Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi

AKAR MASALAH KEAMANAN PANGAN JAJANAN ANAK
SEKOLAH (PJAS): STUDI KASUS PADA BAKSO, MAKANAN
RINGAN, DAN MI

MAZAYA GHAISANI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Akar Masalah
Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus pada Bakso, Makanan
Ringan, dan Mi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Mazaya Ghaisani
NIM F24100027

ABSTRAK
MAZAYA GHAISANI. Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah:
Studi Kasus pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi. Dibimbing oleh DAHRUL
SYAH.
Tingginya konsumsi Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) oleh anak sekolah
yang tidak diikuti dengan penerapan cara produksi pangan yang baik (CPPB) oleh
para penjaja pangan berpotensi menyebabkan masalah keamanan pangan berupa
bahaya fisik, bahaya kimia, maupun bahaya mikrobiologi. Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) sebagai lembaga pemerintah yang
berwenang dalam pengawasan makanan melakukan pengujian terhadap sejumlah
PJAS yang dijual di 3950 SD/MI di Indonesia pada tahun 2011-2013 untuk
mengetahui kondisinya. Hasil pengawasan tersebut masih sebatas data persentase
PJAS yang memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS) sehingga
diperlukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui akar-akar masalah keamanan

pada PJAS dan dapat memberikan strategi perbaikan berkelanjutan untuk
meningkatkan keamanan dan mutu PJAS.
Analisis data yang dilakukan adalah analisis ragam dan pengambilan
keputusan dengan diagram Pareto. Analisis ragam digunakan untuk mengetahui
keragaman antara PJAS dengan provinsi lokasi pengambilan sampel dan parameter
keamanan. Diagram Pareto digunakan untuk memutuskan parameter keamanan
yang menjadi masalah utama pada tiap jenis PJAS.
Hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman antara jenis PJAS
dengan provinsi lokasi pengambilan sampel pada taraf nyata 1%. Analisis ragam
yang dilakukan terhadap faktor jenis PJAS dengan parameter keamanan juga
menunjukkan adanya keragaman pada taraf nyata 1%. Hasil analisis ragam
kemudian diuji lanjut dengan LSD (Least Significant Difference). Hasil uji lanjut
LSD menunjukkan bahwa bakso, mi, dan makanan ringan adalah jenis PJAS
dengan persentase TMS yang paling rendah sehingga penilitian ini berfokus
terhadap ketiga jenis PJAS tersebut. Dengan diagram Pareto diketahui bahwa
parameter keamanan yang menjadi masalah utama pada PJAS jenis bakso adalah
angka lempeng total (ALT) dan koliform, pada makanan ringan adalah boraks dan
rhodamin B, sedangkan pada mi adalah formalin dan E. coli. Berdasarkan hasil
Pareto diketahui masalah utama keamanan pangan pada penelitian ini adalah
masalah cemaran mikrobiologis akibat sanitasi-higiene yang kurang baik pada

proses produksi dan penyiapan PJAS serta masalah cemaran kimiawi akibat
penyalahgunaan bahan kimia berbahaya pada pangan.
Kata kunci: cemaran kimia, cemaran mikrobiologi, keamanan pangan, PJAS

ABSTRACT
MAZAYA GHAISANI. The Problem Source of School Based Street Foods’ Safety:
Case Study on Meatball, Snack, and Noodle. Supervised by DAHRUL SYAH.
High consumption of school based street foods (PJAS) that are not followed
by the application of Good Manufacturing Practices (GMP) potentially lead to
many food safety problems. BPOM RI as government agency that authorize on food
controlling tested a number of PJAS that sold at 3950 elementary schools in
Indonesia on 2011-2013 to determine its condition. The result of monitoring only
show percentages of complied PJAS (MS/Memenuhi Syarat) and not complied
PJAS (TMS/Tidak Memenuhi Syarat). Further analysis is required to determine the
PJAS safety problems and strategies for sustainable improvement of its safety and
quality.
Data was analyzed with analysis of variance and Pareto diagram. Analysis of
variance was used to determine variability between PJAS with provinces as
sampling location. It also determine variability between PJAS with food safety
parameters. Pareto diagram was used to identify the main problems of food safety

parameters on each PJAS.
The result of analysis of variance showed that there is variability between
PJAS with provinces at 1% significance level. It also showed that there is variability
between PJAS with food safety parameters at 1% significance level. The result of
analysis of variance was followed by LSD (Least Significance Difference). The
result of LSD analysis showed that meatball, noodle, and snack are the lowest
percentage of not complied PJAS, so this study is focused to that foods. Pareto
diagram determined that the safety parameter that become the main problems of
meatball are total plate count (TPC) and coliform. The main problems of noodle are
formalin and E.coli, while the main problems of snack are borax and rhodamine B.
According to the result of Pareto analysis, the main problems of PJAS are
microbiological contaminant and chemical contaminant. Microbiological
contaminant caused by poor sanitation and hygiene on production and preparation
process, while chemical contaminant due to misused of hazardous chemicals in
food.
Keywords: food safety, school based street foods, microbiological contaminants,
chemical contaminants

AKAR MASALAH KEAMANAN PANGAN JAJANAN ANAK
SEKOLAH (PJAS): STUDI KASUS PADA BAKSO, MAKANAN

RINGAN, DAN MI

MAZAYA GHAISANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi
Kasus pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi
Nama
: Mazaya Ghaisani

NIM
: F24100027

Disetujui oleh

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Feri Kusnandar MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus pada Bakso,
Makanan Ringan, dan Mi.”

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
selaku pembimbing serta kepada Ibu Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi dan Ibu Dian
Herawati, STP, MSi selaku penguji atas waktu, nasihat, dan arahannya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Ungkapan terima
kasih disampaikan pula kepada ayah, ibu, adik, seluruh keluarga, teman
sebimbingan, teman-teman ITP 47, sahabat-sahabat terdekat, dan semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan, doa, kasih sayang, dan
semangat yang telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015
Mazaya Ghaisani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR


vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian


2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Konsep Keamanan Pangan

2

Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

4

METODE

5

Kerangka Pikir Penelitian


5

Waktu dan Tempat

5

Tahapan Penelitian

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Kondisi PJAS yang Tidak Memenuhi Syarat pada Tahun 2011-2013

8

Parameter Keamanan Pangan pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi


12

Langkah-langkah Perbaikan Mutu dan Keamanan PJAS

21

SIMPULAN DAN SARAN

25

Simpulan

25

Saran

25

DAFTAR PUSTAKA

26

LAMPIRAN

30

RIWAYAT HIDUP

36

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Parameter keamanan PJAS
6
Signifikansi antara rata-rata persentase TMS dengan provinsi lokasi 11
Signifikansi antar parameter keamanan PJAS
11
Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada
bakso
12
Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada mi 15
Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada
makanan ringan
19
Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya cemaran mikrobiologis
21
Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya cemaran kimiawi
24

DAFTAR GAMBAR
1 Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat selama tahun 2011-2013 9
2 Persentase mi, makanan ringan, dan bakso yang tidak memenuhi
syarat
10
3 Masalah utama keamanan pangan pada bakso
12
4 Masalah utama keamanan pangan pada mie
16
5 Masalah utama keamanan pangan pada makanan ringan
19

DAFTAR LAMPIRAN
1 Perhitungan analisis ragam
2 Perhitungan uji lanjut LSD (Least Significant Difference)

30
32

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan jajanan merupakan makanan siap saji dan minuman yang
dipersiapkan dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan atau tempat-tempat
lain sejenisnya (FAO 2009). Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) umumnya dikenal
sebagai pangan siap saji yang ditemui di lingkungan sekolah dan secara rutin
dikonsumsi oleh sebagian besar anak sekolah (Kementerian Kesehatan RI 2011).
PJAS menyumbang 31.1% kebutuhan kalori serta 27.4% protein dari
konsumsi pangan harian anak sekolah (BPOM RI 2009). Hasil survei Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) pada tahun 2010
menunjukkan bahwa terdapat 141 kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan
terjadi. Dari 141 kejadian, 15% disebabkan oleh PJAS dengan tingkat kejadian
tertinggi (69-79%) terjadi di Sekolah Dasar (BPOM RI 2011). Keracunan pangan
tersebut dapat diakibatkan oleh tingginya konsumsi PJAS oleh anak sekolah yang
tidak diikuti dengan penerapan cara produksi pangan yang baik (CPPB) oleh para
penjaja pangan.
BPOM RI sebagai lembaga pemerintah yang berwenang dalam pengawasan
makanan menginisiasi Gerakan PJAS. Gerakan PJAS tersebut disebut dengan Aksi
Nasional PJAS (AN PJAS) yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan, mutu,
dan gizi PJAS. Salah satu bentuk AN PJAS adalah program pengawasan PJAS
berupa sampling dan analisis sampel PJAS dari kantin dan penjaja makanan di
lingkungan sekolah. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan Petunjuk Teknis
Sampling PJAS yang dibuat oleh BPOM RI. Sampel tersebut kemudian dianalisis
di laboratorium Balai Besar/Balai POM atau di laboratorium keliling agar diketahui
kesesuaiannya dengan syarat yang telah ditentukan oleh BPOM RI. Hingga saat ini,
data-data hasil sampling dan analisis tersebut hanya sebatas mengetahui persentase
sampel yang memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS). Oleh sebab
itu, data dikaji lebih lanjut untuk mengetahui akar-akar masalah keamanan pada
PJAS sehingga dapat diberikan strategi perbaikan berkelanjutan untuk
meningkatkan keamanan dan mutu PJAS yang dijual.
Penelitian ini hanya berfokus terhadap 3 jenis PJAS yaitu bakso, makanan
ringan, dan mi. Hal tersebut disebabkan untuk PJAS jenis kudapan memiliki variasi
jajanan yang paling banyak dan beragam sehingga cukup sulit apabila dilakukan
analisis parameter keamanan pangan penyebab TMS serta telah dilakukan
penelitian serupa terhadap 3 jenis PJAS yang lain yaitu es, minuman berwarna/sirup,
dan agar/jeli.

Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan strategi perbaikan
berkelanjutan bagi 3 jenis PJAS (bakso, makanan ringan, dan mi) berdasarkan data
hasil pengawasan yang dilakukan oleh BPOM. Untuk mencapai tujuan umum
tersebut, disusun pula beberapa hal yang ingin dicapai pada penelitian ini, antara
lain:
1. Mengidentifikasi jenis PJAS yang paling sulit memenuhi syarat

2
2.
3.

Mengkaji parameter keamanan pangan pada tiga jenis PJAS (bakso, mi, dan
makanan ringan) yang paling sulit memenuhi syarat
Merumuskan langkah-langkah perbaikan mutu dan keamanan pada tiga jenis
PJAS (bakso, mi, dan makanan ringan).

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi bagi berbagai pihak
terkait untuk meningkatkan keamanan dan mutu PJAS dengan mengkaji perubahan
tingkat keamanan PJAS pada tahun 2011-2013 dan parameter keamanan pangan
yang paling sulit memenuhi syarat.

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Keamanan Pangan
Keamanan pangan didefinisikan sebagai jaminan bahwa suatu pangan tidak
menyebabkan bahaya bagi konsumen ketika pangan tersebut disiapkan atau
dimakan berdasarkan cara mengkonsumsinya (FAO 2009). Sedangkan menurut UU
No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya
yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis,
kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan
kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
Pangan yang aman adalah pangan yang bebas dari bahaya biologis, bahaya
kimia, dan bahaya fisik (BPOM RI 2012). Bahaya biologis meliputi bahaya yang
disebabkan oleh makhluk hidup seperti bakteri, toksin yang diproduksi oleh
organisme, kapang, khamir, parasit, virus, dan prion. Bahaya kimia merupakan
bahaya yang disebabkan oleh senyawa kimia berupa toksin yang terbentuk secara
alami (seperti HCN pada tanaman ketela pohon), penggunaan bahan tambahan
pangan (BTP) yang melebihi batas maksimumnya, residu pestisida, kontaminasi
dari lingkungan, penyalahgunaan bahan kimia berbahaya (seperti formalin, boraks,
dan rhodamin B), kontaminasi senyawa kimia dari kemasan, dan alergen.
Sedangkan bahaya fisik adalah bahaya yang disebabkan benda-benda yang
seharusnya tidak berada dalam pangan seperti logam, kaca, batu, atau duri (FAO
2006).
Untuk menekan sekecil mungkin risiko yang dapat terjadi, diperlukan sistem
pengawasan yang komprehensif dari saat produk dibuat hingga beredar di pasaran.
Sistem pengawasan yang diterapkan oleh BPOM di Indonesia adalah Sistem
Pengawasan Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM). SisPOM terdiri dari tiga
lapis yakni subsistem pengawasan produsen, subsistem pengawasan konsumen, dan
subsistem pengawasan pemerintah (BPOM). Subsistem pengawasan produsen
adalah sistem pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan CPPB atau
GMP agar setiap bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak
awal. Secara hukum, produsen bertanggung jawab atas mutu dan keamanan produk
yang dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap

3
standar yang telah ditetapkan maka produsen dikenakan sanksi, baik administratif
maupun pro-justisia. Subsistem pengawasan konsumen adalah sistem pengawasan
yang dilakukan oleh masyarakat melalui peningkatan kesadaran dan peningkatan
pengetahuan mengenai kualitas produk yang digunakannnya dan cara-cara
penggunaan produk yang rasional. Pengawasan oleh masyarakat merupakan hal
yang penting untuk dilakukan karena pada akhirnya masyarakat yang mengambil
keputusan untuk membeli dan menggunakan suatu produk. Konsumen dengan
kesadaran dan tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mutu dan kegunaan suatu
produk dapat terlindung dari penggunaan produk-produk yang tidak memenuhi
syarat dan tidak dibutuhkan. Selain itu, hal tersebut juga dapat mendorong produsen
untuk menjaga kualitas produk yang dihasilkan. Subsistem pengawasan pemerintah
(BPOM) adalah pengawasan oleh pemerintah melalui peraturan dan standardisasi;
penilaian kemanan, khasiat, dan mutu produk sebelum diijinkan beredar di
Indonesia; inspeksi, pengambilan sampel, dan pengujian laboratorium produk yang
beredar serta peringatan kepada publik yang didukung dengan penegakan hukum.
Selain melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, pemerintah juga melaksanakan
kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi untuk meningkatkan kesadaran dan
pengetahuan masyarakat konsumen terhadap mutu, khasiat, dan keamanan produk
(BPOM 2013).
Analisis risiko merupakan kerangka berpikir yang digunakan pemerintah
dalam upayanya untuk menurunkan risiko terjadinya masalah keamanan pangan.
Analisis risiko adalah suatu proses yang sistematis dan transparan dalam
pengumpulan, analisis, dan evaluasi informasi ilmiah maupun non-ilmiah yang
relevan tentang bahaya kimia, mikrobiologis, atau fisik yang mungkin terdapat
dalam pangan. Hasil analisis digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan
untuk memilih opsi terbaik untuk menangani risiko tersebut berdasarkan berbagai
alternatif yang diidentifikasi. Analisis risiko dibagi menjadi tiga komponen utama,
yaitu kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko. Kajian risiko adalah
suatu proses penentuan tingkat risiko yang berlandaskan data-data ilmiah. Kajian
risiko terdiri dari empat tahapan yaitu identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya,
kajian pemaparan, dan karakterisasi risiko. Manajemen risiko adalah suatu proses
yang meliputi pembuatan dan penerapan kebijakan dengan mempertimbangkan
masukan dari pihak-pihak terkait mengenai kajian risiko dan faktor lain yang
relevan. Tujuan dari kebijakan yang dibuat adalah untuk melindungi kesehatan
konsumen dan mempromosikan perdagangan yang adil. Jika diperlukan dapat
memilih opsi pencegahan dan pengendalian yang sesuai untuk menanggulangi
risiko. Komunikasi risiko adalah pertukaaran informasi dan opini secara interaktif
dalam pelaksanaan proses analisis risiko (mengenai risiko, faktor yang berkaitan
dengan risiko, dan persepsi risiko) antara pengkaji risiko, manajemen risiko, dan
pihak terkait lainnya, seperti pemerintah, konsumen, industri, dan konsumen.
Informasi yang diberikan termasuk penjelasan tentang temuan-temuan dalam kajian
risiko dan landasan keputusan manajemen risiko (BPOM RI 2005).
Analisis risiko pada sistem keamanan pangan di Indonesia diterapkan dalam
bentuk Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT). BPOM RI bekerja sama dengan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), produsen pangan, dan konsumen untuk
mengembangkan SKPT dan mewujudkan keamanan pangan di Indonesia. SKPT
diwujudkan dalam tiga jejaring, yaitu Jejaring Intelijen Pangan (JIP), Jejaring
Pengawasan Pangan (JPP), dan Jejaring Promosi Keamanan Pangan (JPKP). JIP

4
adalah sistem komunikasi untuk anggota SKPT yang memiliki tugas dan fungsi
dalam kajian risiko keamanan pangan. JPP adalah sistem komunikasi yang
menggalang kerjasama antar lembawa berwenang dalam manajemen risiko dalam
rangka meningkatkan efektivitas kerja sistem administrasi keamanan pangan
(kebijakan, peraturan pangan, dan koordinasi pelayanan), inspektorat keamanan
pangan, dan analisis. JPKP adalah kemitraan antara anggota dari berbagai instansi
dan asosiasi yang berhubungan dengan promosi keamanan pangan (BPOM RI
2005).

Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
Menurut FAO (2009) pangan jajanan merupakan makanan siap saji dan
minuman yang dipersiapkan dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan atau
tempat-tempat lain sejenisnya. Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) umumnya
dikenal sebagai pangan siap saji yang ditemui di lingkungan sekolah dan secara
rutin dikonsumsi oleh sebagian besar anak sekolah. Pangan jajanan dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu: (1) Makanan utama; seperti mi,
bakso, nasi soto, dan mi ayam, (2) Makanan ringan; seperti tahu goreng, agar, dan
jeli, (3) Minuman; seperti es campur, es sirup, dan es teh (Kementerian Kesehatan
RI 2011). Makanan ringan adalah kelompok makanan yang paling banyak
ditemukan di lingkungan sekolah, yaitu sebesar 54%, diikuti minuman (26%), dan
makanan utama (20%) (BPOM RI 2009).
Kebutuhan gizi anak sekolah usia 6-12 tahun berkisar antara 1550-2050 Kkal.
Sarapan pagi harus memenuhi sebanyak 20-25% kebutuhan kalori sehari. Makan
siang dan makan malam masing-masing 30%, sedangkan makanan selingan atau
jajanan dapat dilakukan dua kali dengan porsi masing-masing 10% (Kementerian
Kesehatan RI 2011). Hasil survei BPOM RI pada tahun 2008 menunjukkan bahwa
PJAS menyumbang 31.1% kebutuhan kalori serta 27.4% protein dari konsumsi
pangan harian anak sekolah (BPOM RI 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa
konsumsi pangan jajanan cukup tinggi di kalangan anak sekolah sehingga pangan
jajanan berperan penting dalam memberikan asupan energi dan gizi bagi anak-anak
usia sekolah.
Umumnya di lingkungan sekolah terdapat dua kategori penjaja pangan yaitu
kantin atau koperasi sekolah yang berada di dalam sekolah serta penjual pangan
jalanan yang mangkal di sekitar sekolah (BPOM RI 2008). Berdasarkan data yang
diperoleh BPOM RI pada tahun 2008, diketahui sebesar 64.9% pengelola kantin
sekolah dan 75.3% penjaja PJAS di sekitar sekolah yang disurvei belum
menerapkan praktek keamanan pangan yang baik. Selain itu diketahui pula bahwa
sebesar 16.1% pengelola kantin sekolah dan 23.1% penjaja PJAS di sekitar sekolah
menambahkan BTP ke dalam produk minuman yang dijual. Masalah-masalah
tersebut dapat mengakibatkan timbulnya bahaya keamanan pangan bagi anak
sekolah. Hasil survei BPOM pada tahun 2010 yang menunjukkan bahwa terdapat
141 kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan terjadi. Dari 141 kejadian, 15%
disebabkan oleh PJAS dengan tingkat kejadian tertinggi (69-79%) terjadi di
Sekolah Dasar (BPOM RI 2011).
Masalah keamanan pangan banyak ditimbulkan akibat kondisi higiene dan
sanitasi yang tidak memadai, kurangnya pengetahuan penjaja pangan mengenai

5
bahan tambahan pangan, kurangnya edukasi mengenai pangan yang aman kepada
murid sekolah, serta program pengawasan PJAS yang belum berjalan dengan baik.

METODE
Kerangka Pikir Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap pendahuluan dan tahap analisis
data. Tahap pendahuluan berupa pengumpulan data dan pengelompokan ulang data.
Data yang digunakan merupakan data sekunder hasil program pengawasan PJAS
yang dilakukan oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi BPOM RI pada 31 provinsi
di Indonesia selama tahun 2011-2013. Setiap tahunnya dilakukan 2 tahap
pengambilan sampel sehingga terdapat total 6 set data. Data yang telah diperoleh
dikelompokkan ulang untuk memudahkan analisis data.
Tahap selanjutnya adalah analisis data. Analisis data yang dilakukan antara
lain untuk mengidentifikasi:
1. Perubahan persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat pada tahun 2011-2013.
Perubahan persentase PJAS tersebut dapat mencerminkan kondisi PJAS yang
umum dijual di lingkungan SD/MI.
2. Jenis PJAS yang paling sulit memenuhi syarat yaitu jenis PJAS dengan
persentase TMS yang paling tinggi.
3. Parameter keamanan PJAS yang paling sulit memenuhi syarat dengan melihat
persentase TMS pada parameter yang paling tinggi. Selanjutnya dilakukan
perumusan langkah-langkah perbaikan keamanan dan mutu PJAS sesuai
dengan parameter keamanan yang paling sulit memenuhi syarat.

Waktu dan Tempat
Sampel diambil dari 3950 SD/MI di 31 provinsi di Indonesia selama tahun
2011-2013. Pengujian dilakukan di laboratorium Balai Besar POM dan Balai POM
serta laboratorium keliling di masing-masing provinsi. Analisis data dilaksanakan
selama 4 bulan yaitu pada bulan Juni-September 2014 di lingkungan kampus
Institut Pertanian Bogor Dramaga.

Tahapan Penelitian
Penelitian terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap pendahuluan dan tahap analisis
data. Berikut uraiannya:
1. Tahap pendahuluan
Tahap pendahuluan terdiri dari pengumpulan data dan pengelompokan
ulang data. Data sekunder diperoleh dari hasil pengujian 7 jenis PJAS (bakso,
es, jeli/agar, kudapan, makanan ringan, mi, dan minuman berwarna/sirup) yang
umum dijual di lingkungan Sekolah Dasar dalam rangka program pengawasan
PJAS yang dilakukan oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi BPOM RI.

6
Pengambilan sampel dilakukan di 31 provinsi di Indonesia selama tahun 20112013 dimana tiap tahunnya dilakukan 2 tahap pengambilan sampel sehingga
diperoleh 6 set data. Berdasarkan 6 set data yang diperoleh diketahui terdapat
3950 SD/MI sebagai lokasi sampling dan 26857 sampel PJAS telah diuji. Data
tersebut kemudian dikelompokkan ulang berdasarkan tujuan yang ingin dicapai,
yaitu:
a. Pengelompokan berdasarkan PJAS yang tidak memenuhi syarat (TMS)
b. Pengelompokan berdasarkan jenis PJAS dan parameter keamanannya
2. Tahap analisis data
Analisis data dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2013.
Berikut analisis data yang dilakukan:
a.

%�

b.

Analisis data PJAS yang tidak memenuhi syarat
Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat dihitung pada setiap
tahap pengambilan sampel dengan formula sebagai berikut:
=

�ℎ � �


�ℎ

�� �

� � �





�� �

×

%

Analisis data PJAS dan parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat
Tabel 1 Parameter keamanan PJAS
Jenis PJAS

Bakso

Makanan ringan

Mi

Parameter
Kadar formalin
Kadar boraks
Angka Lempeng Total
Bakteri koliform
Escherichia coli
Salmonella
Staphylococcus aureus
Clostridium perfringens
Rhodamin B
Methanil yellow
Kadar benzoat
Kadar sorbat
Kadar sakarin
Kadar siklamat
Kadar asam borat
Escherichia coli
Staphylococcus aureus
Kadar formalin
Kadar boraks
Methanil yellow
Escherichia coli
Staphylococcus aureus

Batas Maksimum
Negatif
Negatif
1 x 105 koloni/gr
10 APM/gram
< 3 APM/gram
Negatif/25 gram
1 x 102 koloni/gr
1 x 102 koloni/gr
Negatif
Negatif
Maks. 1000 mg/kg
Maks. 1000 mg/kg
Maks. 300 mg/kg
Maks. 300 mg/kg
Negatif
< 3 APM/gram
1 x 102 koloni/gr
Negatif
Negatif
Negatif
< 3 APM/gram
1 x 102 koloni/gr

Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat
dihitung pada tiap tahap pengambilan sampel berdasarkan jenis PJAS.

7
Untuk menentukan parameter yang tidak memenuhi syarat, hasil yang
diperoleh dari pengujian sampel dibandingkan dengan parameter yang
terdapat pada Tabel 1. Berikut formula perhitungan persentase parameter
keamanan yang tidak memenuhi syarat:
%�� �

� � �

=

�ℎ

�ℎ �� �
ℎ �� �

� � � �� �
� � � �� �



×

%

c. Analisis Ragam
Analisis ragam dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
keragaman rata-rata persentase TMS dengan provinsi serta keragaman ratarata PJAS dengan parameter keamanannya. Berikut model analisis ragam
dua faktor yang digunakan:


=�+

+

+ 

+

(Sudjana 1985)

Yijk

= Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat karena pengaruh
bersama taraf ke-i faktor provinsi (A) dan taraf ke j faktor jenis
PJAS (B) yang terdapat pada observasi ke-k

= efek rata-rata yang sebenarnya (berharga konstan)
Ai
= efek sebenarnya dari taraf ke-i faktor provinsi
Bj
= efek sebenarnya dari taraf ke-j faktor PJAS
(ij) = efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke-i faktor provinsi (A)
dan taraf ke-j faktor jenis PJAS (B)
k(ij) = efek sebenarnya dari unit eksperimen ke-k dalam kombinasi
perlakuan (ij)
Sedangkan analisis ragam untuk parameter per jenis PJAS menggunakan
analisis ragam satu faktor dengan model sebagai berikut:
� =�+ + 
Yij =
 =
i =
ij =

(Sudjana 1985)

variabel yang akan dianalisis, dimisalkan berdistribusi normal
efek umum atau efek rata-rata yang sebenarnya
efek yang sebenarnya pada perlakuan ke-i
efek yang sebenarnya dari unit eksperimen ke-j yang berasal dari
perlakuan ke-i

Apabila hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman dari
faktor yang dianalisis (F hitung > F tabel pada taraf nyata yang telah
ditentukan), maka dilanjutkan dengan uji lanjut LSD (Least Significance
Different), dengan formula sebagai berikut:
�=


,���
2





+

8
ri
rj
KTG

dbg
t

=
=
=
=
=
=

ulangan ke-i
ulangan ke-j
Kuadrat Tengah Galat yang diperoleh dari analisis ragam
taraf nyata
derajat bebas galat

nilai t diperoleh dari tabel t pada taraf nyata dengan derajat bebas
2
sama dengan dbg

d. Analisis Pareto
Diagram Pareto digunakan untuk menentukan parameter keamanan
yang menjadi masalah utama pada tiap jenis PJAS. Diagram Pareto
merupakan diagram yang terdiri atas grafik balok dan grafik garis yang
menggambarkan perbandingan masing-masing jenis data terhadap
keseluruhan. Diagram Pareto menunjukkan masalah mana yang sedikit
tetapi dominan (vital few) dan masalah yang banyak tetapi kurang dominan
(trivial many). Teori Pareto menyatakan bahwa 20% kondisi dapat menjadi
penyebab bagi 80% akibat (Muhandri dan Kadarisman 2012).
Setelah mengetahui parameter keamanan yang menjadi masalah utama pada
tiap PJAS, selanjutnya dilakukan pengamatan dan wawancara terhadap produsen
dan pedagang PJAS di Kota dan Kabupaten Bogor. Pengamatan dan wawancara
bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai proses
produksi dan penyiapan PJAS sehingga dapat disusun langkah-langkah perbaikan
bagi produsen dan pedagang PJAS secara lebih komprehensif. Pengamatan
dilakukan terhadap masing-masing satu orang pedagang bakso dan pedagang mie
yang berlokasi di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Pengamatan produsen
bakso dilakukan di satu lokasi penggilingan bakso di Pasar Anyar, Kota Bogor.
Sedangkan pengamatan terhadap produsen mi dilakukan di satu lokasi produksi mi
basah mentah di Merdeka, Kota Bogor.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi PJAS yang Tidak Memenuhi Syarat pada Tahun 2011-2013
Data PJAS diperoleh dari hasil program pengawasan PJAS yang dilakukan
oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi BPOM RI. Pengambilan sampel tujuh jenis
PJAS dilakukan pada 3950 SD/MI di 31 provinsi di Indonesia selama tahun 20112013. Tujuh jenis PJAS yang ditetapkan oleh BPOM RI dan diatur dalam Petunjuk
Teknis PJAS antara lain: bakso, es, jeli/agar, kudapan, makanan ringan, mi, dan
minuman berwarna/sirup. Menurut Petunjuk Teknis Sampling PJAS, kudapan
adalah makanan ringan yang mencakup makanan gorengan (seperti bakwan, ubi
goreng, pisang goreng, tahu isi, cilok, sosis, ayam goreng, batagor, lumpia, pempek,
model, tekwan), jajanan pasar (seperti hunkwe dan dadar gulung, dan sejenisnya,
sedangkan makanan ringan mencakup kerupuk, keripik, produk esktrusi, dan
sejenisnya. Tiap tahun dilakukan dua tahap pengambilan sampel sehingga total

9
dilakukan enam tahap pengambilan sampel selama tiga tahun. Sebanyak 26857
sampel telah diambil selama enam tahap pengambilan sampel tersebut.
Berdasarkan data tersebut, dihitung persentase tingkat PJAS yang tidak
memenuhi syarat (TMS) parameter keamanannya. Persentase tersebut dapat
menggambarkan kondisi PJAS yang dijual di lingkungan SD/MI. Persentase PJAS
tidak memenuhi syarat yang tinggi menunjukkan kondisi keamanan PJAS yang
buruk dan memiliki risiko terjadinya cemaran yang tinggi. Persentase PJAS yang
tidak memenuhi syarat tertinggi adalah pada sampling tahun 2011 tahap II dan yang
terendah adalah pada sampling tahun 2012 tahap II sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 1.
60
56,76
50
46,39

%TMS

40
31,07

30

29,07

23,45
20
16,41
10
0
2011 Tahap I

2011 Tahap II

2012 Tahap I

2012 Tahap II

2013 Tahap I

2013 Tahap II

Tahun sampling

Gambar 1 Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat selama tahun 2011-2013
(n = 26857)
Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat pada tahun 2011 cukup tinggi
karena mencapai angka 50%, namun mengalami penurunan yang cukup drastis dan
mencapai angka 20% pada tahun selanjutnya. Tahun 2013 menunjukkan adanya
peningkatan kembali persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat meskipun tidak
setinggi pada tahun 2011.
Setelah mengetahui perubahan persentase seluruh PJAS yang tidak
memenuhi syarat, selanjutnya dilakukan perhitungan persentase TMS terhadap tiga
jenis PJAS yaitu bakso, mi, dan makanan ringan. Pemilihan ketiga jenis PJAS
tersebut didasari hasil uji lanjut LSD dan kategori PJAS yang sama yaitu makanan.
Gambar 2 menunjukkan bahwa persentase bakso yang tidak memenuhi syarat
cukup tinggi, yaitu berkisar antara 20-65% dengan persentase tertinggi terdapat
pada tahun 2011 tahap II dan yang terendah terdapat pada tahun 2012 tahap II.
Persentase makanan ringan yang tidak memenuhi syarat berkisar dari 8-20%.
Persentase tertinggi terdapat pada tahun 2011 tahap I dan yang terendah terdapat
pada tahun 2012 tahap II. Sedangkan pada mi, persentase sampel yang tidak
memenuhi syarat berkisar antara 7-43%. Persentase tertinggi mi yang tidak
memenuhi syarat terdapat pada tahun 2011 tahap II dan yang terendah terdapat pada
tahun 2012 tahap II. Berdasarkan grafik pada Gambar 1 dan Gambar 2, terlihat
bahwa perubahan kondisi PJAS memiliki tren yang fluktuatif dimana persentase

10
TMS paling tinggi terdapat pada tahun 2011, kemudian turun cukup drastis pada
tahun 2012, dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2013.
70
60

Mie

64,21

Makanan Ringan

56,14

Bakso

% TMS

50
40

32,83

43,04

31,65

30
20,13

19,50

20,99

20,83

10,12

8,92

8,77

7,74

2012 Tahap I

2012 Tahap II

20
10

12,88

15,63

0
2011 Tahap I

2011 Tahap II

10,70
2013 Tahap I

14,34
10,66

2013 Tahap II

Tahun sampling

Gambar 2 Persentase mi (n = 1953), makanan ringan (n = 4248), dan bakso (n =
1898) yang tidak memenuhi syarat
Program pengawasan PJAS yang singkat dapat menjadi penyebab terjadinya
tren yang fluktuatif. Tahun 2013 merupakan tahun terakhir pelaksanaan program
pengawasan PJAS sehingga diduga pengawasan pada tahun 2013 menjadi lebih
longgar daripada tahun sebelumnya dan mengakibatkan terjadinya peningkatan
PJAS yang tidak memenuhi syarat. Tren fluktuatif juga dapat disebabkan adanya
perbedaan jumlah SD/MI lokasi pengambilan sampel dan jumlah sampel yang
diambil pada tiap tahap.
Analisis Ragam
Analisis ragam dilakukan terhadap dua faktor, yaitu rata-rata persentase TMS
tiap jenis PJAS dan provinsi lokasi pengambilan sampel. Hasil analisis ragam pada
Lampiran 1 menunjukkan bahwa terdapat keragaman pada interaksi rata-rata
persentase TMS dengan provinsi pada taraf nyata 1%. Analisis dilanjutkan dengan
uji lanjut LSD karena hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman antar
dua faktor. Hasil uji lanjut LSD pada Tabel 2 menunjukkan bahwa mi memiliki
rata-rata persentase TMS yang tidak berbeda nyata dengan makanan ringan. Hal
tersebut dapat diartikan bahwa mi dan makanan ringan merupakan PJAS dengan
persentase TMS paling rendah. Kudapan merupakan PJAS dengan persentase TMS
terendah setelah mi dan makanan ringan. Rata-rata persentase TMS bakso dan
jeli/agar juga tidak berbeda nyata sehingga dapat dikatakan bahwa kedua PJAS
tersebut memiliki tingkat TMS dibawah kudapan. Minuman berwarna/sirup
memiliki tingkat TMS di bawah bakso dan jeli/agar, sedangkan es merupakan PJAS
dengan rata-rata TMS tertinggi.
Tabel 2 menunjukkan bahwa jenis PJAS dengan persentase rata-rata TMS
terendah adalah mi, makanan ringan, kudapan, dan bakso dimana keempat jenis
PJAS tersebut merupakan PJAS dengan kategori yang sama yaitu makanan.
Kudapan merupakan jenis PJAS dengan variasi jenis jajanan yang paling banyak

11
dan beragam sehingga cukup sulit apabila dilakukan analisis parameter keamanan
pangan penyebab TMS. Berdasarkan pertimbangan tersebut penelitian ini berfokus
pada tiga jenis PJAS yaitu mi, makanan ringan, dan bakso.
Tabel 2 Signifikansi antara rata-rata persentase TMS dengan provinsi lokasi
pengambilan sampel
Jenis PJAS
Mi
Makanan ringan
Kudapan
Bakso
Jeli/agar
Minuman berwarna/sirup
Es

Rata-rata TMS (%)
15.874614.3192a
16.050813.4051a
27.389511.2808b
35.118415.2100c
38.722124.1784c
52.758421.0253d
59.829621.7409e

Tabel 3 Signifikansi antar parameter keamanan PJAS
Parameter Keamanan PJAS
Angka Lempeng Total (ALT)
Angka Kapang Khamir (AKK)
Koliform
Siklamat
Asesulfam
E. coli
Boraks
Nitrit
Formalin
Sakarin
Logam timbal
Rhodamin B
Benzoat
S. aureus
C. perfringens
Salmonella
Sorbat
Metanil yellow

Rata-rata TMS (%)
29.832.56f
24.481.74e
23.278.59e
15.8012.33d
5.879.19c
4.042.52c
3.882.22bc
2.502.94abc
2.242.96abc
1.982.22abc
1.631.85abc
1.561.74abc
1.110.66abc
1.101.03abc
0.890.99abc
0.560.22ab
0.230.19a
0.090.10a

Selain melakukan analisis ragam terhadap faktor rata-rata persentase TMS
dan provinsi, dilakukan pula analisis ragam terhadap rata-rata persentase TMS
dengan parameter keamanan. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman
terhadap interaksi dua faktor yang diuji pada taraf nyata 1% sehingga dilakukan uji
lanjut LSD. Tabel 3 menunjukkan bahwa siklamat, koliform, AKK, dan ALT
merupakan parameter keamanan dengan persentase TMS tertinggi. Hal tersebut
menunjukkan bahwa penyebab utama PJAS tidak layak dikonsumsi adalah adanya
cemaran mikrobiologi dan penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) melebihi
batas maksimal yang telah ditentukan.
Selanjutnya dilakukan analisis ragam terhadap parameter keamanan pada tiap
jenis PJAS. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa terdapat keragaman parameter pada taraf nyata 1%
untuk bakso dan makanan ringan dan pada taraf nyata 5% untuk mi.

12
Parameter Keamanan Pangan pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi
Bakso
Bakso merupakan produk pangan yang bahan utama pembuatannya adalah
daging yang dilumatkan, selanjutnya dicampur dengan bahan-bahan lainnya,
dibentuk bulatan-bulatan, dan kemudian direbus. Istilah bakso umumnya diikuti
dengan nama jenis dagingnya, seperti bakso sapi, bakso ayam, atau bakso ikan.
Berdasarkan bahan bakunya, bakso dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu bakso
daging, bakso urat, dan bakso aci. Bakso daging dibuat dari daging yang sedikit
mengandung urat, bakso urat dibuat dari daging yang banyak mengandung urat,
sedangkan bakso aci dibuat dengan penambahan tepung yang lebih banyak
dibandingkan jumlah daging yang digunakan (Anonim 2010).
Tabel 4 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada bakso

Jumlah TMS

Angka Lempeng Total
Koliform
E. coli
Boraks
Formalin
S. aureus
C. perfringens
Salmonella

% Tidak Memenuhi Syarat
2012
2013
II
I
II
I
II
28.95 28.21 33.81 32.72 31.63
24.74 30.16 30.25 31.91 28.48
4.21
6.43
5.67
5.74
5.19
3.68
1.34
1.77
2.59
3.85
0.00
1.55
0.00
0.44
1.39
1.05
1.41
0.00
3.13
0.00
0.00
0.93
2.70
0.89
0.80
1.05
0.00
0.00
3.13
0.00

2011
I
23.90
20.18
6.14
3.95
0.44
0.22
0.00
0.66

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0

% Kumulatif

Parameter

Jumlah TMS
Parameter Keamanan

% Kumulatif

Gambar 3 Masalah utama keamanan pangan pada bakso (n = 1898)
Menurut Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.06.1.52.4011 tentang
Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan, batas
cemaran mikroba ALT maksimal 1x105 koloni/g dan APM koliform maksimal
10/g. Angka lempeng total merupakan metode kuantitatif yang digunakan untuk
mengetahui jumlah mikroba secara umum yang ada pada suatu sampel. Uji ALT

13
hanya menghitung mikroba aerob mesofil dan anaerob mesofil (BPOM RI 2008).
Bakteri koliform dapat digunakan sebagai indikator sanitasi air dan berbagari
produk pangan. Kelompok koliform merupakan bakteri dari famili
Enterobacteriaceae yang terdiri dari empat genus, yaitu Escherichia, Enterobacter,
Klebsiella, dan Citrobacter. Koliform dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu koliform fekal dan koliform non fekal. Koliform fekal merupakan penghuni
normal saluran pencernaan manusia dan hewan yang dapat ditemukan pada feses
dan digunakan sebagai indikator pencemaran. Koliform non fekal tidak termasuk
mikroflora normal di dalam saluran pencernaan, melainkan ditemukan pada
tanaman atau hewan yang telah mati dan sering menimbulkan lendir pada makanan
(Fardiaz 1992).
Pengamatan dilakukan terhadap penjual bakso di salah satu SD di Kecamatan
Dramaga, Bogor dan penggilingan daging di Pasar Anyar, Bogor. Pengamatan
dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai proses
pembuatan dan penyajian bakso. Proses pembuatan adonan bakso dimulai dengan
menggiling daging sapi. Setelah daging sapi lumat maka dilakukan proses
pencampuran dengan tepung sagu, es batu, dan bumbu-bumbu lainnya. Proses
pencampuran memakan waktu yang cukup lama karena tepung sagu dan bumbubumbu yang ditambahkan harus tercampur dengan rata untuk mendapatkan tekstur
adonan bakso yang diinginkan. Proses pencampuran dilakukan dengan mixer
khusus untuk pembuatan bakso yang dibantu dengan tangan. Setelah adonan bakso
jadi kemudian diletakkan ke dalam ember-ember yang telah dilapisi kantong
plastik. Mesin penggiling dan mixer digunakan dari pukul 03.00 hingga selesai
yaitu sekitar pukul 07.30. Setiap pergantian daging yang digiling dan dilumatkan
tidak dilakukan pencucian alat. Pencucian mesin penggiling dilakukan hanya sekali
yaitu setelah penggilingan daging pada hari itu selesai. Tempat penggilingan daging
yang didatangi oleh penulis juga menjual daging untuk bakso. Daging diletakkan di
ruangan tanpa pendingin mulai dari dibukanya tempat penggilingan hingga tutup
sehingga daging disimpan dalam suhu ruang sekitar empat jam. Daging yang tidak
terjual kemudian disimpan di dalam freezer di lokasi penggilingan daging. Adonan
bakso tersebut kemudian dibawa ke lokasi pemasakan masing-masing pedagang
dan kemudian dijual dengan gerobak. Penjual bakso dengan gerobak umumnya
memiliki alat sanitasi yang minimal. Pedagang bakso yang ditemui oleh penulis
hanya memiliki seember air dan lap sebagai alat sanitasi. Air tersebut digunakan
untuk mencuci mangkok, sendok, dan garpu yang telah digunakan. Jika air di ember
sudah cukup kotor maka baru air dibuang dan diganti dengan yang baru. Mangkok
yang telah dicuci kemudian dikeringkan menggunakan kain lap. Kain lap tersebut
digunakan secara terus-menerus dari awal hingga selesai berjualan.
Mengingat penyebab utama bakso tidak memenuhi syarat adalah masalah
ALT dan koliform yang melebihi batas maksimal serta berdasarkan pengamatan
yang dilakukan, diketahui beberapa sumber kontaminasi terbesar pada bakso antara
lain:
1. Kontaminasi dari pekerja
Proses pencampuran daging dengan bahan lain dilakukan menggunakan
mesin mixer dengan bantuan tangan. Penggunaan tangan dilakukan untuk
mempermudah proses pencampuran daging dengan bahan lain. Selain pada
proses penggilingan daging, proses pembentukan bakso dan penyiapan bakso

14
juga dilakukan dengan menggunakan tangan. Penelitian Lues et al. (2006)
menunjukkan bahwa pekerja menyebabkan timbulnya bakteri seperti E.coli, S.
aureus, dan Salmonella. Sanitasi pada pekerja diperlukan untuk meminimalkan
atau bahkan mencegah perpindahan kontaminan dari tubuh pekerja ke makanan.
2. Mesin dan alat yang digunakan
Mesin penggiling dan mixer daging digunakan selama kurang lebih
empat jam sehari namun hanya dicuci sekali yaitu pada saat penggilingan pada
hari tersebut selesai. Ember digunakan sebagai wadah penampung adonan
bakso yang telah selesai digiling dan dicampur. Ember tersebut dilapisi kantong
plastik untuk membawa adonan bakso ke lokasi pedagang melakukan proses
perebusan bakso. Pada ember yang digunakan terlihat sisa-sisa daging yang
telah mengering, Daging yang tersisa pada alat merupakan sumber nutrisi bagi
mikroorganisme untuk tumbuh.
3. Bahan baku
Bahan baku bakso yang berupa daging sangat mudah ditumbuhi mikroba,
terutama mikroba perusak dan pembusuk karena mempunyai kadar air yang
tinggi (68-75%) serta mengandung nutrisi yang dibutuhkan mikroba untuk
tumbuh, seperti asam amino yang banyak mengandung nitrogen, karbohidrat
yang mudah difermentasi, dan mineral. Selain itu, pH daging yang mencapai
5.3-6.5 dapat menguntungkan sejumlah mikroorganisme (Soeparno 2005).
Mikroba yang dapat ditemukan pada daging mentah antara lain Micrococcus
spp., Staphylococcus spp., Bacillus spp., kelompok coryneform, dan
Brochothrix spp. Sedangkan mikroba pembusuk yang terdapat pada daging
yang telah digiling adalah Pseudomonas spp. dan Enterobacteriaceae
psikotropik (Cerveny et al. 2009).
Selain daging, es batu merupakan salah satu bahan baku pembuatan bakso
dengan resiko kontaminasi mikroba yang cukup tinggi. Es batu berfungsi untuk
mempertahankan suhu adonan bakso. Suhu optimum untuk ekstraksi protein
serabut otot adalah 4-5 C dan suhu untuk mempertahankan kestabilan emulsi
adonan adalah