Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Pada Pangan Jajanan Anak Sekolah Yang Dijual Oleh Pedagang Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015

(1)

PONDOK BENDA TAHUN 2015

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Anantika Anissa 1111101000068

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/ 1437 H


(2)

(3)

iii ANANTIKA ANISSA, NIM: 1111101000068

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN ERITROSIN DAN RHODAMIN B PADA PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH YANG DIJUAL OLEH PEDAGANG DI SDN SEKELURAHAN PONDOK BENDA TAHUN 2015

(xvii + 133 halaman, 27 tabel, 3 bagan, 5 lampiran) ABSTRAK

Pangan jajanan dapat menjadi sumber asupan gizi dan energi bagi siswa saat berada di sekolah oleh karena itu keamanan pangan jajanan sangat penting namun masih ditemukan pangan jajanan yang tidak aman karena mengandung bahan berbahaya, dalam hal ini pedagang pangan jajanan memiliki peranan yang penting. Uji pendahuluan di 3 sekolah yaitu SDN Pondok Benda II, SDN Pondok Benda III dan SDN Pondok Benda VI pada 3 pedagang PJAS, terdapat satu pedagang dengan sampel pangan jajanan es merah yang mengandung Rhodamin B. Kemudian pada pedagang lainnya ditemukan Eritrosin pada sampel minuman merah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh pedagang pangan jajanan anak sekolah SDN di Sekelurahan Pondok Benda yang berjumlah 34 orang dan sampel dipilih dengan metode sampel jenuh dengan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu. Analisis data dilakukan dengan dua cara yaitu univariat dan bivariat. Univariat dilakukan dengan menampilkan tabel distribusi dan persentase dari setiap variabel dan bivariat dilakukan dengan penguji Chi Square dengan nilai .

Hasil penelitian menunjukan 13,3% pangan jajanan anak sekolah mengandung Eritrosin dan 13,3% lainya mengandung Rhodamin B serta tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan, sikap, keterampilan, aksesibilitas, peraturan sekolah, pengaruh sesama pedagang, pembinaan pengawasan petugas kesehatan dan sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak sekolah. Disarankan kepada Dinas Kesehatan Tangerang Selatan untuk meningkatkan pengawasan dan pembinaan pada pedagang pangan jajanan anak sekolah dan kepada pihak sekolah untuk menetapkan kebijakan dan peraturan mengenai keamanan pangan jajanan anak sekolah.

Kata Kunci: Eritrosin, Rhodamin B, Pangan Jajanan Anak Sekolah, Perilaku Daftar Bacaan: 92 (1990-2015)


(4)

iv ANANTIKA ANISSA, NIM: 1111101000068

FACTORS ASSOCIATED TO THE USE OF ERYTHROSINE AND RHODAMIN B ON STREET FOOD THAT SOLD BY VENDORS AT ELEMENTARY SCHOOLS IN PONDOK BENDA VILLAGE, 2015

(xvii + 133 pages, 27 tables, 3 charts, 5 attachments) ABSTARCT

Street food can be a source of nutrition and energy for students while undergoing the learning activities in schools therefore street food safety is very important although there are within cases of unsafe street food because of hazardous materials, in this case vendors have an important role. Based on preliminary test results over 3 schools, which are SDN Pondok Benda II, SDN Pondok Benda III and SDN Pondok Benda VI to 3 vendors, there is a vendor with street food samples (red ice syrup) containing Rhodamine B. Later, on other vendor found Erythrosine on red beverage samples. The purpose of this study was to determine the factors that related to the use of Erythrosine and Rhodamine B on street food that sold by vendors at elementary schools in Pondok Benda village, 2015.

This is a quantitative research with cross sectional study design. The population is all the street food vendors in elementary school of Pondok Benda which amounts to 34 people, and samples selected by total sampling method with the specific inclusion and exclusion criteria. Data analysis was done in two ways, univariate and bivariate. Univariate done by displaying the distribution table and the percentage of each variable and bivariate performed with Chi Square test with a value of α = 0.05.

The results showed that 13.3% street food containing Erythrosine and the other 13.3% street food containing Rhodamine B. There are no significant correlation between knowledge of the vendor, attitude of the vendor, skills of the vendor, accessibility in obtaining dyes, school rules, influence of fellow vendor, guidance and supervision of health workers and school to the practice of using Erythrosine and Rhodamine B on street food. Thus it can be recommendation to Health Department of South Tangerang to improve guidance and supervision on street food and to the school principal to establish policies and regulations regarding the safety of street food.

Keywords: Erythrosine, Rhodamine B, Street Food, Behavior References: 92 (1990-2015)


(5)

(6)

(7)

vii

Alamat : Reni Jaya Jl. Maluku VIII Blok Q No.4, Pamulang Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Golongan Darah : O

No. Handphone : 0857 75305303

E-mail : anantika@rocketmail.com RIWAYAT PENDIDIKAN

2011-Sekarang : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2011 : SMAN 3 Kota Tangerang Selatan 2005-2008 : SMPN 4 Kota Tangerang Selatan 1999-2005 : SDN Pondok Benda II

1998 : TK Cahaya Agung

PENGALAMAN KERJA

2014 : Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas Ciputat Timur 2014 : Orientasi Kerja di RS ANTAM


(8)

viii

Penulisan laporan skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Laporan ini ditulis untuk memberikan keterangan terkait seluruh proses pembuatan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Pada Pangan Jajanan Anak Sekolah Yang Dijual Oleh Pedagang Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015”.

Dalam proses penyelesaian laporan ini penulis mendapatkan bantuan serta dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Mamah Vonny, Kak Putra dan Kak Aria yang selalu mendoakan, memberikan dukungan moril maupun materil dan kasih sayang serta Alm. Papah Chandra yang pastinya juga selalu mendoakan;

2. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan;

3. Ibu Fajar Arianti, Ph.D selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat; 4. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku dosen pembimbing skripsi I yang

telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dukungan, kritik dan saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi; 5. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS selaku dosen pembimbing skripsi II yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dukungan, kritik dan saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi;

6. Bapak Dr. M. Farid Hamzens, M.Si selaku dosen penguji skripsi I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, kritik dan saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi;

7. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku dosen penguji skripsi II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, kritik dan saran bagi penulis dalam penyusunan laporan skripsi;


(9)

ix

memantau perkembangan akademik penulis dan memberikan pengarahan selama masa kuliah;

10. Bapak Azib selaku staf program studi kesehatan masyarakat yang membantu persiapan sidang proposal dan sidang skripsi;

11. Teman-teman peminatan kesehatan lingkungan angkatan 2011 (Ila, Cepol, Inu, Rois, Shela, Betti, Niken, Onoy, Pewe, Hari, Chandra, Ayu, Awal, Sarjeng, Lifi, Almen, Eka, Ukhfi, Ika, Ikoh, Mbak Feela, Epri dan Rahmatika) yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan;

12. Adik-adik peminatan kesehatan lingkungan angkatan 2012 dan 2013 yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan;

13. Teman-teman program studi kesehatan masyarakat angkatan 2011 yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan;

14. Kak Anis selaku laboran di laboratorium kesehatan lingkungan yang membantu dalam pengujian penelitian;

15. Ninoy dan Mbak Inten yang selalu mendoakan dan mendukung;

16. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Pada penulisan laporan ini penulis menyadari masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, mengingat keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan demi penyempurnaan pembuatan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat. Aamiin.

Jakarta, Desember 2015


(10)

x

ABSTARCT ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... Error! Bookmark not defined. PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI ... v

RIWAYAT HIDUP ... Error! Bookmark not defined. KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 10

1.4.1 Tujuan Umum ... 10

1.4.2 Tujuan Khusus... 10

1.5 Manfaat Penelitian ... 12

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1 Pewarna Pangan ... 14

2.1.1 Pengertian Pewarna Pangan ... 14

2.1.2 Tujuan Penambahan Pewarna Pangan ... 14

2.1.3 Jenis Pewarna Pangan ... 14

2.1.4 Pewarna Yang Dizinkan Pada Pangan ... 22

2.1.5 Pewarna Yang Tidak Dizinkan Pada Pangan ... 23

2.2 Eritrosin ... 24

2.3 Rhodamin B ... 27


(11)

xi

2.5.2 Jenis Pangan Jajanan Anak Sekolah ... 34

2.6 Keamanan Pangan ... 35

2.7 Kasus-Kasus Penggunaan Pewarna Sintetik... 38

2.8 Perilaku ... 50

2.8.1 Predisposisi (Predisposing) ... 51

2.8.2 Pemungkin (Enabling) ... 56

2.8.3 Penguat (Reinforcing) ... 57

2.9 Kerangka Teori ... 61

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 62

3.1 Kerangka Konsep ... 62

3.2 Definisi Operasional ... 65

3.3 Hipotesis ... 67

BAB IV METODE PENELITIAN ... 68

4.1 Desain Penelitian ... 68

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 68

4.3 Populasi dan Sampel ... 68

4.3.1 Populasi ... 68

4.3.2 Sampel ... 69

4.4 Sumber Data Penelitian ... 71

4.4.1 Data Primer ... 71

4.4.2 Data Sekunder ... 72

4.5 Instrumen Penelitian ... 72

4.6 Cara Pengumpulan Data ... 74

4.6.1 Wawancara ... 74

4.6.2 Uji Laboratorium ... 75

4.7 Pengolahan Data ... 78


(12)

xii

5.2.1 Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ... 83

5.2.2 Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan Tentang Pewarna ... 84

5.2.3 Sikap Pedagang Pangan Jajanan Terhadap Penggunaan Pewarna .. 84

5.2.4 Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan ... 85

5.2.5 Aksesibilitas Pedagang Pangan Jajanan ... 85

5.2.6 Peraturan Sekolah Tentang Keamanan Pangan ... 86

5.2.7 Pengaruh Sesama Pedagang Pangan Jajanan ... 86

5.2.8 Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan ... 87

5.2.9 Pembinaan dan Pengawasan Sekolah ... 88

5.2 Analisis Bivariat ... 88

5.2.1 Hubungan Pengetahuan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ... 88

5.2.2 Hubungan Sikap Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B . 89 5.2.3 Hubungan Keterampilan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ... 90

5.2.4 Hubungan Aksesibilitas Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ... 91

5.2.5 Hubungan Peraturan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ... 91

5.2.6 Hubungan Pengaruh Sesama Pedagang Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ... 92

5.2.7 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ... 93

5.2.8 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B ... 94

BAB VI PEMBAHASAN ... 96

6.1 Keterbatasan Penelitian ... 96


(13)

xiii

6.3.2 Sikap Pedagang Pangan Jajanan ... 105

6.3.3 Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan ... 108

6.3.4 Aksesibilitas Memperoleh Pewarna Pangan ... 110

6.3.5 Peraturan Sekolah ... 113

6.3.6 Pengaruh Sesama Pedagang ... 115

6.3.7 Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan ... 117

6.3.8 Pembinaan dan Pengawasan Sekolah ... 120

BAB VII SIMPULAN dan SARAN ... 122

7.1 Simpulan ... 122

7.2 Saran ... 125

7.2.1 Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan ... 125

7.2.2 Sekolah ... 126

7.2.3 Pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ... 126


(14)

xiv

Tabel 2.3 Batas Maksimum Penggunaan Eritrosin ... 25

Tabel 3.1 Definisi Operasional... 65

Tabel 4.1 Sampel Pengan Jajanan Anak sekolah ... 70

Tabel 4.2 Variabel Pertanyaan ... 72

Tabel 4.3 Hasil Uji Validitas Kuesioner ... 73

Tabel 4.4 Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner... 74

Tabel 4.5 Indikator Perubahan Warna Serat Wol ... 78

Tabel 5.1a Distribusi Frekuensi Penggunaan Eritrosin Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 83

Tabel 5.1b Distribusi Frekuensi Penggunaan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 83

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Pedagang Pangan Jajanan Tentang Pewarna Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 84

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Sikap Pedagang Pangan Jajanan Terhadap Penggunaan Pewarna Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 84

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 85

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Aksesibilitas Pedagang Pangan Jajanan Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 86


(15)

xv

SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 87 Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 87 Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 88 Tabel 5.10 Hubungan Pengetahuan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 88 Tabel 5.11 Hubungan Sikap Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 89 Tabel 5.12 Hubungan Keterampilan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 90 Tabel 5.13 Hubungan Aksesibilitas Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 91 Tabel 5.14 Hubungan Peraturan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 92 Tabel 5.15 Hubungan Pengaruh Sesama Pedagang Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 93 Tabel 5.16 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Petugas Kesehatan Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 94 Tabel 5.17 Hubungan Pembinaan dan Pengawasan Sekolah Dengan Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015 ... 95


(16)

xvi


(17)

xvii Lampiran 3 Foto-Foto Kegiatan

Lampiran 4 Output SPSS Validitas dan Reliabilitas Kuesioner


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia untuk dapat bertahan hidup. Pada pangan dapat terkandung berbagai jenis zat gizi yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia. Zat-zat gizi tersebut antara lain karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Meskipun begitu, pangan tidak hanya bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia saja namun pangan juga dapat menjadi media transmisi penyakit apabila pangan tersebut tercemar akibat faktor lingkungan maka mutu dan keamanan pangan perlu dijaga agar masyarakat dapat terlindungi dari hal merugikan dan membahayakan kesehatan tubuh oleh karena itu dibuatlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan (Kementerian Kesehatan, 2010).

Menurut Pasal 1 ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, benda-benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Namun sampai saat ini masih ditemukan pangan yang tidak memenuhi persyaratan (TMS) secara mutu, kebersihan maupun keamanan sehingga dapat menimbulkan dampak tidak baik bagi


(19)

kesehatan. Salah satu contoh pangan yang sering tidak memenuhi syarat adalah pangan jajanan anak sekolah (PJAS).

Badan Pengawasan Obat dan Makanan pada tahun 2011 menemukan sebesar 35,46% sampel pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, pada tahun 2012 sebesar 23,89% dan pada tahun 2013 sebesar 19,21%. Penyebab pangan jajanan anak sekolah tersebut tidak memenuhi persyaratan adalah penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang melebihi batas, mengandung cemaran logam berat yang melebihi batas, kualitas mikrobiologis yang tidak memenuhi syarat dan menggunakan bahan kimia berbahaya (BPOM, 2011; 2012; 2013).

Balai POM Serang yang memiliki cakupan kerja seluruh wilayah administrasi Provinsi Banten dari tahun 2011-2013 termasuk dalam kelompok Balai Besar/Balai POM yang sering mengalami kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan. Salah satu asal penyebab kejadian luar biasa keracunan pangan tersebut adalah pangan jajanan (BPOM, 2011; 2012; 2013).

Salah satu penyebab utama pangan jajanan anak sekolah tidak memenuhi persyaratan yang paling umum yaitu penggunaan bahan kimia berbahaya. Jenis pangan jajanan anak sekolah yang paling sering masuk dalam kategori tidak memenuhi persyaratan yaitu minuman es, minuman berwarna/sirup, bakso dan jelly/agar-agar. Agen yang paling sering menyebabkan tidak memenuhi persyaratan salah satunya yaitu AKK (angka kapang khamir: pewarna tekstil) (Info DATIN, 2015).


(20)

Di Indonesia ketentuan pewarna diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 37 Tahun 2013 tentang batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna serta Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 386 Tahun 1990 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan dan kosmetika.

Pada tahun 2011-2013, BPOM masih menemukan sampel pangan jajanan anak sekolah yang mengandung pewarna bukan untuk pangan seperti Rhodamin B, Methanil Yellow serta Auramin. Hasil tersebut menunjukan bahwa penggunaan pewarna sintetik berbahaya pada pangan jajanan anak sekolah masih kerap dilakukan oleh pedagang dimungkinkan karena anak sekolah dasar dalam memilih pangan jajanan mempertimbangkan daya tarik warna (Kristianto dkk, 2009). Begitu pula dengan Pujiasuti (2002) yang menyatakan alasan pemilihan produk berwarna antara lain lebih menarik dan lebih murah. Menurut Nuraini (2007), warna mempunyai peran psikologis yang sangat kuat ketika anak-anak akan memilih produk pangan.

Selain BPOM, Ardiarini dan Gunanti (2004) menemukan sampel minuman jajanan SDN Dukuh Mananggal yang mengandung Tartrazin, Rhodamin B dan Sunset Yellow. Nisma dan Setyawati (2014) menemukan sampel pangan jajanan SD di wilayah Kotamadya Jakarta Timur mengandung Rhodamin B, Karmoisin, Eritrosin dan Ponceau 4R.


(21)

Survei Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan menyatakan bahwa sampai dengan tahun 2012 sebesar 32% PJAS positif menggunakan bahan kimia bukan untuk pangan terdiri dari 29% mengandung boraks, 16% mengandung formalin dan 38% mengandung Metanil Yellow dan Rhodamin B. Tahun 2013 sebesar 16% terdiri dari 3% mengandung boraks, 7% mengandung formalin dan 14% Metanil Yellow dan Rhodamin B serta tahun 2014 sebesar 13% terdiri dari 7% mengandung boraks, 11% mengandung formalin dan 2% Metanil Yellow dan Rhodamin B (Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2012; 2015). Data tersebut menunjukan bahwa penggunaan pewarna bukan untuk pangan memiliki persentase yang paling besar dalam pencemaran bahan kimia pada pangan jajanan dibandingkan dengan boraks dan formalin.

Pasal 3 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 37 Tahun 2013 menyatakan bahwa Eritrosin dapat digunakan pada pangan dengan batas maksimum 20-300mg/kg. Karunia (2013) menyatakan Eritrosin tidak dapat dipakai dalam produk minuman karena mudah diendapkan oleh asam dan hal tersebut sejalan dengan peraturan BPOM yang tidak mencantumkan kategori minuman dalam penggunaan Eritrosin. Arisman (2008) berpendapat Eritrosin tidak dianjurkan untuk pangan. Meskipun diperbolehkan untuk digunakan pada pangan sebaiknya kita menghindari penggunaannya sebab pewarna sintetik tidak baik untuk kesehatan jika terus dikonsumsi, apalagi oleh anak-anak yang sedang


(22)

dalam masa pertumbuhan. Sedangkan Rhodamin B merupakan pewarna yang dilarang penggunaannya pada pangan (PP No. 28 Tahun 2004).

Eritrosin dapat mengakibatkan reaksi alergi seperti nafas pendek, dada sesak, sakit kepala, dan iritasi kulit (Karunia, 2013). Kemudian pewarna sintetik juga dapat mengakibatkan hiperaktif pada anak (FDA, 2011). Sedangkan Rhodamin B dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan, iritasi kulit dan iritasi mata serta kanker jika penggunaan jangka panjang (Praja, 2015). Oleh karena efek yang dapat ditimbulkan maka masyarakat perlu dilindungi dari pangan yang menggunakan bahan tambahan pangan yang belebihan dan bahan tambahan bukan untuk pangan.

Pangan jajanan anak sekolah yang mengandung bahan tambahan berbahaya tidak lepas dari perilaku pedagang dalam mengolah atau menjual pangan jajanan. Pedagang pangan jajanan berperan penting dalam penyediaan pangan jajanan yang sehat dan bergizi serta terjamin keamanannya (Yasmin dkk, 2010). Menurut Green dkk (1991), terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat. Faktor predisposisi termasuk diantaranya pengetahuan, sikap, keyakinan dan nilai. Faktor pemungkin termasuk diantaranya keterampilan, sumber daya. Faktor penguat termasuk diantaranya dukungan sosial dan pengaruh teman.

Sugiyatmi (2006) menyatakan pedagang yang memiliki pengetahuan dan sikap dengan kategori kurang kebanyakan melakukan praktek pembuatan pangan jajanan dengan kategori kurang baik. Selain itu sulitnya akses bahan


(23)

tambahan pangan dengan harga terjangkau juga berkontribusi dalam penyalahgunaan bahan kimia berbahaya (Rahayu dkk, 2012). Hal lain yang juga dapat mempengaruhi perilaku pedagang pangan jajanan adalah peraturan keamanan pangan jajanan (Wijaya, 2009) serta pembinaan dan pengawasan petugas kesehatan dalam penjualan pangan jajanan (Sugiyatmin, 2006; Mujianto, 2005).

Kota Tangerang Selatan meskipun tergolong daerah otonom baru namun memiliki kondisi pendidikan yang relatif maju karena di Kecamatan Pondok Aren, Ciputat dan Pamulang banyak tersebar sekolah dan perguruan tinggi. Kecamatan Pamulang merupakan kecamatan dengan jumlah SDN terbanyak kedua di Tangerang Selatan direncanakan menjadi pusat kegiatan pendidikan, salah satunya di Kelurahan Pondok Benda (Bappeda Tangerang Selatan, 2012; 2011). Sebagai kelurahan yang direncanakan menjadi pusat kegiatan pendidikan, Kelurahan Pondok Benda harus menyediakan fasilitas yang memadai agar siswa dapat belajar dengan baik. Salah satu fasilitas tersebut adalah kantin sekolah namun umumnya sekolah dasar negeri tidak memiliki kantin sehingga siswa jajanan pada pedagang PJAS di sekitar lingkungan sekolah. Pangan yang berasal dari pedagang di sekitar sekolah apabila tidak ditangani secara benar berpotensi menyebabkan penyakit (BPOM, 2012b). Oleh karena itu peneliti ingin meneliti perilaku pedagang pangan jajanan dengan keamanan pangan jajanan di SDN sekelurahan Pondok Benda terkait dengan penggunaan pewarna sintetik.


(24)

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Januari tahun 2015 di delapan SDN di Kelurahan Pondok Benda Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan, pangan jajanan yang dijajakan di sekitar sekolah antara lain sosis, saos, kue, jelly serta minuman berwarna maunpun es dimana beberapa pangan jajanan tersebut mungkin menggunakan pewarna sintetik berbahaya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil uji pendahuluan yang dilakukan di 3 sekolah yaitu SDN Pondok Benda II, SDN Pondok Benda III dan SDN Pondok Benda VI pada 3 pedagang pangan jajanan anak sekolah ditemukan pedagang dengan sampel pangan jajanan es merah yang positif mengandung Rhodamin B kemudian pada pedagang lainnya ditemukan sampel minuman merah yang positif mengandung Eritrosin namun Eritrosin tidak dapat digunakan pada minuman, selain itu masih pada pedagang yang sama ditemukan sampel minuman yang mengandung Orange SS oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor perilaku yang mempengaruhi pedagang menggunakan pewarna sintetik seperti pengetahuan, sikap, keterampilan, aksesibilitas, peraturan, pengaruh sesama pedagang, pembinaan dan pengawasan serta hubungannya dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015.


(25)

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana praktek pedagang pangan jajanan anak sekolah dalam penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan yang dijajakan di SDN Sekelurahan Pondok Benda?

2. Bagaimana pengetahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna?

3. Bagaimana sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda terhadap penggunaan pewarna?

4. Bagaimana keterampilan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dalam mengolah pangan jajanan yang dijajakan?

5. Bagaimana aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dalam memperoleh pewarna?

6. Bagaimana peraturan yang diterapkan oleh sekolah terkait kebijakan berjualan pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda?

7. Bagaimana pengaruh sesama pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda terkait penggunaan bahan pangan jajanan anak sekolah?

8. Bagaimana pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan mengenai pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda?

9. Bagaimana pembinaan dan pengawasan oleh sekolah mengenai pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda?


(26)

10. Bagaimana hubungan antara pengetahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B?

11. Bagaimana hubungan antara sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B?

12. Bagaimana hubungan antara keterampilan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B?

13. Bagaimana hubungan antara aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B?

14. Bagaimana hubungan antara peraturan sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B?

15. Bagaimana hubungan antara pengaruh sesama pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B?

16. Bagaimana hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan jajanan anak sekolah?

17. Bagaimana hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan jajanan anak sekolah?


(27)

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok Benda Tahun 2015.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui praktek pedagang pangan jajanan anak sekolah dalam penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan yang dijajakan di SDN Sekelurahan Pondok Benda.

2. Mengetahui pengetahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna.

3. Mengetahui sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda terhadap penggunaan pewarna.

4. Mengetahui keterampilan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dalam mengolah pangan jajanan yang dijajakan.

5. Mengetahui aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dalam memperoleh pewarna. 6. Mengetahui peraturan yang diterapkan oleh sekolah terkait

kebijakan berjualan pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda.


(28)

7. Mengetahui pengaruh sesama pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda terkait penggunaan bahan pangan jajanan anak sekolah.

8. Mengetahui pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan mengenai pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda.

9. Mengetahui pembinaan dan pengawasan oleh sekolah mengenai pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda. 10. Mengetahui hubungan antara pengetahuan pedagang pangan

jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

11. Mengetahui hubungan antara sikap pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda mengenai pewarna dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

12. Mengetahui hubungan antara keterampilan pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

13. Mengetahui hubungan antara aksesibilitas pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

14. Mengetahui hubungan antara peraturan sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.


(29)

15. Mengetahui hubungan antara pengaruh sesama pedagang pangan jajanan anak sekolah di SDN Sekelurahan Pondok Benda dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B.

16. Mengetahui hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh petugas kesehatan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan jajanan anak sekolah.

17. Mengetahui hubungan antara pembinaan dan pengawasan oleh sekolah dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B oleh pedagang pangan jajanan anak sekolah.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perkembangan usaha pangan jajanan di lingkungan sekolah. Informasi ini penting dalam rangka penentuan sikap dan kebijakan dalam pembinaan dan pengawasan keamanan pangan jajanan.

2. Sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk meningkatkan kewaspadaan dan pengawasan terhadap pangan jajanan yang dijual di lingkungan sekolah.

3. Pedagang pangan jajanan anak sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk mempraktekkan pengolahan pangan yang baik dengan hanya menggunakan BTP yang diijinkan.


(30)

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Pangan jajanan dapat menjadi salah satu sumber asupan gizi dan energi bagi siswa saat menjalani kegiatan pembelajaran di sekolah oleh karena itu keamanan pangan jajanan sangat penting. Penelitian ini mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada pangan jajanan anak sekolah yang dijual oleh pedagang di SDN Sekelurahan Pondok Benda. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Agustus-September Tahun 2015. Faktor independen adalah pengetahuan, sikap, keterampilan, aksessibilitas, peraturan, pengaruh sesama pedagang serta pembinaan dan pengawasan. Faktor dependen adalah penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh pedagang pangan jajanan anak sekolah SDN di Sekelurahan Pondok Benda yang berjumlah 34 orang. Sampel responden dipilih melalui metode sampel jenuh dengan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu sedangkan sampel pangan jajanan anak sekolah dipilih melalui metode sampel aksidental. Analisis data dilakukan cara univariat dan bivariat. Univariat dilakukan dengan distribusi dan persentase serta bivariat dilakukan dengan penguji Chi Square dan nilai .


(31)

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pewarna Pangan

2.1.1 Pengertian Pewarna Pangan

Menurut Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, pewarna (colour) adalah bahan tambahan pangan berupa pewarna alami dan pewarna sintetik, yang ketika ditambahkan atau diaplikasikan pada pangan mampu memberi atau memperbaiki warna.

2.1.2 Tujuan Penambahan Pewarna Pangan

Penambahan bahan pewarna pangan mempunyai beberapa tujuan, diantaranya (Cahanar dan Suhanda, 2006):

1. Memberi kesan menarik bagi konsumen; 2. Menyeragamkan dan menstabilkan warna;

3. Menutupi perubahan warna akibat proses pengolahan dan penyimpanan.

2.1.3 Jenis Pewarna Pangan

Terdapat banyak jenis bahan pewarna, tetapi tidak semua pewarna itu dapat digunakan pada pangan. Ada dua jenis pewarna pangan, yaitu pewarna alami dan pewarna buatan atau sintetik (Suryatin, 2008).


(32)

2.1.3.1 Pewarna Alami

Pewarna alami adalah pewarna yang dibuat melalui proses ekstraksi, isolasi atau derivatisasi (sintesis parsial) dari tumbuhan, hewan, mineral atau sumber alami lain, termasuk pewarna identik alami (Pasal 4 Permenkes RI Nomor 33 Tahun 2012). Pewarna alam juga dapat disebut dengan pigmen alami yaitu segolongan senyawa yang terdapat dalam produk yang berasal dari hewan atau tumbuhan (deMan, 1997). Food and Drug Administration (FDA) menggolongkan pewarna alami ke dalam golongan zat warna yang tidak perlu mendapat sertifikat atau uncertified color (Winarno, 1992).

Pigmen alam mencakup pigmen yang sudah terdapat dalam pangan dan pigmen yang terbentuk pada pemanasan, penyimpanan atau pemrosesan. Dengan beberapa kekecualian, pigmen alam dapat dipilah ke dalam empat golongan yaitu senyawa tetrapirol (klrofil, hem dan bilin), turunan isoprenoid (karetenoid), turunan benzopiran (antosianin dan flavonoid) dan senyawa jadian (melanoidin dan karamel) (deMan, 1997).

Penelitian toksikologi pewarna alami masih agak sulit karena zat warna ini umumnya terdiri dari campuran dengan senyawa-senyawa alami lainnya. Misalnya, untuk zat warna alami asal tumbuhan, bentuk dan kadarnya berbeda-beda,


(33)

dipengaruhi faktor jenis tumbuhan, iklim, tanah, umur dan faktor-faktor lainnya (Sutrisno, 2006).

Kemudian terdapat pula zat warna yang identik dengan zat warna alami. Zat warna ini masih satu golongan dengan kelompok zat warna alami, hanya zat warna ini dihasilkan dengan cara sintesis kimia, bukan dengan cara ekstraksi atau isolasi. Jadi pewarna identik alami adalah pigmen-pigmen yang dibuat secara sintetik yang struktur kimianya identik dengan pewarna-pewarna alami. Yang termasuk golongan ini adalah karotenoid murni antara lain canthaxanthin (merah), apo-karoten (merah-oranye), beta-karoten (oranye-kuning). Semua pewarna-pewarna ini memiliki batas-batas konsentrasi maksimum penggunaan, terkecuali beta-karoten yang boleh digunakan dalam jumlah tidak terbatas (Sutrisno, 2006).

2.1.3.2 Pewarna Sintetik

Menurut Suryatin (2008), pewarna buatan atau sintetik adalah bahan yang dibuat secara kimia oleh pabrik industri kimia. Pewarna ini biasanya dijual di pasaran dengan tanda khusus pada label atau kemasannya. Food and Drug Administration menggolongkan pewarna sintetik ke dalam golongan zat warna yang perlu mendapat sertifikat atau certified color (Winarno, 1992).


(34)

Food and Drug Administration dalam Nuraini (2007), kemudian mengelompokkan bahan pewarna sintetik menjadi 3 kategori, yaitu FD&C color atau bahan pewarna untuk pangan, obat-obatan dan kosmetika; D&C color atau bahan pewarna untuk obat-obatan dan kosmetika dan Ext D&C color atau bahan pewarna untuk obat-obatan dan kosmetika dalam jumlah yang dibatasi.

Berdasarkan rumus kimianya zat warna sintetik dalam pangan dapat digolongkan dalam beberapa kelas yaitu azo, triarilmetana, quinolin, xanten dan indigoid (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives dalam Sutrisno, 2006).

Tabel 2.1 Kelas-kelas zat warna sintesis

No. Nama Warna

Azo

1. Tartrazin Kuning 2. Sunset Yellow FCF Oranye

3. Allura Red AC Merah (Kekuningan) 4. Ponceau 4R Merah

5. Red 2G Merah 6. Azorubine Merah 7. Fast Red E Merah

8. Amaranth Merah (Kebiruan) 9. Brilliant Black BN Ungu

10. Brown FK Kuning coklat 11. Brown HT Coklat Triarylmethane

1. Brilliant Blue FCF Biru 2. Patent Blue V Biru

3. Green S Biru kehijauan 4. Fast Green FCF Hijau

Quinoline

1. Quinoline Yellow Kuning kehijauan Xantene


(35)

No. Nama Warna Indigotine

1. Indigotine Biru kemerahan

Sumber: Sutrisno (2006)

Berdasarkan sifat kelarutannya, pewarna pangan dapat dikelompokkan menjadi dyes dan lakes (Sartono, 2014). 1. Dyes

Dyes adalah zat warna yang umumnya larut air dan larutannya dapat mewarnai. Dyes dapat diperjual belikan dalam bentuk serbuk, granula, cairan, campuran warna, pasta dan dispersi. Dyes tidak dapat larut hampir dalam semua jenis pelarut-pelarut organik. Jika akan dipakai dalam pangan yang tidak mengandung air atau dalam bentuk kering, zat warna ini dapat dilarutkan dulu dalam air, propilenglikol, gliserin atau alkohol (Sutrisno, 2006).

Terdapat empat kelompok dalam dyes yaitu Azo dyes (yaitu Amaranth, Tartrazine, Sunset Yellow dan Panceau SX), Triphenylmethane dyes (yaitu Fast Green, Benzylviolet 4B dan Briliant Blue), Fluorescein (yaitu Erythrosine), dan Sulfonated Indigo (yaitu Indigotin atau Indigo Carmine) (Sutrisno, 2006).

Zat warna ini stabil untuk berbagai macam penggunaan dalam pangan bahkan dalam bentuk kering tidak terlihat adanya kerusakan akan tetapi ketidakstabilan zat warna ini terjadi jika dalam pangan tersebut terkandung


(36)

bahan-bahan pereduksi atau pangan tersebut berprotein dan diproses dalam retort pada suhu tinggi serta jika zat warna tersebut kontak dengan metal (seng, timah, alumunium, tembaga). Zat warna azo dan triarilmetana akan berubah warnanya menjadi pucat. Dalam minuman yang mengandung asam askorbat (bahan pereduksi) dalam batas tertentu dapat dicegah perubahan warnanya dengan menambahkan EDTA (Sutrisno, 2006).

Dyes pada umumnya dapat digunakan untuk mewarnai minuman berkarbonat, minuman ringan, roti dan kue-kue, dry mixes, confectionery, produk-produk susu, kulit sosis, dan lain-lain. Tiap jenis penggunaan memerlukan dyes dalam bentuk tertentu, misalnya bentuk serbuk atau granula untuk mewarnai minuman ringan, pasta atau dispersi untuk roti, kue dan confectionery dan cairan untuk dairy products (Sutrisno, 2006).

2. Lakes

Lakes adalah pewarna yang dibuat dari gabungan dyes dengan radikal basa (Al atau Ca) yang dilapisi dengan hidrat alumina. Lapisan alumina atau Al(OH)3 tidak larut dalam air sehingga lakes tidak larut dalam air, alkohol dan minyak. Kandungan dyes pada lakes disebut Pure Dyes Content (PDC). Untuk dyes pewarna primer, kandungan


(37)

dyes tidak boleh kurang dari 85%, umumnya 90-93% dyes murni. Tidak ditentukan kandungan dyes minimum tetapi umumnya sekitar 10-40% dyes murni, semakin tinggi kadar dyes maka akan dihasilkan warna yang lebih tua. (Sutrisno, 2006).

Lakes mempunyai stabilitas yang lebih baik daripada dyes. Lakes stabil terhadap pengaruh cahaya, kimia, panas serta pH 3,5-9,5 dan diluar pH tersebut maka lapisan alumina pecah dan dyes yang dikandungnya lepas. Akan tetapi harga lakes lebih mahal daripada dyes (Sutrisno, 2006).

Umumnya lakes digunakan dalam produk-produk pangan yang mengandung minyak dan dalam produk yang kadar airnya rendah sehingga tidak cukup untuk melarutkan dyes misalnya tablet, tablet yang diberi pelapisan, icing, pelapis fondant, pelapis-pelapis berminyak, campuran adonan kue dan donut, permen, permen karet. Dyes mewarnai lakes adalah dengan membentuk dispersi yang menyebar pada bahan yang diwarnai (Sutrisno, 2006).

Tabel 2.2 Perbedaan antara lakes dan dyes

Sifat-Sifat Lakes Dyes

Kelarutan Tidak larut dalam kebanyakan pelarut

Larut dalam air, propyleneglycol, gliserin


(38)

Sifat-Sifat Lakes Dyes

Metoda pewarnaan

Dengan disperse Dengan pelarutan Kandungan dyes 10 – 40% Warna primer

(90 – 93%) Pemakaian 0.1 – 0.3% 0.01 – 0.03% Ukuran partikel Rata-rata 5

mikron

12 – 200 mesh Stabilitas: Cahaya Panas Lebih baik Baik Lebih baik Baik Kekuatan pewarnaan Tidak proporsional dengan kadar dyes Proporsional dengan kadar dyes

Warna Bervariasi

dengan kadar dyes

Konstan

Sumber: Sutrisno (2006)

Pewarna sintetik mempunyai berbagai kelebihan antara lain harga jauh lebih murah dibandingkan pewarna alami, stabilitas dari pewarna sintetik lebih baik sehingga warnanya tetap cerah walaupun telah melalui proses pengolahan dan pemanasan dan kekuatan warna lebih tinggi serta memberikan efek warna lebih seragam sehingga penggunaannya lebih luas (Nuraini, 2007).

Pewarna sintetik lebih beragam dan banyak jumlahnya bila dibandingkan dengan pewarna alami namun sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh bahkan bisa menjadi pemicu tumbuhnya sel kanker atau karsinogenik. Pewarna sintetik tidak memiliki nilai gizi sehingga pengunaanya dapat menimbulkan gangguan kesehatan (Fibrianto, 2008). Selain


(39)

itu, pewarna sintetik dapat menimbulkan alergi (Khoiri, 2007). Oleh karena itu penggunaan pewarna sintetik untuk pangan harus dibatasi jumlahnya karena pada saat proses pembuatannya menggunakan bahan kimia asam sulfat atau asam nitrat yang sering terkontaminasi arsen atau logam berat lainnya (Nuraini, 2007).

Selain itu, pewarna sintetik juga telah menjadi kontroversi di Amerika Serikat sejak 1970-an ketika dr. Benjamin Feingold menyatakan hubungan antara perilaku dan konsumsi pewarna sintetik pada anak-anak. Untuk anak-anak yang rentan dengan Attention Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) atau masalah perilaku lainnya menunjukkan bahwa kondisi mereka mungkin diperburuk oleh paparan sejumlah zat dalam pangan namun tidak terbatas pada pewarna sintetik saja. Temuan dari uji klinis yang terkait menunjukkan bahwa efek dari perilaku mereka muncul karena intoleransi pewarna sintetik dan tidak untuk setiap sifat neurotoksik yang melekat (Food and Drug Administration, 2011).

2.1.4 Pewarna Yang Dizinkan Pada Pangan

Menurut Pasal 3 ayat (2 dan 3) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2013 tentang batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna, pewarna yang dizinkan di Indonesia adalah sebagai berikut:


(40)

1. Pewarna Alami

Kurkumin, Riboflavin, Karmin dan ekstrak cochineal, Klorofil, Klorofil dan klorofilin tembaga kompleks, Karamel I, Karamel III amonia proses, Karamel IV amonia sulfit proses, Karbon tanaman, Beta-karoten (sayuran), Ekstrak anato (berbasis biksin), Karotenoid, Merah bit, Antosianin dan Titanium dioksida.

2. Pewarna Sintetik

Tartrazin, Kuning Kuinolin, Kuning FCF, Karmoisin, Ponceau 4R, Eritrosin, Merah Allura, Indigotin, Biru Berlian FCF, Hijau FCF dan Coklat HT.

2.1.5 Pewarna Yang Tidak Dizinkan Pada Pangan

Berdasarkan Lampiran I dan II Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan Nomor 386 Tahun 1990 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan dan kosmetika, pewarna yang dilarang adalah Auramine, Alkanet, Butter Yellow, Black 7984, Burn Unber, Chrysoidine, Chrysoine S, Citrus Red No.2, Chocolate Brown FB, Fast Red E, Fast Yellow, Guinea Green, Indanthrene Blue RS, Magenta, Methanil Yellow, Oil Orange SS, Oil Orange XO, Oil Orange AB, Oil Yellow AB, Orange G, Orange GGN, Orange RN, Orchid and Orcein, Ponceau 3R, Ponceau SX, Ponceau 6R, Rhodamine B, Sudan I, Scarlet GN dan Violet 6 B, Jingga K1 (C.I. Pigment Orange 5, D&C Orange No. 17), Merah K3 (C. I Pigment Red 53, D&C Red No. 8), Merah K4


(41)

(C. I. Pigment Red 53:1, D&C Red No. 9), Merah K10 (D&C Red No. 9, C.I. Food Red 15) dan Merah K11.

2.2 Eritrosin

Eritrosin pada dasarnya terdiri dari garam disodium dari 9-(o-carboxyphenyl)-6-hidroksi-2,4,5,7-tetraiodo-3-isoxanthone monohydrate dan digabung bersama dengan air, natrium klorida dan/atau natrium sulfat sebagai pokok komponen tidak berwarna. Nama lain Eritrosin adalah CI Food Red 14, FD&C Red No. 3, CI (1975) No. 45430 INS No. 127 (FAO, 1993). Sebagai tambahan pangan, Eritrosin memiliki nomor E E127 (Praja, 2015). Eritrosin merupakan pewarna sintetik yang termasuk dalam golongan xanten (Sutomo, 2008). Serapan maksimum Eritrosin adalah pada 530nm dalam larutan air dan tunduk pada fotodegredasi (Praja, 2015).

Menurut Pasal 3 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2013 tentang batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna, Eritrosin memiliki Acceptable Daily Intake (ADI) sebesar 0-0,1mg/kg berat badan sedangkan batas penggunaan pada pangan adalah 20-300mg/kg namun Arisman (2008) berpendapat bahwa Eritrosin sebaiknya tidak digunakan untuk pangan. Berikut adalah batas maksimum penggunaan Eritrosin berdasarkan kategori pangan tertetntu:


(42)

Tabel 2.3 Batas Maksimum Penggunaan Eritrosin

Kategori Pangan Batas

Maksimum (mg/kg)

Buah bergula 100

Produk buah untuk isi pastri 100

Kembang gula keras / permen keras 25

Kembang gula / permen lunak 25

Kembang gula karet / permen karet 25 Dekorasi (bakery), topping (non-buah) dan saus manis 100 Premiks untuk roti tawar dan produk bakeri tawar 20 Keik, kukis dan pai (isi buah atau custard,vla) 300 Premiks untuk produk bakeri istimewa (keik, panekuk) 20 Produk olahan daging (ungags dan hewan buruan) yang utuh /

potongan

30 Produk olahan daging (unggas dan hewan buruan) yang

dihaluskan

30

Sumber: Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2013

Eritrosin merupakan pewarna sintetik berupa tepung coklat, larutannya dalam alkohol 95% menghasilkan warna merah sedangkan larutannya dalam air berwarna cherry-pink jika ditambahkan pada pangan namun Eritrosin tidak dapat dipakai dalam produk minuman karena Eritrosin mudah diendapkan oleh asam (Karunia, 2013).

Eritrosin umumnya digunakan dalam pengolahan beberapa permen, es loli dan bahkan lebih banyak digunakan dalam menghias kue gel. Pewarna ini juga digunakan untuk mewarnai kacang pistachio (Praja, 2015).

Eritrosin yang digunakan sebagai pewarna permen anak-anak berpengaruh kuat sebagai neurocompetitive dopamine inhibitor ketika dipajakan pada otak tikus percobaan, pengurangan laju dopamine turnover inilah yang menyebabkan utama hipersensitivitas anak. Peneliti lain menemukan keterkaitan Eritrosin dengan reduksi noradrenalin, selain


(43)

berkemungkinan bersifat karsinogenik (Arisman, 2008). Begitu pula menurut Karunia (2013) jika mengonsumsi Eritrosin dalam dosis tinggi dapat bersifat kasinogen. Selain itu juga dapat mengakibatkan reaksi alergi seperti nafas pendek, dada sesak, sakit kepala, dan iritasi kulit. Kemudian studi lebih lanjut melaporkan penurunan aktivitas motorik dan serotonergik akibat Eritrosin dimulai dari tingkat dosis oral tunggal 10 mg/kg.

Selain itu, Eritrosin juga dapat membuat anak menjadi hiperaktif dan menimbulkan efek kurang baik pada otak dan perilaku (Nasir, 2010). Karunia (2013) juga mengatakan efek samping lain Eritrosin yaitu meningkatnya hiperaktivitas. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat The Hyperactive Childrens Support Group yang menyatakan bahwa ada hubungan antara Eritrosin dan gangguan perilaku hiperaktif pada anak-anak (United Kingdom Food Guide, 2013).

Pendapat-pendapat tersebut mungkin didasarkan pada penelitian yang baru-baru ini dilakukan pada Eritrosin bersama dengan beberapa pewarna lainnya telah dibahas karena keterkaitannya dengan hiperaktivitas pada anak-anak misalnya oleh McCann pada tahun 2007. Tanpa memberikan rincian atau referensi untuk penyelidikan tertentu, Tema Nord pada tahun 2002 menyatakan bahwa “Eritrosin telah dilaporkan dalam menginduksi hiperaktif pada anak-anak, tetapi hal ini belum sepenuhnya didemonstrasikan” (European Commission, 2010). Sebagaimana adanya efek hiperaktif, Tanaka pada tahun 2001 melaporkan efek samping pada parameter neurobehavioural


(44)

dengan NOAEL 0,0015% dalam pangan (22,35 mg/kg bb/hari untuk laki-laki dan 27,86 mg/kg bb/hari untuk wanita) (European Commission, 2010).

Eritrosin selain sebagai pewarna pangan juga dapat digunakan dalam pencetakan tinta atau sebagai noda biologis, agen pengungkap plak gigi serta sebagai sensitizer untuk film orthochromatic dalam dunia fotografi (Praja, 2015).

2.3 Rhodamin B

Rhodamin B memiliki nomor indeks 45170 (C.I.Food Red 15) berwarna merah dan sangat beracun dan berfluorensi bila terkena cahaya matahari. Pewarna ini terbuat dari dietillaminophenol dan phatalic anchidria dimana kedua bahan baku ini sangat toksik bagi manusia (Djarismawati dkk, 2004). Rhodamin B juga memiliki banyak nama sinonim antara lain D dan C Red No. 19, ADC Rhodamin B, Aizen Rhodamin dan Brilliant Pink B (Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005).

Rhodamin B berbentuk kristal hijau atau serbuk ungu kemerah-merahan, sangat mudah larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah kebiru-biruan dan berfluorensi kuat. Selain mudah larut dalam air juga larut dalam alkohol, HCl dan NaOH. Kelarutan Rhodamin B pada air adalah 50g/L namun kelarutan dalam asam asetat larutan (30%) adalah 400g/L. Air keran yang diklorinasi terurai dengan Rhodamin B. Rhodamin B cenderung menyerap plastik dan harus disimpan dalam wadah gelas (Praja, 2015).


(45)

Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umumnya digunakan sebagai pewarna tekstil. Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004, Rhodamin B merupakan zat warna tambahan yang dilarang penggunaannya dalam produk-produk pangan. Rhodamin B dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan, iritasi kulit, iritasi mata, iritasi saluran pencernaan, keracunan, gangguan hati dan dapat menyebabkan kanker (Praja, 2015).

Rhodamin B bersifat karsinogenik sehingga dalam penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan kanker. Uji toksisitas Rhodamin B telah dilakukan terhadap mencit dan tikus dengan injeksi subkutan dan secara oral. Rhodamin B dapat menyebabkan karsinogenik pada tikus ketika diinjeksi subkutan, yaitu timbul sarcoma lokal. Sedangkan didapatkan LD50 pada 89,5 mg/kg yang ditandai dengan gejala adanya pembesaran hati, ginjal dan limfa diikuti perubahan anatomi berupa pembesaran organnya (Merck Index dalam Utami dkk, 2009). Toksisitas Rhodamin B adalah ORL-RAT LDLO 500mg.kg-1 (Praja, 2015).

Rhodamin B tergolong dalam pewarna sintetik yang diperbolehkan untuk pewarna barang hasil industri seperti plastik, tekstil, kertas, keramik, ubin dan sebagainya (Wasis dan Irianto, 2008). Selain itu Rhodamin B juga biasanya dipakai dalam laboratorium sebagai pereaksi untuk identifikasi Pb, Bi, Co, Au, Mg dan Th (Praja, 2015).

Rhodamin B merupakan senyawa kimia dan juga pewarna sehingga sering digunakan sebagai pewarna, pelacak dalam air untuk menentukan laju


(46)

dan arah aliran serta transportasi. Pewarna Rhodamin berpedar sehingga dapat dideteksi dengan mudah dan murah dengan instrumen yang disebut fluorometers. Pewarna Rhodamin digunakan secara ekstensif dalam aplikasi bioteknologi seperti mikroskop fluoresensi, sitometri, fluoresensi, spektroskopi korelasi dan ELISA (Praja, 2015).

Rhodamin B digunakan dalam biologi sebagai pewarnaan zat warna neon, kadang-kadang dikombinasikan dengan Auramine O, sebagai Auramine-Rhodamin noda untuk menunjukan asam cepat organisme terutama Mycobacterium (Praja, 2015).

Rhodamin B bersifat racun jika digunakan dalam pewarna pangan dan dapat memicu pertumbuhan zat karsinogenik yang menyebabkan munculnya penyakit kanker (Wasis dan Irianto, 2008). Penggunaan zat pewarna ini dilarang di Eropa mulai tahun 1984 karena Rhodamin B termasuk karsinogen yang kuat. Dampak negatif lainnya yaitu dapat menyebabkan ganguan fungsi hati. Efeknya tidak akan dirasakan saat ini tetapi akan terasa setelah sepuluh atau dua puluh tahun kemudian (Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005).

. Meskipun telah dilarang penggunaannya ternyata masih ada produsen yang sengaja menambahkan Rhodamin B untuk produknya (Praja, 2015). Rhodamin B terkadang digunakan sebagai bahan tambahan pewarna pangan hasil olahan industri kecil atau industri rumah tangga. Sebagai gambaran zat pewarna ini sering digunakan pada produk seperti sirup, limun, es mambo, bakpao, es cendol, es kelapa, kue basah dan pangan kipang.


(47)

Bahkan kerupuk ditambahkan Rhodamin B agar warna kerupuk lebih cerah dan menarik. Produk pangan lainnya yang perlu mendapatkan perhatian yakni saus dan sambal kemasan (Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005).

2.4 Dampak Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B 2.4.1 Hiperaktivitas

Hiperaktivitas dikenal juga sebagai Attention Deficit Disorder (ADD) atau Attention Deficit Hyperactivitity Disorder (ADHD) (Thompson, 2002). Kondisi ini disebut sebagai gangguan hiperkinetik. Dahulu kondisi ini sering disebut Minimal Brain Dysfunction Syndrome (Fadhli, 2010). Tingkah laku individu-individu yang mengalami gangguan hiperaktivitas tidak dapat dikontrol (Semiun, 2006).

Istilah hiperaktif atau ADD biasanya digunakan untuk menggambarkan anak yang masih muda, yang dianggap sangat aktif, terlalu menuruti kata hati, kurang dapat berkonsentrasi atau anak yang sulit diatur. Namun sebagian besar anak kecil umumnya mempunyai tingkat aktivitas tinggi dan sulit diatur, tanpa harus menjadi hiperaktif. Hal itu seringkali menyulitkan orang tua bahkan tenaga kesehatan dalam mengidentifikasi. Derajat hiperaktif pada anak berbeda-beda. Beberapa anak mungkin menderita hiperaktif sedang sementara anak lain menderita hiperaktif tingkat tinggi (Thompson, 2002).


(48)

Seorang anak untuk dapat disebut memiliki gangguan hiperaktif harus ada tiga gejala utama yang nampak dalan perilakunya yaitu inatensi, hiperaktif dan impulsif. Inatensi adalah pemusatan perhatian yang kurang baik atau kegagalan seorang anak dalam memberikan perhatian secara utuh (Fadhli, 2010). Impulsif adalah kecenderungan bertindak tiba-tiba tanpa berpikir disebabkan ketidakmampuannya mengendalikan dorongan (Gichara, 2008).

Berbagai tipe hiperkinetik atau ADHD adalah tipe sulit berkonsentrasi, tipe hiperaktif-impulsif dan tipe kombinasi. Anak-anak dengan ADHD biasanya menampakkan perilaku yang dapat dikelompokkan dalam 2 kategori utama yaitu kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas (Fadhli, 2010).

Ada beberapa teori tentang penyebab seorang anak menjadi hiperaktif akan tetapi belum ditemukan satupun penyebab pastinya. Salah satunya adalah pangan, zat penambah pangan seperti pewarna (Thompson, 2002). Semiun (2006) juga menegaskan bahan-bahan tambahan pangan seperti pewarna dapat menjadi penyebab hiperaktif pada anak. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Feingold pada 1975 dan 1976, sekitar 50% dari anak-anak yang hiperaktif dapat berfungsi lagi secara normal ketika diberikan pangan yang tidak mengandung bahan tambahan. Tetapi dalam penelitian-penelitian yang telah dikontrol, anak-anak yang hiperaktif diberikan pangan yang mengandung bahan-bahan tambahan atau placebo ditemukan bahwa


(49)

kasus-kasus hiperaktivitas yang disebabkan oleh bahan-bahan tambahan itu hanya sekitar 5%. Dari penelitian itu jelas bahwa akibat dari bahan-bahan tambahan pangan tidak begitu kuat seperti yang dipikirkan (walaupun begitu tidak bisa diabaikan pengaruhnya dalam menimbulkan gangguan hiperaktivitas). Pangan tertentu belum terbukti bisa menyebabkan hiperaktif namun sebaiknya menghentikan pemberian pangan dan minuman olahan yang mengandung pewarna atau pengawet (Thompson, 2002).

2.4.2 Kanker

Kanker merupakan penyakit yang berawal dari kerusakan gen, materi genetika atau DNA sel. Satu sel saja mengalami kerusakan genetika sudah cukup untuk menghasilkan sel kanker atau neoplasma. Sel yang gennya rusak itu dapat menjadi liar dan berkembang biak atau tumbuh terus tanpa henti dari satu sel menjadi beribu-ribu bahkan jutaan sel sehingga membentuk jaringan baru. Akhirnya terbentuklah jaringan tumor atau kanker (Mardiah dkk, 2006).

Gen dalam sel ada yang disebut gen kanker (oncogen) dan gen penekan tumor (tumor suppressor gen). Bila salah satu atau kedua gen ini mengalami perubahan atau kerusakan maka kedua gen ini dapat menjadi salah kaprah lalu menjadi sal kanker atau tumor dan mulai melakukan pertumbuhan sel dengan tidak terkendali. Sebenarnya, dalam sel ada juga gen yang bertugas memperbaiki gen yang rusak, gen ini disebut gen pembentul (repair gen) namun bila gen ini juga


(50)

rusak maka tidak ada lagi yang dapat memperbaiki (Mardiah dkk, 2006).

Penyakit kanker ada yang jinak dan ganas, kanker jinak disebut dengan tumor. Sebenarnya tidak semua gen sel yang rusak langsung menjadi kanker karena mungkin saja menjadi tumor namun kapan dan mengapa sel yang rusak itu memilih menjadi tumor saja atau langsung menjadi kanker atau menjadi tumor dulu lalu berubah menjadi kanker belum diketahui secara pasti. Dari banyak laporan hasil penelitian ilmiah diketahui bahwa semakin parah kerusakan gen dalam sel maka semakin besar pula kemunginan menjadi kanker (Mardiah dkk, 2006).

Pemicu kanker dapat beragam, salah satunya dari pangan yang kita konsumsi. Senyawa pemicu kanker yang terdapat dalam bahan pangan dapat berupa bahan tambahan pangan yang sering digunakan dalam proses olahan industri pangan. Apabila senyawa pemicu kanker yang terdapat dalam bahan pangan dikonsumsi sehari-hari, dikhawatirkan sedikit demi sedikit terakumulasi dalam tubuh sehingga dosis sekecil apapun dalam waktu cukup lama akan berbahaya bagi kesehatan (Mardiah dkk, 2006).

Hasil penelitian Zakaria dkk pada tahun 1996 terhadap pangan jajanan tercemar food additives atau bahan tambahan pangan (seperti salah satunya pewarna) yang dikonsumsi remaja menunjukan bahwa pangan jajanan tersebut merupakan penyebab terbentuknya radikal bebas dalam tubuh. Bahan pewarna amaranth yang memberikan warna


(51)

merah dan tartrazin yang memeberikan warna kuning pada produk pangan juga mengindikasikan karsinogenik (Mardiah dkk, 2006).

2.5 Pangan Jajanan Anak Sekolah

2.5.1 Pengertian Pangan Jajanan Anak Sekolah

Menurut Pasal 1 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 942 Tahun 2003 tentang pedoman persyaratan higiene sanitasi makanan jajanan, makanan jajanan atau pangan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin pangan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai pangan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan/restoran dan hotel.

2.5.2 Jenis Pangan Jajanan Anak Sekolah

Berikut adalah jenis-jenis pangan jajanan anak sekolah menurut Kementerian Kesehatan RI (2011):

1. Pangan Sepinggan

Pangan sepinggan merupakan kelompok pangan utama, yang dapat disiapkan di rumah terlebih dahulu atau disiapkan di tempat penjualan. Contoh pangan sepinggan seperti gado-gado, nasi uduk, siomay, bakso, mi ayam, lontong sayur dan lain-lain.

2. Pangan camilan

Pangan camilan adalah pangan yang dikonsumsi diantara dua waktu makan. Pangan camilan terdiri dari:


(52)

a. Pangan camilan basah, seperti pisang goreng, lemper, lumpia, risoles, dan lain-lain. Pangan camilan ini dapat disiapkan di rumah terlebih dahulu atau disiapkan di tempat penjualan. b. Pangan camilan kering, seperti produk ekstrusi (brondong),

keripik, biskuit, kue kering, dan lain-lain. Pangan camilan ini umumnya diproduksi oleh industri pangan baik industri besar, industri kecil dan industri rumah tangga.

3. Minuman

Kelompok minuman yang biasanya dijual meliputi:

a. Air minum, baik dalam kemasan maupun yang disiapkan sendiri

b. Minuman ringan, dalam kemasan misalnya teh, minuman sari buah, minuman berkarbonasi dan lain-lain; disiapkan sendiri oleh kantin, misalnya es sirup dan teh; serta minuman campur seperti es buah, es cendol, es doger dan lain-lain.

2.6 Keamanan Pangan

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi (Pasal 1 UU No. 18 Tahun 2012).

Keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap aman, higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama,


(53)

keyakinan, dan budaya masyarakat. Salah satu kegiatan penyelengaraan keamanan pangan dilakukan melalui pengaturan terhadap bahan tambahan pangan. Setiap orang yang melakukan produksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan tambahan pangan yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan dan/atau bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan (Pasal 67, 69, 75 UU No. 18 Tahun 2012).

Pencemaran pangan dapat terjadi apabila higiene dan sanitasi pengolahan pangan tidak cermat. Namun pencemaran bisa juga terjadi akibat vektor, mikroorganisme dan berbagi jenis bahan kimia. Keracunan pangan oleh bahan kimia erat kaitannya dengan proses produksi dan distribusinya. Dalam proses produksi sering terjadi kelalaian bahkan kesengajaan menggunakan bahan kimia sebagai zat tambahan dalam pangan seperti zat pewarna, zat pengawet dan sebagainya (Nurmaini, 2001).

Macam kontaminan yang sering terdapat dalam pangan dapat dibedakan menjadi 3 yaitu kontaminan biologis, kimiawi dan fisik (Purnawijayanti, 2001).

1. Kontaminan biologis adalah organisme hidup yang menimbulkan kontaminasi dalam pangan. Organisme hidup yang sering menjadi kontaminan atau pencemaran bervariasi mulai dari yang berukuran cukup besar seperti serangga sampai yang amat kecil seperti mikroorganisme. Jenis mikroorganisme yang sering menjadi pencemar bagi pangan adalah bakteri, fungi, parasite dan virus.


(54)

2. Kontaminan kimia adalah berbagai macam bahan atau unsur kimia yang menimbulkan pencemaran atau kontaminasi pada bahan pangan. Berbagai jenis bahan dan unsur kimia berbahaya dapat berada dalam pangan melalui beberapa cara antara lain terlarutnya lapisan alat pengolahan, logam yang terakumulasi pada produk perairan, sisa antibiotik / pupuk / insektisida / pestisida / herbisida pada tanaman atau hewan dan bahan pembersih atau sanitaiser kimia pada peralatan pengolahan pangan yang tidak bersih pembilasannya.

3. Kontaminan fisik adalah benda-benda asing yang terdapat dalam pangan padahal benda-benda tersebut bukan menjadi bagian dari bahan pangan tersebut. Contohnya terdapatnya paku, pecahan kaca, serpihan logam, isi stapler, lidi, kerikil, rambut dan benda-benda lainnya. Benda-benda ini merupakan kontaminan fisik yang selain menurunkan nilai estetis pangan juga dapat menimbulkan luka serius bila tertelan.

Menurut Anwar dalam Nurlaela (2011), terjadinya kontaminasi dapat dibagi dalam tiga cara, yaitu:

1. Kontaminasi langsung (direct contamination) yaitu adanya bahan pencemar yang masuk ke dalam pangan secara langsung karena ketidaktahuan atau kelalaian baik disengaja maupun tidak disengaja. Contohnya, potongan rambut masuk ke dalam nasi, penggunaan pewarna kain dan sebagainya.

2. Kontaminasi silang (cross contamination) yaitu kontaminasi yang terjadi secara tidak langsung sebagai akibat ketidaktahuan dalam pengolahan


(55)

pangan. Contohnya, pangan mentah bersentuhan dengan pangan masak, pangan bersentuhan dengan pakaian atau peralatan kotor, misalnya piring, mangkok, pisau atau talenan.

3. Kontaminasi ulang (recontamination) yaitu kontaminasi yang terjadi terhadap pangan yang telah dimasak sempurna. Contohnya, nasi yang tercemar dengan debu atau lalat karena tidak ditutup.

2.7 Kasus-Kasus Penggunaan Pewarna Sintetik

Penelitian Pujiasuti (2002) menyatakan 54,5% responden memiliki praktek kategori kurang dalam pemakaian bahan tambahan pangan. Kristianto dkk (2009) menyatakan bahwa 18,5% pangan jajanan anak sekolah di Kota Batu tidak memenuhi syarat keamanan karena penggunaan Rhodamin B. Ardiarini dan Gunanti (2004) menemukan Rhodamin B pada es potong merah dan es sari buah rasa kopi krim. Meskipun begitu Damayanthi dkk (2013) menyatakan terdapat 77,8% penjaja PJAS yang melakukan praktek keamanan pangan dalam kategori sedang.

Umumnya penyebab utama pangan jajanan anak sekolah tidak memenuhi persyaratan yaitu bahan tambahan pangan berlebihan dan penggunaan bahan berbahaya. Jenis pangan jajanan anak sekolah yang paling sering masuk dalam kategori tidak memenuhi persyaratan yaitu minuman es, minuman berwarna/sirup, bakso dan jelly/agar-agar. Kemudian salah satu agen yang paling sering menyebabkan tidak memenuhi persyaratan yaitu AKK (angka kapang khamir: pewarna tekstil) (Info DATIN, 2015).


(56)

Di Indonesia ketentuan pewarna diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 37 Tahun 2013 tentang batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna serta Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 386 Tahun 1990 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya.

Meskipun pemerintah telah mengatur penggunaan pewarna untuk pangan masih banyak produsen pangan terutama pengusaha kecil yang menggunakan bahan-bahan pewarna yang dilarang, misalnya pewarna untuk tekstil atau cat karena mempunyai warna lebih cerah, lebih stabil selama penyimpanan serta harganya lebih murah (Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 2005). Rahayu dkk (2012) mengatakan masih ditemukan penyalahgunaan bahan kimia berbahaya seperti pewarna tekstil mengindikasikan adanya ketidakpedulian maupun ketidaktahuan produsen akan bahaya bahan tersebut.

Menurut Tamaroh dalam Nurlaela (2011), faktor yang terpenting pada keamanan pangan adalah pedagang pangan. Pedagang pangan yang berpendidikan rendah akan melaksanakan tugasnya hanya mengandalkan kebiasaan yang dimilikinya tanpa mengetahui alasan yang benar yang melatarbelakangi tindakannya. Perilaku pedagang yang tidak mendukung tentunya akan menimbulkan masalah terhadap keamanan pangan. Padahal


(57)

pedagang pangan jajanan berperan penting dalam penyediaan pangan jajanan yang sehat dan bergizi serta terjamin keamanannya (Yasmin dkk, 2010).

Penelitian Ardiarini dan Gunanti (2004) menyatakan 75% penjual minuman jajanan menggunakan pewarna sintetik karena harga pewama sintetik tidak mahal, praktis dan mudah diperoleh di toko kecil. Penggunaan pewarna sintetik dapat menghemat waktu dan biaya. Menurut Sari (2008) karena pewarna sintetik dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pewarna alami maka menjadi perhatian produsen, mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang masih cukup rendah.

Sulitnya akses bahan tambahan pangan dengan harga terjangkau oleh industri rumah tangga juga berkontribusi pada penyalahgunaan bahan kimia berbahaya. Bahan kimia yang tidak diizinkan untuk pangan dengan mudah dan murah diperoleh dari pengecer yang tidak bertanggung jawab (Rahayu dkk. 2012). Begitu pula menurut Pujiasuti (2002) bahwa faktor ketersediaan bahan tambahan tanpa ada label “BTP” memiliki kemungkinan mempengaruhi pembelian bahan tambahan tersebut di toko-toko setempat. Hal tersebut menunjukan bahwa faktor ekonomi dan akses memiliki peran dalam pengambilan keputusan oleh pedagang dalam melakukan pengolahan pangan. Aminah dan Hidayah (2012) menyatakan penggunaan bahan pewarna alami memang tidak ada resiko kesehatan namun untuk mendapatkannya tidak mudah serta tidak praktis dan pewama alami kurang stabil.


(58)

Penambahan pewarna sintetik dalam minuman jajanan diakui seluruh penjual dapat memberikan kesan menarik pada produk akhir sehingga minuman jajanan yang dijual dapat laku > 90% per hari (Ardiarini dan Gunanti, 2004). Kemudian Aminah dan Hidayah (2012) menyatakan 76% responden menggunakan bahan pewarna sembarang dalam produk pangan asal produk menarik sehingga konsumen tertarik. Hal tersebut menunjukan bahwa penggunaan pewarna sintetik oleh pedagang mungkin dikarenakan anak sekolah dasar dalam memilih pangan jajanan mempertimbangkan daya tarik warna (Kristianto dkk, 2009), begitu pula dengan Pujiasuti (2002) yang menyatakan alasan pemilihan produk berwarna antara lain lebih menarik dan lebih murah. Diperkuat dengan Nuraini (2007) bahwa warna mempunyai peran psikologis yang sangat kuat ketika anak-anak akan memilih produk pangan. Selain itu, menurut Pujiasuti (2002) 86% produsen menyatakan penggunaan pewarna karena permintaan konsumen.

Pewama pangan yang dijual di pasaran baik yang berbentuk liquid dan bubuk pada umumnya tidak ada petunjuk ukuran penggunaannya, hal ini membuat para produsen pangan jajanan hanya mengira-ngira pemakaianya sehingga produknya menarik. Oleh karena itu meskipun menggunakan pewarna yang diijinkan tetapi kadarnya harus dibatasi sebab bila tidak terkontrol penggunaannya maka akan berefek tidak baik terhadap kesehatan (Aminah dan Hidayah, 2012).

Menurut Rahayu dkk (2012), indsutri kecil perlu memiliki pengetahuan dalam proses produksi pangan yang aman dan bermutu agar


(59)

tidak mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan orang lain. Handayani dan Kurniawati dalam Wariyah dan Dewi (2013), faktor yang menyebabkan pedagang pangan jajanan memakai bahan tambahan antara lain adalah pengetahuan mereka yang rendah terhadap bahan tambahan pangan dan bahan berbahaya walaupun faktor ketidakpedulian juga mungkin terjadi. Begitu pula dengan BPOM (2012a) yang menyatakan bahwa pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan dapat mengindikasikan kurangnya pengetahuan tentang keamanan pangan. Selain itu, faktor kepedulian atau kesadaran para pembuat, penjual dan pembeli pangan jajanan anak sekolah juga dapat mempengaruhi adanya pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan. Menurut Rahayu dkk (2012), ketidakpedulian dan ketidaktahuan produsen bisa disebabkan karena masih ada industri rumah tangga yang tidak pernah dibina yaitu sebesar 34,2%.

Penelitian Sugiyatmi (2006) menyatakan 64,6% dari pembuat pangan jajanan tradisional yang dijual di pasar-pasar Kota Semarang memiliki pengetahuan dalam kategori kurang tentang bahaya pewarna terlarang. Begitu pula dengan Ardiarini dan Gunanti (2004) yang mengatakan 75% penjual memiliki pengetahuan yang tergolong rendah terhadap pewarna sintetik. Utami dkk (2009) menyatakan bahwa 36,80% pedagang dapat membedakan pewarna alami atau sintetik; 5,30% pedagang mengetahui pewarna sintetik yang diijinkan; 10,50% pedagang mengetahui pewarna sintetik yang tidak diijinkan penggunaannya dalam pangan dan kesadaran pedagang akan bahaya


(60)

dari pewarna sintetik cukup rendah yaitu 43%. Namun Damayanthi dkk (2013) menyatakan 77,8% pengetahuan penjaja PJAS di SDN D tentang keamanan pangan dalam kategori sedang dan hal tersebut sejalan dengan Pujiasuti (2002) yang juga menyatakan 40,9% responden memiliki pengetahuan dalam kategori sedang tentang pemakaian bahan tambahan pangan.

Sugiyatmi (2006) menyatakan pembuat pangan jajanan yang memiliki pengetahuan dengan kategori kurang kebanyakan melakukan praktek pembuatan pangan dengan kategori tidak baik. Hal tersebut terbukti dengan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan praktek pembuatan pangan jajanan. Namun Pujiasuti (2002) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan produsen dengan pemakaian bahan tambahan pangan dan Damayanthi dkk (2013) juga menyatakan terdapat hubungan negatif antara pengetahuan tentang gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan.

Utami dkk (2009) menyatakan rendahnya pengetahuan pedagang tentang pewarna alami dan sintetik serta pewarna yang tidak diijinkan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah pendidikan. Hasil survei menunjukkan 47,37% pedagang tidak berpendidikan. Ardiarini dan Gunanti (2004), 75% penjual memiliki tingkat pendidikan setingkat Sekolah Dasar dan 25% penjual tidak mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Menurut Utomo dalam Ardiarini dan Gunanti (2004), pendidikan berpengaruh pada


(61)

faktor sosial ekonomi seperti pendapatan, pekerjaan, lifestyle, perumahan dan tempat tinggal serta pangan yang dikonsumsi dan disajikan.

Seiring perkembangan teknologi informasi, pengetahuan tentang bahaya pewarna pangan terlarang atau yang berlebihan tidak harus didapatkan melalui pendidikan formal. Para pedagang bisa mendapatkan informasi tentang bahaya pewarna pangan melalui media elekktronik sehingga mereka memahami resiko yang mereka dapatkan dan berikan ketika menggunakan pewarna pangan yang dilarang. Hal ini membuktikan bahwa walaupun tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi tetapi mereka bisa memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai pewarna pangan (Pertiwi dkk, 2014).

Meskipun begitu, menurut Pujiasuti (2002) masih terdapat lebih dari 50% responden yang belum pernah mendapatkan informasi mengenai bahan tambahan pangan secara khusus. Hanya 16% yang pernah mendapatkan informasi dari kebupaten, kelurahan, sekolah dan perindustrian serta 5% lainnya mendapat informasi dari teman dan keluarga. Rahayu dkk (2012) pun menyatakan bahwa informasi mengenai keberadaan bahan tambahan pangan di pasaran belum diketahui oleh sebagian besar industri rumah tangga. Sedangkan bahan kimia berbahaya masih beredar dan hal ini berkontribusi terhadap penyalahgunaan bahan kimia berbahaya.

Pengetahuan keamanan pangan yang diketahui oleh para pedagang umumnya diperoleh dari informasi lisan dari mulut ke mulut, penyuluhan di PKK (bagi yang perempuan). Namun untuk mengaplikasikan pengetahuan


(62)

yang telah diperoleh secara lisan tersebut sulit, mengingat produsen ingin menampilkan dagangannya lebih menarik dengan cita rasa yang tinggi dengan biaya produksi yang rendah. Dalam penggunaan bahan tambahan pangan masih perlu mendapatkan perhatian baik jenisnya maupun ukurannya. Bahan tambahan yang digunakan harus bahan tambahan khusus pangan dan ukurannya sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Aminah dan Hidayah, 2012).

Sugiyatmi (2006) menyatakan 68,8% dari pembuat pangan jajanan memiliki sikap terhadap penggunaan pewarna terlarang dalam kategori kurang. Namun Pertiwi dkk (2014) menyatakan bahwa 100% penjual pangan jajanan memiliki sikap yang positif terhadap penggunaan pewarna pada pangan, Pujiasuti (2002) yang menyatakan 50% responden memiliki sikap dalam kategori baik tentang pemakaian bahan tambahan pangan serta Damayanthi dkk (2013) yang mengatakan 77,8% penjaja PJAS di SDN D memiliki sikap dalam kategori sedang terhadap keamanan pangan.

Sugiyatmi (2006) menyatakan pembuat pangan jajanan yang memiliki sikap dengan kategori kurang kebanyakan melakukan praktek pembuatan pangan dengan kategori tidak baik. Hal tersebut terbukti dengan adanya hubungan yang signifikan antara sikap dengan praktek pembuatan pangan jajanan. Namun Damayanthi dkk (2013) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara sikap terhadap gizi dan keamanan pangan dengan praktek


(1)

Keterampilan * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

keterampilan * praktek Crosstabulation praktek

Total

Ya Tidak

keterampilan Ya Count 1 6 7

Expected Count 1.9 5.1 7.0

% within keterampilan 14.3% 85.7% 100.0%

% within praktek 12.5% 27.3% 23.3%

% of Total 3.3% 20.0% 23.3%

Tidak Count 7 16 23

Expected Count 6.1 16.9 23.0

% within keterampilan 30.4% 69.6% 100.0%

% within praktek 87.5% 72.7% 76.7%

% of Total 23.3% 53.3% 76.7%

Total Count 8 22 30

Expected Count 8.0 22.0 30.0

% within keterampilan 26.7% 73.3% 100.0%

% within praktek 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 26.7% 73.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .716a 1 .398

Continuity Correctionb .128 1 .720

Likelihood Ratio .786 1 .375

Fisher's Exact Test .638 .377

Linear-by-Linear Association .692 1 .406

N of Valid Casesb 30

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.87. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for keterampilan (Ya /

Tidak) .381 .038 3.784

For cohort praktek = Ya .469 .069 3.192

For cohort praktek = Tidak 1.232 .821 1.849


(2)

Aksesibilitas * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

Crosstab

praktek

Total

Ya Tidak

aksesibilitas Mudah Count 8 20 28

% within aksesibilitas 28.6% 71.4% 100.0%

Sulit Count 0 2 2

% within aksesibilitas .0% 100.0% 100.0%

Total Count 8 22 30

% within aksesibilitas 26.7% 73.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .779a

1 .377

Continuity Correctionb

.003 1 .956

Likelihood Ratio 1.292 1 .256

Fisher's Exact Test 1.000 .531

Linear-by-Linear Association .753 1 .385

N of Valid Casesb 30

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .53. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

For cohort praktek = Tidak .714 .565 .903


(3)

Peraturan * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

Crosstab

praktek

Total

Ya Tidak

peraturan Tidak Ada Count 5 18 23

% within peraturan 21.7% 78.3% 100.0%

Ada Count 3 4 7

% within peraturan 42.9% 57.1% 100.0%

Total Count 8 22 30

% within peraturan 26.7% 73.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.224a 1 .269

Continuity Correctionb .382 1 .536

Likelihood Ratio 1.149 1 .284

Fisher's Exact Test .345 .261

Linear-by-Linear Association 1.183 1 .277

N of Valid Casesb 30

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.87. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for peraturan (Tidak

Ada / Ada) .370 .062 2.230

For cohort praktek = Ya .507 .160 1.609

For cohort praktek = Tidak 1.370 .696 2.695

N of Valid Cases 30


(4)

Teman * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

Crosstab

praktek

Total

Ya Tidak

teman Ya Count 0 5 5

% within teman .0% 100.0% 100.0%

Tidak Count 8 17 25

% within teman 32.0% 68.0% 100.0%

Total Count 8 22 30

% within teman 26.7% 73.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.182a 1 .140

Continuity Correctionb .852 1 .356

Likelihood Ratio 3.451 1 .063

Fisher's Exact Test .287 .185

Linear-by-Linear Association 2.109 1 .146

N of Valid Casesb 30

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.33. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

For cohort praktek = Tidak 1.471 1.124 1.924

N of Valid Cases 30


(5)

Petugas Kesehatan * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B Crosstab

praktek

Total

Ya Tidak

p.kesehatan Tidak Pernah Count 4 10 14

% within p.kesehatan 28.6% 71.4% 100.0%

Pernah Count 4 12 16

% within p.kesehatan 25.0% 75.0% 100.0%

Total Count 8 22 30

% within p.kesehatan 26.7% 73.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .049a 1 .825

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .049 1 .825

Fisher's Exact Test 1.000 .574

Linear-by-Linear Association .047 1 .828

N of Valid Casesb 30

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.73. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for p.kesehatan (Tidak

Pernah / Pernah) 1.200 .237 6.065

For cohort praktek = Ya 1.143 .349 3.741

For cohort praktek = Tidak .952 .616 1.472


(6)

Sekolah * Penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B

Crosstab

praktek

Total

Ya Tidak

sekolah Tidak Pernah Count 6 18 24

% within sekolah 25.0% 75.0% 100.0%

Pernah Count 2 4 6

% within sekolah 33.3% 66.7% 100.0%

Total Count 8 22 30

% within sekolah 26.7% 73.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .170a 1 .680

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .165 1 .685

Fisher's Exact Test .645 .520

Linear-by-Linear Association .165 1 .685

N of Valid Casesb 30

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.60. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for sekolah (Tidak

Pernah / Pernah) .667 .097 4.605

For cohort praktek = Ya .750 .199 2.827

For cohort praktek = Tidak 1.125 .611 2.073