Model Upaya Mengatasi Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah Dasar Di Kota Bogor

ii

ABSTRACT
KHUSNUL KHOTIMAH. The Model Of Effort Overcome The Street Food Safety
Problems For Elementary Students In Bogor. Under the guidance of EVY
DAMAYANTHI and EDDY S MUDJAJANTO.
The objective of this study was to develop model of effort to overcome the
street food safety problems for elementary students in Bogor. This study was
consisted by two phases. First one was done at 10 elementary schools in Bogor
to observed condition and kind of street food for elementary students which risk
unsafely and to determined intervention which would be done in second phase.
First phased was designed as cross sectional study. Location was decided by
purposive sampling. Second phase research was conducted at SDN “D” which
was chosen in first phase. Nutrition counseling was conducted as intervention.
Measuring food vendors’ PSP (knowledge, attitude, and practice) of nutrition and
food safety was done in pre and post intervention. Data analysis was done by
using Microsoft Excel 2007 and program SPSS. Variables’ relation was analyzed
using Pearson correlation test and paired t-test. Food vendors at SDN “D” were
mostly men (88.9%) in the range of age 18-40 years. They were mostly
elementary degree (44.7%) and poor (55.6%). They had been working as food
vendor for 1-5 years and > 1 year (44.4%). Knowledge, attitude, and practice of

mostly food vendors in post intervention were better than in pre intervention.
Pearson correlation test showed that knowledge of food safety and attitude of it
had significantly correlated (p0,05); knowledge of nutrition
and food safety with food safety practice (p>0.05); and attitude of nutrition and
food safety with food safety practice (p>0.05).
Keyword: The model, safety problems, street food for elementary students

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 adalah
segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman
bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan
dan pembuatan makanan dan minuman (Saparinto & Diana 2006). Pangan dan
gizi merupakan komponen yang sangat penting dalam pembangunan dalam
rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Tumbuh kembang
anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian gizi dengan kualitas dan

kuantitas yang baik dalam meningkatkan status gizi.
Anak usia sekolah merupakan investasi bangsa, karena anak sekolah
adalah generasi penerus. Kualitas bangsa di masa depan ditentukan oleh
kualitas anak-anak saat ini. Upaya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM)
harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Tumbuh
kembangnya anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian asupan zat
gizi dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Namun, pemberian makanan pada
anak tidak selalu dilaksanakan dengan baik, yang dapat mengakibatkan
gangguan pada organ-organ dan sistem tubuh anak (Judarwanto 2006).
Masa usia sekolah merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan
anak menuju masa remaja sehingga asupan zat gizi yang cukup dan keamanan
makanan yang dikonsumsi sangat penting untuk diperhatikan, salah satunya
adalah makanan jajanan. Makanan jajanan sangat banyak dijumpai di lingkungan
sekitar sekolah dan umumnya dikonsumsi oleh anak sekolah. Kebiasaan
mengonsumsi makanan jajanan sangat popular di kalangan anak-anak sekolah.
Mengonsumsi makanan jajanan yang tidak aman dan tidak sehat dapat
menyebabkan anak terkena penyakit dan dapat menurunkan status gizi anak
(Haryanto 2002). Menurut penelitian Februhartanty & Iswarawanti (2004) di
Bogor, bahwa makanan yang dikonsumsi oleh


pelajar waktu

sekolah

menyumbang asupan gizi sebanyak 36% energi, 29% protein dan 52% zat besi.
Makanan jajanan sekolah perlu mendapatkan perhatian yang serius
karena sangat berisiko terhadap cemaran biologi dan kimia. BPOM tahun 2004
menemukan 60% jajanan yang dijual sekolah dasar (SD) di Indonesia tidak
memenuhi standar keamanan mutu dan keamanan pangan. Pada tahun 2007

2

terjadi 28 kejadian luar biasa (KLB) di Bogor merupakan keracunan pangan
(16%), dimana terjadi di lingkungan sekolah dan pangan jajanan berkontribusi
sebesar 28.5% sebagai pangan penyebab KLB. Siswa SD merupakan kelompok
yang paling sering (67%) mengalami keracunan pangan jajanan anak sekolah
(PJAS) (BPOMRI 2008).
Penelitian yang dilakukan di Bogor oleh Februhartanty & Iswarawanti
(2004) menemukan Salmonella Paratypi A di 25%-50% sampel minuman yang
dijual di pedagang kaki lima. Banyak kasus dan hasil penelitian yang

menunjukkan bahwa dalam jajanan sekolah banyak mengandung bakteri yang
berbahaya bagi kesehatan anak-anak. Selain cemaran mikrobiologis, cemaran
kimiawi yang umum ditemukan pada makanan jajanan kaki lima adalah
penggunaan

bahan

tambahan

illegal

seperti

boraks

(pengempal

yang

mengandung logam berat Boron), formalin (pengawet yang digunakan untuk

mayat), rhodamin B (pewarna merah pada tekstil), dan methanil yellow (pewarna
kuning pada tekstil). Bahan-bahan ini dapat terakumulasi pada tubuh manusia
dan bersifat karsinogenik, yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakitpenyakit seperti kanker dan tumor pada organ tubuh manusia, serta
mempengaruhi fungsi otak termasuk gangguan perilaku pada anak sekolah.
Gangguan perilaku pada anak sekolah meliputi gangguan tidur, gangguan
konsentrasi, gangguan emosi, hiperaktif dan memperberat gejala pada penderita
autis. Pengaruh jangka pendek penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) ini
menimbulkan gejala-gejala yang sangat umum seperti pusing, mual, muntah,
diare atau bahkan kesulitan buang air besar (Judarwanto 2006).
Selain masalah BTP, perilaku penjaja PJAS juga menjadi masalah yang
perlu diperhatikan. Masalah yang sering timbul mulai dari proses persiapan,
pengolahan dan pada saat penyajian makanan dilokasi jualan. Selain itu juga
kebiasaan penjual makanan jajanan yang patut mendapat perhatian adalah
penggunaan bahan tambahan non pangan seperti pemanis, pewarna, pengeras
dan lain-lain yang digunakan hampir pada setiap makanan. (Fardiaz & Fardiaz
1994). Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah
(PJAS) Nasional tahun 2008 yang dilakukan oleh SEAFAST dan Badan POM RI
mengungkapkan bahwa >70% penjaja PJAS menerapkan praktek keamanan
pangan yang kurang baik termasuk higiene dari penjaja PJAS (Andarwulan,
Madanijah, Zulaikhah 2009).


3

Ketidaktahuan tentang bahan makanan dapat menyebabkan pemilihan
makanan yang salah dan rendahnya pengetahuan gizi akan menyebabkan sikap
masa bodoh terhadap makanan tertentu. Menurut Khomsan (2002) untuk
mengatasi masalah gizi, masyarakat perlu memperoleh bekal pengetahuan gizi.
Memiliki pengetahuan gizi tidak berarti seseorang mau mengubah kebiasaan
makannya. Mereka mungkin mengerti tentang protein, karbohidrat, vitamin, dan
zat gizi lainnya yang diperlukan untuk keseimbangan diit. Tetapi mereka tidak
pernah mengaplikasikan pengetahuan gizi di dalam kehidupan sehari-hari.
Mengingat pentingnya peranan pangan jajanan yang sehat dan aman bagi anakanak sekolah serta banyaknya masalah yang terjadi akibat makanan jajanan,
maka perlu dicari model upaya mengatasi masalah keamanan pangan Sekolah
Dasar di Kota Bogor.
Perumusan Masalah
Makanan jajanan anak sekolah dasar merupakan alternatif dalam
memenuhi kebutuhan pangan anak sekolah dasar, namun banyak terdapat
permasalahan mengenai praktek keamanan PJAS yang meliputi kurangnya
higiene dan sanitasi dari penjaja PJAS maupun penggunaan bahan tambahan
pangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Rendahnya kualitas pangan

jajanan mungkin berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan maupun
pengetahuan dari penjaja PJAS mengenai keamanan pangan. Berdasarkan
kondisi ini, perlu dianalisis risiko ketidakamananan PJAS sehingga dapat
dikembangkan sebagai model upaya mengatasi masalah keamanan pangan
jajanan anak Sekolah Dasar di Kota Bogor.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengembangkan model upaya
mengatasi masalah keamanan pangan jajanan anak Sekolah Dasar di Kota
Bogor.
Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis risiko ketidakamanan pada penelitian pendahuluan
2. Merumuskan model untuk mengatasi masalah keamanan pangan PJAS di
Kota Bogor.
3. Menganalisis keefektifan model keamanan pangan yang dilakukan.

4

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi sebagai
alternatif upaya mengatasi masalah keamanan pangan PJAS dan pengetahuan
tentang pentingnya keamanan makanan jajanan yang sehat dan bebas dari
pengunaan BTP yang tidak diperbolehkan oleh pemerintah. Selain itu,
diharapkan

dapat

memberikan

informasi

kepada

pihak

sekolah

dalam


menentukan penerapan kebijakan keamanan pangan kepada penjaja makanan
yaitu pada pengelola kantin dan penjaja PJAS. Bagi pemerintah, hasil ini
diharapkan bermanfaat untuk menyusun kebijakan program di bidang pangan
dan gizi khususnya makanan jajanan pada anak sekolah dasar.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Anak Sekolah Dasar
Sekolah merupakan institusi pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun
2001, pengolahan sekolah yang sebelumnya berada di bawah Departemen
Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab Kabupaten/Kota. Sedangkan
Departemen Pendidikan hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar
nasional pendidikan. Lingkungan sekolah memiliki peran penting dalam
pendidikan.

Lingkungan

merupakan


faktor

yang

sangat

penting

dalam

membentuk perilaku anak sekolah (Notoatmodjo 2003).
Anak sekolah dasar disebut juga masa akhir anak-anak (Late Childhood)
yaitu yang berumur antara 6-12 tahun. Pertumbuhan dan perkembangannya
lebih stabil dibandingkan pada masa bayi atau remaja. Pada usia sekolah ini
pertumbuhan dan perkembangan tetap terjadi tetapi laju pertumbuhan fisiknya
lebih lambat. Kemampuan motorik semakin membaik, perkembangan kognitif
dan kemampuan sosialnya makin matang dan pada masa ini diakhiri dengan
masa pubertas baik laki-laki maupun perempuan (Faridi 2002).
Anak usia sekolah dasar mempunyai sifat yang berubah-ubah terhadap

makanan. Pada usia ini mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah
sehingga lebih mudah menjumpai aneka bentuk dan jenis makanan jajanan, baik
yang dijual disekitar sekolah, lingkungan bermain, atau pemberian teman.
Mereka selalu ingin mencoba makanan yang baru dikenalnya. Secara umum
nafsu

makannya

tidak

mengalami

masalah.

Kondisi

yang

demikian

membutuhkan perhatian khusus agar makanan yang mereka konsumsi adalah
makanan yang sehat dan bergizi (Pertiwi 1998).
Anak sekolah perlu diajar memilih dan menikmati bermacam-macam
bahan pangan secara baik dan memberi pengertian adanya hubungan antara
pangan dengan pertumbuhan badan serta kesehatan. Dengan demikian setelah
menguasai pengetahuan tersebut, anak sekolah akan senantiasa menjaga
kesehatan dan status gizinya, memiliki kebiasaan pangan yang baik, bersikap
positif terhadap pangan-pangan yang bergizi, mempunyai keterampilan gizi serta
mampu

berperan

sebagai

agen

perubah

terhadap

kebiasaan

makan

keluarganya.
Pada usia sekolah dasar diharapkan memperoleh dasar pengetahuan
sebagai bekal penyesuaian pada kehidupan selanjutnya. Sebutan lain untuk

6

anak sekolah dasar yaitu periode kritis karena masa ini merupakan motivasi
untuk berprestasi sehingga membentuk kebiasaan untuk berusaha mencapai
sukses atau bersikap santai. Sekali terbentuk kebiasaan, kebiasaan tersebut
akan terus dibawa sampai dewasa (Nasoetion & Wirakusumah 1991).
Kantin dan Penjaja PJAS
Kantin atau warung sekolah merupakan salah satu tempat jajan anak
sekolah selain penjaja makanan di luar sekolah. Kantin sekolah mempunyai
peranan yang penting dalam mewujudkan pesan-pesan kesehatan dan dapat
menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan
jajanan sekolah. Kantin sekolah dapat menyediakan makanan sebagai pengganti
makan pagi dan makan siang di rumah serta camilan dan minuman sehat.
Penjaja PJAS mempunyai risiko ketidakamanan yang menentukan
perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan jajanan di
sekolah. Kantin sekolah mempunyai peranan penting dalam mendorong pesanpesan kesehatan dari kelas dan rumah. Ada kantin yang menyediakan makanan
yang sehat dan bergizi. Namun banyak juga kantin yang belum menyediakan
makanan yang bergizi. Kepala sekolah dan guru belum maksimal dalam
mengarahkan kantin sekolah yang menyediakan makanan yang sehat, bergizi
dan aman bagi kesehatan (Muhilal & Damayanti 2006).
Menurut Depkes RI (2001), penjaja makanan jajanan dalam melakukan
kegiatan pelayanan penanganan pangan jajanan harus memenuhi persyaratan
antara lain:
a. Tidak menderita penyakit yang mudah menular misalnya batuk, pilek,
influenza, diare dan penyakit perut serta penyakit sejenisnya;
b. Menutup luka (pada luka terbuka/bisul atau luka lainnya);
c. Menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku dan pakaian;
d. Memakai celemek dan tutup kepala;
e. Mencuci tangan setiap kali hendak menangani makanan.
Disamping itu, penjaja makanan jajanan dalam memberikan pelayanan
dilarang antara lain:
a. Menjamah makanan tanpa alat perlengkapan atau tanpa alas tangan;
b. Sambil merokok, menggaruk anggota badan (telinga, hidung, mulut atau
bagian lainnya);
c. Batuk atau bersin dihadapan pangan jajanan yang disajikan dan atau tanpa
menutup mulut atau hidung

7

Pangan Jajanan
Pangan jajanan menurut WHO (1996) didefinisikan sebagai makanan dan
minuman yang dipersiapkan dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima dan di
tempat-tempat keramaian umum lain yang langsung dimakan atau dikonsumsi
tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut. Makanan yang sehat, aman dan
bergizi adalah makanan yang mengandung zat gizi yang diperlukan seorang
anak untuk dapat hidup sehat dan produktif. Makanan tersebut harus bersih,
tidak kadaluarsa dan tidak mengandung bahan kimia maupun mikroba
berbahaya bagi kesehatan. Selain masalah gizi, keamanan pangan juga
merupakan masalah yang tidak kalah penting bagi anak-anak sekolah. Makanan
yang tidak bersih dan tidak aman dapat menimbulkan keracunan dan dalam
jangka panjang dapat menimbulkan penyakit.
Menurut Winarno (1997) menyebutkan bahwa makanan jajanan adalah
jenis makanan yang dijual di kaki lima, pinggiran jalan, di stasiun, di pasar,
tempat pemukiman serta lokasi yang sejenis. Umumnya makanan jajanan ini
dibagi empat kelompok yaitu makanan utama (main dish), panganan (snacks),
minuman, dan buah-buahan segar. Makanan jajanan memiliki jenis yang sangat
banyak dan sangat bervariasi dalam bentuk, rasa, dan harga.
Pangan jajanan menurut Nuraida et al (2009) dapat dikelompokkan
menjadi empat kelompok, yaitu:
a. Makanan sepinggan merupakan kelompok makanan utama yang dapat
disiapkan di rumah terlebih dahulu atau disiapkan di kantin, seperti gadogado, nasi uduk, siomay, mie ayam, lontong sayur dan lain-lain.
b. Makanan camilan adalah makanan yang dikonsumsi diantara dua waktu
makan, terdiri dari : (1) makanan camilan basah yaitu pisang goreng, lumpia,
lemper, risoles dan lain-lain; (2) makanan camilan kering yaitu produk
ekstruksi (brondong), kripik, biskuit, kue kering dan lain-lain.
c. Minuman, kelompok minuman yang biasanya dijual dikantin: (1) air putih, baik
dalam kemasan maupun yang disiapkan sendiri; (2) minuman ringan, dalam
kemasan misalnya teh, minuman sari buah, minuman berkarbonisasi dan lainlain, atau yang disiapkan sendiri oleh kantin misalnya es sirup dan teh; dan
(3) minuman campur, seperti es buah, es campur, es cendol, es doger dan
lain-lain.
d. Buah merupakan salah satu jenis makanan sumber vitamin dan mineral yang
penting untuk anak usia sekolah. Buah-buahan sebaiknya dikonsumsi setiap

8

hari, buah-buahan dapat dijual dalam bentuk : (1) utuh, misalnya pisang,
jambu, jeruk dan lain-lain; (2) kupas dan potong, misalnya papaya, nenas,
melon, mangga dan lain-lain.
Fardiaz (1997) menyatakan makanan jajanan mempunyai risiko terhadap
kesehatan masyarakat. Hal ini karena pada umumnya makanan jajanan
dipersiapkan dengan cara kurang higiene dan masih banyak menggunakan
bahan-bahan yang tidak boleh digunakan dalam makanan atau melebihi batas
yang diizinkan. WHO (1996) menyatakan makanan jajanan dapat mengakibatkan
masalah kesehatan masyarakat karena: (1) kurangnya fasilitas infrastruktur dan
jasa pelayanan lain seperti penyediaan air bersih; (2) sulit mengawasi para
pedagang makanan jajanan karena jenisnya beraneka ragam dan bersifat
sementara; (3) tidak cukup sumberdaya untuk pengawasan dan analisis
laboratorium; (4) kurangnya pengetahuan fakta yang sebenarnya tentang
keadaan mikrobiologi atau data epidemiologi yang tepat tentang makanan
jajanan; (5) kurangnya pengetahuan para pedagang tentang penanganan
keamanan pangan; dan (6) kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya
makanan jajanan.
Pengetahuan, Sikap dan Praktek Keamanan Pangan
Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan
Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur
penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi
yang dimiliki menjadi lebih baik. Masalah gizi sering timbul karena ketidaktahuan
atau kurang informasi tentang gizi yang memadai (Departemen Gizi dan
Kesehatan Masyarakat 2008).
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dimana sebagian besar dari
pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui indera mata dan telinga.
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bertahan lebih lama dibanding
tidak disadari dengan pengetahuan (Notoatmodjo 2003).
Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan dalam domain kognitif memiliki
enam tingkatan diantaranya, yaitu :
1. Tahu (know)
Tingkatan tahu (know) ini merupakan tingkatan dari pengetahuan yang
terendah. Mengingat kembali (recall) sesuatu yang telah dipelajari termasuk

9

ke dalam tingkat ini. Tingkat pengetahuan ini dapat diukur melalui kata kerja,
seperti

menyebutkan,

menguraikan,

mendefinisikan,

menyatakan

dan

sebagainya.
2. Memahami (comprehension)
Memahami merupakan kemampuan seseorang dalam menjelaskan suatu
objek

serta

dapat

menginterpretasikannya

dengan

benar.

Tingkat

pengetahuan ini dapat diukur melalui kata kerja, seperti menjelaskan,
menyebutkan contoh, meramalkan, menyimpulkan, dan sebagainya.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi merupakan kemampuan seseorang untuk menerapkan materi yang
pernah dipelajarinya, seperti penggunaan rumus, metode, dan prinsip.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang dalam menjabarkan suatu materi ke
dalam komponen-komponen secara berkaitan dan terstruktur. Tingkat
pengetahuan ini dapat diukur melalui kata kerja seperti menambahkan,
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis mengarah kepada kemampuan seseorang dalam membentuk
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. Tingkat pengetahuan
ini dapat diukur melalui kata kerja, seperti menyusun, merencanakan,
meringkaskan, menyesuaikan, dan sebagainya.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi merupakan kemampuan seseorang melakukan penilaian terhadap
suatu objek yang didasari dengan kriteria-kriteria tertentu.
Pengetahuan gizi dan keamanan pangan perlu dimiliki oleh semua orang.
Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peran makanan dan zat gizi,
serta sumber-sumber zat gizi pada makanan. Sedangkan pengetahuan
keamanan

pangan

merupakan

pengetahuan

tentang

jenis-jenis

Bahan

Tambahan Pangan (BTP), penggunaannya dan bahaya yang akan ditimbulkan
jika digunakan dalam jumlah yang tidak dianjurkan serta pengetahuan tentang
jenis-jenis

BTP

yang

tidak

diizinkan

digunakan

dalam

pengelolaan

makanan/minuman. Pengetahuan gizi dapat diukur dengan cara wawancara atau
angket yang mencakup materi yang ingin diukur dari penjaja PJAS. Pengetahuan
yang baik akan menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah
(Notoatmodjo 1993).

10

Sikap Gizi dan Keamanan Pangan
Sikap adalah perasaan, keyakinan dan kecendrungan untuk bertindak/
berperilaku terhadap orang lain, kelompok lain, suatu pemikiran, ataupun suatu
objek tertentu. Sikap (attitude) sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan
manusia sehari-hari. Sikap sangat menentukan bagaimana perilaku (behavior)
manusia terhadap sesamanya dalam lingkungan kehidupan manusia. Sikap juga
sangat

mempengaruhi

tanggapan

manusia

terhadap

masalah-masalah

kemasyarakatan yang dihadapi, baik yang berhubungan dengan intervensi
pemerintah, maupun yang berkaitan dengan tata kehidupan manusia di dalam
lingkungan tempat tinggalnya (Taryoto 1991).
Sikap gizi dan keamanan pangan merupakan perasaan, keyakinan, dan
kecendrungan untuk bertindak dalam pengolahan pangan jajanan yang
memperhatikan kandungan gizi, serta keamanan pangan agar menghasilkan
pangan jajanan yang aman. Faktor lain yang mempengaruhi sikap dan perilaku
adalah kebiasaan (habits), norma sosial (social norms), dan pandangan
mengenai akibat atau konsekuensi dari perilaku yang akan diambil. Kebiasaan
menunjuk pada tindakan yang secara otomatis dilakukan seseorang pada suatu
keadaan tertentu, tanpa atau dengan dasar pemikiran yang sangat terbatas.
Norma sosial menunjuk pada adanya harapan-harapan mengenai tindakan apa
yang seharusnya dilakukan seseorang, yang secara umum maupun secara
khusus ada pada kelompok dimana seseorang itu berada. Apabila norma sosial
lebih kuat pengaruhnya, maka individu akan bertindak sesuai dengan yang
dikehendaki oleh norma sosial daripada menurut pada kehendak sikapnya.
Sedangkan pandangan mengenai akibat atau konsekuensi dari perilaku yang
akan menunjuk pada adanya sanksi atau penghargaan atau sikap perilaku yang
dilakukan (Taryoto 1991).
Praktek Keamanan Pangan
Pangan aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya keamanan
pangan yang terdiri atas bahaya biologis/mikrobiolois, kimia dan fisik. Bahaya
keamanan pangan terdiri dari (BPOM 2006):
1. Bahaya mikrobiologis, adalah bahaya mikroba yang dapat menyebabkan
penyakit seperti Salmonella, E.Coli, virus, parasit dan kapang penghasil
mikotoksin.
2. Bahaya kimia, adalah bahan kima yang tidak diperbolehkan digunakan untuk
pangan, misalnya logam dan polutan lingkungan, bahan tambahan pangan

11

(BTP) yang tidak digunakan semestinya, pestisida, bahan kimia pembersih,
racun/toksin asal tumbuhan/hewan, dan sejenisnya.
3. Bahaya fisik, adalah bahaya benda-benda yang dapat tertelan dan dapat
menyebabkan luka misalnya pecahan kaca, kawat stepler, potongan tulang,
potongan kayu, kerikil, rambut, kuku, sisik dan sebagainya.
Keamanan pangan merupakan suatu faktor yang penting disamping mutu
fisik, gizi dan cita rasa. Menurut Fardiaz & Fardiaz (1994), makanan siap santap
dianggap mempunyai mutu yang baik jika dapat memuaskan konsumen dalam
hal rasa, penampakan dan keamanannya. Kandungan dan komposisi gizi
seringkali tidak menjadi faktor penentu pemilihan jenis makanan kecuali bagi
konsumen yang sangat memperhatikan segi kesehatan dan berat badan.
 Higiene dan Sanitasi
Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan
melindungi kebersihan subjeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih
dengan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring dan
melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk
melindungi kebutuhan makanan secara keseluruhan dan sebagainya. Sanitasi
adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan
lingkungan dari subjeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk
keperluan mencuci tangan, menyediakan tempat sampah untuk mewaspadai
sampah agar tidak dibuang sembarangan (Depkes RI 2001).
Penggunaan

peralatan

juga

belum

memenuhi

syarat kesehatan.

Kebanyakan penjual makanan jajanan mempunyai peralatan terbatas untuk
berbagai pemakaian dan belum menggunakan sabun untuk mencuci peralatan
yang kotor. Karena peralatan yang digunakan umumnya terbuat dari bambu dan
kayu, maka cenderung menjadi sarang pertumbuhan mikroba. Piring, gelas,
sendok sering dilap dengan kain yang basah dan kotor karena keterbatasan
jumlahnya. Lalat dan debu yang berasal dari sampah yang dibiarkan berceceran
di lantai waktu persiapan, pengolahan, maupun di lokasi berjualan semakin
memperparah keadaan (Fardiaz dan Fardiaz 1994).
Salah satu masalah keamanan pangan yang sering dijumpai adalah
praktek higiene dan sanitasi yang masih kurang sehingga bahaya mikrobiologi
sangat mungkin berada di produk pangan. Bahaya biologi (mikroba) pada
pangan perlu mendapat perhatian karena jenis bahaya ini yang sering menjadi
agen penyebab kasus keracunan pangan. E.coli merupakan bakteri patogen

12

yang sering menyebabkan keracunan pangan dan juga menjadi salah satu
mikroba indikator sanitasi. Sedangkan S.aureus merupakan bakteri yang biasa
menghuni hidung, mulut, tenggorokan, maupun kulit. Keberadaan E.coli pada
pangan dapat menunjukkan praktek sanitasi lingkungan yang buruk sedangkan
adanya S. aureus mengidentifikasi praktek higiene yang kurang (Andarwulan,
Madanijah, & Zulaikhah 2009).
 Penanganan dan Penyimpanan Pangan
Bahan pangan memerlukan tempat penyimpanan khusus yang dibedakan
menjadi dua yaitu tempat penyimpanan bahan makanan kering dan bahan
makanan segar. Tempat penyimpanan bahan makanan kering harus selalu
bersih, tertata dengan baik, tidak dijangkau oleh serangga dan tikus, sirkulasi
udara harus baik, diberi penerangan yang cukup, jarak rak terbawah dengan
lantai

10 cm. Sedangkan untuk tempat penyimpanan bahan makanan segar

disimpan di dalam ruang pendingin, refrigerator ataupun freezer dengan suhu
tertentu dan suhu harus selalu diawasi (Subandriyo 1994).
Menggunakan air yang tidak berwarna dan tidak berbau. Air harus bebas
mikroba dan bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan seseorang.
Memilih bahan baku yang aman yaitu pangan harus segar dan utuh, jangan
menggunakan bahan pangan setelah tanggal kadaluarsanya. Mencuci sayuran
dan buah-buahan sebelum disajikan atau digunakan serta membuang bagian
yang busuk atau memar (Nuraida et al 2009).
 Sarana dan Fasilitas
Praktek keamanan PJAS salah satu diantaranya adalah sarana dan
fasilitas. Berdasarkan Kepmenkes No. 942/Menkes/SK/VII/2003 pada pasal 12
menyatakan bahwa pangan jajanan yang dijajakan harus memiliki konstruksi
sarana yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat melindungi pangan dari
pencemaran. Konstruksi sarana penjaja harus memenuhi persyaratan yaitu
antara lain: mudah dibersihkan dan tersedia tempat air bersih, penyimpanan
bahan makanan, penyimpanan makanan jadi/siap disajikan, penyimpanan
peralatan, tempat cuci (alat, tangan, bahan makanan), serta tempat sampah.
Fasilitas sanitasi dalam kantin maupun penjaja PJAS mempunyai
persyaratan yaitu : (1) Tersedia bak cuci piring dan peralatan dengan air mengalir
serta rak pengering; (2) Tersedia wastafel dengan sabun/detergen dan lap bersih
atau tissu di tempat makan dan tempat pengolahan/persiapan makan; (3)
Tersedia suplai air bersih yan cukup, baik untuk kebutuhan pengolahan maupun

13

untuk kebutuhan pencucian dan pembersihan; (4) Tersedia alat cuci/pembersih
yang terawat baik seperti sapu lidi, sapu ijuk, selang air, kain lap, sikat, kain pel,
dan bahan pembersih sepeti sabun/detergen dan bahan sanitasi. Perlengkapan
kerja karyawan kantin/penjaja PJAS harus disediakan antara lain baju kerja,
tutup kepala, dan celemek berwarna terang, serta lap bersih. Jika tidak
memungkinkan menggunakan tutup kepala, rambut harus tertata rapi dengan
dipotong pendek dan diikat (Nuraida et al 2009).
 Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan
sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi khas makanan,
mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan
ke dalam makanan dengan maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada
pembuatan, pengolahan, penyimpanan atau pengangkutan makanan yang
bertujuan untuk menghasilkan suatu komponen makanan atau mempengaruhi
sifat khas makanan (Depkes RI 2001).
Penggunaan BTP dilakukan bila betul-betul diperlukan dalam pengolahan
makanan dan tidak dibenarkan untuk tujuan menyembunyikan dari cara
pengolahan yang tidak baik atau mengelabui konsumen, misalnya menutupi
mutu bahan baku yang kurang baik. Pengaturan dan pengawasan BTP
dimaksudkan agar hanya bahan yang diizinkan saja yang digunakan pada
pengolahan makanan, dimana bahan tersebut betul-betul diperlukan untuk
pengolahan makanan yang bersangkutan, mutunya harus memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dan jumlahnya sesuai dengan cara produksi yang baik dan tidak
melebihi batas maksimum yang diizinkan (Depkes RI 2001).
Bahan tambahan pangan yang sering digunakan dalam makanan jajanan:
1. Pewarna
Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau
memberi warna pada makanan. Penambahan pewarna pada makanan
dimaksud untuk memperbaiki warna makanan yang berubah atau menjadi
pucat selama proses pengolahan atau memberi warna pada makanan yang
tidak berwarna agar kelihatan lebih menarik.
2. Pemanis
Pemanis

buatan

adalah

bahan

tambahan

makanan

yang

dapat

menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak
mempunyai nilai gizi (Winarno 1997). Biasanya digunakan pada makanan

14

yang ditujukan pada penderita diabetes mellitus atau makanan diit agar
badan langsing. Pemanis buatan yang paling umum digunakan dalam
pengolahan makanan jajanan umumnya adalah siklamat dan sakarin yang
mempunyai tingkat kemanisan 300 kali gula alami.
3. Pengawet
Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah dan
menghambat fermentasi, pengasam dan pengurai lain terhadap makanan
yang disebabkan oleh organisme (Winarno 1997). Umumnya, dikenal
dipasaran dengan sebutan anti basi.
4. Penyedap rasa
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/1988 dan
diperbaiki menjadi No. 1168/Menkes/Per/1999 tentang Bahan Tambahan
Pangan, penyedap rasa dan aroma, dan penguat rasa didefinisikan sebagai
bahan tambahan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas
rasa dan aroma. Jenis bahan penyedap yaitu penyedap alami terdiri dari
bumbu alami, herbal, dan daun, misalnya esensial dan turunannya,
oleoresin, isolate penyedap, penyedap dari sari buah, ekstra tanaman dan
hewan. Sedangkan penyedap sintesis merupakan komponen atau zat yang
dibuat menyerupai penyedap alami (Cahyadi 2008).
Dampak penggunaan BTP selama ini kurang dipahami oleh para
produsen maupun konsumen. Dampak dari kesalahan dosis maupun kesalahan
pemilihan jenis bahan tambahan memang tidak langsung dirasakan. Dampak ini
baru terasa beberapa waktu kemudian, setelah terjadi akumulasi dalam tubuh.
Oleh karena itu, memberi peringatan kepada masyarakat tentang risiko dan
manfaat BTP merupakan hal yang sangat penting dan harus dilakukan
(Saparinto & Diana 2006).
Menurut Judarwanto (2008), makanan jajanan menyumbang asupan
energi bagi anak sekolah 36%, protein 29% dan zat besi 52%, namun masalah
keamanan pangan jajanan baik dari segi mikrobiologi maupun penggunaan
bahan tambahan pangan (BTP) masih sangat penting untuk diperhatikan, yaitu
dengan menjamin konsumen memperoleh pangan yang aman untuk kesehatan.
Dampak dari kurangnya perhatian terhadap keamanan pangan antara lain
karacunan pangan karena proses penyiapan dan penyajian yang tidak higiene,
risiko berbagai penyakit karena penggunaan bahan tambahan pangan (BTP)
yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan.

15

Pada tahun 2005, Badan POM RI melakukan pengujian terhadap 861
makanan jajanan anak sekolah di 195 sekolah dasar di 18 kota, seperti Jakarta,
Surabaya, Semarang, Bandar Lampung, Denpasar, dan Padang. Hasil uji
menunjukkan bahwa 39.9% (344 makanan jajanan) tidak memenuhi syarat
keamanan pangan. Misalnya, es sirup atau buah (48.2%) dan minuman ringan
(62.5%) yang banyak dikonsumsi anak-anak mengandung bahan berbahaya dan
tercemar bakteri patogen. Jenis lain yang tidak memenuhi syarat adalah saus
atau sambal (61.5%) serta kerupuk (56.3%). Dari total makanan jajanan tersebut,
10.5% mengandung pewarna yang dilarang, yaitu rhodamin B, methanil yellow,
dan amaranth (Rachmawati 2005).
Secara umum, jajanan yang dijual pedagang kaki lima di SD kualitasnya
sangat memprihatinkan bila ditinjau dari aspek kesehatan. Data Badan POM
tahun 2010 menunjukkan adanya jajanan yang tidak memenuhi syarat dengan
ditemukannya dari 2.984 sampel yang diuji, 45% diantaranya tidak memenuhi
syarat karena mengandung BTP yang dilarang seperti boraks, formalin, rhodamin
B, methanol yellow atau BTP yang diperbolehkan seperti benzoat, sakarin, dan
siklamat namun penggunaannya melebihi batas, serta ada yang tidak memenuhi
uji cemaran mikroba karena mengandung Escherichia coli. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan rendahnya perlindungan pada anak sekolah, padahal
mengonsumsi jajanan saat bersekolah sudah menjadi aktivitas rutin mereka
(Permata 2010).

16

KERANGKA PEMIKIRAN
Pangan adalah kebutuhan pokok manusia yang diperlukan setiap saat
dan harus ditangani dan dikelola dengan baik dan benar agar bermanfaat bagi
tubuh. Namun, apabila penanganan dan pengelolaannya tidak baik dan benar
maka pangan tersebut tidak terjamin dalam hal aspek gizi dan keamanannya.
Pangan tersebut jika dikonsumsi manusia dapat menyebabkan penyakit akut
maupun kronis yang pada akhirnya dapat mempengaruhi status gizi dan
kesehatan seseorang. Keamanan pangan jajanan anak sekolah (PJAS) dapat
dipengaruhi oleh beberapa variabel yang menyebabkan risiko ketidakamanan,
yaitu karakteristik penjaja, lingkungan dan pangan.
Karakteristik penjaja merupakan variabel yang membedakan antara
masing-masing penjaja. Penjaja PJAS berperan penting dalam penyediaan
makanan jajanan yang sehat dan bergizi serta terjamin keamanannya.
Pengetahuan dan sikap penjaja PJAS sangat mempengaruhi tindakannya dalam
melakukan pengolahan. Pengetahuan tentang suatu hal yang positif akan
menyebabkan

orang

tersebut

mempunyai

sifat

yang

positif,

kemudian

mempengaruhi niatnya untuk ikut serta dalam suatu kegiatan yang akan
diwujudkan dalam suatu praktek. Dengan pengetahuan maka penjaja lebih
mengetahui bagaimana praktek yang sebaiknya dilakukan dalam keamanan
PJAS. Oleh karena itu, pengetahuan, sikap dan praktek penjaja mengenai gizi
dan keamanan pangan sangat menentukan keamanan pangan jajanan yang
dijual.
Karakteristik lingkungan sekolah yang meliputi sarana dan fasilitas serta
kondisi kantin yang terdapat di sekitar sekolah akan menggambarkan keamanan
pangan jajanan. Lingkungan yang kotor dan berdebu akan mempengaruhi
kebersihan dari makanan sehingga makanan yang dijual tidak terjamin akan
keamanannya. Sedangkan risiko ketidakamanan dari pangan didasarkan pada
jenis pangan dan register pangan jajanan yang dijual.
Salah satu upaya mengatasi masalah keamanan pangan jajanan yaitu
pemberian intervensi berupa penyuluhan dan pendampingan gizi. Tujuan dari
intervensi adalah untuk meningkatkan pengetahuan gizi dan keamanan pangan
PJAS, sehingga terbentuk model upaya mengatasi masalah keamanan pangan.

17

Karakteristik Penjaja PJAS
 Umur
 Jenis kelamin
 Pendapatan
 Pendidikan
 Sarana penjualan

Pengetahuan, sikap dan praktek penjaja
akan gizi dan keamanan pangan

Karakteristik Lingkungan
 Sarana dan fasilitas
 Kondisi kantin

Peraturan sekolah dan peraturan
Diknas mengenai PJAS

Keamanan Pangan Jajanan

Intervensi

Pangan:
 Jenis pangan
 Register pangan

Penyuluhan dan Pendampingan Gizi

Peningkatan pengetahuan gizi
dan keamanan pangan PJAS

Model Upaya Mengatasi
Keamanan Pangan
Keterangan :
variabel yang diteliti
variabel yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pemikiran model upaya mengatasi keamanan pangan

18

METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu
Penelitian dilakukan dalam dua tahapan yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian lanjutan. Desain penelitian pendahuluan adalah cross sectional study
menggunakan sebagian data dari program Ipteks bagi Wilayah (I bW) dengan
judul “Pemberdayaan Masyarakat melalui Peningkatan Kapasitas Sekolah Dasar
Menuju Perilaku Gizi Seimbang di Kota Bogor” (Dwiriani, Damayanthi, Kustiyah,
dan Briawan 2011). Penelitian dilakukan di 10 sekolah dasar di Kota Bogor yaitu
empat Sekolah Dasar Negeri (SDN), empat Sekolah Dasar Swasta (SDS), dan
dua Madrasah Ibtidaiyah (MI). Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara
purposive sampling dengan pertimbangan: (1) seluruh SD tersebut merupakan
SD yang berada di Kota Bogor, (2) SD tersebut telah mewakili SD yang berada di
Kota Bogor dengan adanya SDN favorit, SDS favorit dan MI. Tujuan penelitian
pendahuluan adalah untuk melihat kondisi dan keragaan PJAS yang berisiko
terhadap ketidakamanan pangan dan untuk menetapkan intervensi yang akan
dilakukan pada penelitian lanjutan.
Penelitian lanjutan menggunakan desain pra experimental study dengan
one group pretest-posttest design yaitu desain penelitian ini tidak memiliki
kelompok kontrol (pembanding) (Riyanto 2011). Dilakukan pada sekolah dasar
terpilih pada penelitian pendahuluan berdasarkan analisis risiko ketidakamanan
pangan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember
2011.
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh
Contoh dalam penelitian pendahuluan adalah penjaja PJAS (kantin dan
luar sekolah) di sepuluh sekolah dasar di Kota Bogor yang berjumlah 81 orang,
sedangkan pada penelitian lanjutan contoh adalah penjaja PJAS di sekolah
terpilih (SDN D) yang berjumlah sembilan orang. Penjaja PJAS adalah penjaja di
lingkungan sekolah yang berjualan sepanjang hari yang lokasinya tetap di suatu
tempat baik di kantin sekolah maupun lingkungan luar sekolah.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara langsung dengan penjaja
PJAS menggunakan kuesioner. Data primer yang dikumpulkan yaitu karakteristik
penjaja PJAS meliputi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, tempat
berjualan, lama berusaha (jam/hari dan tahun), pendapatan, dan sarana

19

penjualan. Profil PJAS meliputi jenis pangan dan register pangan jajanan yang
dijual. Data mengenai lingkungan penjaja PJAS dilihat berdasarkan observasi
langsung. Pengetahuan, sikap dan praktek mengenai gizi dan keamanan pangan
dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum intervensi (pretest) dan setelah
intervensi (posttest). Sedangkan jenis data sekunder diperoleh dari sekolah
meliputi profil umum sekolah dan fasilitas yang tersedia. Secara rinci, jenis dan
cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
No

Variabel

Cara Pengumpulan

Data Primer
1 Karekteristik Penjaja PJAS
- Umur
- Jenis kelamin
- Pendidikan
- Pekerjaan
- Tempat berjualan
- Lama berusaha (jam/hari dan tahun)
- Pendapatan
- Sarana penjualan
2 Profil PJAS
- Jenis pangan
- Register
3 Lingkungan penjaja PJAS
4 Pengetahuan dan sikap terhadap gizi dan
keamanan pangan
5

Praktek keamanan pangan

Wawancara menggunakan
kuesioner

Observasi langsung
Observasi langsung
Wawancara menggunakan
kuesioner
(pretest dan posttest)
Wawancara menggunakan
kuesioner
(pretest dan posttest)

Data Sekunder
1 Profil sekolah dan fasilitas

Arsip data sekolah

Analisis risiko ketidakamanan pangan penelitian pendahuluan didasarkan
pada variabel yang mempengaruhi keamanan pangan jajanan anak sekolah yaitu
penjaja, pangan dan lingkungan. Hasil yang diperoleh kemudian dirumuskan
sehingga terbentuk model upaya mengatasi masalah keamanan pangan melalui
pemberian intervensi. Intervensi yang diberikan pada SDN D adalah penyuluhan
gizi dan pendampingan kepada seluruh penjaja PJAS. Para penjaja PJAS
dikumpulkan dalam satu ruangan kelas dan sebelum dilakukan penyuluhan gizi
terlebih

dahulu

melakukan

pretest

menggunakan

kuesioner

terhadap

pengetahuan, sikap dan praktek keamanan pangan penjaja PJAS. Penyuluhan
gizi dilakukan satu kali selama 1 jam dengan materi berupa syarat makanan
sehat, bahaya keamanan pangan dan cara pencegahan, syarat penjaja dalam
melakukan kegiatan pelayanan penanganan pangan jajanan, label pangan dan

20

penggunaan minyak goreng. Setelah penyuluhan gizi, dilakukan pendampingan
selama dua minggu dengan pendekatan secara personal kepada penjaja PJAS.
Materi pendampingan berupa kebersihan pakaian, alat dan tempat penjaja dalam
menjual makanan, menghindari merokok dekat dengan makanan, menutup
makanan agar terhindar dari debu dan lalat. Tahap akhir adalah melakukan
wawancara

kembali

menggunakan

kuesioner

untuk

melihat

perubahan

pengetahuan, sikap dan keamanan pangan penjaja setelah intervensi (posttest).
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif dan statistika
dengan menggunakan program Microsoft Excel dan Statistical Program for Social
Science (SPSS) version 16.0 for windows. Proses pengolahan meliputi editing,
coding, entry, cleaning dan analisis.
Data karakteristik penjaja PJAS seperti jenis kelamin dibedakan menjadi
laki-laki dan perempuan. Umur dikelompokkan menjadi dewasa awal (18-40
tahun), dewasa menengah (41-65 tahun) dan dewasa akhir (>65 tahun)
berdasarkan Papalia & Olds (1986). Tingkat pendidikan dikelompokkan menjadi
tidak sekolah (TS), tidak tamat SD, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Data
pekerjaan dikategorikan sebagai pekerjaan utama dan sampingan. Data
pendapatan didasarkan pada BPS (2008) dengan pendapatan perkapita kurang
dari Rp 176.216,00 termasuk pada kategori miskin, sedangkan lebih dari Rp
176.216,00 termasuk pada kategori tidak miskin.
Pengetahuan gizi, sikap serta praktek keamanan pangan penjaja PJAS
tentang gizi dan keamanan pangan dinilai berdasarkan jumlah benar terhadap
pertanyaan yang diberikan, kemudian diskor dan dikelompokkan sesuai kategori
yang telah ditetapkan. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan penjaja
PJAS diukur dengan 20 pertanyaan. Jawaban yang diperoleh kemudian diskor 1
jika jawaban benar dan 0 jika jawaban salah, sehingga skor pengetahuan gizi
dan keamanan pangan berkisar 0-20. Sikap diukur dari jumlah penjaja PJAS
dalam setuju atau tidak setuju terhadap 20 pernyataan yang berkaitan dengan
aspek gizi dan keamanan pangan. Pernyataan yang diajukan terdiri dari
penyataan positif dan negatif. Skor pada pernyataan positif jika setuju adalah 1
dan tidak setuju adalah 0, sedangkan pada pernyataan negatif skor jika setuju
adalah 0 dan tidak setuju adalah 1. Praktek gizi dan keamanan pangan penjaja
PJAS diukur dengan pertanyaan yang menggunakan dua tingkatan skala
jawaban, yaitu Ya dan Tidak. Hasil yang diperoleh dari pengetahuan, sikap dan

21

praktek keamanan pangan dikategorikan menjadi baik, sedang, dan kurang
sebagai berikut (Khomsan 2000):
 Skor < 60%

: Kurang

 Skor 60-80% : Sedang
 Skor >80%

: Baik

Pengkategorian beberapa variabel disajikan secara rinci pada Tabel 2.
Tabel 2 Pengkategorian beberapa variabel penelitian
No
1.

Variabel
Karakteristik Penjaja
- Umur

- Jenis kelamin
- Pendidikan

- Pekerjaan
- Tempat berjualan
- Pelatihan/Training
terkait gizi
- Pendapatan

2.

3.

Pengetahuan
dan
sikap penjaja PJAS
terhadap gizi dan
keamanan
pangan
(pretest dan posttest)
Praktek
keamanan
PJAS (pretest dan
posttest)

Kategori

Skala
Pengukuran

Keterangan

 Dewasa awal (18-40 tahun)
 Dewasa menengah (41-65
tahun)
 Dewasa akhir (>65 tahun)
 Laki-laki
 Perempuan
 TS (0 tahun)
 Tidak tamat SD (1-5 tahun)
 SD (1-6 tahun)
 SMP (7-9 tahun)
 SMA (10-12 tahun)
 Perguruan Tinggi
 Utama
 Sampingan
 Di dalam sekolah
 Di luar sekolah
 Pernah
 Tidak pernah
 Miskin (< Rp 176.216,00 )
 Tidak miskin
( > Rp 176.216,00 )
 Kurang : skor < 60
 Sedang : skor 60-80
 Baik : >80

Ordinal

Papalia &
Olds (1986)

Ordinal

Persentase

Ordinal

Persentase

Ordinal

Persentase

Ordinal

Persentase

Ordinal

Persentase

Ordinal

BPS (2008)

Ordinal

Khomsan
(2000)

 Kurang : skor < 60
 Sedang : skor 60-80
 Baik : >80

Ordinal

Khomsan
(2000)

Analisis data dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS
version 16.0 for windows. Jenis analisis yang akan dilakukan adalah analisis
deskriptif, uji korelasi, serta uji beda. Uji korelasi yang digunakan yaitu korelasi
Pearson. Uji korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui hubungan anatara
pengetahuan gizi dan sikap gizi (pretest dan posttest), pengetahuan dan sikap
keamanan pangan (pretest dan posttest), pengetahuan gizi dan keamanan
pangan dengan praktek keamanan pangan (pretest dan posttest), serta sikap gizi

22

dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan (pretest dan posttest).
Sedangkan untuk mengetahui perbedaan pengetahuan gizi dan keamanan
pangan, sikap gizi dan keamanan pangan, serta praktek keamanan pangan
antara pretest dan posttest maka dilakukan uji beda Paired t-test.
Definisi Operasional
Model keamanan pangan adalah suatu cara atau langkah untuk mengatasi
masalah keamanan pangan PJAS.
Risiko ketidakamanan adalah faktor-faktor yang menyebabkan pangan jajanan
yang dijual tidak aman untuk dikonsumsi didasarkan pada penjaja
PJAS, pangan yang dijual dan lingkungan tempat berjualan.
PJAS (Pangan Jajanan Anak Sekolah) adalah makanan dan minuman yang
diolah di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap
santap yang dijual di sekitar lingkungan sekolah.
Penjaja PJAS adalah orang yang secara langsung atau tidak langsung
mengelola kantin dan berhubungan langsung dengan makanan dan
peralatan makanan mulai dari persiapan bahan pangan, pengolahan,
pengangkutan sampai penyajian.
Bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan
untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan yaitu bahan pewarna,
pengawet, penyedap rasa, anti kempal, pemucat dan penetral.
Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi
kebersihan diri.
Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi
kebersihan lingkungan yang meliputi menyediakan air bersih, tempat
sampah dan lain sebagainya.
Sarana dan fasilitas adalah sarana yang dimiliki oleh penjaja PJAS yang
digunakan untuk persiapan, pengolahan dan penyajian pangan.
Pengetahuan Gizi adalah pengetahuan tentan peran makanan dan zat gizi,
serta sumber-sumber zat gizi pada makanan.
Pengetahuan keamanan pangan adalah pengetahuan tentang bahaya-bahaya
yang ditimbulkan jika makanan terkena cemaran dan hal-hal yang
harus dilakukan untuk melindungi makanan agar aman.
Sikap

Gizi

adalah

perasaan,

keyakinan

dan

kecenderungan

untuk

bertindak/berperilaku dalam proses pengolahan PJAS dengan
memperhatikan kandungan gizi, sumber zat gizi, dan fungsi zat gizi.

23

Sikap Keamanan Pangan adalah perasaan, keyakinan dan kecenderungan
untuk bertindak/berperilaku dalam proses pengolahan PJAS yang
sesuai dengan aturan berlaku sehingga menghasilkan PJAS yang
aman.
Praktek keamanan pangan adalah tindakan penjaja PJAS untuk mencegah
pangan dari bahaya, yaitu meliputi higiene, penanganan dan
penyimpanan, serta sarana dan prasarana.

24

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Pendahuluan
Penelitian dilakukan dalam dua tahapan yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan dilakukan pada sepuluh sekolah
dasar, yaitu empat SDN, empat SDS, dan dua MI di Kota Bogor. Dari kesepuluh
sekolah dasar ini, tiga sekolah dasar tidak memilki penjaja dalam lingkungan
sekolah (kantin). Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk melihat kondisi
dan keragaan PJAS yang berisiko terhadap ketidakamanan pangan dan untuk
menetapkan intervensi yang akan dilakukan pada penelitian lanjutan. Gambaran
umum mengenai sarana dan prasarana yang dimiliki pada sepuluh sekolah dasar
dapat dilihat pada Lampiran 1.
Karakteristik Penjaja PJAS
Jenis Kelamin
Penjaja PJAS berjenis kelamin laki-laki sebesar 70.4% sedangkan
perempuan 29.6%. Penjaja PJAS laki-laki paling banyak di SDS B (10.0%) dan
MI B (10.0%), sedangkan penjaja PJAS perempuan paling banyak di SDS C
(5.0%). Sebaran penjaja PJAS menurut jenis kelamin secara rinci tersaji pada
Tabel 3.
Tabel 3 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan jenis kelamin
Sekolah
SDN A
SDN B
SDN C
SDN D
SDS A
SDS B
SDS C
SDS D
MI A
MI B
Total

Laki-laki
n
7
6
6
6
0
8
4
4
8
8
57

%
7.8
6.7
6.0
6.7
0.0
10.0
5.0
6.7
8.0
10.0
70.4

Jenis Kelamin
Perempuan
n
%
2
2.2
3
3.3
4
4.0
3
3.3
4
10.0
0
0.0
4
5.0
2
3.3
2
2.0
0
0.0
24
29.6

Total
n
9
9
10
9
4
8
8
6
10
8
81

%
11.1
11.1
12.3
11.1
4.9
9.9
9.9
7.4
12.3
9.9
100

Umur
Papalia & Olds (1986) membagi usia dewasa menjadi tiga kategori yaitu
dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya/ tengah (41-65 tahun), dan dewasa
akhir (>65 tahun). Bagian terbesar (64.2%) penjaja PJAS adalah usia dewasa
awal 18-40 tahun (Tabel 4). Kelompok usia ini merupakan kelompok usia dewasa

25

awal yang memiliki produktivitas tinggi. Usia penjaja PJAS yang lebih tinggi
kemungkinan mempunyai pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang lebih
baik daripada penjaja PJAS dengan usia muda karena pengalaman dalam
memperoleh akses informasi tentang gizi dan keamanan pangan lebih banyak,
baik dari televisi, radio, majalah/koran, petugas kesehatan maupun media
lainnya, namun juga memiliki kemungkinan kekurangan informasi tentang
pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang terbaru sehingga mempengaruhi
cara berpikir, bertindak dan emosional. Tabel 4 menunjukkan bahwa hampir
semua sekolah memiliki usia penjaja PJAS pada usia dewasa awal, kecuali SDN
C yang memiliki usia penjaja PJAS pada usia dewasa menengah lebih banyak
(6.0%).
Tabel 4 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan usia
Umur
Sekolah
SDN A
SDN B
SDN C
SDN D
SDS A
SDS B
SDS C
SDS D
MI A
MI B
Total

18-40 tahun
n
%
8
8.9
5
5.6
4
4.0
5
5.6
3
7.5
6
7.5
5
6.3
3
5.0
8
8.0
5
6.3
52
64.2

41-65 tahun
n
%
1
1.1
4
4.4
6
6.0
4
4.4
1
2.5
2
2.5
3
3.8
3
5.0
2
2.0
3
3.8
29
35.8

>65 tahun
n
%
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Total
n
9
9
10
9
4
8
8
6
10
8
81

11.1
11.1
12.3
11.1
4.9
9.9
9.9
7.4
12.3
9.9
100.0

Pendidikan
Tingkat

pendidikan

seseorang

akan

mempengaruhi

pengetahuan

seseorang.