3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikroalga
Mikroalga merupakan sebuah mikroorganisme fotosintetik yang tergolong dalam prokariot atau eukariot dan dapat tumbuh secara cepat dengan struktur
uniselular atau multiselularnya Quinn, 2011. Mikroalga merupakan organisme autotrofik yang mampu membuat sendiri makanannya. Organisme ini merupakan
produsen primer perairan karena mampu berfotosintesis layaknya tumbuhan tingkat tinggi. Mikroalga banyak ditemukan dari beberapa kelas seperti
Bacillariophyceae diatom, Chrysophyceae alga coklat keemasan, dan kelas Cyanophyceae Kawaroe et al., 2010. Berdasarkan pigmen yang dimiliki
olehnya, menurut Kawaroe et al. 2010 mikroalga dibagi menjadi 5 lima filum, yaitu:
Chlorophyta alga hijau Chrysophyta alga keemasan
Pyrophyta alga api Euglenophyta
Cyanophyta alga biru hijau Layaknya organisme lainnya, mikroalga memiliki kisaran nilai pada
parameter-parameter tertentu untuk dapat bertahan hidup. Menurut FAO, 1996, ada beberapa parameter yang mempengaruhi kelangsungan hidup dari mikroalga,
yaitu kualitas dan kauntitas nutrient, cahaya, pH, turbulensi, salinitas, dan suhu.
2.2 Fase Hidup Mikroalga
Fase pertumbuhan mikroalga dapat diketahui dengan melakukan pengamatan terhadap parameter pertumbuhan seperti bentuk ukuran sel,
pengukuran kepadatan sel, dan biomassa sel dari waktu ke waktu. Terdapat 5 pola pertumbuhan mikroalga pada sistem kultivasi yaitu : fase lag, fase eksponensial,
fase penurunan pertumbuhan, fase stationer dan fase kematian Kawaroe et al., 2010. Pertumbuhan tiap fase disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Pola pertumbuhan mikroalga. Becker, 1944
2.2.1 Fase Lag Induction Phase
Fase lag merupakan fase awal pertumbuhan mikroalga pada sistem kultivasi. Fase ini ditandai dengan pertumbuhan mikroalga masih dalam jumlah
sedikit. Mikroalga pada fase ini mengalami stressing secara fisiologi karena terjadi perubahan kondisi lingkungan media kultivasi dari media awal ke media
yang baru. Terjadinya perubahan kondisi tersebut menyebabkan mikroalga harus
mengalami proses penyesuaian terlebih dahulu sebelum mengalami pertumbuhan. Perubahan kondisi ini diakibatkan oleh penambahan nutrient dan mineral,
sehingga kelarutannya menjadi lebih banyak dari sebelumnya, dan akan memperngaruhi sintetis metabolisme dari mikroalga karena pindah dari
konsentrasi rendah ke konsentrasi yang tinggi.
2.2.2 Fase Eksponensial
Fase ekponensial merupakan fase lanjutan setelah fase lag. Mikroalga yang telah dikultivasi akan mengalami pertambahan biomassa secara cepat pada
fase ini. Penambahan tersebut apabila dihitung secara matematis akan membentuk sebuah fungsi logaritma. Pemanenan lebih baik dilakukan pada akhir fase ini.
Karena pada akhir fase ini, struktur sel dari mikroalga berada dalam kondisi normal dan secara nutrisi terjadi keseimbangan antara kandungan nutrient dalam
tubuhnya sama dengan kandungan nutrient dalam lingkungan.
2.2.3 Fase Penurunan Pertumbuhan Declining Growth
Fase ini ditandai dengan pengurangan laju pertumbuhan hingga sama dengan fase awal pertumbuhan, yaitu sebuah kondisi stagnan tanpa adanya
penambahan sel yang terjadi. Kandungan nutrient pada fase ini mengalami pengurangan, sehingga kemampuan sel untuk melakukan pembelahan menjadi
berkurang dan menjadi berkurang kuantitas selnya.
2.2.4 Fase Stationer Stationery Phase
Fase ini menunjukkan adanya pertumbuhan mikroalga yang terjadi secara konstan akibat dari kesetimbangan katabolisme dan anabolisme di dalam sel. Fase
ini ditandai dengan rendahnya kandungan nutrien dalam sel mikroalga. Rendahnya kandungan nutrient dalam sel merupakan tanda dari terjadinya fase
ini. Dalam kultivasi yang memiliki kepadatan mikroalga yang rendah, fase ini berlangsung pendek.
2.2.5 Fase Kematian Death Phase
Fase ini diindikasikan dengan kematian sel karena perubahan kualitas air ke arah yang buruk, hal ini disebabkan oleh umur mikroalga yang semakin tua.
Fase ini ini ditandai dengan penurunan jumlah sel yang banyak dan cepat dan gumpalan mikroalga mengendap di dasar wadah kultivasi, warna air kultivasi
yang berubah, dan buih dipermukaan media kultivasi.
2.3 Nannochloropsis sp.
Nannochloropsis spp. merupakan salah satu spesies mikroalga yang terklasifikasikan dalam filum Chlorophyta alga hijau. Mikroalga jenis ini
merupakan jenis Chlorophyta yang hidup berkoloni. Selnya mengandung klorofil A dan B yang sama identik dengan jenis klorofil yang ditemukan pada tumbuhan
tingkat tinggi Kawaroe et al., 2010, zeaxanthin, canthaxanthin dan astaxanthin Lubia et al., 2000. Pigmen-pigmen tersebut secara cepat berubah secara dinamis
bergantung bagaimana Nannochloropsis merespon terhadap perubahan lingkungan, yaitu cahaya Sukenik et al., 1989. Berikut ini merupakan taksonomi
dari Nannochloropsis sp. Kingdom : Chromista T. Cavalier-Smith, 1981
Subkingdom : Chromobiota Cavalier-Smith, 1991 Phylum : Ochrophyta Cavalier-Smith, 1995
Subphylum : Phaeista Cavalier-Smith, 1995 Infraphylum : Chrysista Cavalier-Smith, 1995
Superclass : Limnista Cavalier-Smith, 1996 Class : Eustigmatophyceae Hibberd dan Leedale, 1970
Genus : Nannochloropsis D.J. Hibberd, 1981 Nannochloropsis sp. memiliki sel yang berwarna kehijauan, tidak
memiliki flagel sebagai alat gerak maupun alat untuk mencari makanan, dan pergerakannya juga tidak motil. Mikroalga jenis ini memiliki ukuran yang sangat
kecil yaitu 4-6 µm. Mikroalga Nannochloropsis merupakan pakan alami untuk rotifer Kawaroe et al., 2010. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty 1995,
rotifer merupakan salah satu pakan alami larva ikan yang digunakan para pembudidaya ikan. Gambar dari Nannochloropsis sp. disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Nannochloropsis sp.. sumber: pengamatan mikroskop perbesaran 40x1.
Nannochloropsis sp. dapat hidup pada lingkungan yang memiliki salinitas sebesar 20
o oo
Kawaroe et al., 2010. Berdasarkan hasil budidaya yang dilakukan oleh Nyoman 2009, Nannochloropsis sp. hidup dengan baik pada salinitas
20
o oo
. Menurut Kawaroe et al. 2010 ada beberapa kondisi parameter yang optimum bagi pertumbuhan Nannochloropsis, yaitu suhu 21
o
C, cahaya 52 µm
photons m2s
.
2.4 Sistem Kultivasi Massal