebagai divisi hubungan masyarakat dan aktif sebagai anggota paduan suara “Graziono Shimponia” Fakultas Peternakan pada periode 2006/2007. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan magang di Taman Burung, Taman Mini Indonesia Indah – Jakarta Timur selama 2 minggu pada tahun 2007.


(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim. Assalamu’alaikum Wr.Wb,penulis panjatkan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penelitian dan skripsi dengan judul Kandungan Asam Phytat dan Kualitas Dedak Padi yang Disimpan dalam Keadaan Anaerob. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2008 sampai dengan bulan Maret 2009 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Dedak padi merupakan hasil ikutan proses penggilingan padi menjadi beras, sehingga ketersediaannya melimpah pada saat musim panen. Tetapi penggunaan dedak padi sebagai makanan ternak dibatasi oleh adanya ketidakstabilan dedak selama penyimpanan. Dedak padi yang disimpan terlalu lama dalam keadaan terbuka akan mengalami proses ketengikan yang diakibatkan oleh aktivitas enzim dalam dedak. Selain itu dedak padi mengandung antinutrisi asam fitat yang menyebabkan penggunaannya dibatasi dalam penyusunan ransum. Asam fitat akan berikatan dengan mineral dan nutrisi lainnya yang akan membentuk garam tidak larut sehingga mineral dan nutrisi tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak. Hal ini menyebabkan diperlukannya teknologi penyimpanan yang dapat mengatasi permasalahan tersebebut. Pengolahan fermentasi anaerob menjadi silase dapat berfungsi untuk mengawetkan dedak padi. Pembuatan silase ini diharapkan dapat memperpanjang waktu simpan serta dapat menurunkan kandungan asam fitat dedak padi sehingga penggunaannya dapat lebih maksimal dalam ransum. Penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai kualitas dedak padi yang disimpan dengan tidak diberi perlakuan dan dedak padi yang disimpan dengan diberi perlakuan penambahan bahan aditif.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi Penulis khususnya dan pembaca umumnya, Amien.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bogor, 12 Agustus 2009 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN... i

ABSTRACT ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

LEMBAR PENGESAHAN... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah... 2

Hipotesa ... 3

Tujuan... 3

TINJAUAN PUSTAKA Dedak Padi... 4

Permasalahan Dedak Padi ... 5

Kandungan Serat Dedak Padi ... 5

Ketengikan Dedak Padi ... 6

Fitat Sebagai Antinutrisi dalam Dedak Padi... 7

Asam Fitat... 7

Karakteristik Asam Fitat... 7

Tipe Asam Fitat ... 8

Keberadaan Asam Fitat dalam Tumbuhan ... 9

Degradasi Asam Fitat ... 9

Silase... 10

Tujuan Pembuatan Silase... 10

Kelebihan Silase dibandingkan Hay ... 11

Pembuatan Silase... 11

Karakteristik Silase yang Baik ... 12

Kadar Air Silase... 12

Bakteri Asam Laktat... 12

Peranan Bakteri Asam Laktat ... 13

Kelompok Bakteri Asam Laktat ... 13


(10)

METODE

Lokasi dan Waktu... 15

Materi... 15

Rancangan Percobaan... 15

Metode ... 17

Tahap Persiapan Bahan ... 17

Tahap Peremajaan Bakteri Asam Laktat ... 17

Tahap Penyimpanan ... 18

Tahap Pengamatan dan Analisis... 18

Pengamatan Sifat Organoleptik ... 18

Prosedur Analisis Asam Fitat ... 18

Analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik...18

Pengamatan Serangga... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Organoleptik... 20

Kandungan Asam Fitat ... 23

Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO)26 Keberadaan Serangga ... 39

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 32

Saran ... 32

UCAPAN TERIMA KASIH ... 33

DAFTAR PUSTAKA... 34


(11)

KANDUNGAN ASAM FITAT DAN KUALITAS DEDAK PADI

YANG DISIMPAN DALAM KEADAAN ANAEROB

SKRIPSI

RETNO IRIANINGRUM

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(12)

RINGKASAN

RETNO IRIANINGRUM. D24051203. 2009. Kandungan Asam Fitat dan Kualitas Dedak Padi yang Disimpan dalam Keadaan Anaerob. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Abdul Djamil Hasjmy, MS. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Nahrowi, MSc.

Dedak padi merupakan hasil samping dari proses penggilingan padi menjadi beras, sehingga ketersediaannya berfluktuasi sepanjang tahun sesuai dengan musim panen. Pada musim panen padi jumlahnya melimpah dan harganya relatif murah, sedangkan pada musim kemarau jumlahnya berkurang dan harganya tinggi. Selain itu permasalahan lain yang terdapat dalam dedak padi yaitu adanya ketidakstabilan dedak selama proses penyimpanan. Ketidakstabilan dapat disebabkan oleh adanya aktifitas enzim yang dapat menyebabkan kerusakan atau ketengikan oksidatif pada komponen minyak yang ada dalam dedak padi.

Lebih jauh, dedak padi mengandung antinutrisi asam fitat sehingga penggunaannya dibatasi dalam ransum. Asam fitat mampu berikatan dengan mineral, protein dan pati membentuk garam atau komplek seperti fitat-mineral, fitat-protein, fitat mineral protein dan fitat-mineral-protein-pati. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dapat diterapkan metode penyimpanan dedak padi dalam keadaan anaerob. Metode ini mampu menurunkan kandungan asam fitat serta mempertahankan kualitas dedak padi selama proses penyimpanan.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2008 sampai bulan Maret 2009 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik, kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, keberadaan serangga serta kandungan asam fitat dari dedak padi yang disimpan dalam keadaan anaerob.

Bahan yang digunakan adalah dedak padi sebanyak 36 kg yang diperoleh dari penggilingan padi di daerah Darmaga. Perlakuan yang diberikan pada dedak padi meliputi 4 macam perlakuan, yaitu P1 = Dedak padi tanpa perlakuan (kontrol), P2 = Dedak padi yang dibuat silase tanpa penambahan bakteri asam laktat, P3 = Dedak padi yang dibuat silase dengan penambahan bakteri asam laktat dan P4 = Dedak padi yang dibuat silase yang dikeringkan. Peubah yang diamati antara lain sifat organoleptik (sifat fisik dedak padi), komposisi asam fitat (%),Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) (%), dan keberadaan serangga. Rancangan percobaan yang digunakan yaitu menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan 2 faktor (faktor A dan Faktor B) dan 3 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan Sidik Ragam (ANOVA) dan apabila terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji kontras orthogonal.

Perlakuan fermentasi dan lama penyimpanan sangat nyata berpengaruh menurunkan kandungan asam fitat dari 6,70% menjadi 2,07% dan meningkatkan nilai KCBK dan KCBO. Terjadi interaksi antara waktu penyimpanan dan perlakuan terhadap kandungan asam fitat dan KCBK, sedangkan pada nilai KCBO tidak terjadi interaksi. Nilai asam fitat yang paling rendah terdapat pada perlakuan P2 yang disimpan selama 12 minggu, sedangkan nilai KCBK pada perlakuan P2 dan P3 dengan nilai 70,56% dan


(13)

69,72% sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P1 dan P4 dengan nilai 63,06% dan 56,24% di waktu penyimpanan 12 minggu. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penyimpanan dedak padi dalam keadaan anaerob dapat mempertahankan kualitas, menurunkan kandungan asam fitat serta meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik.


(14)

ABSTRACT

The Quality and Phytic Acid Content of Rice Bran Stored in Anaerobic Condition

R. Irianingrum, A. D. Hasjmy and Nahrowi

The aim of this research was to study the physical characteristics, dry matter digestibility (DMD), organic matter digestibility (OMD) , and the occurance of the fungi as well as the content of phytic acid in rice bran stored in the anaerobic condition. The experiment was carried out using a Factorial randomized completely design with 2 factors and 3 replication. Factor A consisted of P1 = Rice bran without treatment (control), P2 = Silage of rice bran without additive, P3 = Silage of rice bran with additive and P4 = Silage of rice bran dried. Factor B consisted of time of storage i.e : 0 weeks, 6 weeks and 12 weeks. The variables observed in this experiment were the organoleptic characteristics (the physical characteristics of rice bran), the phytic acid, DMD, OMD, and the occurance of insects. The data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) and differences among treatments were tested by orthogonal contrast test (Steel and Torrie, 1993). The results showed that the treatments of fermentation and time of storage were significantly (P<0.01) decreased the phytic acid from 6.7% until 2.07% and increased the DMD and OMD value. There were interaction between time of storage and the treatmens on the content of phytic acid and DMD, but it was not happened in the DMO value. The phytic acid content was the lowest in the treatment P2 stored during 12 weeks. The DMD value in P2 and P3 were higher (P<0.01) than those of P1 and P4 (P<0.01). It is concluded that the quality withstanded phytic acid decreased and digestibility increased when rice bran was stored under anaerobic condition.


(15)

KANDUNGAN ASAM FITAT DAN KUALITAS DEDAK PADI

YANG DISIMPAN DALAM KEADAAN ANAEROB

RETNO IRIANINGRUM D24051203

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(16)

KANDUNGAN ASAM FITAT DAN KUALITAS DEDAK PADI

YANG DISIMPAN DALAM KEADAAN ANAEROB

Oleh :

RETNO IRIANINGRUM D24051203

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 26 Agustus 2009

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Ir. Abdul Djamil Hasjmy, M.S. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. NIP. 194606261974121000 NIP. 196204251986031002

Dekan Ketua Departermen

Fakultas Peternakan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr. Dr. Idat Galih Permana, M.Sc. NIP. 196701071991091003 NIP. 1967050619910311001


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Agustus 1986 di Jayapura. Penulis adalah anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan bapak Drs. Tunjung Priyatmo dan Ibu Sringatin.

Pendidikan dasar penulis diselesaikan di SDN 03 Pagi Cipinang pada tahun 1998. Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama diselesaikan di SLTPN 92 Rawamangun pada tahun 2001 dan Pendidikan Lanjutan Tingkat Atas diselesaikan di SMUN 22 Jakarta Timur pada tahun 2004.

Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB pada tahun 2005 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan pada tahun 2006 penulis berhasil diterima di Fakultas Peternakan dengan Mayor Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP) dan Minor Ilmu Gizi Masyarakat. Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah menjadi juara III lomba cerdas cermat Tingkat TPB yang diadakan oleh Fakultas Teknologi Pertanian (FATETA). Penulis pernah aktif menjadi staf Public Relation organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan periode 2006/2007. Penulis juga terlibat dalam anggota kepanitiaan Fapet Expo 2007 sebagai divisi hubungan masyarakat dan aktif sebagai anggota paduan suara “Graziono Shimponia” Fakultas Peternakan pada periode 2006/2007. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan magang di Taman Burung, Taman Mini Indonesia Indah – Jakarta Timur selama 2 minggu pada tahun 2007.


(18)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim. Assalamu’alaikum Wr.Wb,penulis panjatkan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penelitian dan skripsi dengan judul Kandungan Asam Phytat dan Kualitas Dedak Padi yang Disimpan dalam Keadaan Anaerob. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2008 sampai dengan bulan Maret 2009 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Dedak padi merupakan hasil ikutan proses penggilingan padi menjadi beras, sehingga ketersediaannya melimpah pada saat musim panen. Tetapi penggunaan dedak padi sebagai makanan ternak dibatasi oleh adanya ketidakstabilan dedak selama penyimpanan. Dedak padi yang disimpan terlalu lama dalam keadaan terbuka akan mengalami proses ketengikan yang diakibatkan oleh aktivitas enzim dalam dedak. Selain itu dedak padi mengandung antinutrisi asam fitat yang menyebabkan penggunaannya dibatasi dalam penyusunan ransum. Asam fitat akan berikatan dengan mineral dan nutrisi lainnya yang akan membentuk garam tidak larut sehingga mineral dan nutrisi tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak. Hal ini menyebabkan diperlukannya teknologi penyimpanan yang dapat mengatasi permasalahan tersebebut. Pengolahan fermentasi anaerob menjadi silase dapat berfungsi untuk mengawetkan dedak padi. Pembuatan silase ini diharapkan dapat memperpanjang waktu simpan serta dapat menurunkan kandungan asam fitat dedak padi sehingga penggunaannya dapat lebih maksimal dalam ransum. Penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai kualitas dedak padi yang disimpan dengan tidak diberi perlakuan dan dedak padi yang disimpan dengan diberi perlakuan penambahan bahan aditif.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi Penulis khususnya dan pembaca umumnya, Amien.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bogor, 12 Agustus 2009 Penulis


(19)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN... i

ABSTRACT ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

LEMBAR PENGESAHAN... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah... 2

Hipotesa ... 3

Tujuan... 3

TINJAUAN PUSTAKA Dedak Padi... 4

Permasalahan Dedak Padi ... 5

Kandungan Serat Dedak Padi ... 5

Ketengikan Dedak Padi ... 6

Fitat Sebagai Antinutrisi dalam Dedak Padi... 7

Asam Fitat... 7

Karakteristik Asam Fitat... 7

Tipe Asam Fitat ... 8

Keberadaan Asam Fitat dalam Tumbuhan ... 9

Degradasi Asam Fitat ... 9

Silase... 10

Tujuan Pembuatan Silase... 10

Kelebihan Silase dibandingkan Hay ... 11

Pembuatan Silase... 11

Karakteristik Silase yang Baik ... 12

Kadar Air Silase... 12

Bakteri Asam Laktat... 12

Peranan Bakteri Asam Laktat ... 13

Kelompok Bakteri Asam Laktat ... 13


(20)

METODE

Lokasi dan Waktu... 15

Materi... 15

Rancangan Percobaan... 15

Metode ... 17

Tahap Persiapan Bahan ... 17

Tahap Peremajaan Bakteri Asam Laktat ... 17

Tahap Penyimpanan ... 18

Tahap Pengamatan dan Analisis... 18

Pengamatan Sifat Organoleptik ... 18

Prosedur Analisis Asam Fitat ... 18

Analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik...18

Pengamatan Serangga... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Organoleptik... 20

Kandungan Asam Fitat ... 23

Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO)26 Keberadaan Serangga ... 39

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 32

Saran ... 32

UCAPAN TERIMA KASIH ... 33

DAFTAR PUSTAKA... 34


(21)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Produksi Dedak di Indonesia ... 4

2. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dedak Padi... 5

3. Sifat Organoleptik Silase Dedak Padi ... 20

4. Rataan Kadar Asam Fitat... 24

5. Rataan Nilai Koefisien Cerna Bahan Kering... 27

6. Rataan Nilai Koefisien Cerna Bahan Organik...28


(22)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman 1. Skema Permasalahan yang Terdapat ada Dedak Padi ... 2 2. Struktur Asam Fitat ... 8 3. Degradasi Asam Fitat oleh Enzim Fitase ... 10 4. Diagram Alir Proses Peremajaan Bakteri Asam Laktat ...17 5. Silase Dedak Padi yang Ditambahkan Bakteri Asam Laktat ... 21 6. Dedak Padi Kontrol ... 21 7. Permukaan Silase yang Ditumbuhi oleh Jamur... 23 8. Kumbang Tepung Merah ...30


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Analisis Ragam terhadap Kandungan Asam Fitat Dedak Padi ... 39 2. Analisis Ragam terhadap Kecernaan Bahan Kering Dedak Padi ... 42 3. Analisis Ragam terhadap Kecernaan Bahan Organik Dedak Padi ... 45


(24)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Dedak padi merupakan hasil samping dari proses penggilingan padi menjadi beras. Penggunaan dedak padi sebagai makanan ternak dibatasi oleh adanya ketidakstabilan dedak selama penyimpanan. Ketidakstabilan ini terutama disebabkan oleh adanya enzim lipase yang terdapat dalam dedak. Selain itu didalam dedak padi juga terdapat enzim peroksidase yang dapat menyebabkan kerusakan atau ketengikan oksidatif pada komponen minyak yang ada dalam dedak (Champagne, 2004).

Permasalahan lain yang ada dalam penggunaan dedak padi sebagai pakan ternak yaitu adanya kandungan asam fitat. Asam fitat akan membentuk garam yang tidak larut apabila asam fitat tersebut berikatan dengan fosfor dan mineral lain sehingga mineral-mineral tersebut tidak dapat diserap oleh usus. Asam fitat mempunyai muatan negatif pada pH rendah, pH netral dan pH tinggi. Sehingga asam fitat dapat berikatan dengan ion logam seperti P, Ca, Mg, Zn serta protein positif seperti gugus amino terminal pada pH dibawah titik isoeletriknya. Dengan terbentuknya senyawa fitat-mineral atau fitat protein yang tidak larut dapat menyebabkan penurunan ketersediaan mineral dan nilai gizi protein (Kornegay, 2001).

Untuk mengatasi masalah kualitas selama penyimpanan serta masalah asam fitat pada dedak padi maka dapat dilakukan penerapan teknologi fermentasi anaerob. Pengolahan fermentasi anaerob menjadi silase dapat berfungsi untuk mengawetkan pakan. Hal ini terjadi karena pada proses pembuatan silase terjadi penghambatan reaksi enzimatis yang terdapat dalam bahan pakan seperti dedak padi. Kondisi asam yang muncul pada proses pembuatan silase kemungkinan diduga dapat menghidrolisis asam fitat yang ada pada dedak padi. Terkait dengan hal tersebut teknologi fermentasi anaerob dapat digunakan untuk menurunkan kadar asam fitat dan proses untuk mengawetkan dedak.


(25)

Perumusan Masalah

Bahan pakan yang baik harus selalu tersedia dalam jumlah yang banyak dan kontinyu untuk konsumsi ternak. Produksi dedak padi yang melimpah pada waktu musim panen diharapkan dapat disimpan sebagai cadangan makanan di musim kemarau. Akan tetapi dedak padi memiliki kendala pada saat penyimpanan yaitu sifat dedak padi yang mudah tengik dan kandungan asam fitat. Asam fitat akan membentuk ikatan kompleks dengan beberapa mineral seperti fosfor sehingga mineral tersebut menjadi tidak tersedia bagi tubuh ternak. Menurut Lendrawati (2008) pH optimum aktifitas enzim fitase yang terdapat dalam dedak padi yaitu 4,5 sehingga teknik pengolahan fermentasi anaerob dapat dipakai untuk mengaktifkan enzim indigenus. Disamping itu asam yang terbentuk dalam keadaan anaerob juga akan berpengaruh dalam penurunan komposisi asam fitat.

Gambar 1. Skema Permasalahan yang Terkait pada Dedak Padi Masalah Terkait dengan

Dedak Padi

Ketersediaan Asam Fitat

Tidak Tahan Simpan Musiman

Kualitas dan Harga


(26)

Hipotesa

Hipotesa yang diajukan pada penelitian ini adalah penyimpanan dedak padi dalam keadaan anaerob dapat meningkatkan daya guna nutrien dedak padi yang ditunjukkan dengan meningkatnya nilai kecernaan dedak padi dan dapat menurunkan kandungan asam fitat dedak padi.

Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji mutu dedak padi yang disimpan dalam keadaan anaerob. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat fisik dan komposisi kimia dedak padi, keberadaan jamur serta kandungan asam fitat dari dedak padi yang disimpan dalam keadaan anaerob.


(27)

TINJAUAN PUSTAKA Dedak Padi

Dedak padi merupakan hasil ikutan penggilingan padi yang berasal dari lapisan luar beras pecah kulit dalam proses penyosohan beras. Proses pengolahan gabah menjadi beras akan menghasilkan dedak padi kira-kira sebanyak 10% pecahan-pecahan beras atau menir sebanyak 17%, tepung beras 3%, sekam 20% dan berasnya sendiri 50%. Persentase tersebut sangat bervariasi tergantung pada varietas dan umur padi, derajat penggilingan serta penyosohannya (Grist, 1972).

Menurut National Research Council (1994) dedak padi mengandung energi metabolis sebesar 2980 kkal/kg, protein kasar 12.9%, lemak 13%, serat kasar 11,4%, Ca 0,07%, P tersedia 0,22%, Mg 0,95% serta kadar air 9%. Dedak padi merupakan hasil sampingan proses penggilingan padi. Pemanfaatan dedak di Indonesia saat ini hanya terbatas pada pakan ternak. Hal ini sangat disayangkan, mengingat dedak padi dapat dimanfaatkan secara lebih maksimal. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai ekonomisnya adalah dengan mengekstrak minyak dedak (DSN, 2001).

Dedak merupakan limbah dalam proses pengolahan gabah menjadi beras yang mengandung “bagian luar” beras yang tidak terbawa, tetapi tercampur pula dengan bagian penutup beras itu. Hal inilah yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya kandungan serat kasar dedak (Rasyaf, 1990). Karena kandungan minyak yang tinggi, 6-10% dedak padi mudah mengalami ketengikan oksidatif. Dedak padi mentah yang dibiarkan pada suhu kamar selama 10-12 minggu dapat dipastikan 75-80% lemaknya berupa asam lemak bebas, yang sangat mudah tengik (Amrullah, 2002).

Produksi rata-rata dedak padi sebesar 4 juta ton/tahun. Data berikut ini merupakan besar produksi dedak padi di Indonesia.

Tabel 1. Produksi Padi di Indonesia

Tahun Produksi Padi (Ton) Perkiraan Produksi Dedak* (Ton)

2005 54.147.503 5.414.750,3

2006 54.660.000 5.466.000

2007 57.160.000 5.716.000

2008 60.250.000 6.025.000

2009 60.930.000 6.039.000

Dianggap 10 persen akan berupa dedak Sumber : Badan Pusat Statistik (2009)


(28)

Permasalahan Dedak Padi

Dedak padi cukup disenangi ternak tetapi pemakaian dedak padi dalam ransum ternak umumnya hanya sampai 15% dari campuran konsentrat karena dedak padi memiliki zat antinutrisi inhibitor tripsin dan asam fitat (Amrullah, 2002). Inhibitor tripsin dapat menghambat katabolisme protein, karena beberapa proteosa dan pepton dihancurkan oleh tripsin menjadi peptida sehingga apabila terganggu maka ketersediaan asam amino menurun (NRC, 1994).

Penggunaan dedak padi dalam jumlah besar pada ransum tidak memungkinkan dan perlu dibatasi. Jumlah dedak padi yang dapat digunakan dalam ransum unggas terbatas yaitu sebesar 10-20%. Salah satu pertimbangan pembatasan jumlah penggunaan dedak padi adalah asam fitat. Pada butir padi-padian yang sudah tua, P-fitat berjumlah sekitar 60 sampai 80 persen dari P total (Oberleas, 1973).

Kandungan Serat Dedak Padi

Dedak padi dispesifikasikan berdasarkan kandungan nutrien serta kandungan aflatoksin yang terdapat dalam dedak padi. Sehingga didapatkan 3 golongan dedak padi berdasarkan standar mutu dedak padi.

Tabel 2. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dedak Padi (SNI 01.3178-1996)

Komposisi Mutu I Mutu II Mutu III

Air (%) Maksimum 12 12 12

Protein Kasar (%) minimum 11 10 8

Serat Kasar (%) maksimum 11 14 16

Abu (%) maksimum 11 13 15

Lemak (%) maksimum 15 20 20

Asam Lemak bebas (%) terhadap lemak maksimum

5 8 8

Ca (%) 0,04-0,3 0,04-0,3 0,04-0,3

P (%) 0,6-1,6 0,6-1,6 0,6-1,6

Aflatoksin (ppb) maksimum 50 50 50

Silica (%) maksimum 2 3 4


(29)

Dedak padi sangat kaya dengan minyak dan tinggi serat kasarnya. Serat kasar adalah karbohidrat yang tidak larut setelah dimasak berturut-turut dalam larutan H2SO4 1,25% mendidih selama 30 menit dan dalam larutan NaOH 1,25% mendidih selama 30 menit. Serat kasar diduga kaya akan lignin dan selulosa sehingga sulit dicerna (Amrullah, 2002)

Dedak merupakan hasil ikutan dalam proses pengolahan gabah menjadi beras yang mengandung “bagian luar” beras yang tidak terbawa, tetapi tercampur pula dengan bagian penutup beras itu. Hal inilah yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya kandungan serat kasar dedak (Rasyaf, 1990).

Ketengikan Dedak Padi

Dedak padi mentah yang dibiarkan pada suhu kamar selama 10-12 minggu dapat dipastikan 75-80% lemaknya berupa asam lemak bebas, yang sangat mudah tengik (Amrullah, 2002). Ketidakstabilan dedak padi telah lama diketahui. Hal ini dikarenakan adanya aktivitas lipase pada dedak padi (Champagne, 2004). Sepanjang biji padi masih lengkap, secara fisik lipase dapat diisolasi dari lemak (Saunders, 1986).

Selain itu, pemakaian dedak padi dalam jumlah besar dalam campuran konsentrat dapat memungkinkan ransum tersebut mudah mengalami ketengikan oksidatif selama penyimpanan. Winarno (1997) menyatakan bahwa ketengikan oksidatif disebabkan oleh auto oksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Auto oksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas, lalu radikal ini dengan oksigen membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bermanfaat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek (asam lemak, aldehida, keton) yang bersifat volatil dan menimbulkan bau tengik pada lemak. Bau tengik merupakan indikasi yang baik untuk dedak yang mengalami kerusakan

Ketengikan pada dedak padi dibagi menjadi dua yaitu ketengikan oksidatif dan ketengikan hidrolitik. Ketengikan hidrolitik disebabkan oleh enzim lipolitik seperti lipase dan esterase, yang merupakan kelompok enzim yang penting, karena enzim-enzim tersebut dapat dihubungkan dengan metabolisme lemak maupun degradasi lemak (Shanani, 1975).

Ketengikan oksidatif terjadi akibat katalisis lipida oleh enzim lipoksidase yang menyebabkan oksidasi pada asam lemak bebas (terutama yang mengandung golongan


(30)

pantadiena) dan pembentukan peroksida-peroksida dan hiperoksida – hiperoksida. Senyawa ini tidak stabil dan selanjutnya dipecah menjadi aldehida-aldehida, keton – keton dan kadang – kadang asam lemak jenuh berantai karbon pendek, yang mana dapat menyebabkan aroma dan bau yang tengik pada beras yang mengalami deteriorasi (Barber, 1972).

Fitat sebagai Antinutrisi dalam Dedak Padi

Asam fitat dapat menyebabkan ketersediaan fosfor menjadi rendah sehingga pertumbuhan tertunda dan efisiensi pakan menurun (Sutardi, 1980). Asam fitat atau fitin pada dedak mencapai 89,9% yang membentuk ikatan kompleks dengan beberapa mineral seperti seng, kalium, zat besi dan magnesium (Houston, 1972). Pembatasan ini dilakukan karena pemakaian dedak padi dalam jumlah besar dapat menyebabkan susahnya pengosongan saluran pencernaan karena sifat pencahar pada dedak.

Fitat merupakan suatu senyawa yang tidak dapat larut sehingga sangat sukar dicerna dan tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Di samping itu fitat juga mempunyai sifat sebagai chelating agent terutama terhadap ion – ion bervalensi dua seperti Ca, Fe dan Zn (Graf, 1983) mengakibatkan ketersediaan biologik mineral – mineral tersebut rendah. Penurunan absorbsi mineral dalam bahan makanan dapat disebabkan oleh asam fitat yaitu suatu komponen organik yang mengandung fosfor dan merupakan campuran garam myo-inositol dan asam heksafosfor. Asam fitat dapat membentuk komplek dengan bermacam-macam kation atau protein yang mempengaruhi derajat kelarutan suatu komponen. Hewan monogastrik dapat menggunakan fosfor yang telah dihidrolisa dan menghasilkan fosfor organik. Penambahan fitat bersama-sama dengan serat kasar ke dalam makanan dapat menurunkan absorpsi mineral Zn, Ca, Fe. Asam fitat pada pH = 7,4 akan membentuk komplek dengan mineral Cu, Zn, Co, Mn, Fe dan Ca (Pilliang,2002).

Asam Fitat Karakteristik Asam Fitat

Asam fitat (C6H18O24P6) merupakan senyawa kimia yang terdiri atas inositol dan asam fosfat. Terdapat enam gugus asam fosfat yang terikat pada cincin inositol. Secara kimiawi, asam fitat disebut myo-inositol 1,2,3,4,5,6-heksakis (dihidrogen fosfat) (Reddy et al.,1982). Asam fitat adalah bentuk simpan utama dari fosfor dalam biji-bijian tanaman, terhitung sekitar 60–80% dari total fosfor. Molekul asam fitat mengandung


(31)

mineral P yang tinggi, yaitu sekitar 28,8%. Dibawah kondisi ransum normal, P-asam fitat tidak tersedia untuk unggas, karena unggas miskin dengan enzim untuk menghidrolisis asam fitat.

Gambar 2. Struktur Asam Fitat

Sumber : http://images.google.co.id/imgres

Fitat memiliki struktur kimia yang sangat stabil. Dalam bentuk fosfat organik memilki kandungan fosfat yang tinggi. Dalam kondisi fisiologi normal asam fitat membentuk chelate dengan mineral – mineral essensial seperti kalsium, magnesium, besi dan seng. Asam fitat seringkali berikatan dengan asam-asam amino atau menghambat enzim – enzim pencernaan (Pallauf dan Rimback, 1996).

Asam fitat mempunyai sifat kurang baik sebagai antinutrisi, yaitu dapat mengikat beberapa mineral esensial sehingga mineral tersebut akan menjadi tidak tersedia (Tangendjaja, 1979). Asam fitat menunjukan sifat rakhitogenik, yaitu untuk membentuk garam yang tidak larut apabila asam fitat tersebut berikatan dengan mineral. Asam fitat mempunyai muatan negatif pada pH rendah, pH netral, dan pH tinggi. Asam fitat dapat berikatan dengan ion – ion logam seperti Ca, Mg, Zn dan Cd dan protein yang mempunyai gugus positif seperti lisin, histidin, arginin, dan gugus amino terminal pada pH dibawah isoelektriknya. Terbentuknya senyawa fitat-mineral atau protein yang tidak larut dapat menyebabkan penurunan ketersediaan mineral dan nilai gizi protein pakan. Mineral-mineral dan protein yang membentuk komplek dengan fitat tersebut tidak dapat diserap oleh dinding usus bagi ternak (Kornegay, 2001).

Tipe Asam fitat

Asam fitat disebut juga sebagai mio – inositol heksafosfat. Kandungan asam fitat sangat banyak terdapat dalam tumbuhan, sel mikroorganisme, dan ternak. Biji – bijian tumbuhan mengandung 60 – 90% fosfor fitat dalam bentuk garam asam fitat. Fitat


(32)

dalam tumbuhan berperan dalam fungsi biologis penyimpanan fosfor dan kation yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bibit tanaman (William dan Taylor, 1985).

Keberadaan Asam Fitat dalam Tumbuhan

Penyebaran asam fitat pada padi-padian paling banyak ditemukan di bagian aleuronnya, oleh karena itu asam fitat banyak ditemukan pada dedak (Tangendjaja, 1979). Dedak padi mengandung fosfor sebanyak 1,5% sedangkan bentuk fosfor pada dedak padi adalah sebagai berikut : dalam bentuk asam fitat sebanyak 89,9% nukleus sebanyak 4,4% fosfor inorganik 2,5% karbohidrat 2,3% dan dalam fosfat 1%.

Mineral fosfor yang terdapat pada asam fitat akan berperan sebagai sumber P organik setelah terjadi proses penguraian (degradasi). Dengan demikian, gugus asam fosfor akan terlepas dari gugus induknya. Asam fitat merupakan suatu senyawa yang tidak larut sehingga sukar dicerna dan tidak dimanfaatkan oleh tubuh, hal ini mengakibatkan diekskresikannya fosfor dalam jumlah besar yang akan mencemari lingkungan (Oatway et al.,2001). Pada butir padi-padian yang sudah tua, P-fitat berjumlah sekitar 60 sampai 80 persen dari P total (Oberleas, 1973). Asam fitat mampu berikatan dengan mineral, protein dan pati membentuk garam atau komplek seperti fitat-mineral, fitat-protein, fitat mineral protein dan fitat-mineral-protein-pati (Kornegay, 2001).

Adapun sifat-sifat dari senyawa fitat adalah berperan dalam fungsi fisiologis, selama dormansi dan perkecambahan pada biji-bijian, melindungi kerusakkan oksidatif pada biji-bijian selama proses penyimpanan, menurunkan bioavaibilitas beberapa mineral, berperan sebagai antioksidan, serta dapat menurunkan nilai gizi protein karena apabila fitat berikatan dengan protein akan membentuk senyawa kompleks yang mengakibatkan protein menjadi tidak larut (Anonim, 2008).

Degradasi Asam Fitat

Degradasi asam fitat merupakan proses pemutusan antara ikatan gugus myo-inositol dan gugus asam fosfat oleh enzim fitase yang dhasilkan mikroba rumen (Bedford dan Partridge, 2001). Fosfat yang terlepas akan dimanfaatkan sebagai sumber mineral fosfor (P) untuk ternak (Morse et al., 1992), dalam pencernaan ruminansia kisaran ketersediaan fosfor antara 0,33 sampai 0,99 (Mc Donald et al.,2002). Enzim fitase terdiri dari dua jenis yaitu 6-fitase yang ditemukan dalam tanaman, dan 3-fitase yang diproduksi oleh fungi (Dvorakova, 1998; Bedford dan Partridge, 2001). Fitase


(33)

mikroba ditemukan pada sejumlah yeast bakteri dan fungi (Harland and Moris, 1995; Bedford dan Partridge, 2001). Adapun jenis yang mempunyai aktivitas ekstraseluler tinggi dalam memproduksi fitase adalah Aspergillus Niger (Volfova et al.,1994; Bedford dan Partridge, 2001).

Gambar 3. Degradasi Asam Fitat oleh enzim fitase Sumber : http://images.google.co.id/imgres

Muchtadi (1998) menyebutkan bahwa asam fitat sangat tahan terhadap pemanasan selama pengolahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk olahan kedelai tanpa fermentasi tetap mengandung asam fitat. Tahap fermentasi dapat mengurangi bahkan menghilangkan asam fitat, sehingga tempe dan kecap sudah tidak mengandung senyawa tersebut. Ada beberapa alasan yang menyebabkan metoda hidrolisis enzim terhadap fitat perlu untuk dikembangkan. Pertama adalah untuk menghilangkan zat antinutrisi pada makanan atau pakan. Serta yang kedua adalah untuk meningkatkan ketersediaan fosfor bagi tubuh (Zyla, 1994).

Silase

Silase adalah makanan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi hijauan dengan kandungan uap air yang tinggi. Pembuatan silase tidak tergantung kepada musim jika dibandingkan dengan pembuatan hay yang tergantung pada musim (Sapienza dan Bolsen, 1993).


(34)

Tujuan Pembuatan Silase

Silase adalah suatu hasil pengawetan dari suatu bahan dalam suasana asam dalam kondisi anaerob (Ensminger, 1990). Keadaan anaerob ini harus tetap dipertahankan, sebab udara adalah musuh besar silase (Schroeder, 2004). Proses kimiawi atau fermentasi yang terjadi selama penyimpanan silase disebut ensilase, sedangkan tempatnya disebut silo (Woolford 1984; Moran 2005). Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijauan untuk dimanfaatkan pada masa mendatang. Memacu terciptanya kondisi anaerob dan asam dalam waktu singkat merupakan prinsip dasar pembuatan silase (Sapienza dan Bolsen, 1993).

Kelebihan Silase dibandingkan Hay

Silase memiliki beberapa kelebihan antara lain : (1) ransum lebih awet, (2) memiliki kandungan bakteri asam laktat yang berperan sebagai probiotik dan (3) memiliki kandungan asam organik berperan sebagai growth promotor dan penghambat penyakit. Silase yang baik diperoleh dengan menekan berbagai aktivitas enzim yang berada dalam bahan baku yang tidak dikehendaki, namun dapat mendorong berkembangnya bakteri penghasil asam laktat (Sapienza dan Bolsen, 1993). Di samping untuk pengawetan, pembuatan silase merupakan cara yang efektif untuk menurunkan kadar HCN pada daun ubikayu (Tewe, 1991).

Hasil penelitian Santoso dan Hariadi (2008) komposisi kimia dari 6 spesies hijauan yang diawetkan dengan metode hay dan silase memiliki kandungan nutrien yang tidak berbeda (P>0,05), walaupun terdapat variasi. Degradasi BK, BK, BO dan konsentrasi N-NH3 pada metode pengawetan silase lebih tinggi dibandingkan dengan hay.

Pembuatan Silase

Pembuatan silase secara garis besar dibagi menjadi empat fase (Bolsen dan Sapienza, 1993). Pertama adalah fase aerob ini berlangsung dua proses yaitu proses respirasi dan proses proteolisis, akibat adanya aktivitas enzim yang berada dalam tanaman tersebut. Proses respirasi secara lengkap menguraikan gula-gula tanaman menjadi karbondioksida dan air, dengan menggunakan oksigen dan menghasilkan panas. Kedua adalah fase fermentasi ketika kondisi anaerob tercapai pada bahan yang diawetkan beberapa proses mulai berlangsung, isi sel tanaman mulai dirombak. Pada


(35)

hijauan basah, proses ini berlangsung dalam beberapa jam, sedangkan pada hijauan kering dapat berlangsung seharian. Ketiga adalah fase stabil, setelah masa aktif pertumbuhan bakteri penghasil asam laktat berakhir, maka proses ensilase memasuki fase stabil, hanya sedikit sekali aktivitas mikroba. Keempat adalah fase pengeluaran silase, oksigen secara bebas akan mengkontaminasi permukaan silase terbuka.

Mc Donald et al.(1991) menuliskan bahwa silase merupakan bahan pakan yang diproduksi secara fermentasi, yaitu dengan cara pencapaian kondisi anaerob. Untuk meningkatkan kualitas silase, ditambahkan bahan aditif yang dibagi dua yaitu sebagai stimulan fermentasi dan sebagai inhibitor fermentasi. Stimulan fermentasi bekerja membantu pertumbuhan bakteri asam laktat sehingga kondisi asam segera tercapai, contohnya inokulan bakteri yaitu bakteri asam laktat yang berfungsi untuk meningkatkan populasi bakteri asam laktat dalam bahan pakan, sedangkan inhibitor fermentasi digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk seperti Clostridia sehingga pakan bisa awet, sebagai contoh yaitu asam-asam organik seperti asam format, propionat dan laktat. Salah satu penambahan zat aditif sebagai stimulan fermentasi yaitu dengan bakteri asam laktat seperti lactobacillus plantarum, pledioccus pentosomonas.

Karakteristik Silase yang Baik

Menurut Ensminger (1990) karakteristik silase yang baik antara lain pH kurang dari 4,5 serta berbau asam laktat atau campuran asam laktat dan asam asetat, warna tidak berubah dengan warna asalnya, dan kehilangan nutrisi dapat ditekan.

Kadar Air Silase

Kadar air yang optimum untuk pembuatan silase antara 62-67%, karena kadar air diatas 67% akan menghasilkan silase yang berlumpur dan busuk karena adanya asam butirat dan asam lain yang tidak diinginkan. Penurunan kadar air juga akan mengurangi perembesan cairan dari silo, menurunkan tekanan pada dinding silo dan menurunkan aktifitas asam yang merusak dinding silo (Ensminger, 1971).

Kadar air berpengaruh terhadap kerapatan tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan. Semakin halus butir-butir padatan, maka semakin banyak air yang terabsorbsi sebab luas permukaan persatuan berat bertambah. Setiap bahan mempunyai daya absorbsi air permukaan berbeda (Syarief dan Halid,1993).


(36)

Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat merupakan kelompok bakteri gram positif, bebentuk batang yaitu suatu mikroorganisme yang dapat menahan kompleks berwarna primer ungu kristal iodium (sel tampak biru atau ungu). Bakteri asam laktat umumnya tidak membentuk spora kecuali Sporolactobacillus. Selnya berbentuk bulat atau batang dan tidak menghasilkan katalase. Bakteri asam laktat terdiri dari beberapa genus antara lain Streptococcus, Lactobacillus dan Leuconostoc(Mc Donald et al., 1991).

Peranan Bakteri Asam Laktat

Peranan bakteri ini dalam fermentasi asam laktat ini adalah dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain yang tidak dikehendaki. Sifat yang terpenting dalam pembuatan produk - produk fermentasi dari bakteri ini adalah kemampuannya untuk memfementasikan gula menjadi asam laktat sehingga dapat menurunkan pH, menghambat aktivitas proteolitik, lipolitik dan patogen lainnya (Fardiaz et al., 1992).

Kelompok Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat merupakan golongan mikroorganisme yang bermanfaat karena sifatnya tidak toksik bagi inang dan mampu menghasilkan senyawa yang dapat membunuh bakteri patogen. Sesuai dengan namanya bakteri asam laktat bakteri ini menghasilkan asam laktat sebagai metabolismenya yang sangat bermanfaat dalam menghambat pertumbuhan organisme lain yang merugikan bagi tubuh. Bakteri asam laktat ini juga memproduksi metabolit sekunder seperti asam hidroksi peroksida, diasetil, ammonia, asam lemak dan bakteriosin yang dapat menghambat bakteri patogen (Lopez, 2000).

Menurut Pelezer et al. (1986) bakteri asam laktat termasuk bakteri fakultatif anaerobik yang dapat tumbuh pada kondisi dengan atau tanpa oksigen. Bakteri ini membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya tetapi menggunakan oksigen untuk menghasilkan energi. Sedangkan menurut Jay (1993) bakteri asam laktat merupakan bakteri yang bersifat fakultatif yang bisa bertahan baik pada kondisi anaerob maupun aerob. Pada kondisi anaerob, bakteri asam laktat dapat memfermentasikan beragam substat sedangkan pada kondisi aerob dapat disaingi hidupnya oleh bakteri lain (Jay, 1993).

Bakteri asam laktat merupakan kelompok bakteri yang mempunyai kemampuan untuk mengubah karbohidrat seperti laktosa dan glukosa menjadi asam laktat dalam


(37)

jumlah yang banyak melalui proses fermentasi. Dalam memproduksi asam laktat dari metabolisme glukosa, bakteri asam laktat dibagi menjadi dua bagian yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Perbedaannya yaitu terletak pada produk akhir yang dihasilkannya dan efisiensi fermentasi. Bakteri homofermentatif lebih efisien dalam memproduksi asam-asam organik bila dibandingkan dengan bakteri heterofermentatif. Bakteri homofermentatif akan menghasilkan 2 mol asam laktat untuk setiap mol glukosa dan fruktosa, sedangkan bakteri heterofermentatif menghasilkan asam laktat, etanol dan CO2 masing-masing satu mol untuk setiap 1 mol glukosa (Mc Donald et al., 1991).

Semua bakteri asam laktat dapat tahan dalam suasana asam walaupun kepekaannya berbeda - beda. Secara umum bakteri ini tumbuh pada pH 4,0 - 6,8 bahkan lactobacillus dan pediococcustumbuh pada pH 3,5 (Mc. Donald et al., 1991). Berbagai spesies bakteri asam laktat mempunyai peranan penting dalam pengawetan baik secara tradisional maupun modern (Axelsson, 1993).

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa kecernaan suatu pakan sangat tepat didefinisikan sebagai bagian dari pakan yang tidak diekskresikan di dalam feses dan oleh karena itu diasumsikan bagian tersebut diserap oleh hewan. Kecernaan suatu pakan biasanya dinyatakan dengan dasar bahan kering dan koefisien atau persentase.

Potensi nilai makanan untuk menyediakan zat makanan tertentu atau energi dapat ditentukan dengan jalan analisis kimia, tetapi nilai sebenarnya dari makanan untuk hewan ditunjukkan dengan bagian yang hilang setelah pencernaan, penyerapan dan metabolisme. Bagian pakan yang hilang dan mudah ditentukan secara langsung adalah kehilangan karena pencernaan. Secara definisi, daya cerna (kecernaan) adalah bagian zat makanan dari makanan yang tidak diekskresikan dalam feses. Biasanya dinyatakan dalam dasar bahan kering dan disebut koefisien cerna apabila dinyatakan dalam persentase. Kecernaan didasarkan atas suatu asumsi bahwa zat gizi yang tidak terdapat di dalam feses adalah habis untuk dicerna dan diabsorbsi (Tillman et al., 1991). Menurut Tillman et al. (1991) dan McDonald et al. (2002), kecernaan bahan makanan atau ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti komposisi makanan, komposisi rasio ransum, penyiapan makanan, suplementasi enzim pada pakan, faktor hewan dan juga level pemberian pakan.


(38)

METODE Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2008 sampai dengan Maret 2009 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dedak padi yang diperoleh dari penggilingan beras di daerah Darmaga, Bogor. Selain itu juga digunakan bakteri asam laktat sebagai bahan aditif, media MRS agar, aquadest, media MRS (Mann Rhogose Agar) – Brooth, NaCl fisiologis 0.85 %, larutan HNO30.5 M, FeCl3(0.24 gr – 100 ml), Amylalkohol, larutan Ammonium Thiosianat 10%,Larutan HCl pekat, HgCl2 jenuh, larutan pepsin 0,2% dan Larutan McDougal.

Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah tabung sentrifuse polypropylene 50 ml dan tutup karet berventilasi, pompa vakum, shaker bath, cawan porselin, sentrifuse, tanur, oven, kompor listrik, kertas saring Whatman No.41, gelas erlenmeyer, tabung reaksi, alumonium foil, spectrofotometer, dan autoclave.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan 2 faktor (faktor A dan Faktor B) dan 3 ulangan, yang terdiri dari:

Faktor A :

P1 = Dedak padi tanpa perlakuan (kontrol)

P2 = Dedak padi yang dibuat silase tanpa penambahan bakteri asam laktat P3 = Dedak padi yang dibuat silase yang ditambahkan bakteri asam laktat P4 = Dedak padi yang dibuat silase yang dikeringkan

Faktor B :

1. Lama penyimpanan 0 minggu 2. Lama penyimpanan 6 minggu 3. Lama penyimpanan 12 minggu


(39)

Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :

Y

ijn

= µ + £

i

+ ß

j

+ (£ß)

ij

+

ε

ijn i : Perlakuan pada dedak padi

j : Lama penyimpanan (0,6,12 minggu) n : Ulangan

Keterangan :

Y

ijn : Nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan nilai ulangan ke-n

µ

: Nilai rata – rata umum

£

i : Pengaruh perlakuan pada dedak padi ke-i

ß

j : Pengaruh lama penyimpanan ke-j

(£ß)

ij : Interaksi dari jenis perlakuan dan lama penyimpanan

ε

ijn : Eror perlakuan ke – i lama penyimpanan ke – j dengan ulangan ke-n

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi : 1. Sifat organoleptik (sifat fisik dedak)

2. Komposisi Asam Fitat (%)

Komposisi Asam Fitat diukur dengan menggunakan metode Davies & Reid (1979)

3. KCBK (Koefisien Cerna Bahan Kering) dan KCBO (Koefisien Cerna Bahan Organik) (%)

KCBK dan KCBO diukur dengan menggunakan metode Tilley dan Terry (1963).

4. Keberadaan serangga Kumbang Tepung Merah.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analisis Ragam (ANOVA) dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak orthogonal (Steel dan Torrie, 1993).


(40)

Metode Tahap Persiapan Bahan

Dedak padi ditimbang sebanyak 36 kg kemudian dibagi menjadi 12 bagian dengan 3 kg untuk setiap perlakuan pada masing-masing waktu penyimpanan (0, 6, 12 minggu). Dedak padi yang telah dibagi sesuai dengan perlakuan kemudian dibagi kembali dengan berat 1 kg dedak untuk setiap ulangan. Dedak padi yang digunakan untuk perlakuan P2,P3 dan P4, terlebih dahulu diolah menjadi silase dengan waktu fermentasi 21 hari dalam keadaan anaerob sesuai dengan perlakuan. Perbandingan kadar air dan bahan kering yang digunakan dalam pembuatan silase yaitu 1 : 1 (w/w). Setelah waktu fermentasi, untuk perlakuan P4 dijemur selama tiga hari hingga kering.

Tahap Peremajaan Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat terlebih dahulu diremajakan dalam media MRS Agar dan MRS – Brooth. Setelah diremajakan, bakteri asam laktat siap disemprotkan kedalam dedak padi. Berikut adalah diagram alir dari proses peremajaan bakteri asam laktat.

Bakteri dalam MRS – Brooth

Sentrifugasi

Endapan dipisahkan

Cuci dengan NaCl fisiologis 0.85 %

Endapan diambil

Dicampur dengan aquadest steril

Disemprot ke dalam dedak padi

Gambar 4. Diagram Alir Proses Peremajaan Bakteri Asam Laktat Sumber : Harahap (2009)


(41)

Tahap Penyimpanan

Peyimpanan dedak padi untuk setiap perlakuan dilakukan selama 3 bulan. Dalam waktu penyimpanan tersebut, dilakukan 3 kali pengamatan pada awal penyimpanan (minggu 0), minggu ke-6 dan minggu ke-12.

Tahap Pengamatan dan Analisis I. Pengamatan sifat organoleptik

Sifat organoleptik dedak diamati pada minggu ke-0, minggu ke-6 dan minggu ke-12. Pengamatan dilakukan pada sifat fisik . dedak yaitu bau, warna, tekstur, bentuk serta keberadaan jamur.

II. Prosedur Analisis Asam Fitat mengikuti Metoda Davies & Reid (1979)

Satu gram bahan disuspensikan dalam 50 ml larutan HNO3 0,5 M dan diaduk selama 3 jam diatas penggoyang elektrik pada suhu ruang, kemudian disaring. Dimasukkan kedalam tabung reaksi 0,05 ml filtrat dan 0,45 aquadest. Kemudian ditambahkan 0,9 ml larutan HNO30,5 M serta 1 ml larutan larutan FeCl3. Tabung reaksi ditutup dengan aluminium foil dan direndam dalam air mendidih selama 20 menit. Setelah didinginkan sampai mencapai suhu ruang, ditambahkan 5 Amyl alkohol dan 0,1 ml Larutan Amonium Thiosianat 10% . Isi tabung diaduk dengan cara menggoyangkan tabung tersebut tepat 15 menit, setelah itu diukur di spectrofotometer dengan panjang gelombang 460 nm. Pada saat yang bersamaan dilakukan juga pengukuran terhadap standar.

Standar yang diukur kemudian dibuat kurva hubungan antara jumlah asam fitat dengan absorbansi natrium fitat dengan persamaan umum regresi linier:

Y = a + bx

Dimana : Y = absorbansi larutan natrium asam fitat

x = jumlah asam fitat dalam larutan natrium asam fitat

Persamaan yang diperoleh tersebut digunakan untuk menghitung jumlah asam fitat dalam bahan makanan yang telah diukur absorbansinya pada tahap pengukuran Absorbansi Filtrat.

III.Analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik (KCBK dan KCBO).

Pengukuran kecernaan in vitro bahan kering dan bahan organik menggunakan metode Tilley dan Terry (1969). Sebanyak 0.5 gr sample uji dimasukkan ke dalam tabung fermentor, selanjutnya 10 ml cairan rumen dan 40 ml larutan saliva buatan


(42)

ditambahkan kedalam tabung. Campuran tersebut kemudian diaduk dengan penambahan CO2 untuk mendapatkan kondisi anaerob. Selanjutnya diinkubasi selama 48 jam pada waterbath suhu 39ºC. Setelah itu tutup tabung fermentor dibuka dan ditetesi HgCl2 jenuh sebanyak 2 tetes yang bertujuan untuk membunuh mikroba. Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Supernatant dibuang dan endapan ditambahkan 25 ml larutan pepsin, dan di inkubasi kembali pada kondisi aerob selama 48 jam. Selanjutnya endapan disaring dengan kertas saring Whatman no. 41 dan dibantu pompa vakum. Hasil saringan dimasukkan ke dalam cawan porselen dan dikeringkan dalam oven 105oC untuk mengetahu residu bahan kering dan diabukan dalam tanur 600oC untuk menghitung residu bahan organiknya. Kecernaan dihitung dengan rumus

% KCBK = BK sampel (gr) – (BK residu – BK blanko (gr)) x 100 % BK sampel (gr)

% KCBO = BK sampel (gr) – (BO residu – BO blanko (gr)) x 100 % BK sampel (gr)

Keterangan: BK = bahan kering BO = bahan organik.

III. Pengamatan Serangga Kumbang Tepung Merah

Pengukuran jumlah serangga dilakukan dengan cara menghitung serangga di setiap perlakuan dedak pada minggu ke-0, minggu ke-6 dan minggu ke-12


(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Organoleptik

Hasil pengamatan sifat organoleptik dedak padi pada penyimpanan minggu ke-0, minggu ke-6 dan minggu ke-12 dapat dilihat pada Tabel 4. Adapun sifat – sifat yang diamati yaitu warna, bau, tekstur, bentuk dan keberadaan jamur.

Tabel 4. Sifat Organoleptik Silase Dedak Padi

Perlakuan Peubah Waktu Penyimpanan

0 minggu 6 Minggu 12 minggu

P1

Warna Coklat Coklat Coklat

Bau Khas dedak Khas dedak Agak tengik

Tekstur Kasar Kasar Kasar

Bentuk Tidak menggumpal Agak menggumpal Agak menggumpal

Keberadaan Jamur Tidak ada Tidak ada Tidak ada

P2

Warna Coklat Coklat Coklat

Bau Asam (Silase) Asam (Silase) Asam (Silase)

Tekstur Kasar Kasar Kasar

Bentuk Agak menggumpal Menggumpal Menggumpal

Keberadaan Jamur Tidak Ada Ada Ada

P3

Warna Coklat Coklat Coklat

Bau Asam (Silase) Asam (Silase) Asam (Silase)

Tekstur Kasar Kasar Kasar

Bentuk Agak menggumpal Menggumpal Menggumpal

Keberadaan Jamur Tidak Ada Ada Ada

P4

Warna Coklat Coklat Coklat

Bau Asam (Silase) Asam (Silase) Asam (Silase)

Tekstur Kasar Kasar Kasar

Bentuk Agak menggumpal Menggumpal Menggumpal

Keberadaan Jamur Tidak ada Tidak Ada Tidak Ada

Keterangan : P1 = Dedak Padi tanpa perlakuan, P2 = Dedak padi yang dibuat silase tanpa penambahan bakteri asam laktat, P3 = Dedak padi yang dibuat silase dengan penambahan bakteri asam laktat, P4 = Dedak padi yang dibuat silase yang dikeringkan.


(44)

Warna

Pengamatan pada dedak padi di setiap waktu penyimpanan menunjukkan tidak terjadinya perubahan warna pada setiap perlakuan. Warna yang didapatkan pada semua perlakuan yaitu berwarna coklat. Hal ini sesuai dengan Saun dan Henrich (2008) yang menyatakan bahwa warna silase mengindikasikan permasalahan yang mungkin terjadi selama fermentasi. Dimana silase yang banyak mengandung asam asetat akan berwarna kekuningan, sedangkan silase yang mengandung asam butirat akan berlendir serta berwarna hijau kebiruan dan silase yang baik menunjukkan warna yang hampir sama dengan warna asalnya. Sehingga silase yang didapatkan pada proses pengamatan bersifat baik karena warna silase sama dengan warna asli dedak pada waktu awal penyimpanan.

Gambar 5 : Silase Dedak Padi yang Ditambahkan BAL

Gambar 6. Dedak Padi Kontrol

Bau

Dedak padi dengan perlakuan kontrol (P1) memiliki bau yang lebih khas pada waktu penyimpanan 0-6 minggu, tetapi pada minggu ke 12 baunya berubah menjadi agak tengik. Dedak padi mudah mengalami ketengikan oksidatif karena kandungan minyak yang cukup tinggi sekitar 6-10%. Dedak padi mentah yang dibiarkan pada suhu kamar selama 10-12 minggu dapat dipastikan 75-80% lemaknya berupa asam lemak


(45)

bebas, yang sangat mudah tengik (Amrullah, 2002). Sementara pada perlakuan P2, P3 dan P4 memiliki bau asam yang tidak menyengat yang dihasilkan dari proses fermentasi asam laktat selama penyimpanan. Hasil ini sesuai dengan Saun dan Henrich (2008) yang menyatakan bahwa silase yang baik mempunyai bau asam karena mengandung asam laktat, bukan bau yang menyengat. Terbentuknya asam pada waktu proses fermentasi menyebabkan pH silase menjadi turun. Keadaan ini akan menghambat proses respirasi, proteolisis, dan mencegah aktifnya bakteri Clostridia (Coblentz, 2003). Apabila terjadi fermentasi Clostridiamaka akan menimbulkan bau busuk (Saun dan Henrich, 2008).

Tekstur

Pengamatan terhadap tekstur silase pada masing-masing perlakuan setelah waktu penyimpanan 12 minggu menunjukkan tekstur yang kasar, tidak mengalami perubahan tekstur sejak proses penyimpanan hingga pada akhir penyimpanan. Selain itu, jenis perlakuan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap tekstur dedak padi selama penyimpanan. Sehingga tekstur dedak padi yang mendapat perlakuan tetap memiliki tekstur yang kasar dan sama dengan tekstur pada dedak kontrol. Macaulay (2004) menyatakan bahwa tekstur silase dipengaruhi oleh kadar air bahan pada awal ensilase. Silase dengan kadar air yang tinggi (>80%) akan memperlihatkan tekstur yang berlendir, lunak dan berjamur.

Bentuk

Pengamatan terhadap bentuk silase pada masing-masing perlakuan setelah 12 minggu proses fermentasi menunjukkan bentuk yang agak menggumpal. Hal ini dikarenakan proses pemadatan dedak padi pada waktu proses pembungkusan ke dalam plastik. Selain itu, sifat dedak padi yang bulkydengan jarak antar partikelnya tidak rapat dapat menyebabkan bentuk silase menjadi agak menggumpal pada waktu pengamatan. Hal ini juga dapat disebabkan oleh kenaikan kadar air pada dedak padi selama proses penyimpanan. Berdasarkan penelitian Syamsu (1997) kenaikan kadar air selama penyimpanan kemungkinan disebabkan terjadinya respirasi dari dedak padi yang menghasilkan air, disamping adanya serangan kapang memungkinkan terjadinya proses fermentasi yang pada gilirannya mengeluarkan air sehingga menambah jumlah kadar air dedak padi.


(46)

Keberadaan Jamur

Berdasarkan hasil pengamatan pada minggu 0, minggu 6 dan minggu ke-12, tidak ditemui keberadan jamur pada perlakuan P1 dan P4. Tetapi pada perlakuan P2 dan P3 ditemukan keberadaan jamur berwarna merah dan putih pada minggu ke-6 dan minggu ke-12. Keberadaan jamur pada perlakuan P2 dan P3 dikarenakan masih adanya udara yang terperangkap ketika dilakukan proses pembuatan silase. Sehingga dapat memberi kesempatan yang lebih besar untuk pertumbuhan jamur dan mikroorganisme lainnya pada permukaan luar silase. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lendrawati (2008) bahwa kehadiran jamur erat kaitannya dengan keberadaan udara yang terperangkap pada silo, baik pada fase awal ensilase atau kebocoran silo selama penyimpanan. Selain itu Chang dan Miles (2004) menyatakan bahwa pada umumnya kebanyakan dari jamur hidup dan berkembang pada bahan yang memiliki kadar air yang tinggi. Lebih lanjut dijelaskan kelembaban 95–100% dan kandungan kadar air 50–75% mendukung adanya pertumbuhan jamur.

Gambar 7. Permukaan Silase yang Ditumbuhi oleh Jamur

Kandungan Asam Fitat

Asam fitat (C6H18O24P6) merupakan senyawa kimia yang terdiri atas inositol dan asam fosfat. Terdapat enam gugus asam fosfat yang terikat pada cincin inositol. Secara kimiawi, asam fitat disebut myo-inositol 1,2,3,4,5,6-heksakis (dihidrogen fosfat) (Reddy et al.,1982).

Interaksi antara waktu penyimpanan dan perlakuan terhadap kandungan asam fitat yang ada dalam dedak padi ditampilkan pada Tabel 4. Pada umumnya kandungan asam fitat di setiap perlakuan semakin rendah dengan semakin lamanya waktu penyimpanan dan nilai kandungan asam fitat terendah terdapat pada perlakuan P2 dengan waktu penyimpanan 12 minggu. Dari Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa pada


(47)

setiap waktu penyimpanan maka kandungan asam fitat menurun secara linear pada masing-masing perlakuan. Hal ini dikarenakan semakin lama waktu penyimpanan, semakin menurunkan kandungan pH dalam silase. Sehingga semakin banyak ikatan asam fitat yang terputus karena asam fitat bersifat labil dalam pH yang rendah. Kondisi asam yang tercipta dalam keadaan anaerob akan berpengaruh dalam penurunan komposisi asam fitat Hal ini menyebabkan kandungan asam fitat pada waktu penyimpanan 12 minggu menjadi rendah.

Tabel 4. Rataan Kadar Asam Fitat (%)

Perlakuan Waktu Penyimpanan

0 Minggu 6 Minggu 12 Minggu

P1 7,82 ± 0,33A 6,09 ± 0,29B 3,13 ± 0,23F

P2 6,70 ± 0.35B 4,21 ± 0,12E 2,07 ± 0,07G

P3 7,97 ± 0.57A 5,42 ± 0,37C 3,88 ± 0,16E

P4 7,60 ± 0.53A 4,86 ± 0,12D 3,45 ± 0,15F

Keterangan: Superskrip huruf besar berbeda pada tabel menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01); P1 = Dedak Padi tanpa perlakuan, P2 = Dedak padi yang dibuat silase tanpa penambahan bakteri asam laktat, P3 = Dedak padi yang dibuat silase dengan penambahan bakteri asam laktat, P4 = Dedak padi yang dibuat silase yang dikeringkan.

Pengukuran komposisi dedak padi dengan berbagai perlakuan pada waktu tahap awal penyimpanan (0 minggu) berkisar antara 6,70 – 7,97. Menurut Ravindran (1999) kandungan asam fitat dari dedak padi sebesar 4,89% berdasarkan %bahan kering. Kandungan asam fitat antara dedak padi memiliki perbedaan nilai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Reddy et al.(1982) bahwa jumlah asam fitat dalam benih tanaman bervariasi tergantung pada varietas, kondisi iklim, lokasi, irigasi, tipe tanah dan keadaan lingkungan selama tanaman itu tumbuh.

Persentasi asam fitat setiap perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01) pada minggu ke-0, minggu ke-6 hingga minggu ke-12 penyimpanan (Tabel 4). Perlakuan penyimpanan nyata menurunkan kandungan asam fitat dedak padi. Penurunan kandungan asam fitat makin tinggi seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Waktu penyimpanan 0 minggu, perlakuan P2 nyata lebih rendah dibandingkan perlakuan P4, P1dan P3 dengan nilai berturut 6,70%,7,60%, 7,82%, dan 7,97%. Penurunan kandungan asam fitat pada minggu ke-0 dikarenakan pada perlakuan P2 telah tercapai pH yang mendekati optimum yaitu 4,5. Sehingga kondisi asam yang tercipta dengan nilai pH


(48)

yang mendekati pH optimum menyebabkan terjadinya degradasi asam fitat lebih banyak dan kandungan asam phytat menjadi turun. Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan nilai pH pada perlakuan P1,P2, P3 dan P4 dengan nilai berturut 6,37; 4,31; 4,21; dan 4,49.

Waktu penyimpanan 6 minggu, perlakuan P2 juga masih nyata lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan P4, P3 dan P1 dengan nilai berturut-turut 4,21%, 4,86%, 5,42% dan 6,09% dengan nilai pH pada perlakuan P1, P2, P3 dan P4 berturut-turut yaitu 4,82; 4,22; 4,14; dan 4,64. Waktu penyimpanan 12 minggu juga menunjukkan bahwa asam fitat perlakuan P2 masih sangat nyata lebih rendah dibandingkan perlakuan P1, P4 dan P3 dengan nilai 2,07%, 3,13%, 3,45% dan 3,88% dengan nilai pH pada perlakuan P1, P2, P3 dan P4 berturut-turut 5,84; 4,26; 4,15; dan 4,64.

Penurunan kandungan asam fitat dedak padi yang dibuat silase lebih tinggi dibandingkan kontrol. Berdasarkan hasil uji kontras orthogonal, didapatkan nilai penurunan komposisi asam fitat pada perlakuan P2 pada minggu ke-12 sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi menurunkan kandungan asam fitat dibandingkan perlakuan P1, P3, dan P4. Kandungan asam fitat pada perlakuan P2 menurun hingga mencapai 69,10% dalam waktu penyimpanan 12 minggu, sedangkan penurunan kandungan asam fitat perlakuan P1, P4 dan P3 berturut-turut sebesar 59,97%, 54,61% dan 51,32%. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan P2 lebih efektif menurunkan kandungan asam fitat dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Selain itu terjadinya penurunan pH yang mendekati pH optimum sekitar 4,26 akibat dari tidak adanya penambahan bakteri asam laktat sehingga menyebabkan proses pemutusan ikatan fitat menjadi lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan P1, P3 dan P4 dimana nilai pH berada jauh dibawah pH optimum maupun diatas pH optimum. Kisaran pH yang pada perlakuan P1, P3 dan P4 yang jauh dari pH optimum yang menyebabkan enzim indigenus yang terdapat dalam dedak padi menjadi kurang aktif dalam berperan mendegradasi kandungan asam fitat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Muchtadi (1998) yang menyatakan bahwa asam fitat sangat tahan terhadap pemanasan tetapi tahap fermentasi dapat mengurangi bahkan menghilangkan kandungan asam fitat.

Penurunan kandungan asam fitat pada dedak padi selama penyimpanan umumnya disebabkan adanya enzim 6- fitase yang terdapat dalam dedak padi. Enzim


(49)

tersebut memulai defosforilasi asam fitat pada posisi ke-6 sehingga terjadi pemutusan ikatan fitat yang menyebabkan terjadinya penurunan komposisi asam fitat pada dedak. Menurut Lendrawati (2008) pH optimum aktifitas enzim fitase yang terdapat dalam dedak padi yaitu 4,5. Sehingga dengan kondisi asam yang tercipta dalam keadaan anaerob berpengaruh dalam penurunan komposisi asam fitat. Kondisi asam yang terbentuk akan mendukung aktifnya enzim fitase yang terdapat dalam dedak padi, sehingga terjadi proses degradasi asam fitat selama keadaan anaerob. Al- Asheh dan Duvnjak (1995) melaporkan bahwa perlakuan bungkil kanola (canola meal) yang difermentasi dengan Aspergillus carbonarius dapat memproduksi fitase yang dapat mendegradasi kandungan asam fitat menjadi myo-inositol dan asam fosfat. Selain itu berdasarkan penelitian Wahyuni (1995) menunjukan bahwa pemberian dosis laru sebesar 0,75% dari jumlah dedak padi yang difermentasi dapat menurunkan kandungan asam fitat sampai 83,25% tetapi tidak dapat meningkatkan kecernaan protein secara in vitro.

Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO)

Tabel 5 menunjukan adanya interaksi antara waktu penyimpanan dan perlakuan pada dedak padi terhadap nilai koefisien cerna bahan kering (KCBK) dedak padi. Dapat dilihat bahwa pada umumnya nilai KCBK meningkat dengan semakin lamanya waktu penyimpanan kecuali pada perlakuan P4. Nilai KCBK pada perlakuan P4 sangat nyata menurun disetiap waktu penyimpanan.

Perlakuan silase dedak padi sangat nyata (P<0,01) meningkatkan koefisien cerna bahan kering dan bahan organik kecuali perlakuan P4 yang disimpan pada 0, 6 dan 12 minggu. Nilai KCBK perlakuan P2 dan P3 sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P1 dan P4 dalam setiap waktu penyimpanan. Waktu penyimpanan 0 minggu nilai KCBK perlakuan P2 dan P3 tidak nyata berbeda yaitu sebesar 69,42% dan 68,79%, sedangkan nilai KCBK pada perlakuan P4 nyata lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan P1 sebesar 60,53% dan 64,31%.

Hal yang sama juga terjadi pada waktu penyimpanan 6 dan 12 minggu. Nilai KCBK pada P2 dan P3 nyata lebih tinggi dibandingkan P1 dan P4 (P<0,01). Nilai KCBK P1 sangat nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan P4, sedangkan nilai KCBK pada P2 tidak berbeda nyata dibandingkan dengan P3. Rataan kecernaan bahan kering dedak padi yang dibuat silase tanpa penambahan bakteri asam laktat (P2) pada waktu


(50)

Tabel 5. Rataan nilai KCBK

Perlakuan Nilai KCBK (%)

0 Minggu 6 Minggu 12 Minggu

P1 64,31± 0,70B 61,97 ± 1,17C 63,06 ± 0,80B

P2 69,42 ± 0,48A 70,30± 3,92A 70,56 ± 1,04A

P3 68,79± 0,75A 70,53 ± 1,20A 69,72 ± 1,16A

P4 60,53 ± 1,74C 59,36 ± 0,89D 56,24 ± 0,62D

Keterangan: Superskrip huruf besar berbeda pada tabel menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01); P1 = Dedak Padi tanpa perlakuan, P2 = Dedak padi yang dibuat silase tanpa penambahan bakteri asam laktat, P3 = Dedak padi yang dibuat silase dengan penambahan bakteri asam laktat, P4 = Dedak padi yang dibuat silase yang dikeringkan.

penyimpanan 12 minggu sebesar 70,56%. Nilai tersebut merupakan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai pada perlakuan dedak padi lainnya (P3, P1, dan P4) yaitu sebesar 69,72%, 63,06%, dan 56.24%. Hal ini dikarenakan pada saat penyimpanan dedak padi secara anaerob telah terjadi hidrolisis asam fitat terlebih dahulu yang menyebabkan terjadinya penurunan kandungan asam fitat. Sehingga mineral, protein ataupun pati yang berikatan dengan fitat dapat tersedia kembali dan menyebabkan tingginya nilai KCBK. Berdasarkan penelitian Desriananti (2007) menyatakan bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik dedak padi yang diberikan pada domba lokal jantan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, yaitu bernilai 69,81% dan 72,23%. Preston dan Leng (1987) menyatakan bahwa kecernaan bahan kering berkisar antara 55% - 65% merupakan kecernaan bahan kering yang tinggi.

Secara umum waktu penyimpanan mempengaruhi nilai persentase kecernaan bahan kering pada setiap perlakuan. Hal ini terlihat dari nilai peningkatan %KCBK walaupun terlihat tidak signifikan pada setiap perlakuan selama proses penyimpanan. Sehingga ditemukan adanya interaksi antara perlakuan pada dedak padi dengan waktu penyimpanan. Peningkatan nilai %KCBK tidak hanya disebabkan oleh adanya enzim indigenus yang ada dalam dedak. Kondisi silase dedak yang basah serta proses ensilase yang berjalan secara baik juga dapat menyebabkan tingginya nilai kecernaan pada dedak. Hal ini terlihat dari nilai %KCBK pada perlakuan pada P2 dan P3 yang tidak berbeda nyata, sehingga kedua perlakuan tersebut lebih efektif meningkatkan nilai %KCBK dibandingkan perlakuan P1 dan P4.


(51)

Berbeda dengan kandungan asam fitat serta nilai KCBK, nilai KCBO tidak memiliki interaksi antara waktu penyimpanan dengan perlakuan pada dedak padi. Tabel 6 menunjukkan bahwa tidak terjadinya peningkatan ataupun penurunan nilai KCBO secara statistik di setiap waktu penyimpanan. Sehingga waktu penyimpanan tidak mempengaruhi nilai KCBO di setiap perlakuan dedak padi.

Perlakuan silase dedak padi sangat nyata (P<0,01) meningkatkan koefisien cerna bahan organik. Perlakuan P3 dan P2 sangat nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan P1 dan P4 pada waktu penyimpanan 0 minggu yaitu dengan nilai berturut – turut 69,15%, 68,94%, 62,95%, dan 58, 66%. Hal yang sama juga terjadi pada waktu penyimpanan 6 dan 12 minggu dimana nilai KCBO pada perlakuan P3 dan P2 sangat nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan P1 dan P4.

Tabel 6. Rataan nilai KCBO

Perlakuan Nilai KCBO (%) Rata-Rata

0 Minggu 6 Minggu 12 Minggu

P1 62,95 ± 0,33 61,78 ± 1,92 61,98 ± 1,49 62,24 ± 0.63B

P2 69,15 ± 0,76 70,23 ± 3,35 70,18 ± 0,65 69,85 ± 0.61A

P3 68,94 ± 0,56 70,56 ± 1,50 69,51 ± 1,04 69,67 ± 0.82A

P4 58,66 ± 2,63 58,15 ± 0,97 56,77 ± 1,24 57,86 ± 0,97C

Keterangan: Superskrip huruf besar berbeda pada tabel menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01); P1 = Dedak Padi tanpa perlakuan, P2 = Dedak padi yang dibuat silase tanpa penambahan bakteri asam laktat, P3 = Dedak padi yang dibuat silase dengan penambahan bakteri asam laktat, P4 = Dedak padi yang dibuat silase yang dikeringkan..

Peningkatan nilai KCBO setiap perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01) pada waktu penyimpanan minggu ke-0, minggu ke-6 hingga minggu ke-12. Nilai KCBO tertinggi yaitu pada perlakuan P2 dimana perlakuan ini juga memiliki nilai KCBK yang tinggi dan komposisi asam fitat yang rendah dibandingkan dengan perlakuan dedak padi yang lain. Tingginya nilai KCBK dan KCBO juga disebabkan oleh tingginya nilai kelarutan (WSC) dari setiap masing-masing perlakuan dedak padi. Berdasarkan penelitian Lie (2009) didapatkan P2 memiliki nilai kelarutan yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan P3, P1, P4 yaitu dengan nilai berturut-turut 51,79%, 50,59%, 50,38%, 48,64%. Lendrawati (2008) menyatakan bahwa kandungan karbohidrat yang larut dalam air (WSC) juga mempengaruhi kecernaan bahan kering


(1)

Lampiran 2. Analisis Ragam terhadap Kecernaan Bahan Kering Dedak Padi

Waktu Penyimpanan Ulangan P1 P2 P3 P4 ∑X

0 Minggu U1 65.0953 69.5423 69.6208 61.3226 66.3952 U2 63.7537 69.8318 68.5458 61.7395 65.9677 U3 64.0712 68.8856 68.1887 58.5345 64.9200

∑X 64.3067 69.4199 68.7851 60.5322 65.7610

6 Minggu U1 61.0023 65.8389 71.8935 58.6466 64.3453 U2 61.6408 71.8542 70.0579 60.3483 65.9753 U3 63.2794 73.2054 69.6283 59.0747 66.2969

∑X 61.9742 70.2995 70.5266 59.3565 65.5392

12 Minggu U1 62.6210 71.5036 70.9718 56.0343 65.2827 U2 63.9748 69.4500 69.5167 56.9387 64.9700 U3 62.5736 70.7372 68.6781 55.7415 64.4326

∑X 63.0565 70.5636 69.7222 56.2381 64.8951

Rata-rata 63.1124 70.0943 69.6780 58.7090 65.3984

FK JK (T) JK (P) JK (A*B) JK Galat 153970.3 911.0038 857.4944 39.5753 53.5094

ANOVA

SK dB JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 11 857.4944 77.9540 34.9639 3.0088 4.7181 Faktor A 3 813.0640 271.0213 121.5584 3.0088 4.7181 Faktor B 2 4.8551 2.4276 1.0888 3.4028 5.6136 Interaksi AxB 6 39.5753 6.5959 2.9584 2.5082* 3.6667

Eror 24 53.5094 2.2296


(2)

SK dB JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 11 857.4944 77.9540 34.9639 3.0088 4.7181 2,3,6,7,10,11 vs

1,4,5,8,9,12 1 725.0262 725.0262 325.1885 4.25968 7.82287** 10,7,6 vs 11,2,3 1 5.9943 5.9943 2.6886 4.25968 7.82287 10,7 vs 6 1 0.1206 0.1206 0.0541 4.25968 7.82287 10 vs 7 1 0.0021 0.0021 0.0009 4.25968 7.82287 11,2 vs 3 1 1.2355 1.2355 0.5542 4.25968 7.82287 11 vs 2 1 0.1371 0.1371 0.0615 4.25968 7.82287 1,9,5,4 vs 8,12 1 87.2370 87.2370 39.1275 4.25968 7.82287** 1,9 vs 5,4 1 17.6914 17.6914 7.9349 4.25968 7.82287**

1 vs 9 1 2.3447 2.3447 1.0516 4.25968 7.82287

5vs 4 1 3.1188 3.1188 1.3988 4.25968 7.82287


(3)

Uji Kontras Orthogonal

Komponen 0P1 OP2 OP3 OP4 6P1 6P2 6P3 6P4 12P1 12P2 12P3 12P4 C Q2 C2/Q2*n

192.9201 208.2597 206.3552 181.5966 185.9225 210.8985 211.5797 178.0696 189.1694 211.6908 209.1666 168.7144 2,3,6,7,10,11 vs

1,4,5,8,9,12 -1 1 1 -1 -1 1 1 -1 -1 1 1 -1 276.6539 12 2126.0380

10,7,6 vs 11,2,3 0 -1 -1 0 0 1 1 0 0 1 -1 0 7.8632 6 3.4350

10,7 vs 6 0 0 0 0 0 -2 1 0 0 1 0 0 -210.2172 6 2455.0707

10 vs 7 0 0 0 0 0 0 -1 0 0 1 0 0 -211.5797 2 7460.9948

11,2 vs 3 0 1 -2 0 0 0 0 0 0 0 1 0 -204.4508 6 2322.2288

11 vs 2 0 -1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 -208.2597 2 7228.6855

1,9,5,4 vs 8,12 1 0 0 1 1 0 0 -2 1 0 0 -2 560.4392 12 8724.7819

1,9 vs 5,4 1 0 0 -1 -1 0 0 0 1 0 0 0 -174.5990 4 2540.4001

1 vs 9 1 0 0 0 0 0 0 0 -1 0 0 0 192.9201 2 6203.0298

5 vs 4 0 0 0 -1 1 0 0 0 0 0 0 0 4.3258 2 3.1188

8 vs 12 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 -1 0.0000 2 0.0000


(4)

Lampiran 3. Analisis Ragam terhadap Kecernaan Bahan Organik Dedak Padi

Waktu Penyimpanan Ulangan P1 P2 P3 P4 ∑X

0 Minggu U1 63.2638 69.7154 69.5630 60.2123 65.6886 U2 62.6011 69.4414 68.7638 60.1368 65.2358 U3 62.9874 68.2877 68.4807 55.6182 63.8435

∑X 62.9507 69.1482 68.9358 58.6558 64.9226

6 Minggu U1 59.6632 66.6468 72.2354 57.4083 63.9884 U2 62.2472 70.7563 70.1006 59.2419 65.5865 U3 63.4249 73.2883 69.3308 57.7928 65.9592

∑X 61.7784 70.2305 70.5556 58.1477 65.1780

12 Minggu U1 60.8682 70.4756 70.6299 56.3251 64.5747 U2 63.6718 69.4333 69.3051 55.8212 64.5578 U3 61.4109 70.6406 68.5853 58.1766 64.7033

∑X 61.9837 70.1832 69.5068 56.7743 64.6120

Rata-rata 62.2376 69.8539 69.6661 57.8592 64.9042

FK JK (T) JK (P) JK (A*B) JK Galat 151652.0633 1012.2097 949.5870 12.4017 62.6227

ANOVA

SK dB JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 11 949.5870 86.3261 33.0843 3.0088 4.7181 Faktor A 3 935.2566 311.7522 119.4783 3.0088 4.7181 Faktor B 2 1.9287 0.9644 0.3696 3.4028 5.6136 Interaksi AxB 6 12.4017 2.0669 0.7922 2.5082 3.6667

Eror 24 62.6227 2.6093


(5)

SK dB JK KT Fhit F0,05 F0,01

Perlakuan 11 949.5870 86.3261 33.0843 3.0088 4.7181 2,3,6,7,10,11 vs

1,4,5,8,9,12 1 848.8326 848.8326 325.3131 4.2597 7.8229** 7,10,6 vs 11,2,3 1 5.7070 5.7070 2.1872 4.2597 7.8229 7, vs 10,6 1 0.2433 0.2433 0.0933 4.2597 7.8229 6 vs 10 1 0.0034 0.0034 0.0013 4.2597 7.8229 11 vs 2,3 1 0.4320 0.4320 0.1656 4.2597 7.8229 2 vs 3 1 0.0676 0.0676 0.0259 4.2597 7.8229 1,9,5 vs 4,8,12 1 86.2652 86.2652 33.0609 4.2597 7.8229** 1 vs 9,5 1 2.2886 2.2886 0.8771 4.2597 7.8229 9 vs 5 1 0.0632 0.0632 0.0242 4.2597 7.8229 4,8 vs12 1 5.2970 5.2970 2.0301 4.2597 7.8229 4 vs 8 1 0.3872 0.3872 0.1484 4.2597 7.8229


(6)

Uji Kontras Orthogonal

Komponen 0P1 OP2 OP3 OP4 6P1 6P2 6P3 6P4 12P1 12P2 12P3 12P4 C Q2 C2/Q2*n

188.8522 207.4446 206.8075 175.9673 185.3353 210.6914 211.6668 174.4430 185.9510 210.5495 208.5203 170.3229 2,3,6,7,10,11 vs

1,4,5,8,9,12 -1 1 1 -1 -1 1 1 -1 -1 1 1 -1 174.8084 12 848.8326

7,10,6 vs 11,2,3 0 -1 -1 0 0 1 1 0 0 1 -1 0 10.1354 6 5.7070

7, vs 10,6 0 0 0 0 0 -1 2 0 0 -1 0 0 2.0928 6 0.2433

6 vs 10 0 0 0 0 0 1 0 0 0 -1 0 0 0.1418 2 0.0034

11 vs 2,3 0 -1 -1 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2.7884 6 0.4320

2 vs 3 0 1 -1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.6370 2 0.0676

1,9,5 vs 4,8,12 1 0 0 -1 1 0 0 -1 1 0 0 -1 39.4052 6 86.2652

1 vs 9,5 2 0 0 0 -1 0 0 0 -1 0 0 0 6.4183 6 2.2886

9 vs 5 0 0 0 0 -1 0 0 0 1 0 0 0 0.6157 2 0.0632

4,8 vs 12 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 -2 9.7645 6 5.2970

4 vs 8 0 0 0 1 0 0 0 -1 0 0 0 0 1.5243 2 0.3872