TINJAUAN PUSTAKA Utilization of hydrolyzed shrimp shell by chitinase crude enzyme for juvenile catfish (Pangasianodon hypopthalmus) feed
dalam pakannya untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan. Bila dalam pakan tersebut tidak mengandung asam amino ini maka pertumbuhan ikan Channel
catfish akan mengalami penurunan. Sedangkan asam amino non esensial seperti
alanin, asam aspartat, sistin, asam glutamat, glisin, prolin, serin, and tirosin tidak mempengaruhi pertumbuhan ikan Channel catfish FAO 1980. Kebutuhan asam
amino untuk Channel catfish Ictalurus punctatus dapat dilihat pada Tabel 1.
Ikan jenis catfish tidak dapat memanfaatkan asam amino bebas yang ditambahkan kedalam pakan dengan defisiensi protein sehingga penambahan
methionin, sistin atau lisine kedalam pakan tidak akan mempengaruhi pertumbuhan ikan catfish FAO 1980. Akan tetapi apabila asam amino bebas ini
diberikan kedalam pakan dengan kandungan protein yang cukup, energi untuk mensintesa asam amino esensial akan dapat disimpan Robinson et al 2001.
Tabel 1. Kebutuhan asam amino essensial untuk ikan Channel catfish NRC 1983
dalam Halver 1988
Asam Amino protein
Arginin 4.3
Histidin 1.5
Isoleucin 2.6
Leucin 3.5
Lysin 5.1
Methionin 2.3
Phenilalanin 5.0
Threonin 2.3
Tryptophan 0.5
Valin 3.0
Pakan ikan umumnya mengandung 20 atau lebih protein kasar sebagai sumber protein. Protein yang berasal dari protein hewani mempunyai kualitas
yang lebih besar dibanding protein nabati, karena mengandung asam amino yang lebih tinggi. Protein hewani penting keberadaannya dalam pakan benih dan
juvenile ikan catfish. Tepung ikan merupakan sumber protein yang lebih baik dibanding sumber protein hewani lainnya Robinson et al. 2001.
Tepung Ikan
Tepung ikan adalah tepung yang berasal dari sisa olahan atau sisa – sisa dari
hasil penangkapan ikan, baik ikan utuh maupun ikan rucah. Kandungan protein tepung ikan yang sebesar 60
– 80 sangat disukai oleh ikan jenis catfish. Tepung ikan merupakan sumber asam amino esensial yang baik Robinson et al. 2001.
Asam amino yang terkandung didalam tepung ikan adalah 10 asam amino esensial yang dibutuhkan oleh ikan, dimana umumnya mengandung lysin yang
relatif tingi. Kualitas protein tepung ikan ditentukan oleh jumlah dan kualitas asam amino, sedangkan komposisi asam amino ditentukan oleh jenis ikan yang
digunakan Lovell 1989. Selain itu, tepung ikan juga mengandung energi yang tinggi, mineral serta asam lemak esensial. Tepung ini dapat digunakan hingga
50 untuk benih ikan catfish, hingga 12 untuk ikan catfish ukuran fingerling, dan 0
– 8 pada pakan untuk pembesaran Robinson et al. 2001. Adapun kelemahan dari tepung ikan adalah harga yang mahal dan ketersediaan untuk
5
kepentingan akuakultur Lovell 1989. Komposisi asam amino esensial tepung
ikan dari beberapa pustaka dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi asam amino esensial tepung ikan protein
Asam Amino Tuna fish meal
1
White meal mech extr
1
Fish meal
2
Asam aspartat -
- 9,54
Asam glutamate -
- 13,72
Serin 2,52
3,35 4,46
Glisin 4,41
4,84 6,43
Histidin 1,89
1,47 2,05
Arginin 3,69
4,41 6,25
Threonin 2,49
2,82 4,31
Alanin -
- 6,21
Prolin -
- -
Tirosin 1,81
2,00 3,45
Valin 2,98
3,31 5,07
Methionin 1,58
1,84 2,96
Sistin 0,5
0,82 -
Isoleusin 2,64
2,98 4,28
Leusin 4,09
4,78 7,61
Phenylalanin 2,32
2,50 4,01
Lisin 4,54
4,96 8,43
Tryptophan 0,62
0,73 -
Keterangan:
1
Halver dan Hardy 2002,
2
Pongmaneerat dan Watanabe 1992
Tepung Cangkang Udang
Limbah dari industri pengolahan udang umumnya berupa kepala dan cangkang udang yang mencapai 30 hingga 75 dari bobot keseluruhan udang.
Menurut Synowiecki dan Al-Khateeb 2000, cangkang udang mengandung kitin yang cukup besar 14
– 30. Sedangkan kandungan kitin dibagian kepala udang memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan cangkang udang yakni 11
Mizani et al 2005. Cangkang udang merupakan sumber protein yang berpotensi tinggi dalam pakan ikan karena cangkang udang mengandung kadar protein yang
cukup tinggi yaitu 30 - 40 Daragmeh et al. 2011. Hal ini menunjukkan bahwa cangkang udang berpotensi untuk menggantikan tepung ikan dalam pakan.
Kandungan nutrisi dalam tepung cangkang udang tergantung pada jumlah cangkang atau eksoskeleton dari udang, yang terdiri dari kitin yang merupakan
bagian dari protein kompleks sehingga memiliki nilai kecernaan yang rendah bila diberikan kepada hewan Fanimo et al 2000. Nwanna dan Daramola 2001
menunjukkan bahwa nilai kecernaan ADC ikan nila yang diberi tepung cangkang kepala udang lebih rendah 88,1 secara signifikan dibanding kontrol
97,1. Namun setelah difermentasi dalam bentuk silage, nilai kecernaan protein tepung cangkang kepala udang tidak berbeda nyata pada ikan African Catfish
Clarias gariepinus Nwanna 2003. Bahkan pada ikan nila, bentuk silage dari tepung cangkang kepala udang memiliki nilai kecernaan yang lebih tinggi
dibanding kontrol Plascencia-Jatomea dan Olvera-Novoa 2002.
Kitin menghambat kinerja enzim untuk mencerna protein dan lemak sehingga mempengaruhi pemanfaatan tepung cangkang udang Mahata et al.
2008. Oleh karena itu perlu adanya perlakuan untuk menurunkan kadar kitin dalam cangkang udang sehingga dapat meningkatkan pemanfaatannya. Banyak
penelitian yang telah dilakukan untuk memecah kitin secara kimiawi dan biologi. Kitin dapat terpecah dengan menggunakan enzim kitinase. Pemanfaatan enzim
kitinase untuk mendegradasi kitin yang terdapat pada udang belum banyak dilakukan karena produk enzim kitinase komersial yang telah dipurifikasi
berharga sangat mahal. Jika digunakan untuk memperbaiki kualitas gizi udang tidak efisien dan tidak ekonomis, namun hal ini dapat diatasi dengan
memanfaatkan enzim kitinase yang diekstrak dari bakteria yang diisolasi dari alam Mahata, et al. 2006. Banyak mikroorganisme yang telah diteliti untuk
memperbaiki kandungan nutrisi cangkang udang, diantaranya Streptococcus mileri Cobos et al.,2007; Bacillus sp. Hardini dan Djunaidi 2010; Aeromonas
sp. Yulianingsih dan Teken 2008; Tricoderma viride Nugroho et al. 2003; dan Serratia marcescens Mahata 2006.
Enzim kitinase
Kitin adalah polisakarida yang dibiosintetis dari N – acetylglucosamine N
– acetyl – D – glucon 2 – amine dan merupakan komponen utama dari eksoskeleton crustaceae. Kitin tergolong sebagai salah satu serat yang memiliki
tingkat kecernaan yang rendah bahkan mungkin tidak tercerna di dalam sistem pencernaan ikan khususnya ikan karnivora Daragmeh et al 2011. Kitin dapat
dikurangi dengan menghidrolisasi kitin terlebih dahulu. Hidrolisasi kitin dapat dilakukan dengan pemberian enzim kitinase. Tepung kepala udang yang
difermentasikan dengan bakteri Aeromonas sp. mampu menurunkan serat kasar 29,34 menjadi 23,34 Yulianingsih dan Teken 2008.
Enzim kitinase adalah enzim yang mampu memecah kitin menjadi bentuk oligomer yang kemudian diubah menjadi bentuk monomer. Degradasi kitin secara
enzimatis oleh kitinase berlangsung secara bertahap Daragmeh et al. 2011. Bakteri penghasil enzim kitinase dapat dideteksi dan diisolasi melalui
terbentuknya zona bening pada medium selektif agar Purwani et al. 2002. Enzim kitinase dapat diperoleh dari bakteri, jamur, serangga, serta tumbuhan.
Bakteri
–bakteri yang mengandung enzim kitinase adalah Serratia, Chromobacterium, Klebsiella, Pseudomonas, Clostridium, Vibrio, Arthrobacter,
Beneckea, Aeromonas, dan Streptomyces. Bakteri – bakteri ini mampu
mendegredasi kitin Matsumoto KS 2006. Hidrolisasi kitin menggunakan ekstraselular kitinase yang berasal dari
bakteri Serratia marcescens terbukti dapat menurunkan kandungan kitin sebesar 61.07 dan meningkatkan kandungan protein sebesar 26.09 Mahata et al.
2006. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Mahata et al. 2006 menunjukkan bahwa kandungan asam amino udang yang tidak dihidrolisis
dengan bakteri Serratia marcescens dan yang dihidrolisis mengalami peningkatan kecuali leusin dan triptopan. Meningkatnya asam amino limbah udang setelah
dihidrolisis enzim kasar kitinase disebabkan oleh karena protein yang terikat dengan kitin dan CaCO
3
dapat larut sejalan dengan terdegradasinya kitin. Turunnya kandungan leusin dan triptopan pada cangkang udang yang
dihidrolisasi diakibatkan karena pemanasan yang dilakukan selama proses hidrolisasi untuk menghentikan proses kerja enzim penghentian proses
hidrolisis.
7
Tabel 3. Kandungan Asam -Asam Amino Udang Sebelum dan Sesudah Dihidrolisis Enzim Kasar Kitinase Ekstraseluler dari Bakterium
Serratia marcescens Mahata 2006
Asam Amino Udang Sebelum
Dihidrolisis Enzim Kitinase
protein Udang Sesudah
Dihidrolisis Enzim Kitinase
protein
Asam Aspartat 0,840
1,182 Asam Glutamat
2,403 2,617
Serin 0,376
0,593 Glisin
0,519 0,876
Histidin 0,843
0,912 Arginin
0,429 0,597
Treonin 0,438
0,610 Alanin
0,486 0,715
Prolin 0,309
0,485 Tirosin
0,387 0,962
Valin 0,630
0,987 Metionin
0,423 0,508
Sistin 0,405
0,878 Isoleusin
0,489 0,617
Leusin 0,747
0,685
Penilalanin 0,491
0,711 Lisin
0,534 0,690
Triptopan 0,077
0,063
Keterangan: enzim kitinase berasal dari bakteri Serratia marcescens dengan dosis 4,017 dengan waktu hidrolisis 24 jam
Kecernaan
Nilai nutrien dari pakan tidak hanya berdasarkan komposisi kimia, tetapi juga banyaknya energi yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh ikan.
Ketersediaan nutrien atau energi dalam pakan ikan dapat diketahui dari kecernaan atau metabolism energi. Kecernaan menggambarkan energi atau nutrien yang
terdapat dalam pakan. Baik energi yang diserap maupun energi metabolisme telah digunakan untuk menggambarkan nilai pakan ikan.
Kecernaan dapat diperoleh melalui metoda langsung dan metoda tidak langsung. Metoda langsung menggunakan marker yang tidak tercerna seperti
kromium oksida Cr
2
O
3
yang diberikan dalam pakan dengan konsentrasi 0,5 –
1,0 NRC 1993. Marker ini harus bersifat tidak beracun, tidak mempengaruhi pakan, kecernaan, dan tidak terserap oleh tubuh. Marker ini harus masuk kedalam
tubuh bersamaan dengan pakan dan tidak terpisah dari komponen pakan saat melewati usus Jobling 2002. Metoda ini digunakan untuk mengetahui koefisien
energi, protein kasar, karbohidrat, lemak, dan bahan kering pada beberapa spesies NRC 1993. Kelebihan dari metoda ini adalah analisa lebih akurat, efektif dan
murah Jobling 2002. Selain kromium oksida, marker lain yang dapat digunakan untuk metoda ini adalah titanium oksida, dan sebagainya. Kromium oksida
merupakan marker yang umum digunakan. Akan tetapi marker ini diduga
memiliki beberapa kelemahan seperti dapat menyebabkan gangguan pada fungsi pencernaan, bersifat karsinogenik, dan memiliki kemungkinan untuk terpisah dari
nutrien lain dalam pakan selama berada diusus Jobling 2002.
Sedangkan pada metoda tidak langsung, kecernaan diukur dengan mengukur perbedaan konsentrasi marker difeses dan di pakan serta energi yang
terkandung didalamnya. Metoda ini digunakan untuk menentukan koefisien kecernaan energi, protein kasar, karbohidrat, lemak pada beberapa spesies ikan.
Metoda ini memiliki kelemahan karena ikan mudah stress selama pengambilan feses sehingga pemanfaatan nutrien yang terjadi hanya sedikit NRC 1993.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui nilai kecernaan protein dari tepung cangkang udang. Nilai kecernaan protein pakan dengan tepung
kepala udang dalam bentuk silage yang diberikan kepada ikan African Catfish mengalami penurunan dibandingkan pakan kontrol Nwanna et al 2004 dan
Nwanna 2003. Proses pengolahan silage tepung kepala udang mempengaruhi nilai kecernaan protein bahan. Pada silage tepung kepala udang yang
menggunakan asam formiat dan asam etanoat, nilai kecernaan protein pakan dengan tepung kepala udang yang menggantikan tepung ikan sebesar 30
mengalami penurunan yang berbeda nyata dibandingkan pakan kontrol Nwanna et al 2004. Sedangkan silage tepung kepala udang yang menggunakan molase
dan bakteri Lactobacillus plantarum, nilai kecernaan protein yang diperoleh antar perlakuan tidak berbeda nyata Nwanna 2003. Hal ini dikarenakan kandungan
serat kasar dan abu dari silage yang menggunakan molase dan bakteri Lactobacillus plantarum lebih rendah dibandingkan silage yang menggunakan
asam formiat dan asam etanoat. Untuk ikan nila, pemberian tepung kepala udang dalam bentuk silage yang menggunakan asam laktat, menghasilkan nilai
kecernaan protein yang lebih baik dibandingkan dengan pakan kontrol Plascencia-Jatomea dan Olvera-Novoa 2002.
9