Karakteristik asam lemak dan kolesterol rajungan (Portunus pelagicus) akibat proses pengukusan

(1)

KARAKTERISTIK ASAM LEMAK DAN KOLESTEROL

RAJUNGAN (Portunus pelagicus) AKIBAT PROSES

PENGUKUSAN

MARDIANA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

RINGKASAN

MARDIANA. C34070039. Karakteristik Asam Lemak dan Kolesterol Rajungan (Portunus pelagicus) akibat Proses Pengukusan. Dibimbing oleh AGOES M. JACOEB dan DJOKO POERNOMO.

Rajungan merupakan salah satu jenis kepiting laut yang banyak terdapat di Indonesia. Permintaan komoditas rajungan terus meningkat selain disebabkan oleh rasa dagingnya yang sangat gurih, juga oleh kandungan gizinya yang cukup tinggi. Kandungan gizi yang terdapat pada rajungan adalah protein, lemak, asam amino, asam lemak dan kolesterol. Rajungan biasanya hanya dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang diolah dengan cara perebusan atau pengukusan oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengukusan terhadap rendemen, komposisi kimia, karakteristik asam lemak dan kandungan kolesterol serta struktur jaringan rajungan.

Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel rajungan di Desa Gebang Mekar, Cirebon, Jawa Barat. Rajungan yang belum dan telah dikukus dilakukan perhitungan rendemen, analisis proksimat, asam lemak, kolesterol dan histologi.

Rajungan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki panjang total rata-rata 11,20 cm, lebar total rata-rata 5,17 cm dan berat total rata-rata 95,1 g. Nilai rendemen cangkang rajungan lebih besar daripada daging dan jeroannya yaitu 51,62%. Rendemen rajungan mengalami penyusutan setelah proses pengukusan menjadi 14,99%. Hasil analisis proksimat rajungan mengalami penurunan setelah proses pengukusan yaitu kadar air (75,43%), abu (6,02%), lemak (0,75%) dan protein (66,63%).

Asam lemak rajungan terdiri dari asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh tunggal dan asam lemak tak jenuh jamak. Asam lemak jenuh yaitu laurat, miristat, palmitat, stearat, arakhidat, behenat dan lignoserat. Asam lemak tak jenuh tunggal yaitu palmitoleat, elaidat, oleat, cis-11-eikosenoat, erukat dan nervonat. Asam

lemak tak jenuh jamak yaitu linolelaidat, linoleat, γ-linolenat, linolenat, dihomo-γ-linolenat, arakhidonat, EPA dan DHA. Asam lemak jenuh tertinggi pada daging rajungan segar, yaitu palmitat (6,12%). Asam lemak tak jenuh tunggal tertinggi pada daging rajungan segar, yaitu oleat (2,56%). Asam lemak tak jenuh jamak tertinggi pada daging rajungan segar, yaitu DHA (8,73%). Kandungan kolesterol pada daging rajungan mengalami penurunan setelah proses pengukusan (36,59 mg/100 g). Struktur jaringan pada daging rajungan segar dan kukus berbeda. Struktur jaringan pada daging rajungan segar tampak masih kompak sedangkan daging rajungan kukus tampak tidak kompak dan banyak jaringan yang terputus-putus sehingga membentuk bagian yang kecil.


(3)

KARAKTERISTIK ASAM LEMAK DAN KOLESTEROL

RAJUNGAN (Portunus pelagicus) AKIBAT PROSES

PENGUKUSAN

MARDIANA

C34070039

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(4)

Judul skripsi : Karakteristik Asam Lemak dan Kolesterol Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Proses Pengukusan

Nama : Mardiana NRP : C34070039

Departemen : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui: Pembimbing 1

Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. NIP. 19591127 198601 1 005

Pembimbing 2

Ir. Djoko Poernomo, B.Sc NIP. 19580419 198303 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil. NIP: 19580511 198503 1 002


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Karakterisasi

Asam Lemak dan Kolesterol Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Proses

Pengukusan” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun

kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Mardiana NRP C34070039


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 3 Februari 1989 dan merupakan anak pertama dari 2 bersaudara pasangan Bapak Marzuki dan Ibu Herawati. Penulis memulai pendidikan formal di TK. RA Al-Falahiyyah Rawa Barat, Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1995. Tahun 2001, lulus dari sekolah dasar di SD Negeri 06 Petang Rawa Barat, Jakarta Selatan kemudian melanjutkan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 13 Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan sekolah menengah atas di SMA Negeri 55 Jakarta dan lulus pada tahun 2007.

Di tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) di Program Sarjana Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjalani pendidikan akademik di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan diantaranya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) sebagai anggota Divisi Hubungan Luar dan Komunikasi (Hublukom) pada tahun 2008-2009 dan Fisheries Processing Club (FPC) sebagai anggota pada tahun 2008 sampai sekarang. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan di FPIK antara lain Bina Desa BEM, pelatihan eksternal FPC dan Ketua Panitia Bina Desa Himasilkan 2010. Penulis juga pernah menjadi asisten Teknologi Produk Tradisional Hasil Perairan 2010/2011.

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul

“Karakteristik Asam Lemak dan Kolesterol Rajungan (Portunus pelagicus)

Akibat Proses Pengukusan” dibimbing Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. dan Ir. Djoko Poernomo, B.Sc.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Karakteristik Asam Lemak

dan Kolesterol Rajungan (Portunus pelagicus) Akibat Proses Pengukusan”. Penulisan skripsi ini dilaksanakan sebagai salah satu syarat untuk meperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:

1 Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. dan Ir. Djoko Poernomo, B.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

2 Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., Mphil. selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

3 Ir. Dadi R. Sukarsa selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini.

4 Kedua orangtuaku dan adikku tercinta yang selalu memberikan motivasi dan doa.

5 Seluruh dosen, pegawai dan tenaga kependidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan.

6 Teman-teman THP 44 atas segala dukungan, kerjasama dan kebersamaan yang selalu diberikan kepada penulis.

7 Kakak kelas THP 42 dan 43 yang telah membantu penulis atas informasi yang mendukung skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dalam penyempurnaan skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Rajungan (Portunus pelagicus) ... 3

2.2 Komposisi Kimia Rajungan ... 4

2.3 Lemak ... 5

2.4 Asam Lemak ... 6

2.5 Fungsi Asam Lemak ... 8

2.6 Kolesterol ... 9

2.7 Pengukusan ... 10

2.8 Kromatografi Gas ... 12

3 METODOLOGI ... 13

3.1 Waktu dan Tempat ... 13

3.2 Bahan dan Alat ... 13

3.3 Metode Penelitian ... 14

3.3.1 Persiapan sampel... 15

3.3.2 Proses pengukusan ... 15

3.4 Metode Analisis ... 15

3.4.1 Rendemen ... 16

3.4.2 Analisis proksimat (AOAC 1995) ... 16

3.4.3 Analisis asam lemak (AOAC 1984) ... 18

3.4.4 Analisis kadar kolesterol ... 20

3.4.5 Analisis histologi ... 21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1 Karakteristik Rajungan ... 23

4.2 Rendemen... 24

4.3 Komposisi Kimia Daging Rajungan ... 25


(9)

4.3.2 Kadar abu ... 27

4.3.3 Kadar lemak... 28

4.3.4 Kadar protein ... 29

4.3.5 Asam lemak ... 29

4.3.6 Kolesterol ... 35

4.4 Histologi Daging Rajungan ... 37

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

5.1 Kesimpulan ... 40

5.2 Saran ... 40


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Komposisi kimia daging rajungan jantan dan betina ... 5

2 Kandungan kolesterol pada makanan (mg/100g) ... 10

3 Ukuran dan berat rajungan (Portunus pelagicus) ... 23

4 Komposisi kimia daging rajungan segar dan kukus ... 26


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Rajungan betina (a) dan jantan (b) ... 3

2 Diagram alir metode penelitian... 14

3 Rendemen rajungan segar... 24

4 Rendemen rajungan kukus ... 25

5 Komposisi kimia daging rajungan segar dan kukus... 26

6 Kandungan asam lemak jenuh daging rajungan ... 31

7 Kandungan asam lemak tak jenuh tunggal daging rajungan ... 33

8 Kandungan asam lemak tak jenuh jamak daging rajungan ... 34

9 Kadar kolesterol daging rajungan segar dan kukus ... 36


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Aktivitas nelayan di Desa Gebang Mekar, Cirebon, Jawa Barat ... 46

2 Alat kromatografi gas dan kompressor ... 47

3 Data panjang, lebar dan berat rajungan ... 48

4 Hasil pengujian analisis proksimat rajungan ... 50

5 Nilai retention time asam lemak daging rajungan segar dan standar ... 52

6 Nilai retention time asam lemak daging rajungan kukus dan standar... 53

7 Hasil analisis asam lemak rajungan ... 54

8 Hasil analisis kolesterol rajungan ... 55

9 Peak kromatografi gas standar asam lemak ... 56

10 Peak kromatografi gas asam lemak rajungan segar ulangan 1 ... 57

11 Peak kromatografi gas asam lemak rajungan segar ulangan 2 ... 57

12 Peak kromatografi gas asam lemak rajungan kukus ulangan 1 ... 58

13 Peak kromatografi gas asam lemak rajungan kukus ulangan 2 ... 68


(13)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persaingan pasar global memacu bangsa Indonesia untuk memanfaatkan kekayaan alam yang dimilikinya semaksimal mungkin. Potensi lestari (Maximum Sustainable Yield) sumberdaya ikan di perairan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6,4 juta ton per tahun (Dahuri 2003). Hasil laut tersebut merupakan kekayaan alam yang berpotensi tinggi untuk dikembangkan. Salah satu hasil komoditi perikanan saat ini yang mulai berkembang pesat dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi adalah rajungan. Rajungan (Portunus pelagicus) atau swimming crab merupakan salah satu jenis kepiting laut yang banyak terdapat di Indonesia.

Permintaan komoditas rajungan atau kepiting baik dalam bentuk segar, beku atau produk kaleng yang terus meningkat, baik pasaran dalam maupun luar negeri, telah menjadikan hewan ini sebagai salah satu komoditas andalan untuk ekspor setelah udang windu. Permintaan yang terus meningkat ini, selain disebabkan oleh rasa dagingnya yang sangat gurih, juga oleh kandungan gizinya yang cukup tinggi (Juwana dan Kasijan 2000).

Salah satu kandungan gizi yang terdapat pada rajungan adalah lemak. Lemak di dalam makanan yang memegang peranan penting adalah yang disebut lemak netral, atau trigliserida, yang molekulnya terdiri atas satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak, yang diikatkan pada gliserol tersebut dengan ikatan ester (Sediaoetomo 2008).

Asam lemak merupakan senyawa pembangun berbagai lipida, termasuk lipida sederhana, fosfogliserida, glikolipida, sfingolipid, ester koleterol, lilin dan lain-lain, dan telah diisolasi lebih dari 70 macam asam lemak dari berbagai sel dan jaringan berupa rantai hidrokarbon dengan ujungnya berupa gugus hidroksil (Girindra 1987).

Selain lemak dan asam lemak, komoditas rajungan juga memiliki kandungan kolesterol. Kolesterol merupakan substrat untuk pembentukan beberapa zat esensial, yaitu asam empedu yang dibuat oleh hati, hormon-hormon steroid, vitamin D, dan pembentukan semua membran sel. Kolesterol diproduksi


(14)

dalam tubuh terutama oleh hati tetapi jika produksi kolesterol berlebihan dapat meningkatkan risiko penyumbatan pembuluh arteri (Freeman dan Junge 2005).

Rajungan hanya dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang diolah dengan cara perebusan atau pengukusan oleh masyarakat. Pengukusan merupakan cara memasak dengan menggunakan banyak air, tetapi air tidak bersentuhan langsung dengan produk (Harris dan Karmas 1989). Rajungan mempunyai potensi ekonomis dan prospek yang menguntungkan. Rajungan selain sebagai bahan pangan dapat dimanfaatkan juga sebagai sumber kitin.

Penelitian ini penting karena informasi mengenai kandungan gizi rajungan ini masih sangat sedikit, padahal rajungan ini bernilai ekonomis tinggi di pasaran. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai kandungan gizi rajungan guna meningkatkan pengetahuan akan komposisi gizi hasil komoditi perikanan yang dapat bermanfaat bagi kesehatan.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pengukusan terhadap rendemen, komposisi kimia, karakteristik asam lemak dan kandungan kolesterol serta struktur jaringan rajungan.


(15)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Rajungan (Portunus pelagicus)

Rajungan adalah salah satu anggota filum crustacea yang memiliki tubuh beruas-ruas. Klasifikasi rajungan (Portunus pelagicus) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Sub kelas : Malacostraca Ordo : Eucaridae Sub ordo : Decapoda Famili : Portunidae Genus : Portunus

Spesies : Portunus pelagicus

(a) (b)

Gambar 1 Rajungan betina (a) dan jantan (b)

Rajungan memiliki karapas yang sangat menonjol dibandingkan dengan abdomennya. Lebar karapas pada rajungan dewasa dapat mencapai ukuran 18,5 cm. Abdomennya berbentuk segitiga (meruncing pada jantan dan melebar pada betina), tereduksi dan melipat ke sisi ventral karapas. Kedua sisi muka karapas tedapat 9 buah duri yang disebut sebagai duri marginal. Duri marginal pertama berukuran lebih besar daripada ketujuh duri belakangnya, sedangkan duri marginal ke-9 yang terletak di sisi karapas merupakan duri terbesar. Kaki rajungan berjumlah 5 pasang, pasangan kaki pertama berubah menjadi capit (cheliped) yang digunakan untuk memegang serta memasukkan makanan ke dalam mulutnya, pasangan kaki ke-2 sampai ke-4 menjadi kaki jalan, sedangkan


(16)

pasangan kaki jalan kelima berfungsi sebagai pendayung atau alat renang, sehingga sering disebut sebagai kepiting renang (swimming crab). Kaki renang pada rajungan betina juga berfungsi sebagai alat pemegang dan inkubasi telur (Oemarjati dan Wisnu 1990).

Morfologi rajungan secara umum berbeda dengan kepiting bakau. Rajungan memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya. Duri akhir pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada kondisi tanpa air (Kasry 1996 dalam DKP 2004).

Ukuran dan warna jantan berbeda dengan betina. Rajungan jantan berukuran lebih besar dan berwarna biru serta terdapat bercak-bercak putih, sedangkan rajungan betina berwarna hijau kecoklatan dengan bercak-bercak putih kotor. Rajungan biasanya hidup membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai berlumpur, hutan bakau, batu karang atau terkadang dapat dijumpai sedang berenang ke permukaan laut. Rajungan dewasa memakan mollusca, crustacea, ikan atau bangkai pada malam hari. Larva rajungan bersifat planktonik, berkembang menjadi dewasa melalui stadia zoea, megalopa dan rajungan dewasa (Oemarjati dan Wisnu 1990).

Menurut BBPMHP (1995) jenis daging rajungan digolongkan menjadi tiga tingkatan mutu, yaitu:

(1) Mutu 1 (daging super/jumbo) adalah daging badan yang terletak di bagian bawah (berhubungan dengan kaki renang) berbentuk gumpalan besar berwarna putih.

(2) Mutu 2 (daging reguler) adalah daging badan yang berupa serpihan-serpihan, terletak disekat-sekat rongga badan berwarna putih.

(3) Mutu 3 (daging merah/clawmeat) adalah daging rajungan yang berada di kaki dan capit, berwarna putih kemerahan.

2.2 Komposisi Kimia Rajungan

Daging kepiting dan rajungan memiliki nilai gizi yang tinggi. Berdasarkan kandungan lemaknya, hasil perikanan (termasuk kepiting dan rajungan) dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu kandungan lemak rendah (kurang dari


(17)

2-3%), berlemak medium (2-5%) dan berlemak tinggi dengan kandungan lemak 6-10%. Rajungan, oyster, udang, ikan mas, ekor kuning, lemuru dan salmon termasuk golongan berlemak medium (Winarno 1993). Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kimia daging rajungan antara jantan dan betina (BBPMHP 1995).

Komposisi kimia daging rajungan antara jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia daging rajungan jantan dan betina

Jenis komoditi Protein (%) Lemak (%) Air (%) Abu (%)

Rajungan jantan 16,85 0,10 78,78 2,04

Rajungan betina 16,17 0,35 81,27 1,82

Sumber: BBPMHP (1995)

2.3 Lemak

Lemak merupakan senyawa organik yang tidak larut dalam air tetapi dapat diekstraksi dengan pelarut non polar. Senyawa organik ini terdapat dalam semua sel dan berfungsi sebagai sumber energi, komponen struktur sel, sebagai simpanan bahan bakar metabolik, sebagai komponen pelindung dinding sel, dan juga sebagai komponen pelindung kulit vertebrata (Girindra 1987).

Apabila ditinjau dari sudut nutrisi, lemak merupakan sumber kalori penting di samping berperan sebagai pelarut berbagai vitamin. Definisi lain lemak adalah suatu molekul yang memiliki rantai alifatik hidrokarbon panjang sebagai struktur utamanya, dapat bercabang, dapat membentuk cincin karboksilat, dan dapat mengandung rantai tak jenuh (unsaturated). Lemak yang dioksidasi secara sempurna dalam tubuh menghasilkan 9,3 kalori lemak per 1 gram (Ketaren 1986).

Lemak juga berfungsi sebagai penghasil asam lemak esensial (essensial fatty acid = EFA). Asam lemak esensial merupakan asam lemak yang tidak dapat dibentuk tubuh dan harus tersedia dari luar (berasal dari makanan). Jenis asam lemak esensial yang memegang peranan penting bagi tubuh adalah oleat, linoleat, dan linolenat. Ketiganya mengandung ikatan rangkap (dua atau lebih) termasuk ke dalam kelompok asam lemak tak jenuh poli (polyunsaturated fatty acid = PUFA) (Suharjo dan Kusharto 1987).


(18)

2.4 Asam Lemak

Asam lemak merupakan senyawa pembangun berbagai lipida, termasuk lipida sederhana, fosfogliserida, glikolipida, sfingolipid, ester kolesterol, lilin dan lain-lain, dan telah diisolasi lebih dari 70 macam asam lemak dari berbagai sel dan jaringan berupa rantai hidrokarbon dengan ujunganya berupa gugus hidroksil (Girindra 1987).

Asam lemak dapat digolongkan berdasarkan tingkat kejenuhan, yaitu asam lemak jenuh (saturated fatty acid/SAFA) dan asam lemak tidak jenuh (unsaturated fatty acid). Pembagian ini penting karena asam lemak jenuh mempunyai titik cair yang lebih tinggi dibandingkan asam lemak tidak jenuh. Adapun asam lemak yang paling umum dijumpai adalah laurat, miristat, palmitat, dan stearat (Suharjo dan Kusharto 1987).

Asam lemak tak jenuh yang mengandung satu ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated fatty acid =MUFA). Asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh majemuk. Asam lemak tak jenuh umumnya terdapat dalam bentuk cis, sedangkan bentuk trans banyak terdapat pada lemak susu ruminansia pada hewan terestrial dan lemak yang telah dihidrogenasi (Muchtadi et al. 1993). Perbedaan ikatan kimia antar asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh dapat menyebabkan terjadinya perbedaan sifat kimia dan fisik, diantaranya asam lemak jenuh dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Semakin panjang rantai karbon dan semakin banyak jumlah ikatan rangkapnya, maka semakin besar kecenderungan untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Berbagai jenis asam lemak tak jenuh (unsaturated fatty acid) (O’Keefe 2008);

(1) Asam lemak n-3 (omega-3)

Bentuk umum dari omega-3 adalah asam eikosapentaenoat, asam dokosaheksaenoat, dan asam alpha-linolenat yang membantu membentuk EPA dan DHA. Omega-3 dapat dihasilkan dari minyak ikan, terdiri dari rantai panjang dari asam linolenat.

(a) Asam α-linolenat (18:3n-3)

Secara alami asam α-linolenat memiliki daya afinitas yang lebih tinggi untuk mendapatkannya (Winarno 2008). Asam lemak ini dihasilkan di dalam


(19)

tubuh tumbuhan oleh desaturasi ∆12 dan ∆15 asam oleat. Asam α-linolenat berperan sebagai prekursor metabolik untuk menghasilkan asam lemak n-3 pada hewan. Asam lemak ini dapat diperoleh dari daun tumbuhan dan komponen kecil dari minyak biji.

(b) Asam eikosapentaenoat (20:5n-3)

Asam eikosapentaenoat (EPA) dapat dihasilkan oleh alga laut dan hewan melalui desaturasi atau elongasi α-linolenat. Eikosapentaenoat adalah produk primer asam lemak minyak ikan (± 20-25 % berat) walaupun tidak dihasilkan oleh ikan.

(c) Asam dokosapentaenoat (22:5n-3)

Asam dokosapentaenoat merupakan elongasi hasil EPA dan muncul di banyak lipid laut. Asam DPA dapat diubah menjadi DHA lewat tiga langkah

melibatkan desaturasi ∆6 pada hewan.

(d) Asam dokosaheksaenoat (22:6n-3)

Asam dokosaheksaenoat dihasilkan oleh alga laut dan komponen primer minyak ikan (± 8-20 % berat). Produksi DHA pada hewan berasal dari asam

linolenat terjadi melalui proses desaturasi/elongasi α-linolenat menjadi 24:5n-3. (2) Asam lemak n-6 (omega-6)

Omega-6 umumnya ditemukan pada tanaman. Beberapa jenis asam lemak omega-6 yaitu:

(a) Asam linoleat (18:2n-6)

Asam linoleat tidak dapat disintesis oleh tubuh manusia (Belitz et al. 2009). Asam linoleat dan α-linolenat adalah prekursor dalam sintesa

PUFA. Asam linoleat diproduksi dari tanaman dan secara khusus banyak dikandung pada seed oil. Walaupun alam memproduksi asam linoleat setara

α-linolenat, namun dapat ditemukan dalam cadangan makanan.

(b) Asam γ-linolenat (18:3n-6)

Asam γ-linolenat (GLA) diproduksi pada hewan dan tumbuhan rendah

melalui desaturasi ∆6 asam linoleat. Pada hewan, asam linolenat didesaturasi oleh

∆6 desaturasi untuk menghasilkan asam γ-linolenat sebagai produk intermediat dalam produksi asam arakhidonat.


(20)

(c) Asam dihomo-γ-linolenat (20:3n-6)

Elongasi produk asam linolenat, dihomo-γ-linolenat (DGLA) adalah komponen terkecil fosfolipid hewan. Dihomo-γ-linolenat berperan sebagai prekursor pembentukan asam lemak esensial asam arakhidonat.

(d) Asam arakhidonat

Asam arakhidonat merupakan hasil desaturasi dan elongasi asam linolenat pada hewan. Asam arakhidonat diproduksi pada alga laut. Asam arakhidonat merupakan asam lemak esensial sebagai prekursor untuk eikosanoid.

(e) Asam dokosatetraenoat (22:4n-6)

Asam lemak dokosatetraenoat merupakan hasil elongasi langsung asam arakhidonat dan terdapat sedikit di jaringan.

(3) Asam lemak n-9 (omega-9)

Asam lemak omega-9 juga tergolong ke dalam jenis asam lemak non-esensial, yaitu asam lemak yang dapat disintesa oleh tubuh.

(a) Asam oleat (18:1n-9)

Asam oleat merupakan produk desaturasi ∆9 asam stearat dan diproduksi

pada tumbuhan, hewan dan bakteri. Asam oleat adalah asam lemak tak jenuh yang paling umum dan merupakan prekursor untuk diproduksi sebagian besar PUFA. (b) Asam erukat (22:1n-9)

Asam erukat adalah asam lemak tak jenuh tunggal rantai panjang ditemukan dalam tumbuhan. Asam erukat merupakan produk elongasi asam oleat.

2.5 Fungsi Asam Lemak

Asam lemak merupakan suatu asam monokarboksilat dengan rantai yang panjang. Rumus umum asam lemak adalah RCOOH. Gugus R pada asam lemak menunjukkan suatu rantai hidrokarbon. Setiap gugus –OH dari gliserol beraksi dengan gugus –COOH dari asam lemak membentuk sebuah molekul lemak (Girindra 1987).

Asam linolenat (18:3 ω-3) merupakan asam lemak esensial, karena dibutuhkan tubuh namun tubuh tidak dapat mensintesisnya. Turunan dari asam linolenat adalah EPA dan DHA. Ikan dapat mengubah asam linolenat menjadi EPA dan DHA, sejalan dengan hal tersebut perubahan asam linolenat menjadi EPA dan DHA terjadi pada menusia namun tidak efisien (Almatsier 2006).


(21)

Asam lemak DHA terbukti berpengaruh terhadap retina mata hewan percobaan. Komponen asam lemak pada membran sel otak dan retina berpengaruh terhadap fluiditas dan sifat-sifat yang berhubungan dengan aktivitas penglihatan dan reseptor sel saraf serta inisiasi dan transimisi sel syaraf. Dalam tubuh, asam lemak esensial digunakan untuk menjaga bagian-bagian struktural dari membran sel dan untuk membuat bahan-bahan misalnya hormon yang disebut eikosanoid. Eikosanoid membantu mengatur tekanan darah, proses pembekuan darah, lemak dalam darah dan respon imun terhadap luka dan infeksi dan risiko kanker (Haliloglu et al. 2004).

Kandungan EPA berperan dalam mencegah penyakit degeneratif sejak janin dan pada saat dewasa. Saat janin dalam kandungan, EPA sangat diperlukan dalam pembentukan sel-sel pembuluh darah dan jantung. Saat dewasa berfungsi menyehatkan darah dan jantung, mekanisme pembuluhnya dan kerja jantung pengatur sirkulasi. Defisiensi n-3 dapat berisiko menderita penyakit pembuluh darah dan jantung. Adapun fungsi asam lemak esensial yang terdapat dalam tubuh sebagai fosfolipid (Muchtadi et al. 1993) antara lain memelihara integritas dan fungsi membran seluler dan subseluler, mengatur metabolisme kolesterol, merupakan prekursor dari senyawa yang memiliki fungsi pengatur fisiologis dalam tubuh dan dibutuhkan pertumbuhan dan perkembangan bayi.

2.6 Kolesterol

Kolesterol merupakan bagian yang penting dalam sel dan jaringan tubuh,

otak, syaraf, ginjal, limpa, hati dan kulit yang disebut “endogenous cholesterol

sedangkan “exogenous cholesterol” adalah kolesterol yang berasal dari bahan makanan atau dietary cholesterol, bersumber dari kuning telur, ikan, udang, otak dan hati sapi serta lemak hewan lainnya. Konsentrasi total kolesterol dalam plasma darah 180-250 mg/100 ml (Suharjo dan Kusharto 1987).

Kolesterol merupakan kelompok sterol, suatu zat yang termasuk golongan lipid. Kolesterol merupakan substrat untuk pembentukan beberapa zat esensial, yaitu asam empedu yang dibuat oleh hati, hormon-hormon steroid, vitamin D, dan pembentukan semua membran sel (Freeman dan Junge 2005). Kolesterol di dalam tubuh mempunyai fungsi ganda, yaitu di satu sisi diperlukan dan di sisi lain dapat membahayakan. Kolesterol di dalam tubuh terutama diperoleh dari hasil sintesis


(22)

di dalam hati. Bahan bakunya diperoleh dari karbohidrat, protein atau lemak. Jumlah yang disintesis tergantung pada kebutuhan tubuh dan jumlah yang diperoleh dari makanan (Almatsier 2006).

Ada tiga jenis lipoprotein yang dapat mengangkut kolesterol dan trigliserida lain yaitu HDL, LDL dan VLDL. Orang yang terserang jantung koroner umumnya memiliki tingkat LDL/VLDL yang lebih tinggi dan HDL yang lebih rendah. Tingkat LDL dan VLDL yang tinggi akan menyebabkan terjadinya deposisi kolesterol lemak, sisa-sisa sel rusak dan komponen lainnya di sepanjang

pembuluh darah sehingga membentuk “kerak“ yang menyebabkan penyempitan

pembuluh darah. Berkaitan dengan masalah ini, omega-3 dapat menurunkan kadar lipida (kolesterol) tersebut dalam serum darah, yaitu dengan jalan menghambat pembentukan protein dan trigliserida dalam VLDL/LDL sehingga VLDL/LDL dan kolesterol serum darah menjadi rendah pula. Kolesterol bukan lemak tetapi keberadaannya dalam pangan dan tubuh sering kali berkaitan. Semakin banyak konsumsi lemak jenuh akan mempunyai risiko tinggi mengalami tinggi kolesterol LDL atau sebaliknya (Freeman dan Junge 2005). Kandungan kolesterol berbagai jenis makanan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan kolesterol pada makanan (mg/100g)

No. Jenis makanan Kolesterol (mg/100g)

1. Fresh water clam 125

2. Short necked clam 76

3. Hard clam 69

4. Japanese oyster 76

5. Scallop 50

6. Udang 132

7. Kepiting 53

8. Telur ayam (kuning telur) 1030

9. Daging sapi 54

10. Tuna 50

11. Skipjack 64

Sumber : Okuzumi dan Fujii (2000)

2.7 Pengukusan

Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem jaringan sebelum pembekuan, pengeringan, atau pengalengan. Tujuan proses pengukusan bergantung pada perlakuan lanjutan terhadap bahan pangan.


(23)

Misalnya, pengukusan sebelum pembekuan atau pengeringan terutama untuk menonaktifkan enzim yang akan menyebabkan perubahan warna, citra rasa, atau nilai gizi yang tidak dikehendaki selama penyimpanan. Pengukusan sebelum pengalengan mempunyai beberapa fungsi, termasuk pelayuan jaringan sebelum penutupan kaleng dan menonaktifkan enzim (Harris dan Karmas 1989).

Pengukusan tradisional dilakukan menggunakan air panas atau uap panas sebagai medium penghantar panas. Faktor yang mempengaruhi susut gizi selama pengukusan dengan air adalah faktor yang mempengaruhi pemindahan massa yaitu luas permukaan, konsentrasi zat terlarut dalam air panas dan pengadukan air. Selain itu ada beberapa metode pengukusan yang sering digunakan, yaitu pengukusan dengan uap panas, pengukusan dengan gelombang mikro dan pengukusan dengan gas panas (Harris dan Karmas 1989).

Pengukusan dengan uap panas menghasilkan retensi zat gizi larut air yang lebih besar dibandingkan dengan pengukusan menggunakan air karena adanya pemanasan yang hampir sama di seluruh bagian bahan. Pada pengukusan konvensional, bahan pada bagian tepi akan mengalami pengukusan yang berlebihan, sedangkan pada bagian tengah hanya mengalami pengukusan yang sedikit (Harris dan Karmas 1989).

Pengukusan dengan gelombang mikro telah diterapkan untuk produk makanan. Metode ini dipakai karena energi gelombang mikro tidak mempengaruhi proses degradasi komponen makanan secara langsung selain melalui peningkatan suhu. Walaupun metode ini memiliki retensi zat gizi yang lebih besar dibandingkan dengan metode pengukusan menggunakan air panas dan uap panas, tetapi biaya yang dibutuhkan sangat mahal (Harris dan Karmas 1989).

Pengukusan dengan gas panas juga telah dikembangkan, terutama untuk mengurangi efluen yang timbul selama pengukusan. Meskipun digunakan suhu sampai 121 °C, suhu produk tidak akan melampaui 100 °C karena terjadi penguapan cairan di permukaan. Produk yang dikukus menggunakan air panas atau gas panas tidak memiliki perbedaan nyata dari kandungan gizinya (Harris dan Karmas 1989).


(24)

2.8 Kromatografi Gas

Analisis asam lemak dalam suatu bahan pangan dapat dilakukan menggunakan gas chromatography (GC). Penerapan kromatografi gas pada bidang industri antara lain obat-obatan dan farmasi, lingkungan hidup, industri minyak, kimia klinik, pestisida dan residunya serta pangan. Di bidang pangan, kromatografi gas digunakan untuk menentukan kadar antioksidan dan bahan pengawet makanan serta untuk menganalisis sari buah, keju, aroma makanan, minyak, produk susu dan lain-lain (Fardiaz 1989). Kromatografi gas dalam analisis pangan memiliki berbagai keuntungan (McNair dan Bonelli 1988), antara lain:

(1) Kecepatan

Seluruh analisis dapat diselesaikan dalam waktu 23 menit. Penggunaan gas sebagai fase gerak mempunyai keuntungan, yaitu cepat tercapainya kesetimbangan antara fase gerak dan fase diam, dan dapat digunakan kecepatan gas pembawa yang tinggi.

(2) Resolusi (daya pisah)

Daya resolusi kromatografi gas sangat tinggi yaitu dapat memisahkan komponen yang sukar dipisahkan dengan cara lain, walaupun dengan titik didih yang hampir sama, karena kromatografi gas menggunakan fase cair yang selektif. (3) Analisis kualitatif

Waktu retensi atau waktu tambat adalah waktu sejak penyuntikan sampai maksimum puncak. Hal ini dengan menggunakan aliran yang tepat dan mengendalikan suhu, waktu tambat tersebut cukup singkat.

(4) Kepekaan

Kromatografi gas memiliki kepekaan yang tinggi. Keuntungan tambahan dari kepekaan yang tinggi ini adalah sampel yang diperlukan hanya sedikit untuk menganalisis secara lengkap.

(5) Kesederhanaan

Kromatografi gas mudah dijalankan dan mudah dipahami. Penafsiran data yang diperoleh biasanya cepat dan langsung serta mudah.


(25)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2011 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan dan Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor, Baranangsiang, Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari bahan utama, yaitu daging rajungan yang berasal dari Desa Gebang Mekar, Cirebon, Jawa Barat dan bahan-bahan untuk perhitungan rendemen, proses pengukusan dan analisis proksimat meliputi akuades, HCl, NaOH, air, katalis selenium, H2SO4, H3BO3 dan

pelarut heksana, sedangkan bahan yang digunakan untuk analisis asam lemak dan kolesterol adalah NaOH 0,5 N, BF3 16%, standar internal, NaCl jenuh, isooktan,

Na2SO4 anhidrat, etanol, petroleum benzen, kloroform, acetic anhidrid, H2SO4

pekat dan akuades. Bahan untuk analisis histologi antara lain larutan Bouin’s, etanol, xylol, parafin, pewarna haematoxilin dan eosin.

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain alat bedah, penggaris, mortar dan timbangan analitik (perhitungan rendemen) sedangkan untuk analisis proksimat digunakan cawan porselen, oven, desikator, kertas saring, kapas, tanur, pemanas, tabung reaksi, kompor listrik, tabung Kjeltec, erlenmeyer, labu lemak, selongsong lemak, tabung soxhlet dan buret. Alat yang digunakan untuk proses pengukusan antara lain panci, termometer, stopwatch dan kompor gas. Alat yang digunakan untuk analisis asam lemak antara lain tabung bertutup teflon, timbangan analitik, syringe, rak tabung, pipet, bulp, pipet mikro, waterbath, beaker glass, botol vial dan GC merk Shimadzu 2010 sedangkan alat untuk analisis kolesterol antara lain timbangan analitik, tabung reaksi, beaker


(26)

glass 100 ml, rak tabung, tabung sentrifuge, pengaduk, vortex, pipet mikro, pipet, bulp, hotplate, tabung berskala, kardus, lemari, spektrofotometri dan sentrifuge. Alat yang digunakan untuk histologi jaringan antara lain mikrotom, mikroskop cahaya merk Olympus CH30 dan kamera digital merk canon A 1000 IS.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini diawali dengan melakukan survei bahan baku ke lapangan untuk memperoleh informasi tentang asal sampel dan cara penangkapan rajungan. Pada rajungan yang belum dan telah dikukus dilakukan perhitungan rendemen, analisis proksimat, asam lemak, kolesterol dan histologi. Diagram alir metode penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir metode penelitian Daging

Pengukusan rajungan (suhu 82 °C; 28 menit)

Rajungan segar Rajungan

Preparasi

Rendemen

Cangkang

Pengujian:

1. Analisis proksimat 2. Analisis asam lemak 3. Analisis kolesterol

Jeroan

Analisis histologi (daging jenis jumbo)


(27)

3.3.1 Persiapan sampel

Rajungan yang diperoleh berasal dari hasil tangkapan nelayan Desa Gebang Mekar, Cirebon, dibawa menggunakan coolbox dan diberi es dengan dilapisi plastik untuk menjaga kesegarannya. Rajungan diangkut ke Bogor dengan perjalanan lebih kurang enam jam. Preparasi sampel diawali dengan pencucian rajungan menggunakan air bersih. Hal ini dilakukan untuk membersihkan kotoran yang melekat pada rajungan. Kemudian rajungan diukur rendemen(daging, cangkang dan jeroan) dan morfometriknya menggunakan timbangan digital dan penggaris dengan ukuran 30 cm. Penentuan panjang rajungan dilakukan dengan mengukur bagian cangkang dari kiri ke kanan secara dorsal dari ujung duri terpanjang, sedangkan penentuan tinggi dengan cara mengukur bagian ujung cangkang rajungan dari atas ke bawah bagian cangkang yang tertinggi.

3.3.2 Proses pengukusan

Penelitian dilakukan dengan dua perbedaan, yaitu rajungan segar dan rajungan yang telah dikukus. Rajungan yang akan dikukus, dimasukkan ke dalam panci pengukus berisi air yang telah dipanaskan hingga suhu 82 0C selama 28 menit, setelah itu rajungan didinginkan dengan cara dibiarkan pada suhu ruang selama 30 menit (Purwaningsih et al. 2005). Sebelum dan sesudah proses pengukusan selalu dilakukan penimbangan untuk mengetahui perubahan berat rajungan.

Rajungan segar dan kukus kemudian dipreparasi dengan cara memisahkan daging rajungan dari cangkang dan jeroannya. Daging rajungan dari seluruh bagian tubuh digabungkan dan dihaluskan dengan mortar. Daging rajungan segar dan kukus yang telah dipreparasi dimasukkan ke dalam plastik dan ditutup rapat serta diberi kode masing-masing.

3.4 Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi perhitungan rendemen rajungan segar dan kukus, analisis proksimat, analisis asam lemak, analisis kadar kolesterol serta analisis histologi jaringan pada daging rajungan segar dan kukus.


(28)

3.4.1 Rendemen

Metode yang digunakan untuk perhitungan rendemen ini berdasarkan persentase bobot bagian tubuh rajungan dari bobot rajungan awal. Rendemen daging rajungan dihitung sebagai berikut:

3.4.2 Analisis proksimat (AOAC 1995)

Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia pada suatu bahan. Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, abu, protein, dan lemak.

(a) Analisis kadar air

Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen ke dalam oven pada suhu 102-105 °C. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Daging rajungan ditimbang sebanyak 5 g dan dimasukkan ke dalam cawan. Selanjutnya cawan tersebut dimasukkan ke dalam oven 102-105 °C selama 3-5 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Kadar air pada daging rajungan dihitung sebagai berikut:

Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram) (b) Analisis kadar abu

Cawan porselen dengan sampel yang telah dikeringkan kemudian dipanaskan ke dalam kompor listrik sampai tidak berasap. Cawan porselen tersebut dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600 °C selama 6 jam. Cawan porselen didinginkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Kadar abu pada daging rajungan dihitung sebagai berikut:

% Kadar air = B - C x 100% B - A

Rendemen (%) = Bobot contoh (g) x 100% Bobot total (g)


(29)

Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram) (c) Analisis kadar protein

Pengukuran kadar protein dilakukan dengan menggunakan metode Kjeldahl. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis kadar protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.

(1) Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung Kjeltec. Satu butir Kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke

dalam alat pemanas bersuhu 410 0C dan ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening.

(2) Tahap destilasi

Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan dengan akuades (50 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml.

Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam Erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan methyl red dan brom

cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperolah 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer.

(3) Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi merah muda. Kadar protein pada daging rajungan dihitung sebagai berikut:

% Kadar abu = C – A x 100% B - A

% Nitrogen = (ml HCl daging – ml HCl blanko) x 0,1 N HCl x 14 x 100% mg daging rajungan


(30)

(d) Analisis kadar lemak

Daging rajungan sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam kertas saring yang disumbat dengan kapas dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet dan dipanaskan pada suhu 40 °C dengan menggunakan pemanas selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C. Kemudian labu didingingkan dalam desikator. Kadar lemak pada daging rajungan dihitung sebagai berikut:

Keterngan: W1 = Berat sampel daging rajungan (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)

W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

3.4.3 Analisis asam lemak (AOAC 1984)

Metode analisis yang digunakan memiliki prinsip mengubah asam lemak menjadi turunannya, yaitu metil ester sehingga dapat terdeteksi oleh alat kromatografi (Fardiaz 1989). Hasil analisis akan tertekan dalam suatu lembaran yang terhubung dengan rekorder dan ditunjukkan melalui beberapa puncak pada waktu retensi tertentu sesuai dengan karakter masing-masing asam lemak. Sebelum melakukan injeksi metil ester, terlebih dahulu lemak diekstraksi dari bahan lalu dilakukan metilasi sehingga terbentuk metil ester dari masing-masing asam lemak yang didapat.

Analisis asam lemak dilakukan melalui tahap ekstraksi, metilasi, injeksi, dan pembacaan sampel dengan kromatogram.

% Kadar lemak = W3– W2 x 100%


(31)

(a) Ekstraksi

Analisis asam lemak dilakukan dengan metode kromatografi gas. Tahap pertama dilakukan ekstraksi soxhlet untuk memperoleh lemak.

(b) Pembentukan metil ester (metilasi)

Tahap metilasi dimaksudkan untuk membentuk senyawa turunan dari asam lemak menjadi metil esternya. Asam-asam lemak diubah menjadi ester-ester metil atau alkil yang lainnya sebelum disuntikkan ke dalam kromatografi gas (Fardiaz 1989).

Tahap ini dilakukan dengan menimbang 15-30 mg contoh lemak dalam tabung bertutup teflon. Kemudian 1 ml NaOH 0,5 N ditambahkan dalam metanol dan dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Selanjutnya ditambahkan 2 ml BF3 16% dan 5 mg/ml standar internal, dipanaskan kembali selama 20 menit.

Kemudian didinginkan dan ditambahkan 2 ml NaCl jenuh serta 1 ml isooktan, dikocok dengan baik. Lapisan isooktan dipindahkan dengan bantuan pipet tetes ke dalam tabung yang berisi 0,1 g Na2SO4 anhidrat, dibiarkan 15 menit. Fase cair

dipisahkan dan selanjutnya diinjeksikan ke kromatografi gas. (c) Identifikasi dengan kromatografi gas

Identifikasi asam lemak dilakukan dengan menginjeksikan metil ester pada alat kromatografi gas.

(d) Analisis komponen asam lemak, sebagai FAME Kondisi alat diatur sebagai berikut

Kolom : cyanopropil methyl sil (capilary column)

Dimensi kolom : p = 60 m, Ø dalam = 0,25 mm; 0,25 µ m film tickness Laju alir N2 : 20 ml/menit

Laju alir H2 : 30 ml/menit

Laju alir udara : 200-250 ml/menit Suhu injektor : 220 °C

Suhu detektor : 240 °C Suhu kolom : 125 °C

-kolom temperatur : 185 °C diam 5 menit 225 °C diam 5 menit Rate 10 °C/menit


(32)

Ratio : 1 : 8 Volume injeksi : 1 µl Kecepatan linier : 20 cm/sec

Pelarut sebanyak 1 µ l diinjeksikan ke dalam kolom. Waktu retensi dan puncak masing-masing komponen diukur. Waktu retensinya dibandingkan dengan standar untuk mendapatkan informasi mengenai jenis dari komponen-komponen dalam contoh. Contoh dan standar dilakukan secara terpisah, tidak ada penambahan larutan standar ke dalam contoh. Jumlah kandungan komponen dalam contoh dihitung sebagai berikut:

x Cstandar

gram contoh Keterangan : Ax = area contoh

As = area standar

C = berat standar asam lemak

3.4.4 Analisis kadar kolesterol

Analisis kadar kolesterol dilakukan dengan menggunakan metode Liebermann - Buchard Colour Reaction. Sampel ditimbang sebanyak ± 0,1 g dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge, ditambah dengan 8 ml (etanol : petroleum benzen (3 : 1)) serta diaduk sampai homogen. Pengaduk dibilas dengan 2 ml larutan etanol : petroleum benzen (3 : 1) kemudian disentrifuge selama 10 menit (4000 rpm). Supernatan dituang ke dalam beaker glass 100 ml dan diuapkan di penangas air. Residu diuapkan dengan kloroform (sedikit demi sedikit), sambil dituangkan ke dalam tabung berskala (sampai volume 5 ml), ditambahkan 2 ml acetic anhidrid dan ditambahkan juga 0,2 ml H2SO4 pekat atau

2 tetes. Selanjutnya dicampur dengan vortex dan dibiarkan di tempat gelap selama 15 menit. Lalu dibaca absorbansinya pada spektrofotometri dengan panjang

gelombang (λ) 420 nm dan standar yang digunakan 0,4 mg/ml. Kadar kolesterol

dalam daging rajungan dihitung sebagai berikut:

Kadar kolesterol = abs contoh x konsentrasi standar abs standar bobot contoh


(33)

3.4.5 Analisis histologi

Histologi adalah ilmu yang mempelajari anatomi secara mikroskopis dengan menggunakan mikroskop untuk mengamatinya. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis histologi daging rajungan segar dan kukus terdiri dari enam tahap, yaitu penentuan jaringan yang akan diamati, fiksasi atau pengawetan jaringan, perlakuan jaringan, pemotongan jaringan, pewarnaan jaringan dan pengamatan dibawah mikroskop.

(1) Tahap penentuan jaringan

Penentuan jaringan daging rajungan (Portunus pelagicus) yang digunakan adalah jenis daging jumbo yang segar dan kukus. Daging ini langsung dimasukkan ke dalam bahan fiksatif pada wadah yang berbeda dan diberi label. (2) Tahap fiksasi atau pengawetan jaringan

Pembuatan preparat sendiri dimulai dengan fiksasi selama 24 jam dalam larutan Bouin’s. Setelah itu, larutan fiksatif dibuang dan direndam dalam etanol 70% selama 24 jam.

(3) Tahap perlakuan jaringan

Tahap perlakuan jaringan terdiri dari 5 tahap yaitu dehidrasi, clearing, impregnasi, embedding dan blocking. Proses dehidrasi dilakukan dengan perendaman jaringan rajungan sebanyak lima kali dalam larutan etanol dengan konsentrasi masing-masing 80%, 90%, 95%, 95% dan 100% selama 2 jam kecuali untuk konsentrasi 100% selama satu malam.

Proses clearing dilakukan dengan cara bahan dipindahkan ke dalam wadah berisi larutan etanol 100% baru selama satu jam. Setelah itu, bahan dipindahkan ke dalam larutan etanol-xylol (1:1), xylol I, xylol II, xylol III selama setengah jam.

Proses impregnasi dilakukan dengan bahan yang dipindahkan ke dalam larutan xylol-parafin (1:1) selama 45 menit dan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 65-70 oC. Pergantian parafin dilakukan setiap 45 menit sekali sebanyak 3 kali pergantian. Proses ini dinamakan embedding.

Proses blocking dilakukan dengan memindahkan larutan parafin ke dalam cetakan dan dilakukan penyusunan jaringan di dalam cetakan. Cetakan parafin disimpan pada suhu ruang selama satu malam.


(34)

(4) Tahap pemotongan jaringan

Setelah proses blocking selesai, dilakukan penyayatan dengan mikrotom Yamoto RV-240 putar setebal 7-8 µ m. Hasil sayatan kemudian direkatkan pada gelas obyek.

(5) Tahap pewarnaan jaringan

Tahap pewarnaan jaringan dilakukan pada gelas objek yang direndam dalam larutan xylol I, xylol II, etanol 100% I, etanol 100% II, etanol 95%, etanol 90%, etanol 80%, etanol 70% dan etanol 50% masing-masing selama tiga menit. Setelah itu, gelas objek dicuci menggunakan air bersih yang mengalir.

Tahap selanjutnya pewarnaan dilakukan dengan haematoxylin selama tujuh menit dan eosin selama satu menit. Kemudian dilakukan proses dehidrasi kembali dengan gelas obyek yang direndam ke dalam larutan etanol 50%, etanol 70%, etanol 85%, etanol 90%, etanol 100% I, etanol 100% II selama dua menit serta dilanjutkan perendaman dalam larutan xylol I dan xylol II selama 2 menit.

Penutupan dengan pemberian entellan atau canada balsam setelah proses pewarnaan selesai dilakukan pada gelas obyek dan ditutup dengan gelas penutup. Setelah itu dilakukan pemberian label dan dibiarkan semalam agar kering.

(6) Tahap pengamatan dibawah mikroskop

Keesokan harinya jaringan dapat diamati dibawah mikroskop. Proses pemfotoan obyek dilakukan dengan mikroskop cahaya merk Olympus CH30 dan kamera digital merk canon A 1000 IS.


(35)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Rajungan

Bahan baku rajungan merupakan bahan baku yang diambil dari perairan Cirebon, Jawa Barat. Bahan baku yang digunakan merupakan rajungan segar dan rajungan yang diberi pelakuan pengukusan.

Rajungan biasanya hidup membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai berlumpur, hutan bakau, batu karang atau terkadang dapat dijumpai sedang berenang ke permukaan laut (Oemarjati dan Wisnu 1990). Ukuran dan berat rajungan (Portunus pelagicus) dari perairan Cirebon dapat dilihat pada Tabel 3. Data ukuran dan berat rajungan disajikan pada Lampiran 3.

Tabel 3 Ukuran dan berat rajungan (Portunus pelagicus)

Keterangan: sampel 30 ekor rajungan

Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh data mengenai ukuran dan berat rajungan (Portunus pelagicus) yang terdiri dari beberapa parameter yaitu panjang, lebar dan berat. Rajungan memiliki panjang rata-rata 11,20 cm, lebar rata-rata 5,17 cm dan berat rata-rata 95,1 g. Rajungan mempunyai berat yang bervariasi dapat tergantung dari karapas. Umumnya induk rajungan yang matang gonad berukuran lebar karapas 10-15 cm dengan bobot 200-250 g (Susanto et al. 2005 dalam Suharyanto 2007). Perbedaan ukuran dan berat rajungan dapat dipengaruhi oleh pertumbuhan. Menurut Metusalach (2007), pertumbuhan suatu biota dipengaruhi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yaitu habitat, musim, suhu perairan, jenis makanan yang tersedia dan faktor lingkungan lainnya, sedangkan faktor internalnya yaitu umur, ukuran, jenis kelamin, kebiasaan makan dan faktor biologis lainnya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, rajungan ini ditangkap pada saat kondisi selombang laut tenang pada pukul 08.00 WIB dan didaratkan di

No. Parameter Satuan Nilai

1 Panjang cm 11,20 ± 0,89

2 Lebar cm 5,17 ± 0,49


(36)

pedagang pengumpul pukul 15.00 WIB. Rajungan ditangkap menggunakan alat tangkap berupa jaring, yaitu alat tangkap yang biasanya digunakan untuk menangkap ikan, kepiting, rajungan dan udang. Proses penangkapan rajungan dilakukan setiap hari oleh nelayan.

4.2 Rendemen

Rendemen merupakan persentase bagian tubuh pada bahan baku yang dapat dimanfaatkan, semakin tinggi nilai rendemen suatu bahan baku maka semakin tinggi nilai ekonomis suatu bahan. Rajungan yang digunakan pada penelitian ini memiliki rendemen yang berbeda berdasarkan perlakuan preparasi dalam keadaan segar dan preparasi setelah pengukusan. Rendemen rajungan berupa daging, jeroan dan cangkang. Nilai rendemen rajungan segar dan kukus dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Rendemen rajungan segar yang terdapat di Desa Gebang Mekar, Cirebon berdasarkan Gambar 3 pada cangkang sebesar 51,62%, daging sebesar 35,77% dan jeroan sebesar 12,61%. Umumnya rendemen total daging rajungan/kepiting sebesar 25-30% dari berat utuhnya dan biasanya rendemen ini juga dipengaruhi oleh kesegaran bahan baku serta cara pengambilan daging (BBPMHP 1995).

Gambar 3 Rendemen rajungan segar

Rajungan memiliki nilai rendemen yang paling tinggi pada cangkang. Cangkang atau karapas rajungan lebih melebar ke samping daripada cangkang kepiting yang lebih bulat (Juwana dan Kasijian 2000). Cangkang rajungan dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalsium yang telah banyak diaplikasikan pada berbagai produk yaitu kerupuk, kitosan dan sebagainya.

cangkang 51,62% daging

35,77% jeroan 12,61%


(37)

Cangkang rajungan merupakan hasil samping dari pengolahan rajungan. Multazam (2002) menyatakan bahwa dalam satu ekor rajungan dengan bobot tubuh 100-350 g, terdapat cangkang sekitar 51-177 g. Cangkang rajungan mempunyai kandungan mineral yang tinggi, terutama kalsium (19,97%) dan fosfor (1,81%).

Limbah rajungan meliputi kepala, kulit, ekor dan kaki pada umumnya mencapai 25-50% dari berat rajungan (Tangko dan Rangka 2009). Limbah ini lebih tinggi daripada limbah udang yang terdiri dari kepala dan kulit mencapai 25-30% dari berat udang (Sudibyo 1991 dalam Kencana 2009).

Gambar 4 Rendemen rajungan kukus

Gambar 4 menunjukkan rajungan yang diberi perlakuan pengukusan mengalami penyusutan sebesar 14,99%. Proses pengukusan dapat mempengaruhi penyusutan rendemen rajungan. Hal ini karena selama proses pengukusan akan terjadi pengeluaran air dan zat-zat gizi lain misalnya vitamin dan mineral. Faktor yang mempengaruhi susut gizi selama pengukusan dengan air adalah faktor yang mempengaruhi pemindahan massa yaitu luas permukaan, konsentrasi zat terlarut dalam air panas dan pengadukan air (Harris dan Karmas 1989).

4.3 Komposisi Kimia Daging Rajungan

Metode yang digunakan untuk mengetahui komposisi kimia dari suatu bahan baku yaitu menggunakan analisis proksimat. Analisis proksimat adalah suatu analisis untuk mengetahui kandungan gizi yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Komposisi kimia daging rajungan meliputi kadar air, abu, protein dan lemak. Komposisi kimia rajungan segar dan kukus dapat dilihat pada Tabel 4. Data komposisi kimia daging rajungan disajikan pada Lampiran 4.

rajungan kukus 85,01% Penyusutan


(38)

Tabel 4 Komposisi kimia daging rajungan segar dan kukus

Komposisi kimia rata-rata(%) Daging rajungan segar Daging rajungan kukus

Kadar air (bb) 78,47 75,43

Kadar abu (bk) 7,71 6,02

Kadar lemak (bk) 0,84 0,75

Kadar protein (bk) 68,09 66,63

Tabel 4 menunjukkan bahwa komposisi kimia daging rajungan segar mengalami perubahan setelah dilakukan proses pengukusan. Proses ini dapat tergantung pada suhu pengolahan dan luas permukaan produk.

Gambar 5 Komposisi kimia daging rajungan segar dan kukus

Gambar 5 menunjukkan proses pengolahan dengan pengukusan menyebabkan penurunan komponen gizi yang terkandung dalam daging rajungan. Komponen gizi pada daging rajungan juga dipengaruhi oleh musim, ukuran rajungan, kematangan gonad, suhu dan ketersediaan bahan makanan (Sudhakar et al. 2009).

4.3.1 Kadar air

Air merupakan komponen dasar dari bahan makanan terutama hasil perikanan. Kandungan air dalam daging rajungan maupun ikan diperkirakan sebesar 70-80% dari berat yang dapat dimakan. Kandungan air pada rajungan terdapat dalam dua bentuk yaitu air bebas dan air terikat. Air bebas yang tedapat

78,47 75,43 7,71 6,02 0,84 0,75 68,09 66,63 y = -3,04x + 81,51

R² = 1

y = -1,69x + 9,4 R² = 1

y = -0,09x + 0,93 R² = 1 y = -1,46x + 69,55

R² = 1

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 1 2

ko m po si si ki m ia (%)

Keterangan: 1 = rajungan segar dan 2 = rajungan kukus

air abu lemak protein


(39)

dalam ruang antar sel dan plasma, dapat melarutkan berbagai vitamin, garam mineral dan senyawa-senyawa nitrogen tertentu. Air terikat merupakan molekul-molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain, misalnya protein (Winarno 2008).

Kadar air pada daging rajungan segar sebesar 78,47% sedangkan kadar air pada daging rajungan setelah diberi perlakuan pengukusan menurun menjadi 75,43%. Kadar air rajungan segar tersebut tidak jauh berbeda dengan rajungan asal Kepulauan Hainan sebesar 78,8% (Wu et al. 2010). Penurunan kadar air disebabkan oleh kadar air dalam bahan pangan yang berkurang selama proses pengukusan. Bahan pangan selama proses pengolahan atau pengukusan berlangsung dapat mengalami pengurangan kadar air terutama pada bahan pangan hasil perikanan (Tanikawa 1985). Faktor yang mempengaruhi kecepatan pengurangan kadar air selama pengukusan yaitu luas permukaaan, konsentrasi zat terlarut dalam air panas dan pengadukan air (Harris dan Karmas 1989).

Penurunan kadar air yang terkandung pada produk akibat perlakuan pengukusan disebabkan oleh terlepasnya molekul air dalam bahan. Hal ini karena dengan semakin meningkatnya suhu maka jumlah rata-rata molekul air menurun dan mengakibatkan molekul berubah menjadi uap dan akhirnya terlepas dalam bentuk uap air (Winarno 2008).

4.3.2 Kadar abu

Kadar abu menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang menguap. Penentuan kadar abu merupakan cara pendugaan mineral bahan pangan secara kasar. Sebagian besar bahan makanan, sekitar 96 % terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral yang juga dikenal sebagi zat anorganik (kadar abu). Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik dalam makanan akan terbakar, sedangkan bahan-bahan anorganik tidak terbakar, karena itulah disebut abu (Winarno 2008).

Kadar abu pada daging rajungan segar sebesar 7,71% dan menjadi 6,02% setelah proses pengukusan. Kadar abu pada rajungan asal Perairan Cirebon ini jauh lebih tinggi daripada rajungan asal Laut Mediterania sebesar 2,24% (Gokoglu dan Yerlikaya 2003). Sebagian mineral akan terbawa bersama uap air yang keluar dari daging selama proses pengukusan karena pecahnya partikel-partikel mineral


(40)

yang terikat pada air akibat pemanasan (Winarno 2008). Proses tersebut tergantung pada cara pengolahan, suhu pengolahan dan luas permukaan produk. Mineral bersifat mantap dan tidak rusak karena pengolahan, namun pengolahan dapat menyebabkan penyusutan mineral maksimal 3% pada bahan pangan (Harris dan Karmas 1989).

Manusia memerlukan berbagai jenis mineral untuk metabolisme terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas-aktivitas enzim. Keseimbangan ion-ion mineral di dalam cairan tubuh diperlukan untuk pengaturan pekerjaan enzim, pemeliharaan keseimbangan asam-basa, membantu transfer ikatan-ikatan penting melalui membran sel dan pemeliharaan kepekaan otot dan saraf tehadap rangsangan (Almatsier 2006).

4.3.3 Kadar lemak

Lemak merupakan senyawa organik yang tidak larut dalam air tetapi dapat dieskstraksi dengan pelarut non polar. Senyawa organik ini terdapat dalam semua sel dan berfungsi sebagai sumber energi, komponen struktur sel, sebagai simpanan bahan bakar metabolik, sebagai komponen pelindung dinding sel dan juga sebagai komponen pelindung kulit vertebrata (Girindra 1987).

Kadar lemak pada daging rajungan segar dari 0,84% menjadi 0,75% setelah diberi perlakuan pengukusan. Kadar lemak pada rajungan segar tersebut tidak jauh berbeda dengan rajungan asal Laut Mediterania sebesar 0,81% (Gokoglu dan Yerlikaya 2003). Pemanasan akan mempercepat gerakan-gerakan molekul lemak sehingga jarak antara molekul lemak menjadi besar dan akan mempermudah proses pengeluaran lemak (Winarno 2008). Proses tersebut dipengaruhi oleh suhu pengolahan dan lama pemanasan (Gurr 1992).

Fraksi lipida terdiri atas minyak/lemak, malam (wax), fosofolipida, serol, hidrokarbon dan pigmen. Kandungan lemak dalam bahan pangan adalah lemak kasar dan merupakan kandungan total lipida dalam jumlah sebenarnya (Winarno 2008). Beberapa fakor yang mempengaruhi keragaman komposisi lemak antara lain spesies, musim penangkapan, letak geografis, tingkat kematangan gonad serta ukuran rajungan tersebut (Gokce et al. 2004).


(41)

4.3.4 Kadar protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang penting bagi tubuh, karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan zat pengatur. Protein mengandung unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat (Lehninger 1990).

Kadar protein pada daging rajungan segar dari 68,09% menjadi 66,63% setelah proses pengukusan. Kadar protein ini jauh lebih tinggi daripada rajungan asal Laut Mediterania sebesar 21,54% (Gokoglu dan Yerlikaya 2003). Tingginya kadar protein pada rajungan dipengaruhi oleh spesies, lingkungan dan makanan. Metode pengukusan merupakan metode pemasakan rajungan yang umumnya dilakukan oleh pengolah rajungan di Indonesia.

Protein daging bersifat tidak stabil dan mempunyai sifat dapat berubah (denaturasi) dengan berubahnya kondisi lingkungan (Georgiev et al. 2008). Pemanasan dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya adalah denaturasi, kehilangan aktivitas enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna dan pemutusan ikatan peptida. Perlakuan pemanasan pada suatu bahan pangan, menyebabkan protein terkoagulasi dan terhidrolisis secara sempurna. Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu yang moderat (60-90 °C) selama satu jam atau kurang sehingga dapat menurunkan kandungan protein (Winarno 2008).

4.3.5 Asam Lemak

Retention time adalah waktu sejak penyuntikan sampai mencapai puncak maksimum (McNair dan Bonelli 1988). Nilai asam lemak yang terdapat pada daging rajungan segar dan kukus didapatkan dengan cara membandingkan retention time standar asam lemak dengan retention time sampel yang diuji. Pada peak asam lemak sampel, dihasilkan nilai retention time yang mendekati dengan nilai retention time standar asam lemak. Nilai retention time asam lemak pada daging rajungan segar dan kukus dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6. Peak kromatografi gas asam lemak dan standar disajikan pada Lampiran 9-13. Komposisi asam lemak yang terkandung dalam daging rajungan dapat dilihat pada Tabel 5.


(42)

Tabel 5 Komposisi rata-rata asam lemak daging rajungan

Komponen asam lemak (%) Segar Kukus Jenuh Tak Jenuh

Laurat (C12:0) 0,05 0,04 √

Miristat (C14:0) 0,53 0,51 √

Palmitat (C16:0) 6,12 5,86 √

Stearat (C18:0) 3,60 3,92 √

Arakhidat (C20:0) 0,58 0,48 √

Behenat (C22:0) 0,39 0,25 √

Lignoserat (C24:0) 0,04 n.d √

Palmitoleat (C16:1) 1,30 1,65 √

Elaidat (C18:1n9t) 0,06 0,07 √

Oleat (C18:1n9c) 2,56 2,51 √

Cis-11-eikosenoat (C20:1) 0,15 0,11 √

Erukat (C22:1n9) 0,04 0,04 √

Nervonat (C24:1) 0,04 0,02 √

Linolelaidat (C18:2n9t) 0,10 0,05 √

Linoleat (C18:2n6c) 0,84 0,91 √

γ-linolenat (C18:3n6) 0,04 0,06 √

Linolenat (C18:3n3) 0,68 0,73 √

Dihomo-γ-linolenat (C20:3n6) 0,08 0,08 √

Arakhidonat (C20:4n6) 2,58 3,19 √

EPA (C20:5n3) 5,37 7,74 √

DHA (C22:6n3) 6,85 8,73 √

Tabel 5 menunjukkan bahwa asam lemak yang terkandung dalam daging rajungan terdiri dari asam lemak jenuh (SAFA), yaitu laurat (C12:0), miristat (C14:0), palmitat (C16:0), stearat (C18:0), arakhidat (C20:0), behenat (C22:0) dan lignoserat (C24:0). Asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA), yaitu palmitoleat (C16:1), elaidat (C18:1n9t), oleat (C18:1n9c), cis-11-eikosenoat (C20:1), erukat (C22:1n9) dan nervonat (C24:1). Asam lemak tak jenuh jamak (PUFA), yaitu

linolelaidat (C18:2n9t), linoleat (C18:2n6c), γ-linolenat (C18:3n6), linolenat (C18:3n3), dihomo-γ-linolenat (C20:3n6), arakhidonat (C20:4n6), EPA (C20:5n3) dan DHA (C22:6n3). Keragaman komposisi asam lemak pada rajungan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu spesies, pemberian panas, ketersediaan pakan serta umur dan ukuran rajungan tersebut (Ozogul dan Ozogul 2005). Variasi asam lemak pada organisme perairan juga dipengaruhi oleh pergantian musim, letak geografis dan salinitas lingkungan (Ozyurt et al. 2006).


(43)

Perbedaan ikatan kimia antar asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh dapat menyebabkan terjadinya perbedaan sifat kimia dan fisik, diantaranya asam lemak jenuh dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Semakin panjang rantai karbon dan semakin banyak jumlah ikatan rangkapnya, maka semakin besar

kecenderungan untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah

(O’Keefe 2008). Selain itu, proses pemanasan dengan pengukusan dapat

menyebabkan lipida mengalami hidrolisis dan menghasilkan asam-asam lemak bebas. Proses pemasakan rajungan akan menghasilkan adanya senyawa-senyawa karbonil. Senyawa-senyawa ini berasal dari pembentukan dan dekomposisi termal produk-produk lipida yang teroksidasi (Gladyshev et al. 2006). Komponen asam lemak jenuh daging rajungan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Kandungan asam lemak jenuh daging rajungan segar kukus

Gambar 6 menunjukkan bahwa asam lemak jenuh tertinggi pada daging rajungan segar, yaitu palmitat (C16:0) sebesar 6,12%. Penelitian Wu et al. (2010) menunjukkan hasil analisis asam palmitat pada rajungan asal Kepulauan Hainan sebesar 13%. Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh yang paling banyak ditemukan pada bahan pangan, yaitu 15-50% dari seluruh asam-asam lemak yang ada (Winarno 2008). Menurut French et al. (2002) dalam penelitiannya tentang dampak asam palmitat terhadap kolesterol dalam diet asam lemak menyatakan

0,05 0,53 6,12 3,6 0,58 0,39 0,04 0,04 0,51 5,86 3,92 0,48 0,25 0 0 1 2 3 4 5 6 A sa m l en ak je n uh ( % )


(44)

bahwa asam palmitat dapat meningkatkan kandungan kolesterol apabila tidak melakukan diet yang seimbang dalam mengkonsumsinya.

Jenis asam lemak jenuh dominan kedua, yaitu stearat sebesar 3,60%. Penelitian Wu et al. (2010) menunjukkan hasil analisis asam stearat pada rajungan asal Kepulauan Hainan sebesar 9,95%. Nilai ini lebih tinggi daripada rajungan asal Perairan Cirebon. Asam stearat merupakan asam lemak jenuh yang bersumber dari minyak hewani dan nabati terutama lemak sapi sebanyak 20% (Sediaoetomo 2008).

Asam lemak jenuh terkecil yang terdeteksi adalah laurat (C12:0) sebesar 0,05% pada daging rajungan segar dan kukus sebesar 0,04%. Asam laurat dan miristat banyak digunakan dalam industri makanan yaitu industri susu, minyak kelapa dan biji-bijian. Keduanya memiliki efek spesifik terhadap plasma lipoprotein dengan lemak alami (Mensink dan Plat 2008). Asam arakhidat,

behenat dan lignoserat merupakan karakteristik pada minyak kacang (Belitz et al. 2009).

Asam lignoserat dalam daging rajungan kukus tidak terdeteksi. Hal ini menunjukkan bahwa tidak teridentifikasinya beberapa asam lemak diduga karena kandungan asam lemak tersebut sangat rendah. Rendahnya asam lemak menyebabkan puncak (peak) asam lemak kecil sehingga tidak dapat dibedakan dari puncak pengaruh nois kromatografi gas (Fardiaz 1989). Komponen asam lemak tak jenuh tunggal daging rajungan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 menunjukkan bahwa asam lemak tak jenuh tunggal tertinggi pada daging rajungan segar, yaitu oleat (C18:1n9c) sebesar 2,56%. Penelitian Wu et al. (2010) menunjukkan hasil analisis asam oleat pada rajungan asal Kepulauan Hainan sebesar 13,20%.

Asam oleat lebih stabil dibandingkan dengan asam linoleat dan linolenat, terlihat dari peranannya dalam meningkatkan HDL kolesterol yang lebih besar dan menurunkan LDL kolesterol di dalam darah (Muchtadi et al. 1993). Asam oleat memiliki fungsi di dalam tubuh adalah sebagai sumber energi, sebagai zat antioksidan untuk menghambat kanker, menurunkan kadar kolesterol dan media pelarut vitamin A, D, E, K. Kekurangan asam oleat dapat menyebabkan terjadinya


(45)

gangguan pada penglihatan, menurunya daya ingat serta gangguan pertumbuhan sel otak pada janin dan bayi (Peddyawati 2008).

Gambar 7 Kandungan asam lemak tak jenuh tunggal daging rajungan segar kukus

Jenis asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) dominan kedua dalam rajungan adalah palmitoleat. Teridentifikasinya asam palmitoleat pada rajungan mengindikasikan bahwa rajungan tersebut mengandung asam lemak yang lebih kompleks. Hal ini diduga karena pengaruh dari kandungan asam lemak pada rantai makanannya yang lebih kompleks. Pola rantai makanan yang lebih kompleks menyebabkan ikan mengandung asam lemak yang lebih kompleks (Herold dan Kinsella 1986 dalam Patawi et al. 1996).

Asam erukat adalah asam lemak tak jenuh tunggal rantai panjang ditemukan dalam tumbuhan. Cis-11-eiksenoat termasuk asam lemak omega 9

(O’Keefe 2008). Asam elaidat adalah asam lemak tak jenuh yang mengandung lemak trans. Adanya bentuk trans pada asam lemak akan menyebabkan lemak mempunyai titik lebur yang lebih tinggi daripada adanya bentuk cis (Winarno 2008). Kandungan asam nervonat dalam daging rajungan berpotensi dalam mengobati neuropati (Watkins dan German 2008).

1,3 0,06 2,56 0,15 0,04 0,04 1,65 0,07 2,51

0,11 0,04 0,02

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 A sa m l em ak ta k je n uh tun gga l (% )


(46)

Peningkatan kandungan asam lemak tak jenuh tunggal setelah proses pengukusan dapat disebabkan oleh perbedaan titik lebur pada setiap jenis asam lemak. Peningkatan kandungan asam lemak setelah proses pengukusan juga dapat disebabkan oleh terbentuknya kembali kristal lemak saat proses pendinginan setelah pengukusan yang menempel pada bagian luar daging rajungan. Komponen asam lemak tak jenuh jamak daging rajungan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Kandungan asam lemak tak jenuh jamak daging rajungan segar kukus

Gambar 8 menunjukkan bahwa asam lemak tak jenuh jamak tertinggi pada daging rajungan segar, yaitu DHA (C22:6n3) sebesar 8,73%. DHA dan EPA telah terbukti dalam mengurangi penyakit jantung koroner. Asam lemak tak jenuh jamak

(PUFA) dikenal untuk mencegah pengembangan hipertensi dengan mengurangi

penyerapankolesterol (Wu et al. 2010).

Kandungan asam linoleat pada rajungan segar asal Perairan Cirebon sebesar 0,84%. Asam linoleat berperan dalam pertumbuhan, pemeliharaan membran sel, pengaturan metabolisme kolesterol dan menurunkan tekanan darah. Defisiensi asam linoleat dapat menyebabkan kemampuan reproduksi menurun, gangguan pertumbuhan dan rentan terhadap infeksi (Latyshev et al. 2009).

Penelitian Wu et al. (2010) menunjukkan hasil analisis asam linoleat pada rajungan asal Kepulauan Hainan sebesar 1,11%. Adanya pengaruh habitat

0,10

0,84

0,04 0,68 0,08

2,58

5,37

6,85

0,05

0,91

0,06 0,73 0,08

3,19 7,74 8,73 0 2 4 6 8 10 A sa m l em ak ta k je n uh ja m ak (%)


(47)

terhadap kandungan asam lemak omega-3 diduga sangat tergantung pada kandungan asam lemak tersebut pada pakan. Hal ini karena asam lemak omega-3 bukanlah merupakan hasil metabolisme pada ikan itu sendiri tetapi merupakan bahan yang didapat langsung dari pakannya. Sumber pakan alami yang potensial mengandung asam lemak omega-3 adalah phytoplankton, zooplankton, seaweed, oyster, copepoda, dan shellfish (Ackman 1982 dalam Patawi et al. 1996).

Jenis asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) yang mendominasi dalam rajungan adalah arakhidonat, EPA dan DHA. Penelitian Wu et al. (2010) menunjukkan hasil analisis asam arakhidonat, EPA dan DHA pada rajungan asal Kepulauan Hainan masing-masing sebesar 8,47%, 15,40% dan 11,30%. Ketiga jenis asam lemak tersebut lebih tinggi daripada kandungan asam lemak pada rajungan asal Perairan Cirebon. Arakhidonat (ARA), EPA dan DHA adalah komponen utama dari fosfolipid membran sel dan merupakan highly unsaturated fatty acid (HUFA) serta berguna untuk sistem saraf pusat karena manusia memiliki kemampuan memadai untuk biosintesis HUFA (Wu et al. 2010).

Peningkatan kandungan EPA dan DHA pada daging rajungan setelah pengukusan dapat disebabkan oleh perbedaan titik lebur pada setiap jenis asam lemak. Titik lebur suatu lemak atau minyak dipengaruhi oleh sifat asam lemak, yaitu daya tarik antar asam lemak yang berdekatan dalam kristal. Gaya ini ditentukan oleh panjang rantai C, jumlah ikatan rangkap dan bentuk cis atau trans pada asam lemak tidak jenuh. Makin panjang rantai C, titik cair semakin tinggi (Winarno 2008). Menurut Leblanc et al. (2008) menyatakan bahwa EPA dan DHA mempunyai beberapa manfaat yaitu dapat mencerdaskan otak, membantu masa pertumbuhan dan menurunkan kadar trigliserida.

Asam lemak linolenat mempunyai titik lebur yang rendah, larut dalam eter atau alkohol panas. Asam lemak linolenat di dalam tubuh mempunyai fungsi untuk menurunkan resiko penyakit jantung, kanker, diabetes, kolesterol dan stroke (Atakisi et al. 2009).

4.3.6 Kolesterol

Kolesterol merupakan bagian yang penting dalam sel dan jaringan tubuh, otak, syaraf, ginjal, limpa, hati dan kulit yang disebut “endogenous cholesterol


(48)

makanan atau dietary cholesterol, bersumber dari kuning telur, ikan, udang, otak dan hati sapi serta lemak hewan lainnya (Suharjo dan Kusharto 1987). Kadar kolesterol yang terkandung dalam daging rajungan dapat dilihat pada Gambar 9. Data mentah kadar kolesterol daging rajungan disajikan pada Lampiran 8.

Gambar 9 Kadar kolesterol daging rajungan segar dan kukus

Gambar 9 menunjukkan kadar kolesterol pada daging rajungan segar yaitu 51,73 mg/100 g dan menjadi 36,59 mg/100 g setelah proses pengukusan. Selama proses pengukusan, terjadi perubahan terhadap komponen lemak. Daging rajungan mengandung asam lemak tak jenuh yaitu asam lemak oleat dan asam linoleat. Asam lemak tak jenuh berfungsi menurunkan kadar Low Density Lipoprotein (LDL) dan meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL) yang pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan metabolisme kolesterol dalam empedu untuk dapat dikeluarkan dari tubuh (Juheini 2002).

Kandungan kolesterol pada kepiting sebesar 53 mg/100 g sedangkan udang sebesar 132 mg/100 g (Okuzumi dan Fujii 2000). Beragamnya kandungan kolesterol dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain spesies, ketersediaan makanan, umur, jenis kelamin, suhu air, lokasi geografis dan musim (Sampaio et al. 2006). Kolesterol di dalam tubuh mempunyai fungsi ganda, yaitu di satu sisi diperlukan dan di sisi lain dapat membahayakan. Kolesterol di dalam tubuh terutama diperoleh dari hasil sintesis di dalam hati. Bahan bakunya diperoleh dari karbohidrat, protein atau lemak. Jumlah yang disintesis tergantung pada kebutuhan tubuh dan jumlah yang diperoleh dari makanan (Almatsier 2006).

51,73

36,59

0 20 40 60

rajungan segar rajungan kukus

ka

da

r

ko

le

st

er

o

l

(m

g/100


(49)

4.4 Histologi Daging Rajungan

Histologi adalah suatu ilmu yang mempelajari anatomi secara mikroskopis dengan mengguanakan mikroskop untuk mengamatinya. Analisis histologi daging rajungan dilakukan untuk melihat perbedaan struktur daging rajungan sebelum dan sesudah pengukusan. Penyiapan preparat dilakukan dengan menggunakan metode parafin.

Metode parafin merupakan cara pembuatan sediaan dengan menggunakan parafin sebagai media penanamnya (embedding) (Mudyantini 2008). Struktur daging rajungan sebelum dan sesudah pengukusan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Struktur jaringan daging rajungan segar dan kukus

Gambar 10 menunjukkan bahwa struktur jaringan daging rajungan segar (a) yang diamati pada preparat merupakan struktur daging rajungan dengan penampang membujur. Struktur jaringan daging rajungan segar ini terdapat serabut-serabut jaringan tipis masih kompak tetapi ada bagian jaringan yang tampak terputus. Hal ini diduga karena proses penyimpanan beku daging rajungan. Saat air mulai membeku, kecepatan pembentukan es ditentukan oleh kecepatan penghilangan panas dan kecepatan penyebaran air dari struktur sel di sekitarnya. Pada kecepatan

(a) (b)

(c) (d)

Struktur

jaringan daging rajungan masih kompak

Parafin

Struktur

jaringan daging rajungan tidak kompak dan terputus-putus


(50)

beku yang rendah, terbentuk beberapa pusat kristalisasi yang menyebabkan timbulnya kristal-kristal es yang besar sehingga sel pecah dan banyak air yang yang hilang jika daging dicairkan (Buckle et al. 1987).

Terbentuknya kristal es dapat berpengaruh pada struktur internal otot dan menyebabkan denaturasi protein. Selain itu, juga terjadinya dehidrasi daging rajungan. Dehidrasi akan menyebabkan denaturasi pada protein otot dan kerusakan struktur membran. Kerusakan ini sering terjadi pada penyimpanan suhu sangat dingin (Bahuaud et al. 2008).

Gambar 10 menunjukkan bahwa struktur jaringan daging rajungan segar (b) yang diamati pada preparat merupakan struktur daging rajungan dengan penampang melintang. Struktur jaringan daging rajungan segar pada preparat kedua masih kompak. Beberapa struktur jaringan yang tidak kompak diduga karena sel jaringan mengalami lisis dan dehidrasi selama penyimpanan. Sel jaringan yang mengalami lisis dapat disebabkan oleh aktivitas enzim (Belitz et al. 2009). Dehidrasi menyebabkan kemampuan mengikat air oleh protein miofibril menjadi berkurang (Thorarinsdottir et al. 2011).

Gambar 10 menunjukkan bahwa struktur jaringan daging rajungan kukus (c) yang diamati pada preparat merupakan struktur daging rajungan dengan penampang membujur. Struktur jaringan daging rajungan kukus pada preparat tampak tidak kompak dan banyak jaringan yang terputus-putus sehingga membentuk bagian yang kecil. Hal ini diduga karena proses pengukusan dapat menyebabkan pemutusan jaringan yang tidak merata. Proses pengukusan dapat menyebabkan cairan dari dalam daging rajungan merembes keluar (terjadi drip) (Nurjanah et al. 2009).

Selain itu, proses pengukusan kadang-kadang tidak merata karena bahan makanan di bagian tepi tumpukan biasanya mengalami pengukusan yang berlebihan, sementara di bagian tengah mengalami pengukusan lebih sedikit (Tamrin dan Prayitno 2008). Gambar 10 menunjukkan bahwa struktur jaringan daging rajungan kukus (d) yang diamati pada preparat merupakan struktur daging rajungan dengan penampang melintang. Struktur jaringan daging rajungan kukus pada preparat tampak tidak kompak dan banyak jaringan yang terputus-putus sehingga membentuk bagian yang kecil. Jaringan yang terputus dapat disebabkan


(51)

oleh terjadinya dehidrasi. Kerusakan sel dan struktur yang irreversible mengakibatkan daging menjadi rusak. Setelah proses pengukusan, daging mengalami penyimpanan selama seminggu. Penyimpanan yang disertai pembekuan mengakibatkan terbentuknya kristal es di dalam sel dan akan mempertahankan jaringan dengan kerusakan minimum pada membran sel (Buckle et al. 1987).


(1)

Kadar asam laurat = g Keterangan: Ax = area sampel

As = area standar

C = berat standar asam laurat g = gram sampel

Kadar asam laurat =

0,0264 = 0,03%

Lampiran 7 Hasil analisis asam lemak rajungan

Komponen asam lemak (%) Segar (1) Segar (2) Kukus (1) Kukus (2)

Laurat (C12:0) 0,04 0,05 0,03 0,04

Miristat (C14:0) 0,43 0,62 0,50 0,51

Palmitat (C16:0) 5,39 6,85 5,72 6,00

Stearat (C18:0) 3,31 3,88 3,77 4,07

Arakhidat (C20:0) 0,47 0,69 0,46 0,49

Behenat (C22:0) 0,37 0,41 0,25 0,24

Lignoserat (C24:0) 0,03 0,04 n.d n.d

Palmitoleat (C16:1) 1,22 1,38 1,66 1,63

Elaidat (C18:1n9t) 0,06 0,06 0,07 0,07

Oleat (C18:1n9c) 2,56 2,55 2,41 2,60

Cis-11-eikosenoat (C20:1) 0,12 0,17 0,11 0,11

Erukat (C22:1n9) 0,03 0,04 0,04 0,03

Nervonat (C24:1) 0,03 0,04 0,02 0,02

Linolelaidat (C18:2n9t) 0,16 0,03 0,04 0,05

Linoleat (C18:2n6c) 0,81 0,86 0,84 0,98

γ-linolenat (C18:3n6) 0,03 0,05 0,06 0,06

Linolenat (C18:3n3) 0,49 0,87 0,69 0,77

Dihomo-γ-linolenat (C20:3n6) 0,06 0,09 0,08 0,08

Arakhidonat (C20:4n6) 2,81 2,34 3,31 3,07

EPA (C20:5n3) 5,02 5,72 8,30 7,18


(2)

Lampiran 8 Hasil analisis kolesterol rajungan Konsentrasi

Standar (y)

Absorbansi Standar (x)

0,025 0,107

0,025 0,109

0,05 0,229

0,05 0,252

0,10 0,468

0,10 0,432

0,15 0,647

0,15 0,702

0,20 0,922

0,20 0,948

Segar Kukus Berat sampel (g) 0,1037 0,1039 Absorbansi sampel 0,246 0,173 Kolesterol (mg/100 g) 51,73 36,59 Contoh perhitungan kadar kolesterol rajungan segar: Berat sampel = 0,1037 gram

Absorbansi sampel = 0,246 Persamaan yang diperoleh y = 0,214 x + 0,001

y = 0,214 (0,246) + 0,001 y = 0,05173

y = 0,214x + 0,001 R² = 0,995

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

ko n se n tr as i st an da r absorbansi standar


(3)

Keterangan : y = konsentrasi standar x = absorbansi standar Konsentrasi kolesterol = x 100

= x 100

= 51,73 mg/100 gram


(4)

Lampiran 10 Peak kromatografi gas asam lemak rajungan segar ulangan 1


(5)

Lampiran 12 Peak kromatografi gas asam lemak rajungan kukus ulangan 1


(6)

Lampiran 14 Dokumentasi penelitian a Foto rajungan

b Proses pengukusan

c Analisa asam lemak

d Analisa histologi