Penerapan Hukum Pada Kasus Kejahatan Perang yang Terjadi

1. Penerapan Hukum Pada Kasus Kejahatan Perang yang Terjadi

Peristiwa pada Abu Ghuraib sebagaimana telah penulis jelaskan pada BAB sebelumnya, jelas melanggar ketentuan Hukum Humaniter Internasional. Pasal 13 Konvensi Jenewa III tahun 1949 menyebutkan bahwa tawanan perang (prisoner of war) harus dilperlakukan secara kemanusiaan dalam semua keadaan (must at all times be humanely treated). Setiap perlakuan yang menyimpang dari pihak penahan adalah dilarang keras dan dikategorikan sebagai pelanggaran yang sangat serius terhadap Konvensi Jenewa (serious breach to Geneva Convention). Kemudian, tawanan perang harus dilindungi setiap saat dari kekerasan, intimidasi, penghinaan, dan publisitas, objek mutilasi, dan harus diobati, serta memperoleh

pengobatan. 57 Demikian dalam Konvensi Jenewa 1949 diatur, bahwa ada sanksi pidana dan sanksi disiplin sesuai hukum negara dimana terjadi pelanggaran, serta adanya jaminan peradilan yang wajar, sebagaimana tercantum dalam pasal 49. Di

samping diatur dalam Hukum Humaniter Internasional, perlindungan terhadap tawanan perang juga diatur secara tidak langsung dalam Konvensi Anti- Penyiksaan (Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment). Pasal 2 Konvensi ini menyebutkan bahwa setiap negara peserta konvensi harus dapat mencegah kekerasan dalam wilayah

57 Heru Susetyo, ‘Penistaan Hukum Perang’, < http://swaramuslim.net/more.php?id=A629_0_1_0_M >, diakses (02/06/09).

jurisdiksinya, tanpa memandang apakah terjadi dalam masa damai ataupun perang. Pasal 11 konvensi yang sama, menyebutkan bahwa setiap negara peserta konvensi ini haruslah menegakkan aturan yang sistematis dalam hal interogasi,

penangkapan, dan penahanan, serta harus menghindarkan kekerasan. 58 Penegakan hukum dalam peristiwa Abu Ghuraib ini berdasarkan Pasal 49 Konvensi Jenewa 1949 dapat dijatuhkan berdasarkan hukum negara tempat peristiwa berlangsung, dalam hal ini Irak. Dibawah kepemimpinan Saddam Hussain peristiwa Abu Ghuraib dan pelanggaran HAM dan pemakaian senjata pemusnah massal kerap terjadi. Setelah tiga tahun proses pengadilannya, Saddam Hussain dihukum mati berdasarkan keputusan pengadilan yang mengadilinya

yaitu pengadilan nasional di Irak. 59

Penegakan hukum untuk Saddam Hussain ini menimbulkan suatu inkonsistensi, para tentara yang melakukan penyiksaan di Abu Ghuraib tidak diadili dengan hukum nasional negara tempat kejadian berlangsung yaitu Irak, namun dilimpahkan kembali oleh pengadilan Irak untuk diadili di negara asal mereka yaitu Amerika Serikat, melalui peradilan militer, dengan hukuman penjara seumur hidup, dan tidak ada yang dihukum mati satupun. Sebenarnya hukuman mati telah dihapuskan sebelum Saddam Hussain diadili, alasan pengjapusan hukuman mati adalah hukuman mati adalah hukuman yang sangat kejam, di luar perikemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia (HAM), utamanya hak hidup.

58 Ibid. 59 Heru Susetyo, ‘Inkonsistensi Hukuman Mati Saddam’,

< http://www.irwan.net/content/view/87/62/ >, diakses (02/06/09).

Juga, sebagai salah satu bentuk pidana, hukuman mati dianggap tak menimbulkan efek edukatif terhadap masyarakat, dan apabila di kemudian hari ditemukan kesalahan dalam penjatuhan vonis, hukuman tersebut tak dapat dikoreksi karena

terpidana telanjur dieksekusi. 60 Amnesty International (2006) menyebutkan bahwa sampai saat ini ada 129 negara yang telah menghapuskan hukuman mati. Dari jumlah tersebut, 88 negara menghapus hukuman mati secara total, 11 negara memberlakukannya secara sangat spesifik, yaitu hanya untuk kejahatan di waktu perang, dan 30 negara masih mempertahankannya dalam hukum nasionalnya

namun tak pernah lagi melaksanakannya. 61

Meskipun dengan adanya inkonsistensi, para pelaku kejahatan tetap ditindaklanjuti sebagai suatu penegakan Hukum Humaniter Internasional. Penegakan hukum lain terjadi pada peristiwa kejahatan perang yang berkaitan dengan mantan wakil presiden Kongo, yaitu Jean-Pierre Bemba. Jean- Pierre Bemba adalah pemimpin dari MLC (Movement Liberalization of Congo) yang sebelumnya adalah sebuah gerakan separatis yang kemudian menjadi sebuah

partai politik di Kongo. 62 Pada tahun 2002, president Ange Felix Patasse dari Republik Afrika Tengah mengundang MLC untuk membantunya untuk datang ke Republik Afrika Tengah dan meredam banyaknya pro dan kontra kudeta yang

sedang terjadi. 63

60 Ibid. 61 Ibid. 62 Matanew, ‘Mantan Wapres Kongo Didakwa’, < http://matanews.com/2009/06/17/mantan-

wapres-kongo-didakwa/ >, diakses (02/06/09). 63 Ibid.

Beberapa saat pertikaian pro dan kontra ini berlangsung, didapati bahwa para tentara MLC banyak melakukan pelanggaran terhadap penduduk sipil dan tawanan dalam pertikaian pro kontra ini. Fakta kejahatan perang ini diperoleh dari kesaksian para pihak netral yang terlibat dalam pertikaian pro kontra yang sedang

berlangsung. 64 Pada 23 Mei 2008, Majelis PraPeradilan ICC menemukan fakta bahwa ada alasan valid untuk menyatakan bahwa Jean-Pierre Bemba memiliki tanggung jawab individual atas Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang terjadi di Republik Afrika Tengah yang terjadi antara 25 Oktober 2002

sampai 15 Maret 2003 dan ICC mengeluarkan perintah penahanan terhadapnya. 65 Bemba dituduh dengan 5 pasal Kejahatan Perang (pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan pelanggaran kehormatan lainya) dan 2 tuntutan Kejahatan

terhadap Kemanusiaan (pembunuhan dan penganiayaan). 66 Pada 24 Mei 2008, Bemba akhirnya ditangkap di dekat luar kota Brussels, belgia. Dia menyerah kepada ICC pada 3 July 2008 dan dipindahkan ke Rumah Tahanan ICC di Den

Haag, Belanda. 67 Bemba adalah orang pertama yang ditahan terkait peristiwa yang terjdi di Repulik Afrika Tengah. Mahkamah Agung Republik Afrika Tengah dinyatakan

64 Wikipedia, ‘Jean-Pierre Bemba’, < http://en.wikipedia.org/wiki/Jean-Pierre_Bemba >, diakses (02/06/09). 65 Dokumen ICC no : ICC‐01/05‐01/08 tentang Perintah Penahanan Bemba (Pre-Trial Chamber III : Bemba warrant arrest)

66 Ibid. 67 Ibid.

tidak mampu unutk melakukan penuntutan terhdap Bemba dan Mantan Presiden Afrika Tengah Ange-Felix Patasse. Pembelaan Bemba berdasarkan bahwa prosedur yang dikenakan terhadap Bemba adalah diluar kebiasaan, tetapi pada 1 July 2008 pengadilan Belgia menolak argumen Bemba dan berakibat dengan dilimpahkannya Bemba ke ICC. Kuasa Hukum Bemba, Aime Kilolo Musamba mengatakan bahwa Bemba tidak gentar kepada ICC dan sepenuhnya yakin tidak bersalah, dia juga mengatakan akan memohon intervensi dari Dewan Keamanan PBB agar meminta penangguhan kasus dengan mengingat Bemba telah

melakukan banyak hal untuk perdamaian. 68 Dengan adanya putusan Pengadilan Belgia atas penolakan keberatan Bemba untuk ditahan di ICC, Bemba dipindahkan ke ICC di Den Haag pada tanggal 3 Juli. Proses Hearing dan konfirmasi hukuman yang akan dijatuhkan diselenggarakan di ICC pada tanggal 4

Juli, dengan kehadiran Bemba dalam majelis ICC. 69

Sesuai perintah penahanan, Jean-Pierre Bemba dinyatakan secara kriminal bertangggung jawab bersama dengan orang-orang lainya sebagaimana dimaksud pasal 25 ayat 3 huruf a Statuta Roma mengenai ICC dengan tuduhan sebagai

berikut: 70

1. Dua ( 2 ) tuduhan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yaitu:

a. Pemerkosaan: Pasal 7 ayat 1 huruf G

b. Penyiksaan: Pasal 7 ayat 1 huruf F

68 Ibid. 69 Ibid. 70 Ibid.

2. Empat ( 4 ) tuduhan Kejahatan Perang, yaitu:

a. Pemerkosaan: Pasal 8 ayat 2 huruf E bagian VI

b. Penyiksaan dan Penganiayaan: Pasal 8 ayat 2 huruf C bagian I

c. Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang dalam kaitan dengan perlakuan tawanan: Pasal 8 ayat 2 hurf C bagian II

d. Penjarahan terhadap kota atau lokasi: Pasal 8 ayat 2 huruf E bagian V Pembahasan kasus diatas memberikan wawasan akan penindaklanjutan para pelaku kejahatan, dengan sistem hukum nasional, atau dengan sistem hukum internasional dimana dapat diselesaikan dengan pertanggungjawaban komando yang kemudian dilimpahkan kepada ICC. Penegakan hukum yang diterapkan pada Jean-Pierre Bemba adalah salah satu metode pertanggungjawaban dengan menggunakan cara pertanggungjawaban komando. Untuk lebih memperjelas wawasan tentang ICC sebagai pranala pengadilan kejahatan internasional, pertanggungjawaban komando, dan senjata-senjata yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional, penulis akan membahasnya dalam sub-bab tersendiri.