Pengelolaan Pembibitan Karet (Hevea brassiliensis Muell Arg.) di Kebun Riset Balai Penelitian Sembawa, Sumatera Selatan

OPTIMASI PRODUKSI SELULASE BERBASIS AMPAS KELAPA
OLEH Trichoderma hamatum

PRIO SULISTYATNO

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Optimasi Produksi Selulase
Berbasis Ampas Kelapa oleh Trichoderma hamatum adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing. Seluruh data yang ada di dalam skripsi
ini adalah milik Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan
telah dipublikasikan dalam Prosiding Seminar Nasional Kimia Terapan Indonesia
2013. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.


Bogor, Desember 2014
Prio Sulistyatno
NIM G84090043

ABSTRAK
PRIO SULISTYATNO. Optimasi Produksi Selulase Berbasis ampas kelapa oleh
Trichoderma hamatum. Dibimbing oleh Suryani dan Teuku Beuna Bardant.
Produksi selulase berbasis ampas kelapa dilakukan dengan menggunakan
Trichoderma hamatum dan selulase yang dihasilkan untuk konversi Tandan
Kosong Kelapa Sawit (TKKS) menjadi bioetanol. Kondisi optimum fermentasi
Trichoderma hamatum berbasis ampas kelapa belum diketahui. Penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh kondisi optimum untuk produksi selulase melalui
fermentasi padat dengan variasi volume air, kadar urea, dan bobot Trichoderma
hamatum. Kondisi optimum produksi selulase yang diperoleh adalah dengan
variasi volume air 64.28%, kadar urea, dan bobot Trichoderma hamatum berturutturut 2.51%, 0.83%, dan 1.30% adalah 6.75 ± 1.31 FPU/gds. Kombinasi selulase
dari T. hamatum dan β-glukosidase komersial untuk produksi etanol dari TKKS
adalah 3.93% v/v, sedangkan dengan hanya β-glukosidase komersial adalah
0.47% v/v. Substitusi selulase komersial dengan enzim yang diproduksi dalam
penelitian ini menghasilkan bioetanol 0.07% v/v, sedangkan penggunaan selulase

yang diproduksi secara bersamaan dengan selulase komersial adalah 0.20% v/v.
Kadar bioetanol yang diperoleh menggunakan selulase dari T. hamatum lebih
rendah dibandingkan dengan menggunakan selulase komersial.
Kata kunci: Ampas kelapa, Bioetanol, Selulase, Tandan Kosong Kelapa Sawit
(TKKS), Trichoderma hamatum

ABSTRACT
PRIO SULISTYATNO. Optimization Cellulase Production Based Coconut Pulp
by Trichoderma hamatum. Supervised by Suryani and Teuku Beuna Bardant.
Cellulase production based coconut pulp is done by using Trichoderma
hamatum and cellulose produced for conversion of Oil Palm Empty Fruit Bunch
(EFB) into bioethanol. The optimum fermentation conditions of Trichoderma
hamatum based coconut pulp is unknown. This research aims to obtain optimum
conditions for cellulase production through solid fermentation with variations of
volume water, urea, and Trichoderma hamatum weight. The optimum conditions
for cellulose production is obtained by variation water volume 64.28%, urea, and
the weight of Trichoderma hamatum consecutive 2.51%, 0.83%, and 1.30% is
6.75 ± 1.31 FPU/gds. Combination of cellulose from Trichoderma hamatum and
commercial β-glucosidase for the production of ethanol from EFB is 3.93% v/v,
whereas the only commercial β-glucosidase is 0.47% v/v. Substitution with

commercial cellulose enzymes produced in this research produce bioethanol
0.07% v/v, while the use of cellulase produced simultaneously with commercial
cellulase is 0.20% v/v. Ethanol levels obtained using cellulose from Trichoderma
hamatum lower than using commercial cellulose.
Keywords: Coconut pulp, Bioethanol, Cellulase, Palm Empty Fruit Bunch (PEFB),
Trichoderma hamatum

OPTIMASI PRODUKSI SELULASE BERBASIS AMPAS KELAPA
OLEH Trichoderma hamatum

PRIO SULISTYATNO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Optimasi Produksi Selulase Berbasis Ampas Kelapa Oleh
Trichoderma hamatum
Nama
: Prio Sulistyatno
NIM
: G84090043

Disetujui oleh

Dr Suryani, SP, MSc
Pembimbing I

Teuku Beuna Bardant, ST, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh


Dr Ir I Made Artika, MAppSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segalah rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya.
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian di Pusat Kimia Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, LIPI-Serpong yang dilaksanakan di Laboratorium
Biokatalis BPTK LIPI, dari bulan Januari hingga Juni 2013.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr Suryani SP., MSc, ibu
Popi Asri Kurniatin SSi, Apt, MSi selaku dosen pembimbing utama dan bapak
Teuku Beuna Bardant ST., MSc selaku pembimbing lapangan yang telah
membimbing serta memberi saran dan kritik yang membangun. Ucapan terima
kasih penulis juga sampaikan kepada para peneliti, teknisi, staf, serta sesama
mahasiswa penelitian di Laboratorium Biokatalis BPTK LIPI. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua dan teman-teman Biokimia
atas dukungan yang selalu diberikan.

Semoga tulisan ini bermanfaat dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya
bidang biokimia serta memberikan kemaslahatan bagi masyarakat terutama untuk
pengembangan bioetanol sebagai alternatif sumber energi.

Bogor, Desember 2014
Prio Sulistyatno

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

METODE

2

Bahan

2

Alat

2

Prosedur

2


HASIL

5

Aktivitas Ekstrak Kasar Selulase

5

Simulasi Produksi Selulase dengan Metode RSM

6

Produksi Bioetanol pada kondisi optimum

8

PEMBAHASAN

8


Aktivitas Ekstrak Kasar Selulase

8

Simulasi Produksi Selulase dengan Metode RSM

9

Produksi Bioetanol pada Kondisi Optimum

11

SIMPULAN

12

SARAN

13


DAFTAR PUSTAKA

13

LAMPIRAN

15

RIWAYAT HIDUP

17

DAFTAR TABEL
1 Variasi penambahan enzim komersial (selulase, β-glukosidase), EAK

5

2 Aktivitas selulase yang diukur & perkiraan aktivitas selulase

5


3 Validasi persamaan empiris menggunakan RSM

8

DAFTAR GAMBAR
1 Kurva tiga dimensi hasil persamaan empiris

6

2 Titik optimum dari kurva tiga dimensi

7

3 Produksi etanol pada kondisi optimum

8

DAFTAR LAMPIRAN
1 Strategi penelitian optimasi media Trichoderma hamatum

15

2 Kadar gula sebelum fermentasi

16

3 Riwayat hidup

17

PENDAHULUAN
Bioetanol dapat diproduksi dari bahan yang mengandung glukosa, pati, dan
selulosa. Namun bahan yang mengandung glukosa dan pati digunakan juga
sebagai kebutuhan pangan sehingga menimbulkan kontradiksi bila diterapkan di
negara berkembang, contohnya Indonesia. Salah satu substrat yang dapat
digunakan untuk produksi bioetanol adalah selulosa. Selulosa merupakan
homopolimer yang tersusun dari subunit D-glukosa yang ditautkan satu sama lain
melalui ikatan β-(1,4) glikosida. Banyak peneliti mengungkapkan bahwa limbah
yang mengandung selulosa dapat digunakan sebagai sumber gula yang murah
dan mudah didapat untuk menggantikan bahan pati dalam proses fermentasi (Graf
dan Koehler, 2000 dalam Kamara et al 2007). Hal ini yang mendorong usaha
penggunaan bahan baku dari limbah pertanian (biomassa).
Salah satu limbah pertanian yang mengandung selulosa adalah tandan
kosong kelapa sawit (TKKS). Menurut Dea (2009), TKKS memiliki potensi yang
besar menjadi sumber biomassa selulosa dengan kelimpahan dan kandungan
selulosa tinggi, kandungan lignin relatif rendah serta sifatnya terbarukan. Menurut
Richana (2011) kandungan selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada TKKS secara
berturut-turut adalah 50.29%, 25.54%, dan 24.15%. Kandungan selulosa dan
hemiselulosa dalam TKKS berpotensi cukup besar untuk dikonversi menjadi
bioetanol (Alejandro et al 2007).
Produksi bioetanol melalui beberapa tahapan, yaitu biomassa lignoselulosa
dikonversi menjadi gula, kemudian gula yang diperoleh dikonversi menjadi etanol.
Produksi bioetanol pada tahap sakarifikasi membutuhkan enzim selulase untuk
memutuskan ikatan β-1,4-glukosidik di dalam selulosa. Produksi selulase
umumnya menggunakan fungi atau bakteri yang telah diisolasi. Fungi merupakan
mikroorganisme utama yang dapat memproduksi selulase. Fungi berfilamen,
seperti Trichoderma adalah penghasil selulase dan enzim kasar secara komersial.
Fungi-fungi tersebut sangat efisien dalam memproduksi selulase (Ikramul et al
2005).
Penelitian ini menggunakan ampas kelapa sebagai media tumbuh
Trichoderma hamatum. Ampas kelapa merupakan hasil samping dari ekstraksi
daging kelapa untuk mendapatkan santan. Selama ini ampas kelapa sebagian besar
dimanfaatkan untuk pakan ternak atau manfaat lain sebagai penurun kolesterol,
karena kandungan galaktomanan. Menurut Barlina (1999), komposisi kimia
ampas kelapa terdiri atas 4.11% protein, 30.58% serat kasar, 15.89% lemak,
74.69% karbohidrat, 4.65% kadar air, 0.66% kadar abu, 61% galaktomanan, 26%
manan, dan 13% selulosa. Potensi kelapa di Indonesia sangat besar. Hal ini
berdasarkan data produksi kelapa dalam negeri yang selalu mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun (Oil World 2006). Ampas kelapa potensial untuk
dijadikan sebagai bahan baku produksi selulase menggunakan Trichoderma
hamatum, karena ketersediannya yang cukup melimpah dan meningkatkan nilai
tambah ampas kelapa. Namun kondisi optimum fermentasi Trichoderma hamatum
pada ampas kelapa belum diketahui, sehingga penelitian ini perlu dilakukan untuk
menghasilkan selulase yang maksimal dan diaplikasikan dalam produksi bioetanol
dari bubur TKKS.

2
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kondisi optimum untuk
produksi selulase melalui fermentasi padat dengan variasi volume air, kadar urea
dan bobot Trichoderma hamatum. Kurva RSM digunakan untuk simulasi dalam
menentukan komposisi media tumbuh dan nutrisi yang tepat untuk T. hamatum
untuk menghasilkan selulase dengan aktivitas tinggi. Selulase yang diproduksi
dalam kondisi optimum dapat digunakan untuk hidrolisis TKKS untuk
menghasilkan glukosa yang dapat dikonversi menjadi bioetanol.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama enam bulan mulai bulan Januari sampai
bulan juni 2013. Tempat penelitian di Laboratorium Bidang Teknologi Proses dan
Katalisis (BTPK), Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah ampas kelapa yang diperoleh dari
pasar Pondok Labu, Jakarta Selatan. Bubur tandan kosong kelapa sawit (TKKS)
diperoleh dari Pusat Penelitian Kimia (P2K) LIPI, Serpong. Urea, nitrogen fosfat
kalium (NPK), plastik, Trichoderma hamatum yang berasal dari produk komersial
Trichowish (biofungisida) dari produsen Wish Indonesia, dan ragi (Saccaromyces
cereviciae) dari fermipan. Selain itu larutan asam sitrat, larutan Na-asetat 0.05 N,
Na2CO3 anhidrat, CuSO4.H2O, larutan Na- asetat 0.5 N pada pH 4.5 sampai 5,
natrium tiosulfat 0.1 N, reagen Luff Schoorl, larutan pati, aquades, kalium iodida
(KI), larutan kanji, larutan asam sulfat (H2SO4), asam klorida (HCl), Selulase
komersial (C-tech) dan β-glukosidase komersial (H-Tech) Novo Nordisk A/S
Bagesvaerd Denmark, serta Span 85 sebagai surfaktan.
Alat
Alat- alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, gelas
ukur, pipet 1 mL, pipet 2 mL, pipet 5 mL, pipet 10 mL, labu Erlenmeyer, bak
plastik, buret, corong, kertas saring Whatman no 1, penangas air, shaker, kain
saring, plastik, sudip, pengaduk, kertas indikator pH, tabung reaksi beserta raknya,
destilator, dan Density/Spesific Gravity Meter DA-640.
Prosedur
Pembuatan Media Trichoderma hamatum (Bardant TB et al 2013)
Ampas kelapa sebanyak 100 gram ditambahkan variasi kadar urea dengan
rentang 1% sampai 3%, Trichoderma hamatum 0.9% sampai 1.4%, serta air
63.64% sampai 68.28%. Rasio antara kadar urea dan NPK diatur sama yaitu 3:1.
Selanjutnya Trichoderma hamatum, urea dan NPK dilarutkan menggunakan
aquades, dicampurkan ke dalam ampas kelapa dan diaduk hingga merata.
Kemudian media tumbuh dimasukkan ke dalam kantong plastik transparan

3
berukuran 1 liter. Sampel tersebut akan membentuk lempengan dengan ketebalan
kurang lebih 1.5 cm. Kantong plastik dilubangi dengan diameter 3 mm dengan
jarak 1.5 x 1.5 cm antar lubang di sisi atas dan bawahnya untuk pertukaran udara
di dalam plastik. Media tanam diletakkan dan diatur dalam ruang kedap cahaya
dalam rak-rak, dengan jarak antar rak 7 cm. Fermentasi padat dilakukan pada suhu
30-32oC dalam media berkantung plastik selama 5 hari.
Penyiapan Ekstrak Kasar Selulase
Setelah inkubasi selama 5 hari, kemudian sampel tersebut ditimbang. Hasil
fermentasi padat kemudian diekstraksi dengan rasio air berbanding hasil
fermentasi 1:1. Ekstraksi diawali dengan pengadukan menggunakan sudip,
dilanjutkan dengan penyaringan dua tahap, yaitu penyaringan menggunakan kain
saring dilanjutkan menggunakan kertas saring.
Penentuan Aktivitas Ekstrak Kasar Selulase (SNI 01-2891-1992)
Ekstrak yang telah disaring diencerkan sebanyak empat konsentrasi
menggunakan larutan Na-asetat 0.05 N. Kertas saring Whatman No.1 yang
digunakan berukuran 3x6 cm dimasukan ke dasar tabung reaksi dan dibasahi 1
mL larutan Na-asetat. Ekstrak yang telah diencerkan dipipet sebanyak 5 mL,
dimasukan ke dalam tabung reaksi yang berisi kertas Whatman No.1, kemudian
dipanaskan di dalam water bath dengan suhu 50oC selama 1 jam. Setelah 1 jam,
sampel diangkat dan didinginkan. Aktivitas enzim dinyatakan dalam FPU/gds
(Filter Paper Unit/ gram dry solid) untuk memudahkan dalam membandingkan
(Dhillon et al 2011).
Ekstrak enzim yang telah diberi perlakuan kertas Whatman No 1, diukur
kadar gula pereduksinya menggunakan metode Luff Schoorl (SNI 01-2891-1992).
Kadar gula pereduksi awal dalam ekstrak enzim diukur dengan menambahkan 2
mL ekstrak yang tidak diberi perlakuan kertas Whatman No. 1 ke dalam labu
Erlenmeyer berisi 5 mL reagen Luff Schoorl. Selanjutnya sampel dipanaskan
pada penangas air hingga mendidih, didiamkan selama 3 menit, lalu dinginkan
pada bak plastik berisi air. Setelah sampel dingin, ditambahkan larutan H2SO4
encer secara perlahan hingga warna sampel menjadi bening (±3 mL) dan
gelembung hilang yang timbul akibat penambahan H2SO4 tersebut. Kemudian
ditambahkan 0.5 mL KI kedalam sampel, kocok hingga merata dan sampel akan
berwarna coklat. Setelah itu dititrasi dengan menggunakan natrium tiosulfat
sebagai titran. Sampel tersebut kemudian ditambahkan 1 sampai 2 tetes kanji,
kemudian dititrasi kembali hingga tidak berubah lagi warnanya (warna ungu
menghilang). Volume titran yang terpakai dihitung. Tahapan diatas diulangi
ekmbali menggunakan ekstrak enzim yang telah diberi perlakuan kertas Whatman
No. 1 menggunakan sampel yang telah dipanaskan. Hasil kadar glukosa
digunakan untuk menentukan nilai aktivitas selulase dalam satuan FPU (Filter
Paper Unit).
Kurva standar gula pereduksi dibuat dengan cara glukosa ditimbang
sekitar 10 sampai 30 mg yang dilarutkan dalam 10 mL air. Larutan glukosa
dipipet ke dalam empat labu Erlenmeyer yang telah berisi 5 mL reagen Luff
Schoorl dengan volume masing-masing 1 mL, 2 mL, 3 mL dan 4 mL. Selanjutnya
dengan mengikuti prosedur yang sama dengan penentuan kadar gula pereduksi
ekstrak kasar enzim selulase.

4
Simulasi Optimasi Produksi Selulase dengan Kurva Response Surface
Methodology (RSM) Bradley (2007)
Kurva RSM dibentuk dengan menggunakan tiga variabel bebas, yaitu
bobot T. hamatum, kadar urea, dan volume air serta variabel respon berupa
aktivitas selulase. Keempat data tersebut diolah menggunakan program statistika
SPSS hingga diperoleh persamaan garis. Persamaan garis yang diperoleh
divisualisasikan menjadi kurva 3 dimensi dengan menggunakan program Mathcad
14. Selanjutnya penentuan titik pengujian dilakukan dengan menentukan titik
optimum di masing-masing kurva.
Produksi Bioetanol (Bardant TB et al 2012)
Produksi bioetanol pada kondisi optimum. Kondisi optimum fermentasi
selulase yang telah ditentukan berdasarkan RSM digunakan untuk produksi
bioetanol. Kondisi optimum tersebut dilakukan pada skala 4 kg substrat. Tempat
inkubasi fermentasi padat menggunakan kardus yang dilapisi alumunium foil
bagian dalamnya. Enzim selulase yang diproduksi oleh T. hamatum pada media
berbasis ampas kelapa disebut enzim ampas kelapa (EAK). Variasi penambahan
enzim komersial berupa selulase dan β-glukosidase serta EAK dalam
memproduksi bioetanol disajikan pada Tabel 1. Ada empat kelompok dengan
variasi selulase dan β-glukosidase komersial dan EAK (Tabel 1). Enzim komersial
β–glukosidase dan span 85 digunakan pada keempat kelompok tersebut. Selulase
komersial digunakan pada kelompok 1 dan kelompok 4, sedangkan kelompok 3
dan kelompok 4 menggunakan EAK sebagai pengganti selulase komersial.
Produksi bioetanol melalui beberapa tahapan, yaitu dimulai dari proses
sakarifikasi, fermentasi, destilasi, dan pengukuran kadar etanol.
Sakarifikasi. Sebanyak ± 0.06804 gram Natrium asetat trihidrat ditimbang
dan dilarutkan ke dalam 50 mL aquades pada rentang nilai pH 4.5 sampai 5.0
dengan penambahan ± 2 tetes asam asetat glasial. Variasi penambahan enzim
komersial pada kelompok 1 dan 2 dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer yang
berisi larutan Na-asetat 0.5 M, sehingga volumenya 50 mL. Selanjutnya pada
kelompok 3 dan 4, enzim komersial dimasukkan ke dalam EAK sehingga volume
totalnya adalah 50 mL. Seluruh variasi tersebut ditambahkan 0.5 mL span 85.
Kemudian ditambahan 10 gram bubur TKKS sedikit demi sedikit hingga
semuanya larut dalam labu Erlenmeyer. Sampel didiamkan sambil diaduk dengan
menggunakan magnetic stirer selama 48 jam. Setelah 48 jam, sampel diukur kadar
gulanya dengan metode Luff Schoorl.
Fermentasi. Botol fermentasi disiapkan dan dimasukan 10 gram ragi
(S. cereviciae), urea, dan NPK (1% volume ekstrak). Sampel yang sudah diaduk
selama 48 jam dimasukan ke dalam botol fermentasi, kemudian difermentasi
selama 48 jam dalam keadaan tertutup (anaerob) pada suhu 28oC.
Destilasi. Sampel yang sudah difermentasi dimasukkan ke dalam labu ukur
50 mL (± volume dicatat). Sampel yang telah diukur dimasukkan kedalam tabung
destilasi dan labu ukur dibilas dengan 50 mL aquades. Selanjutnya tabung berisi
sampel dipasang dan destilator dihidupkan. Hasil destilat ditampung
menggunakan labu ukur 50 mL sampai tanda batas, kemudian destilator dimatikan.
Pengukuran Kadar Etanol. Sebelum diukur kadar etanol, hasil destilat
diambil dengan menggunakan syringe terlebih dahulu dan dimasukkan ke dalam

5
botol kaca untuk selanjutnya diukur menggunakan alat Density/Spesific Gravity
Meter DA-640.
Tabel 1 Variasi penambahan enzim komersial (selulase, β-glukosidase) dan EAK
Kelompok

Selulase
komersial
(mL)

β-glukosidase
Komersial
(mL)

Na-asetat
0.5M (pH 4.5-5)
(mL)

EAK
(mL)

Span 85
(mL)

1
2
3
4

0.5
0.5

0.5
0.5
0.5
0.5

48.5
49
-

49
48.5

0.5
0.5
0.5
0.5

Keterangan : EAK adalah Enzim selulase yang diproduksi oleh T.hamatum pada media
berbasis ampas kelapa.

HASIL
Aktivitas Ekstrak Kasar Selulase
Aktivitas ekstrak kasar selulase dilakukan berdasarkan variasi volume air
(%), kadar urea (% b/b), dan bobot T. hamatum (% b/b). Aktivitas selulase yang
dihasilkan dan perkiraan aktivitas selulase disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Aktivitas selulase yang diukur dan perkiraan aktivitas selulase
Variabel bebas
(Dalam 100 gram ampas kelapa)
air
Urea
T. hamatum
(%)
(% b/b)
(% b/b)
50
50
50
100
100
100
100
100
150
150
150
150
150
200
200
200
R2

0
2
4
0
2
4
4
6
0
2
2
4
6
2
4
6

1
3
2
3
2
1
5
3
2
1
5
3
2
3
2
5

Aktivitas selulase
FPU / gds
Hasil
Hasil
Ukur*
perkiraan*
0.25
0.26
0.37
1.43
1.81
1.27
1.42
1.80
3.68
3.64
2.14
3.70
3.73
4.62
5.40
6.16

0.02
0.08
0.17
1.24
1.65
1.26
1.39
1.88
2.94
2.87
2.17
3.19
2.87
4.32
4.32
4.50
0.97

6
*Keterangan : Hasil perkiraan adalah aktivitas selulase yang diperoleh dari persamaan empiris
yang telah diperoleh, sedangkan hasil ukur adalah aktivitas selulase yang
diperoleh dari hasil pengukuran di laboratorium.

Volume air mulai 50% sampai 200 %. Kadar urea dan bobot Trichoderma
hamatum secara berturut-turut mulai 0% sampai 6% b/b dan 1% sampai 5% b/b.
Volume air 50% terdapat 3 variasi kadar urea mulai 0%, 2%, 4% dan T. hamatum
mulai 1%, 2%, dan 3%. Volume air 100%, variasi urea mulai 0%, 2%, 4%, 6%
dan bobot T. hamatum mulai 1%, 2%, 3% dan 5%. Variasi urea mulai 0%, 2%,
4%, 6% dan bobot Trichoderma hamatum 1%, 2%, 3%, dan 5% pada kelompok
volume air 150%. Kelompok volume air 200% terdapat 3 variasi yaitu kadar urea
mulai 2%, 4%, 6% dan bobot Trichoderma hamatum 2%, 3%, dan 5%.
Aktivitas selulase hasil ukur akan dibandingkan dengan perkiraan aktivitas
selulase berdasarkan persamaan empiris. Hal ini dilakukan untuk memperoleh
persamaan empiris yang dapat memperkiraan aktivitas selulase hasil ukur.
Aktivitas selulase pada Tabel 2 terdapat nilai R2. Nilai R2 adalah besarnya
keragaman (informasi) di dalam variabel yang dapat diberikan oleh model regresi
yang didapatkan. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai 1. Apabila nilai R2 dikalikan
100%, maka hal ini menunjukkan persentase keragaman (informasi) didalam
variabel yang dapat diberikan oleh model regresi yang didapatkan. Semakin besar
nilai R2, semakin baik model regresi yang diperoleh.
Simulasi Produksi Selulase dengan Metode RSM
Produksi selulase menggunakan metode RSM untuk memperoleh kondisi
fermentasi optimum selulase melalui variasi bobot T. hamatum, volume air, dan
kadar urea. Bentuk kurva tiga dimensi disajikan dalam Gambar 1. Kurva tersebut
berbentuk cekung ke bawah dengan sumbu-x, -y, dan –z secara berturut-turut
adalah kadar urea, bobot T. hamatum, dan aktivitas selulase. Kurva tiga dimensi
ini akan menunjukkan titik optimum yang disajikan dalam Gambar 2. Titik
optimum digunakan sebagai titik validasi untuk mengetahui persamaan empiris
yang digunakan sudah valid atau belum. Volume air (%) dibedakan berdasarkan
perbedaan warna pada kurva tiga dimensi. Aktivitas selulase tertinggi diperoleh
pada volume air 63.25 %, sedangkan aktivitas selulase paling kecil pada volume
air 68.25% ( Gambar 1).

Aktivitas selulase (fpu/gds)

Bobot T.hamatum (% b/b)

Volume air (%) : kuning : 63.64 %, biru :
64.28 %, merah : 65.52 %, dan hijau :
68.25 %

Urea (% b/b)

Gambar 1 Kurva tiga dimensi hasil persamaan empiris

7
Persamaan empirisnya sebagai berikut :
FPU (air, urea, bibit) = –1.89 + 3.39 air - 0.07 urea + 0.35 bibit - 0.21 air2 - 0.02
urea2 - 0.12 bibit2 - 0.03 airurea + 0.00 airbibit + 0.10
ureabibit.

Bobot
T.hamatum
(% b/b)

titik
optimum

Urea (%w ampas)

Keterangan : Perbedaan warna pada Gambar 2 dan Gambar 3 berdasarkan volume air
Orange : 63.64% b/b, Biru : 64.28% b/b, Merah : 65.52% b/b, dan Hijau : 68.25%

Gambar 2 Titik optimum dari kurva tiga dimensi
Hasil validasi persamaan empiris menggunakan RSM disajikan pada
Tabel 3. Data yang disajikan dalam Tabel 3 menunjukkan dari empat data, hanya
tiga data yang memenuhi persamaan empiris. Persamaan empiris dianggap valid
jika aktivitas selulase hasil ukur lebih tinggi dibandingkan perkiraan aktivitas
selulase (Tabel 3). Berdasarkan hasil validasi RSM, persamaan empiris tersebut
dikatakan valid untuk rentang kondisi optimum pada kadar urea 1.03% b/b sampai
3.02% b/b, volume air 63.64% sampai 68.25%, dan bobot T. hamatum 0.94% b/b
sampai 1.36% b/b. Aktivitas selulase maksimum yang dapat dihasilkan adalah
sebesar 6.75±1.31 FPU/gds. Sedangkan pada volume air 65.52%, urea 2.02% b/b,
dan bobot T. hamatum 1.40% b/b tidak valid, karena perkiraan aktivitas selulase
lebih tinggi dibandingkan aktivitas selulase hasil ukur.

8
Tabel 3 Validasi persamaan empiris menggunakan RSM
Kondisi Fermentasi

Aktivitas selulase (FPU/gds)

Air
(%)
64.28

Urea
(% b/b)
2.51 ± 0.01

T.hamatum
(%b/b)
1.30 ± 0.00

Hasil Ukur

Hasil Perkiraan*

6.75 ± 1.31

3.71 ± 0.00

68.25

1.03 ± 0.03

0.94 ± 0.02

6.01 ± 0.86

4.61 ± 0.00

63.64

3.02 ± 0.00

1.36 ± 0.04

4.26 ± 0.01

3.56 ± 0.01

65.52

2.02 ± 0.00

1.40 ± 0.00

3.17 ± 0.62

4.03 ± 0.00

Keterangan : Hasil perkiraan berdasarkan Persamaan empirisnya sebagai berikut :
FPU (air, urea, bibit) = –1.89 + 3.39 air - 0.07 urea + 0.35 bibit - 0.21 air2 - 0.02 urea2 - 0.12 bibit2
0.02 airurea + 0.00 airbibit + 0.10 ureabibit.

Produksi Bioetanol pada kondisi optimum
Selulase yang diproduksi dalam kondisi optimum dapat digunakan untuk
hidrolisis TKKS dalam menghasilkan glukosa yang dapat dikonversi menjadi
bioetanol. Hasil produksi bioetanol pada Gambar 3 menunjukkan kadar etanol
berdasarkan volume yang dihasilkan oleh beberapa variasi penambahan enzim
(Tabel 1). Selulase dan β-glukosidase komersial (Kelompok 1) menghasilkan
etanol sebesar 3.93% v/v, sedangkan β-glukosidase komersial (Kelompok 2)
hanya mampu menghasilkan etanol 0.47% v/v. EAK dengan enzim β-glukosidase
komersial (Kelompok 3) menghasilkan etanol sebesar 0.07% v/v dan EAK dengan
selulase, β-glukosidase komersial (Kelompok 4) menghasilkan etanol sebesar
0.20% v/v.

Etanol (%v/v)

5
4
3
2

3.93

1
0
Kelompok 1

0.47

0.07

0.2

Kelompok 2

Kelompok 3

Kelompok 4

Keterangan: Kelompok 1: selulase dan β-glukosidase komersial, Kelompok 2: β-glukosidase
komersial, Kelompok 3: EAK dengan enzim β-glukosidase komersial, dan
Kelompok: 4 EAK dengan selulase β-glukosidase komersial.

Gambar 3 produksi etanol pada kondisi optimum

PEMBAHASAN
Aktivitas Ekstrak Kasar Selulase
Pertumbuhan Trichoderma hamatum pada proses fermentasi ditandai
dengan adanya miselium. Secara visual pertumbuhan miselium dapat dilihat
dengan adanya serabut-serabut menyerupai benang halus dan memadatnya ampas
kelapa. Setelah inkubasi yang dilakukan terjadi kehilangan bobot air. Hal ini

9
terjadi disebabkan oleh adanya perubahan senyawa kompleks menjadi senyawa
yang lebih sederhana selama inkubasi, yaitu ketika terjadi pelepasan molekul air.
Secara visual pelepasan molekul air dapat terlihat dengan adanya air pada plastik
yang digunakan sebagai wadah ampas kelapa selama masa inkubasi.
Variabel yang mempengaruhi respon adalah variabel bebas (Tabel 2).
Variabel bebas terdiri atas volume air, kadar urea dan bobot T. hamatum.
Keterkaitan ketiga variabel tersebut menghasilkan persamaan empiris yang
digunakan untuk menentukan aktifitas selulase. Selanjutnya aktivitas selulase
yang telah diukur dibandingkan dengan perkiraan aktivitas selulase berdasarkan
persamaan empiris (Gambar 1). Aktivitas selulase yang diperoleh lebih tinggi
dibandingkan dengan perkiraan aktivitas selulase. Hal ini menunjukkan bahwa
persamaan empiris tersebut dapat digunakan. Persamaan empiris memiliki nilai R2
sebesar 0.97 (Tabel 2) menunjukkan bahwa sebagian besar variasi yang dilakukan
memiliki keterkaitan dengan ketiga variabel bebas.
Aktivitas ekstrak kasar selulase tertinggi diperoleh pada volume air 200%,
kadar urea 6% b/b, dan bobot T. hamatum 5% b/b sebesar 6.16 FPU/gds. Aktivitas
selulase terkecil diperoleh pada volume air 50%, kadar urea 0% b/b, dan bobot
Trichoderma hamatum 1% b/b sebesar 0.25 FPU/gds. Kandungan protein dalam
ampas kelapa digunakan untuk pertumbuhan T. hamatum, sedangkan sumber
karbon digunakan untuk mencukupi kebutuhan sel biomassa dan produksi enzim
(Ray et al 2007). Ketersedian sumber karbon yang semakin banyak dalam media
tumbuh, akan meningkatkan selulase yang diekspresikan oleh T.hamatum. Namun,
sumber karbon yang berlebihan dalam media tumbuh menyebabkan pertumbuhan
sel terhambat, karena mengurangi jumlah O2 dalam media tersebut. Jumlah
oksigen yang kurang dari kebutuhan minimal akan menghambat pertumbuhan sel
dan sintesis produk. Hal ini akan menurunkan produksi selulase oleh Trichoderma
hamatum.
Simulasi Produksi Selulase dengan Metode RSM
Response surface Methodology (RSM) merupakan kumpulan teknik
matematis dan statistik yang digunakan untuk pemodelan dan analisis masalah
dalam suatu respon yang dipengaruhi oleh beberapa variabel dan tujuannya untuk
melakukan optimasi respon tersebut. RSM dapat digunakan untuk mengetahui
secara langsung hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Metode
ini telah banyak digunakan dalam mengoptimalkan sejumlah unit industri, proses
dan sistem (Albert 2009). Keuntungan utama dari RSM adalah berkurangnya
jumlah ekperimental yang diperlukan untuk memberikan informasi yang cukup
untuk hasil yang diterima secara statistik, sehingga metode ini lebih cepat dan
lebih murah untuk mengumpulkan hasil penelitian.
Kurva tiga dimensi disajikan pada Gambar 1. Kurva tersebut digunakan
untuk menentukan kondisi optimum media T. hamatum berbasis ampas kelapa
untuk memproduksi selulase. Kurva tiga dimensi tersebut terdiri atas sumbu-x, -y,
dan -z secara berturut-turut sebagai kadar urea, bobot T. hamatum (% b/b), dan
aktivitas selulase (FPU/gds). Selanjutnya dari kurva tersebut diperoleh titik
optimum pertumbuhan T. hamatum dalam memproduksi selulase.
Volume air berpengaruh terhadap aktivitas selulase yang dihasilkan
(FPU/gds). Semakin besar volume air yang digunakan, maka aktivitas selulase

10
yang dihasilkan semakin kecil. Volume air yang berlebihan menghambat
pertumbuhan T. hamatum dalam menghasilkan selulase. Volume air sangat
berpengaruh terhadap metabolisme jamur pada sistem fermentasi padat, jika
jumlah air tidak mencukupi dan tidak memungkinkan difusi yang baik dari zat
terlarut dan gas, maka metabolisme sel melambat atau dapat berhenti. Hal ini
disebabkan kurangannya substrat atau konsentrasi metabolit inhibitif di sel yang
terlalu tinggi (Gervais dan Molin 2003). Hal ini terkait penggunaan air untuk
metabolisme jamur pada sistem fermentasi padat untuk mencukupi difusi baik zat
terlarut dan gas, sehingga metabolisme sel aktif.
Penambahan kadar urea dan T. hamatum juga berpengaruh terhadap
aktivitas enzim yang dihasilkan. Urea digunakan sebagai sumber nitrogen
diperlukan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan dan sekresi enzim.
Penambahan urea memperlihatkan urea dapat meningkatkan aktivitas selulase.
Menurut Noferdiman et al (2008), pemberian urea mulai 0.5% sampai 1.5%
menyebabkan pertumbuhan yang baik pada jamur. Kondisi ini mengindikasikan
bahwa pemberian urea diperlukan untuk pertumbuhan jamur dalam pembentukan
sel baru.
Biomassa T. hamatum meningkat hingga titik tertentu, kemudian menurun
setelah titik tersebut pada aktivitas enzimnya (Gambar 1). Penambahan
Trichoderma hamatum secara berlebih berpengaruh terhadap aktivitas selulase.
Pertumbuhan dan peningkatan biomassa diatas titik tersebut sudah tidak optimal
lagi. Kemungkinan sudah terjadi akumulasi senyawa yang menyebabkan
penurunan kecepatan pertumbuhannya (Landecker 2000). Kondisi ini dapat
membatasi atau menghambat pertumbuhan jamur T. hamatum secara maksimal.
Titik optimum yang disajikan pada Gambar 2 untuk memperjelas kurva
tiga dimensi pada Gambar 1. Volume air menunjukkan bahwa semakin besar
volume air yang digunakan, akan memperkecil aktivitas selulase yang dihasilkan
(Gambar 2). Penambahan urea semakin besar akan meningkatkan aktivitas
selulase yang dihasilkan, sedangkan penambahan T. hamatum akan memperkecil
aktivitas enzim yang dihasilkan.
Selanjutnya dilakukan validasi terhadap persamaan empiris. Validasi
persamaan empiris dilakukan dengan membandingkan aktivitas selulase yang
diukur dibandingkan dengan perkiraan aktivitas selulase yang disajikan dalam
Tabel 3. Aktivitas selulase yang diukur mulai 3.17 sampai 6.75 FPU/gds,
sedangkan perkiraan aktivitas selulase mulai 3.56 sampai 4.61 FPU/gds.
Aktivitas selulase tertinggi hasil ukur adalah 6.75 ± 1.31 FPU/gds dengan
volume air 64.28%, kadar urea 2.51 ± 0.01% b/b, dan T. hamatum 1.30% b/b.
Hasil ini dibandingkan dengan perkiraan aktivitas selulase pada variasi yang sama
sebesar 3.71 FPU/gds. Aktivitas selulase hasil ukur lebih tinggi dibandingkan
perkiraan aktivitas selulase, sehingga persamaan empiris pada variasi tersebut
valid. Volume air 68.25%, urea 1.03 ± 0.03% b/b, dan T. hamatum 0.94 ± 0.01%
b/b, aktivitas selulase hasil ukur sebesar 6.01 ± 0.86 FPU/gds, sedangkan
perkiraan aktivitas selulase adalah 4.61 FPU/gds. Volume air 63.64%, urea 3.02%
b/b, dan T. hamatum 1.36 ± 0.04% b/b, aktivitas selulase hasil ukur sebesar 4.26 ±
0.01 FPU/gds dibandingkan perkiraan aktivitas selulase sebesar 3.56 ± 0.01
FPU/gds. Aktivitas selulase yang diukur lebih tinggi dibandingkan dengan
perkiraan persamaan empiris, sehingga data tersebut valid. Aktivitas selulase hasil
ukur pada volume air 65.52%, urea 2.02% b/b, dan T.hamatum 1.40% b/b sebesar

11
3.17 ± 0.62 FPU/gds, sedangkan perkiraan aktivitas selulase adalah 4.03 FPU/gds.
Variasi tersebut tidak valid disebabkan memiliki aktivitas selulase yang diukur
lebih kecil dibandingkan dengan perkiraaan aktivitas selulase.
Produksi Bioetanol pada Kondisi Optimum
Konversi substrat selulosa melalui hidrolisis enzimatik masih sulit diperoleh
dengan cepat. Selama hidrolisis terjadi penurunan hasil dan membutuhkan waktu
yang lama untuk hidrolisis dengan cepat (Bardant et al 2010). Penelitian
sebelumnya oleh Bardant et al (2012), aktivitas selulase sebesar 7 FPU/gds, akan
diperoleh hasil etanol sedikit diatas nol berdasarkan validasi yang telah dilakukan.
Untuk melihat kinerja enzim yang dihasilkan dalam media tumbuh ampas kelapa,
yaitu dengan menggunakan konsentrasi kecil kemudian dinaikkan sedikit dari
sebelumnya.
Kadar gula awal kelompok 2, 3, dan 4 pada tahap sakarifikasi secara
berturut-turut adalah 3.18 mg/ml, 3.25 mg/ml, dan 4.28 mg/ml (Lampiran 2).
Kadar gula awal pada kelompok tersebut akan menentukan jumlah etanol yang
dikonversi oleh Saccaromyces cereviciae. Kadar gula yang diperoleh setelah
tahap sakarifikasi pada kelompok 2, 3, dan 4 kemudian dikonversi menjadi etanol.
Jika gula awal yang diperoleh sangat kecil, maka hasil etanol yang diperoleh juga
akan sedikit. Hal ini disebabkan gula yang akan dikonversi menjadi etanol hanya
sedikit.
Selama proses fermentasi berlangsung, kadar gula semakin menurun, karena
gula hasil hidrolisis telah difermentasi menjadi etanol oleh S. cereviciae. Kadar
gula cenderung menurun disebabkan gula yang terdapat dalam media digunakan
sebagai sumber karbon bagi S. cereviciae untuk mensintesis energi melalui proses
fermentasi etanol. Besarnya kadar etanol yang dihasilkan berbanding terbalik
dengan sisa gula reduksi. Semakin tinggi kadar etanol yang diperoleh, maka
semakin sedikit gula reduksi yang tersisa. Hal ini disebabkan selama proses
fermentasi gula diubah menjadi etanol dengan bantuan ragi (Kristina et al 2012).
Etanol pada proses fermentasi alkohol terbentuk melalui beberapa jalur
metabolisme bergantung jenis mikroorganisme yang terlibat. S. cereviciae
menggunakan jalur Embden Meyernof Parnas (EMP) untuk membentuk etanol
(Rizani 2000). Mekanisme pembentukan etanol oleh khamir melalui jalur Embden
Meyerhof Parnas Pathways (EMP) atau glikolisis. Hasil EMP adalah memecah
glukosa menjadi 2 molekul piruvat. Setelah melalui tahap glikolisis, piruvat yang
terbentuk diubah menjadi asetaldehida dan CO2 oleh enzim piruvat dekarboksilase,
lalu diubah menjadi etanol oleh enzim alkohol dehidrogenase. Fermentasi
dilakukan secara anaerob oleh S. cereviciae yang merupakan khamir sangat baik
dalam produksi etanol. Setelah proses fermentasi berlangsung, dilanjutkan proses
destilasi. Destilasi merupakan proses penguapan dan pengembunan kembali, yaitu
untuk memisahkan campuran dua atau lebih zat cair ke dalam fraksi-fraksinya
berdasarkan titik didihnya. Titik didih etanol murni adalah 780C, sedangkan air
adalah 1000C (kondisi standar). Oleh karena itu, memanaskan larutan pada suhu
rentang 78-790C akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap.
Kelompok 1 yang terdiri atas selulase dan β-glukosidase komersial
(Tabel 1) diperoleh etanol sebesar 3.93% v/v, sedangkan pada kelompok 2 yang
menggunakan β-glukosidase komersial hanya menghasilkan etanol 0.47% v/v.

12
Hasil yang diperoleh kelompok 1 dibandingkan dengan kelompok 2, maka hasil
kelompok 1 lebih besar etanol yang diperoleh. Kinerja β-glukosidase komersial
hanya sebagai pendukung dari selulase komersial. Selulase komersial dan βglukosidase komersial harus digunakan bersamaan untuk menghasilkan kinerja
yang lebih baik dibandingkan hanya menggunakan salah satu enzim tersebut.
Selanjutnya, kelompok 1 dibandingkan dengan hasil kelompok 3 yang
terdiri atas EAK dan β-glukosidase komersial. Perbedaan antara kelompok 3
dengan kelompok 1 adalah kelompok 3 menggunakan EAK, sedangkan kelompok
1 menggunakan selulase komersial. Kelompok 3 diharapkan hasil etanolnya
mendekati kelompok 1 dengan mengganti selulase komersial dengan EAK. Hasil
etanol dari EAK dan β-glukosidase komersial 0.07% v/v. Hasil ini sangat kecil
jika dibandingkan dengan kelompok 1 yang mencapai 3.93% v/v. EAK belum
bisa menggantikan fungsi dari selulase komersial. Hasil penelitian yang diperoleh
oleh Epriyani (2013) menggunakan substrat berupa dedak dengan metode yang
sama dengan enzim produksi dari ampas kelapa, diperoleh hasil etanol sebesar
3.51% v/v.
Kelompok 4 yang terdiri atas EAK, selulase komersial dan β-glukosidase
komersial dibandingkan dengan kelompok 1. Jika EAK bersifat inert, maka hasil
antara kelompok 1 dengan kelompok 4 adalah sama. Namun, hasil etanol
kelompok 4 lebih kecil dibandingkan dengan kelompok 1, yaitu 0.20% v/v.
Penggunaan EAK dimaksudkan untuk menggantikan enzim komersial, namun
hasilnya belum bisa menggantikan enzim komersial.
Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor, diantaranya ketebalan biakan
skala 4 kg untuk menghasilkan EAK yang terlalu tebal sekitar 1.5 cm jika
dibandingkan dengan biakan skala 100 g dengan ketebalan sekitar 1 cm pada saat
mencari titik optimum T. hamatum. Ketebalan biakan berpengaruh terhadap aerasi
di dalam biakan, sehingga pertukaran oksigen yang digunakan untuk metabolisme
aerob dan membuang CO2, panas, uap air, serta komponen volatil yang dihasilkan
selama metabolisme berlangsung menjadi semakin sedikit. Selain itu skala kecil
kotak fermentasi yang digunakan adalah berasal dari plastik, sedangkan pada
skala besar menggunakan kardus yang dilapisi alumunium foil. Penggunaan
alumunium foil menyebabkan udara panas tertahan pada kotak tersebut, sehingga
meningkatkan suhu fermentasi. Meningkatnya suhu tersebut mengganggu
pertumbuhan T. hamatum dalam memproduksi EAK.

SIMPULAN
Kondisi optimum untuk produksi selulase oleh Trichoderma hamatum
adalah volume air 64.28%, kadar urea 2.51% b/b, bobot T. hamatum 1.30% b/b
dengan aktivitas selulase sebesar 6.75 ± 1.31 FPU/gds. Produksi bioetanol oleh
T. hamatum menggunakan enzim selulase yang dihasilkan pada media ampas
kelapa (EAK) dengan β-glukosidase komersial 0.07% v/v. Produksi bioetanol
menggunakan EAK dengan selulase dan β-glukosidase komersial 0.20% v/v.

13

SARAN
Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait parameter lain yang
mempengaruhi produksi ekstrak kasar selulase, yaitu kebutuhan nutrisi
Trichoderma hamatum dalam produksi selulase. Selain itu, modifikasi
fermentasinya pada media berbasis ampas kelapa oleh Trichoderma hamatum.

DAFTAR PUSTAKA
Albert. 2009. Studi penerapan Response Surface Methodology (RSM) dalam
proses pembuatan botol untuk peningkatan produktivitas produk botol di
CV. BOBOFOOD. [Skripsi]. Medan : Universitas Sumatera Utara.
Alejandro R et al. 2007. Bioresource Technology. 93(3): 554-559.
Adney B, J. Baker. 2008. Measure of Cellulase Activities Laboratory Analitical
Procedure (LAP). Technical Report NREL/TP-510-42628.
Bardant TB et al. 2010. Improvement of saccarification of empty fruit bunch and
Japanese cedar pulps with an amphiphilic lignin derivative. Mokuzai
Gakkaishi. 56(6):420-426.
Bardant TB, Tami I, Selviyanti. 2012. Study Response Surface Methodology
(RSM) on the effect of Span 85 in high substrate loading enzymatic
hydrolysis of palm oil EFB. The 2nd Korea-Indonesia Workshop &
International Symposium on Bioenergy from Biomass.(145-151).
Bardant et al. 2013. Optimasi produksi selulase dari Trichoderma hamatum dalam
media tanam berbasis ampas kelapa. Prosiding Seminar Nasional Kimia
Terapan Indonesia (SNKTI) . 4:66-72.
Barlina R. 1999. Pengembangan berbagai produk pangan dari daging buah kelapa
hibrida. Indonesia. Agricultural Research and Development Journal.Diakses
pada 13 April 2013 dari http:// google.com.
Bradley N. 2007. The responses surface methodology [Tesis]. South Bend :
Indiana University.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992. Cara Uji Makanan
dan Minuman.
Dea IA. 2009. Kajian awal biokenversi tandan kosong kelapa sawit (TKKS)
menjadi etanol melalui sakarifikasi dan fermentasi alkoholik. Bandung: ITB.
Dhillon GS et al. 2011. Value addition of agricultural wates for augmented
cellulose and xylanase production through solid state tray fermentation
employing mixed cultural of fungi. J.Indrcop. 34: 1160-1167.
Epriyani PL. 2013. Pemodelan Response Surface Methodology untuk penentuan
kondisi optimum fermentasi padat Trichoderma hamatum dalam produksi
selulase [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Graf A, Koehler T. 2000. Oregon cellulose-ethanol study. An evaluation of the
potential for ethanol production in Oregon using cellulose-based feedstock.
Oregon Office of Energy. Oregon.

14
Gervais P, Molin P. 2003. The role of water in solid state fermentation. Journal
biochemical engineering 13:85-101.
Ikramul Haq et al. 2005. Cotton saccharifying activity of cellulases produced
by co-culture of Aspergilus niger and Trichoderma viride. Res. J. Agric
& Boil.Sci.1: 241-245.
Kamara et al. 2007. Degradasi enzimatik selulosa dari batang pohon pisang
untuk produksi glukosa dengan bantuan aktivitas selulolitik
Trichoderma viride. [online]. Tersedia : http://pustaka. unpad. ac. id/wp.
content/uploads/ 2009/ 06/ lap akhir-litsar-dian-dkk.pdf [18 Mei 2014].
Kristina et al 2012. Alkaline pretreatment dan proses simultan skarifikasifermentasi untuk produksi etanol deri tandan kosong kelapa sawit. J
Tek Kim. 18(3):32-43.
Landecker EM. 2000. Fundamentals of the fungi. New Jersey:Prentice Hall
hal 251-308.
Noferdiman et al. 2008. Penggunaan urea sebagai sumber nitrogen pada
proses biodegradasi substrat lumpur sawit oleh jamur Phanerochaete
chrysosporium. J ilmiah ilmu Peternakan. 6(4):75-82.
Oil World. 2006. Global analysis, all major oil seeds, oils & oil meals supply,
demand & price Otlook.
Ray AK et al. 2007. Optimization of fermentation conditions for cellulose
production by Bacillus subtilis CY5 & Bacillus circulans TP3 Isolated from
fish Gut. Acta Ichthyol. Piscat. 37 (1): 47-53.
Richana N et al. 2011. Diversifikasi tandan kosong kelapa sawit untuk biofuel
generasi 2 dan reduksi 3 MCPD. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan. hal 106.
Rizani KZ. 2000.Pengaruh konsentrasi gula reduksi & inokulum (Saccaromyces
cerevisiae) pada proses fermentasi sari kulit nanas (Ananas comosus L.
Merr) untuk produksi etanol [skripsi]. Malang (ID): Jurusan Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya
Malang.

15
Lampiran 1 Strategi penelitian optimasi media Trichoderma hamatum

Pembuatan media Trichoderma hamatum

Penyiapan ekstrak kasar selulase

Penentuan aktivitas ekstrak kasar selulase

Simulasi Optimasi produksi selulase dengan metode
Response Surface Methodology (RSM)

Produksi bioetanol

Lampiran 2 Kadar gula sebelum fermentasi

Sampel
Kelompok 2

Kelompok 3

Kelompok 4

asli

Volume
Titran
17.10

16

Sebelum
Pengenceran

Sesudah

ml

ml

(mg/ml)

6.05

6.35

3.18

Volume
Titran

ml

ml

(mg/ml)

Gula total

Gula dari
100 mg

0.67

2.13

17.0

6.15

6.46

3.23

6.60

2.20

0.50

1.59

18.8

4.35

4.57

2.28

4.17

1.39

0.33

1.05

20.0

3.15

3.31

1.65

3.63

1.21

0.17

0.54

21.5

1.65

1.73

0.87

1.96

0.65

Asli

11.25

10.55

6.50

3.25

0.67

2.18

11.3

10.5

6.47

3.23

6.34

2.11

0.50

1.62

13.5

8.3

5.11

2.56

5.59

1.86

0.33

1.07

15.7

6.1

3.76

1.88

4.84

1.61

0.17

0.55

17.4

4.4

2.71

1.35

4.82

1.61

Asli

15.0

8.15

8.56

4.28

0.67

2.87

15.0

8.15

8.56

4.28

8.48

2.82

0.50

2.14

17.6

5.55

5.83

2.91

4.64

1.55

0.33

1.41

19.3

3.85

4.04

2.02

3.65

1.22

0.17

0.72

21.0

2.15

2.26

1.13

2.41

0.80

17

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Maret 1991 dari pasangan
Suyatno dan Warsi. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Penulis
menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Cenderawasih 1 Jakarta tahun
2009. Tahun yang sama, penulis lolos seleksi masuk dan melanjutkan studi di
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Di
IPB, penulis mengambil mayor Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama masa perkuliahan, penulis mengikuti organisasi kampus sebagai
bendahara dan ketua divisi Biomolekul CREBS (Community of Research and
Education in Biochemistry) tahun 2010-2011 dan 2011-2012. Selain itu, penulis
juga aktif dalam kegiatan kepanitian, diantaranya dalam acara seminar dan
workshop kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dan Masa Perkenalan
Departemen (MPD) Biokimia 2011. Penulis pernah mengikuti Seminar Nasional
Kimia Terapan Indonesia 2013 dan berpartisipasi sebagai pemakalah dengan judul
Optimasi Produksi Selulase dari Trichoderma hamatum dalam Media Tanam
Berbasis Ampas Kelapa. Penulis melakukan Praktik Lapangan dengan judul
Pembiakan Trichoderma hamatum dalam Produksi selulase pada Media Tanam
berbasis Ampas Kelapa di Laboratorium bidang Teknologi Proses dan Katalisis
(BPTK), Pusat Penelitian kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, Banten.

Dokumen yang terkait

Respon Pertumbuhan Stump Karet (Hevea Brassiliensis Muell Arg.) Terhadap Pemberian Growtone Pada Berbagai Komposisi Media Tanam

7 52 92

Induksi Tunas Mikro TanamanKaret (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Medium WPM dengan Pemberian Benzil Amino Purin (BAP) Dan Naftalen Asam Asetat (NAA)

0 44 74

Peningkatan Mutu Kayu Karet (Hevea braziliensis MUELL Arg) dengan Bahan Pengawet Alami dari Beberapa Jenis Kulit Kayu

2 55 78

Respons Morfologi Benih Karet (Hevea brasilliensis Muell Arg.) Tanpa Cangkang terhadap Pemberian PEG 6000 dalam Penyimpanan pada Dua Masa Pengeringan

2 90 58

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Karet (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

1 30 54

Efektivitas Pemberian Beberapa Jenis Fungi Mikoriza Arbuskular Terhadap Pertumbuhan Tanaman Karet (Hevea brassiliensis Muell. Arg.) Di Pembibitan

2 39 78

Pengaruh Ketinggian Tempat Dan Kemiringan Lereng Terhadap Produksi Karet (Hevea Brassiliensis Muell. Arg.) Di Kebun Hapesong PTPN III Tapanuli Selatan

10 159 46

Respons Pertumbuhan Stum Mata Tidur Karet (Hevea brasilliensis Muell Arg.) Dengan Pemberian Air Kelapa Dan Pupuk Organik Cair.

15 91 108

Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Terhadap Penyakit Gugur Daun ( Corynespora Cassiicola (Berk. & Curt.) Wei.) Di Kebun Entres

0 57 66

Uji Resistensi Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

0 35 61