Ilmu Ikhtila>f al-H{adi>s| ( ثيدحلا فلَتخإ ملع )
c. Ilmu Ikhtila>f al-H{adi>s| ( ثيدحلا فلَتخإ ملع )
Ilmu yang secara spesifik ini membahas hadis-hadis yang nampak bertentangan, dengan menggunakan metode penyelesainnya melalui al-jam‘u, al-tarji>h}, al-na>sikh wa al-mansu>kh dan jalan terakhirnya al-tawaqquf yaitu menunda memberi keputusan terhadap
42 Abu> Qa>sim Ali bin H{asan; Ibn ‘Asa>kir, Ta>ri>kh Dimasyq (Beirut: Da>r al-Fikr, cet I, 1998), juz 53, h. 93-94; Ibra>hi>m bin Muhammad al-Dimasyqiy, al-Baya>n wa al-
Ta‘ri>f fi> Asba>b Wuru>d al-H{adi>s| (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, cet I, 2003), h. 53-54. 43 Soerjono Soekanto, Emile Durkheim…,
h. 80.
306 | Ja’far Assagaf
suatu hadis sampai mendapatkan solusinya. 44 Terlepas dari urutan- urutan cara penyelesaian hadis yang kontradiktif, menarik dicermati metode al-jam‘u dan al-tarji>h}, sebab kedua metode ini menjadikan hadis manapun ‘bisa’ hidup dan diamalkan, sehingga al-Laknawiy ulama bermazhab Hanafi (w. 1304 H) berusaha meminimalisir keberadaan al- na>sikh wa al-mansu>kh karena metode penyelesaian ini menjadikan ada
hadis yang bakal tak terpakai dan atau ‘mati’. 45
Di antara cara penyelesaian metode al-tarji>h} menurut al-A<midiy dan al-Ira>qiy (w. 806 H), kedua ulama sya>fi‘iyyah memunculkan langkah dengan menggunakan bantuan eksternal seperti kebiasan
masyarakat dan sebagainya. 46 Titik tolak pendekatan sosiologis semakin meyakinkan pemerhati hadis masa kini untuk menggunakannya melalui pola al-jam‘u dan dan terutama al-tarji>h terhadap hadis-hadis yang nampak kontradiktif secara lahir maupun maknanya. Berikut dapat disebutkan beberapa contoh hadis yang menggunakan kedua metode tersebut.
(1) Larangan Ziarah Kubur dan Izin Menziarahinya Imam Muslim meriwayatkan
Agaknya ahli hadis seperti al-Nawawiy (632-676 H) dan Ibn
44 Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s| , jilid III, h. 471-475; Ah}mad bin ‘Ali; Ibn H{ajar al-Asqala>niy (773-852 H), Nuzhah al-Naz}ar Syarh} Nukhbah al-Fikar, diberi notasi oleh
Ish}a>q ‘Azu>r (Cairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, 1990), h. 35-36. 45 Abu> al-H{asana>t; Muhammad ‘Abd al-H{ayyi al-Laknawiy, al-Ajwibah al-
Fa>d}ilah li al-As'ilah al-‘Asyrah al-Ka>milah (Ha{lab: Maktabah al-Nahd}ah, 1984), h. 183, 193-196.
46 al-A<midiy, al-Ih}ka>m li al-A<midiy , jilid II, vol. IV, h. 359-379; Zainuddi>n ‘Abd al-Rah}i>m al-‘Ira>qiy, al-Taqyi>d wa al-I>d}a>h} (Beirut: Da>r al-Fikr, 1991), h. 289.
47 Muslim bin H{ajja>j bin Muslim al-Naisa>bu>riy al-Qusyairiy (206-261 H), S{ah}i>h Muslim (Beirut: Da>r al-Fikr, 1993), jilid I, h. 429-430 (no. 977).
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 307
H{ajar (773-852 H) menggiring hadis ini pada konsep al-na>sikh wa al- mansu>kh dalam pengertian yang ketat yaitu yang dihapus (al-mansu>kh) tidak diamalkan lagi, sementara yang menghapus ( al-na>sikh) diamalkan. Mereka cenderung melihat bahwa akhir dari ziarah kubur sesungguhnya adalah mengingat kematian, karena itu ziarah kubur diizinkan padahal
di masa awal hal tersebut dilarang. 48
Belum ada penjelasan tentang kenapa ziarah kubur pada awalnya diharamkan lalu pada akhirnya diizinkan? Kajian ini bisa melalui pendekatan konteks sosial dengan melihat misalnya kemungkinan larangan tersebut disebabkan masa awal Islam adalah masa transisi keimanan sementara kebiasaan orang-orang Arab saat berziarah melakukan aneka aktifitas yang menurut kacamata Islam hal-hal itu tidak baik, maka lahirlah larangan tersebut. Setelah melawati transisi tersebut, kekhawatiran itu tidak ada disebabkan fenomena sosial telah berubah sehingga ziarah kubur diizinkan.
Konsep al-na>sikh wa al-mansu>kh bila bertujuan jika bertujuan di antaranya memudahkan umat sebagaimana klaim al-Zarkasyi (w. 794
H), maka ziarah kubur dibolehkan karena bagian dari sarana mengingat kematian, namun bila ziarah kubur menjadikan orang-orang tertentu harus bersusah payah mencari uang sehingga kebutuhan pokok mereka terabaikan maka konteks kebolehan ziarah kubur layak untuk ditinjau kembali atau bahkan dilarang. Begitu pula sebaliknya, jika fenomena tersebut tidak ada, maka ziarah kubur dibolehkan karena hukum asalnya
demikian. 49 Interpertasi ini dengan sendirinya menyempitkan ruang gerak konsep al-na>sikh wa al-mansu>kh. Untuk hadis di atas pendekatan sosiologis dapat dilakukan dengan studi tentang perubahan-perubahan sosial dan perubahan- perubahan kebudayaan. Menurut Kingsley Davis bahwa perubahan
48 Yah}ya> bin Syarafuddi>n al-Nawawiy, S{ah}i>h} Muslim bi Syarh} al-Nawawiy, (Beirut: Da>r al-Fikr, 2000), jilid, vol, h. ; Ah}mad bin ‘Ali; Ibn H{ajar al-Asqala>niy (773-
852 H), Fath} al-Ba>riy bi Syarh} S{ah}i>h al-Bukha>riy (Beirut: Da>r al-Fikr, 2000), juz h. 49 Ja’far Assagaf, Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi
Hadis) , h. 64-65.
308 | Ja’far Assagaf
sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan, dan perubahan kebudayaan mencakup semua bagian. 50 Teori ini memungkinkan peneliti hadis melihat apakah ziarah kubur merupakan kebudayaan masyarakat Arab secara umum ataukah suku-suku dan kabilah tertentu saja dan bagaimana kondisinya sebelum Islam.
(2) Perintah Memerangi non Muslim sampai Mereka Beriman Imam al-Bukha>riy meriwayatkan:
Hadis ini termasuk hadis yang paling dipolemikkan dewasa kini terkait kebebasan non Muslim memeluk agama tertentu. Islam yang
mengklaim dirinya sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta (QS: al- Anbiya>'; 107) dipertanyakan, begitu pula beberapa ayat maupun hadis yang justeru berisi toleransi kepada non Muslim. Kondisi ini belum lagi ditambah dengan fakta-fakta sejarah berisi banyaknya peperangan di masa Nabi Muhammad saw. Ulama seperti Ibn H{ajar telah menginterpertasikan maksud hadis tersebut di antaranya adalah perang untuk memperoleh pengakuan eksistensi Islam, demikian pula dengan Muhammad al-Gaza>liy (w. 1996 M) menyatakan bahwa perang
bukanlah tujuan tapi sarana yang terpakai di saat-saat penting. 52 Armstrong melihat dalam konteks sejarah sekaligus perubahan sosial bahwa perang di masa itu untuk mempertahankan diri mereka sendiri dan sebuah perubahan sosial saat itu tak mungkin terjadi kecuali
50 Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar , h. 205 51 al-Bukha>riy, S{ah}i>h} al-Bukha>riy …, juz I, h. 13 (no. 25) 52 Ja’far Assagaf, Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi
Hadis) , h. 167, 171.
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 309
melalui peperangan. 53 Apa yang dinyatakan Armstrong dapat ditelusuri fakta-fakta sejarah tentang terjadinya perang antara Muslim dengan non Muslim, yang secara komperhensip dapat dinyatakan perang terjadi lantaran penghianatan yang diawali oleh non Muslim kepada kaum
Muslim. 54 Selain pendekatan sejarah melalui fakta-faktanya, dapat digunakan pendekatan sosiologi misalnya tentang teori konflik, baik yang ditawarkan oleh Karl Max yang melihat masyarakat manusia dari
sudut konflik sepanjang sejarah, atau teori konflik lainnya. 55 Teori-teori tersebut diharapkan mampu membaca konteks sejarah dan sosial masyarakat Islam di masa Nabi saw dengan kondisi dua imperium besar; Romawi dan Persia yang senantiasa berusaha merongrong pihak lain termasuk Islam, selain hubungan kaum Muslim dengan kafir Quraisy dan Yahudi Madinah.
Kajian living hadis dengan pendekatan sosiolgis juga dapat melihat bagaimana hadis ini bisa hidup dan bahkan gencar disuarakan oleh komunitas Islam tertentu, sehingga living hadis tidak hanya melihat fenomena atau kebiasaan masyarakat yang ternyata memiliki sumber hadis yang popular, tetapi juga melihat bagaimana hadis-hadis tertentu yang sudah dianggap s{ah}i>h} bisa hidup dan menjamur dengan pemahaman yang terkesan tekstual dan radikal.
(3) Nikah mut‘ah Polemik mengenai nikah mut‘ah dalam hadis dapat ditelusuri kedua hadis berikut: pertama, hadis tentang Nabi saw telah melarang mut‘ah bersamaan dengan larangan memakan daging keledai jinak seperti riwayat al-Bukha>riy:
53 Ja’far Assagaf, Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi Hadis) , h. 170.
54 Ja’far Assagaf, Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi Hadis) , h. 168-169.
55 Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar , h. 278-279; Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Islamic Sosiology; An Introduction,
diterjemahkan oleh Hamid Basyaib (Bandung: Mizan, 1988), h. 22.
310 | Ja’far Assagaf
Kedua, hadis tentang nikah mut‘ah dibolehkan alias halal seperti riwayat al-Bukha>riy:
Kedua hadis kotradiktif tersebut diselesaikan dengan cara al-na>sikh wa al-mansu>kh bahwa pada akhirnya nikah tersebut dilarang sebagaimana
pendapat mayoritas ulama kecuali Syi’ah. 58
Untuk menelusuri hadis tersebut layak dilakukan pendekatan sosiologis misalnya dengan mengajukan dua hipotesa: pertama, mengkomparatifkan sebab terjadinya nikah mut‘ah saat itu karena sahabat Nabi saw pergi berperang sementara mereka jauh dari isteri- isteri mereka sebagaimana nampak di hadis pertama. Jika analisa ini di terima, maka di masa kini melalui pendekatan sosiologis terkait dengan kebutuhan sex maka masih dimungkinkan nikah mut‘ah dibolehkan bagi mereka yang sedang melakukan studi di suatu tempat sementara isteri- isteri mereka tidak menyertai mereka.
Kedua, melihat konteks sosial masyarakat saat itu yang memiliki lembaga-lembaga keamsyarakatan seperti lembaga perkawinan sebelum datangnya Islam, yaitu seorang suami mengizinkan isterinya disetubuhi lelaki lain, dan lelaki itulah yang akan memberi
turunan pada suami dan isteri tersebut, 59 dan atau lelaki saat itu
56 al-Bukha>riy, S{ah}i>h …, juz III, h. 260 (no. 5115 ) 57 Muslim, S{ah}i>h …, jilid I, h. 640 (no. 1404).
58 Al-Nawawiy, Syarh} Muslim …, jilid V, vol. IX, h. 151-153; Ibn H{ajar, Fath} al-Ba>riy …, juz X, h. 209-213.
59 Salah satu dari empat model pernikahan di zaman Jahiliyyah. Adapun yang
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 311
memiliki banyak isteri (poligami), sehingga nikah mut‘ah adalah solusi sementara agar kaum pria tidak semena-mena melakukan hubungan dengan wanita yang bersuami sekaligus membatasi angka yang diizinkan untuk berpoligami. Konsekunsi dari pemahaman ini adalah nikah mut‘ah tetap menjadi haram sampai kapanpun.
(4) Hukuman Mati Bagi Pelaku Murtad Pelaku murtad dalam fiqh Islam akan dieksekusi beradasarkan teks beberapa hadis Nabi saw. Secara faktual di masa Nabi saw eksekusi yang terjadi pada Yahudi di Yaman yang murtad terjadi tanpa sepengetahuan Nabi saw, sementara eksekusi mati pada beberapa orang dari suku ‘Ukl dan ‘Urainah disebabkan kedua suku tersebut melakukakn kejahatan publik dengan membunuh Yasa>r al-Naubi pengembala yang diperintahkan oleh Nabi saw untuk menemani kedua
suku di atas. 60 Dua eksekusi terhadap pelaku murtad tersebut bertolak belakang dengan amnesty yang Rasulullah saw berikan pada ‘Abdullah bin Abi Sarh} (w. 57 H) lantaran adanya permohonan ‘Us|ma>n bin ‘Affa>n (w. 35 H). sebagaimana hadis berikut: َمَعَز َلاَق ٍرْرَن ُن ْب ُطاَبْسَأ اَنَ ثَّدَح َلاَق ِلَّضَفُمْلا ُنْب ُدَْحمَأ اَنَ ثَّدَح َلاَق َةَبْيَش ِبَأ ُنْب ُناَمْثُع اَنَ ثَّدَح
tiga yaitu: (1) pernikahan seperti sekarang ini yang kita kenal; (2) beberapa lelaki (sekitar 10 orang) menyetubuhi wanita, saat wanita itu hamil ia menunjuk ayah dari bayi yang dikandungnya pada salah satu lelaki yang telah menyetubuhinya; (4) dengan pelacur. ihat: al-Bukha>riy, S{ah}i>h …, juz III, h. 262-263 (no. 5127).
60 Ja‘far assagaf, Kontekstualisasi Hukum Murtad dalam Perspektif Sejarah Sosial Hadis dalam Jurnal Ijtihad ; Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan
(Salatiga: STAIN Salatiga, Juni 2014), vol. 14, no 1, h. 23-25, 33-35.
312 | Ja’far Assagaf
Pendekatan sosiologis tentang klen dan kelompok gerombolan dari Durkheim seperti telah disebutkan, akan menjadi menarik disebabkan masyarakat Arab saat itu memang menjadikan kepala suku atau yang dianggap senior dari suatu kabilah sebagai tempat mereka mencari perlindungan, terlebih Ibn Abi> Sarh} di ini adalah saudara sesusuan dari ‘Us|ma>n bin ‘Affa>n ra.
(5) Tentang Bersyair Dua hadis yang kontradiktif tentang bersyair diriwayatkan oleh imam al-Bukha>riy sebagai berikut
Ulama telah menjelaskan bahwa maksud dari kedua hadis di atas adalah larangan bersyair yang berisi hal-hal yang diharamkan oleh Islam dan atau orang yang senantiasa suka bersyair dan karena aktifitasnya
61 Abu> Da>ud Sulaiyma>n bin Asy‘as|| al-Sijista>niy (w. 275 H), Sunan Abi> Da>ud (Beirut: Da>r al-Fikr, 2003), juz II, h. 410 (no. 2683, lihat juga no. 2684).
62 al-Bukha>riy, S{ah}i>h …, juz IV, h. 84 (no. 6145) 63 al-Bukha>riy, S{ah}i>h …, juz IV, h. 86 (no. 6154)
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 313
tersebut dia menjadi lalai dari mengingat Allah swt. Namun jika syair yang lantunkan tidak berisi hal-hal yang dilarang dan tidak melalaikan
pelantunnya maka hal tersebut tidak dilarang. 64 Dalam kaitan ini, Muhammad al-Gaza>liy menyatakan mungkin karena banyaknya keburukan yang selama ini terjadi di seputar nyanyian maka ulama banyak yang mengharamkan nyanyian sementara dalil tentang
pengharamannya tidak kami temukan. 65
Studi tentang kedua hadis ini selama ini selain mempertanyakan makna syair yang dilarang maupun yang dibolehkan juga mengenai transformasi hadis yang tidak lengkap dari perawi tertentu. 66 Kedua hadis di atas dapat dianalisa misalnya melalui pendekatan sosiologis mengenai budaya seni yang berkembang di suatu masyarakat dengan gerak kebudayaan akibat adanya penemuan-penemuan baru dalam hal
ini ide atau gagasan yang diciptakan seorang individu, 67 baik gagasan itu terkait dengan agama maupun lainnya.
D. Konklusi Studi hadis dengan pendekatan sosiologis merupakan suatu keniscayaan, langkah ini menjadi kombinasi yang menarik dengan ilmu-
ilmu hadis yang sudah ada agar hadis dapat dipahami secara kontekstual sesuai dengan kondisi sebenarnya saat sebuah hadis muncul. Kondisi- kondisi masyarakat masa itu ditelaah dengan berbagai pendekatan sosiologis, baik politik, teori konflik, bahasa dan sebagainya untuk memperoleh ajaran Islam yang bersesuaian dengan misi universalnya yaitu rah}matan li al-‘a>lami>n dan hadis menjadi bagian yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
64 Al-Nawawiy, Syarh} Muslim …, jilid VIII, vol. XIV, h.11-12; Ibn H{ajar, Fath} al-Ba>riy …, juz XII, h. 174-175, 184-186.
65 Muh}ammad al-Gaza>liy, al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-H{adi>s| , (Cairo: Da>r al-Syuru>q, 1992), h. 90.
66 Musfir ‘Azmullah al-Ddimyaniy, Maqa>yi>s Naqd Mutu>n al-H{adi>s| (Riya>d}: t.p, 1984), h. 105-106.
67 Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar , h. 274.
314 | Ja’far Assagaf
KEPUSTAKAAN
Al-Qur’an ‘Abd Qa>dir, Muhammad al-‘Aru>siy. Af‘a>l al-Rasu>l saw. wa Dila>latuha>
‘ala> Ah}ka>m. Jeddah: Da>r al-Mujtama‘, cet. I, 1984. Abu> Zahw, Muhammad Muhammad. al-H{adi>s| wa al-Muh}addisu>n. Cairo: al-Maktabah al-Taufi>qiyyah, t.th. al-A<midiy, Abu> H{asan ‘Ali bin Muhammad. al-Ih}ka>m li al-A<midiy. Jilid
II. Vol IV. Beirut: Da>r al-Fikr, 2003. al-Asqala>niy, Ah}mad bin ‘Ali; Ibn H{ajar. Fath} al-Ba>riy bi Syarh} S{ah}i>h
al-Bukha>riy. Juz X, XII. Beirut: Da>r al-Fikr, 2000.
____________. Nuzhah al-Naz}ar Syarh} Nukhbah al-Fikar. Diberi notasi oleh Ish}a>q ‘Azu>r. Cairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, 1990. Assagaf, Ja’far. Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi Hadis). Cet II. Sukoharjo: Fataba Press, 2015.
_____________, Jurnal Ijtihad; Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan. Vol 14. No 1. Salatiga: STAIN Salatiga, Juni 2014.
‘At}iyyah, Muh}yiddin et al. Dali>l Muallifa>t al-H{adi>s| al-Syari>f al- Mat}bu>‘ah al-Qadi>mah wa al-H{adi>s|ah. Jilid I. Beirut: Da>r Ibn H{azm, cet I, 1995.
Biek, Muhammad Khud}ariy Us}u>l al-Fiqh. Mesir: Maktabah al-Tija>rah al-Kubra>, 1962. al-Bukha>riy, Muh}ammad bin Isma>‘i>l. S{ah}i>h} al-Bukha>riy bi H{a>syiah al- Sindiy. Juz I-IV. Beirut: Da>r al-Fikr, 1995. Chaer, Abdul & Leonie Agustina. Sosiolinguistik Suatu Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. al-Ddimyaniy, Musfir ‘Azmullah. Maqa>yi>s Naqd Mutu>n al-H{adi>s|. Riya>d}: t.p, 1984. al-Dimasyqiy, Ibra>hi>m bin Muhammad. al-Baya>n wa al-Ta‘ri>f fi> Asba>b Wuru>d al-H{adi>s|. Cet I. Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 2003. al-Gaza>liy, Muh}ammad. al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 315
wa Ahl al-H{adi>s|. Cairo: Da>r al-Syuru>q, 1992. Ibn ‘Asa>kir, Abu> Qa>sim Ali bin H{asan. Ta>ri>kh Dimasyq. Juz 53. Beirut: Da>r al-Fikr, cet I, 1998. Ibn al-As|i>r, Majd al-Ddi>n; Muba>rak bin Muh}ammad. Al-Niha>yah fi> Gari>b al-H{adi>s| wa al-As|ar . Jilid II. Beirut: Da>r al-Fikr, 1979.
Ibn Khaldu>n, Abu> Zaid ‘Abd Rah}ma>n bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-H{ad}ramiy al-Isybi>liy. Muqaddimah; al- ‘Ubr wa Di>wa>n al-Mubtada’ wa al-Khabar fi> Ayya>m al- ‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar. Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Turas| al-‘Arabiy, cet IV, t.th.
al-‘Ira>qiy, Zainuddi>n ‘Abd al-Rah}i>m. al-Taqyi>d wa al-I>d}a>h}. Beirut: Da>r al-Fikr, 1991. al-‘Itr, Nu>ruddi>n. Manhaj al-Naqad ‘inda al-Muh}addisi>n. Beirut: Da>r al- Fikr al-Mu‘a>s}irah; 1997. al-Laknawiy, Abu> al-H{asana>t; Muhammad ‘Abd al-H{ayyi. al-Ajwibah al-Fa>d}ilah li al-As'ilah al-‘Asyrah al-Ka>milah. Ha{lab: Maktabah al-Nahd}ah, 1984.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014. al-Nawawiy, Yah}ya> bin Syarafuddi>n. S{ah}i>h} Muslim bi Syarh} al- Nawawiy. Jilid V. Vol IX, VIII. Vol. Beirut: Da>r al-Fikr, 2000.
al-Qusyairiy, Muslim bin H{ajja>j bin Muslim al-Naisa>bu>riy. S{ah}i>h Muslim. Jilid I. Beirut: Da>r al-Fikr, 1993. Ratna SU, Nyoman Kutha. Metodologi Penelitian; Kajian Budaya dan Ilmu Sosial, Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010. al-Sakha>wiy, Abu> al-Khair; Muh}ammad bin ‘Abd Rah}ma>n. Fath} al- Mugi>s| bi Syarh} Alfiyah al-H{adi>s|. Jilid IV. Riya>d}: Maktabah Da>r al-Minha>j, cet I, 1426 H.
al-Sijista>niy, Abu> Da>ud Sulaiyma>n bin Asy‘as||. Sunan Abi> Da>ud. Juz II. Beirut: Da>r al-Fikr, 2003. Soekanto, Soerjono. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur
316 | Ja’far Assagaf
Masyarakat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993. _______________. Emile Durkheim; Aturan-Aturan Metode Sosiologis. Jakarta: Rajawali, 1985. _______________. Kamus Sosiologi: Edisi Baru. Jakarta: Rajawali Press, 1993. Soekanto, Soerjono dan Budi Sulistyowati. Sosiologi; Suatu Pengantar Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cet 46. 2014.
Suryasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999. al-Sya>t{ibiy, Abu> Ish}a>q Ibra>hi>m bin Mu>sa> al-Lakhmi>y al-Gharna>t}iy. al- Muwafaqa>t fi> Us}u>l al-Syari>‘ah. Juz IV. Beirut: Da>r al- Ma‘rifah, t.th.
al-Syauka>niy, Muhammad bin ‘Ali. Irsya>d al-Fuh}u>l. Diedit oleh Muhammad Sa‘i>d al-Badriy. Beirut: Da>r al-Fikr, cet. I, 1992.
al-Suyu>t}iy, ‘Abd Rah{man bin Abu> Bakar, al-Luma‘ fi> Asba>b Wurud al- H{adi>s. Beirut: Da>r al-Fikr, 1996. Weber, Max. Essays From Max Weber. Diterjemahkan oleh Abd Qodir Shaleh dengan judul Teori dasar Analisis Budayawan. Yogyakarta: IRCISoD, 2013..
Jurnal Holistic al-Hadis , Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939
HERMENEUTIKA FENOMENOLOGIS DALAM STUDI LIVING HADITS
Masykur Wahid IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Email: [email protected]
Abstract:
This paper discusses about Ricoeur’s phenomenological hermeneutics. It is a method based on the text interpretation. Author interested in the phenomenon of religiosity in the study of living hadith. It raises the question, what is Ricoeur's phenomenological hermeneutics and how it can be applied? Ricoeur's phenomenological hermeneutics is a synthesis of hermeneutics and phenomenology. In its application, utilizing the text paradigm, the interpretation should be developed through three stages: semantics, reflective and existential. It concludes that the phenomenological hermeneutics can analyze the phenomenon of religiosity that produces eschatology.
Abstrak: Tulisan ini menjelaskan hermeneutika fenomenologi ala Ricoeur. Hermeneutika fenomenologis sebagai metode yang didasarkan pada interpretasi teks. Dilatarbelakangi oleh ketertarikan pada fenomena religiusitas di dalam studi living hadits. Memunculkan pertayaan, apa itu hermeneutika fenomenologis Ricoeur? dan bagaimana hermeneutika fenomenologis dapat diterapkan? Hermeneutika fenomenologis Ricoeur merupakan sintesis dari hermeneutika dan fenomenologi. Dalam penerapannya, dengan paradigm teks, interpretasi harus melalui tiga tahap, semantik, reflektif dan eksistensial. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hermeneutika fenomenologi dapat menganalisis
318 | Masykur Wahid
Kata-kata kunci: Hermenenutika fenomenologis, Ricoeur, fenomena religiusitas
A. Pendahuluan Fenomena pembacaan shalawat diba’ di Nusantara merupakan
fenomena unik dan menarik. Keunikannya, pembacaan shalawat diba’ diyakini sebagai tradisi masyarakat Islam yang sakral dan dipraktikkan secara turun- temurun sejak para Walisongo hingga era globalisasi ini. Menariknya, pembacaan shalawat diba’ memiliki jaringan global dari kutub Timur hingga kutub Barat di dunia dengan ragam tradisi yang berbeda-beda. Fenomena seperti ini dapat dijadikan sumber penelitian dalam studi living hadits.
Living hadits menandaskan hadits senantiasa berkembang dinamis sesuai dinamika perkembangan manusia pada setiap zaman. Dinamika hadits sesuai dengan penggunaan model interpretasi terhadap hadits. Model interpretasi tergantung pada bentuk hermeneutikanya yang dari zaman ke zaman mengalami pergeseran. Ada lima bentuk hermeneutika: Hermeneutika romantis, hermeneutika ontologis-eksistensial, hermeneutika fenoemenologis, hermeneutika kritis, dan hermeneutika materialistis. Hadits telah mengalami fiksasi makna, yang tertulis dalam teks. Tepat, jika studi living hadits mengaitkan dengan hermeneutika fenomenologis, karena hermeneutika fenomenologis yang ditemukan oleh Paul Ricoeur, seorang filsuf Perancis, didasarkan pada interpretasi teks.
Tulisan ini menjelaskan apa itu hermeneutika fenomenologis ala Paul Ricoeur? Bagaimana hermeneutika fenomenologis dapat diterapkan? Berdasarkan dua pertanyaan itu, ada tiga bahasan yang dipaparkan di sini, yaitu sekilas studi living hadits, hermeneutika fenomenologis, dan tahapan hermeneutika fenomenologi.
B. Sekilas Studi Living Hadits Term “ living hadits” diambil dari term “living al-Qur’an.” Living hadits
diartikan sebagai “fenomena yang tampak di dalam masyarakat berupa pola- pola perilaku yang bersumber dari dan/atau sebagai respons pemaknaan
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 319
terhadap hadist.” Dikatakan studi living hadits disebabkan adanya pergeseran wilayah kajian, dari kajian tekstual menuju kajian sosial budaya. 1 Studi ini membuka cakrawala pengritik hadits untuk terlibat langsung di dalam menafsirkan hadits, karena pengritik hadits juga bagian dari konstruksi sosial budaya masyarakat. Dengan pendekatan partisipatif, pengritik hadits mampu menemukan kondisi sosial budaya masyarakat secara kontekstual. Hadits kontekstual menjelaskan apa dan kenapa hadits dipraktikkan. Hadits atau sunnah, menurut pandangan ulama muta’akhirin, diartikan sama, yaitu “segala
ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW”. 2
Studi living hadits sudah banyak diterapkan di lingkungan PTKI. Fenomena tradisi shalawatan diba’ sudah diteliti di Majlis Shalawat Diba’ bil Musthafa, Krapyak, Yogyakarta. Dalam hasil penelitiannya, tradisi pembacaan shalawat diba’ bukan hal yang baru, terlebih di kalangan Nahdliyyin (NU). Pembacaan shalawat banyak dilakukan dalam acara maulud Nabi Muhammad SAW. Dalam perkembangan selanjutnya, tradisi ini dilakukan dalam acara tasyakuran, dan lain sebagainya. Di daerah Krapyak, terdapat majelis shalawat diba’ bil Musthafa yang rutin melakukan tradisi shalawatan ini pada setiap minggunya. Menurut Aini, pada dasarnya pembacaan shalawat tersebut sebagai ritual bershalawat yang merupakan ekspresi umat terhadap hadist-hadist
Rasulullah. 3 Hadist dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah jadikan rumahmu seperti kubur, janganlah jadikan kubur sebagai ‘ied, sampaikanlah shalawat kepadaku karena shalawat kalian akan sampai padaku di mana saja kalian berada” (H.R. Abu Daud No. 2042 dan Ahmad 2: 367).
Selain itu, landasan yang dijadikan shalawatan yang diadakan setiap minggu, hadist dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa
1 Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. 2006. Metodologi Penelitian Hadis . Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, h.193
2 Salih, Subhi. 1988. Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu . Beirut: Dar al-Ilm lil- Malayin, h.3-5
3 Aini, Adrika Fithrotul. 2014. “ Living Hadis dalam Tradisi Malam Kamis Majelis Shalawat Diba’ Bil-Mustofa” dalam Ar-Raniry: International Journal of
Islamic Studies . Vol. 2, No.1, Juni, h.222
320 | Masykur Wahid
yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali, maka Allah mengucapkan sholawat kepadanya 10 kali” (H.R. Muslim no. 408).
C. Hermeneutika Fenomenologis Term “hermeneutika” ( hermeneutics), dalam Concise Routledge: Encyclopedia of Philosophy, 4 berasal dari bahasa Yunani herméneuein yang merupakan derivasi dari kata kerja hermeneuô yang berarti “mengartikan, menginterpretasikan, menafsirkan, dan menerjemahkan.” Kata sifatnya, hermeneuticos dan kata bendanya
herméneia, berarti “penafsiran” dan “interpretasi”. 5 Term hermeneutika ( hermeneutics) dibedakan dari term hermeneutik (hermeneutic). Penulis lebih memilih istilah hermeneutics daripada hermeneutic, karena istilah
hermeneutics menunjukkan wilayah kerja hermeneutika. 6 Term hermeneutics juga menunjukkan pada bidang hermeneutika secara umum. Sedangkan, term hermeneutic menunjukkan teori tertentu, misalnya hermeneutik Bultmann. Selain itu, term hermeneutics itu dapat dibedakan dari kata sifat hermeneutic atau hermeneutical, karena kata sifat itu tetap tampak sebagai kata sifat kecuali disertai dengan “ the” atau beberapa modifikasi. Sedangkan, term hermeneutic memberi kesan pada aturan dan teori. Argumentasi itu tidak mempersoalkan alasan filosofis.
Alasan filosofis memperhatikan pada penggunaan huruf “s” pada kata akhir hermeneutics, karena term hermeneutics disamakan dengan istilah arithmetics atau pun rhetorics yang tetap menunjukkan bidang umum. Sementara itu, term hermeneutic merupakan bentuk singular perempuan dalam bahasa modern yang lain (Jerman, hermeneutik – Prancis, herméneutique) yang berasal dari bahasa Latin hermeneutica.
4 Concise Routledge: Encyclopedia of Philosophy . 2000. London & New York: Routledge, h.348
5 Bertens, K. 1983. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. Jilid I. Jakarta: Gramedia, h.224. Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat .
Yogyakarta: Kanisius, 1993, h.23 6 Palmer, Richard E. 1969. Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer . Evanston: Northwestern University Press, h. xiv
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 321
Richard E. Robinson menegaskan bahwa menghilangkan huruf “s” dapat mendorong arah baru bagi teori hermeneutis, yang dapat disebut
Hermeneutik Baru. 7 Dengan mengikuti pemikiran tersebut, term hermeneutics dalam paper ini menunjukkan bidang umum yang dapat disamakan dengan term physics, politics, economics, maupun ethics.
Dalam perspektif mitologi Yunani, term herméneuein berasal dari nama dewa “Hermes,” tokoh mitos Yunani, yang bertugas menjadi perantara antara dewa Zeus (dewa keteraturan) dan manusia. Pada waktu itu, Hermes dihadapkan pada persoalan yang sulit, ketika harus menyampaikan pesan Zeus kepada manusia. Hermes menjelaskan bagaimana bahasa Zeus yang menggunakan “bahasa langit” supaya dapat dimengerti oleh manusia yang menggunakan “bahasa bumi.” Dengan cerdik dan bijaksana, Hermes menafsirkan atau menginterpretasikan bahasa Zeus ke dalam bahasa manusia, sehingga menjelma menjadi sebuah teks suci. Kata “teks” berasal dari bahasa Latin, yang berarti “produk tenunan” atau “pintalan.” Dalam konteks ini, yang dipintal oleh Hermes adalah gagasan dan kata-kata supaya diproduksi sebuah narasi dalam bahasa manusia yang bisa dipahami oleh
manusia. 8 Pada pemikiran yang lain, Hermes itu diinterpretasikan sebagai seorang duta yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermens diilustrasikan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap. Dalam bahasa Latin, Hermes lebih dikenal dengan sebutan Mercurius. Tugas Hermes ini menginterpretasikan pesan-pesan dari dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Tugas Hermes sangat penting, karena apabila terjadi kesalahpahaman terhadap pesan-pesan dewa tersebut dapat mengakibatkan bahaya bagi seluruh umat manusia. Dalam
7 Palmer, Richard E. 1969. Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer . Evanston: Northwestern
University Press, h. xiv 8 Crapanzano, Vincent. 1992. Hermes’ Dilemma and Hamlet’s Desire: On the
Epistemology of Interpretation . Cambridge: Harvard University Press, h.16. Bauman, Zygmun. 1978. Hermeneutics and Social Science . New York: Columbia, University Press, h. 76.
322 | Masykur Wahid
konteks itu, Hermes harus mampu menginterpretasikan sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh manusia. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara
bagaimana pesan itu diinterpretasikan. 9
Kedua pemikiran tersebut sama-sama memperhatikan interpretasi terhadap pesan dewa sebagai teks suci. Pada substansinya, Hermes yang menyampaikan pesan dewa kepada manusia itu, dapat dikatakan bahwa:
“Ia tidak hanya mengatakan kepada mereka, kata demi kata saja, tetapi juga bertindak sebagai interpreter yang membuat kata- kata dewa dapat dimengerti dengan jelas (dan bermakna) yang dapat memunculkan beberapa klarifikasi atau lainnya,
tambahan, komentar”. 10
Dalam konteks Hermes itu, hermeneutika secara konsekuen terikat dengan dua tugas. Pertama, memastikan isi makna kata, kalimat, atau teks. Kedua, menemukan instruksi-instruksi yang terkandung di dalam bentuk simbolis. Hermeneutika secara sporadis muncul dan berkembang ketika interpretasi diperlukan untuk menerjemahkan literatur otoritatif dalam kondisi-kondisi yang tidak mungkin diakses, karena persoalan jarak ruang dan waktu atau perbedaan bahasa. Dengan mengikuti maksud itu, makna asli teks dapat saja diperdebatkan atau tetap tersembunyi, sehingga diperlukan penjelasan interpretatif supaya transparan. Sebagai teknik untuk memperoleh pemahaman yang benar, hermeneutika pada awalnya dipergunakan dalam tiga jenis kapasitas. Pertama, untuk membantu pembahasan mengenai bahasa teks, yang memunculkan filologi. Kedua, untuk memfasilitasi penafsiran literatur
Kitab Suci. Ketiga, untuk menuntun yurisdiksi. 11
9 Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat . Yogyakarta: Kanisius, 1993, h.23-24
10 Bleicher, Josef. 1980. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique . London: Routledge & Kegan Paul, h. 11
11 Bleicher, Josef. 1980. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique . London: Routledge & Kegan Paul, h. 11.
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 323
sebagaimana yang didefinisikan oleh Bruns, adalah “sebuah tradisi pemikiran atau refleksi filosofis yang mencoba mengklarifikasi konsep verstehen, yaitu
Secara sederhana
hermeneutika,
pemahaman”. 12 Berdasarkan pada isi interpretasi dan pemahaman, disiplin ilmu yang pertama dan yang banyak menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir Kitab Suci. Semua Kitab Suci yang mendapatkan inspirasi ilahi, seperti al-Qur’an, Injil: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Taurat, Talmud, Veda, dan Upanishad, supaya dapat dipahami, maka diperlukan interpretasi. Interpretasi yang digunakan sangat tergantung pada bagaimana hermeneutika dioperasionalkan.
Secara historis hermeneutika dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu hermeneutika kuno dan hermeneutika modern. Dalam hermeneutika kuno, para filsuf memperhatikan masalah interpretasi dan pemahaman terhadap “apa yang diucapkan”. Hermeneutika kuno ini dapat ditelusuri sejarahnya pada pemikiran filosofis Plato, Aristoteles, dan Philo. Dalam hermeneutika modern, para filsuf dan pemikir lainnya lebih jauh memperhatikan masalah interpretasi dan pemahaman terhadap “teks dari apa yang diucapkan”. Hermeneutika modern ini dapat ditelusuri sejarahnya pada pemikiran filosofis Ast, Wolf, Schleiermacher, Dilthey, Betti, Heidegger, Bultmann, dan Gadamer.
Hermeneutika fenomenologis ( phenomenological hermeneutics) atau fenomenologi hermeneutik ( hermeneutical phenomenogy) merupakan dua term yang sama. Term itu ditujukan kepada
hermeneutika dan fenomenologi dari Paul Ricoeur. 13 Hermeneutika fenomenologis merupakan sintesis dari hermeneutika dan fenomenologi. Sambil mengkritik idealisme Edmund Husserl, Ricoeur menunjukkan bahwa hermeneutika tidak dapat dilepaskan dari fenomenologi. Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang tak
12 Bruns, Gerald L. 1992. Hermeneutics: Ancient and Modern (New Haven and London: Yale University Press, h. 1
13 Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics . Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h.2005
324 | Masykur Wahid
tergantikan bagi hermeneutika. Sebaliknya, fenomenologi tidak dapat menjalankan cara kerjanya untuk memahami berbagai fenomena secara utuh dan menyeluruh, tanpa penafsiran terhadap pengalaman- pengalaman subyek. Untuk keperluan penafsiran itu, dibutuhkan hermeneutika. Secara umum, fenomenologi merupakan “kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek ‘memaknai’ obyek-obyek di sekitarnya.” Menurut Ricoeur, sejauh tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan manusia, hermeneutika terlibat di sana. Oleh sebab itu, pada dasarnya, fenomenologi dan hermeneutika saling melengkapi. Dengan pemikiran itu, Ricoeur mengembangkan hermeneutika fenomenologis.
Hermeneutika fenomenologis didasarkan pada interpretasi teks. Hermeneutika didefinisikan oleh Ricoeur adalah “teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi teks”. 14 Di samping itu, Ricoeur mengartikan hermeneutika adalah “interpretasi terhadap simbol-simbol”. 15 Ricoeur memperluas definisi tersebut dengan lebih memperhatikan kepada “teks.” Teks ( text) adalah “suatu diskursus yang difiksasi dengan tulisan”. Fiksasi dengan tulisan
merupakan ketentuan teks itu sendiri. 16 Teks sebagai penghubung antara tanda dan simbol yang dapat membatasi ruang lingkup hermeneutika di mana budaya lisan dapat dipersempit. Dalam konteks
tersebut, hermeneutika hanya berhubungan dengan kata-kata yang tertulis sebagai pengganti kata-kata yang diucapkan. Definisi yang
tidak terlalu luas itu justru memiliki intensitas. 17
Interpretasi teks yang dimaksud adalah “sebuah pembacaan makna yang tersembunyi di dalam teks yang mengandung makna yang
14 Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics . Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h. 53
15 Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics . Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h. 17
16 Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics . Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h.106
17 Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics . Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h.193
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 325
tampak. 18 Pengoperasian pemahaman (ketika menginterpretasikan teks) dilakukan di dalam “lingkaran hermeneutika”. Lingkaran hermeneutika dipahami sebagai penempatan kembali penjelasan dan interpretasi dengan konsep global yang menyatukan “penjelasan dan pemahaman” dalam pembacaan teks untuk dapat menemukan makna dan sense-nya. Lingkaran hermeneutika Ricoeur ini merupakan kombinasi hermeneutika romantis dan hermeneutika ontologis-eksistensial. Lingkaran hermeneutika romantis dipahami sebagai alat metodologis dalam interpretasi yang mempertimbangkan semua aspek yang berhubungan dengannya. Lingkaran hermeneutika ontologis- eksistensial dipahami sebagai kondisi pemahaman ontologis; secara umum hasil dari komunitas yang mengikat kita dengan tradisi, dan secara khusus objek penjelasan kita; menghubungan antara
keberakhiran dan universalitas, dan antara teori dan praktik. 19 Hermeneutika fenomenologis Ricoeur didasarkan pada interpretasi teks. Interpretasi teks Ricoeur telah memberikan sebuah metode hermeneutika baru untuk menginterpretasikan teks. Dengan melakukan interpretasi terhadap teks berarti telah melakukan pemahaman teks melalui struktur semantik. Inti interpretasi teks dalam hermeneutika fenomenologis ada dalam paradigma teksnya, yang dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) Fiksasi makna (tekstualisasi pengalaman), (b) makna teks terlepas dari maksud pengarang, (c) teks melakukan dekontekstualisasi diri dari lingkup sosial dan sejarahnya, dan (d) teks terbebas dari batas-batas referensi ostensif.
Empat paradigma teks tersebut menjadikan “teks sebagai tindakan penuh makna dan otonom”, sehingga tindakan manusia (pengalaman) tampak sebagai karya terbuka. Paradigma teks tersebut dapat dijelaskan dalam lingkaran hermeneutika dengan bagan berikut ini:
18 Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics . Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h.22
19 Bleicher, Josef. 1980. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique . London: Routledge & Kegan Paul, h.267
326 | Masykur Wahid
[a] Fiksasi makna (tekstualisasi pengalaman)
[d] [ b] Teks terbebas dari Makna teks terlepas dari TEKS intensi pengarang
referensi ostensif
Dekontekstualisasi teks dari lingkup sosial dan sejarah
[c]
Bagan. Lingkaran Hermeneutika Fenomenologis
Interpretasi teks dalam hermeneutika Ricoeur sebagai karakteristiknya ketika dia menginterpretasikan eksistensi dalam hermeneutika
fenomenologisnya. Interpretasi sendiri adalah masalah khusus mengenai pemahaman. Interpretasi teks sebagai pemahaman yang diterapkan pada ekspresi-ekspresi kehidupan yang tertulis.
Dengan demikian, Ricoeur mengatakan bahwa tugas hermeneutika adalah menjaga perluasan maksud hermeneutika yang
berkembang, seperti hermeneutika tertentu yang digabungkan ke dalam hermeneutika umum. Gerakan de-regionalisasi ini tidak dapat ditekankan sampai akhir, kecuali kalau pada saat yang sama perhatian hermeneutika epistemologis secara benar (untuk mencapai status ilmiah) ditangguhkan pada pra-anggapan ontologis di mana pemahaman berhenti menampakan sebagai model pengetahuan yang sederhana, karena menjadi cara mengada dan cara menjadi beings dan to being. Gerakan de-regionalisasi digabungkan dengan gerakan
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 327
radikalisasi membuat hermeneutika tidak hanya menjadi umum tetapi fundamental. 20 Tugas hermeneutika tersebut merupakan sebuah garis penghubung dari epistemologi interpretasi yang dijelaskan oleh Schleiermacher dan Dilthey menuju ontologi pemahaman yang dijelaskan oleh Heidegger dan Gadamer. Garis penghubung yang dimaksud adalah:
“Untuk menunjukkan bahwa eksistensi dapat sampai pada ekspresi, makna dan refleksi, hanya melalui penafsiran terus- menerus dari seluruh penandaan yang dijelaskan di dalam dunia
budaya”. 21
memosisikan persoalan hermeneutika menjadi persoalan filsafat analitika mengenai being, seperti Dasein yang eksis melalui pemahaman. 22 Ada dua cara untuk memahami Dasein. Cara pertama (1) menjelaskan bahwa filsafat analitik atas Dasein bukan alternatif yang memaksa kita harus memilih antara epistemologi interpretasi yang diungkapkan hermeneutika romantis dan ontologi pemahaman yang diungkapkan hermeneutika ontologis-eksistensial. Oleh karena itu, diperlukan cara kedua (2), yaitu refleksi menuju tahap ontologi, yang dapat dicapai setelah melalui tahapan-tahapan tertentu dengan mengikuti secara berturut-turut investigasi ke dalam semantik dan refleksi. Cara kedua memunculkan berikut ini:
Hermeneutika
fenomenologis
“Apakah yang terjadi pada epistemologi interpretasi memunculkan refleksi tentang penafsiran, metode sejarah, psikologi, fenomenologi religius, dan sebagainya ketika
20 Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics . Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press,54
21 Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics . Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.22
22 Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics . Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.6
328 | Masykur Wahid
disentuh, digerakkan, seperti kita harus mengatakan, dan
diinspirasi oleh ontologi pemahaman?”. 23
Syarat-syarat bagi ontologi pemahaman yang dimaksudkan adalah untuk memahami sepenuhnya makna revolusi pemikiran yang ditawarkan ontologi. Dalam satu lompatan dari Logical Investigations Husserl menuju Being and Time Heidegger, diperlukan pada diri sendiri mengenai apa yang di dalam fenomenologi Husserl tampak signifikan dan kaitannya dengan revolusi pemikiran tersebut. Selanjutnya, apa harus disadari dalam keradikalannya yang penuh adalah pembalikan dari pertanyan itu sendiri, sebuah pembalikan yang, dalam epistemologi interpretasi, menyiapkan sebuah ontologi pemahaman.
Hal itu merupakan pertanyaan yang menghindari setiap cara untuk merumuskan persoalan erkenntnistheoretisch, yang akhirnya membentuk ide bahwa “hermeneutika adalah metode” yang menjadi sempurna di atas sebuah dasar yang setara dengan metode ilmu-ilmu alam. Persetujuan terhadap sebuah metode pemahaman yang rigid seperti itu, berarti bahwa orang masih terjebak di dalam praduga- praduga mengenai teori pengetahuan Kantian. Menurut Ricoeur, “orang harus bergerak secara bebas ke luar dari lingkaran yang mempesona mengenai persoalan subyek dan obyek, dan menanyakan being pada diri sendiri”.
Untuk menanyakan pada diri sendiri tentang being secara umum, pertama-tama perlu menanyakan lebih dahulu being dari semua being yang ada “di sana,” tentang Dasein, yaitu tentang being yang eksis di dalam model pemahaman mengenai being, model being yang eksis melalui pemahaman. Gerak pembalikan terhadap hubungan antara pemahaman dan being ini memenuhi harapan mendalam filsafat Dilthey, karena baginya life was the prime concept. Di dalam seluruh tulisan Dilthey, pemahaman historis tidak sungguh-sungguh menjadi lawan teori alam, relasi antara hidup dan ekspresinya lebih menjadi akar
23 Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics . Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.7
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 329
umum bagi relasi ganda manusia dengan alam dan sejarah. Jika kita mengikuti pemikiran seperti ini, maka persoalannya, bagi Ricoeur adalah:
“Bukan memperkuat pengetahuan historis dalam menghadapi pengetahuan psikis, akan tetapi menggali berdasarkan pengetahuan ilmiah dengan semua generalitasnya. Oleh karena itu, mencari hubungan antara being historis dengan seluruh ada yang lebih primordial daripada dengan hubungan subyek-obyek
dalam teori pengetahuan”. 24
D. Tahapan Hermeneutika Fenomenologis Ada tiga tahapan interpretasi teks yang harus dilakukan di dalam hermeneutika fenomenologi, yaitu semantik, reflektif, dan eksistensial. Pertama (1), tahap semantik. Dalam tahap pertama, dijelaskan bahwa dalam bahasa semua pemahaman ontologis berakhir pada ekspresinya. Semantik sebagai sumber referensi yang diperlukan bagi seluruh hermeneutika. Pemikiran itu tampak pada penafsiran yang telah diperkenalkan sebelumnya, bahwa:
“Teks memiliki beberapa makna yang seringkali tumpang- tindih, seperti makna spiritual yang ‘ditransfer’ menjadi makna historis dan literal, karena kelebihan makna. 25
Ekspresi-ekspresi multi-vokal ini terjadi secara “simbolis.” Pada satu sisi, ia memberi makna yang lebih sempit kepada kata symbol dibandingkan dengan para pengarang yang menyebut simbolis bagi setiap pemahaman kenyataan melalui tanda-tanda, persepsi, mitos, seni, dan ilmu pengetahuan, seperti Ernst Cassirer. Pada sisi lain, ia memberi makna yang lebih luas daripada para pengarang yang mereduksi simbol menjadi analogi, dengan berpijak pada retorika Latin atau tradisi neo-
24 Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics . Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h. 8
25 Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics . Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.11
330 | Masykur Wahid
Platonik. Oleh sebab itu, Ricoeur mempertahankan makna awal penafsiran sebagai interpretasi atas makna-makna yang tersembunyi. Simbol dan interpretasi menjadi konsep-konsep yang saling berkaitan. Interpretasi muncul ketika makna multi-vokal ada. Dalam interpretasi ini, pluralitas makna dimanifestasikan.
Kedua (2), pada tahap reflektif. Pada tahap reflektif, mengintegrasikan pemahaman semantik dengan pemahaman ontologis. Untuk itu, jembatan menuju eksistensi adalah “refleksi” sebagai penghubung antara pemahaman tanda-tanda dan pemahaman-diri. Dengan penghubung ini, diri sendiri dapat memiliki kesempatan untuk menemukan eksistensi.
Untuk menghubungkan bahasa simbolis dengan pemahaman-diri itu, dijelaskan di dalam hermeneutika dengan pemikiran bahwa: “Tujuan semua interpretasi untuk menaklukkan keterpisahan, yaitu jarak antara epoché budaya masa lalu (di mana teks melekat) dan interpreter. Dengan menaklukkan jarak ini, dengan membuat dirinya sendiri sesuai dengan teks, interpreter dapat menyesuaikan maknanya pada dirinya sendiri: meski asing,
interpreter membuat teks dikenal, yaitu miliknya sendiri”. 26
Dengan pemikiran itu, setiap hermeneutika secara eksplisit atau implisit merupakan tindakan memahami diri sendiri dengan cara memahami
orang lain. Pada tahap kedua tersebut, hermeneutika dapat dimasukkan ke dalam fenomenologi, bukan hanya pada tataran teori makna yang diekspresikan di dalam Logical Investigations, melainkan juga pada tataran problematika cogito yang terhampar dari Ideen I sampai Cartesian Meditions. Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa dengan menggabungkan makna-makna yang multi-vokal dengan pengetahuan diri yang mendalam berarti kita ikut mengubah problematika cogito. Artinya, apakah dalam pemahaman-diri menunjukkan pada interpretasi
26 Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics . Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.16
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 331
psikoanalitis atau penafsiran tekstual. Sesungguhnya kita pernah tidak mengetahui sebelumnya, selain hanya setelah menganalisisnya, dan sayangnya keinginan untuk mengerti diri sendiri hanya dituntun oleh sebuah konsep.
Mengapa diri sendiri yang menuntun interpretasi dapat menyadari bahwa dirinya adalah hasil dari interpretasi? Ricoeur memberikan dua alasan. (a) pertama, Cogito Cartesian yang dipahami dalam diri sendiri secara langsung dalam pengalaman keraguan bahwa kebenaran sama sia-sianya dengan ketidakpastian. Cogito berkembang menjadi being dan tindakan, eksistensi dan operasi pemikiran: I am, I think; to exist is to think; I exist insofar as I think. Kebenaran ini hanya sia-sia saja, karena langkah awalnya tidak akan mampu diikuti oleh berikutnya selama ego dari ergo cogito tidak ditangkap di dalam cermin obyek, karya, dan akhirnya tindakannnya. Untuk menjelaskan ini, Ricoeur mengatakan:
“Refleksi merupakan intuisi buta jika tidak dijembatani oleh apa yang Dilthey sebut ekspresi-ekspresi di mana kehidupan
mengobyektivasikan dirinya sendiri. Atau, menggunakan bahasa Jean-Nabert, refleksi merupakan tidak lain dari apropriasi tindakan mengada kita melalui kritik yang diterapkan pada
karya, sehingga tindakan merupakan tanda mengada . 27
Selanjutnya, refleksi adalah sebuah kritik, bukan dalam pengertian Kantian mengenai justifikasi ilmu dan tanggung jawabnya, melainkan dalam pengertian bahwa cogito dapat ditemukan hanya dengan mengambil jalan memutar terhadap penguraian dokumen- dokumen kehidupannya. Dapat dikatakan bahwa refleksi adalah “apropriasi usaha kita untuk mengada dan hasrat kita untuk menjadi berarti melalui karya yang menyaksikan usaha dan hasrat” .
Ricoeur menambahkan bahwa cogito seperti ruang hampa yang dari waktu ke waktu ditempati oleh cogito yang keliru (false cogito).
27 Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics . Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.17
332 | Masykur Wahid
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa dalam semua disiplin penafsiran dan khususnya psikonalisis kesadaran yang pertama merupakan “kesadaran yang keliru.” Dari situ, diperlukan pengabungan kritik atas kesadaran yang keliru dengan berbagai macam penemuan atas subyek cogito di dalam dokumen-dokumen kehidupannya. Maka, jelas bahwa filsafat refleksi berbeda dengan filsafat kesadaran.
(b) Kedua, bukan hanya “ I” yang mampu menangkap kembali dirinya
kehidupan yang mengobyektivikasikannya, melainkan juga penafsiran tekstual terhadap kesadaran yang bertentangan ( misinterpretation) dari kesadaran yang keliru. Schleiermarcher mengatakan bahwa “ hermeneutics is found wherever there was first misinterpretation.” Dengan begitu, secara tidak langsung refleksi harus memunculkan sebuah kritik yang korelatif terhadap kesalahpahaman menuju pemahaman.
di dalam
ekspresi-ekspresi
Dengan penjelasan tahap refleksi ini, Ricoeur mengatakan bahwa tahap semantik diletakkan sebagai fakta bagi eksistensi terhadap bahasa yang tidak dapat direduksikan menjadi makna-makna yang univokal. Ia memberikan contoh bahwa:
“Ternyata, pengakuan terhadap kesadaran kebersalahan melampaui simbolisme noda, dosa, dan rasa bersalah. Keinginan yang diresapi diekspresikan di dalam simbolisme yang
menunjukkan stabilitas tertentu melalui mimpi, pepatah kuno, legenda dan mitos. Yang suci diekspresikan di dalam simbolisme
unsur-unsur: langit, bumi, air dan api”. 28
Kegunaan filosofis pada bahasa itu masih terbuka bagi serangan para ahli logika bahwa bahasa yang samar-samar menyediakan argumen yang keliru. Oleh karena itu, justifikasi terhadap hermeneutika dapat radikal jika hanya pada hakikat pemikiran reflektif yang terdalam orang dapat menemukan prinsip logika yang bermakna ganda. Logika tersebut
28 Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics . Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.18
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 333
bukan logika formal (verifikasi empiris), melainkan logika transendental (probabilitas).
Ketiga (3), tahap eksistensial. Di dalam tahap eksistensial ini, Ricoeur menunjukkan hubungan hermeneutika dengan problematika eksistensi. Ontologi yang terpisah dari pemahaman hanya ada di dalam interpretasi saja ketika memahami being yang diinterpretasikan. Ontologi pemahaman diungkapkan dalam metodologi interpretasi mengikuti hermeneutic circle yang dikatakan Heidegger. Selain itu, hanya di dalam sebuah konflik hermeneutika yang berbeda-beda saja dapat memahami being yang diinterpretasikan. Oleh karenanya, setiap hermeneutika menemukan aspek eksistensi yang dijadikan sebagai metode.
Dengan pemikiran itu, apa yang sesungguhnya dapat diharapkan dengan ontologi fundamental ini? Menurut Ricoeur, ada dua yang dapat diharapkan, yaitu: (a) pertama, dapat membubarkan persoalan klasik mengenai subyek sebagai kesadaran. (b) Kedua, dapat memulihkan persoalan eksistensi sebagai hasrat.
Melalui kritik kesadaran ini, psikoanalisis menunjukkan aspek ontologisnya. Interpretasi terhadap mimpi, fantasi, mitos, dan simbol selalu berbeda dengan beberapa pretensi kesadaran dalam diri sendiri sebagai akar makna. Perlawanan melawan narsisme, ekuivalen dengan false cogito Freudian, membawa kepada penemuan bahwa bahasa berakar secara mendalam di dalam keinginan dan impuls-impuls instingtual kehidupan. Dengan cara itu, psikoanalisis membawa kembali kepada pertanyaan: bagaimana penandaan dapat tercakup di dalam kehidupan? Kemunduran makna hasrat itu mengindikasikan kemungkinan transendensi refleksi ke arah eksistensi. Selanjutnya, cogito tidak lagi menjadi tindakan prestisius, karena pretensi sendiri telah ada di dalam being.
Sebagai meditasi filosofis terhadap psikoanalisis, tahap refleksif dapat mengatasi problematika eksistensi melalui interpretasi untuk menyingkap tipuan-tipuan hasrat ( tricks of desire) yang berakar pada makna. Ricoeur sendiri tidak memunculkan hasrat di luar proses interpretasi, karena hasrat selalu berwujud being yang diinterpretasikan.
334 | Masykur Wahid
Dengan memahami hermeneutika, sesungguhnya eksistensi yang ditemukan psikoanalisis adalah hasrat. Dengan kata lain, eksistensi sebagai hasrat. Eksistensi seperti ini secara prinsipil tampak di dalam arkeologi mengenai subyek. Sebaliknya, dalam filsafat roh, hermeneutika digunakan untuk mengubah akar makna, sehingga eksistensi tidak lagi berada di belakang subyek melainkan di depannya. Sebagaimana, tampak dalam analisis Hegel dalam Phenomenology of the Spirit, bahwa hermeneutika mengenai kedatangan Tuhan, kedatangan Nabi Isa dan Iman Mahdi, pendekatan Kerajaannya, dapat menghadirkan ramalan kesadaran.
Pada tahap ini, kita dapat menganalisis pemaknaan hadits yang dijelaskan oleh Ibnu Mas`ud ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bila tidak kekal dunia ini kecuali sehari saja, maka Allah akan panjangkan hari itu hingga Dia mengutus seseorang dari aku atau dari ahli bait-ku, namanya sesuai dengan namaku dan nama ayahnya sesuai dengan nama ayahku. Dia akan memenuhi dunia dengan keadilan dan qisth, sebagaimana dunia ini sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan al-Juur” (H.R. At-Tirmizy dalam Kitab Fitan).
Kedatangan Imam al-Mahdi ini sebelum turunnya Nabi Isa as yang akan memberi petunjuk kepada umat manusia dan menegakkan hujjah Allah SWT. Di dalam hadits lain, dijelaskan bahwa dari Ali bin Abi Tholib ra ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda:“Al-Mahdi dari golongan kami, ahlul bait, Allah memperbaikinya dalam satu malam” (Musnad Ahmad 2/58 dan Sunan Ibnu Majah 2/1367.
Ricoeur memperbandingkan dengan Hegel, karena model interpretasinya kontradiksi diametris dengan Freud. Psikoanalisis menawarkan kepada kita sebuah kemunduran menuju yang kuno. Sedangkan, fenomenologi roh menawarkan pada kita sebuah gerakan
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 335
yang di dalamnya masing-masing figur menemukan maknanya, bukan di dalam apa yang telah berlalu, melainkan di dalam apa yang akan terjadi kemudian. Bagi Ricoeur:
“Kesadaran menggambarkan di luar dirinya sendiri, di depan dirinya sendiri, menuju makna yang bergerak dalam tahap berikutnya. Dengan kata lain, teleologi subyek dipertentangan
dengan arkeologi subyek”. 29
Apa yang penting, ternyata bahwa teleologi ini sama dengan arkeologi Freudian. Roh direalisasikan hanya di dalam persilangan dari satu figur ke figur lainnya. Oleh karenanya, hal tersebut menjelaskan mengapa filsafat mempertahankan hermeneutika, yaitu pengungkapan makna yang tersembunyi dalam teks yang mengandung makna yang tampak. Demikian itu, tugas hermeneutika untuk menunjukkan bahwa eksistensi memunculkan ekspresi, makna dan refleksi, hanya melalui penafsiran berkelanjutan dari semua penandaan yang dijelaskan di dalam dunia budaya.
Eksistensi bisa menjadi diri yang manusiawi dan dewasa hanya dengan apropriasi makna-makna yang pertama, terletak “di luar” karya-
karya, institusi-institusi dan monumen-monumen kultural, di dalam kehidupan roh yang diobyektifkan.
Dalam fenomenologi religius Van der Leeuw dan Mircea Eliade, deskripsi sederhana mengenai ritus, mitos dan kepercayaan, dianggap sebagai bentuk tingkah laku, bahasa dan perasaan, karena manusia sendiri yang mengarahkan kepada sesuatu “suci.” Menurut Ricoeur, apabila fenomenologi tetap bertahan pada tingkat deskritif, maka
29 Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics . Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.21
336 | Masykur Wahid
tindakan interpretasi yang reflektif dapat berjalan lebih jauh lagi. Caranya:
“Dengan pemahaman-diri sendiri yang mendalam dan melalui tanda yang suci, manusia menampakkan pelarian diri sendiri
secara sangat radikal yang mungkin bayangkan”. 30
Ketidakmilikan itu melampaui yang telah dilakukan psikoanalisis Freudian dan fenomenologi Hegelian, baik secara individual maupun ketika efek-efeknya dikombinasikan. Sebuah arkeologi dan sebuah teleologi masih tetap mengandung arché dan telos yang dapat dikendalikan subyek ketika memahaminya. Yang suci memanggil manusia. Dalam panggilannya, yang suci memanifestasikan dirinya, seperti menguasai eksistensinya, karena yang suci menyimpan eksistensi secara absolut sejalan dengan usaha dan hasrat yang mengalir darinya.
Adanya hermeneutika yang berbeda-beda dengan caranya masing-masing merupakan akar-akar ontologi pemahaman. Masing-
masing dalam caranya sendiri menegaskan sebuah ketergantungan kepada eksistensi. Ketergantungan psikoanalisis ditunjukkan di dalam arkeologi subyek. Ketergantungan fenomenologi roh ditunjukkan di dalam teleologi figur-figur. Ketergantungan fenomenologi religius di dalam tanda-tanda suci.
Semua itu merupakan implikasi ontologis dari interpretasi. Dengan kata lain, ontologi terpisah dari interpretasi. Ontologi ditangkap di dalam lingkaran yang dibentuk oleh penghubung antara tindakan interpretasi dan being yang diinterpretasikan. Hal itu menandakan sama sekali bukan kemenangan ontologi dan bukan sebuah ilmu, karena ontologi tidak mampu menghindari resiko interpretasi dan bahkan ontologi tidak dapat lepas seluruhnya dari peperangan internal di mana bermacam-macam hermeneutika yang lebur di antara mereka sendiri.
30 Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics . Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.22
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 337
Meskipun demikian, bagi Ricoeur hermeneutika yang bertentangan bukan hanya sekadar “ language games.” Dalam filsafat bahasa, semua interpretasi sama-sama valid di dalam batas-batas teori, sehingga aturan-aturan pembacaan dapat ditemukan. Interpretasi yang sama-sama valid. Hal ini tetap mempertahankan permainan bahasa masing-masing hingga ditunjukkan bahwa setiap interpretasi didasarkan pada satu fungsi eksistensial tertentu. Dengan hal itu, dapat dikatakan bahwa:
“Psikoanalisis memiliki dasarnya di dalam arkeologi subyek, fenomenologi roh di dalam teleologi, dan fenomenologi religius
dalam eskatologi”. 31 .
E. Kesimpulan Hermeneutika fenomenologis ala Ricoeur dianggap sebagai mediator antara Schleiermacher dan Dilthey dalam tradisi hermeneutika romantisnya dan Heidegger dan Gadamer dalam tradisi hermeneutika ontologis-eksistensialnya.
Ricoeur menempatkan hermeneutika sebagai kajian terhadap ekspresi-ekspresi kehidupan yang difiksasi secara linguistik. Ia tidak hanya berhenti pada langkah
Misalnya,
psikologisme untuk merekonstruksi pengalaman penulis, seperti Schleiermacher, maupun usaha penemuan diri sendiri pada diri orang, seperti Dilthey, melainkan juga menyingkap potensi Being atau eksistensi, seperti Heidegger dan Gadamer.
Hermeneutika fenomenologis ala Ricoeur dipahami dengan interpretasi teks. Teks sebagai tindakan yang penuh makna. Dengan interpretasi itu, teks memediasi penjelasan yang objektif dan pemahaman yang subjektif. Hermenentika fenomenologis sebagai proses interpretasi dari fiksasi makna (tekstualisasi pengalaman), teks terlepas dari intensi pengarang (objektivasi pengalaman), dan dekontekstualisasi dari lingkup sosial dan sejarah, dan teks terlepas referensi ostensif.
31 Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics . Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.23
338 | Masykur Wahid
Dalam penerapannya, fenomena pembacaan shalawat diba’ di dalam masyarakat Krapyak, Yogyakarta harus melalui proses fiksasi makna. Setelah teks tertulis, kita melakukan tiga tahap interpretasi teks. Pertama, tahap semantik, pemahaman semantik. Kedua, tahap reflektif, mengintegrasikan pemahaman semantik dengan pemahaman ontologis. Kedua, tahap eksistensial, pemahaman eksistensial yang akan memproduksi eskatologi sebagai analisis hermeneutika fenomenologi religius. Itulah hermeneutika fenomenologis sebagai metode di dalam studi living hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Aini, Adrika Fithrotul. 2014. “ Living Hadis dalam Tradisi Malam Kamis Majelis Shalawat Diba’ Bil-Mustofa” dalam Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies. Vol. 2, No.1, Juni, hlm. 221-235.
Bauman, Zygmun. 1978. Hermeneutics and Social Science. New York: Columbia, University Press. Bertens, K. 1983. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. Jilid I. Jakarta: Gramedia. Bleicher, Josef. 1980. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique. London: Routledge & Kegan Paul.
Bruns, Gerald L. 1992. Hermeneutics: Ancient and Modern (New Haven and London: Yale University Press. Concise Routledge: Encyclopedia of Philosophy. 2000. London & New York: Routledge. Crapanzano, Vincent. 1992. Hermes’ Dilemma and Hamlet’s Desire: On the Epistemology of Interpretation. Cambridge: Harvard University Press.
Montefiore, Alan (ed.). 1983. Philosophy in France Today. Cambridge: Cambridge University Press.
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 339
Palmer, Richard E. 1969. Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer. Evanston: Northwestern University Press.
Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press.
___________. 1981. Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation. Ed. and Trans. John B. Thompson. Cambrige: Cambridge University Press.
____________. 1976. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus
Meaning, Texas: The Texas Christian University Press. ____________. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics. Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press.
Salih, Subhi. 1988. Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Ilm lil-Malayin. Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1993. Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. 2006. Metodologi Penelitian Hadis. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Jurnal Holistic al-Hadis , Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939