Penerapan kebijakan keamanan pangan dan hubungannya dengan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja pangan jajanan anak sekolah di Jakarta dan Bogor

ABSTRACT
Nuning Hidayati. The Application of Food Safety Policy and Relationship With
Behaviour of Manager at School’s Canteen and Street Food Vendor for
Elementary Students in Jakarta and Bogor. Under the direction of Siti Madanijah
and Ikeu Ekayanti.
The purpose of this research is to identity and to analyze the application
of food safety policy concerened behaviour of manager at school’s canteen and
street food vendor. This research use secondary data from Survey “National
Monitoring and Verification Food Safety of Elementary student Street Food 2008”
by SEAFAST Center, LPPM IPB. The subjects of this research are 123 consist of
33 manager at school’s canteen in Jakarta and 8 manager at school’s canteen in
Bogor, 52 street food vendor in Jakarta and 30 in Bogor. The process of data
analyzing was done by descriptive and inferencial methode. The correlation
between variables were analyzed with chi-square, where as the difference
between variables were analyzed by independent sampel t-test.
The result of this research are most of the application of food safety was
sufficient, where the school has rules about street food vandor, gived sanction.
Had control and founding or counseling. The knowledge and practise of manager
at school’s canteen was better than street food vendor. There are no difference
between attitude of head master, the application of food safety, knowledge and
food safety practise of manager at school’s canteen and street food vendor

based on location. There are no difference between knowledge, higiene, handling
and food storage, pest control, place sanitation and tools of manager at school’s
canteen and street food vendor. However, there is difference between facilities
and infrastructure of facilities and infrastructure and street food vendor
There are no correlation between the application of food safety policy
concerned knowledge (p=0.415), but there are significant correlation between the
application of food safety concerned higiene (p=0.024), handling and food
storage (p=0.022), pest control place sanitation and tools (p=0.040) and total of
safety practice (p=0.004) of manager at school’s canteen. There are no
significant correlation between the application of food safety policy concerned is
knowledge (p=0.0457), higiene (p=0.533), handling and food storage (p=0.218),
facilities and infrastructure (p=0.909), pest control sanitation of place and tools
(p=0.813) and total of food safety practice (p=0.733) of street food vendor.

Keywords : The Application of Food Safety Policy, Food Safety Behavior,
Manager at School’s Canteen and Street Food Vendor

RINGKASAN
NUNING HIDAYATI. Penerapan Kebijakan Keamanan Pangan dan Hubungannya dengan
Perilaku pada Pengelola Kantin dan Penjaja Jajanan Anak Sekolah di Jakarta dan Bogor. Di

bawah bimbingan SITI MADANIJAH dan IKEU EKAYANTI.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis penerapan kebijakan
keamanan pangan dan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan
Bogor. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi karakteristik
sekolah dasar (SD), (2) Mengidentifikasi karakteristik contoh, (3) Mengidentifikasi sikap
kepala sekolah, (4) Mengidentifikasi penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah, (5)
Mengidentifikasi perilaku (pengetahuan, persepsi dan praktek) pengelola kantin dan penjaja
PJAS di Jakarta dan Bogor, (6) Menganalisis perbedaan sikap kepala sekolah, penerapan
kebijakan keamanan pangan sekolah dan perilaku pengelola kantin dan penjaja PJAS, (7)
Menganalisis hubungan karakteristik contoh, karakteristik sekolah, sikap kepala sekolah
terhadap perilaku (pengetahuan dan praktek) keamanan pangan pada pengelola kantin dan
penjaja PJAS, (8) Menganalisis hubungan antara penerapan kebijakan keamanan pangan
terhadap perilaku (pengetahuan dan praktek) pada pengelola kantin dan penjaja PJAS.
Desain penelitian ini yaitu cross-sectional study. Penelitian ini menggunakan data
sekunder yang berasal dari survei “Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan
Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasinal Tahun 2008”, yang dilakukan oleh Southeast Asian
Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, LPPM IPB. Analisis data
penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli 2010. Penelitian ini mengkhususkan pada
wilayah jakarta dan bogor dengan total 82 SD dengan rincian 52 SD di Jakarta dan 30 SD di
Bogor. Contoh dalam penelitian ini adalah pengelola kantin dan penjaja PJAS. Jumlah total

contoh yaitu sebanyak 123 contoh dengan rincian 33 orang pengelola kantin di Jakarta dan
8 orang pengelola kantin di Bogor serta 52 orang penjaja PJAS di Jakarta dan 30 orang
penjaja PJAS di Bogor. Data sekunder diolah dan dianalisis dengan menggunakan program
Microsoft Excell 2007 dan SPSS 16.0 for windows.
SD yang dianalisis berjumlah 82 SD dengan rincian 52 SD di Jakarta dan 30 SD di
Bogor. Secara umum, sebagian besar SD berstatus negeri (59.8%) dan berakreditasi B
(47.6%). Sekolah yang berada di wilayah Jakarta umumnya memiliki sarana dan prasarana
yang lebih baik daripada Bogor.
Secara umum, sebagian besar kepala sekolah di wilayah Jakarta dan Bogor memiliki
sikap mengenai keamanan pangan berkategori sedang dan
penerapan kebijakan
keamanan pangan sekolah dengan kategori baik. Sekolah yang menjadi lokasi penelitian
sebagian besar (73.2%) telah memiliki peraturan mengenai penjaja makanan. Berdasarkan
hasil jawaban dari pihak sekolah, peraturan lebih banyak dikeluarkan oleh pihak sekolah itu
sendiri (97.6%). Sebanyak 50.0% pengawasan di Jakarta dilakukan oleh guru UKS dan
53.3% di Bogor dilakukan oleh guru piket.
Secara umum, pengelola kantin (65.9%) dan penjaja PJAS (84.1%) berjenis kelamin
laki-laki, dimana pendidikan pengelola kantin (41.5% SMA/sederajat) lebih baik daripada
penjaja PJAS (62.2% SD/sederajat). Pengetahuan pengelola kantin lebih baik daripada
penjaja PJAS. Hal ini dapat dilihat dari pengetahuan yang berkategori baik pada pengelola

kantin sebanyak 17.1% sedangkan pada penjaja PJAS sebanyak 9.8%. Namun hasil uji ttest menunjukkan tidak terdapat perbedaan pengetahuan pengelola kantin dan penjaja
PJAS berdasarkan wilayah (p≥0.05) dan tidak terdapat perbedaan pengetahuan pada
pengelola kantin dan penjaja PJAS.
Sebagian besar pengelola kantin dan penjaja PJAS memiliki persepsi bahwa telah
menjual makanan yang bergizi, pangan yang dijual aman dan tidak menyebabkan sakit serta
telah menjaga kebersihan di sekitar lingkungan penjualan. Secara umum praktek keamanan
pangan pengelola kantin lebih baik daripada penjaja PJAS. Hal ini dapat dilihat dari praktek
higiene, penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman, sarana dan prasarana
serta pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan penjaja PJAS lebih rendah
dibandingkan dengan pengelola kantin. Praktek higiene pengelola kantin dan penjaja PJAS

masih banyak yang memegang uang selama pengolahan serta sangat kurang dalam hal
mencuci tangan sebelum dan sesudah melayani pembeli. Praktek penanganan dan
penyimpanan makanan dan minuman, masih banyak pengelola kantin dan penjaja PJAS
yang tidak menutup makanan/minuman yang dijual serta masih penggunaan bahan
tambahan kimia atau alami yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sarana dan
prasarana masih kurang dalam hal tempat cuci tangan, lap peralatan, tempat sampah dan
tempat pencucian peralatan dengan suplai air mengalir. Hal tersebut dapat menjelaskan
tentang rendahnya praktek pengelola kantin dan penjaja PJAS dalam hal mencuci tangan
sebelum dan sesudah melayani pembeli. Pada praktek pengendalian hama, sanitasi tempat

dan peralatan, masih banyak pengelola kantin dan penjaja PJAS yang tidak membuang
sampah secara teratur, pencucian peralatan tidak menggunakan air yang mengalir dan
detergen disimpan terpisah dan diberi label.
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik sekolah, karakteristik
contoh, sikap kepala sekolah dengan perilaku keamanan pangan pada pengelola kantin dan
penerapan kebijakan keamanan pangan dengan pengetahuan pengelola kantin. Namun,
terdapat hubungan yang signifikan antara penerapan kebijakan keamanan pangan dengan
higiene (p=0.024), dengan penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman
(p=0.022), dengan pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan (p=0.004). Menurut
Notoatmodjo (2003), dengan adanya peraturan-peraturan yang harus dipatuhi, maka dapat
membantu perubahan perilaku seseorang. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
karakteristik sekolah, karakteristik contoh, sikap kepala sekolah dan penerapan kebijakan
keamanan pangan dengan perilaku (pengetahuan dan praktek) keamanan pangan pada
penjaja PJAS.

PENERAPAN KEBIJAKAN KEAMANAN PANGAN DAN HUBUNGANNYA
DENGAN PERILAKU PADA PENGELOLA
KANTIN DAN PENJAJA PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH
DI JAKARTA DAN BOGOR


NUNING HIDAYATI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, nikmat serta hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
Skripsi

yang


berjudul

“Penerapan

Kebijakan

Keamanan

Pangan

dan

Hubungannya dengan Perilaku pada Pengelola Kantin dan Penjaja Pangan
Jajanan Anak Sekolah di Jakarta dan Bogor” merupakan satu syarat untuk
menyelesaikan studi di Program Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Atas selesainya skripsi ini,
penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS, dan Dr. Ir ikeu Ekayanti, M.Kes, selaku
dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan dukungan, masukan,
petunjuk, serta kesabaran dan perhatian yang sangat besar dalam proses

penyusunan skripsi hingga selesai.
2. Tiurma Sinaga, B.Sc., MFSA, selaku dosen pemandu seminar dan
penguji yang telah memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.
3. Hilma Syafly, Yulia Puspita Sari, Ani Maria dan Lina Sugita yang telah
menjadi

pembahas

seminar

dan

memberikan

masukan

demi

kesempurnaan skripsi ini.
4. Harisa Totelesi, Hilma Syafly, Revida Rosa, Shelly Gita Perdani dan

Shinta Junita Fitri yang telah memberikan dukungan dalam pembuatan
skripsi ini.
5. Papa, Mama, Kakak dan Adik yang selalu mendokan dan mendukung
penulis.
6. Seluruh teman-teman Program Penyelenggaraan Khusus Ilmu Gizi
Angkatan 02 yang telah memberikan dukungan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis berharap saran dan kritik dari semua
pihak.

Bogor, Januari 2011

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sungai Apit, Kabupaten Siak Sri Indrapura
Provinsi Riau pada tanggal 18 Februari 1987. Penulis merupakan anak
keenam dari tujuh bersaudara, putri dari pasangan M. Isyak Rasyidi dan
Yusmalidar Karim. Penulis menyelesaikan pendidikan SDN 045 Siak Sri
Indrapura pada tahun 1999. Pada tahun 2002, penulis menyelesaikan
pendidikan di MTS Darul Hikmah Pekanbaru. Penulis kemudian
melanjutkan pendidikan di MA Darul Hikmah Pekanbaru dan lulus pada

tahun 2005.
Penulis diterima di Politeknik Kesehatan Padang Jurusan Gizi
Program D-III Departemen Kesehatan pada tahun 2005 dan lulus pada
tahun 2008. Penulis pernah mengikuti praktikum lapang di RSUD Abdoel
Moeloek Lampung dan Hotel Pusako Bukittinggi. Penulis melanjutkan
kuliah di Institut Pertanian Bogor Program Penyelenggaraan Khusus S1
Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia
pada tahun 2008.

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Undang-undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa
pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak
asasi setiap rakyat Indonesia. Sistem pangan tidak hanya dituntut untuk memberikan
pasokan produk pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup (nutritionally adequate),
tetapi juga aman (safe). Peraturan Pemerintah no 28 Tahun 2004 tentang
Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, memberikan wewenang kepada Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia untuk melakukan

pengawasan keamanan, mutu, dan gizi pangan yang beredar di Indonesia.
Salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (Human Development
Index) adalah kesehatan. Faktor gizi memegang peranan yang sangat penting
dalam meningkatkan derajat kesehatan. Meningkatnya derajat kesehatan akan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yaitu manusia yang sehat, cerdas dan
produktif. Perbaikan dan peningkatan gizi harus selalu dilakukan pada setiap siklus
kehidupan manusia, yaitu mulai dari dalam kandungan, bayi, balita, anak-anak,
remaja, dewasa, hingga usia lanjut.
Anak usia sekolah merupakan investasi bangsa, karena anak sekolah adalah
generasi penerus bangsa. Kualitas bangsa di masa depan ditentukan oleh kualitas
anak-anak saat ini. Upaya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) harus
dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Tumbuh kembangnya anak
usia sekolah yang optimal tergantung pemberian asupan zat gizi dengan kualitas
dan kuantitas yang baik. Namun, pemberian makanan pada anak tidak selalu
dilaksanakan dengan baik, yang dapat mengakibatkan gangguan pada organ-organ
dan sistem tubuh anak (Judarwanto 2006).
Masa usia sekolah merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan anak
menuju masa remaja sehingga asupan zat gizi yang cukup dan keamanan makanan
yang dikonsumsi sangat penting untuk diperhatikan, salah satunya adalah makanan
jajanan. Makanan jajanan sangat banyak dijumpai di lingkungan sekitar sekolah dan
umumnya dikonsumsi oleh anak sekolah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Februhartanty (2004) di Bogor, bahwa makanan jajanan yang dikonsumsi oleh

2

pelajar pada waktu sekolah menyumbang asupan gizi sebanyak 36.0% energi,
29.0% protein dan 52.0% zat besi.
Makanan jajanan sekolah perlu mendapatkan perhatian yang serius karena
sangat berisiko terhadap cemaran biologi dan kimia. BPOM tahun 2004 menemukan
60.0% jajanan yang dijual di Sekolah Dasar (SD) di Indonesia tidak memenuhi
standar keamanan mutu dan keamanan. Di Jakarta ditemukan dari 800 pedagang
yang berjualan di sekolah, 340 diantaranya menjual makanan jajanan yang
mengandung zat kimia yang berbahaya (Eunike 2009). Pada tahun 2007 terjadi 28
Kejadian Luar Biasa (KLB) di Bogor merupakan keracunan pangan (16.0%), dimana
terjadi di lingkungan sekolah dan pangan jajanan berkontribusi sebesar 28.5%
sebagai pangan penyebab KLB. Siswa SD merupakan kelompok yang paling sering
(67.0%) mengalami keracunan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) (BPOM
2008).
Berdasarkan hasil ‘’Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan
Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional Tahun 2008”, yang dilakukan oleh
SEAFAST Center, LPPM IPB, sebagian besar (>70%) penjaja PJAS menerapkan
praktek keamanan pangan yang kurang. Sebanyak 14.3% memiliki persepsi bahwa
pangan jajanan yang dijual tidak aman (Andarwulan et al 2008). Wijaya (2009)
menyatakan bahwa dari 47 sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor, pengetahuan
tentang keamanan pangan dengan kategori baik masih sedikit yaitu pada pengelola
kantin sebanyak 38.5% dan penjaja PJAS sebanyak 23.5%.
Penyediaan makanan jajanan anak sekolah sangat dipengaruhi oleh
kebijakan keamanan dari kepala sekolah. Berdasarkan penelitian BPOM 2009 dalam
skala nasional, pada umumnya setiap sekolah memiliki peraturan tentang PJAS.
Sebanyak 55.0% sekolah yang disurvei telah memiliki peraturan tentang PJAS.
Peraturan tersebut sebagian besar dikeluarkan oleh pihak sekolah (95.0%)
meskipun ada juga yang dikeluarkan oleh Dinas Kecamatan maupun Dinas
Kabupaten/Kota/Pusat. Peraturan tersebut sebagian besar mengatur tentang siswa
(68.7%) kemudian mengatur tentang penjaja PJAS (65.7%) dan mengatur tentang
pengelola kantin (57.0%).

3

Perumusan Masalah
Makanan jajanan merupakan alternatif dalam memenuhi kebutuhan pangan,
namun banyak terdapat permasalahan mengenai perilaku yaitu pengetahuan dan
praktek keamanan pangan yang meliputi higiene, penanganan dan penyimpanan
makanan dan minuman, sarana dan prasarana, serta pengendalian hama, sanitasi
tempat dan peralatan. Permasalahan tersebut bisa diakibatkan oleh kurangnya
perhatian dari pihak sekolah. Penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah
sangat mempengaruhi dalam mengurangi bahaya kesehatan terhadap anak sekolah
akibat makanan yang tidak sehat dan aman.
Dengan demikian, untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut
dapat mempengaruhi praktek keamanan pangan pengelola kantin dan penjaja
PJAS, perlu diketahui penerapan kebijakan keamanan pangan dan hubungannya
dengan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis penerapan kebijakan
keamanan pangan dan perilaku pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan
Bogor.
Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi karakteristik sekolah dasar di Jakarta dan Bogor.
2. Mengidentifikasi karakteristik contoh (jenis kelamin dan pendidikan terakhir)
di Jakarta dan Bogor.
3. Mengidentifikasi sikap kepala sekolah di Jakarta dan Bogor.
4. Mengidentifikasi penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah dasar di
Jakarta dan Bogor.
5. Mengidentifikasi perilaku (pengetahuan, persepsi dan praktek) pengelola
kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor.

4

6. Menganalisis perbedaan sikap kepala sekolah, penerapan kebijakan
keamanan pangan sekolah dan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja
PJAS di Jakarta dan Bogor.
7. Menganalisis hubungan karakteristik contoh, karakteristik sekolah dan sikap
kepala sekolah dengan perilaku (pengetahuan dan praktek) keamanan
pangan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS.
8. Menganalisis hubungan antara penerapan kebijakan keamanan pangan
dengan perilaku (pengetahuan dan praktek) pada pengelola kantin dan
penjaja PJAS.
Hipotesis
1. Tidak ada hubungan karakteristik contoh, karakteristik sekolah dan sikap
kepala sekolah dengan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di
Jakarta dan Bogor.
2. Tidak ada hubungan penerapan kebijakan keamanan pangan dengan
perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan
di bidang keamanan pangan dan gizi kepada masyarakat luas terutama pada pihak
sekolah, pengelola kantin,

penjaja PJAS, siswa sekolah dan orangtua terkait

keamanan pangan jajanan. Selain itu, diharapkan dapat memberikan informasi
kepada kepada pihak sekolah dalam menentukan penerapan kebijakan mengenai
keamanan pangan kepada penjaja makanan yaitu pada pengelola kantin dan
penjaja PJAS. Sedangkan bagi pemerintah, hasil ini diharapkan bermanfaat untuk
menyusun kebijakan program di bidang pangan dan gizi khususnya makanan
jajanan pada anak sekolah.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Anak Sekolah Dasar
Periode pertengahan masa kanak-kanak, yaitu anak usia sekolah (6-12
tahun) merupakan periode yang penting dalam kehidupan anak-anak. Walaupun
pertumbuhan fisik anak-anak pada usia sekolah relatif lambat, tetapi terdapat
perubahan yang mencengangkan dalam hal intelektualnya dan dalam hal membina
hubungan dengan orang lain (Harris & Liebert 1991).
Jika dibandingkan dengan periode awal masa kanak-kanak, pertumbuhan
fisik berjalan dengan lambat. Walaupun kemampuan motoriknya terus meningkat,
perubahannya tidak sedramatis perubahan selama enam tahun pertama kehidupan.
Hal ini dikarenakan tingkat perubahan dari hari ke hari anak-anak usia sekolah tidak
terlihat begitu nyata (Papalia & Olds 1986).
Kelompok anak sekolah pada umumnya mempunyai kondisi gizi yang lebih
baik daripada kelompok balita, karena kelompok umur sekolah sudah mudah
dijangkau oleh berbagai upaya perbaikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah
melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) maupun oleh kelompok swasta berupa
program suplementasi makanan tambahan di sekolah atau program makan siang
sekolah (School Lunch Program). Kelompok anak sekolah merupakan kelompok
yang mudah menerima upaya pendidikan gizi melalui sekolahnya (Sediaoetama
2008).
Gizi yang diperoleh seorang anak melalui konsumsi makanan setiap hari
berperan besar untuk kehidupan anak tersebut. Untuk dapat memenuhi dengan baik
dan cukup, ada beberapa masalah yang berkaitan dengan konsumsi zat gizi untuk
anak. Masalah gizi masyarakat mencakup berbagai defisiensi zat gizi. Seorang anak
juga dapat mengalami defisiensi zat gizi tersebut yang berakibat pada berbagai
aspek fisik maupun mental. Masalah ini dapat ditanggulangi secara cepat, jangka
pendek dan jangka panjang serta dapat dicegah oleh masyarakat sendiri sesuai
dengan klasifikasi dampak defisiensi zat gizi antara lain melalui pengaturan makan
yang benar (Santoso 2004).
Sikap
Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk bertingkah laku dalam
menghadapi suatu rangsangan. Sikap ini bisa terjadi terhadap benda, situasi, orang,

6

kelompok, nilai-nilai dan semua hal yang terdapat disekitar manusia (Muljono 2000
dalam Fitriyanti 2009). Sikap merupakan suatu kuadran jiwa (mental) dan keadaan
pikiran atau daya nalar yang disiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap
sesuatu hal, sehingga secara langsung dapat mempengaruhi perilaku, begitu juga
halnya dengan sikap terhadap makanan (Engel et al. 1994).
Sikap manusia terhadap makanan banyak dipengaruhi oleh pengalamanpengalaman dan respon-respon yang diperlihatkan oleh orang lain terhadap
makanan. Pengalaman yang diperoleh ada yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan, sehingga setiap individu dapat mempunyai sikap suka atau tidak
suka terhadap makanan (Suhardjo 2003).
Kebijakan Keamanan Pangan
Di Indonesia, secara formal nilai strategis dari mutu, gizi, dan keamanan
pangan ini telah menjadi perhatian pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan
diberlakukannya undang-undang tentang pangan yaitu Undang-undang No. 7 Tahun
1996. Kondisi mutu, gizi dan keamanan pangan yang ada masih kurang memadai
bahkan sering membahayakan, hal ini disebabkan 1) Infrastruktur yang belum
mantap, 2) Tingkat pendidikan produsen, 3) Sumber dana yang terbatas, dan 4)
Produksi makanan masih didominasi oleh industri kecil dan menengah. Namun
demikian, harus diakui bahwa akar masalah utamanya adalah arti strategis mutu,
gizi dan keamanan pangan ini belum sepenuhnya disadari oleh pembuat dan
pelaksana kebijakan.
Perlu disadari oleh pembuat kebijakan bahwa isu mutu, gizi dan keamanan
pangan di suatu negara merupakan isu daya saing yang sangat strategis. Secara
mendasar, upaya jaminan mutu, gizi dan kondisi keamanan pangan berarti pula
menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat. Disamping itu, peningkatan status dan
kondisi mutu, gizi dan keamanan pangan suatu negara akan menyebabkan
peningkatan status kesehatan masyarakat, dan pada gilirannya akan meningkatkan
produktivitas individu.
Peraturan makanan jajanan di sekolah pada umumnya diatur dalam
kebijakan yang dibuat oleh pihak sekolah. Kepala sekolah adalah pejabat
berwenang tertinggi dalam penentuan kebijakan di setiap sekolah. Keamanan
pangan di sekolah, termasuk keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS), juga

7

menjadi lingkup yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab pihak sekolah
dengan kepala sekolah sebagai pimpinan pengawasan PJAS di lingkungan sekolah
(Andarwulan et al. 2009).
Selanjutnya, Andarwulan et al (2009) menyatakan bahwa berdasarkan
penelitian BPOM 2009 dalam skala nasional, pada umumnya setiap sekolah
memiliki peraturan tentang PJAS. Sebanyak 55.0 % sekolah yang disurvei telah
memiliki peraturan tentang PJAS. Peraturan tersebut sebagian besar (95.0%)
dikeluarkan oleh pihak sekolah meskipun ada juga yang dikeluarkan oleh Dinas
Kecamatan maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Pusat. Peraturan tersebut
sebagian besar (68.7%) mengatur tentang siswa kemudian mengatur tentang
penjaja PJAS (65.7%) dan mengatur tentang kantin sekolah (57.0%).
Pengawasan pangan merupakan faktor penting untuk meningkatkan
keamanan dan mutu pangan. Program pengawasan pangan di indonesia belum
dapat dilaksanakan secara optimum dengan adanya berbagai hambatan diantaranya
belum mantapnya kelembagaan dan koordinasi pengawasan pangan, peraturan dan
pedoman yang masih belum lengkap, jumlah dan kualitas SDM yang terbatas.
Keterbatasan dalam jumlah tenaga pengawasan pangan dan dana pengawasan
mengakibatkan rendahnya jumlah sarana produksi pangan yang mendapat
pengawasan (Yusuf 2004).
Untuk mengatasi masalah keamanan PJAS, peran pemerintah untuk
mengawasi penjualan makanan jajanan di sekolah sangat diperlukan. Misalnya
dalam memberikan penyuluhan kepada penjual makanan jajanan, melatih penjaja
agar membuat pangan jajanan yang aman, melarang penjualan pangan jajanan
yang mengandung bahan tambahan pangan yang berbahaya dan lain sebagainya.
Peran sekolah, yaitu kepala sekolah dan guru juga dapat membantu mengatasi
masalah ini dengan cara mengatur makanan yang diperbolehkan untuk dijual di
sekitar lingkungan sekolah (Muhilal dan Damayanti 2006).
Kantin dan Penjaja PJAS
Kantin atau warung sekolah merupakan salah satu tempat jajan anak
sekolah selain penjaja makanan jajanan di luar sekolah. Kantin sekolah mempunyai
peranan yang penting dalam mewujudkan pesan-pesan kesehatan dan dapat
menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan jajanan

8

sekolah. Kantin sekolah dapat menyediakan makanan sebagai pengganti makan
pagi dan makan siang di rumah serta camilan dan minuman sehat.
Mengingat pentingnya asupan makanan pada saat jam sekolah, maka anak
perlu mengkonsumsi makanan jajanan. Makanan jajanan ini dapat diperoleh dengan
dibeli di lingkungan sekolah baik pada penjaja di sekitar sekolah maupun di kantin
sekolah. Hasil beberapa studi menujukkan bahwa anak sekolah di perkotaan lebih
sering membeli makanan jajanan di kantin sekolah. Sedangkan di pedesaan, anakanak lebih sering membeli makanan/minuman pada penjaja. Adapun tujuan dari
kantin sekolah adalah untuk memenuhi keperluan murid dengan menyediakan
makanan yang enak, bergizi, terjamin kebersihannya dengan harga yang terjangkau.
Beberapa manfaat yang diperoleh dari adanya kantin sekolah adalah :
a.

meningkatkan kesehatan murid dengan menyediakan makanan yang bernilai
gizi tinggi dan terjamin kebersihannya. Makanan jajanan di sekolah sangat
potensial di dalam memberikan kontribusi gizi. Kantin berada di bawah
pengelolaan guru atau orang tua murid, maka dalam menentukan makanan
yang disajikan dapat lebih leluasa memilih makanan yang berasal dari sumber
bahan makanan yang bernilai gizi tinggi. Selain itu, kebersihan lebih mudah
diawasi baik terhadap peralatan yang dipakai, air yang digunakan dan
makanan yang disajikan.

b.

Dapat digunakan sebagai sarana penyuluhan dan pendidikan gizi. Penyuluhan
dan pendidikan gizi dapat dilakukan berbagai cara seperti lewat penyajian
poster yang ditempel di dinding kantin, dengan gambar-gambar sumber
makanan yang bernilai gizi tinggi, atau kalimat yang berisi pesan-pesan gizi
yang sederhana dan mudah dimengerti oleh murid.
Adapun hal yang perlu diperhatikan di dalam kantin adalah pengelola kantin,

dimana pengelola kantin perlu mempunyai pengetahuan mengenai gizi dan
kesehatan (Nuraida 2008).
Penjaja PJAS mempunyai potensi yang menentukan perilaku makan siswa
sehari-hari melalui penyediaan makanan jajanan di sekolah. Kantin sekolah
mempunyai peranan penting dalam mendorong pesan-pesan kesehatan dari kelas
dan rumah. Ada kantin yang menyediakan makanan yang sehat dan bergizi. Namun
banyak juga kantin yang belum menyediakan makanan yang bergizi. Kepala sekolah
dan guru belum maksimal dalam mengarahkan kantin sekolah yang menyediakan

9

makanan yang sehat, bergizi dan aman bagi kesehatan (Muhilal dan Damayanti
2006).
Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dimana sebagian besar dari
pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui indera mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domein yang sangat penting bagi
terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo 1993).
Pengetahuan merupakan kesan dalam fikiran manusia sebagai hasil panca indera.
Pengetahuan diperoleh oleh seseorang melalui pendidikan formal dan

informal.

Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena
berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan mengenai objek
tertentu.
Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi,
serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi
yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah atau
buruk. Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal.
Selain itu, juga dapat diperoleh dengan melihat, mendengar sendiri atau melalui alatalat komunikasi, selain membaca surat kabar dan majalah, mendengar siaran radio
dan menyaksikan siaran televisi ataupun melalui penyuluhan kesehatan/gizi
(Suhardjo 1996).
Pengetahuan yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi
pangan yang salah. Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pendidikan formal
maupun pendidikan informal. Selain itu, melalui media komunikasi seperti televisi,
majalah, koran, radio atau melalui penyuluhan kesehatan, masyarakat dapat
memperoleh pengetahuan. Keterbatasan informasi dan tingkat pengetahuan gizi
seseorang dapat menyebabkan tujuan akhir dalam membeli dan mengkonsumsi
pangan berubah menjadi asal kenyang (Suharjo 1989)
Hasil penelitian Rika (2009) yang dilakukan di Kota dan Kabupaten Bogor
menunjukkan bahwa secara umum penjaja PJAS memiliki pengetahuan keamanan
pangan

berkategori

sedang

sebesar

40.4%

dan

sebagian

kecil

memiliki

pengetahuan keamanan baik sebesar 27.7%. Selanjutnya pengetahuan keamanan

10

pangan berdasarkan wilayah memiliki perolehan skor rata rata di kota (62.3) lebih
rendah daripada di Kabupaten (78.2), sekitar 50% penjaja PJAS di kota memiliki
pengetahuan dengan kategori kurang dan di kabupaten dengan kategori sedang.
Persepsi
Persepsi dapat dinyatakan sebagai proses menafsirkan sensasi-sensasi dan
memberikan arti kepada stimuli. Persepsi merupakan penafsiran realitas dan
masing-masing orang memiliki persepsi yang berbeda dalam memandang realitas
(Winardi 1991). Persepsi menurut Ely (1972), diacu dalam Pranadji (1988) adalah
proses yang berhubungan dengan penggunaan indera untuk memperoleh petunjuk
yang membimbing kegiatan motorik. Petunjuk ini dimulai dari kesadaran terhadap
adanya stimulus sampai memilih tugas yang relevan untuk menerjemahkan persepsi
tersebut ke dalam kegiatan dalam suatu kegiatan.
Menurut Stanton, diacu dalam Setiadi (2003) persepsi dapat didefinisikan
sebagai makna yang kita pertalikan berdasarkan pengalaman masa lalu dan stimuli
yang kita terima melalui panca indera. Pengenalan terhadap suatu objek, gerakan,
intensitas, dan aroma adalah petunjuk yang mempengaruhi persepsi. Persepsi
merupakan proses yang terjadi karena adanya sensasi. Sensasi merupakan aktivitas
merasakan atau penyebab keadaan yang menggembirakan. Persepsi manusia
dapat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu karakteristik dari stimuli, hubungan stimuli
dengan sekelilingnya dan kondisi-kondisi di dalam diri manusia itu sendiri
Praktek Keamanan Pangan
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang
dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan
yang aman serta bermutu dan bergizi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan,
pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan
masyarakat. Sistem pangan yang ada saat ini meliputi segala sesuatu yang
berhubungan dengan peraturan, pembinaan atau pengawasan terhadap kegiatan
atau proses produksi makanan dan peredarannya sampai siap dikonsumsi manusia.
Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan produksi pangan
wajib

memenuhi

persyaratan

sanitasi

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

11

perundangan-undangan yang berlaku. Keamanan pangan didefinisikan sebagai
kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menggangu, merugikan dan
membahayakan kesehatan manusia (Undang-undang RI no.7 tentang Pangan
Tahun 1996).
Keamanan pangan merupakan suatu faktor yang penting disamping mutu
fisik, gizi dan cita rasa. Menurut Fardiaz (1994), makanan siap santap dianggap
mempunyai mutu yang baik jika dapat memuaskan konsumen dalam hal rasa,
penampakan dan keamanannya. Kandungan dan komposisi gizi seringkali tidak
menjadi faktor penentu pemilihan jenis makanan kecuali bagi konsumen yang
sangat memperhatikan bagi kesehatan dan berat badan.
Food safety (Keamanan pangan) akhir-akhir ini telah menjadi isu nasional
dan internasional. Semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan ekonomi
masyarakat, semakin tinggi pula kecenderungan menuntut pangan yang lebih aman
untuk dikonsumsi. Kemungkinan-kemungkinan bahaya pangan dapat terjadi karena
beberapa sebab, antara lain : 1) Adanya residu bahan kimia yang terbawa pada
bahan pangan akibat teknologi pertanian misalnya insektisida, pestisida, fungisida,
antibiotik dan hormon; 2) Adanya kesalahan dalam penggunaan bahan kimia
tambahan baik jenis maupun dosisnya; 3) Penyerapan logam yang berbahaya oleh
tanaman dan hewan akibat pencemaran lingkungan dan industri; 4) Terjadinya
kontaminasi mikroba dan bahan kimia terhadap bahan pangan dan produk pangan
sejak pertama sampai tingkat pengolahan akibat kurangnya sanitasi; 5) Kurang
cukupnya kondisi proses pengolahan menyebabkan mikroba aktif kembali pada saat
penyimpanan dan pemasaran; dan 6) Ekses dari penggunaan teknologi yang belum
tuntas

penelitiannya, misalnya

senyawa-senyawa

baru,

teknik

radiasi dan

sebagainya (Tjahja 2008).
Pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya
keamanan pangan yang terdiri atas bahaya biologi/mikrobiologis, kimia dan fisik.
Bahaya makanan terdiri dari (Depdiknas 2009) :
1.

Bahaya mikrobiologis, adalah bahaya mikroba yang dapat menyebabkan
penyakit seperti salmonella, E.coli, virus, parasit dan kapang penghasil
mikotoksin.

12

2.

Bahaya kimia, adalah bahan kimia yang tidak diperbolehkan digunakan untuk
pangan, misalnya logam dan polutan lingkungan, bahan tambahan pangan
(BTP) yang tidak digunakan semestinya, peptisida, bahan kimia pembersih,
racun/toksin asal tumbuhan/hewan dan sejenisnya.

3.

Bahaya fisik, adalah bahaya benda-benda yang dapat tertelan dan dapat
menyebabkan luka, misalnya pecahan gelas, kawat steples, potongan tulang,
potongan kayu, kerikil, rambut, kuku, sisik dan sebagainya.
Badan POM RI mengidentifikasikan beberapa faktor yang diduga turut

mempengaruhi rendahnya mutu dan keamanan PJAS, antara lain pada saat ini
program nasional pengawasan jajanan anak sekolah belum optimal, fasilitas yang
tidak memadai, dan sumberdaya manusia (guru tidak melakukan komunikasi risiko,
anak sekolah jajan sembarangan, orangtua tidak menyediakan bekal, pedagang
penjual PJAS tidak aman, IRTP/produsen menghasilkan PJAS yang tidak aman)
(Andarwulan et al 2009).
Berdasarkan hasil monitoring PJAS yang dilakukan oleh POM RI pada tahun
2006 di 26 ibukota provinsi di Indonesia, dari 478 SD dengan jumlah sebanyak 2903
sampel, jumlah PJAS yang memenuhi syarat adalah sebesar 50.6% dan sebanyak
49.3% sampel jajanan anak sekolah tidak memenuhi persyaratan terhadap satu atau
lebih dari beberapa parameter yang diuji. Selain itu, lebih dari 39.0% sampel tidak
memenuhi syarat mikrobiologi (BPOM 2007)
Hasil penelitian Rika (2009) yang dilakukan di Kota dan Kabupaten Bogor
menunjukkan bahwa total praktek keamanan PJAS berkategori kurang sebesar
51.1% dan hanya sebagian kecil (10.6%) berkategori baik. Total praktek keamanan
pangan adalah gabungan dari keselurahan praktek yaitu praktek higiene, praktek
penanganan dan penyimpanan serta praktek sarana dan fasilitas.

13

KERANGKA PEMIKIRAN
Makanan adalah kebutuhan pokok manusia yang diperlukan setiap saat dan
harus ditangani dan dikelola dengan baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh.
Namun, apabila penanganan dan pengelolaannya tidak baik dan benar maka
makanan tersebut tidak terjamin dalam hal aspek gizi dan keamanan pangannya.
Makanan tersebut jika dikonsumsi manusia dapat menyebabkan penyakit akut
maupun kronis yang pada akhirnya dapat mempengaruhi status gizi dan kesehatan
seseorang.
Sebagian besar anak sekolah mengkonsumsi makanan jajanan yang
dijajakan di lingkungan sekolah, yaitu di kantin sekolah atau penjaja pangan jajanan
di sekitar sekolah. Namun, banyak terdapat permasalahan mengenai praktek
keamanan pangan yang meliputi kurangnya higiene dari penjual atau penyaji,
penanganan dan penyimpanan makanan serta pengendalian hama, sanitasi tempat
dan peralatan. Permasalahan keamanan pangan disebabkan kurangnya perhatian
dari pihak sekolah dalam membuat kebijakan mengenai keamanan pangan untuk
pengelola kantin dan penjaja PJAS.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi perilaku keamanan pangan
pengelola kantin dan penjaja PJAS. Faktor pertama merupakan faktor internal, yaitu
karakteristik pengelola kantin dan penjaja PJAS. Yang kedua adalah faktor
eksternal, diantaranya adalah karakteristik sekolah, sikap kepala sekolah dan
penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah. Penerapan kebijakan yang dibuat
oleh pihak sekolah mengenai keamanan pangan yang ditujukan kepada pengelola
keamanan pangan jajanan anak sekolah. Kebijakan sekolah dapat mempengaruhi
perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS.
Dengan demikian, untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut
dapat mempengaruhi perilaku keamanan pangan pengelola kantin dan penjaja
PJAS, perlu diketahui melalui penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat
memberikan saran yang mendukung dalam peningkatan perilaku keamanan pangan
pengelola kantin dan penjaja PJAS.

14

Perilaku
gizi
dan
Perilaku
gizi
dan
keamanan
pangan
keamanan pangan
Karakteristik sekolah
 Status sekolah
 Mutu sekolah
 Sarana dan
prasarana

Penerapan kebijakan
keamanan pangan

Pengetahuan

Karakteristik contoh
 Pendidikan
 Jenis kelamin

Persepsi
Praktek :
 Higiene
 Penanganan dan
penyimpanan makanan
dan minuman
 Sarana dan prasarana
 Pengendalian hama,
sanitasi tempat dan
peralatan

Sikap kepala
sekolah

: Variabel yang diteliti
: Hubungan yang diteliti
: Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1

Kerangka pemikiran penerapan kebijakan keamanan pangan pada
pengelola kantin dan penjaja PJAS di sekolah

15

METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian
Desain penelitian ini adalah cross sectional study yaitu mengumpulkan
informasi dengan satu kali survei. Penelitian ini mengkaji penerapan kebijakan
keamanan pangan dan hubungannya dengan perilaku pengelola kantin dan penjaja
PJAS di Jakarta dan Bogor. Data penelitian ini merupakan sebagian dari data Survei
“Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
Nasional Tahun 2008”, yang dilakukan oleh SEAFAST Center, LPPM IPB. Analisis
data penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2010.
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh
Contoh dalam penelitian ini adalah pengelola kantin dan penjaja PJAS di
wilayah Jakarta dan Bogor yang ditetapkan secara purposive, dengan kriteria
sebagai berikut : 1) Mendapatkan rekomendasi dari Kantor Depdiknas setempat; 2)
Pihak sekolah bersedia untuk dijadikan tempat penelitian. Berdasarkan persyaratan
tersebut diambil 52 SD di wilayah Jakarta dan 30 SD di wilayah Bogor. Dalam
penelitian ini diambil 123 contoh yang terdiri dari 33 pengelola kantin di Jakarta dan
delapan pengelola kantin di Bogor serta 52 penjaja PJAS di Jakarta dan 30 penjaja
PJAS di Bogor.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder. Data sekunder diperoleh
melalui data Survei “Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan
Anak Sekolah (PJAS) Nasional Tahun 2008”. Data tersebut meliputi karakteristik
contoh (jenis kelamin dan pendidikan), karakteristik sekolah (status sekolah, mutu
sekolah serta sarana dan prasarana). Data tentang sikap kepala sekolah berupa
sepuluh pertanyaan tingkat kesetujuan, data tentang penerapan kebijakan
keamanan pangan terdiri dari enam pertanyaan yang terdiri dari peraturan, sanksi,
pengawasan dan pembinaan/penyuluhan. Data tentang pengetahuan gizi dan
keamanan pangan terdiri dari 14 pertanyaan yang dilakukan dengan menggunakan
instrumen berbentuk pertanyaan pilihan berganda (multiple choice test). Data
tentang persepsi contoh terdiri dari tiga pertanyaan meliputi makanan yang dijual

16

bergizi, aman dan tidak menyebabkan sakit, serta menjaga kebersihan di lingkungan
sekitar penjualan. Data tentang praktek contoh dilakukan dengan menggunakan
instrumen berbentuk pertanyaan pilihan berganda (multiple choice test) yang
meliputi higiene penjual/penyaji, penanganan dan penyimpanan makanan dan
minuman, sarana dan prasarana, serta pengendalian hama, sanitasi tempat dan
peralatan.
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dientri dengan menggunakan Microsoft Exel
For Windows. Proses pengolahan data yaitu editing dan analisis data. Data
dianalisis secara deskriptif statistik dan inferensial dengan program SPSS (Statistical
Program for Social Science) versi 16.0 for windows.
Data karakteristik contoh (jenis kelamin dan pendidikan) serta karakteristik
sekolah (status sekolah, mutu sekolah serta sarana dan prasarana) disajikan secara
deskriptif. Data sikap kepala sekolah, penerapan kebijakan keamanan pangan,
pengetahuan serta praktek keamanan pangan dihitung dengan cara menjumlahkan
skor yang dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu baik apabila skor >80%,
sedang apabila skor 60-80% dan kurang apabila 80%)
 Sedang (60-80%)
 Kurang (80%)
 Sedang (60-80%)
 Kurang (80%)
 Sedang (60-80%)
 Kurang (80%)
 Sedang (60-80%)
 Kurang (80%)
 Sedang (60-80%)
 Kurang (