Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik, Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor

ii

ABSTRACT
SYIFA FAUZIAH. Food Consumption, Physical Activity, Nutritional Status and
Health Status of the Elderly in Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera
Bogor. Under direction of SITI MADANIJAH.
The objective of this study was to learn and to analyze food consumption,
physical activity, nutritional status and health status of the elderly in Panti Sosial
Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor. The design of this study used cross
sectional study. The number of samples obtained as many as 32 elderly. The
results showed that the sufficiency level of energy was normal category, protein
was in high category, vitamin A and C were in sufficient category and then Ca
and Fe classified as defficient category. The nutritional status of most male
sampels was obese-I while female was normal. Most of the sampels physical
activities classified as mild. Most diseases for the past 6-12 months on male
samples were diabetes melitus and hypertension on female samples. Most of
either male or female samples had a lower morbidity score with high health
status. The result of Pearson correlation test showed that the energy and
nutrients intake had no significant relationship with nutritional status and health
status (p >0.05) either nor between physical activity with nutritional status and
health status, and nutritional status with health status (p >0.05).

Keywords : food consumption, physical activity, nutritional status, health status,
elderly

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah semakin
meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Dengan semakin meningkatnya
usia harapan hidup penduduk, menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus
meningkat dari tahun ke tahun (Depsos 2007). Peningkatan ini menurut para ahli
terjadi di hampir semua negara termasuk kawasan Asia seperti Jepang,
Hongkong, Singapura, Korea, Cina, Thailand dan Indonesia. Hal ini dapat terjadi
dengan semakin meningkatnya pelayanan kesehatan, peningkatan taraf hidup,
serta berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (Ruslianti dan Kusharto
2006)
Perkembangan penduduk lanjut usia (Lansia) di Indonesia menarik
diamati. Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat melaporkan, jika
tahun 1980 usia harapan hidup (UHH) 52,2 tahun dan jumlah lansia 7.998.543
orang (5,5%) maka pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang (8,9%) dan UHH juga

meningkat 66,2 tahun. Pada tahun 2010 perkiraan penduduk lansia di Indonesia
akan mencapai 23,9 juta atau 9,8% dan UHH sekitar 67,4 tahun. Sepuluh tahun
kemudian atau pada tahun 2020 perkiraan penduduk lansia di Indonesia
mencapai 28,8 juta atau 11,34% dengan UHH sekitar 71,1 tahun. Dari jumlah
tersebut, pada tahun 2010 jumlah penduduk lansia yang tinggal diperkotaan
sebesar 12.380.321 (9,6%) dan yang tinggal diperdesaan sebesar 15.612.232
(9,9%) (Depsos 2007).
Semakin meningkatnya jumlah lansia di Indonesia, maka perhatian yang
harus diberikan kepada kelompok ini juga akan semakin besar. Masalah gizi
lansia adalah salah satunya yang harus segera diperhatikan. Menurut Sharkey et
al. (2002) kekurangan zat gizi menunjukkan sebuah ancaman potensial bagi
kesehatan pada seluruh populasi lansia. Penambahan usia menimbulkan
beberapa perubahan baik secara fisik maupun mental. Perubahan ini
mempengaruhi kondisi seseorang baik aspek psikologis, fisiologis, dan sosioekonomi. Dengan keadaan gizi yang baik diharapkan para lansia akan tetap
sehat, segar dan bersemangat dalam berkarya. Melalui gizi yang baik, usia
produktif mereka dapat ditingkatkan sehingga tetap dapat ikut serta berperan
dalam pembangunan (Fatmah 2010).
Setiap mahluk hidup membutuhkan makanan untuk mempertahankan
kehidupannya, karena di dalam makanan terdapat zat-zat gizi yang dibutuhkan


2

tubuh untuk melakukan kegiatan metabolismenya. Bagi lansia pemenuhan
kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat membantu dalam proses
beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang
dialaminya. Selain itu dapat menjaga kelangsungan pergantian sel-sel tubuh
sehingga dapat memperpanjang usia (Muchtaromah 2010).
Masalah gizi akibat perilaku makan yang salah lebih peka terjadi pada
lansia dibandingkan usia dewasa. Nafsu makan lansia umumnya mulai menurun
karena semakin berkurangnya fungsi pengecap pada lidah. Hilangnya selera
makan menjadi salah satu fenomena yang dapat memperburuk kondisi lansia
seperti kurang gizi, defisiensi beberapa unsur zat gizi atau obesitas yang dapat
memicu timbulnya penyakit degeneratif (Wirakusumah 2001).
Tilarso (1985) diacu dalam Mala (2000) mengatakan bahwa lansia perlu
diberi latihan fisik untuk memperbaiki kondisi faali, psikologi serta pengontrolan
berat badan dan pola makannya. Berdasarkan penelitian Pratiwi (1993) dalam
Mala (2000) yang dilakukan terhadap 30 orang lansia di Kodya Yogyakarta
diperoleh hasil bahwa keadaan gizi lansia dipengaruhi oleh aktivitas, terutama
aktivitas fisik. Aktivitas fisik dapat meningkatkan metabolisme tubuh sehingga
kekebalan tubuh dan konsumsi pangannya meningkat.

Status gizi dan status kesehatan sangat ditentukan oleh kondisi yang
dialami oleh lanjut usia. Status gizi dan status kesehatan yang baik akan
membawa seseorang kepada umur panjang yang sehat dan produktif. Selain itu,
status kesehatan pada lansia akan berpengaruh dalam penilaian kebutuhan akan
zat gizi (Arisman 2009). Beberapa data menunjukkan bahwa lebih dari 28% usia
lanjut yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) di Jakarta mempunyai
Indeks Massa Tubuh (IMT) di bawah normal. Di Yogyakarta 75% usia lanjut
mempunyai kadar Hemoglobin (Hb) kurang dari 12 g/dl (Depkes 2003).
Pada masa lansia peranan keluarga sangat penting dalam kehidupan
lansia. Keluarga merupakan sumber utama dan pertama untuk membantu
merawat lansia. Selain peran keluarga dan masyarakat dalam upaya merawat
lansia, diperlukan juga peran pemerintah dalam memberikan fasilitas pada lansia
seperti menyediakan tempat perawatan bagi lansia yang terlantar atau
bermasalah dengan keluarga karena semakin banyaknya keluarga yang tidak
mampu merawat lansia. Dalam hal ini Panti Werda merupakan salah satu
alternatif bentuk bantuan pelayanan kesejateraan sosial bagi lansia (Ruslianti
dan Kusharto 2006).

3


Panti

Werda

merupakan

salah

satu

bentuk

bantuan

layanan

kesejahteraan sosial bagi lansia. Pelayanan yang diberikan di Panti Werda
berupa tempat tinggal, makanan, pakaian dan pemeliharaan kesehatan.
Tujuannya yaitu agar lansia dapat menikmati masa tuanya dalam suasana aman,
tentram dan sejahtera. Penyelenggaraan makan di Panti Werda harus memenuhi

kebutuhan gizi lansia sehingga diperlukan penyusunan menu makanan yang
dapat meningkatkan selera makan bagi lansia untuk memenuhi kebutuhan
fisiologisnya. Konsumsi pangan merupakan faktor utama dalam memenuhi
kebutuhan zat gizi untuk menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur metabolisme
dalam tubuh, memperbaiki jaringan tubuh serta menunjang masa pertumbuhan.
Hal inilah yang mendasari pentingnya penelitian untuk mempelajari konsumsi
pangan, aktivitas fisik, status gizi dan status kesehatan pada lansia di Panti
Sosial Tresna Werda Salam Sejahtera Bogor.
Tujuan
Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk mengetahui konsumsi pangan,
aktivitas fisik, status gizi dan status kesehatan pada lansia di Panti Sosial Tresna
Werda Salam Sejahtera Bogor.
Tujuan Khusus
1.

Mengidentifikasi karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, sumber pendapatan dan status pernikahan).

2.


Mengidentifikasi konsumsi pangan serta asupan energi dan zat gizi contoh

3.

Mengidentifikasi aktivitas fisik contoh

4.

Mengidentifikasi status gizi dan status kesehatan contoh

5.

Menganalisis hubungan konsumsi pangan serta asupan energi dan zat gizi
dengan status gizi

6.

Menganalisis hubungan konsumsi pangan serta asupan energi dan zat gizi
dengan status kesehatan


7.

Menganalisis hubungan aktivitas fisik dengan status gizi

8.

Menganalisis hubungan aktivitas fisik dengan status kesehatan

9.

Menganalisis hubungan status gizi dan status kesehatan
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk menggembangkan diri dan memperluas

pengetahuan serta wawasan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

4

informasi mengenai konsumsi pangan serta asupan energi dan zat gizi, aktivitas

fisik, status gizi dan status kesehatan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werda
Salam Sejahtera Bogor. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan bagi berbagai pihak terkait dalam upaya peningkatan kualitas
pelayanan bagi lansia.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Panti Werdha
Menurut Departemen Sosial RI (1994) diacu dalam Nurlaela (2006)
bahwa panti werda merupakan bentuk pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia
yang pada awalnya merupakan inisiatif organisasi sosial yang pada waktu itu
merasakan pentingnya penanganan permasalahan lanjut usia melalui panti.
Lahirnya panti-panti tersebut berdasarkan atas adanya kebutuhan-kebutuhan
akan perawatan kesehatan, kegiatan-kegiatan keagamaan dan komunikasi sosial
yang bersifat efektif yang tidak didapat lansia diluar panti. Menurut Depsos
(1997), tujuan pelayanan Panti Sosial Tresna Werda (PSTW) ini adalah
tercapainya tingkat kualitas hidup dan kesejahteraan para lansia yang layak
dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara berdasarkan nilai-nilai
luhur budaya bangsa sehingga mereka dapat menikmati hari tuanya dengan

diliputi ketentraman lahir dan batin.
Di negara-negara berkembang memasukkan lansia di panti merupakan
tindakan yang dianggap kurang pantas atau kurang etis. Tetapi, karena adanya
kecenderungan pergeseran nilai-nilai masyarakat akibat globalisasi, maka hal ini
sudah dianggap sesuatu yang wajar bahkan suatu keharusan. Saat ini banyak
panti werda yang didirikan dengan tujuan untuk memberikan santunan dan
pelayanan kepada golongan lansia. Panti werdha merupakan upaya terakhir
setelah keluarga dan masyarakat yang tidak dapat memberikan pelayanan
kepada lansia (Nurlaela 2006).
Lansia yang masuk ke panti werdha umumnya adalah lansia yang
terlantar dan tidak mempunyai keluarga yang merawatnya. Selain itu, ada pula
lansia karena keinginan sendiri atau dititipkan oleh keluarganya. Lansia yang
dititipkan harus mempunyai sponsor. Pihak sponsor ini biasanya harus
membayarkan biaya hidup di panti tiap bulan. Tujuan pembayaran ini selain
untuk biaya pengelolaan dan perawatan juga agar para anggota keluarga tetap
mempunyai perhatian pada lansia yang menjadi klien di panti (Wongkaren 1994
diacu dalam Nurlaela 2006).
Lanjut Usia
Pertumbuhan dan perkembangan manusia terdiri dari serangkaian proses
perubahan yang rumit dan panjang, dimulai dari pembuahan sel telur dan

berlanjut sampai berakhirnya kehidupan. Secara garis besarnya, perkembangan

6

manusia terdiri dari beberapa tahap, yaitu meliputi kehidupan sebelum lahir,
sewaktu bayi, masa kanak-kanak, remaja, masa dewasa dan masa usia lanjut
(Fatmah 2010).
Pengertian usia lanjut dapat dibedakan atas dua macam, yaitu usia lanjut
kronoligis atau usia kalender dan usia lanjut biologis. Usia kronoligis mudah
diketahui dan dihitung, yaitu saat seseorang merayakan ulang tahunnya.
Sebaliknya usia biologis adalah usia yang sesungguhnya dimiliki seseorang.
Usia biologis menunjukkan kondisi jaringan yang sebenarnya. Terlepas dari
beberapa usia kronoligis seseorang, banyaknya kemunduran jaringan yang
terjadi akan menyebabkan meningkatnya usia biologis orang yang bersangkutan.
Usia biologis inilah yang sesungguhnya dapat diupayakan agar tidak terlalu
cepat bertambah (Almatsier, Soetardjo dan Soekatri 2011).
Usia lanjut dapat memberi persepsi yang berbeda, tergantung dari siapa
yang menyebutnya dan untuk apa. Pada umumnya usia lanjut diartikan sebagai
usia saat memasuki masa pensiun yang di Indonesia dapat berkisar antara usia
di atas 55 tahun (Muis, Nurkinasih dan Darmojo 1992). Namun, batasan lansia
menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia,
adalah 60 tahun ke atas. Sedangkan menurut WHO dalam Notoatmojo (2007), di
antaranya: usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45-59 tahun,
lanjut usia (elderly), antara 60-74 tahun, lanjut usia tua (old), antara 75-90
tahundan usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun.
Proses menua merupakan proses yang kompleks karena melibatkan
perubahan-perubahan fisik, psikologik, fungsi dan sosial-ekonomi sekelompok
penduduk. Dari segi fisik penuaan sel-sel dapat berakibat pada penurunan
cadangan faali berbagai fungsi, seperti ginjal, jantung dan sebagainya;
kegagalan mempertahankan mekanisme homeostatik, misalnya gangguan
pengontrolan tekanan darah; dan kegagalan sistem imunitas dengan akibat pada
peningkatan

penyakit

keganasan

dan

autoimun. Perubahan

fisik yang

berkelanjutan dengan gangguan fungsi akan berhubungan dengan gangguan
masukan zat gizi dan energi yang terjadi mulai dari alat penguyah, pengecap,
pencernaan dan penyerapan. Intoleransi terhadap beberapa makanan dan
obstipasi sering menjadi bagian dari keluhan para lanjut usia (Muis et al. 1992).
Konsumsi Pangan
Kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor, antara lain
tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas fisik, usia, jenis

7

kelamin dan faktor yang bersifat relatif, di antaranya yakni gangguan pencernaan
(ingestion), perbedaan daya serap (absorption), tingkat penggunaan (utilization)
dan perbedaan pengeluaran (excretion) dan pengahancuran (destruction) zat
tersebut di dalam tubuh (Supariasa, Bakri dan Hajar 2001).
Menurut Arisman (2009), lansia memerlukan pangan yang relatif kecil
jumlahnya tetapi tinggi mutunya. Mutu yang tinggi dimaksudkan untuk
mengimbangi penyusutan faali yang cepat serta untuk mempertahankan daya
tahan tubuh terhadap penyakit. Sedang jumlah yang kecil yang tercermin dari
nilai energinya, terutama untuk menghindari masalah kegemukan yang
membahayakan lansia.
Adanya perubahan-perubahan pada tubuh lansia, menghendaki pola
konsumsi pangan yang berbeda dibandingkan pada usia-usia yang lebih muda.
Pada prinsipnya kebutuhan akan macam zat gizi bagi lansia tetap sama seperti
yang dibutuhkan oleh orang-orang dengan usia yang lebih muda, yang berubah
hanyalah jumlah dan komposisinya. Konsumsi energi sebaiknya dikurangi,
disesuaikan dengan menurunnya aktivitas tubuh. Sebaliknya konsumsi makanan
sumber protein, vitamin dan mineral perlu ditingkatkan baik dari segi jumlah
maupun mutunya. Sayuran dan buah-buahan sebaiknya dikonsumsi dalam
jumlah yang cukup secara teratur dan bervariasi. Selain sebagai sumber vitamin
dan mineral, sayuran dan buah-buahan juga merupakan sumber serat yang baik.
Hal ini sangat perlu mengingat kelompok lansia sering mendapatkan kesulitan
dalam buang air besar. Dengan adanya serat yang cukup, kesulitan tersebut
dapat di atasi dengan mudah (Astawan dan Wahyuni 1988).
Penilaian konsumsi pangan dapat menggambarkan kualitas dan kuantitas
asupan dan pola makan lansia melalui pengumpulan data dalam survei konsumsi
makanan. Metode yang umum digunakan dalam survei konsumsi makanan terdiri
dari jangka pendek (24 hours food recall, dietary record) dan jangka panjang
(Food Frequency Quesioner) (Fatmah 2010). Dalam mengkaji asupan makanan
ada tiga tingkat kegiatan, yaitu 1) perhitungan asupan makanan; 2) perhitungan
kebutuhan zat gizi, dan 3) membandingkan asupan zat gizi dengan kebutuhan
gizi. Kegiatan tersebut memerlukan informasi penunjang antara lain, status
ekonomi, pekerjaan, dan aktivitas fisik (Depkes 2006).
Kebutuhan Energi dan Zat Gizi pada Lansia
Kebutuhan energi orang yang sehat dapat diartikan sebagai tingkat
asupan

energi

yang

dapat

dimetabolisme

dari

makanan

yang

akan

8

menyeimbangkan kebutuhan energi. Karyadi dan Muhilal (1996) menyatakan
bahwa kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya. Adanya interaksi
antara berbagai zat gizi memberikan gambaran perlunya suatu keseimbangan
zat gizi yang dikonsumsi. Semakin beranekaragam bahan pangan yang
dikonsumsi maka semakin tercapainya keseimbangan dalam interaksi zat gizi.
Kebutuhan energi dan zat gizi sangat bervariasi meskipun faktor-faktor
seperti ukuran badan, jenis kelamin, macam kegiatan dan faktor lainnya sudah
diperhitungkan. Jumlah zat gizi yang dibutuhkan dapat tergantung pada kualitas
makanan karena efisiensi penyerapan dan pendayagunaan zat gizi oleh tubuh
dipengaruhi oleh kompisisi dan keadaan makanan secara keseluruhan
(Soehardjo dan Koesharto 1992). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII
(2004) mengelompokkan angka kecukupan yang dianjurkan untuk usia 50-64
tahun dan di atas 65 tahun dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Angka kecukupan zat gizi untuk lansia per orang per hari
Zat Gizi
Energi (kkal)
Protein (g)
Kalsium (mg)
Fe (mg)
Vitamin A (RE)
Vitamin C (mg)

Angka Kecukupan Gizi
Pria
Wanita
50-64 tahun
>65 tahun
50-64 tahun
>65 tahun
2350
2050
1750
1600
60
60
50
45
800
800
800
800
13
13
12
12
600
600
500
500
90
90
75
75

Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004)

Menurut Ruslianti dan Kusharto (2006), asupan energi lansia laki-laki
khususnya yang berada di Kota Bogor hanya 70% dari angka kecukupan gizi
(AKG) dan 30% dari mereka mempunyai indeks massa tubuh (IMT)