Karakteristik Protein dan Asam Amino Daging Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Pengukusan.

(1)

KARAKTERISTIK PROTEIN DAN ASAM AMINO DAGING

RAJUNGAN (Portunus pelagicus) AKIBAT PENGUKUSAN

LENNI ASNITA BR LINGGA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Karakteristik Protein dan Asam Amino Daging Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Pengukusan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Lenni Asnita Br Lingga C34070021


(3)

RINGKASAN

LENNI ASNITA BR LINGGA. C34070021. Karakteristik Protein dan Asam Amino Daging Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Pengukusan. Dibimbing oleh AGOES M. JACOEB dan NURJANAH.

Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan anggota kelas Crustacea yang menjadi salah satu komoditas ekspor penting dari Indonesia selain udang dan kepiting. Rajungan termasuk komoditas ekspor penting karena memiliki daging yang sangat enak dan dapat diolah menjadi berbagai macam masakan sehingga sangat diminati oleh para pecinta seafood. Rajungan biasanya diekspor dalam bentuk rajungan beku tanpa kepala dan kulit serta dalam bentuk olahan (kemas dalam kaleng). Pengukusan merupakan tahap awal yang penting dalam industri pengalengan rajungan untuk menjamin mutu daging rajungan yang akan dimasukkan ke dalam kaleng. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menentukan rendemen, proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein kasar), protein larut air (PLA) dan protein larut garam (PLG), komposisi dan jumlah

asam amino serta analisis histologi daging rajungan akibat pengukusan. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan meliputi pengambilan sampel

rajungan di Desa Gebang Mekar, Cirebon, Jawa Barat, penentuan ukuran (panjang dan tinggi) dan bobot, rendemen tubuh (daging, jeroan, cangkang) dan pengukusan. Analisis kimia yang dilakukan pada daging rajungan, yaitu analisis proksimat, protein

larut air, protein larut garam dan asam amino serta analisis histologi. Nilai rendemen cangkang, daging dan jeroan rajungan segar berturut-turut adalah

51,62%, 35,77% dan 12,61%. Pengukusan menyebabkan penurunan berat total rata-rata rajungan sebesar 14,99%. Komposisi kimia daging rajungan segar dan kukus adalah: kadar air 78,47% dan 75,43% (bb), abu 7,66% dan 6,02% (bk), lemak 0,84% dan 0,75% (bk), protein 68,09% dan 66,63%, protein larut air (PLA) 40,87% dan 25,32% (bk), protein larut garam (PLG) 58,06% dan 30,77% (bk). Daging rajungan mengandung 15 asam amino, 9 asam amino esensial dan 6 asam amino non esensial. Asam amino esensial tertinggi adalah arginin dan asam amino non esensial tertinggi adalah glutamat. Jumlah total asam amino esensial daging rajungan segar adalah 6940 mg/100g sedangkan asam amino non esensial sebesar 6020 mg/100 g. Analisis histologi daging rajungan dilakukan untuk melihat perbedaan struktur daging rajungan sebelum dan sesudah pengukusan. Jaringan pada daging rajungan segar terdiri atas serabut-serabut yang kompak dan masih menyatu, sedangkan pada daging rajungan kukus serabut-serabut sudah tidak kompak dan tidak menyatu (terputus-putus).


(4)

KARAKTERISTIK PROTEIN DAN ASAM AMINO DAGING

RAJUNGAN (Portunus pelagicus) AKIBAT PENGUKUSAN

LENNI ASNITA BR LINGGA C34070021

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(5)

SKRIPSI

Judul : Karakteristik Protein dan Asam Amino Daging Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Pengukusan.

Nama : Lenni Asnita Br Lingga NRP : C34070021

Departemen : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui:

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. Dr. Ir. Nurjanah, MS NIP. 19591013 198601 2 002 NIP. 19591127 198601 1 005

Mengetahui:

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil. NIP: 19580511 198503 1 002


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Karakteristik Protein dan Asam Amino Daging Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Pengukusan”. Penulisan skripsi ini dilaksanakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yaitu:

1 Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb. Dipl.-Biol. dan Dr. Ir. Nurjanah, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

2 Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

3 Ir. Djoko Poernomo, B.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak membimbing penulis.

4 Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini.

5 Seluruh dosen, pegawai dan tenaga kependidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan atas bantuannya selama ini.

6 Bapak dan Mamaku tercinta yang telah memberikan semangat, dukungan moril dan materi serta cinta yang luar biasa kepada penulis.

7 Saudara-saudaraku tercinta (kak Vera, Bang Anton, Bang Dinand, dek siska, dek Epit) yang selalu memberikan kasih sayang, perhatian dan doa kepada penulis serta kepada ponakanku tersayang “Dinara” yang telah memberikan keceriaan kepada penulis selama menulis skripsi ini.

8 Laboran, yaitu Ibu emma, Mbak silvi, Pak Ranta, Pak Ian yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian.


(7)

9 Teman-teman THP 44 untuk kebersamaan, keceriaan, bantuan dan canda tawa selama 3 tahun bersama di THP dan selama pelaksanaan penelitian. 10 Teman-teman ”tim karakteristik” atas kebersamaan dan bantuan selama

melaksanakan penelitian.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan.

Bogor , Juli 2011


(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Berastagi, pada tanggal 14 September 1988, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari Bapak Oloan Lingga dan Ibu Tiarma Basaria Br Sipayung. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di TK Letjend Djamin Ginting Berastagi dan lulus pada tahun 1995, kemudian melanjutkan di Sekolah Dasar Letjend Djamin Ginting Berastagi dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMP Negeri 1 Berastagi, setelah itu penulis melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Kabanjahe dan lulus pada tahun 2007.

Tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani pendidikan akademik penulis aktif sebagai asisten luar biasa praktikum mata kuliah Iktiologi pada tahun 2009/2010, Teknologi Pengolahan Tradisional Produk Perikanan 2010/2011, dan Pengetahuan Bahan Baku Hasil Perairan 2010/2011.

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Karakteristik Protein dan Asam Amino Daging Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Pengukusan” dan dibimbing oleh Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. dan Dr. Ir. Nurjanah, MS.


(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL……….vii

DAFTAR GAMBAR………viii

DAFTAR LAMPIRAN………..ix

1 PENDAHULUAN………..1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA………3

2.1 Rajungan (Portunus pelagicus) ... 3

2.1.1 Klasifikasi serta deskripsi morfologi dan anatomi ... 3

2.1.3 Komposisi kimia dan pemanfaatan... 5

2.2 Protein ... 5

2.3 Asam Amino ... 8

2.4 Pengukusan ... 12

2.5 High Performance Liquid Chromathography (HPLC) ... 14

3 METODOLOGI ... 16

3.1 Waktu dan Tempat ... 16

3.2 Bahan dan Alat ... 16

3.3 Metode Penelitian ... 17

3.3.1 Persiapan contoh ... 18

3.3.2 Rendemen ... 18

3.3.3 Analisis kimia ... 18

3.3.3.1 Analisis proksimat (AOAC 1995) ... 19

3.3.3.2 Analisis protein larut air dan garam (Wahyuni 1992) ... 21

3.3.3.4 Analisis asam amino (AOAC 1999) ... 22

3.3.4 Analisis histologi daging rajungan (Parafin) ...24

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

4.1 Karakteristik Rajungan (Portunus pelagicus) ... 26

4.2 Rendemen Rajungan ... 27

4.3 Hasil Analisis Kimia ... 29

4.3.1 Komposisi proksimat, protein larut air dan larut garam ... 29

4.3.2 Komposisi asam amino ... 35

4.4 Histologi Daging Rajungan ... 42

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

DAFTAR PUSTAKA………46


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Hasil analisis kimia daging kepiting dan rajungan ... .5

2 Kebutuhan manusia akan protein dan daging ikan ... ……….6

3 Asam amino esensial ... ……..10

4 Asam amino non esensial ... ……..11

5 Ukuran panjang dan bobot rajungan ... ……..26

6 Komposisi proksimat, protein larut air dan larut garam ... ……..29

7 Perbandingan asam amino daging rajungan segar ... ……..37


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Rajungan (Portunus pelagicus)………. ... 3

2 Struktur umum asam amino ... 8

3 Asam amino konfigurasi Ldan D ... 9

4 Desa Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon ... 16

5 Diagram alir metode penelitian ... 17

6 Rajungan secara dorsal dan ventral ... 26

7 Persentase rendemen rajungan segar ... 27

8 Kromatogram asam amino ... 36

9 Histogram kadar asam amino esensial daging rajungan ... 39

10 Histogram kadar asam amino non esensial daging rajungan ... 41


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Hasil Pengujian analisis proksimat daging rajungan………..51

2 Data protein larut air (PLA) daging rajungan……… ... 54

3 Data protein larut garam (PLG) daging rajungan……….. ... 55

4 Retention time asam amino……… ... 56

5 Data komposisi asam amino daging rajungan ……….. ... 56


(13)

1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Wilayah perairan Indonesia yang sangat luas mengandung sumber daya alam perikanan yang sangat berlimpah. Salah satu hasil perikanan yang sangat populer adalah kelas Crustacea. Komoditas ekspor yang potensial dari kelas Crustacea

adalah udang, kepiting dan rajungan. Rajungan termasuk komoditas ekspor karena memiliki daging yang sangat enak dan dapat diolah menjadi berbagai macam masakan sehingga hewan ini sangat diminati para pecinta seafood (Tangko dan Rangka 2009).

Rajungan merupakan salah satu jenis komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis penting di Indonesia. Beberapa spesies rajungan yang memiliki nilai ekonomis adalah Portunus trituberculatus, Portunus gladiator, Portunus sanguinus, Portunus hastatoides dan Portunus pelagicus. Sebagian besar rajungan diekspor dalam bentuk beku tanpa kepala dan kulit serta dalam bentuk olahan (kemas dalam kaleng). Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP 2005) melaporkan bahwa ekspor rajungan beku sebesar 2.813,67 ton tanpa cangkang, dan rajungan tidak beku (bentuk segar maupun dalam kaleng) sebesar 4.312,32 ton. Sebanyak 60% produksi rajungan dari Indonesia diekspor ke Amerika, sedangkan sisanya diekspor ke beberapa negara tujuan ekspor lainnya yakni Singapura, Jepang, Belanda dan Eropa (Tangko dan Rangka 2009).

Daging rajungan jantan dan betina masing-masing memiliki kandungan protein 16,85% dan 16,17%, kandungan lemak masing-masing 0,10% dan 0,35%, kandungan air sebesar 78,78% dan 81,27% serta kandungan abu sebesar 2,04% dan 1,82% (BBPMHP 1995). Protein yang terdapat dalam daging rajungan disusun oleh asam amino esensial dan non esensial yang dibutuhkan oleh tubuh.

Pengukusan merupakan salah satu tahap penting dalam pengolahan rajungan. Pengukusan merupakan tahap awal yang penting untuk menjamin mutu daging rajungan yang akan dimasukkan ke dalam kaleng. Tujuan proses pengukusan dalam industri pengalengan daging rajungan adalah untuk mencegah penurunan


(14)

mutu, memudahkan pengambilan daging rajungan, meningkatkan cita rasa serta meningkatkan tekstur daging (Purwaningsih et al. 2005).

Pengaruh pemanasan terhadap komponen daging rajungan dapat menyebabkan perubahan fisik dan komposisi kimia daging rajungan. Pengaruh lama pemanasan perlu diperhatikan terhadap komponen gizi yang terdapat dalam hasil perikanan. Beberapa studi menunjukkan bahwa proses pemanasan mempengaruhi kadar air, protein, lemak dan karbohidrat yang terdapat dalam ikan. Pemanasan dapat menyebabkan terjadinya koagulasi protein yaitu hasil denaturasi protein pada suhu tinggi (Winarno 2008).

Informasi mengenai akibat pemanasan terhadap karakteristik rajungan terbatas pada proksimat, umur simpan, nilai TPC serta kualitas daging rajungan. Padahal dalam industri pengalengan daging rajungan, pengukusan selalu dilakukan untuk mempertahankan mutu daging rajungan. Hingga saat ini belum ada informasi akibat pengukusan terhadap kualitas protein dan asam amino pada daging rajungan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kandungan protein dan asam amino pada daging rajungan guna memperoleh data komposisi protein dan asam amino daging rajungan setelah pengukusan.

1.2Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen, proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein kasar), protein larut air (PLA), protein larut garam (PLG) dan kandungan asam amino serta analisis histologi jaringan daging rajungan akibat pengukusan.


(15)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rajungan (Portunus pelagicus)

Portunus pelagicus tergolong hewan crustacea. Crustacea merupakan hewan yang dapat hidup di perairan tawar, laut dan darat. Kemampuan crustacea hidup di berbagai habitat disebabkan oleh badannya yang bersendi-sendi, sehingga mudah berjalan dan berenang dengan cepat. Kulit crustacea yang keras dan berduri menyebabkan kelas crustacea kurang disukai oleh predator (Suwignyo et al. 1998).

2.1.1 Klasifikasi serta deskripsi morfologi dan anatomi

Portunus pelagicus termasuk ke dalam filum arthropoda dan kelas crustacea. Tubuh crustacea dapat dibedakan menjadi kepala, thorax dan abdomen. Tubuh

crustacea seperti halnya arthropoda lain dilapisi kutikula dan biasanya mengandung zat kapur dengan organ pernafasan insang (Suwignyo et al. 1998). Contoh rajungan dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Saanin (1984) diacu dalam DKP (2004) klasifikasi rajungan adalah sebagai berikut:

Filum : Arthropoda

Kelas : Crustacea

Sub kelas : Malacostraca

Ordo : Eucaridae

Sub ordo : Decapoda Famili : Portunidae

Genus : Portunus

Spesies : Portunus pelagicus


(16)

Portunus pelagicus bisa mencapai panjang 18 cm, capitnya kokoh, panjang dan berduri-duri. Perbedaan antara hewan jantan dan betina sangat terlihat pada rajungan. Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh lebih besar dan capitnya lebih panjang daripada betina. Perbedaan lainnya adalah warna dasar, rajungan jantan berwarna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan betina berwarna dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih agak suram. Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa (Suwignyo et al. 1998).

Rajungan mempunyai karapas berbentuk bulat pipih dengan warna yang sangat menarik. Ukuran karapas lebih besar ke arah samping dengan permukaan yang tidak terlalu jelas pembagian daerahnya. Sebelah kiri dan kanan karapasnya terdapat duri besar, jumlah duri sisi belakang matanya sebanyak 9, 6, 5 atau 4 dan antara matanya terdapat 4 buah duri besar. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki jalan, yang pertama ukurannya cukup besar dan disebut capit yang berfungsi untuk memegang dan memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Sepasang kaki terakhir mengalami modifikasi menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih dan membundar seperti dayung, sehingga rajungan digolongkan ke dalam kelompok kepiting berenang (swimming crab) (Suwignyo et al. 1998).

Rajungan merupakan binatang yang aktif, namun ketika sedang tidak aktif atau dalam keadaan tidak melakukan pergerakan, rajungan akan diam di dasar perairan sampai kedalaman 35 meter dan hidup membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai berlumpur, hutan bakau, batu karang tetapi sekali-kali dapat juga terlihat berenang dekat permukaan. Rajungan akan melakukan pergerakan atau migrasi ke perairan yang lebih dalam sesuai umur dan menyesuaikan diri pada suhu dan salinitas perairan (Nontji 1993 diacu dalamIndriyani 2006).

Rajungan sering berganti kulit secara teratur. Kulit kerangka tubuhnya terdiri dari bahan berkapur dan karenanya tidak terus bertumbuh. Jika ia akan tumbuh lebih besar maka kulitnya akan retak pecah dan dari situ akan keluar individu yang lebih besar dengan kulit yang masih lunak.

2.1.2 Komposisi kimia dan pemanfaatan

Daging kepiting dan rajungan memiliki nilai gizi yang tinggi. Berdasarkan kandungan lemaknya, hasil perikanan (termasuk kepiting dan rajungan) dapat


(17)

digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu golongan kandungan lemak rendah (kurang dari 2-3%), golongan berlemak medium (2-5%) dan golongan berlemak tinggi dengan kandungan lemak antara 6-10%. Rajungan (crab), oyster, udang, ikan mas, ekor kuning, lemuru dan salmon termasuk golongan berlemak medium (sedang) (Winarno 1993). Komponen gizi daging rajungan dipengaruhi oleh musim, ukuran rajungan, kematangan gonad, suhu dan ketersediaan bahan makanan (Sudhakar et al. 2009).

Komposisi proksimat daging kepiting dan rajungan antara jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 1. Data tersebut menunjukkan bahwa kandungan protein dan lemak daging rajungan lebih tinggi dari pada daging kepiting.

Tabel 1 Hasil analisis kimia daging kepiting dan rajungan

Jenis komoditi Protein (%) Lemak (%) Air (%) Abu (%)

Kepiting (Jantan) 11,45 0,04 80,68 2,45

Kepiting (Betina) 11,90 0,28 82,85 1,08

Rajungan (Jantan) 16,85 0,10 78,78 2,04

Rajungan (Betina) 16,17 0,35 81,27 1,82

Sumber : BBPMHP (1995)

Rajungan banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan bagi manusia dan sebagai salah satu sumber protein hewani. Rajungan biasanya tersedia dalam bentuk segar, beku dan bentuk olahan daging rajungan dalam kaleng yang kaya akan protein. Tangko dan Rangka (2009) menyatakan bahwa cangkang dan kepala rajungan dapat dibuat kitosan yang bisa berfungsi sebagai bahan pengawet.

2.2 Protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini berfungsi sebagai bahan bakar serta zat pembangun dan pengatur (Winarno 2008). Berdasarkan sumbernya, protein terbagi menjadi dua, yaitu protein hewani yang berasal dari hewan dan protein nabati yang berasal dari tumbuhan. Protein hewani memiliki mutu lebih baik bila dibandingkan dengan protein nabati, namun protein hewani lebih mahal.

Fungsi protein sebagai zat pembangun adalah sebagai pembentuk jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi dalam tubuh. Proses pembentukan jaringan-jaringan terjadi secara besar-besaran pada masa pertumbuhan. Protein berperan


(18)

membentuk jaringan janin dan pertumbuhan embrio pada masa kehamilan. Protein juga mengganti jaringan tubuh yang rusak dan yang perlu dirombak.

Protein juga dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Protein ikut pula mengatur berbagai proses tubuh dengan membentuk zat-zat pengatur proses dalam tubuh. Protein mengatur keseimbangan cairan dalam jaringan dan pembuluh darah, yaitu dengan menimbulkan tekanan osmotik koloid yang dapat menarik cairan dari jaringan ke dalam pembuluh darah (Winarno 2008).

Kebutuhan setiap manusia akan protein sangat bervariasi, tergantung umur, jenis kelamin, keadaan fisik dan aktivitas yang dilakukan (Adawyah 2007). Orang dewasa memerlukan kira-kira 1 gram protein untuk setiap kg berat badan. Protein dibutuhkan lebih banyak selama periode pertumbuhan, misalnya anak-anak usia 5-6 tahun membutuhkan kira-kira 2 gram untuk setiap kg berat badan. Wanita memerlukan lebih banyak protein dalam susunan makanannya selama hamil dan menyusui, karena harus memenuhi kebutuhan bayinya disamping keperluan tubuhnya sendiri. Tubuh kehilangan sejumlah protein setelah sakit atau menjalani operasi, sehingga kebutuhan energi dinaikkan sampai 14% dari seluruh asupan energi (Gaman 1998).

Kandungan protein pada daging ikan umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan hewan darat. Protein ikan menyediakan lebih kurang 2/3 dari kebutuhan protein hewani yang diperlukan oleh manusia. Kebutuhan protein dan jumlah daging ikan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan protein pada manusia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kebutuhan manusia akan protein dan daging ikan Keadaan Manusia Tingkat Kebutuhan (g/orang/hari)

Protein Daging

Anak-anak 25-45 125-200

Laki-laki Dewasa 50-60 250-325

Wanita Dewasa 50-55 250-275

Wanita Hamil 60-75 300-375

Wanita Menyusui 75-80 375-400

Sumber: Adawyah (2007)

Kekurangan protein bisa menimbulkan penyakit pada manusia. Kekurangan konsumsi protein pada anak kecil bisa menyebabkan terganggunya pertumbuhan


(19)

badan, sedangkan pada orang dewasa kekurangan protein mempunyai gejala yang kurang spesifik (Winarno 2008). Kekurangan protein dapat mengakibatkan timbulnya penyakit kwashiorkor, busung lapar, menurunnya tingkat kecerdasan terutama pada anak-anak, terganggunya pertumbuhan mata, kulit, dan tulang bahkan dapat menyebabkan kematian (Adawyah 2007).

Protein pada daging ikan dapat diklasifikasikan menjadi protein miofibril, sarkoplasma dan stroma. Komposisi ketiga jenis protein pada daging ikan terdiri dari 65-75% miofibril, 20-30% sarkoplasma dan 1-3% stroma. Protein tersebut sangat mudah mengalami kerusakan atau denaturasi yang disebabkan oleh proses pengolahan (Okuzumi dan Fujii 2000)

1) Protein miofibril

Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging komoditas hasil perairan dan merupakan jenis protein yang larut dalam larutan garam (PLG) (Junianto 2003). Penyusun utama PLG adalah miosin (sebesar 50-60% dari total PLG), aktin (hampir 20% dari total PLG) serta protein regulasi (tropomiosin, troponin dan aktinin). Miosin merupakan protein esensial untuk peningkatan elastisitas gel protein (deMan 1997).

Protein miofibril berfungsi untuk kontraksi otot. Protein ini dapat diekstrak dengan larutan garam netral yang berkekuatan ion sedang (0,5 M). Protein miofibril akan mengalami denaturasi dengan kisaran pH 6,5 yang berdampak pada kemampuan pembentukan gel (Suzuki 1981). Protein yang larut dalam larutan garam lebih efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut dalam air (Junianto 2003).

2) Protein sarkoplasma

Sarkoplasma atau protein larut air (PLA) sebagai protein terbesar kedua dalam jaringan daging hasil perikanan. Protein sarkoplasma atau miogen terdiri dari albumin, mioalbumin, dan mioprotein (Junianto 2003). Protein sarkoplasma tidak berperan dalam pembentukan gel dan kemungkinan mengganggu proses pembentukan gel (Suzuki 1981). Sarkoplasma memiliki bobot molekul yang relatif rendah, pH isoelektrik tinggi dan struktur berbentuk bulat. Karakteristik fisik ini mungkin yang bertanggung jawab untuk daya larut sarkoplasma yang tinggi dalam air (DeMan 1997).


(20)

Protein sarkoplasma akan mengganggu cross-linking miosin selama pembentukan matriks gel karena protein ini tidak dapat membentuk gel dan mempunyai kapasitas pengikatan air yang rendah. Kandungan protein sarkoplasma pada komoditas hasil perairan bervariasi berdasarkan spesiesnya. Salah satu jenis protein sarkoplasma yang berkaitan dengan mutu daging adalah mioglobin, yang terdiri dari dua komponen, yaitu fraksi protein yang disebut globin dan fraksi non protein yang disebut heme. Protein ini bertanggung jawab dalam memberikan warna merah pada daging segar (Suzuki 1981).

3) Protein stroma

Protein stroma adalah protein yang membentuk jaringan ikat. Protein stroma tidak dapat diekstrak dengan larutan asam, alkali, atau larutan garam netral pada konsentrasi 0,01-0,1 M. Protein stroma terdapat pada bagian luar sel otot. Protein kontraktil misalnya konektin dan desmin juga tidak dapat terekstrak. Kolagen dan elastin merupakan komponen penyusun protein stroma (Suzuki 1981).

2.3 Asam Amino

Protein tersusun dari berbagai asam amino yang masing-masing dihubungkan dengan ikatan peptida. Protein yang dihidrolisis dengan asam, alkali, atau enzim akan menghasilkan campuran asam-asam amino. Asam amino terdiri dari sebuah gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen, dan gugus R yang terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon α. Gugus R merupakan rantai cabang yang membedakan satu asam amino dengan asam amino lainnya (Winarno 2008). Struktur asam amino secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.

COOH (gugus karboksil)

H C R (gugus radikal)

NH2 (gugus amino)

Gambar 2 Struktur umum asam amino (Almatsier 2006).

Asam amino memiliki atom C pusat yang mengikat empat gugus yang berbeda, maka molekul asam amino memiliki dua konfigurasi yaitu konfigurasi L dan konfigurasi D. Molekul asam amino dikatakan mempunyai konfigurasi L,


(21)

apabila gugus –NH2 terdapat di sebelah kiri atom karbon α dan bila posisi gugus -NH2 disebelah kanan, maka molekul asam amino itu disebut asam amino konfigurasi D (Lehninger 1990). Asam amino konfigurasi L dan D dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Asam amino konfigurasi L (kiri) dan D (kanan) (Lehninger 1990). Asam amino larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut organik non polar, misalnya eter, aseton dan kloroform. Asam amino biasanya diklasifikasikan berdasarkan sifat kimia rantai samping tersebut menjadi empat kelompok. Rantai samping dapat membuat asam amino bersifat asam lemah, basa lemah, hidrofilik jika polar dan hidrofobik jika nonpolar (Lehninger 1990).

Asam amino dalam kondisi netral (pH isolistrik, pI) berada dalam bentuk ion dipolar atau disebut juga ion zwitter. Asam amino dipolar mengandung gugus amino dengan tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi. Derajat ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH (Winarno 2008).

Asam amino yang terdapat di alam lebih dari 100 jenis, tetapi yang digunakan dalam biosintesis biokimia hanya 20 jenis. Asam amino tersebut dibagi dalam dua kelompok yaitu asam amino esensial dan asam amino non-esensial. Asam amino esensial tidak dapat diproduksi dalam tubuh sehingga sering harus ditambahkan dalam bentuk makanan, sedangkan asam amino non-esensial dapat diproduksi dalam tubuh. Asam amino umumnya berbentuk serbuk dan mudah larut dalam air, namun tidak larut dalam pelarut organik non polar (Sitompul 2004).

1) Asam amino esensial

Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat dibuat dalam tubuh dan harus diperoleh dari makanan sumber protein yang disebut juga asam amino eksogen. Asam amino seringkali disebut dan dikenal sebagai zat pembangun yang merupakan hasil akhir dari metabolisme protein. Jenis asam amino esensial beserta singkatan dan berat molekulnya dapat dilihat pada Tabel 3.


(22)

Tabel 3 Asam amino esensial

Asam amino Singkatan tiga huruf Berat Molekul (g/mol)

Histidin His 155,2

Arginin Arg 174,2

Treonin Thr 119,1

Valin Val 117,1

Metionin Met 149,2

Isoleusin Ile 131,2

Leusin Leu 131,2

Fenilalanin Phe 165,2

Lisin Lys 146,2

Triptofan Trp 204,2

Sumber: Hames dan Hooper (2005)

Hampir semua jenis asam amino mempunyai fungsi khusus. Manfaat dari beberapa asam amino esensial, diuraikan sebagai berikut:

Triptofan adalah prekursor vitamin niasin dan pengantar serotonin saraf. Metionin memberikan gugus metal guna sintesis kolin dan kreatinin serta sebagai prekursor sistein dan ikatan yang mengandung sulfur lainnya. Fenilalanin merupakan prekursor tirosin, dimana tirosin sendiri berperan dalam pembentukan pigmen kulit dan rambut. Arginin dan sentrulin terlibat dalam sintesis ureum dalam hati (Almatsier 2006).

Histidin merupakan asam amino yang bermanfaat baik untuk mendorong pertumbuhan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak. Histidin merupakan asam amino yang esensial bagi perkembangan bayi, tetapi tidak diketahui pasti apakah dibutuhkan oleh orang dewasa (Linder 1992).

Lisin merupakan asam amino yang bersifat basa karena mengandung gugus -NH (Lehninger 1990). Lisin merupakan bahan dasar antibodi darah dan memperkuat sistem sirkulasi, mempertahankan pertumbuhan sel-sel normal bersama prolin dan vitamin C akan membentuk jaringan kolagen. Treonin merupakan asam amino yang mempunyai rantai cabang gugus alifatik hidroksil (Winarno 2008).

Leusin, valin dan isoleusin merupakan jenis asam amino esensial alifatik yang memiliki rantai cabang terdiri atas hidrokarbon dan mempunyai sifat kimia yang hampir sama (Almatsier 2006). Leusin merupakan asam amino yang berperan dalam menjaga sistem imun tubuh (Edison 2009). Valin merupakan asam amino yang berperan dalam pertumbuhan dan memelihara jaringan otot.


(23)

Kekurangan asam amino ini dapat menyebabkan kehilangan koordinasi otot dan tubuh menjadi sangat sensitif terhadap rasa sakit (Edison 2009).

2) Asam amino non esensial

Asam amino non esensial adalah asam amino yang dapat dibuat dalam tubuh disebut juga asam amino endogen (Winarno 2008). Beberapa asam amino non esensial dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Asam amino non esensial

Asam amino Singkatan tiga huruf Berat Molekul (g/mol)

Alanin Ala 89

Asam aspartat Asp 133,1

Asam glutamat Glu 147,2

Glisin Gly 75,0

Prolin Pro 115,1

Serin Ser 105,1

Tirosin Thr 181,1

Sistin Sis 120,1

Sumber: Hames dan Hooper (2005)

Asam amino non esensial seperti juga asam amino esensial memiliki manfaat yang baik untuk makhluk hidup. Manfaat dari beberapa asam amino non esensial diuraikan sebagai berikut.

Tirosin merupakan asam amino yang mempunyai gugus fenol dan bersifat asam lemah. Asam amino ini dapat diperoleh dari kasein, yaitu protein utama yang terdapat dalam keju dan susu. Tirosin memiliki beberapa manfaat, yaitu, dapat mengurangi stress, anti depresi, serta detoksifikasi obat dan kokain (Linder 1992). Asam glutamat dapat diperoleh dari glutamin. Gugus amida yang terdapat pada molekul glutamin dapat diubah menjadi gugus karboksilat melalui proses hidrolisis dengan asam atau basa. Asam glutamat bermanfaat untuk menahan keinginan konsumsi alkohol berlebih, mempercepat penyembuhan luka pada usus, meningkatkan kesehatan mental dan meredam emosi (Linder 1992), Asam glutamat juga bermanfaat sebagai prekursor pengantar saraf gamma amino-asam butirat (Almatsier 2006).

Glisin dan alanin merupakan asam amino alifatik yang rantai cabangnya terdiri atas hidrokarbon. Glisin mampu mengikat bahan-bahan toksik di dalam tubuh dan mengubahnya menjadi bahan yang tidak berbahaya (Almatsier 2006). Alanin berfungsi untuk memperkuat membran sel dan membantu metabolisme


(24)

glukosa menjadi energi tubuh, sedangkan asam aspartat bermanfaat untuk penanganan pada kelelahan kronis dan peningkatan energi (Linder 1992).

Asam amino serin berfungsi membantu pembentukan lemak pelindung serabut syaraf (myelinsheaths). Serin sangat penting dalam metabolisme lemak dan asam lemak, pertumbuhan otot dan kesehatan sistem imun serta membantu produksi antibodi dan immunoglobulin (Linder 1992).

Sistin dihasilkan bila dua molekul sistein berikatan kovalen sebagai jembatan disulfida atau ikatan disulfida. Sistin digunakan sebagai prekursor taurin. Sistin berperan pada struktur beberapa protein fungisional seperti pada hormone insulin, imunoglobin sebagai antibodi dan keratin yang ditemukan pada rambut, kulit dan kuku (Hawab 2007).

2.4 Pengukusan

Pemanasan merupakan perlakuan suhu tinggi yang diberikan pada suatu bahan pangan yang bertujuan untuk mengurangi populasi mikroorganisme yang ada di dalam bahan pangan. Perlakuan-perlakuan pemanasan biasanya dikombinasikan dengan perlakuan lainnya untuk mencegah rekontaminasi oleh mikroorganisme (Tamrin dan Prayitno 2008).

Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan dengan menggunakan banyak air, tetapi air tidak bersentuhan langsung dengan produk. Bahan makanan dibiarkan dalam panci tertutup dan dibiarkan mendidih. Pengukusan sebelum penyimpanan bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam bahan baku sehingga tekstur bahan menjadi kompak. Suhu air pengukusan yang digunakan harus lebih dari 66 0C tetapi kurang dari 82 0C (Harris dan Karmas 1989).

Pengukusan akan berpengaruh pada komponen gizi yang terdapat dalam bahan makanan. Besarnya perubahan zat gizi akibat proses pengukusan tergantung dari cara mengukus dan jenis makanan yang dikukus. Keragaman susut zat gizi diantara berbagai cara pengukusan terutama terjadi akibat degradasi oksidatif. Proses pengolahan dengan pengukusan memiliki susut gizi yang lebih kecil dibandingkan dengan perebusan (Harris dan Karmas 1989).

Pemanasan pada proses pengukusan kadang-kadang tidak merata karena bahan makanan di bagian tepi tumpukan biasanya mengalami pengukusan


(25)

berlebihan, sementara di bagian tengah mengalami pengukusan sedikit. Pengukusan sebaiknya dilakukan setengah matang untuk produk-produk sayuran. Hal ini akan membuat sayuran tetap renyah dan mengurangi kerusakan vitamin yang terkandung didalamnya. Produk-produk hewani misalnya daging, telur dan ikan sebaiknya dimasak sampai matang, karena kondisi setengah matang atau kurang matang akan menimbulkan ancaman keamanan pangan (Tamrin dan Prayitno 2008).

Pengukusan juga sering dilakukan dalam industri mendahului proses pengalengan bahan makanan. Tujuannya hanya untuk menonaktifkan enzim, bukan untuk membunuh mikroba sehingga perubahan warna, cita rasa atau nilai gizi yang tidak dikehendaki selama proses penyimpanan dapat dicegah (Tamrin dan Prayitno 2008).

Pengukusan tradisional dilakukan menggunakan air panas atau uap panas sebagai medium penghantar panas. Faktor yang mempengaruhi susut gizi selama pengukusan dengan air adalah faktor yang mempengaruhi pemindahan massa yaitu luas permukaan, konsentrasi zat terlarut dalam air panas dan pengadukan air. Beberapa metode pengukusan yang sering digunakan yaitu, pengukusan dengan uap panas, pengukusan dengan gelombang mikro dan pengukusan dengan gas panas (Harris dan Karmas 1989).

Pengukusan dengan uap panas menghasilkan retensi zat gizi larut air yang lebih besar dibandingkan dengan pengukusan menggunakan air karena adanya pemanasan yang merata hampir di seluruh bagian bahan. Pengukusan konvensional menyebabkan bagian tepi bahan akan mengalami pengukusan yang berlebihan, sedangkan pada bagian tengah hanya mengalami pengukusan yang sedikit (pengukusan tidak merata) (Harris dan Karmas 1989).

Pengukusan dengan gelombang mikro telah diterapkan untuk produk makanan. Metode ini dipakai karena energi gelombang mikro tidak mempengaruhi peningkatan degradasi komponen makanan secara langsung selain melalui peningkatan suhu. Metode ini memiliki retensi zat gizi yang lebih besar dibandingkan dengan metode pengukusan menggunakan air panas dan uap panas, tetapi biaya yang dibutuhkan sangat mahal (Harris dan Karmas 1989).


(26)

Pengukusan dengan gas panas juga telah dikembangkan, terutama untuk mengurangi efluen yang timbul selama pengukusan. Suhu yang digunakan mencapai 121 0C namun suhu produk tidak akan melampui 100 0C karena terjadi penguapan cairan di permukaan. Produk yang dikukus menggunakan air panas atau gas panas tidak memiliki perbedaan nyata dari kandungan gizinya (Harris dan Karmas 1989).

2.5 High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

Kualitas suatu protein dapat ditentukan dengan mengetahui kandungan asam aminonya. Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali atau enzim akan menghasilkan campuran asam-asam amino (Winarno 2008). Asam-asam amino esensial harus ada dalam jumlah yang cukup dalam makanan supaya aktivitas metabolisme tubuh tetap terjaga secara optimal (Buckle et al. 1978). Analisis asam amino bertujuan untuk mengetahui jenis dan jumlah asam amino yang terkandung dalam suatu protein bahan pangan.

Analisis asam amino ini sangat diperlukan, misalnya untuk menganalisis hasil industri makanan, makanan ternak, obat-obatan, analisis cairan biologi dan hidrolisat protein. Cara analisis asam amino yang masih lazim digunakan sampai saat ini adalah kromatografi dengan berbagai macam teknik misalnya kromatografi kertas, lapisan tipis, dan kolom (Rediatning dan Kartini 1987). Akhir-akhir ini analisis asam amino menggunakan kromatografi cair dengan kinerja tinggi atau yang dengan istilah lebih dikenal High Performance Liquid Chromatography (HPLC) (Muchtadi 1989). Komponen utama alat yang dipakai dalam HPLC antara lain: reservoir zat pelarut untuk fase mobil, pompa, injektor, kolom, detektor dan rekorder (Adnan 1997).

High Performance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan alat yang bermanfaat untuk menganalisis komposisi gizi bahan pangan secara kualitatif dan kuantitatif (Pomeranz dan Meloan 2000). HPLC memiliki dua fase, yaitu fase diam dan fase stasioner. Pelarut yang lebih polar biasanya digunakan sebagai fase stasioner. Secara umum, dapat dikatakan bahwa kromatografi adalah suatu proses migrasi diferensial dimana komponen-komponen sampel ditahan secara selektif oleh fase diam (Sudarmadji et al. 2007).


(27)

Pelarut-pelarut yang biasa digunakan dalam HPLC adalah air, metanol, asetomitril, kloroform dan pelarut-pelarut lain yang memiliki viskositas yang rendah (Pomeranz dan Meloan 2000). Tahap awal yang dilakukan sebelum dilakukan analisis asam amino dengan kromatografi, yaitu pembuatan hidrolisat protein yang bertujuan untuk memutuskan ikatan peptidanya dengan hidrolisis asam atau basa. Hidrolisis asam yang umum digunakan yaitu HCl 6 N yang menyebabkan kerusakan triptofan dan sedikit juga kerusakan terjadi pada serin dan treonin. Hidrolisis basa biasanya menggunakan NaOH 2-4 N dan tidak merusak triptofan tetapi menyebabkan deaminasi asam amino lain (Nur et al. 1992). Contoh Gambar HPLC bisa dilihat pada Lampiran 1.


(28)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat (1) Lokasi pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan di Desa Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Desa Gebang Mekar merupakan salah satu desa pantai yang berada di kecamatan Babakan, berada di wilayah timur Cirebon. Secara geografis Desa Gebang Mekar berada pada posisi 108o43’5” BT dan 6o49’ LS dan dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan darat 1-2jam perjalanan dari pusat kota Cirebon. Lokasi Desa Gebang Mekar disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Desa Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon (2) Tempat penelitian utama

Penelitian utama dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2011 bertempat di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Nutrisi Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan dan Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini, yaitu rajungan dengan panjang rata-rata 11-13 cm, tidak dalam keadaan baru berganti cangkang dan tidak sedang bertelur. Akuades, H2SO4, NaOH, HCl dan pelarut heksana (analisis proksimat), akuades dan NaCl (analisis PLA dan PLG), HCl, buffer kalium borat, larutan OPA, metanol, merkaptoetanol, larutan brij-30, buffer borat, asetonitril,


(29)

buffer natrium asetat (analisis asam amino), larutan Bouin’s, alkohol, xylol, parafin, pewarna haematoxilin dan eosin (analisis histologi).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat bedah, termometer, mortar, timbangan digital dan timbangan analitik, cawan porselen, oven, desikator, tabung reaksi, gelas erlenmeyer, tabung Kjeldahl, destilator, buret, tabung sokhlet, pemanas, tanur, sentrifuse, syringe dan HPLC merk Shimadzu, mikrotom, mikroskop cahaya merk Olympus CH30 dan kamera digital merk canon.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian tahap 1 dan tahap 2. Penelitian tahap 1 dilakukan dengan melakukan survei/sampling bahan baku ke lapangan untuk memperoleh informasi tentang rajungan. Rendemen rajungan ditentukan sebelum dan setelah dilakukan pengukusan. Penelitian tahap 2 dilakukan analisis proksimat, protein larut garam (PLG), protein larut air (PLA) dan asam amino serta analisis histologi daging rajungan. Diagram alir metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Diagram alir metode penelitian. Pengambilan

Rajungan

Pengukusan dengan air Suhu 70-82 0C,± 28 menit

Rendemen jeroan

Rendemen Daging

Rendemen cangkang Rajungan segar

Analisis kimia: 1. Analisis proksimat 2. Analisis PLG dan PLA 3. Analisis asam amino

Analisis Histologi (daging jenis jumbo)


(30)

3.3.1 Persiapan contoh

Rajungan segar yang diperoleh dari Desa Gebang Mekar, Cirebon dibawa menggunakan coolbox dan diberi es untuk menjaga kesegarannya. Rajungan diangkut ke Bogor dengan perjalanan lebih kurang enam jam. Preparasi sampel diawali dengan pencucian rajungan menggunakan air bersih. Hal ini dilakukan untuk membersihkan kotoran yang melekat pada rajungan. Rajungan yang sudah bersih kemudian diukur morfometriknya menggunakan penggaris dengan ukuran 30 cm. Penentuan panjang rajungan dilakukan dengan mengukur bagian cangkang dari kiri ke kanan rajungan secara dorsal dari ujung duri terpanjang, sedangkan penentuan tinggi dengan cara mengukur bagian ujung cangkang rajungan dari atas ke bawah bagian cangkang yang tertinggi.

Rajungan yang telah diukur dibagi menjadi dua bagian, yaitu rajungan segar dan kukus. Pengukusan dilakukan dengan cara memasukkan rajungan ke dalam panci berisi air yang telah dipanaskan mencapai suhu 70 0C. Pengukusan dilakukan selama 28 menit, kemudian rajungan didinginkan selama 30 menit (Purwaningsih et al. 2005), sebelum dan sesudah pengukusan dilakukan penimbangan untuk mengetahui perubahan berat rajungan.

Rajungan segar dan kukus kemudian dipreparasi dengan cara memisahkan daging rajungan dari cangkang dan jeroannya. Daging rajungan dari seluruh bagian tubuh digabungkan dan dihaluskan dengan mortar. Daging rajungan segar dan kukus yang telah dipreparasi dimasukkan ke dalam plastik dan ditutup rapat serta diberi kode masing-masing.

3.3.2 Rendemen

Rendemen dihitung sebagai persentasi bobot bagian tubuh rajungan dari bobot awal. Perumusan matematik rendemen adalah sebagai berikut:

Rendemen (%) = Bobot contoh (g) x 100% Berat Total (g)

3.3.3Analisis kimia

Analisis kimia daging rajungan terdiri atas analisis proksimat, protein larut air (PLA), protein larut garam (PLG) serta asam amino.


(31)

3.3.3.1 Analisis proksimat

Analisis proksimat yang dilakukan terhadap rajungan meliputi: kadar air, abu, protein dan lemak.

1) Analisis kadar air (AOAC 1995)

Prinsip analisis kadar air yaitu menguapkan air yang terdapat dalam bahan dengan oven dengan suhu 100-105 oC dalam jangka waktu tertentu hingga diperoleh berat konstan. Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 102-105 0C selama 30 menit. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) hingga dingin dan ditimbang hingga beratnya konstan. Cawan dan sampel seberat 1-2 gram ditimbang. Cawan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105 0C selama 6 jam (atau hingga diperoleh berat konstan bahan kering). Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan hingga dingin kemudian ditimbang.

Perhitungan kadar air:

% kadar air = B - C x 100% B - A

Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram) 2) Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Prinsip analisis kadar abu yaitu membakar bahan dalam tanur dengan suhu 600 oC sehingga seluruh unsur organik habis terbakar dan berubah menjadi gas dan sisanya yang tidak terbakar adalah abu yang merupakan kumpulan dari mineral-mineral yang terdapat dalam bahan. Cawan abu porselen dikeringkan di dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105 0C, lalu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Cawan abu porselen dipijarkan dalam tungku pengabuan bersuhu sekitar 105 0C sampai tidak berasap (sampai abu berwarna putih). Cawan dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 0C selama 2-3 jam. Cawan abu porselen didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang beratnya.


(32)

Perhitungan kadar abu:

% Kadar abu: C - A x 100% B - A

Keterangan: A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)

B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram)

C = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan (gram)

3) Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Prinsip analisis protein yaitu penetapan protein kasar dilakukan berdasarkan penentuan kadar nitrogen yang terdapat dalam bahan, kandungan nitrogen yang diperoleh dikalikan dengan angka konversi menjadi nilai protein. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.

(1) Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung Kjeltec. Satu butir Kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas bersuhu 410 0C dan ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening.

(2) Tahap destilasi

Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan dengan akuades (50 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml.

Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan methyl red dan brom

cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperolah 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer.

(3) Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan pada Erlenmeyer berubah warna menjadi pink.


(33)

% Nitrogen = (ml HCl sampel – ml HCl blanko) x 0,1 N HCl x 14 x 100% mg bahan

% Kadar protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25)

4) Analisis kadar lemak (AOAC 1995)

Prinsip analisis kadar lemak adalah melarutkan lemak yang terdapat dalam suatu bahan dengan pelarut non organik, kemudian pelarut diuapkan sehingga yang terukur hanya kadar lemak dalam bahan saja. Sampel seberat 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet, lalu dipanaskan pada suhu 40 0C menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap dan pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0

C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak:

% Kadar lemak = W3– W2 x 100% W1

Keterangan: W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram) 3.3.3.2 Analisis protein larut air dan garam (Wahyuni 1992) 1) Analisis protein larut air

Sampel sebanyak 5 gram ditambahkan 50 ml air, kemudian dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah (5-8 0C). Sampel disentrifugasi pada 3400 x G selama 30 menit dengan suhu 10 0C, selanjutnya disaring menggunakan kertas saring Whatman no.1. Filtrat ditampung dalam erlenmeyer dan disimpan pada suhu 4 0C. Sebanyak 1 ml filtrat dianalisis kandungan proteinnya dengan metode mikro Kjeldahl.


(34)

Perhitungan kadar protein larut air (PLA):

Kadar PLA (%) = (A - B) x Normalitas HCl x 14,007 x fp x 6,25 x 100% mg bahan

Keterangan: A = Volume titrasi HCl sampel (ml) B = Volume titrasi HCl blanko (ml) fp = faktor pengenceran

2) Analisis protein larut garam

Sampel sebanyak 5 gram ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5% kemudian dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah (5-8 0C). sampel disentrifugasi pada 3400 x G selama 30 menit dengan suhu 10 0C kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman no.1. Filtrat ditampung dalam erlenmeyer dan disimpan pada suhu 4 0C. sebanyak 1 ml filtrat dianalisis kandungan proteinnya dengan metode mikro Kjeldahl.

Perhitungan kadar protein larut garam (PLG):

Kadar PLG (%) = (A - B) x Normalitas HCl x 14,007 x fp x 6,25 x 100% mg bahan

Keterangan: A = Volume titrasi HCl sampel (ml) B = Volume titrasi HCl blanko (ml) Fp = faktor pengenceran

3.3.3.4 Analisis asam amino (AOAC 1999 dengan modifikasi)

Komposisi asam amino ditentukan dengan HPLC. Sebelum digunakan, perangkat HPLC dan syringe harus dibilas dulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam dan akuades. Analisis asam amino dengan menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap, yaitu: (1) tahap pembuatan hidrolisat protein; (2) tahap pengeringan; (3) tahap derivatisasi; (4) tahap injeksi serta analisis asam amino.

1)Tahap pembuatan hidrolisat protein

Sampel sebanyak 30 mg ditimbang dan dihancurkan. Sampel yang telah hancur dihidrolisis asam menggunakan HCl 6 N sebanyak 1 ml yang kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 110 0C selama 24 jam. Pemanasan dalam oven


(35)

dilakukan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel dan mempercepat reaksi hidrolisis.

2) Tahap pengeringan

Sampel yang telah dihidrolisis pada suhu kamar dipindahkan isinya ke dalam labu evaporator 50 ml, dibilas dengan 2 ml HCl 0,01 N dan cairan bilasan dimasukkan ke dalam labu evaporator. Proses ini diulangi hingga 2-3 kali. Sampel kemudian dikeringkan menggunakan freeze dryer dalam keadaan vakum untuk mengubah sistein menjadi sistin, ditambahkan 10-20 ml air ke dalam sampel dan dikeringkan dengan freeze dryer. Proses ini diulangi hingga 2-3 kali.

3) Tahap derivatisasi

Larutan derivatisasi sebanyak 30 µl ditambahkan pada hasil pengeringan, larutan derivatisasi dibuat dari campuran larutan stok OPA dengan larutan buffer kalium borat pH 10,4 dengan perbandingan 1:2. Larutan stok OPA dibuat dengan cara mencampurkan 50 mg OPA ke dalam 4 ml metanol dan 0,025 ml merkaptoetanol, dikocok hati-hati dan ditambahkan larutan brij-30 30% sebanyak 0,050 ml dan buffer borat 1 M, pH 10,4 sebanyak 1 ml. Larutan stok pereaksi OPA disimpan pada botol berwarna gelap pada suhu 4 oC. Proses derivatisasi dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel. Selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan 20 ml asetonitril 60% atau buffer natrium asetat 1 M, lalu dibiarkan selama 20 menit. Kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman.

4) Injeksi ke HPLC

Hasil saringan diambil sebanyak 5 µl untuk diinjeksikan ke dalam HPLC. Konsentrasi asam amino yang ada pada bahan ditentukan dengan pembuatan kromatogram standar dengan menggunakan asam amino yang telah siap pakai yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel.

Kandungan asam amino dalam 100 gram bahan dapat dihitung dengan rumus: % asam amino = Luas daerah sampel x C x fp x BM x 100%

Luas daerah standar Bobot sampel (µg) Keterangan: C = Konsentrasi standar asam amino (µg/ml)

fp = faktor pengenceran


(36)

Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis asam amino sebagai berikut: Temperatur : 27 0C (suhu ruang)

Jenis kolom HPLC : Ultra techspere (Coloum C-18) Kecepatan alir eluen : 1 ml/menit

Tekanan : 3000 psi

Fase gerak : Buffer Na-Asetat dan methanol 95%

Detektor : Fluoresensi

Panjang gelombang : 254 nm

3.3.4 Analisis histologi daging rajungan (metode parafin)

Analisis histologi daging rajungan segar dan kukus (jenis daging jumbo) diawali dengan pembuatan preparat daging rajungan (Portunus pelagicus). Pembuatan preparat sendiri dimulai dengan fiksasi selama 24-48 jam dalam larutan bouin’s. Fiksasi dilakukan untuk mencegah kerusakan dan mempertahankan keadaan jaringan seperti keadaan hidup. Larutan fiksatif dibuang, sampel direndam dalam alkohol 70% selama 24 jam. Proses dehidrasi dilakukan dengan perendaman jaringan rajungan sebanyak lima kali dalam larutan alkohol dengan konsentrasi masing-masing 80%, 90%, 95%, 95% dan 100% selama masing-masing 2 jam kecuali untuk konsentrasi 100% selama satu malam. Proses clearing dilakukan dengan cara bahan dipindahkan ke dalam wadah berisi larutan alkohol 100% baru selama satu jam. Bahan dipindahkan ke dalam larutan alkohol-xylol (1:1), xylol I, xylol II, xylol III selama masing-masing setengah jam. Bahan kemudian dipindahkan ke dalam larutan xylol-parafin (1:1) selama 45 menit dan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 65-70 oC. Pergantian parafin dilakukan setiap 45 menit sekali sebanyak 3 kali pergantian. Proses blocking dilakukan dengan memindahkan larutan parafin ke dalam cetakan dan dilakukan penyusunan jaringan di dalam cetakan. Cetakan parafin disimpan pada suhu ruang selama satu malam. Setelah proses blocking selesai, dilakukan penyayatan dengan mikrotom Yamoto RV-240 putar setebal 7-8 µm. Hasil sayatan kemudian direkatkan pada gelas obyek, selanjutnya direndam dalam larutan xylol I, xylol II, alkohol 100% I, alkohol 100% II, alkohol 95%, alkohol 90%, alkohol 80%, alkohol 70% dan alkohol 50% masing-masing selama tiga menit. Gelas objek dicuci menggunakan air bersih yang mengalir.


(37)

Preparat diwarnai dengan haematoxylin selama tujuh menit dan eosin selama satu menit. Pada proses pewarnaan, gelas obyek direndam ke dalam larutan alkohol 50%, alkohol 70%, alkohol 85%, alkohol 90%, alkohol 100% I, alkohol 100% II selama masing-masing dua menit, dilanjutkan perendaman dalam larutan xylol I dan xylol II selama masing-masing 2 menit. Preparat direkatkan menggunakan entellan atau Canada balsam dengan gelas penutup, kemudian diberi label di sebelah kiri gelas obyek. Preparat diamati menggunakan mikroskop cahaya merk Olympus CH30 dan difoto menggunakan kamera digital merk canon.


(38)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Rajungan (Portunus pelagicus)

Rajungan yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Rajungan memiliki ciri-ciri capitnya kokoh, panjang dan berduri-duri dan mempunyai karapas berbentuk bulat pipih. Warna dasar rajungan ini adalah kebiru-biruan atau kehijau-hijauan bercak-bercak putih. Gambar rajungan (Portunus pelagicus) secara dorsal dan ventral dapat dilihat pada Gambar 6.

(a) (b)

Gambar 6 Rajungan dorsal (a) dan ventral (b).

Pengukuran yang dilakukan terhadap rajungan meliputi pengukuran panjang, lebar dan bobot. Karakteristik ukuran dan bobot rajungan dapat dilihat pada Tabel 5. Rajungan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Lampiran 2.

Tabel 5 Ukuran panjang dan bobot rajungan

Parameter Satuan Nilai

Panjang cm 11,20 ± 0,89

Lebar cm 5,17 ± 0,49

Bobot total g 95,10 ± 9,53

Keterangan : Sampel 30 ekor rajungan

Tabel 5 menunjukkan bahwa rajungan yang ditangkap oleh nelayan di Desa Gebang Mekar, Cirebon memiliki panjang rata-rata 11,20 cm, lebar rata-rata 5,17 cm dan bobot rata-rata 95,1 gram. Rajungan bisa mencapai panjang maksimum 18 cm. Perbedaan antara rajungan jantan dan betina terlihat sangat mencolok walaupun belum memasuki tahap dewasa (Suwignyo et al. 1998). Rajungan bisa hidup di dasar perairan sampai kedalaman 35 meter dan hidup


(39)

membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai berlumpur, hutan bakau, batu karang tetapi sekali-kali dapat juga berenang ke permukaan perairan.

Perbedaan ukuran dan bobot rajungan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor pertumbuhan, jenis kelamin, umur, makanan dan lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan. Hasil wawancara dengan nelayan menunjukkan bahwa rajungan ditangkap pada saat kondisi gelombang laut tenang pada pukul 08.00 WIB pagi hari dan didaratkan di tempat pengumpul pada pukul 15.00 WIB untuk kemudian ditimbang oleh pedagang pengumpul.

4.2 Rendemen Rajungan

Rendemen adalah bagian dari suatu bahan baku yang dapat diambil dan dimanfaatkan. Rendeman merupakan parameter penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektifitas suatu bahan baku. Rajungan yang digunakan pada penelitian ini memiliki nilai rendemen yang berbeda berdasarkan perlakuan preparasi dalam keadaan segar dan setelah pengukusan.

Rendemen rajungan merupakan bagian tubuhnya yang masih bisa dipergunakan yang diperoleh dengan cara membedah rajungan, memisahkan daging dengan cangkang, kemudian memisahkan bagian daging dengan jeroan. Rendemen daging rajungan dapat dihitung berdasarkan persentase perbandingan bobot keseluruhan daging yang sudah diambil dari cangkang dan dipisahkan dari jeroan terhadap bobot total rajungan. Rendemen rajungan segar dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Persentase rendemen rajungan segar. Cangkang

(51,62%) Daging

(35,77%) Jeroan (12,61%)


(40)

Gambar 7 menunjukkan bahwa rajungan segar memiliki persentase rendemen tertinggi pada cangkang, yaitu sebesar 51,62%, rendemen daging sebesar 35,77% dan rendemen jeroan mempunyai nilai yang terkecil sebesar 12,61%. Rendemen hasil perikanan berbeda-beda tergantung dari ukuran, berat dan jenisnya. Rendemen total daging rajungan sebesar 25-35% dari berat tubuhnya dan besarnya rendemen ini dipengaruhi oleh kesegaran bahan baku, cara pengambilan dagingnya serta jenis kelamin rajungan dimana rajungan jantan memiliki nilai rendemen daging yang lebih besar bila dibandingkan dengan rajungan betina (Indriyani 2006).

Rajungan memiliki cukup besar bagian yang belum dimanfaatkan yakni bagian cangkang dan jeroannya. Tangko dan Rangka (2009) menyatakan bahwa limbah dari rajungan dapat dibuat kitosan sebagai pengganti formalin. Limbah yang dimaksud adalah kepala, kulit, ekor maupun kaki rajungan yang pada umumnya 25-50% dari berat rajungan. Potensi limbah ini dapat diolah lebih lanjut menjadi polisakarida, kitosan dan glukosamin. Ketiga produk ini mempunyai sifat mudah terurai dan tidak bersifat beracun sehingga sangat ramah lingkungan. Pemanfaatan cangkang rajungan ini menjadi bahan baku kitosan akan menerapkan proses produksi tanpa limbah (zero waste).

Rajungan setelah pengukusan mengalami perubahan jumlah rendemen. Pengukusan menyebabkan penyusutan berat rata-rata rajungan dari 76,69 gram menjadi 65,19 gram, atau mengalami penyusutan sebesar 14,99% dari berat rata-rata semula.

Penyusutan rendemen rajungan terjadi karena selama pengukusan pada suhu 70-82 oC selama 28 menit menyebabkan kandungan air bebas yang terdapat pada daging, jeroan dan cangkang keluar sehingga terjadi pengurangan berat. Pengukusan merupakan salah satu proses pemanfaatan perlakuan panas yang penting dalam pengolahan rajungan melalui media air tetapi air tidak bersentuhan langsung dengan produk. Pengukusan sebelum penyimpanan bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam bahan baku sehingga tekstur bahan menjadi kompak. Keluarnya air dari rajungan juga menyebabkan beberapa komponen penting misalnya vitamin-vitamin larut air (Vitamin B kompleks dan C), protein, lemak


(41)

dan mineral berkurang, namun penurunan zat gizi yang diakibatkan pengukusan tidak sebesar perebusan (Thamrin dan Prayitno 2008).

4.3 Hasil Analisis Kimia

Hasil analisis kimia yang dilakukan pada penelitian ini memberikan informasi mengenai komposisi proksimat, komposisi protein larut air dan protein larut garam serta asam amino daging rajungan segar dan kukus yang diperoleh dari Desa Gebang Mekar, Cirebon.

4.3.1 Komposisi proksimat, protein larut air dan protein larut garam

Analisis mengenai komposisi kimia suatu bahan pangan sangat penting dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kandungan gizi yang terdapat di dalam bahan pangan tersebut. Komposisi kimia yang terdapat dalam rajungan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya musim, ukuran, tahap kedewasaan, suhu lingkungan dan ketersediaan bahan makanan (Sudhakar et al. 2009).

Kandungan dalam suatu produk merupakan parameter yang penting bagi konsumen dalam mempertimbangkan pemilihan makanan yang dikonsumsinya. Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengetahui komposisi kimia kandungan suatu bahan pangan. Salah satunya adalah analisis proksimat untuk mengetahui kandungan gizi secara kasar (crude) yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat yang dihitung secara by difference. Hasil analisis proksimat, protein larut air dan protein larut garam daging rajungan dapat dilihat pada Tabel 6. Data mentah komposisi proksimat, PLA dan PLG disajikan pada Lampiran 3.

Tabel 6 Komposisi proksimat, protein larut air dan larut garam daging rajungan Jenis Gizi

Rajungan Segar (%) Rajungan kukus (%) Basis basah (bb) Basis kering (bk) Basis basah (bb) Basis kering (bk)

Air 78,47 - 75,43 -

Abu 1,65 7,66 1,48 6,02

Lemak 0,18 0,84 0,19 0,75

Protein 14,66 68,09 16,37 66,63

Karbohidrat 5,04 23,41 6,54 26,62

Protein larut air (PLA) 8,80 40,87 6,22 25,32

Protein larut garam (PLG) 12,50 58,06 7,56 30,77 Tabel 6 menunjukkan bahwa daging rajungan segar memiliki nilai kadar air, abu, lemak , protein kasar, protein larut air (PLA) dan protein larut garam (PLG)


(42)

yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan rajungan kukus. Komposisi kadar abu, lemak, protein kasar, protein larut air (PLA) dan protein larut garam (PLG) menggunakan basis kering. Penentuan pada berat basis kering dimaksudkan untuk mengetahui besar perubahan sesungguhnya yang terjadi pada kadar abu, lemak protein kasar, protein larut air (PLA) dan protein larut garam (PLG) daging rajungan setelah pengukusan dengan mengabaikan kadar airnya.

1) Kadar air

Air merupakan kebutuhan dasar dari seluruh makhluk hidup, manusia, hewan dan tumbuhan termasuk bakteri. Tingginya kadar air pada suatu bahan pangan akan mempengaruhi kesegaran bahan pangan tersebut. Produk hasil perikanan mempunyai kadar air yang sangat tinggi sekitar 80% (Adawyah 2007) sehingga sangat berpotensi sebagai media pertumbuhan bakteri dan menurunkan kesegaran dan mutu produk.

Air dalam suatu bahan makanan ikut menentukan kesegaran dan daya tahan bahan itu sendiri. Perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau berasal dari bahan itu sendiri. Air yang terdapat dalam suatu bahan makanan terdapat dalam tiga bentuk, yaitu air bebas, air yang terikat secara lemah dan air yang dalam keadaan terikat kuat. Air bebas adalah air yang terdapat dalam ruang-ruang antar sel dan intergranular dan pori-pori yang terdapat pada bahan. Air yang terikat secara lemah karena terserap pada permukaan koloid makromolekul antara lain protein, pektin, pati dan selulosa. Air yang dalam bentuk ini masih tetap mempunyai sifat air bebas dan dapat dikristalkan pada proses pembekuan. Air yang dalam keadaan terikat kuat yaitu membentuk hidrat. Ikatannya bersifat ionik sehingga relatif sukar dihilangkan atau diuapkan (Winarno 1999).

Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui jumlah air bebas yang terdapat dalam daging rajungan. Rajungan memiliki persentase kadar air yang tertinggi dibandingkan dengan kadar abu, protein dan lemak. Kadar air daging rajungan segar dan setelah pengukusan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 menunjukkan kadar air pada daging rajungan segar yang berasal dari Desa Gebang Mekar, Cirebon sebesar 78,47% (bb). Nilai ini lebih kecil daripada kadar air yang terdapat pada rajungan jantan dan betina yang berasal dari Desa


(43)

Gegunung Wetan, Rembang, yaitu sebesar 80,59% dan 79,11% (Nurjanah et al. 2009). Perbedaan kadar air ini disebabkan oleh perbedaan habitat, kondisi lingkungan, umur dan jenis kelamin rajungan.

Kadar air yang terdapat pada daging rajungan kukus mengalami penurunan dibandingkan daging rajungan segar menjadi 75,43% (bb). Kadar air daging rajungan rebus menurut penelitian Nurjanah et al. (2009) adalah sebesar 76,41%. Penurunan kadar air dipengaruhi oleh faktor pemasakan yang menyebabkan cairan dari dalam daging rajungan merembes keluar (terjadi drip).

Setiap spesies memiliki komposisi kimia yang berbeda-beda, termasuk kadar airnya. Kadar air pada daging kepiting bakau (Scylla serrata) segar menurut penelitian Benjakul dan Sutthipan (2009) adalah sebesar 78,69%. Kadar air daging rajungan memiliki nilai yang tidak terlalu jauh dengan kadar air pada daging kepiting, yaitu 78,47%.

2) Kadar abu

Kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan tersebut. Penentuan kadar abu total sangat berguna sebagai parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno 2008).

Kadar abu daging rajungan segar dan setelah pengukusan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan kadar abu daging rajungan segar sebesar 7,66% (bk) dan pada daging rajungan kukus menjadi 6,02% (bk). Kadar abu daging rajungan rebus menurut penelitian Nurjanah et al. (2009) adalah sebesar 9,53% (bk).

Pengukusan menyebabkan pecahnya partikel-partikel mineral yang terikat pada air akibat pemanasan sehingga mineral pada daging rajungan terlarut ke dalam air pengukusan dan terbawa bersama uap air yang keluar dari daging selama pengukusan. Tamrin dan Prayitno (2008) menyatakan bahwa pengukusan akan menyebabkan penurunan zat gizi pada suatu bahan. Mineral yang ikut terbawa bersama uap selama pengukusan antara lain Co, Mg, Cu dan P (Harris dan Karmas 1989).


(44)

Abu merupakan salah satu komponen kimia penting yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Setiap bahan pangan, memiliki kadar abu yang berbeda-beda, yang menunjukkan mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut berbeda-beda. Benjakul dan Sutthipan (2009) melaporkan bahwa kadar abu pada daging kepiting bakau (Scylla serrata) segar adalah sebesar 7,46% (bk). Kadar abu daging rajungan segar memiliki nilai yang tidak terlalu jauh dengan kadar abu daging kepiting, yaitu 7,66% (bk).

3) Kadar lemak

Lemak merupakan salah satu komponen utama yang terdapat dalam bahan pangan selain karbohidrat dan protein. Peranan lemak dalam menentukan karakteristik bahan pangan cukup besar. Lemak merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal/gram energi sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal/gram.

Lemak yang terdapat pada produk perikanan pada umumnya sangat mudah untuk dicerna langsung oleh tubuh, sebagian besar adalah asam lemak tak jenuh yang dibutuhkan oleh pertumbuhan, dan kadar kolesterol sangat rendah (Adawyah 2007). Analisis kadar lemak yang dilakukan untuk mengetahui kandungan lemak yang terdapat pada daging rajungan segar dan setelah pengukusan. Kadar lemak daging rajungan segar dan setelah pengukusan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan kadar lemak daging rajungan segar sebesar 0,84% (bk) dan daging rajungan kukus mengalami penurunan menjadi 0,75% (bk). Nurjanah et al. (2009) melaporkan bahwa daging rajungan segar dan rebus masing-masing memiliki nilai 0,33% (bk) dan 0,29% (bk).

Persentase kandungan lemak pada daging rajungan kukus lebih rendah daripada rajungan segar. Hal ini diduga terjadi akibat pengukusan maka lemak dalam daging akan mencair dan terlarut ke dalam air pengukusan sehingga tidak terukur selama analisis. Secara umum, pemanasan yang dilakukan pada suatu bahan akan menyebabkan komponen-komponen lemak pecah menjadi produk volatil seperti aldehid, keton, alkohol, asam dan hidrokarbon yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan flavor (Apriyantono 2002).


(45)

4) Kadar protein

Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien selain karbohidrat dan lemak yang berperan lebih penting dalam pembentukan biomolekul daripada sumber energi. Kandungan energi protein rata-rata 4 kkal/gram atau setara dengan kandungan energi karbohidrat. Produk perikanan memiliki kandungan protein yang mudah diserap dan dicerna sehingga baik dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi protein terutama pada anak-anak (Sudhakar et al. 2009).

Analisis kadar protein dilakukan untuk mengetahui kandungan protein pada daging rajungan segar dan setelah dikukus. Kadar protein daging rajungan segar dan setelah pengukusan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan bahwa kadar protein pada rajungan kukus mengalami penurunan bila dibandingkan dengan kadar protein daging rajungan segar. Kadar protein daging rajungan segar dan kukus berturut-turut adalah 68,09% (bk) dan 66,63% (bk).

Kandungan protein daging rajungan mengalami penurunan akibat pengukusan. Kandungan protein bersifat tidak stabil dan mempunyai sifat dapat berubah dengan berubahnya kondisi lingkungan (Georgiev et al. 2008). Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu yang moderat (60-90 0C) selama satu jam atau kurang sehingga dapat menurunkan kandungan protein (Winarno 1992).

Pengukusan yang dilakukan pada suatu bahan pangan akan mempengaruhi kandungan gizi bahan pangan tersebut, namun perubahan yang ditimbulkan tidak sebesar pada perebusan. Pemanasan pada pengukusan kadang-kadang tidak merata karena bahan makanan di bagian tepi tumpukan biasanya mengalami pengukusan berlebih dan menyebabkan penurunan zat gizi, sedangkan di bagian tengah mengalami pengukusan lebih sedikit (Tamrin dan Prayitno 2008). Nurjanah et al. (2009) melaporkan bahwa kadar protein daging rajungan segar dan rebus masing-masing 69,36% (bk) dan 85,33% (bk).

5) Kadar karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan. Karbohidrat berfungsi untuk mencegah timbulnya pemecahan protein berlebihan, kehilangan mineral dan membantu metabolisme lemak protein. Bentuk


(46)

karbohidrat yang dapat dicerna dalam bahan pangan umumnya adalah zat pati dan berbagai jenis gula misalnya sukrosa, fruktosa dan laktosa (Winarno 2008).

Karbohidrat pada produk perikanan tidak mengandung serat, kebanyakan dalam bentuk glikogen. Selain itu, karbohidrat pada produk perikanan terdiri dari glukosa, fruktosa, sukrosa dan monosakarida lainnya (Okuzumi dan Fujii 2000). Analisis karbohidrat dalam daging rajungan dilakukan secara by difference untuk mengetahui kadar karbohidrat dalam daging rajungan. Penurunan kadar abu, lemak dan protein daging rajungan kukus akan berpengaruh pada kadar karbohidrat, yaitu menyebabkan peningkatan kadar karbohidrat.

Kadar karbohidrat daging rajungan segar dan kukus berturut-turut adalah 23,41% (bk) dan 26,62% (bk). Okuzumi dan Fuzii (2000) menyatakan bahwa kandungan glikogen yang terkandung pada produk perikanan sebesar 1% untuk ikan, 1% untuk krustasea dan 1-8% untuk kekerangan.

6) Kadar protein larut air (PLA)

Protein sarkoplasma atau protein larut air (PLA) merupakan protein yang dapat larut dalam air. Protein larut air yang terdapat dalam suatu produk perikanan tidak berperan dan dapat menghambat pembentukan gel (Jae 2004). Sarkoplasma memiliki bobot molekul yang relatif rendah, pH isoelektrik tinggi dan struktur berbentuk bulat. Karakteristik fisik ini mungkin yang bertanggung jawab untuk daya larut sarkoplasma yang tinggi dalam air (Suzuki 1981). Kandungan protein larut air daging rajungan dalam keadaan segar dan setelah mengalami pengukusan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan kandungan protein larut air daging rajungan segar sebesar 40,87% (bk) dan kukus kukus sebesar 25,32% (bk).

Jumlah protein larut air mengalami penurunan selama pengukusan berlangsung, yaitu dari 40,87% (bk) pada daging rajungan segar menjadi 25,32% (bk) pada daging rajungan kukus. Penurunan jumlah protein sarkoplasma akibat pengukusan diduga oleh mudah larutnya protein sarkoplasma dalam air, sehingga pada waktu pengukusan berlangsung terjadi koagulasi dan denaturasi dan terlepas dari daging karena larut dengan air dan ikut keluar terbawa oleh uap air.


(47)

7) Protein larut garam (PLG)

Protein miofibril atau protein larut garam (PLG) merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging ikan dan protein ini bersifat larut dalam larutan garam. Protein miofibril memiliki peranan dalam kontraksi jaringan otot, pembentukan gel dan mengikat air (Jae 2004). Protein ini dapat diekstrak dengan larutan garam netral yang berkekuatan ion sedang (>0,5 M).

Kandungan protein larut garam (PLG) daging rajungan dalam keadaan segar dan setelah mengalami pengukusan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan kandungan protein larut air daging rajungan segar sebesar 58,06% (bk) dan kukus sebesar 30,77% (bk).

Pemanasan yang dilakukan pada waktu pengukusan, menyebabkan terjadinya denaturasi protein sehingga protein miofibril kehilangan sifat fungsionalnya dan kelarutannya di dalam larutan garam menjadi menurun. Purnomo (1996) diacu dalam Ridwan (2006) menyatakan bahwa pengolahan daging menggunakan suhu tinggi akan menyebabkan denaturasi protein sehingga terjadi koagulasi dan menurunkan solubilitas atau kemampuan daya larutnya. Denaturasi yang berlebihan dapat mempengaruhi sifat-sifat fungisional protein yang tergantung pada kelarutannya, dari sisi gizi. Pada suhu diatas 60 oC protein miofibril sudah terkoagulasi dan menjadi tidak larut lagi (Hamm 1966 diacu dalam Suwandi 1990), sehingga kelarutan protein miofibril pada larutan garam akan menurun dan tidak terukur pada waktu analisis.

4.3.2 Komposisi asam amino

Asam amino merupakan komponen utama penyusun protein, dan dibagi dalam dua kelompok yaitu asam amino esensial dan non esensial. Asam amino esensial tidak dapat diproduksi dalam tubuh sehingga sering harus ditambahkan dalam bentuk makanan, sedangkan asam amino non esensial dapat diproduksi dalam tubuh. Asam amino umumnya berbentuk serbuk dan mudah larut dalam air namun tidak larut dalam pelarut organik non polar (Sitompul 2004).

1) Kromatogram asam amino

Analisis asam amino dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode

High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Asam amino yang terdeteksi oleh detektor terekam secara otomatis oleh alat perekam dalam bentuk


(48)

kromatogram. Jumlah asam amino daging rajungan setara dengan luas daerah dibawah kromatogram yang dikonversi menjadi angka komposisi asam amino daging rajungan. Urutan asam amino dalam kromatogram dapat ditentukan dengan membandingkan retention time sampel dengan standar. Retention time

asam amino daging rajungan disajikan pada Lampiran 4. Kromatogram asam amino daging rajungan segar dan kukus disajikan pada Gambar 8.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 8 Kromatogram asam amino (a) segar ulangan 1; (b) segar ulangan 2; (c) kukus ulangan 1; (d) kukus ulangan 2.

2) Kadar asam amino

Mutu suatu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein yang bermutu adalah protein yang dapat menyediakan asam amino esensial dalam perbandingan yang menyamai kebutuhan tubuh (Winarno 1997). Analisis asam amino dilakukan untuk menduga komposisi asam amino dan menentukan kadar asam amino pada protein daging rajungan dalam keadaan segar dan setelah mengalami pengukusan. Hasil analisis asam amino dalam keadaan segar dan perbandingannya dengan beberapa hasil perairan disajikan pada Tabel 7.


(49)

Tabel 7 menunjukkan bahwa diantara 15 asam amino yang dihasilkan dalam penelitian didominasi oleh tiga jenis asam amino esensial, yaitu arginin, leusin dan lisin, sedangkan untuk asam amino non esensial didominasi oleh dua jenis asam amino, yaitu aspartat dan glutamat. Asam amino yang terdapat pada daging rajungan segar memiliki nilai yang berbeda bila dibandingkan dengan hasil perairan lainnya (Tabel 7). Variasi komposisi kimia dapat terjadi antar spesies, antar individu dalam suatu spesies, antar individu dalam suatu spesies dan antara bagian tubuh satu dengan yang lain (Suzuki 1981 diacu dalam Nurjanah et al. 2009).

Tabel 7 Perbandingan asam amino daging rajungan segar Asam amino Rajungan

1

Rajungan2 Udang ronggeng3 Ikan sardin4

Mg/100 g protein

Isoleusin 590 860 599 797

Leusin 1105 1750 983 1482

Lisin 1075 1570 857 1812

Metionin 405 460 561 426

Fenilalanin 575 770 606 701

Tirosin 530 720 787 480

Treonin 565 660 1002 520

Valin 615 1030 1016 827

Triptofan - 110 - -

Aspartat 1380 1420 1555 1058

Serin 600 560 674 530

Glutamat 2345 2220 3306 847

Glisin 455 1030 1370 629

Alanin 895 1240 1504 871

Histidin 345 480 627 769

Arginin 1480 1770 624 -

Prolin - 680 613 505

Sistin - - 300 -

1 : Hasil Penelitian 2 : W u et al. (2010) 3 : Jacoeb et al. (2008) 4 : Dincer et al. (2010)

Pengolahan bahan pangan menggunakan pemanasan dapat menimbulkan reaksi-reaksi baik yang diinginkan maupun tidak. Pengukusan merupakan salah satu contoh metode pengolahan yang memanfaatkan suhu panas yang dapat mempengaruhi kandungan gizi suatu bahan. Konsentrasi asam amino pada


(1)

Nur MA, Adijuwana H, Kosasih. 1992. Penuntun Praktikum Teknik Laboratorium. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Okuzumi M, Fujii T. 2000. Nutritional and Functional Properties of Squid and Cuttlefish. Japan: National Cooperative Association of squid Processors. Pomeranz Y dan Meloan CE. 2000. Food Analysis Theory and Practise.

Maryland: Aspen Publisher, Inc.

Purwaningsih S, Josephine W dan Lestari DS. 2005. Pengaruh lama penyimpanan daging rajungan (Portunus pelagicus) rebus pada suhu kamar. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 8(1):42-50.

Rediatning W dan Kartini N. 1987. Analisis asam amino dengan kromatografi cairan kinerja tinggi secara derivatisasi prakolom dan pascakolom. Di dalam: Prosiding Institut Teknologi Bandung 20(1/2) 41-59.

Ridwan AA. 2006. Perubahan-perubahan protein yang diakibatkan oleh proses pengolahan pada daging domba. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Sitompul S. 2004. Analisis asam amino dalam tepung ikan dan bungkil kedelai. Buletin Teknik Pertanian 9(1):33-37.

Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 2007. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.

Sudhakar M, Manivannan K, Soundrapandian P. 2009. Nutritive value of hard and soft shell crabs of Portunus sanguinolentus (herbst). Journal Animal and Veterinary Advances 1(2):44-48.

Suwandi R. 1990. Pengaruh proses penggorengan dan pengukusan terhadap sifat fisiko-kimia protein ikan mas (Cyprinus carpio L.). [Tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Suwignyo S, Bambang W, Yusli W, dan Majarianti K. 1998. Avertebrata Air Jilid 1. Jakarta: Penebar swadaya.

Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Technology. London: Applied Science Publisher LTD.

Tamrin dan Prayitno L. 2008. Pengaruh lama perebusan dan perendaman terhadap kadar air dan tingkat kelunakan kolang-kaling. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II 2008. Universitas Lampung, November 17-18, 2008.

Tangko AM dan Rangka NA. 2009. Industri rajungan dan usaha peletariannya di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Di dalam: Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2009. Sekolah Tinggi Perikanan, Desember 3-4, 2009.

Tapotubun AM, Nanlohy EEEM, Louhenapessy JM. 2008. Efek waktu pemanasan terhadap mutu presto beberapa jenis ikan. Journal Ichthyos 7(2):65-70.

Thorarinsdottir KA, Arason S, Sigurgisladottir, Gunnlaugsson VN, Johannsdottir J, Tornberg E. 2011. The effects oj salt-curing and salting procedures on the


(2)

microstructure of cod (Gadus morhua) muschle. Journal Food Chemistry 126:109-115.

Yunizal, Marsini JT, Dolaria N, Purdiwoto B, Abdulrohmin, Carkikar. 1998. Prosedur Analisis Kimiawi Ikan dengan Produk Olahan Hasil Perikanan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan perikanan.

Wahyuni. 1992. Panduan Praktikum Kimia Pangan. Jakarta: Erlangga.

Wahyuni L. 2008. Komposisi kimia dan karakteristik protein tortilla corn chips dengan penambahan tepung putih telur sebagai sumber protein. [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia.

Winarno FG. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Winarno FG. 1999. Air dan kehidupan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brioo Press.

Wu X, Zhou B, Cheng Y, Zeng C, Wang C, Feng L. 2010. Comparison of gender differences in biochemical composition and nutritional value of various edible parts of the blue swimmer crab. Journal Food Composition and Analysis 23:154-159.


(3)

(4)

Lampiran 1 High Performance Liquid Chromatography (HPLC).

Lampiran 2 Rajungan (Portunus pelagicus) dan proses preparasi. a. Foto rajungan


(5)

Lampiran 3 Hasil Pengujian analisis proksimat, protein larut air dan protein larut garam daging rajungan.

Komposisi kimia (%) Rajungan segar Rajungan kukus

1 2 1 2

Kadar air 78,14 78,8 75,40 75,45

Kadar abu 1,7 1,6 1,37 1,59

Kadar protein 15,82 13,50 16,46 16,25

Kadar lemak 0,18 0,18 0,19 0,18

PLA 7,86 9,74 6,26 6,19


(6)

Lampiran 4 Retention time asam amino

Lampiran 5 Data komposisi asam amino rajungan

No. Jenis asam amino Kadar asam amino (%)

Segar 1 Segar 2 Kukus 1 Kukus 2

1 Aspartat 1,43 1,33 1,61 1,38

2 Glutamat 2,43 2,26 2,56 2,26

3 Serin 0,62 0,58 0,70 0,65

4 Histidin 0,37 0,32 0,37 0,34

5 Glisin 0,82 0,09 0,97 0,89

6 Treonin 0,58 0,55 0,64 0,60

7 Arginin 1,50 1,46 1,75 1,58

8 Alanin 0,91 0,88 0,91 0,86

9 Tirosin 0,55 0,51 0,61 0,57

10 Metionin 0,42 0,39 0,41 0,43

11 Valin 0,63 0,60 0,69 0,65

12 Fenilalanin 0,60 0,55 0,68 0,62

13 Isoleusin 0,61 0,57 0,68 0,63

14 Leusin 1,16 1,05 1,25 1,15

15 Lisin 1,01 1,14 1,24 1,07

Asam amino

Retention time

Standar Rajungan segar Rajungan kukus Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

Aspartat 1,298 1,308 1,317 1,318 1,325

Glutamat 2.020 2,038 2,049 2,054 2,058

Serin 6,955 6,998 6,993 6,990 6,974

Histidin 8,273 8,337 8,335 8,330 8,306

Glisin 9,481 9,817 9,802 9,806 9,756

Treonin 9,750 10,304 10,288 10,291 10,250

Arginin 12,151 12,200 12,195 12,190 12,160

Alanin 12,965 12,997 12,979 12,978 12,937

Tirosin 14,297 14,323 14,307 14,290 14,265

Metionin 17,888 17,870 17,853 17,819 17,789

Valin 18,290 18,271 18,252 18,218 18,184

Fenilalanin 19,620 19,601 19,586 19,551 19,514

Isoleusin 20,908 20,900 20,894 20,868 20,842

Leusin 21,388 21,381 21,377 21,354 21,330