Sistem Kelembagaan, Sarana dan Prasarana dalam Pengembangan Sapi Potong

47

4.2.2 Sistem Kelembagaan, Sarana dan Prasarana dalam Pengembangan Sapi Potong

Lembaga pendukung usaha-tani ternak yang berkembang di kabupaten Lima Puluh kota adalah : 1. Kelompok Tani Ternak. Terdapat 41 kelompok tani ternak di kabupaten Lima Puluh Kota yang terdiri dari ; 34 kelompok peternak sapi bibit, 6 kelompok peter- nak AyamUnggas, dan 1 kelompok peternak kambing. 2. Pos Inseminasi Buatan. Pos Inseminasi Buatan yang berfungsi memberikan pela- yanan Inseminasi Buatan IB sebanyak 13 unit. Pos ini tersebar di masing- masing kecamatan yang ada. 3. Pos Kesehatan Hewan. Pos kesehatan hewan yang memberikan pelayanan dibi- dang kesehatan hewan, terdapat 4 unit yang terletak dimasing-masing kecamatan yakni ; kecamatan Luhak 1 unit, kecamatan Suliki 1 unit, kecamatan Mungka 1 unit, dan kecamatan Situjuh Limo Nagari 1 unit. 4. Sarana Pengairan. Dalam pelaksanaan irigasi kendala yang dialami selama ini adalah kurangnya ketersediaan air pada musim kemarau, karena pada umumnya areal persawahan berada lebih tinggi dari permukaan air sungai yang ada, seperti Batang Sinamar, Lampasi, Agam, Mahat, Mungo dan beberapa sungai kecil yang belum ada bendungan. Disamping itu jaringan irigasi yang ada masih banyak yang kurang terpelihara, sehingga banyak kehilangan air disaluran irigasi. Terda- pat 4 unit cekdam, 4 unit embung, 52 unit pompa air, dan 75 unit kincir air seba- gai sarana irigasi di kabupaten Lima Puluh Kota. 5. Sarana Alat dan Mesin Pertanian. Untuk meningkatkan efisiensi pengolahan la- han, dinas tanaman pangan memfasilitasi dan melayani petani dengan menyedia- kan alat dan mesin pertanian seperti traktor untuk pengolah lahan, tresher untuk perontok gabah dan jagung, RMU dan lain-lain. Alat dan mesin pertanian ter- sebut dikelola dengan Sistem Kerjasama Operasional KSO antara dinas dengan operator kelompok tani. 6. Lembaga Keuangan Pemerintah. Lembaga keuangan pemerintah seperti BRI, Bank Nagari, BNI, Bukopin selalu menyediakan pinjaman modal untuk usaha, dan menyalurkan dana BPLM untuk usaha ternak. Untuk penyaluran dana BPLM telah dipercayakan kepada Bank Nagari dan BNI kabupaten Lima Puluh Kota. 48 7. Perkeriditan Non Pemerintah. Perkeriditan non pemerintah yang berkembang pada dasarnya merupakan lembaga non formal, petani mendapatkan pinjaman modal bagi usahatani melalui perorangan dengan pembayaran setelah panen. Hal ini lebih banyak dimanfaatkan petani karena prosedurnya yang mudah dan tanpa agunan. 8. Pemasaran Hasil Produksi. Hasil produksi usahatani tanaman dan ternak terdiri dari : a. Hasil pertanian, pemasaran hasil pertanian dilakukan melalui tengkulak, pe- dagang pengumpul, harga jual sedikit lebih rendah dari harga pasar dan pembayarannya secara tunai. Apabila produksi yang dijual dalam skala yang relatif besar biasanya petani langsung memasarkannya kepasar kabupaten atau pasar kecamatan yang ada. b. Pemasaran ternak, ternak sapi dipasarkan melalui pedagang pengumpul dan pembayarannya secara tidak tunai dicicil selama 3 – 4 bulan. Ada juga peternak yang minta dibayar tunai, akan tetapi harga yang dibayarkan selalu lebih rendah dari harga pasar selisih sampai Rp 400.000 - 500.000 per ekor. 4.2.3 Manajemen Ternak Sapi Potong Usaha ternak sapi potong yang dipelihara oleh peternak responden dilakukan secara intensif, rataan kepemilikan ternak 5,21 ekorpeternak. 4.2.3.1 Sistem Reproduksi Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis bibit yang dipelihara terdiri dari sapi Peranakan Simental 96,01, Peranakan Limosin 2,53, Peranakan FH 1,09, dan PO 0,37. Responden memilih sapi Simental karena pertumbuhannya cepat dan harga jual dipasaran tinggi, pada hal sapi Simental rentan terhadap kondisi lingkungan tropis dan kesuburannya masih kurang bila dibandingkan dengan sapi Bali. Pemerintah diharapkan bisa menyediakan bibit sapi unggul lokal yang sesuai dengan kondisi setempat untuk pengembangan sapi potong ke depan. Semua respon- den mengawinkan ternaknya melalui IB, permasalahan yang ditemui kurangnya petugas IB sehingga IB terlambat dilakukan dan gangguan penyakit reproduksi yang menyebabkan kejadian kawin berulang, sehingga frequensi IB yang dilakukan lebih banyak. Haswita, 2007 menyatakan bahwa kejadian kawin berulang yang ditemui disentra-sentra pembibitan sapi potong, pada umumnya disebabkan oleh kasus 49 endometis ringan sampai berat yakni mencapai 60 dan gangguan reproduksi sebanyak 40 dari ternak yang diperiksa. Keragaan reproduksi usaha sapi potong program pengembangan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Karakteristik reproduksi usaha sapi potong program pengembangan No Komponen Keterangan 1 2 3 Calving Interval Service per Conception SC Masa Kosong 15 bulan 1,9 4,5 bulan Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi reproduksi yang diperoleh rendah, hal ini terlihat dari calving interval 15 bulan, service per conception 1,9 dan masa kosong selama 4,5 bulan. Toelihere 1993 menyatakan bahwa calving interval yang baik adalah sekitar 12 bulan, makin kecil angka SC menandakan makin suburnya induk sapi yang di IB dan efisienai reproduksi makin tinggi. Demikian pula dengan masa kosong yang relatif panjang, yang biasanya berkisar anatara 40-60 hari setelah melahirkan. Gambar 6 Jenis sapi Simental yang dipelihara peternak 4.2.3.2 Jenis dan Sistem Pemberian Pakan Jenis pakan yang diberikan pada ternak sapi terdiri dari hijauan, konsentrat dan limbah pertanian berupa jerami yang diberikan pada saat panen. Hijauan yang diberikan berupa hijauan unggul rumput gajah dan rumput lapangan 65 rumput unggul dan 35 rumput lapangan, dengan rata-rata pemberian 39 kgekorhari dan 50 frekuensi 2 kali per hari yakni pagi dan sore hari. Hijauan unggul ditanam oleh peter- nak di lahan khusus dengan rata-rata luas kebun rumput 0,96 hapeternak Gambar 7, Gambar 7 Lahan hijauan yang dimiliki peternak konsentrat yang diberikan berupa dedak, dan ampas tahu. Dari gambaran di atas terlihat bahwa petani-ternak sudah mulai memanfaatkan jerami padi untuk pakan ternak akan tetapi belum banyak petani-ternak yang memberikannya, hal ini kare- na hijauan pakan ternak masih tersedia dalam jumlah yang cukup dibandingkan dengan ternak yang ada. 4.2.3.3 Tatalaksana Pemeliharaan Ternak. Ternak sapi dipelihara dengan cara dikandangkan sehingga kondisi kesehatan ternak lebih terjaga serta lebih mudah dalam hal pemberian pakan walaupun peternak harus menyediakan waktu untuk mengarit rumput. Sebagian besar bangunan kandang terbuat dari kayu, atap seng atau rumbia, lantai kandang dari semen, dinding dari kayu dan bambu, ukuran kandang 2 x 1,5 m 2 per ekor Gambar 8. Kandang umum- nya dibersihkan setiap hari, dan peralatan kandang terdiri dari tempat pakan, minum dan penampung kotoran. Tatalaksana pemeliharaan ternak sapi potong program pengembangan terlihat pada Tabel 17. Kotoran ternak sapi yang dihasilkan dikumpulkan setiap hari dan disimpan dibagian belakang atau disamping kandang tanpa upaya pengolahan untuk mendapatkan pupuk kompos. Pupuk kandang digunakan untuk lahan hijauan pakan ternak, tanaman jagung, cabe dan kacang tanah Gambar 9. 51 Gambar 8 Kandang ternak sapi milik peternak Tabel 17 Tatalaksana pemeliharaan ternak sapi program pengembangan No Tatalaksana Peternak Program BPLM Total Persen Situjuh LSH Luhak 1 Sistem pemeliharaan - Intensif - Semi intensif 20 -- 16 1 16 -- 52 1 98,11 1,89 2 Bangunan kandang - Semi permanen lantai beton - Semi permanen lantai tanah - Kayu lantai beton - Kayu lantai tanah 6 3 10 1 2 -- 15 -- 7 4 4 1 15 7 29 2 28,30 13,21 54,72 3,77 3 Membersihkan kandang - Setiap hari - Sekali dua hari - Sekali seminggu 18 2 -- 12 5 -- 13 3 -- 43 10 -- 81,13 18,87 -- 4 Pengolahan pupuk kandang - Melakukan pengolahan - Tidak melakukan -- 20 3 14 - 16 3 50 5,67 94,33 5 Pupuk kandang yang ada - Digunakan - Tidak digunakan 20 -- 17 -- 14 -- 51 -- 100 -- Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 Rataan pupuk kandang yang dihasilkan per peternak sebesar 13.661,95 kgth untuk program dan 8.077,24 kgth non program. Disini terlihat adanya kontribusi usaha ternak sapi terhadap usahatani dari sumbangan pupuk kandang yang dihasilkan. 52 Gambar 9 Pupuk kandang yang sudah siap digunakan 4.2.3.4 Pencegahan dan pengobatan penyakit Pencegahan terhadap penyakit dilakukan melalui sanitasi kandang dan lingkungan 98,04 , serta melakukan vaksinasi 76,47. Penyakit yang pernah menyerang ternak sapi terdiri dari scabies, cacing, diare, kembung, dan penyakit gangguan reproduksi yakni kejadian kawin berulang 60, sehingga calving interval akan semakin panjang dan efisiensi reproduksi menjadi tidak efisien. 4.2.3.5 Pemasaran Hasil Ternak Produk yang dipasarkan berupa sapi bibit, sapi bakalan, dan ternak sapi yang siap potong. Pada umumnya peternak menjual anak sapi pada umur ≤ 1 tahun, dengan pertimbangan supaya segera memberikan penghasilan serta cepat membayar cicilan. Kebiasaan ini sebenarnya justru merugikan peternak karena bila dilihat dari aspek nilai tambah yang dihasilkan belum mencapai tingkat optimal. Dari sisi lain manfaat IB yang sebenarnya diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah asset dengan kualitas yang lebih baik menjadi tidak terwujud, justru yang banyak menikmati nilai tambah hasil IB adalah pedagang atau peternak pengge-mukkan yang membesarkannya menjadi induk atau menjualnya sebagai ternak potong. Pemasaran biasanya dilakukan melalui : 1 pedagang pengumpul 84,31, dan 2 bantuan kelompok tani-ternak 15,69. Pemasaran melalui pedagang pengumpul dilakukan dengan cara : pedagang- nya yang mendatangi peternak ke kandang, pembayaran umumnya dilakukan secara 53 tidak tunai 68,63 baru dilunasi 1 – 2 bulan kemudian, dan pembayaran secara tunai 31,37 dengan harga selalu lebih rendah dari harga pasar selisih harga 400 – 500 ribuan per ekor, ini menggambarkan posisi tawar menawar peternak lemah dan tidak efisiennya pemasaran produk peternakan sehingga pendapatan peternak menjadi berkurang. Mekanisme pemasaran hasil ternak di daerah penelitian seperti terlihat pada Gambar 10. Peternak Pedagang Pasar ternak Pengumpul Kelompok Peternak lain Tani-ternak Gambar 10 Mekanisme pemasaran sapi potong didaerah penelitian Pemasaran melalui kelompok dilakukan dengan cara, jika anggota kelompok yang mau memasarkan ternak sapi dibantu oleh anggota kelompok yang telah ditunjuk untuk menangani pemasaran biasanya anggota kelompok yang telah berpengalaman dibidang pemasaran. Ternak sapi dijual sesuai dengan harga pasar, siempunya ternak dikenakan biaya pemasaran sebesar Rp 50.000 – Rp 75.000,- per ekor ternak 40 dari biaya pemasaran ini dikembalikan ke kas kelompok dan 60 nya merupakan jasa untuk peternak yang memasarkan. 4.2.3.6 Produktivitas dan Pendapatan Usaha Sapi Potong Struktur populasi ternak didaerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Struktur populasi ternak sapi ptong didaerah penelitian No Struktur populasi Program Non Program Ekor ekor 1 2 3 4 5 6 Pejantan Induk betina Jantan muda Sapi dara Anak jantan Anak betina 3 97 5 17 17 32 1,76 56,73 2,92 9,94 9,94 18,71 2 66 4 9 10 25 1,72 56,90 3,45 7,76 8,62 21,55 Total 171 100,00 116 100,00 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 54 Berdasarkan struktur populasi ternak sapi terlihat bahwa sapi betina induk menempati proporsi yang paling tinggi, kemudian diikuti oleh anak betina, anak jantan, dan sapi dara. Sex ratio antara betina dan jantan adalah 5,84 dan 6,25 masing-masing untuk program dan non program. Informasi ini menggambarkan bahwa daerah penelitian merupakan daerah pembibitan intensif, ditandai dari sex ratio yang lebih besar dari 5,00 dan proporsi betina induk dalam struktur populasi menempati proporsi yang lebih besar. Soetirto 1997 menyatakan bahwa, bila sex ratio lebih besar dari 5,00 maka daerah yang bersangkutan dikategorikan sebagai daerah pembibitan intensif, di samping indikator lain berupa besarnya proporsi sapi induk dan pedet. Berdasarkan struktur populasi ternak didaerah penelitian dapat disusun pro- duktivitas sapi potong seperti terlihat pada Tabel 19. Tabel 19 Produktivitas sapi potong didaerah penelitian No Kriteria Program Non Program 1 2 3 4 5 Sex ratio Umur induk kawin pertama bln Jarak beranak bln Mortalita Angka kelahiran 5,84 18 15 1,43 70,71 6,25 22 18 1,96 65,00 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 Dari tabel di atas terlihat bahwa produktivitas ternak sapi peserta program BPLM lebih baik dari pada peternak non program, hal ini terjadi karena pada peternak peserta program sebelum dana bantuan diberikan peternak terlebih dahulu mendapat- kan pelatihan tentang aspek teknis usaha sapi potong. Usaha peningkatan produk- tivitas dapat dicapai melalui : 1 pendekatan kuantitatif yakni peningkatan populasi ternak bibit, dan 2 pendekatan kualitatif yakni peningkatan produktivitas per unit ternak dengan cara memperbaiki efisiensi reproduksi melalui peningkatan angka kelahiran, memperpendek jarak beranak calving interval, dan mengoptimalkan pengelolaan perkawinan IB. Rataan pendapatan yang diperoleh dari usahaternak sapi disajikan pada Tabel 20. Pendapatan yang diperoleh peternak bervariasi diantara peternak peserta program dan luas lahan yang dimiliki. Rata-rata pendapatan peternak program luas lahan ≤ 1 Ha dan 1 Ha berturut-turut adalah sebesar Rp 765.311,83 dan Rp 878.768,58 per peternak per bulan. Rata-rata pendapatan peternak non program luas 55 lahan ≤ 1 Ha dan 1 Ha berturut-turut adalah sebesar Rp 527.479,63 dan Rp 420.175,76 per peternak per bulan. Tabel 20 Rataan pendapatan usaha ternak sapi potong di daerah penelitian No Uraian Program Non Program ≤ 1 Ha 1 Ha ≤ 1 Ha 1 Ha 1 Penerimaan - Nilai jual ternak - Perubahan nilai ternak - Kotoran 5.154.995 9.185.000 513.883,5 4.545.000 10.410.000 611.667 4.093.538,9 3.966.666,7 258.906,7 3.833.312,5 3.675.000 395.295 Total penerimaan 14.853.878,5 15.566.667 8.319.112,2 7.903.607,5 2 Pengeluaran - Pakan - Tenaga kerja - Obat-obatan - Penyusutan - IB - Pemasaran - Cicilan kridit - Sewa lahan - Bunga cicilan 1.555.842,8 1.137.788,8 54.690 206.740 86.125 8.750 1.800.000 381.000 439.200 1.413.241 1.124.497,5 77.835 196.770 84.000 3.500 1.440.000 336.000 345.600 863.884,4 687.555,6 25.538,9 156.822,2 36.666,7 -- -- 218.888,9 -- 1.387.412,5 840.054,7 45.262,5 171.268,8 55.000 -- -- 362.500 -- Total pengeluaran 5.670.136,6 5.021.443,5 1.989.356,7 2.861.498,4 3 Pendapatan - Pendapatan bersih 9.183.741,9 10.545.223,5 6.329.755,5 5.042.109,1 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 4.2.4 Manajemen Usahatani 4.2.4.1 Karakteristik Usahatani Karakteristik usahatani yang menentukan produktivitas adalah luas lahan, lahan garapan terbagi atas : sawah, lahan kering untuk rumput unggul, dan lahan kering untuk tegalan yang ditanami dengan tanaman palawija. Semua responden mengungkapkan bahwa usahatani produktif yang dijalankan dikerjakan pada lahan sawah dan mampu memberikan kontribusi terbesar baik terhadap ekonomi rumah tangga petani secara individu maupun struktur ekonomi nagari. Semua responden juga mengalokasikan lahan kering mereka untuk menanam rumput gajah, dan sebagian responden peserta program 46,6 dan non-program 50 memiliki lahan tegalan sebagai lahan usahatani produktif. Karakteristik usahatani responden dapat dilihat pada Tabel 21. Sistem kepemilikan lahan sawah diklasifikasikan menjadi : 1 petani ternak program BPLM yang memiliki luas lahan sawah ≤ 1 Ha; 2 petani-ternak program BPLM yang memiliki luas lahan sawah 1 Ha; 3 petani-ternak non-program BPLM yang memiliki luas lahan sawah ≤ 1 Ha; dan 4 petani-ternak non-program BPLM 56 Tabel 21 Karakteristik usahatani-ternak peserta program dan non program No Karakteristik Usahatani petani-ternak Program Non Program Freq Freq 1 Sawah 1. Luas garapan - 1 Ha - ≥ 1 Ha 2. Intensitas tanam th - Tiga kali - Dua kali 3. Pola tanam MT I - Padi 4. Pola tanam MT II - Padi 5. Pola tanam MT III - Padi - Cabe - Kacang tanah - Jagung - Bera 20 10 28 2 30 30 12 8 6 2 2 66,67 33,33 93,33 6,67 100,00 100,00 40,00 26,66 20,99 6,67 6,67 18 16 33 1 34 34 19 7 5 2 1 52,94 47,06 97,06 2,94 100,00 100,00 55,88 20,59 14,71 5,88 2,94 2 Lahan untuk kebun rumput 1. Jenis tanaman: R. Gajah 2. Intensitas tanam : tiap thn 30 30 30 100,00 100,00 100,00 34 34 34 100,00 100,00 100,00 3 Lahan tegalan 1. Intensitas tanam thn - Dua kali - Satu kali 2. Pola tanam MT I - Padi ladang - Cabe - Kacang Tanah - Jagung 3. Pola tanam MT II - Padi ladang - Cabe - Kacang Tanah - Jagung 14 14 -- -- 9 3 2 -- 4 7 3 46,67 100,00 -- -- 64,29 21,43 14,28 -- 28,57 50,00 21,43 17 17 -- 1 8 4 4 1 6 6 4 50,00 100,00 -- 5,88 47,06 23,53 23,53 5,88 35,29 35,29 23,54 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 yang memiliki luas lahan sawah 1 Ha, dengan mempertimbangkan perbedaan intensitas tanam pada lahan responden. Aktivitas pola tanam disajikan pada Tabel 22. Pola tanam dominan pada lahan sawah di lokasi penelitian adalah padi-padi- padi. Tanaman padi merupakan komoditas utama yang dibudidayakan pada tiga musim tanam, hal ini berkaitan dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang menempatkan beras sebagai sumber makanan pokok. Musim tanam 1 MT I mulai bulan Oktober dan panen pada bulan Januari, MT II dimulai pada bulan Februari dan 57 Tabel 22 Pola usahatani yang dipertimbangkan dalam model perencanaan optimal Lahan Luas kepemilikan sawah Luas ≤ 1 ha Luas 1 ha Pola tanam Kode Pola tanam Kode 1. Program BPLM a. Sawah 2 x per th b. Sawah 3 x per th c. Kebun rumput d. Tegalan Padi-Padi-Bera Padi-Padi-Padi Padi-Padi-Cabe Padi-Padi-Kt Padi-Padi-Jg Rumput gajah Cabe-Cabe Cabe-Kt Kt-Kt Cabe-Jg Jg-Jg PT1 PT2 PT3 PT4 PT5 PT6 PT7 PT8 PT9 PT10 PT11 Padi-Padi-Bera Padi-Padi-Padi -- Padi-Padi-Kt -- Rumput gajah Cabe-Cabe Cabe-Kt -- -- Jg-Jg PT1 PT2 -- PT3 -- PT4 PT5 PT6 -- -- PT7 2. Non program a. Sawah 2 x per th b. Sawah 3 x per th c. Kebun rumput d. Tegalan -- Padi-Padi-Padi Padi-Padi-Cabe Padi-Padi-Kt Padi-Padi-Jg Rumput gajah Cabe-Cabe Cabe-Kt Kt-Kt Cabe-Jg Jg-Jg Padi-Padi -- PT1 PT2 PT3 PT4 PT5 PT6 PT7 PT8 PT9 PT10 PT11 Padi-Padi-Bera Padi-Padi-Padi -- -- -- Rumput gajah Cabe-Cabe Cabe-Kt Kt-Kt -- Jg-Jg Kt-Jg PT1 PT2 -- -- -- PT3 PT4 PT5 PT6 -- PT7 PT8 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 panen pada bulan Mei, dan MT III dimulai pada bulan Juni dan panen pada bulan September. Untuk MT III petani-ternak telah mulai mengkombinasikannya dengan tanaman palawija dan tanaman sayuran karena persediaan air yang terbatas pada musim kemarau. Terdapat dua musim tanam untuk lahan tegalan yakni musim tanam satu MT I dan musim tanam dua MT II. Musim tanam satu didominasi tanaman cabe 64,29 , dan musim tanam dua didominasi oleh tanaman kacang tanah 50 . Untuk kebun rumput, semua peternak mengalokasikan sebagian lahan kering yang dimiliki untuk tanaman rumput unggul sebagai pakan sapi potong. 4.2.4.2 Sistem Penggunaan Lahan Berdasarkan kapasitas dan intensitas lahan sawah untuk penanaman selama satu tahun, sumberdaya lahan sawah responden dikelompokan menjadi ; 1 lahan 58 sawah dua kali tanam per tahun, dan 2 lahan sawah tiga kali tanam per tahun. Ketersediaan sumberdaya lahan responden disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Sumberdaya lahan yang dikuasai oleh responden penelitian Rincian Luas sawah Ha ≤ 1 Ha 1 Ha 1. Program a. Sawah - Luas minimum - Luas maksimum - Jumlah - Rataan b. Kebun rumput c. Tegalan 0.2 1.0 11.35 0.57 0.95 0.58 1.2 2.5 16.4 1.64 0.84 0.50 2. Non Program a. Sawah - Luas minimum - Luas maksimum - Jumlah - Rataan b. Kebun rumput c. Tegalan 0.25 0.5 6.75 0.38 0.55 0.38 1.1 4.0 36.95 2.31 0.91 0.33 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 Rataan luas sawah yang dimiliki peternak program kategori lahan ≤ 1 Ha dan 1 Ha masing-masing 0,57 Ha, 1,6 Ha ; 0,38 Ha, 2,31 Ha untuk peternak non program. Rataan pemilikan kebun rumput gajah peternak program kategori lahan ≤ 1 Ha dan 1 Ha tidak begitu berbeda, lain halnya dengan peternak non program memiliki luas lahan kebun rumput yang berbeda antara kategori lahan ≤ 1 Ha dan 1 Ha. Rataan luas lahan tegalan yang dimiliki masing-masing peternak tidak begitu berbeda, yang digunakan untuk tanaman palawija dan sayuran dengan interval tanam dua kali per tanun. Produktivitas lahan dapat ditingkatkan dengan mengusahakan integrasi tanam- an dan ternak dalam rangka pemanfaatan sumberdaya secara ekonomis dan optimal. Tingginya frekuensi penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian sangat memungkin- kan penyediaan limbah pertanian sebagai sumber pakan bagi ternak sapi potong. 4.2.4.3 Curahan Waktu Kerja Curahan waktu kerja yang dimaksud adalah jumlah tenaga kerja yang tersedia yang digunakan untuk bekerja dilahan usahatani sawah, kebun rumput, dan tegalan, 59 pemeliharaan ternak, dan kegiatan diluar usahatani-ternak. Rataan tenaga kerja yang tersedia per bulan dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Ketersediaan tenaga kerja keluarga per bulan responden penelitian Rincian Luas sawah Ha ≤ 1 Ha 1 Ha 1. Program - Pria dewasa HKP - Wanita dewasa HKP - Anak-anak HKP jumlah Rataan 600 340 100 1.040 52 350 140 25 515 51,5 2. Non Program - Pria dewasa HKP - Wanita dewasa HKP - Anak-anak HKP jumlah Rataan 550 340 162,5 1.052,5 58,47 550 240 12,5 802,5 50,16 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 Curahan waktu oleh petani untuk kegiatan usaha ternak adalah untuk mengarit rumput, memberi pakan, membersihkan kandang, memandikan ternak, dan member- sihkan kuku. Rataan kebutuhan tenaga kerja per unit ternak per bulan adalah 2,96 dan 2,77 HKP untuk petani ternak program kategori luas lahan sawah ≤ 1 Ha dan 1 Ha, untuk petani ternak non-program kategori luas lahan sawah ≤ 1 Ha dan 1 Ha adalah 5,01 dan 3,39 HKP. Rataan tenaga kerja yang tersedia per bulan peserta pogram dengan luas lahan ≤ Ha dan 1 Ha adalah 52 dan 51,5 HKP, untuk non program adalah 58,47 dan 50,16 HKP. Kegiatan yang umum dilakukan oleh responden pada berbagai jenis tanaman disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Kegiatan budidaya tanaman yang dilakukan responden Jenis tanam Musim Tanam I Musim Tanam II Musim Tanam III Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep 1. Sawah Padi Cabe Kacang Tnh Jagung a -- -- -- bc -- -- -- c -- -- -- d -- -- -- a -- -- -- bc -- -- -- c -- -- -- d -- -- -- a a a a bc bc bc bc c c c c d d d d 2. Kebun Rpt a bc cd cd cd cd cd cd cd cd cd cd 3. Tegalan Padi ladang Cabe Kacang Tnh Jagung a a a a bc bc bc bc c c c c d d d d a a a a bc bc bc bc c c c c d d d d -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 60 Keterangan : a : Persemaian dan mengolah lahan b : Penanaman c : Pemeliharaan penyiangan, pemupukan, pemberantasan hama pe- nyakit d : Panen Perbedaan aktivitas dan intensitas kerja petani pada setiap fase pertumbuhan tanaman berdampak pada perbedaan waktu kerja. Curahan waktu kerja per bulan untuk masing-masing kegiatan pada masing-masing kategori dijelaskan pada Tabel 26. Tabel 26 Curahan tenaga kerja per bulan kegiatan usahatani dilokasi penelitian Kategori MT I HOKHa MT II HOKHa MT III HOKHa Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep 1.Prg ≤ 1 Ha - Padi - Cabe - KT - Jagung - R gajah - Cabe - KT - Jagung 7,95 -- -- -- 11,43 8,2 7,58 5,25 11,35 -- -- -- 6,75 11,72 10,83 7,5 6,81 -- -- -- 6,75 7,03 6,5 4,5 6,81 -- -- -- 6,75 7,03 6,5 4,5 7,95 -- -- -- 6,75 8,2 7,58 5,25 11,35 -- -- -- 6,75 11,72 10,83 7,5 6,81 -- -- -- 6,75 7,03 6,5 4,5 6,81 -- -- -- 6,75 7,03 6,5 4,5 7,95 6,83 8,93 7 6,75 -- -- -- 11,35 9,75 12,75 10 6,75 -- -- -- 6,81 5,85 7,65 6 6,75 -- -- -- 6,81 5,85 7,65 6 6,75 -- -- -- Total 40,41 48,15 31,59 31,59 35,73 48,15 31,59 31,59 37,46 50,6 33,06 33,06 2.Prg 1 Ha - Padi - KT - R gajah - Cabe - KT - Jagung 22,96 -- 10,08 8,75 14 3,5 32,8 -- 5,96 12,5 20 5 19,68 -- 5,96 7,5 12 3 19,68 -- 5,96 7,5 12 3 22,96 -- 5,96 8,75 14 3,5 32,8 -- 5,96 12,5 20 5 19,68 -- 5,96 7,5 12 3 19,68 -- 5,96 7,5 12 3 22,96 22,4 5,96 -- -- -- 32,8 32 5,96 -- -- -- 19,68 19,2 5,96 -- -- -- 19,68 19,2 5,96 -- -- -- Total 59,29 76,26 48,14 48,14 55,17 76,26 48,14 48,14 51,32 70,76 44,84 44,84 3.NP ≤ 1 Ha - Padi - Cabe - KT - Jagung - R gajah - Padi - Cabe - KT - Jagung 5,25 -- -- -- 6,6 7 5,5 3,5 4,43 7,5 -- -- -- 3,9 10 7,85 5 6,33 4,5 -- -- -- 3,9 6 4,71 3 3,8 4,5 -- -- -- 3,9 6 4,71 3 3,8 5,25 -- -- -- 3,9 7 5,5 3,5 4,43 7,5 -- -- -- 3,9 10 7,85 5 6,33 4,5 -- -- -- 3,9 6 4,71 3 3,8 4,5 -- -- -- 3,9 6 4,71 3 3,8 5,25 4 6,3 5,25 6,75 -- -- -- -- 7,5 5,72 9 7,5 6,75 -- -- -- -- 4,5 3,43 5,4 4,5 6,75 -- -- -- -- 4,5 3,43 5,4 4,5 6,75 -- -- -- -- Total 32,28 40,58 25,91 25,91 29,58 40,58 25,91 25,91 27,55 36,47 24,58 24,58 4.NP 1 Ha - Padi - R gajah - Cabe - KT - Jagung 32,33 10,88 5,25 3,5 4,67 46,19 6,43 7,5 5 6,67 27,71 6,43 4,5 3 4 27,71 6,43 4,5 3 4 32,33 6,43 5,25 3,5 4,67 46,19 6,43 7,5 5 6,67 27,71 6,43 4,5 3 4 27,71 6,43 4,5 3 4 32,33 6,43 -- -- -- 46,19 6,43 -- -- -- 27,71 6,43 -- -- -- 27,71 6,43 -- -- -- Total 56,63 71,79 45,64 45,64 52,18 71,79 45,64 45,64 38,76 52,62 34,14 34,14 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 61 Data tersebut menunjukkan bahwa untuk peternak program, tidak semua tenaga kerja keluarga yang tersedia termanfaatkan untuk kegiatan usahatani luas lahan ≤ 1 Ha. Artinya tenaga kerja keluarga yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk tambahan kegiatan usahatani sekitar 2,69-39,25 persen dari kegiatan usahatani yang ada, begitu juga halnya dengan usahatani non-program kepemilikan lahan ≤ 1 Ha. Untuk usahatani program dan non-program kepemilikan lahan sawah 1 Ha hampir semua tenaga kerja keluarga yang tersedia dimanfaatkan untuk kegiatan usahatani. Bahkan pada bulan-bulan tertentu seperti bulan Oktober, November, Februari, Maret, dan Juli, tenaga kerja upahan diperlukan karena meningkatnya aktivitas usahatani seperti pengolahan lahan, penanaman, penyiangan dan panen. Persentase tertinggi penggu- naan tenaga kerja luar keluarga adalah untuk pengolahan lahan, penanaman, pe- nyiangan, dan panen. 4.2.4.4 Penggunaan Input Produksi Input produksi utama yang digunakan oleh petani-ternak dalam menjalankan aktivitas usahatani meliputi bibit tanaman padi, palawija, sayur-sayuran, dan rumput, pupuk organik dan an-organik, pestisida serta obat-obatan untuk ternak. Penggunaan input produksi dihitung per musim tanam, kecuali untuk tanaman rumput hanya ditanam satu kali permulaan saja diremajakan dalam 4 tahun sekali. Bibit tanaman yang digunakan oleh petani dilokasi penelitian meliputi bibit padi, cabe, kacang tanah dan jagung untuk lahan sawah. Bibit padi ladang, cabe, kacang tanah, dan jagung untuk tegalan, serta bibit rumput gajah untuk kebun hijauan pakan ternak. Rataan penggunaan dan ketersediaan bibit tanaman disajikan pada Lampiran 2a dan 2b. Bibit yang disediakan oleh petani selalu lebih besar dari pada jumlah kebutuhan usahatani selisih 10-25, ini bertujuan untuk mengantisipasi kegagalan pertumbuhan bibit di persemaian. Pupuk yang digunakan untuk tanaman terdiri dari pupuk Urea, TSP, KCl, NPK, dan pupuk kandang Lampiran 2c dan 2d. Jumlah pupuk an-organik yang diberikan oleh petani untuk kegiatan usahatani hanya sebesar 50 persen dari dosis pupuk yang dianjurkan, hal ini karena keterbatasan modal untuk membeli pupuk, kecuali pupuk organik hampir semuanya dapat dipenuhi. Obat- obatan yang umum digunakan oleh petani-ternak di daerah penelitian berupa Lebicyt untuk tanaman padi, dan Entracol serta Curacron untuk tanaman cabe Lampiran 2 e. 62 4.2.4.5 Modal. Modal yang tesedia berasal dari dua sumber yaitu modal sendiri dan modal pinjaman kredit. Modal pinjaman hanya ada pada usahatani-ternak program BPLM sedangkan usahatani-ternak non program tidak memperoleh modal pinjaman. Perhitungan modal sendiri dilakukan dengan cara menghitung rata-rata tingkat pen- dapatan rumah tangga petani-ternak selama satu tahun. Data yang diperoleh menun- jukkan bahwa rata-rata modal yang tersedia untuk usahatani-ternak program kepe- milikan lahan ≤ 1 Ha dan 1 Ha sebesar Rp 7.200.362,67 dan Rp 9.749.149,33 per musim tanam. Sedangkan untuk usahatani-ternak non program adalah sebesar Rp 4.852.035,- dan Rp 11.767.449,38 per musim tanam, biaya produksi per Ha lahan disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Biaya produksi masing-masing pola tanam per musim tanam Rincian Biaya Produksi Rp Program Non Program MT I MT II MT III MT I MT II MT III Sawah ≤ 1 Ha a. Padi b. Cabe c. Kt d. Jg e. Padi tgl f. R gajah 957.396,6 1.104.008 923.137,8 679.011,4 -- 1.028.464,6 957.396,6 1.104.008 923.137,8 679.011,4 -- 1.028.464,6 957.396,6 991.005 1.126.820 860.785 -- 1.028.464,6 637.219,8 726.103.2 483.238,1 559.211,6 773.919,1 556.494,8 637.219,8 726.103.2 483.238,1 559.211,6 773.919,1 556.494,8 637.219,8 597.538,6 728.600 642.135 -- 556.494,8 Total 4.692.018,4 4.692.018,4 4.964.471,2 3.736.186,6 3.736.186,6 3.161.988,2 Sawah 1 Ha a. Padi b. Cabe c. Kt d. Jg e. R Gajah 2.606.001 1.218.750 1.714.500 536.240 916.222,7 2.606.001 1.218.750 1.714.500 536.240 916.222,7 2.606.001 -- 2.617.645 -- 916.222,7 3.578.889,8 710.625 500.784,2 593.198,5 928.840,3 3.578.889,8 710.625 500.784,2 593.198,5 928.840,3 3.578.889,8 -- -- -- 928.840,3 Total 6.991.713,7 6.991.713,7 6.139.868,7 6.312.337,8 6.312.337,8 4.507.730,1 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 Untuk usahatani-ternak program dengan kepemilikan lahan ≤ 1 Ha dan 1 Ha, modal yang dimanfaatkan untuk kegiatan usahatani sebesar 67,6 persen dari modal yang tersedia, sisanya digunakan sebagai cadangan untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan usaha. Pada usahatani-ternak non-program, dengan kepemilikan lahan ≤ 1 Ha dan 1 Ha, modal yang dimanfaatkan untuk kegiatan usahatani lebih kecil yakni rata-rata 60,8 persen dari modal yang tersedia. Sementara itu untuk modal pinjaman hanya diberikan pada petani-ternak yang mengikuti program BPLM yakni sebesar Rp 2.400.000 per tahun atau Rp 800.000,- per musim tanam. 63

4.2.4.6 Produktivitas dan Pendapatan Usahatani Tanaman

Berdasarkan Tabel 22 terdapat 11 pola tanam usahatani-ternak program kepemilikan lahan sawah ≤ 1 Ha, dan 7 pola tanam usahatani-ternak program kepemilikan lahan sawah 1 Ha. Khusus petani-ternak non program terdapat 11 pola tanam untuk kepemilikan lahan sawah ≤ 1 Ha, dan 8 pola tanam kepemilikan lahan sawah 1 Ha. Adanya perbedaan pola tanam berdampak pada perbedaan jumlah dan pola produksi usahatani Lampiran 2f-1, 2f-2, 2f-3, 2f-4. Usahatani-ternak program kepemilikan lahan sawah ≤ 1 Ha produksi tertinggi diperoleh pada PT2 yakni pola tanam padi periode tanam tiga kali per tahun, dan PT7 yakni pola tanam tegalan dengan tanaman cabe periode tanam dua kali per tahun. Usahatani program kepemilikan lahan sawah 1 Ha, produksi tertinggi diperoleh pada PT2 yakni pola tanam padi periode tanam tiga kali per tahun, dan PT5 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman cabe periode tanam dua kali per tahun. Usahatani non- program kepemilikan lahan sawah ≤ 1 Ha, produksi tertinggi diperoleh pada PT1 yakni lahan sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode tanam tiga kali per tahun, dan PT4 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman cabe periode tanam dua kali per tahun. Usahatani non-program kepemilikan lahan sawah 1 Ha, produksi tertinggi diperoleh pada PT2 yakni lahan sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode tanam tiga kali per tahun, dan PT4 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman cabe periode tanam dua kali per tahun. Data ini didukung oleh laporan Kasijadi et al. 2007 bahwa, untuk meningkatkan produktivitas usahatani padi telah tersedia rakitan teknologi pengelolaan terpadu spesifik lokasi meliputi ; a adanya varietas unggul spesifik lokasi yang dapat diterima oleh petani dan tidak berdampak negatif terhadap kelestarian alam; b pemupukan rasional spesifik lokasi yang mengacu pada kandungan hara tanah dan kebutuhan tanaman; c penambahan pupuk organik, karena semakin rendahnya bahan organik dalam tanah; dan d pengendalian hama dan penyakit yang ramah lingkungan. Untuk mencukupi kebutuhan pupuk organik dilahan sawah dan memberikan tambahan pendapatan petani, para petani dipacu mengusahakan ternak sapi untuk memperoleh pupuk organik dengan harga murah, diperlukan model integrasi usahatani padi ternak sapi. Perbedaan dalam pola dan jumlah produksi serta produktivitas akan berimpli- kasi pada adanya perbedaan dalam tingkat pendapatan Lampiran 2g-1, 2g-2, 2g-3, 2g-4. Usahatani program kepemilikan lahan sawah ≤ 1 Ha, pendapatan tertinggi 64 diperoleh pada PT3 yakni lahan sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode tanam dua kali MT1, MT2, tanaman cabe periode satu kali MT3 per tahun, dan PT7 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman cabe periode tanam dua kali per tahun. Usahatani program kepemilikan lahan sawah 1 Ha, pendapatan tertinggi diperoleh pada PT3 yakni lahan sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode tanam dua kali MT1, MT2, tanaman kacang tanah periode satu kali MT3 per tahun, dan PT6 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman kacang tanah periode tanam dua kali per tahun. Usahatani non-program kepemilikan lahan sawah ≤ 1 Ha, pendapatan tertinggi diperoleh pada PT3 yakni lahan sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode tanam dua kali MT1, MT2, tanaman kacang tanah periode satu kali MT3 per tahun, dan PT7 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman cabe pada MT1 kacang tanah pada MT2. Usahatani non-program kepemi- likan lahan sawah 1 Ha, pendapatan tertinggi diperoleh pada PT2 yakni lahan sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode tanam tiga kali per tahun, dan PT4 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman cabe periode tanam dua kali per tahun. Model lengkap analisis tingkat usahatani-ternak di daerah penelitian disajikan pada Lampiran 2h sampai 2w. 4.2.5 Optimalisasi Usahatani-ternak 4.2.5.1 Aktivitas Basis pada Pola Usahatani-ternak Optimal Hasil analisis pola usahatani-ternak optimal disajikan pada Tabel 28. Dari Tabel 28 terlihat bahwa aktivitas basis pada pola usahatani-ternak optimal, rata-rata lahan yang dimiliki oleh petani-ternak sawah, kebun rumput, tegalan semuanya termanfaatkan. Tenaga kerja keluarga yang tersedia, pada usahatani-ternak program dan non-program kepemilikan lahan sawah ≤ 1 Ha belum semuanya termanfaatkan, artinya masih ada cadangan tenaga kerja keluarga yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan usahatani-ternak. Untuk usahatani-ternak program dan non-program kepemilikan lahan sawah 1 Ha pada bulan-bulan tertentu Oktober, November, Februari, Maret, Juli terjadi kekurangan tenaga kerja karena meningkatnya aktivitas usahatani untuk pengolahan lahan, penanaman, penyiangan dan panen. Rata-rata ternak sapi potong yang dipelihara berdasarkan potensi lahan hijauan yang ada dan tenaga kerja keluarga yang tersedia, masih dapat di tingkatkan dari rata-rata 65 Tabel 28 Aktivitas basis pola usahatani-ternak optimal Uraian Aktivitas Satuan Jumlah 1. Program sawah ≤ 1 Ha Padi – Padi – Cabe PT3 Hijauan pakan ternak PT6 Cabe – Cabe tegalan PT7 Memelihara sapi bibit PT12 Ha Ha Ha UT 0,57 0,95 0,58 10,44 2. Program sawah 1 Ha Padi – Padi – KT PT3 Hijauan pakan ternak PT4 Cabe – KT tegalan PT6 Memelihara sapi bibit PT8 Menyewa tenaga kerja bln Oktober Menyewa tenaga kerja bln November Menyewa tenaga kerja bln Februari Menyewa tenaga kerja bln Maret Menyewa tenaga kerja bln Juli Ha Ha Ha UT HOK HOK HOK HOK HOK 1,64 0,84 0,50 10,03 7,79 24,76 3,67 24,76 19,26 3. Non Program sawah ≤ 1 Ha Padi – Padi – KT PT3 Hijauan makanan ternak PT5 Cabe – Cabe tegalan PT6 Memelihara sapi bibit PT12 Ha Ha Ha UT 0,38 0,55 0,38 5,62 4. Non Program sawah 1 Ha Padi – Padi – Padi PT2 Hijauan makanan ternak PT3 Cabe – Cabe tegalan PT4 Memelihara sapi bibit PT9 Menyewa tenaga kerja bln Oktober Menyewa tenaga kerja bln November Menyewa tenaga kerja bln Februari Menyewa tenaga kerja bln Maret Menyewa tenaga kerja bln Juli Ha Ha Ha UT HOK HOK HOK HOK HOK 2,31 0,91 0,33 9,93 6,47 21,63 2,02 21,63 2,46 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 kepemilikan ternak yang ada sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa pola usahatani- ternak solusi optimal memberikan pendapatan maksimal bagi petani-ternak. Memelihara ternak merupakan aktivitas basis untuk semua kategori usahatani- ternak dan juga menjadi solusi optimal pada model analisis usaha yang dikembang- kan. Hal ini terjadi karena aktivitas tersebut tidak bersaing dengan aktivitas lain dalam pemanfaatan sumberdaya lahan. Dengan demikian usaha ternak sapi merupa- kan usaha yang dapat dikembangkan secara bersamaan dan saling mendukung terintegrasi untuk memperoleh pendapatan maksimal. Aktivitas lain yang juga menjadi aktivitas basis dalam pola usahatani-ternak optimal adalah menyewa tenaga kerja dari luar terutama pada usahatani-ternak program dan non program kepemilikan lahan sawah 1 Ha pada bulan Oktober- November MT I, Februari-Maret MT II, dan Juli MTIII. Hal ini terjadi karena meningkatnya aktivitas usahatani-ternak pada bulan tersebut dan terbatasnya tenaga 66 kerja yang tersedia dalam keluarga, sehingga digunakan tenaga kerja upahan untuk menutupi kekurangan tenaga kerja keluarga.

4.2.5.2 Alokasi Sumberdaya pada Pola Usahatani-ternak Solusi Optimal

Sumberdaya yang digunakan dalam kegiatan usahatani perencanaan optimal berupa lahan, tenaga kerja, input produksi, dan modal. Lahan. Alokasi optimal penggunaan sumberdaya lahan disajikan pada Gam- bar 11 sampai dengan Gambar 14. MT I MT II MT III Sawah Padi 0,57 Ha Padi 0,57 Ha Cabe 0,57 Ha Kebun rumput Rumput Gajah 0,95 Ha Tegalan Cabe 0,58 Ha Cabe 0,58 Ha Gambar 11 Penggunaan lahan pola optimal program lahan sawah ≤ 1 Ha MT I MT II MT III Sawah Padi 1,64 Ha Padi 1,64 Ha KT 1,64 Ha Kebun rumput Rumput Gajah 0,84 Ha Tegalan Cabe 0,5 Ha KT 0,5 Ha Gambar 12 Penggunaan lahan pola optimal program lahan sawah 1 Ha MT I MT II MT III Sawah Padi 0,38 Ha Padi 0,38 Ha KT 0,38 Ha Kebun rumput Rumput Gajah 0,55 Ha Tegalan Cabe 0,38 Ha Cabe 0,38 Ha Gambar 13 Penggunaan lahan pola optimal non program lahan sawah ≤ 1 Ha MT I MT II MT III Sawah Padi 0,57 Ha Padi 0,57 Ha Cabe 0,57 Ha Kebun rumput Rumput Gajah 0,95 Ha Tegalan Cabe 0,58 Ha Cabe 0,58 Ha Gambar 14 Penggunaan lahan pola optimal non program lahan sawah 1 Ha 67 Lahan yang tersedia seluruhnya dapat di alokasikan pada pola optimal. Untuk lahan sawah musim tanam pertama MT I dan ke dua MT II, tanaman padi merupa- kan tanaman yang direkomendasikan untuk diusahakan pada pola usahatani-ternak solusi optimal. Untuk musim tanam ke tiga MT III bervariasi antara Padi, Cabe, dan Kacang Tanah KT. Lahan hijauan makanan ternak ditanami dengan rumput gajah secara periodik 1-2 tahun sekali, untuk tegalan ditanami dalam dua musim tanam, dan bervariasi antara Cabe dan Kacang tanah. Tenaga kerja keluarga. Penggunaan sumberdaya tenaga kerja keluarga pada pola usahatani-ternak solusi optimal disajikan pada Tabel 29. Pada pola usahatani solusi optimal tidak semua tenaga keluarga yang tersedia dapat dialokasikan dalam usahatani-ternak, kecuali usahatani-ternak program luas lahan 1 Ha terdapat ke- kurangan tenaga kerja pada musim tanam satu MT I, musim tanam dua MT II, Tabel 29 Penggunaan tenaga kerja pola usahatani-ternak optimal No Uraian Tenaga kerja MT I HOK Tenagakerja MT II HOK Tenaga kerja MTIII HOK 1 Usahatani Program lhn ≤ 1 Ha Tersedia Terpakai Sisa 208 151,74 56,76 208 147,06 60,94 208 154,18 53,82 2 Usahatani Program lhn 1 Ha Tersedia Terpakai Sisa 206 231,83 -25,83 206 227,71 -21,71 206 211,76 -5,76 3 Usahatani non Program lhn ≤ 1 Ha Tersedia Terpakai Sisa 233,88 124,68 109,2 233,38 121,98 111,4 233,88 113,18 120,7 4 Usahatani non Program lhn 1 Ha Tersedia Terpakai Sisa 200,64 219,7 -19,06 200,64 215,25 -14,61 200,64 159,66 40,98 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 musim tanam tiga MT III, dan non program luas lahan 1 Ha musim tanam satu MT I, musim tanam dua MT II, dan harus dicarikan dengan menyewa tenaga kerja luar keluarga. Input Produksi. Input produksi yang dipertimbangkan meliputi penggunaan bibit tanaman, pupuk an-organik, dan pupuk organik. Penggunaan input produksi pada pola optimal disajikan pada Lampiran 2x dan 2y. 68 Hampir semua input produksi yang disediakan oleh petani terpakai pada pola usahatani solusi optimal, ini menggambarkan bahwa pada pola ini penggunaan input cenderung lebih efisien dibandingkan pola yang dijalankan oleh petani. Modal. Penggunaan modal pada pola solusi optimal usahatani-ternak disaji- kan pada Tabel 30. Berdasarkan data pada Tabel 30 modal sendiri yang dimiliki petani-ternak tidak seluruhnya dialokasikan pada masing-masing pola optimal, kecuali untuk usaha sapi bibit, karena modal pinjaman dapat dialokasikan seluruhnya pada pola optimal. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk usahatani sapi bibit sum- berdaya modal merupakan sumberdaya yang sangat diperlukan untuk menjalankan usaha sapi potong. Usahatani-ternak yang dijalankan oleh petani telah mengurangi input dari luar, karena tenaga kerja berasal dari dalam keluarga. Input berupa sarana produksi sedapat mungkin diperoleh dari produk masing-masing kegiatan yang saling terkait, pupuk Tabel 30 Penggunaan modal pada pola usahatani-ternak optimal N o Uraian Program Non Program MT I MT II MT III MT I MT II MT III 1 Lahan sawah ≤ 1 Ha a. Modal sendiri Rp Tersedia Terpakai Sisa b. Pinjaman Rp Tersedia Terpakai Sisa 7.200.362,67 3.089.869,22 4.110.493,45 800.000 800.000 -- 7.200.362,67 2.806.790,24 4.393.572,43 800.000 800.000 -- 7.200.362,67 2.181.266,35 5.019.096,32 800.000 800.000 -- 4.852.035 1.850.664,98 3.001.370,02 4.852.035 1.806.868,29 3.045.166,71 4.852.035 1.171.756,97 3.680.278,03 2 Lahan sawah 1 Ha a. Modal sendiri Rp Tersedia Terpakai Sisa b. Pinjaman Rp Tersedia Terpakai Sisa 9.749.149,30 4.489.485,57 5.259.663,73 800.000 800.000 -- 9.749.149,30 4.379.473,67 5.369.675,66 800.000 800.000 -- 9.749.149,30 3.599.308,80 6.149.840,53 800.000 800.000 -- 11.767.449,38 5.124.851,86 6.642.597,52 11.767.449,3 8 5.445.755,15 6.321.694,23 11.767.449,3 8 4.461.846,94 7.305.602,44 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 organik dari limbah ternak dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk lahan pertanian dan kebun rumput. Sebagian petani telah memanfaatkan sisa hasil tanaman untuk ternak, rumput unggul yang sengaja ditanam dilahan khusus dengan memanfaatkan tenaga kerja keluarga yang ada. Pola usaha yang telah diterapkan tersebut, sudah menggambarkan usahatani dengan System Low External Input Sustainable Agricul- ture LEISA. 69 4.2.5.3 Tingkat Pendapatan Usahatani-ternak pada Pola Optimal Besarnya tingkat pendapatan yang diperoleh petani-ternak dengan menjalan- kan pola optimal disajikan pada Tabel 31. Tabel 31 Perbandingan pendapatan antara petani-ternak pola aktual dan po- la optimal N o Uraian Program Non Program Pola aktual Pola optimal Perubah - an Pola aktual Pola optimal Perubah -an 1 Lahan sawah ≤ 1 Ha a. Usaha tanaman Rp b. Usaha sapi potong Total 21.601.088 9.183.741,95 30.784.829,95 48.263.273,54 20.525.663,28 68.788.936,82 123,45 14.556.105 6.329.755,56 20.885.860,56 26.808.934,02 11.651.788,84 38.460.722,86 84,15 2 Lahan sawah 1 Ha a. Usaha tanaman Rp b. Usaha sapi potong Total 29.247.448 10.545.223,50 39.792.671,50 57.928.875,50 20.895.616,08 78.824.491,58 98,09 35.302.348,13 5.042.109,06 40.344.457,19 57.278.412,73 8.180.564,69 65.458.977,42 62,25 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 Pendapatan petani-ternak dapat ditingkatkan sebesar 123,45; 98,09 untuk usaha tani-ternak program luas lahan ≤ 1 Ha; 1 Ha, dan 84,15; 62,25 untuk usahatani- ternak non-program luas lahan ≤ 1 Ha; 1 Ha apabila petani-ternak menjalankan pola usahatani solusi optimal. Ini sesuai dengan tujuan program integrasi tanaman dan ternak yakni : 1 mendukung peningkatan kandungan bahan organik lahan pertanian, 2 membantu upaya peningkatan produktivitas tanaman dan ternak, dan 3 mening- katkan pendapatan petani. Peningkatan pendapatan petani-ternak masih memungkin- kan dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan limbah pertanian untuk ternak sapi potong, dan pemanfaatan limbah ternak sapi potong untuk usaha pertanian. 4.2.6 Kontribusi Pendapatan Usaha Sapi Potong Besarnya kontribusi pendapatan usaha sapi potong terhadap total pendapatan petani-ternak secara keseluruhan disajikan pada Tabel 32. Berdasarkan Tabel 32 terlihat kontribusi pendapatan usaha sapi potong sebesar : 1 23,80 dan 23,41 masing-masing untuk usahatani-ternak program luas lahan sawah ≤ 1 Ha dan 1 Ha ; 2 25,07 dan 11,27 masing-masing untuk usahatani-ternak non-program luas lahan sawah ≤ 1 Ha dan 1 Ha. Hal ini menggambarkan bahwa usaha sapi potong yang dipelihara masih bersifat sambilan, dan relatif tidak berbeda antara pola optimal, dengan luas lahan sawah ≤ 1 Ha dan 1 Ha untuk program, dan berbeda antara luas lahan sawah ≤ 1 Ha dan 1 Ha untuk non program. Menurut Soehadji 1995, usaha peternakan sebagai usaha sambilan yakni petani-ternak yang mengusahakan berbagai 70 komoditi pertanian terutama tanaman pangan, dengan kontribusi pendapatan dari usaha ternak kurang dari 30 persen. Tabel 32 Kontribusi pendapatan usaha ternak sapi potong No Uraian Program Non Program Pendapatan RpTh Kontribusi Pendapatan RpTh Kontribusi 1 Lahan sawah ≤ 1 Ha Usahatani Usaha ternak sapi ptg Lainnya Total 21.601.088 9.183.741,95 7.796.000 38.580.829,95 55,99 23,80 20,21 100,00 14.556.105 6.329.755,56 4.360.555,56 25.246.416,12 57,66 25,07 17,27 100,00 2 Lahan sawah 1 Ha Usahatani Usaha ternak sapi ptg Lainnya Total 29.247.448 10.545.223,50 5.245.000 45.037.671,50 64,94 23,41 11,65 100,00 35.302.348,13 5.042.109,06 4.400.000 44.744.457,19 78,90 11,27 9,83 100,00 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 4.2.7 Analisis Pelaksanaan Program BPLM Hasil analisis terhadap pelaksanaan program BPLM terlihat pada Tabel 33. Tabel 33 Kinerja pelaksanaan program BPLM No Indikator keberhasilan Pelaksanaan program BPLM Luak LSH Situjuh 1 Aspek Kelembagaan a. Jumlah anggota org - Awal program Sept 2002 - Saat bulan Sept 2006 b. Partisipasi anggota - Awal program Sept 2002 - Saat bulan Sept 2006 16 6 90 40 20 27 90 85 20 46 90 80 2 Aspek Usaha a. Permodalan Rp - Awal program Sept 2002 - Saat bulan Sept 2006 b. Perencanaan usaha kedepan - Saat bulan Sept 2006 192.000.000 65.928.000 Koordinasi Kurang 240.000.000 235.727.600 Koordinasi Bagus 240.000.000 260.470.000 Koordinasi Bagus 3 Aspek Teknis a. Angka kelahiran - Awal program Sept 2002 - Saat bulan Sept 2006 b. Angka kematian ternak - Awal program Sept 2002 - Saat bulan Sept 2006 25,01 63,30 3,06 1,67 59,68 67,50 1,89 1,67 48,89 70,59 2,45 1,00 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 71 Aspek kelembagaan. Ditinjau dari aspek kelembagaan, perkembangan jum- lah anggota anggota sub-inti, kelompok tani-ternak Sikabu Saiyo dan Tunas Baru mengalami peningkatan sebesar 130 dan 35 persen, yang mengindikasikan minat yang besar dari anggota sub-inti di dua kelompok tani-ternak tersebut. Sebaliknya kelompok tani-ternak Luak Lalang mengalami berbagai kendala antara lain macetnya pengembalian cicilan pokok dan bunga pinjaman, sehingga tidak ada dana yang digulirkan pada anggota lain. Macetnya pengembalian kredit tidak terlepas dari lemahnya fungsi kontrol dari pengurus dan instansi terkait. Partisipasi anggota kelompok tani-ternak Sikabu Saiyo dan Tunas Baru terlihat cukup tinggi dan sangat kurang pada kelompok tani-ternak Luak Lalang. Berkembangnya suatu kelompok erat kaitannya dengan kemampuan kelom- pok dalam : 1 merencanakan kegiatan untuk meningkatkan produktivitas usahatani- ternak para anggota dan pemanfaatan sumberdaya secara optimal, 2 kemampuan melaksanakan dan mentaati perjanjian dengan pihak lain atau mitra, 3 kemampuan menumpuk modal dan memanfaatkan pendapatan secara rasional, 4 kemampuan meningkatkan hubungan kelembagaan dengan koperasi, dan 5 kemampuan mencari dan memanfatkan informasi serta menggalang kerjasama antar anggota kelompok Kurnianita et al. 2006. Aspek Usaha. Kelompok tani-ternak Sikabu Saiyo mampu meningkatkan modal kelompok sebesar 25,20 persen dari modal awal sebesar Rp 240.000.000. Peningkatan modal kelompok diperoleh dari cicilan pokokbunga pinjaman, usaha penyediaan saprotan milik kelompok, usaha simpan pinjam. Perkembangan kelompok dimasa depan mempunyai prospek yang bagus karena manajemen kelompok yang baik, dan terdapat koordinasi yang baik antar anggota dengan pengurus dalam merencanakan usaha kedepan. Kelompok tani-ternak Tunas baru, masih belum mampu untuk meningkatkan modal kelompok. Hal ini karena sebagian anggota belum mampu mengembalikan cicilan pokokbunga pinjaman, pengurus yang kurang berpengalaman sehingga kelompok kurang berkembang, dan kurangnya transparansi dalam menetapkan anggota yang menerima program sehingga sebagian anggota tidak mampu mengem- balikan cicilan pokokbunga pinjaman. Perencanaan usaha kedepan masih cukup baik karena masih ada koordinasi antara pengurus dan anggota dalam menyusun rencana usaha. 72 Kondisi kelompok tani-ternak Luak Lalang belum sesuai harapan, pening- katan modal kelompok belum berjalan lancar karena ada sebagian anggota yang belum membayar cicilan pokok dan bunga pinjaman. Hal ini disebabkan manajemen kelompok yang belum memadai termasuk perekrutan anggota penerima bantuan tidak mengikuti prosedur yang baik 25 anggota yang menerima bantuan memanfaatkan dana bantuan bukan untuk membeli bibit sapi potong. Ditambah Koordinasi anggota dalam menyusun rencana usaha kedepan tidak dilakukan secara terprogram. Penguatan modal kelompok melalui BPLM merupakan salah satu upaya memberdayakan peternak dengan menggunakan pendekatan usaha kelompok. Ban- tuan tersebut bertujuan memotivasi peternak agar mampu meningkatkan skala usaha secara lebih efisien sehingga dapat memperbaiki tingkat pendapatan. Aspek Teknis. Aspek teknis usaha angka kelahiran dan angka kematian yang diperoleh tidak begitu berbeda diantara kelompok tani-ternak yang menerima bantuan. Hal ini karena sebelum menerima bantuan, anggota kelompok sudah di- bekali mengenai aspek teknis usaha sapi potong seperti teknologi praproduksi me- liputi persiapan pemberian pakan penyusunan ransum, fermentasi jerami, teknologi budidaya IB, vaksinasi, pemberian pakan tambahan, vitamin, teknologi pasca panen pengolahan limbah. Hasil analisis terhadap tiga indikator pelaksanaan program BPLM Tabel 33 menunjukkan bahwa kelompok tani ternak Sikabu Saiyo Situjuah Limo Nagari memperlihatkan hasil lebih baik dari pada ke dua kelompok tani-ternak lainnya. Keadaan ini didukung oleh manajemen kelompok tani-ternak yang baik terutama dalam hal penyediaan saprotan dikelola kelompok, manajemen usaha, permodalan, pemasaran hasil, namun belum menjangkau aspek pasca panen di ke tiga kecamatan yang ada. Peran lembaga pendukung seperti petugas penyuluh lapangan dan insemi- nator di kecamatan Situjuh lebih memadai dari pada dua kecamatan lainnya. Untuk program pengembangan usaha sapi potong kedepan perlu adanya dukungan teknologi yang memadai dan pendampingan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan peternak. 73 4.3 Peningkatan Produktivitas Ternak melalui Penerapan Teknologi Pakan dan Pemanfaatan Limbah Ternak 4.3.1 Pemanfaatan Jerami Padi terhadap Produktivitas Sapi Potong 4.3.1.1 Konsumsi Pakan Rataan konsumsi bahan kering ransum perlakuan disajikan pada Tabel 34. Tabel 34 Rataan konsumsi bahan kering ransum No Perlakuan Konsumsi Bahan Kering Kgekorhr Dalam persentase BB 1 To 6,43 a 2,22 2 T 1 8,62 b 2,85 3 T 2 8,23 b 2,77 SE 0,40 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 Keterangan : Perlakuan T1 dan T2 berbeda nyata terhadap perlakuan T0 P0,01 To = Kontrol T 1 = 40 rumput gajah + 15 jerami fermentasi + 45 konsentrat T 2 = 20 rumput gajah + 35 jerami fermentasi + 45 konsentrat Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pengaruh antar perlakuan memperlihatkan pengaruh nyata Lampiran 3a terhadap konsumsi bahan kering ransum P0,01. Konsumsi bahan kering ransum berkisar antara 6,43 – 8,62 kgekor hr atau sama dengan 2,22 - 2,85 persen dari bobot badan. Berbedanya pengaruh perlakuan disebabkan oleh karena pada proses fermentasi jerami padi dapat mening- katkan kandungan protein kasar dari 4,55 menjadi 9,43 dan palatabilitas aroma khas setelah hasil fermentasi. Utomo et al. 1988 menyatakan bahwa pengolahan jerami padi menggunakan urea dan probiotik akan meningkatkan kandungan protein kasar dan kecernaan dari jerami padi. Pada proses fermentasi jerami padi dengan menggunakan probion terjadi perubahan sifat fisik dan kimia yang menyebabkan kualitasnya lebih baik dari pada jerami padi tanpa pelakuan fermentasi. Menurut Zulbardi 1993, dengan meningkatnya kadar protein kasar jerami padi fermentasi akan meningkatkan palatabilitas ransum sehingga konsumsi meningkat. Konsumsi bahan kering ransum meningkat bersamaan dengan meningkatnya level penggunaan jerami fermentasi JF, karena NDF dan ADF pada Jerami fermen- tasi sudah berkurang maka jerami fermentasi mudah dicerna oleh enzim yang dihasil- kan mikroba rumen, akibatnya laju makanan dalam saluran pencernaan menjadi cepat dan konsumsi bahan kering meningkat. Tillman et al. 1991 menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara laju makanan dalam saluran pencernaan dengan 74 jumlah konsumsi. Setelah dilakukan uji lanjut menggunakan uji berjarak Duncan Lampiran 3d, perlakuan T 1 T 2 nyata berbeda dengan perlakuan T , sedangkan antara perlakuan T 2 dan T 1 tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Meningkatnya level jerami fermentasi yang digunakan dapat menurunkan kandungan serat kasar, sehingga meningkatkan daya cerna ransum. 4.3.1.2 Pertambahan Bobot Badan. Rataan pertambahan bobot badan masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 35. Tabel 35 Rataan bobot badan masing-masing perlakuan No Perlakuan Pertambahan bobot badan kgekorhr 1 To 0,61 a 2 T 1 0,84 b 3 T 2 0,79 b SE 0,04 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 Keterangan : Perlakuan T 1 dan T 2 berbeda nyata terhadap perlakuan T P0,01 Hasil analisis keragaman Lampiran 3b menunjukkan bahwa antar perlakuan nyata berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan P0,01, pertambahan bobot badan berkisar antara 0,61 – 0,84 kgekorhr. Berbedanya pertambahan bobot badan antar perlakuan disebabkan oleh konsumsi bahan kering ransum yang juga berbeda. Per- tumbuhan ternak menurut Tillman et al. 1991, dipengaruhi oleh konsumsi bahan kering dan total konsumsi protein per harinya. Konsumsi juga dipengaruhi oleh kecernaan makanan, apabila kecernaan meningkat maka konsumsi juga akan mening- kat. Hasil penelitian Bulo et al. 2004, pemberian jerami padi fermentasi mengguna- kan starbio terhadap sapi PO menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 0,63 kgekorhr, jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini pertambahan bobot badan yang didapat pada penelitian ini lebih tinggi, hal ini disebabkan oleh karena kandungan zat makanan yang digunakan berbeda dan respon sapi PO terhadap jenis pakan yang diberikan juga berbeda. Hasil uji lanjut Lampiran 3d memperlihatkan bahwa perlakuan T 1 dan T 2 berbeda nyata dengan perlakuan To, sedangkan perlakuan T 1 tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan T 2 . 75 4.3.1.3 Konversi Pakan Rataan konversi ransum masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 36. Hasil analisis keragaman Lampiran 3c menunjukkan bahwa pengaruh perla- kuan berbeda nyata terhadap konversi ransum P0,01, konversi ransum berkisar antara 10,24 – 10,58. Berbeda nyatanya konversi ransum perlakuan disebabkan oleh karena pertambahan bobot badan dan konsumsi bahan kering ransum yang berbeda. Tabel 36 Rataan konversi ransum penelitian No Perlakuan Konversi Ransum 1 To 10,58 a 2 T 1 10,24 b 3 T 2 10,39 c SE 0,03 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 Keterangan : Perlakuan C berbeda dengan B dan perlakuan A P0,01 Konversi ransum merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dihabiskan dengan pertambahan bobot badan. Setelah dilakukan uji lanjut Lampiran 3d ternyata hasil perlakuan T 1 ber- beda nyata dengan perlakuan To, dan perlakuan T 1 juga berbeda nyata dengan perlakuan T 2 . Konversi ransum yang baik dari ketiga perlakuan ini adalah perlakuan T 1 , karena nilai konversi ransum lebih kecil dari pada perlakuan To dan T 2 . Berdasarkan luas lahan yang dimiliki kabupaten Lima Puluh Kota sebesar 22.286 Ha dengan periode tanam tiga kali per tahun, daerah ini berpotensi mengha- silkan limbah jerami sebesar 468.006 ton per tahun, yang mampu menampung 187.202 ST per tahun. 4.3.1.4 Produksi Feses Rataan hasil produksi feses masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 37. Tabel 37 Rataan produksi feses masing-masing perlakuan No Perlakuan Produksi feses kgekorhr 1 To 17,73 2 T 1 17,8 3 T 2 17,78 Rataan 17,77 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 Keterangan : Masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata P0,05 76 Hasil analisis keragaman Lampiran 3g menunjukkan jumlah feses yang di- hasilkan tidak berbeda nyata P0.05 antara masing-masing perlakuan. Rata-rata produksi feses sebesar 17,77 kgekorhr dalam keadaan basah Bahan kering 19,25. Pengolahan feses menggunakan probion melalui proses sebagai berikut ; 1 ton feses basah menghasilkan 554 kg kompos siap pakai rendemen 55, diperlukan biaya tambahan sebesar Rp 80.500,-ton feses basah. Harga jual pupuk organik yang telah diolah sebesar Rp 1.500 per kg harga pupuk organik yang belum diolah Rp 40 per kg, sehingga diperoleh tambahan pendapatan dari pengolahan pupuk organik menggunakan probion sebesar Rp 831.000 per ton feses Lampiran 3h. Berdasarkan potensi dan ketersediaan sapi potong di kabupaten Lima Puluh sebanyak 57.236 ekor rata-rata produksi feses 17,77 kg dan rendemen 55 diper- kirakan mampu memproduksi pupuk organik sebanyak 204.181 tonthn dan dapat digunakan untuk memupuk lahan tanaman seluas 102.090,5 Hathn dosis pupuk organik 2 tonHamusim. Oleh karena itu prospek pengembangan sapi potong seba- gai penghasil pupuk organik ditingkat petani-ternak sangat berpeluang. 4.3.2 Pengaruh Pengolahan Limbah Tanaman dan Ternak terhadap Usaha Sapi Potong Hasil analisis Partial pemeliharaan sapi dengan pengolahan limbah untuk pakan dan sebagai pupuk organik disajikan dalam Tabel 38. Tabel 38 Analisis parsial pemeliharaan sapi dengan teknologi pengolahan limbah dan pemeliharaan sapi tanpa pengolahan limbah Uraian Nilai Rpekorbln A. Pemeliharaan tanpa pengolahan limbah a. Tambahan pendapatan yang diperoleh Biaya pakan Total b. Tambahan biaya proses kompos Berkurangnya biaya Total c. Keuntungan 231.300,00,- 162.322,80,- 68.971,20 68.971,20 B. Pemeliharaan dengan Pengolahan limbah a. Tambahan pendapatan diperoleh Biaya pakan Total b. Tambahan biaya proses kompos Berkurangnya biaya Total c. Keuntungan 742.950,00 156.038,70 586.911,30 42.674,61 42.674,61 544.236,69 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 77 Dengan melakukan integrasi antara usahatani tanaman dan ternak pendapatan petani- ternak dapat ditingkatkan. Artinya pengolahan jerami padi melalui proses fermentasi untuk pakan ternak, dan melakukan pengolahan pupuk organik menggunakan probion, pendapatan peternak dapat ditingkatkan sebesar Rp 544.236,69 per ekor per bulan. 4.4 Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota 4.4.1 Metode Pendekatan Sistem Metode pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan- kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif Eriyatno, 2003. Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal yaitu ; 1 mencari semua faktor penting yang ada, dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan 2 dibuatkan suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteris- tik yaitu ; 1 kompleks interaksi antar elemen cukup rumit; 2 dinamis ada faktor yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan kemasa depan; 3 probalistik diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja yang sistematis. Prosedur analisis sistem meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut : analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, verifikasi model dan implementasi. Secara diagramatik tahapan analisis system disajikan pada Gambar 15. Relevensi konsep ini dengan daerah yang diteliti merupakan suatu landasan pemikiran mengenai komponen pembangunan struktur pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota, yaitu penggunaan lahan dan fungsi-fungsinya, aktivitas usaha sapi potong, serta perkembangan usaha sapi potong. Ketiga variabel tersebut merupakan variabel pendukung Variable State dalam membangun model konseptual, kemudian ditentukan variabel lainnya non-state yang meliputi variabel penggerak driving, variabel pembantu auxiliary dan variabel tetap constant yang melengkapi suatu model. Setelah dilakukan identifikasi terhadap variabel-variabel yang terlibat kemudan ditentukan hubungan yang logis antar variabel tersebut. Dari hubungan tersebut dapat ditentukan apakah hubungan bersifat positif atau negatif, dengan 78 demikian dapat dibangun hubungan umpan balik causal lop untuk semua variabel dalam pengembangan sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota. Identifikasi sistem dengan diagram lingkar sebab akibat kemudian diinterpretasikan untuk membangun konsep kotak gelap black box dengan input output. Diagram input output mempre- sentasikan input lingkungan, input terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki 4.4.1.1 Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan dilakukan untuk mengantisipasi perubahan lingkungan yang terjadi, sehingga pengembangan usaha sapi potong mampu mencapai harapan berbagai pihak yang berkepentingan. Komponen pihak yang berkepentingan dalam perencanaan pengembangan usaha sapi potong terdiri dari : 1 peternak, 2 konsu- men, 3 pedagang, 4 investor, 5 lembaga keuangan, dan 6 pemerintah instansi terkait. 4.4.1.2 Formulasi Permasalahan Kompleksnya permasalahan pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota sangat mempengaruhi perkembangan dari investasi. Untuk memermulasikan permasalahan tersebut perlu dibantu dengan perancangan dalam sistem penunjang keputusan. Permasalahan dirancang melalui beberapa tahap yaitu : 1 tahap perencanaan pengembangan yang didasarkan pada; a criteria kelayakan yang sesuai, b metoda yang sesuai, c melibatkan berbagai pihak terkait, d proses engambilan keputusan; 2 tahap evaluasi terhadap model perencanaan; dan 3 tahap penyempurnaan dengan melakukan perancangan implementasi. 4.4.1.3 Identifikasi Sistem Gambar 15. Tahapan analisis sistem dan tidak dikehendaki, serta manajemen pengendalian. Sedangkan parameter rancangan sistem dipresentasikan sebagai kotak gelap ditengah diagram yang mewujudkan terjadinya proses transformasi input menjadi output. Diagram input No Yes No Yes Mulai A Analisis Kebutuhan Model Pengembangan Sapi Potong Formulasi Permasalahan Identifikasi Sistem Pengembangan Implementasi Sesuai dg Kriteria Evaluasi Rekomendasi Model Pengembangan sapi A B 79 output desain sistem pengembangan sapi potong berdasarkan hasil penelitian disajikan pada Gambar 16. 4.4.2 Potensi Pengembangan Sapi Potong Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai salah satu sentra produksi sapi potong di Sumatera Barat, memiliki potensi pengembangan berdasarkan kepada : 1 posisi geografis wilayah yang berbatasan langsung dengan Riau konsumen terbesar produk INPUT LINGKUNGAN MAKRO 1. Globalisasi ekonomi 2. Persyaratan perdagangan 3. Kebijakan pemerintah 4. Kondisi sosial budaya 5. Tuntutan pelestarian lingkungan Input tidak terkendali Output yang dikehendaki 1. Permintaan pasar 1. Peningkatan produksi 2. Fluktuasi harga produktivitas 3. Suku bunga 2. Peningkatan pendapatan 4. Persaingan 3. Kelangsungan usaha 5. Perbedaan kepentingan 4. Stabilitas harga produk dari stakeholder 5. Kesejahteraan anggota SISTEM PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG Input terkendali Output yg tdk dikehendaki 1. Prosedur investasi 1. Motivasi usaha berku- 2. Standar kualitas hasil rang 3. Sumber pembiayaan 2. Meningkatnya serangan 4. Kelembagaan penyakit ternak 5. Tingkat teknologi 3. Menurunnya penjualan 4. Biaya produksi tinggi 5. Kerusakan lingkungan MANAJEMEN PENGENDALIAN USAHA SAPI POTONG Gambar 16. Diagram input output sistem perencanaan pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota 80 sapi potong asal Sumatera Barat; 2 terdapatnya wilayah basis ternak sapi potong yang tersebar di empat kecamatan yakni kecamatan Luhak, Lareh Sago Halaban, Situjuah Limo Nagari dan Bukit Barisan; 3 tingginya nilai kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia berdasarkan sumberdaya lahan dan tenaga kerja yang tersedia; 4 ternak sapi potong dipelihara dalam suatu sitem yang terintegrasi dengan usahatani tanaman sehingga optimalisasi penggunaan sumberdaya masih memungkin- kan untuk ditingkatkan; 5 peternak sapi potong tergabung dalam suatu lembaga kelompok peternak yang berusaha dibidang perbibitan; 6 telah berfungsinya BIB- Daerah Tuah Sakato di Kabupaten Lima Puluh Kota yang menunjang ketersediaan bibit untuk pengembangan; dan 7 kebijakan pemerintah yang mendukung perkem- bangan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota. 4.4.3 Model Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota Berdasarkan hasil penelitian tahap satu, dua, tiga, dan untuk mempercepat pengembangan usaha sapi potong dalam rangka menunjang swasembada daging sapi potong maka disusun model pengembangan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai berikut : 4.4.3.1 Pemberdayaan melalui Kelompok Konsep ini dirancang untuk percepatan swasembada daging sapi melalui pemberdayaan kelompok kelompok perbibitan sapi potong, setiap kelompok beranggotakan 20-25 orang, dengan populasi awal 40-50 ekor induk bunting atau siap bunting. Ternak sapi dipelihara dalam suatu kandang kelompok corporate farming dalam satu kawasan model pengembangan kawasan agar memudahkan pengawasan, pembinaan, dan pelayanan IBkeswan. Kelompok didampingi seorang pendamping manejer dari sarjana peternakan atau kedokteran hewan yang tugas dan fungsinya adalah; 1 melakukan pendampingan kelompok dalam pengembangan sapi potong, 2 melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anggota kelompok dan masyarakat sekitarnya, 3 melakukan pelatihan pada anggota kelompok tani- ternak baik dalam aspek teknis, kewirausahaan, perencanaan usaha, dinamika kelompok, pemasaran dan pengolahan hasil, 4 membimbing dan membina petani- ternak dalam usaha kelompok untuk dapat mengidentifikasi dan mengatasi perma- salahan yang dihadapi, 5 menumbuhkan jiwa kewirausahaan kelompok tani-ternak dalam pengembangan usaha, 6 melakukan seleksi terhadap ternak sapi potong 81 bersama dengan anggota kelompok, dan 7 bersama dengan anggota kelompok ikut melakukan kegiatan budidaya ternak sapi potong. Pendamping bekerja secara professional, untuk tahun pertama mendapat honor dari pemerintah dan tahun berikutnya dari perkembangan usaha yang dijalankan. 4.4.3.2 Pemodalan Usaha Sumber pemodalan berasal dari pemerintah melalui dana penguatan kelom- pok, untuk tahun 2009 disediakan sebanyak 220 paket pengembangan sapi potong masing-masingnya sebesar Rp 325 juta per paket. Seleksi terhadap kelompok yang akan menerima bantuan, kelompok pendamping, monitoring dan evaluasi dilakukan oleh team yang terdiri dari Perguruan Tinggi, Ditjen Peternakan dan Dinas Peternak- an PropinsiKabupatenKota. Pengembalian cicilan dan bunga dilakukan lewat Bank yang ditunjuk berkoordinasi dengan pengurus kelompok dan digunakan untuk membentuk kelompok perbibitan sapi potong yang baru sub-kelompok inti. Dari cicilan bunga 40 digunakan untuk perkembangan kelompok usaha sapi potong, 40 digunakan untuk koperasi kelompok, dan 20 digunakan untuk dana operasional usaha. Keuntungan usaha perbibitan dihitung setiap tahun, 40 dari keuntungan usaha diberikan pada pengelola, 40 dibagikan pada anggota kelompok dan 10 untuk dana operasional kelompok, dan 10 untuk kas koperasi kelompok. 4.4.3 Kelembagaan Agribisnis Kelompok Kelembagaan agribisnis kelompok dibedakan atas kelembagaan agribisnis hulu, usaha budidaya, hilir, dan jasa penunjang. Kelembagaan agribisnis secara rinci disajikan pada Tabel 39. 4.4.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Usaha Sapi Potong Berdasarkan hasil penelitian tahap satu, dua, tiga dan wawancara dengan responden penelitian tahap empat, diperoleh beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota. Faktor- faktor tersebut terdiri dari : 1 faktor internal yang meliputi strengths kekuatan, dan weaknessis kelemahan, 2 faktor eksternal yang meliputi treaths peluang dan opportunities ancaman. 4.4.4.1 Faktor Internal Beberapa faktor internal yang berpengaruh terhadap pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota terdiri dari kekuatan strengths dan 82 Tabel 39 Kelembagaan agribisnis kelompok usaha perbibitan Kegiatan Uraian 1. Agribisnis Hulu a. Bibit - Sumber bibit dari anggota dan dari luar kelompok yang dibeli koordinasi antara pengurus, pendampinginstansi terkait b. Sarana produksi dan obat-obatan - Sarana produksi dikelola kelompok melalui unit koperasi kelompok - Sumber penyediaan obat-obatan kordinasi dengan petugas keswan dan koperasi kelompok 2. Usaha Budidaya a. Lahan - Lahan disediakan oleh kelompok - Luas kandang dan lahan kebun rumput disesuaikan dengan kebutuhan b. Skala Usaha disesuaikan dengan perkembangan usaha, tahap awal 40-50 ekor induk betina c. Perbibitan - Seleksi selalu dilakukan untuk replacement stock - Culling terhadap induk yang tidak produktif - Recording dilakukan secara teratur d. Pembuatan kandang - Lokasi aman dari banjir, longsor, maling - Pemilihan bahan kandang kuat, murah, dan tersedia dilokasi - Biaya pembuatan kandang dari bantuan pemerintah dan swadaya anggota e. Pakan - Lahan hijauan ditanami dengan hijauan unggul - Limbah tanaman berupa jerami diolah fermentasi dan disimpan sebelum digunakan f. Penyakit - Penanganan penyakit dan vaksinasi kordinasi dengan petugas kesehatan hewan g. Inseminasi Buatan - Pelaksanaan IB kordinasi dengan petugas IB swasta atau mandiri atau anggota kelompok yang sudah dilatih 3. Agribisnis Hilir a. Panen dan Pasca panen - Penjualan ternak berupa bakalan, ternak siap potong - Pengolahan limbah ternak dilakukan oleh kelompok usaha dan tambahan hasil yang diperoleh menjadi tambahan pendapatan kelompok usaha b. Pemasaran, dilakukan oleh kelompok 4. Jaringan Kelembagaan Kerjasama kelompok berupa kemitraan dengan Swasta Perguruan Tinggi dan lembagainstansi lain Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 kelemahan weaknessis. Faktor kekuatan meliputi : 1 daya dukung lahan, 2 letak geografis, 3 wilayah basis sapi potong, 4 ternak sapi dipelihara bersama usahatani lainnya IFS, 5 motivasi peternak untuk memelihara sapi potong, dan 6 adanya 83 kelompok tani-ternak sapi pembibitan. Faktor kelemahan meliputi : 1 keterbatasan modal usaha, 2 beternak sebagai usaha sambilan, 3 rendahnya pengetahuan dan keterampilan peternak, 4 penggunaan faktor produksi belum optimal, 5 adopsi teknologi rendah, dan 6 sistem pemasaran yang belum memadai. 4.4.4.2 Faktor Eksternal Beberapa faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota terdiri dari peluang treaths dan ancaman opportunities. Faktor peluang meliputi : 1 permintaan pasar, 2 otonomi daerah, 3 perkembangan IPTEK, 4 berfungsinya Balai Inseminasi Buatan Daerah BIB-D Limbukan kabupaten Lima Puluh Kota, 5 harga produk yang relitif stabil, dan 6 dukungan pemerintah. Faktor ancaman meliputi : 1 produk luarimpor, 2 alih fungsi lahan pertanian, 3 persaingan antar daerah dalam menghasilkan sapi potong, 4 gangguan reproduksi dan kesehatan ternak, 5 stabilitas penyediaan bibitlayanan IB, dan 6 tingginya pemotongan ternak betina produktif. 4.4.4.3 Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal Evaluasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan usaha sapi potong Lampiran 4, diperoleh hasil evaluasi yang terdiri dari Internal Faktor Evaluation IFE dan External Faktor Evaluation EFE. Matrik evaluasi faktor internal pengembangan sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota disajikan pada Tabel 40. Tabel 40 Matrik Evaluasi Faktor Internal Pengembangan Sapi Potong di kabupaten Lima Puluh Kota Faktor Internal Bobot Ranking Skor Kekuatan Daya dukung lahan 0,071 4 0,284 Letak geografis 0,077 3 0,231 Adanya wilayah basis sapi potong 0,098 3 0,294 Ternak sapi dipelihara bersama usahatani lainnya IFS 0,094 3 0,282 Tingginya motivasi peternak memelihara sapi potong 0,094 3 0,282 Adanya kelompok tani-ternak sapi pembibitan 0,099 2 0,198 Sub Total 1,571 Kelemahan Keterbatasan modal usaha 0,068 3 0,204 Beternak sebagai usaha sambilan 0,071 3 0,213 Rendahnya pengetahuan dan keterampilan peternak 0,074 2 0,148 Penggunaan faktor produksi belum optimal 0,085 2 0,170 Adopsi teknologi rendah 0,074 2 0,148 Sistem pemasaran belum memadai 0,095 3 0,285 Sub Total 1,168 Total 1,000 2,739 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 84 Hasil analisis faktor internal menunjukkan nilai positif, hal ini berarti wilayah kabupaten Lima Puluh kota mempunyai kekuatan yang lebih menonjol dari pada kelemahan, dengan kekuatan terbesar terletak pada adanya wilayah basis sapi potong dan daya dukung lahan untuk pengembangan usaha sapi potong. Kelemahan berupa bargaining positon peternak rendah, dan beternak sebagai usaha sambilan. Hasil analisis faktor eksternal Tabel 41 menunjukkan nilai positif, dan peluang lebih besar dari ancaman. Peluang terbesar diperoleh karena adanya Balai Tabel 41 Matrik Evaluasi Faktor Eksternal Pengembangan Sapi Potong di kabupaten Lima Puluh Kota Faktor Eksternal Bobot Ranking Skor Peluang Permintaan pasar 0,099 3 0,297 Otonomi daerah 0,068 3 0,204 Perkembangan IPTEK 0,074 3 0,222 Berfungsinya BIB limbukan kabupaten Lima Puluh Kota 0,089 4 0,356 Harga produk yang relatif stabil 0,094 3 0,282 Dukungan pemerintah 0,076 4 0,304 Sub Total 1,655 Ancaman Produk luarimpor 0,091 3 0,273 Alih fungsi lahan 0.055 3 0,165 Persaingan antar daerah dalam menghasilkan sapi potong 0,097 2 0,194 Gangguan reproduksi dan kesehatan ternak 0,101 3 0,303 Stabilitas penyediaan bibit dan layanan IB 0,064 2 0,128 Tingginya pemotongan ternak betina produktif 0,092 3 0,276 Sub Total 1,339 Total 1,000 3,004 Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 Inseminasi Buatan Daerah BIB-D Limbukan kabupaten Lima Puluh Kota dalam menghasilkan bibit, dan dukungan pemerintah. Terdapat beberapa ancaman yang perlu diperhatikan yakni gangguan reproduksi dan kesehatan ternak, serta pemo- tongan ternak betina produktif. 4.4.5 Alternatif Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota Untuk menentukan alternatif strategi pengembangan usaha sapi potong dila- kukan dengan analisis SWOT yang merupakan lanjutan dari analisis IFE dan EFE. Perumusan alternatif strategi dengan analisis SWOT dilakukan dengan penggabungan antara kedua faktor internal kekuatan dan kelemahan dengan faktor eksternal peluang dan ancaman. Secara lebih jelas hasil analisis matriks SWOT dalam peru- musan strategi alternatif dapat dilihat pada Tabel 42. 85 Tabel 42 Alternatif Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota Faktor Internal Faktor Eksternal Kekuatan S S1 = Daya dukung lahan S2 = Letak geografis S3 = Adanya wilayah basis sapi potong S4 =Ternak sapi dipelihara ber- sama usahatani lainnya S5 = Motivasi peternak dalam memelihara sapi potong S6 = Adanya lembaga kelom- pok tani-ternak dibidang pembibitan Kelemahan W W1 = Keterbatasan modal usaha W2 = Beternak sbg usaha sambilan W3 = Rendahnya pengetahuan dan keterampilan peternak W4 = Penggunaan faktor produksi belum optimal W5 = Adopsi teknologi rendah W6 = Sistem pemasaran belum memadai Peluang O O1 = Permintaan pasar O2 = Otonomi daerah O3 = Perkembangan IPTEK O4 = Berfungsinya BIB-D lim- bukan Lima Puluh Kota O5 = Harga produk yang relatif stabil O6 = Dukungan dari pemerintah Strategi S-O 1. Pengembangan kawasan sentra pembibitan sapi potong S1, S2, S3, O1, O2 2. Penelitian dan pengkajian optimasi usaha peternakan dalam sistem usahatani S4, O3 3. Mengoptimalkan fungsi ke- lompok S5, S6, O5, O6 Strategi W-O 1. Investasi modal usaha W1, W2, O1, O2 2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani-ternak W3, W4, W5, O3, O4, O5 3. Memperbaiki sistem pemasaran S6, O6 Ancaman T T1 = Produk luar Impor T2 = Alih fungsi lahan pertanian T3 =Persaingan antar daerah da- lam menghasilkan sapi ptg T4 = Gangguan reproduksi dan kesehatan ternak T5 = Stabilitas penyediaan bibit layanan IB T6 = Tingginya pemotongan ter- nak betina produktif Strategi S-T 1. Perlindungan pasar domes- tik S1, S2, S3, T1, T2 2. Penanggulangi penyakit reproduksi dan kesehatan ternak S1, S2, S3, S4, T1, T2, T3 3. Pengawasan pemotongan ternak betina produktif S5, S6, T6 Strategi W-T 1. Mengoptimalkan fungsi lem- baga keuangan yang ada di pedesaan W1, W2, T1, T2, T3 2. Meningkatkan efisiensi usaha W2, W4, T1, T2, T3 3. Sosialisasi dan aplikasi tekno- logi tepat guna W5, T3, T4. Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009 4.4.6 Prioritas Strategi Pengembangan Sapi Potong Untuk merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota digunakan Analisis Hirarki Proses AHP. Tingkat kelayakan stra- tegis diukur dengan nilai prioritas strategi yang diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner pada 5 ekspert yang berkualifikasi sebagai pengambil kebijakan dijajaran pemerintah kabupaten Lima Puluh Kota. Beberapa komponen yang diperlukan dalam menyusun hirarki, faktor-faktor yang sangat berpengaruh dalam analisis SWOT menggunakan IFE dan EFE menjadi faktor penentu dalam menyusun hirarki. Alternatif strategi peringkat 1 sampai 86 dengan peringkat 5 dalam matrik SWOT dijadikan altenatif strategi dalam menyusun hirarki. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesatuan dari analisis dan fokus pada satu sasaran strategi. Dalam menyelesaikan permasalahan menggunakan PHA dilakukan dengan teknik komparasi berpasangan terhadap elemen yang dibandingkan, sehingga mem- bentuk matrik n x n. Nilai yang diberikan berada pada skala pendapat atau skala dasar ranking. Terhadap hasil penilaian dilakukan analisis horizontal untuk melihat tingkat konsistensi pendapat individu, rasio konsistensi yang memenuhi adalah ≤ 0,1. Setelah dilakukan analisis seperti terlihat pada Lampiran 4, maka diperoleh hasil analisis seperti disajikan pada Gambar 17. Hasil analisis memperlihatkan bahwa prioritas strategi pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota berturut-turut adalah : 1 peningkatan modal usaha 49,70, 2 penerapan teknologi tepat guna berbasis petani 25,52, 3 menciptakan kawasan sentra pembibitan sapi potong 12,72, 4 peningkatan efisiensi usaha 6,20, dan 5 optimalisasi fungsi kelompok 3,61. 1. Peningkatan Modal Usaha Peningkatan modal usaha menjadi prioritas pertama untuk pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota. Masih terbatasnya kemampuan peternak dalam mengakses modal usaha, terbatasnya bantuan pemerintah melalui penguatan modal kelompok, sementara itu sumberdaya yang dimiliki oleh petani- ternak masih memungkinkan untuk pengembangan usaha sapi potong. Oleh karena itu diperlukan tambahan modal usaha berupa bantuan modal dengan kredit lunak melalui penguatan modal kelompok seperti program Sarjana Membangun Desa SMD, Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat BPLM dan sumberdana lain melalui kelompok-kelompok yang ada. Dengan ketersedia- an modal usaha yang murah dan mudah, akan memacu usaha pembibitan sapi potong dengan cara penambahan skala kepemilikan ternak dan jumlah peternak yang bergerak dibidang pembibitan sapi potong. 2. Penerapan teknologi tepat guna berbasis petani-ternak Penerapan teknologi tepat guna berbasis petani-ternak berupa budidaya repro- duksi, teknologi pakan dan pengolahan limbah, menjadi prioritas ke dua untuk pengembangan usaha sapi potong. Sebagai pengelola petani-ternak dituntut untuk mampu menguasai dan memanfaatkan teknologi yang dibutuhkan untuk 87 I = Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di kabupaten Lima Puluh kota 1,000 4 3 1 2 5 II = Pakan Bibit Tatalaksana Penyakit Pemasaran 0,067 0,134 0,494 0,268 0,0368 III = 4 2 3 1 L-Keu P-Swt Peternak Instansi terkait 0,0317 0,2515 0,1198 0,5997 IV= 1 2 5 3 4 Perluasan Produksi dan Optimalisasi Peningkatan Perbaikan Usaha Produktivitas Sumberdaya Pendapatan kualitas bibit 0,4921 0,2589 0,0345 0,1305 0,0662 V= 1 4 2 3 5 Modal Efisiensi Penerapan Kawasan sentra Fungsi Usaha Usaha Teknologi Pembibitaan Kelompok 0,4970 0,0620 0,2552 0,1272 0,0361 Gambar 17 Hirarki utama strategi pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota Keterangan : I = Fokus : Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di kabupaten Lima Puluh Kota II = Kriteria : Pakan = Pemberian pakan Bibit = Bibit yang digunakan Tatalaksana = Tatalaksana pemeliharaan Penyakit = Pengendalian penyakit Pemasaran = Pemasaran hasil III = AktorPelaku: L-Keu = Lembaga keuangan L-Swt = Pengusaha swasta 88 Peternak= Peternak Instansi = Instansi teknis terkait IV = Sasaran : Perluasan usaha = Perluasan usaha sapi potong Produksi dan produktivitas = Peningkatan produksi dan produktifitas Optimalisasi sumberdaya = Optimalisasi penggunaan sumberdaya Peningkatan pendapatan = Peningkatan pendapatan peternak Perbaikan kualitas bibit = Perbaikan kualitas bibit sapi potong V = Alternatif : Modal usaha = Peningkatan modal usaha Strategi Efisiensi usaha = Meningkatkan efisiensi usaha Penerapan teknologi = Penerapan teknologi tepat guna Kawasan sentra pembibitan = Membuat kawasan sentra pembibitan Fungsi kelompok = Mengoptimalkan fungsi kelompok pengembangan usaha, mengendalikan usaha dengan baik, memanfaatkan sum- berdaya yang ada secara optimal untuk mendapatkan keuntungan maksimal, serta mampu memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Strategi ini akan di imple- mentasikan melalui program peningkatan kualitas sumberdaya manusia, berupa ; 1 inventarisasi sumberdaya petani-ternak yang ada dan teknologi yang dibutuh- kan, 2 penyusunan program pendidikan dan pelatihan, dan 3 pembinaan petani- ternak dan petugas teknis. 3. Pengembangan kawasan sentra pembibitan sapi potong Pengembangan kawasan sentra pembibitan sapi potong melalui pengembangan sistem kelembagaan kelompok, pengembangan kawasan sentra pembibitan dapat dilakukan di kecamatan Luhak, Situjuah Limo Nagari, Lareh Sago Halaban, dan kecamatan Bukit Barisan. Pengembangan kawasan sentra pembibitan yang dilakukan baik ditingkat provinsi maupun kabupaten berpotensi untuk menambah jumlah ternak yang ada sehingga akan mempercepat pencapaian swasembada daging sapi. Pemerintah telah menetapkan bahwa Sumatera Barat sebagai pusat pembibitan Simental melalui Village Breeding Center VBC prioritas di daerah Agam Timur Tilatang Kamang, Ampek Angkek dan Baso, selanjutnya akan dikembangkan di kabupaten Lima Puluh Kota, Tanah Datar, dan Padang Panjang Dinas Peternakan Tk I Sumatera Barat 2007b. Faktor pendukung lain adalah keberadaan BIB-Daerah Tuah Sakato yang berada di Limbukan kabupaten Lima Puluh Kota, yang dapat memproduksi sumber bibit untuk IB sehingga dapat dimanfaatkan oleh peternak yang ada disekitarnya dan daerah atau provinsi lain yang berdekatan. 89 4. Peningkatan efisiensi usaha melalui peningkatan skala usaha Efisiensi usaha dapat ditingkatkan melalui peningkatan skala usaha dari rata-rata kepemilikan ternak 5 ekor per peternak menjadi 10 ekor per peternak, optimalisasi penggunaan sumberdaya yang ada melalui penerapan teknologi tepat guna, yang didukung oleh manajemen pemeliharaan yang baik. Teknologi yang diperlukan berupa teknologi pakan, inseminasi buatan, dan teknologi pengelohan limbah usahatani tanaman-ternak. Optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan dilaku- kan dengan cara meningkatkan jumlah ternak sapi bibit yang dipelihara, dan mengoptimalkan integrasi tanaman-ternak, serta mengoptimalkan fungsi kelom- pok dalam penyediaan sarana produksi dan pemasaran produk. 5. Optimalisasi fungsi kelompok tani-ternak Optimalisasi fungsi kelompok tani-ternak melalui penguatan fungsi koperasi kelompok, manajemen yang transparan, dan pendampingan yang intensif, serta adanya dukungan dari pemerintah, swasta dan anggota melalui pelatihan- pelatihan teknis dan kewirausahaan. Dukungan dari pemerintah ditujukan untuk memberi pelayanan seperti pelayanan IB, Poskeswan, RPH, Penyuluh, UPT Pusat dan Daerah. Dukungan swasta berupa upaya mendorong tumbuh dan berkem- bangnya berbagai asosiasi, koperasi dan kemitraan yang saling menguntungkan. Dukungan dari peternak anggota berupa partisipasi anggota, kerjasama di antara anggota dan pengurus dalam melayani kebutuhan anggota penyediaan sarana produksi, permodalan dan kemitraan dengan pihak lain, menuju kemandirian kelompok. Berkembangnya suatu lembaga kelompok erat kaitannya dengan kualitas sumberdaya manusia SDM yang ada di kelompok tersebut, terutama pengurus. Kelompok dengan SDM yang baik akan tetap berkembang meskipun memiliki fasilitas yang relatif terbatas.

4.4.7 Program dan Kegiatan Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota