47
4.2.2 Sistem Kelembagaan, Sarana dan Prasarana dalam Pengembangan Sapi Potong
Lembaga pendukung usaha-tani ternak yang berkembang di kabupaten Lima Puluh kota adalah :
1. Kelompok Tani Ternak. Terdapat 41 kelompok tani ternak di kabupaten Lima Puluh Kota yang terdiri dari ; 34 kelompok peternak sapi bibit, 6 kelompok peter-
nak AyamUnggas, dan 1 kelompok peternak kambing. 2. Pos Inseminasi Buatan. Pos Inseminasi Buatan yang berfungsi memberikan pela-
yanan Inseminasi Buatan IB sebanyak 13 unit. Pos ini tersebar di masing- masing kecamatan yang ada.
3. Pos Kesehatan Hewan. Pos kesehatan hewan yang memberikan pelayanan dibi- dang kesehatan hewan, terdapat 4 unit yang terletak dimasing-masing kecamatan
yakni ; kecamatan Luhak 1 unit, kecamatan Suliki 1 unit, kecamatan Mungka 1 unit, dan kecamatan Situjuh Limo Nagari 1 unit.
4. Sarana Pengairan. Dalam pelaksanaan irigasi kendala yang dialami selama ini adalah kurangnya ketersediaan air pada musim kemarau, karena pada umumnya
areal persawahan berada lebih tinggi dari permukaan air sungai yang ada, seperti Batang Sinamar, Lampasi, Agam, Mahat, Mungo dan beberapa sungai kecil yang
belum ada bendungan. Disamping itu jaringan irigasi yang ada masih banyak yang kurang terpelihara, sehingga banyak kehilangan air disaluran irigasi. Terda-
pat 4 unit cekdam, 4 unit embung, 52 unit pompa air, dan 75 unit kincir air seba- gai sarana irigasi di kabupaten Lima Puluh Kota.
5. Sarana Alat dan Mesin Pertanian. Untuk meningkatkan efisiensi pengolahan la- han, dinas tanaman pangan memfasilitasi dan melayani petani dengan menyedia-
kan alat dan mesin pertanian seperti traktor untuk pengolah lahan, tresher untuk perontok gabah dan jagung, RMU dan lain-lain. Alat dan mesin pertanian ter-
sebut dikelola dengan Sistem Kerjasama Operasional KSO antara dinas dengan operator kelompok tani.
6. Lembaga Keuangan Pemerintah. Lembaga keuangan pemerintah seperti BRI, Bank Nagari, BNI, Bukopin selalu menyediakan pinjaman modal untuk usaha,
dan menyalurkan dana BPLM untuk usaha ternak. Untuk penyaluran dana BPLM telah dipercayakan kepada Bank Nagari dan BNI kabupaten Lima Puluh Kota.
48 7. Perkeriditan Non Pemerintah. Perkeriditan non pemerintah yang berkembang
pada dasarnya merupakan lembaga non formal, petani mendapatkan pinjaman modal bagi usahatani melalui perorangan dengan pembayaran setelah panen. Hal
ini lebih banyak dimanfaatkan petani karena prosedurnya yang mudah dan tanpa agunan.
8. Pemasaran Hasil Produksi. Hasil produksi usahatani tanaman dan ternak terdiri dari :
a. Hasil pertanian, pemasaran hasil pertanian dilakukan melalui tengkulak, pe- dagang pengumpul, harga jual sedikit lebih rendah dari harga pasar dan
pembayarannya secara tunai. Apabila produksi yang dijual dalam skala yang relatif besar biasanya petani langsung memasarkannya kepasar kabupaten atau
pasar kecamatan yang ada. b. Pemasaran ternak, ternak sapi dipasarkan melalui pedagang pengumpul dan
pembayarannya secara tidak tunai dicicil selama 3 – 4 bulan. Ada juga peternak yang minta dibayar tunai, akan tetapi harga yang dibayarkan selalu
lebih rendah dari harga pasar selisih sampai Rp 400.000 - 500.000 per ekor. 4.2.3
Manajemen Ternak Sapi Potong
Usaha ternak sapi potong yang dipelihara oleh peternak responden dilakukan secara intensif, rataan kepemilikan ternak 5,21 ekorpeternak.
4.2.3.1 Sistem Reproduksi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis bibit yang dipelihara terdiri dari sapi Peranakan Simental 96,01, Peranakan Limosin 2,53, Peranakan FH
1,09, dan PO 0,37. Responden memilih sapi Simental karena pertumbuhannya cepat dan harga jual dipasaran tinggi, pada hal sapi Simental rentan terhadap kondisi
lingkungan tropis dan kesuburannya masih kurang bila dibandingkan dengan sapi Bali. Pemerintah diharapkan bisa menyediakan bibit sapi unggul lokal yang sesuai
dengan kondisi setempat untuk pengembangan sapi potong ke depan. Semua respon- den mengawinkan ternaknya melalui IB, permasalahan yang ditemui kurangnya
petugas IB sehingga IB terlambat dilakukan dan gangguan penyakit reproduksi yang menyebabkan kejadian kawin berulang, sehingga frequensi IB yang dilakukan lebih
banyak. Haswita, 2007 menyatakan bahwa kejadian kawin berulang yang ditemui disentra-sentra pembibitan sapi potong, pada umumnya disebabkan oleh kasus
49 endometis ringan sampai berat yakni mencapai 60 dan gangguan reproduksi
sebanyak 40 dari ternak yang diperiksa. Keragaan reproduksi usaha sapi potong program pengembangan disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Karakteristik reproduksi usaha sapi potong program pengembangan
No Komponen Keterangan
1 2
3 Calving Interval
Service per Conception SC Masa Kosong
15 bulan 1,9
4,5 bulan Sumber :
Hasil pengolahan data primer 2009
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi reproduksi yang diperoleh rendah, hal ini terlihat dari calving interval 15 bulan, service per conception 1,9 dan
masa kosong selama 4,5 bulan. Toelihere 1993 menyatakan bahwa calving interval yang baik adalah sekitar 12 bulan, makin kecil angka SC menandakan makin
suburnya induk sapi yang di IB dan efisienai reproduksi makin tinggi. Demikian pula dengan masa kosong yang relatif panjang, yang biasanya berkisar anatara 40-60 hari
setelah melahirkan.
Gambar 6 Jenis sapi Simental yang dipelihara peternak
4.2.3.2 Jenis dan Sistem Pemberian Pakan
Jenis pakan yang diberikan pada ternak sapi terdiri dari hijauan, konsentrat dan limbah pertanian berupa jerami yang diberikan pada saat panen. Hijauan yang
diberikan berupa hijauan unggul rumput gajah dan rumput lapangan 65 rumput unggul dan 35 rumput lapangan, dengan rata-rata pemberian 39 kgekorhari dan
50 frekuensi 2 kali per hari yakni pagi dan sore hari. Hijauan unggul ditanam oleh peter-
nak di lahan khusus dengan rata-rata luas kebun rumput 0,96 hapeternak Gambar 7,
Gambar 7 Lahan hijauan yang dimiliki peternak
konsentrat yang diberikan berupa dedak, dan ampas tahu. Dari gambaran di atas terlihat bahwa petani-ternak sudah mulai memanfaatkan jerami padi untuk pakan
ternak akan tetapi belum banyak petani-ternak yang memberikannya, hal ini kare- na hijauan pakan ternak masih tersedia dalam jumlah yang cukup dibandingkan
dengan ternak yang ada. 4.2.3.3
Tatalaksana Pemeliharaan Ternak.
Ternak sapi dipelihara dengan cara dikandangkan sehingga kondisi kesehatan ternak lebih terjaga serta lebih mudah dalam hal pemberian pakan walaupun peternak
harus menyediakan waktu untuk mengarit rumput. Sebagian besar bangunan kandang terbuat dari kayu, atap seng atau rumbia, lantai kandang dari semen, dinding dari
kayu dan bambu, ukuran kandang 2 x 1,5 m
2
per ekor Gambar 8. Kandang umum- nya dibersihkan setiap hari, dan peralatan kandang terdiri dari tempat pakan, minum
dan penampung kotoran. Tatalaksana pemeliharaan ternak sapi potong program pengembangan terlihat pada Tabel 17. Kotoran ternak sapi yang dihasilkan
dikumpulkan setiap hari dan disimpan dibagian belakang atau disamping kandang tanpa upaya pengolahan untuk mendapatkan pupuk kompos. Pupuk kandang
digunakan untuk lahan hijauan pakan ternak, tanaman jagung, cabe dan kacang tanah Gambar 9.
51
Gambar 8 Kandang ternak sapi milik peternak
Tabel 17 Tatalaksana pemeliharaan ternak sapi program pengembangan
No Tatalaksana
Peternak Program BPLM Total
Persen Situjuh LSH Luhak
1 Sistem pemeliharaan
- Intensif - Semi intensif
20 --
16 1
16 --
52 1
98,11 1,89
2 Bangunan kandang
- Semi permanen lantai beton - Semi permanen lantai tanah
- Kayu lantai beton - Kayu lantai tanah
6 3
10 1
2 --
15 --
7 4
4 1
15 7
29 2
28,30 13,21
54,72 3,77
3 Membersihkan kandang
- Setiap hari - Sekali dua hari
- Sekali seminggu 18
2 --
12 5
-- 13
3 --
43 10
-- 81,13
18,87 --
4 Pengolahan pupuk
kandang - Melakukan pengolahan
- Tidak melakukan --
20 3
14 -
16 3
50 5,67
94,33 5
Pupuk kandang yang ada - Digunakan
- Tidak digunakan 20
-- 17
-- 14
-- 51
-- 100
-- Sumber :
Hasil pengolahan data primer 2009
Rataan pupuk kandang yang dihasilkan per peternak sebesar 13.661,95 kgth untuk program dan 8.077,24 kgth non program. Disini terlihat adanya kontribusi usaha
ternak sapi terhadap usahatani dari sumbangan pupuk kandang yang dihasilkan.
52
Gambar 9 Pupuk kandang yang sudah siap digunakan
4.2.3.4 Pencegahan dan pengobatan penyakit
Pencegahan terhadap penyakit dilakukan melalui sanitasi kandang dan lingkungan 98,04 , serta melakukan vaksinasi 76,47. Penyakit yang pernah
menyerang ternak sapi terdiri dari scabies, cacing, diare, kembung, dan penyakit gangguan reproduksi yakni kejadian kawin berulang 60, sehingga calving interval
akan semakin panjang dan efisiensi reproduksi menjadi tidak efisien. 4.2.3.5
Pemasaran Hasil Ternak
Produk yang dipasarkan berupa sapi bibit, sapi bakalan, dan ternak sapi yang siap potong. Pada umumnya peternak menjual anak sapi pada umur
≤ 1 tahun, dengan pertimbangan supaya segera memberikan penghasilan serta cepat membayar
cicilan. Kebiasaan ini sebenarnya justru merugikan peternak karena bila dilihat dari aspek nilai tambah yang dihasilkan belum mencapai tingkat optimal. Dari sisi lain
manfaat IB yang sebenarnya diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah asset dengan kualitas yang lebih baik menjadi tidak terwujud, justru yang banyak
menikmati nilai tambah hasil IB adalah pedagang atau peternak pengge-mukkan yang membesarkannya menjadi induk atau menjualnya sebagai ternak potong. Pemasaran
biasanya dilakukan melalui : 1 pedagang pengumpul 84,31, dan 2 bantuan kelompok tani-ternak 15,69.
Pemasaran melalui pedagang pengumpul dilakukan dengan cara : pedagang- nya yang mendatangi peternak ke kandang, pembayaran umumnya dilakukan secara
53 tidak tunai 68,63 baru dilunasi 1 – 2 bulan kemudian, dan pembayaran secara
tunai 31,37 dengan harga selalu lebih rendah dari harga pasar selisih harga 400 – 500 ribuan per ekor, ini menggambarkan posisi tawar menawar peternak lemah dan
tidak efisiennya pemasaran produk peternakan sehingga pendapatan peternak menjadi berkurang. Mekanisme pemasaran hasil ternak di daerah penelitian seperti terlihat
pada Gambar 10. Peternak Pedagang Pasar ternak
Pengumpul
Kelompok Peternak lain Tani-ternak
Gambar 10 Mekanisme pemasaran sapi potong didaerah penelitian
Pemasaran melalui kelompok dilakukan dengan cara, jika anggota kelompok yang mau memasarkan ternak sapi dibantu oleh anggota kelompok yang telah
ditunjuk untuk menangani pemasaran biasanya anggota kelompok yang telah berpengalaman dibidang pemasaran. Ternak sapi dijual sesuai dengan harga pasar,
siempunya ternak dikenakan biaya pemasaran sebesar Rp 50.000 – Rp 75.000,- per ekor ternak 40 dari biaya pemasaran ini dikembalikan ke kas kelompok dan 60
nya merupakan jasa untuk peternak yang memasarkan. 4.2.3.6
Produktivitas dan Pendapatan Usaha Sapi Potong
Struktur populasi ternak didaerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18
Struktur populasi ternak sapi ptong didaerah penelitian
No Struktur populasi
Program Non Program
Ekor ekor 1
2 3
4 5
6 Pejantan
Induk betina Jantan muda
Sapi dara Anak jantan
Anak betina 3
97 5
17 17
32 1,76
56,73 2,92
9,94 9,94
18,71 2
66 4
9 10
25 1,72
56,90 3,45
7,76 8,62
21,55 Total
171 100,00 116 100,00 Sumber :
Hasil pengolahan data primer 2009
54 Berdasarkan struktur populasi ternak sapi terlihat bahwa sapi betina induk
menempati proporsi yang paling tinggi, kemudian diikuti oleh anak betina, anak jantan, dan sapi dara. Sex ratio antara betina dan jantan adalah 5,84 dan 6,25
masing-masing untuk program dan non program. Informasi ini menggambarkan bahwa daerah penelitian merupakan daerah pembibitan intensif, ditandai dari sex
ratio yang lebih besar dari 5,00 dan proporsi betina induk dalam struktur populasi menempati proporsi yang lebih besar. Soetirto 1997 menyatakan bahwa, bila sex
ratio lebih besar dari 5,00 maka daerah yang bersangkutan dikategorikan sebagai daerah pembibitan intensif, di samping indikator lain berupa besarnya proporsi sapi
induk dan pedet. Berdasarkan struktur populasi ternak didaerah penelitian dapat disusun pro-
duktivitas sapi potong seperti terlihat pada Tabel 19. Tabel 19
Produktivitas sapi potong didaerah penelitian
No Kriteria Program
Non Program
1 2
3 4
5 Sex ratio
Umur induk kawin pertama bln Jarak beranak bln
Mortalita Angka kelahiran
5,84 18
15 1,43
70,71 6,25
22 18
1,96 65,00
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
Dari tabel di atas terlihat bahwa produktivitas ternak sapi peserta program BPLM lebih baik dari pada peternak non program, hal ini terjadi karena pada peternak
peserta program sebelum dana bantuan diberikan peternak terlebih dahulu mendapat- kan pelatihan tentang aspek teknis usaha sapi potong. Usaha peningkatan produk-
tivitas dapat dicapai melalui : 1 pendekatan kuantitatif yakni peningkatan populasi ternak bibit, dan 2 pendekatan kualitatif yakni peningkatan produktivitas per unit
ternak dengan cara memperbaiki efisiensi reproduksi melalui peningkatan angka kelahiran, memperpendek jarak beranak calving interval, dan mengoptimalkan
pengelolaan perkawinan IB. Rataan pendapatan yang diperoleh dari usahaternak sapi
disajikan pada Tabel 20. Pendapatan yang diperoleh peternak bervariasi diantara peternak peserta
program dan luas lahan yang dimiliki. Rata-rata pendapatan peternak program luas lahan
≤ 1 Ha dan 1 Ha berturut-turut adalah sebesar Rp 765.311,83 dan Rp 878.768,58 per peternak per bulan. Rata-rata pendapatan peternak non program luas
55 lahan
≤ 1 Ha dan 1 Ha berturut-turut adalah sebesar Rp 527.479,63 dan Rp 420.175,76 per peternak per bulan.
Tabel 20 Rataan pendapatan usaha ternak sapi potong di daerah penelitian
No Uraian Program
Non Program
≤ 1 Ha 1 Ha
≤ 1 Ha 1 Ha
1 Penerimaan - Nilai jual ternak
- Perubahan nilai ternak - Kotoran
5.154.995 9.185.000
513.883,5 4.545.000
10.410.000 611.667
4.093.538,9 3.966.666,7
258.906,7 3.833.312,5
3.675.000 395.295
Total penerimaan 14.853.878,5
15.566.667 8.319.112,2
7.903.607,5 2 Pengeluaran
- Pakan - Tenaga kerja
- Obat-obatan - Penyusutan
- IB - Pemasaran
- Cicilan kridit - Sewa lahan
- Bunga cicilan 1.555.842,8
1.137.788,8 54.690
206.740 86.125
8.750 1.800.000
381.000 439.200
1.413.241 1.124.497,5
77.835 196.770
84.000 3.500
1.440.000 336.000
345.600 863.884,4
687.555,6 25.538,9
156.822,2 36.666,7
-- --
218.888,9 --
1.387.412,5 840.054,7
45.262,5 171.268,8
55.000 --
-- 362.500
--
Total pengeluaran 5.670.136,6
5.021.443,5 1.989.356,7
2.861.498,4 3 Pendapatan
- Pendapatan bersih 9.183.741,9
10.545.223,5 6.329.755,5
5.042.109,1
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
4.2.4 Manajemen Usahatani
4.2.4.1 Karakteristik Usahatani
Karakteristik usahatani yang menentukan produktivitas adalah luas lahan, lahan garapan terbagi atas : sawah, lahan kering untuk rumput unggul, dan lahan
kering untuk tegalan yang ditanami dengan tanaman palawija. Semua responden mengungkapkan bahwa usahatani produktif yang dijalankan dikerjakan pada lahan
sawah dan mampu memberikan kontribusi terbesar baik terhadap ekonomi rumah tangga petani secara individu maupun struktur ekonomi nagari. Semua responden
juga mengalokasikan lahan kering mereka untuk menanam rumput gajah, dan sebagian responden peserta program 46,6 dan non-program 50 memiliki lahan
tegalan sebagai lahan usahatani produktif. Karakteristik usahatani responden dapat dilihat pada Tabel 21.
Sistem kepemilikan lahan sawah diklasifikasikan menjadi : 1 petani ternak program BPLM yang memiliki luas lahan sawah
≤ 1 Ha; 2 petani-ternak program BPLM yang memiliki luas lahan sawah 1 Ha; 3 petani-ternak non-program BPLM
yang memiliki luas lahan sawah ≤ 1 Ha; dan 4 petani-ternak non-program BPLM
56 Tabel 21
Karakteristik usahatani-ternak peserta program dan non program
No Karakteristik Usahatani petani-ternak
Program Non Program
Freq Freq 1 Sawah
1. Luas garapan - 1 Ha
- ≥ 1 Ha
2. Intensitas tanam th - Tiga kali
- Dua kali 3. Pola tanam MT I
- Padi 4. Pola tanam MT II
- Padi 5. Pola tanam MT III
- Padi - Cabe
- Kacang tanah - Jagung
- Bera 20
10 28
2 30
30 12
8 6
2 2
66,67 33,33
93,33 6,67
100,00 100,00
40,00 26,66
20,99 6,67
6,67 18
16 33
1 34
34 19
7 5
2 1
52,94 47,06
97,06 2,94
100,00 100,00
55,88 20,59
14,71 5,88
2,94 2 Lahan untuk kebun rumput
1. Jenis tanaman: R. Gajah
2. Intensitas tanam : tiap thn
30 30
30 100,00
100,00 100,00
34 34
34 100,00
100,00 100,00
3 Lahan tegalan 1.
Intensitas tanam thn -
Dua kali -
Satu kali 2.
Pola tanam MT I -
Padi ladang -
Cabe -
Kacang Tanah -
Jagung 3.
Pola tanam MT II - Padi ladang
- Cabe - Kacang Tanah
- Jagung 14
14 --
-- 9
3 2
-- 4
7 3
46,67 100,00
-- --
64,29 21,43
14,28
-- 28,57
50,00 21,43
17 17
-- 1
8 4
4
1 6
6 4
50,00 100,00
-- 5,88
47,06 23,53
23,53
5,88 35,29
35,29 23,54
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
yang memiliki luas lahan sawah 1 Ha, dengan mempertimbangkan perbedaan intensitas tanam pada lahan responden. Aktivitas pola tanam disajikan pada Tabel 22.
Pola tanam dominan pada lahan sawah di lokasi penelitian adalah padi-padi- padi. Tanaman padi merupakan komoditas utama yang dibudidayakan pada tiga
musim tanam, hal ini berkaitan dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang menempatkan beras sebagai sumber makanan pokok. Musim tanam 1 MT I mulai
bulan Oktober dan panen pada bulan Januari, MT II dimulai pada bulan Februari dan
57 Tabel 22
Pola usahatani yang dipertimbangkan dalam model perencanaan optimal
Lahan Luas kepemilikan sawah
Luas ≤ 1 ha
Luas 1 ha Pola tanam
Kode Pola tanam
Kode
1. Program BPLM a. Sawah 2 x per th
b. Sawah 3 x per th c. Kebun rumput
d. Tegalan Padi-Padi-Bera
Padi-Padi-Padi Padi-Padi-Cabe
Padi-Padi-Kt Padi-Padi-Jg
Rumput gajah Cabe-Cabe
Cabe-Kt Kt-Kt
Cabe-Jg Jg-Jg
PT1 PT2
PT3 PT4
PT5 PT6
PT7 PT8
PT9
PT10 PT11
Padi-Padi-Bera Padi-Padi-Padi
-- Padi-Padi-Kt
-- Rumput gajah
Cabe-Cabe Cabe-Kt
-- --
Jg-Jg PT1
PT2 --
PT3 --
PT4 PT5
PT6 --
-- PT7
2. Non program a. Sawah 2 x per th
b. Sawah 3 x per th c. Kebun rumput
d. Tegalan --
Padi-Padi-Padi Padi-Padi-Cabe
Padi-Padi-Kt Padi-Padi-Jg
Rumput gajah Cabe-Cabe
Cabe-Kt Kt-Kt
Cabe-Jg Jg-Jg
Padi-Padi --
PT1 PT2
PT3 PT4
PT5 PT6
PT7 PT8
PT9
PT10 PT11
Padi-Padi-Bera Padi-Padi-Padi
-- --
-- Rumput gajah
Cabe-Cabe Cabe-Kt
Kt-Kt --
Jg-Jg Kt-Jg
PT1 PT2
-- --
-- PT3
PT4 PT5
PT6
-- PT7
PT8 Sumber :
Hasil pengolahan data primer 2009
panen pada bulan Mei, dan MT III dimulai pada bulan Juni dan panen pada bulan September. Untuk MT III petani-ternak telah mulai mengkombinasikannya dengan
tanaman palawija dan tanaman sayuran karena persediaan air yang terbatas pada musim kemarau. Terdapat dua musim tanam untuk lahan tegalan yakni musim tanam
satu MT I dan musim tanam dua MT II. Musim tanam satu didominasi tanaman cabe 64,29 , dan musim tanam dua didominasi oleh tanaman kacang tanah 50 .
Untuk kebun rumput, semua peternak mengalokasikan sebagian lahan kering yang dimiliki untuk tanaman rumput unggul sebagai pakan sapi potong.
4.2.4.2 Sistem Penggunaan Lahan
Berdasarkan kapasitas dan intensitas lahan sawah untuk penanaman selama satu tahun, sumberdaya lahan sawah responden dikelompokan menjadi ; 1 lahan
58 sawah dua kali tanam per tahun, dan 2 lahan sawah tiga kali tanam per tahun.
Ketersediaan sumberdaya lahan responden disajikan pada Tabel 23. Tabel 23
Sumberdaya lahan yang dikuasai oleh responden penelitian Rincian
Luas sawah Ha ≤ 1 Ha
1 Ha
1. Program a. Sawah
- Luas minimum - Luas maksimum
- Jumlah - Rataan
b. Kebun rumput c. Tegalan
0.2 1.0
11.35 0.57
0.95 0.58
1.2 2.5
16.4 1.64
0.84 0.50
2. Non Program a. Sawah
- Luas minimum - Luas maksimum
- Jumlah - Rataan
b. Kebun rumput c. Tegalan
0.25 0.5
6.75 0.38
0.55 0.38
1.1 4.0
36.95 2.31
0.91 0.33
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
Rataan luas sawah yang dimiliki peternak program kategori lahan ≤ 1 Ha dan
1 Ha masing-masing 0,57 Ha, 1,6 Ha ; 0,38 Ha, 2,31 Ha untuk peternak non program. Rataan pemilikan kebun rumput gajah peternak program kategori lahan
≤ 1 Ha dan 1 Ha tidak begitu berbeda, lain halnya dengan peternak non program
memiliki luas lahan kebun rumput yang berbeda antara kategori lahan ≤ 1 Ha dan 1
Ha. Rataan luas lahan tegalan yang dimiliki masing-masing peternak tidak begitu berbeda, yang digunakan untuk tanaman palawija dan sayuran dengan interval tanam
dua kali per tanun. Produktivitas lahan dapat ditingkatkan dengan mengusahakan integrasi tanam-
an dan ternak dalam rangka pemanfaatan sumberdaya secara ekonomis dan optimal. Tingginya frekuensi penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian sangat memungkin-
kan penyediaan limbah pertanian sebagai sumber pakan bagi ternak sapi potong. 4.2.4.3
Curahan Waktu Kerja
Curahan waktu kerja yang dimaksud adalah jumlah tenaga kerja yang tersedia yang digunakan untuk bekerja dilahan usahatani sawah, kebun rumput, dan tegalan,
59 pemeliharaan ternak, dan kegiatan diluar usahatani-ternak. Rataan tenaga kerja yang
tersedia per bulan dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24
Ketersediaan tenaga kerja keluarga per bulan responden penelitian Rincian
Luas sawah Ha ≤ 1 Ha
1 Ha
1. Program - Pria dewasa HKP
- Wanita dewasa HKP - Anak-anak HKP
jumlah Rataan
600 340
100 1.040
52 350
140 25
515 51,5
2. Non Program - Pria dewasa HKP
- Wanita dewasa HKP - Anak-anak HKP
jumlah Rataan
550 340
162,5 1.052,5
58,47 550
240 12,5
802,5 50,16
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
Curahan waktu oleh petani untuk kegiatan usaha ternak adalah untuk mengarit rumput, memberi pakan, membersihkan kandang, memandikan ternak, dan member-
sihkan kuku. Rataan kebutuhan tenaga kerja per unit ternak per bulan adalah 2,96 dan 2,77 HKP untuk petani ternak program kategori luas lahan sawah
≤ 1 Ha dan 1 Ha, untuk petani ternak non-program kategori luas lahan sawah
≤ 1 Ha dan 1 Ha adalah 5,01 dan 3,39 HKP. Rataan tenaga kerja yang tersedia per bulan peserta
pogram dengan luas lahan ≤ Ha dan 1 Ha adalah 52 dan 51,5 HKP, untuk non
program adalah 58,47 dan 50,16 HKP. Kegiatan yang umum dilakukan oleh responden pada berbagai jenis tanaman disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25 Kegiatan budidaya tanaman yang dilakukan responden
Jenis tanam Musim Tanam I
Musim Tanam II Musim Tanam III
Okt Nov Des Jan Feb Mar
Apr Mei Jun Jul Ags Sep
1. Sawah Padi
Cabe Kacang Tnh
Jagung a
-- --
-- bc
-- --
-- c
-- --
-- d
-- --
-- a
-- --
-- bc
-- --
-- c
-- --
-- d
-- --
-- a
a a
a bc
bc bc
bc c
c c
c d
d d
d
2. Kebun
Rpt a bc cd cd cd cd cd cd cd cd cd cd
3. Tegalan Padi ladang
Cabe Kacang Tnh
Jagung a
a a
a bc
bc bc
bc c
c c
c d
d d
d a
a a
a bc
bc bc
bc c
c c
c d
d d
d --
-- --
-- --
-- --
-- --
-- --
-- --
-- --
--
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
60 Keterangan : a : Persemaian dan mengolah lahan
b : Penanaman c : Pemeliharaan penyiangan, pemupukan, pemberantasan hama pe-
nyakit d : Panen
Perbedaan aktivitas dan intensitas kerja petani pada setiap fase pertumbuhan tanaman berdampak pada perbedaan waktu kerja. Curahan waktu kerja per bulan
untuk masing-masing kegiatan pada masing-masing kategori dijelaskan pada Tabel 26.
Tabel 26 Curahan tenaga kerja per bulan kegiatan usahatani dilokasi penelitian
Kategori MT I HOKHa
MT II HOKHa MT III HOKHa
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
1.Prg ≤ 1 Ha
- Padi - Cabe
- KT - Jagung
- R gajah - Cabe
- KT - Jagung
7,95 --
-- --
11,43 8,2
7,58 5,25
11,35 --
-- --
6,75 11,72
10,83 7,5
6,81 --
-- --
6,75 7,03
6,5 4,5
6,81 --
-- --
6,75 7,03
6,5 4,5
7,95 --
-- --
6,75 8,2
7,58 5,25
11,35 --
-- --
6,75 11,72
10,83 7,5
6,81 --
-- --
6,75 7,03
6,5 4,5
6,81 --
-- --
6,75 7,03
6,5 4,5
7,95 6,83
8,93 7
6,75 --
-- --
11,35 9,75
12,75 10
6,75 --
-- --
6,81 5,85
7,65 6
6,75 --
-- --
6,81 5,85
7,65 6
6,75 --
-- --
Total 40,41
48,15 31,59
31,59 35,73 48,15 31,59 31,59 37,46 50,6 33,06 33,06 2.Prg 1 Ha
- Padi - KT
- R gajah - Cabe
- KT - Jagung
22,96 --
10,08 8,75
14 3,5
32,8 --
5,96 12,5
20 5
19,68 --
5,96 7,5
12 3
19,68 --
5,96 7,5
12 3
22,96 --
5,96 8,75
14 3,5
32,8 --
5,96 12,5
20 5
19,68 --
5,96 7,5
12 3
19,68 --
5,96 7,5
12 3
22,96 22,4
5,96 --
-- --
32,8 32
5,96 --
-- --
19,68 19,2
5,96 --
-- --
19,68 19,2
5,96 --
-- --
Total 59,29
76,26 48,14
48,14 55,17 76,26 48,14 48,14 51,32 70,76 44,84 44,84 3.NP
≤ 1 Ha - Padi
- Cabe - KT
- Jagung - R gajah
- Padi - Cabe
- KT - Jagung
5,25 --
-- --
6,6 7
5,5 3,5
4,43 7,5
-- --
-- 3,9
10 7,85
5 6,33
4,5 --
-- --
3,9 6
4,71 3
3,8 4,5
-- --
-- 3,9
6 4,71
3 3,8
5,25 --
-- --
3,9 7
5,5 3,5
4,43 7,5
-- --
-- 3,9
10 7,85
5 6,33
4,5 --
-- --
3,9 6
4,71 3
3,8 4,5
-- --
-- 3,9
6 4,71
3 3,8
5,25 4
6,3 5,25
6,75 --
-- --
-- 7,5
5,72 9
7,5 6,75
-- --
-- --
4,5 3,43
5,4 4,5
6,75 --
-- --
-- 4,5
3,43 5,4
4,5 6,75
-- --
-- --
Total 32,28
40,58 25,91
25,91 29,58 40,58 25,91 25,91 27,55 36,47 24,58 24,58 4.NP 1 Ha
- Padi - R gajah
- Cabe - KT
- Jagung 32,33
10,88 5,25
3,5 4,67
46,19 6,43
7,5 5
6,67 27,71
6,43 4,5
3 4
27,71 6,43
4,5 3
4 32,33
6,43 5,25
3,5 4,67
46,19 6,43
7,5 5
6,67 27,71
6,43 4,5
3 4
27,71 6,43
4,5 3
4 32,33
6,43 --
-- --
46,19 6,43
-- --
-- 27,71
6,43 --
-- --
27,71 6,43
-- --
-- Total
56,63 71,79
45,64 45,64 52,18 71,79 45,64 45,64 38,76 52,62 34,14 34,14
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
61 Data tersebut menunjukkan bahwa untuk peternak program, tidak semua tenaga kerja
keluarga yang tersedia termanfaatkan untuk kegiatan usahatani luas lahan ≤ 1 Ha.
Artinya tenaga kerja keluarga yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk tambahan kegiatan usahatani sekitar 2,69-39,25 persen dari kegiatan usahatani yang ada, begitu
juga halnya dengan usahatani non-program kepemilikan lahan ≤ 1 Ha. Untuk
usahatani program dan non-program kepemilikan lahan sawah 1 Ha hampir semua tenaga kerja keluarga yang tersedia dimanfaatkan untuk kegiatan usahatani. Bahkan
pada bulan-bulan tertentu seperti bulan Oktober, November, Februari, Maret, dan Juli, tenaga kerja upahan diperlukan karena meningkatnya aktivitas usahatani seperti
pengolahan lahan, penanaman, penyiangan dan panen. Persentase tertinggi penggu- naan tenaga kerja luar keluarga adalah untuk pengolahan lahan, penanaman, pe-
nyiangan, dan panen. 4.2.4.4
Penggunaan Input Produksi
Input produksi utama yang digunakan oleh petani-ternak dalam menjalankan aktivitas usahatani meliputi bibit tanaman padi, palawija, sayur-sayuran, dan
rumput, pupuk organik dan an-organik, pestisida serta obat-obatan untuk ternak. Penggunaan input produksi dihitung per musim tanam, kecuali untuk tanaman
rumput hanya ditanam satu kali permulaan saja diremajakan dalam 4 tahun sekali. Bibit tanaman yang digunakan oleh petani dilokasi penelitian meliputi bibit padi,
cabe, kacang tanah dan jagung untuk lahan sawah. Bibit padi ladang, cabe, kacang tanah, dan jagung untuk tegalan, serta bibit rumput gajah untuk kebun hijauan pakan
ternak. Rataan penggunaan dan ketersediaan bibit tanaman disajikan pada Lampiran
2a dan 2b. Bibit yang disediakan oleh petani selalu lebih besar dari pada jumlah kebutuhan usahatani selisih 10-25, ini bertujuan untuk mengantisipasi kegagalan
pertumbuhan bibit di persemaian. Pupuk yang digunakan untuk tanaman terdiri dari pupuk Urea, TSP, KCl, NPK, dan pupuk kandang Lampiran 2c dan 2d. Jumlah
pupuk an-organik yang diberikan oleh petani untuk kegiatan usahatani hanya sebesar 50 persen dari dosis pupuk yang dianjurkan, hal ini karena keterbatasan modal untuk
membeli pupuk, kecuali pupuk organik hampir semuanya dapat dipenuhi. Obat- obatan yang umum digunakan oleh petani-ternak di daerah penelitian berupa Lebicyt
untuk tanaman padi, dan Entracol serta Curacron untuk tanaman cabe Lampiran 2 e.
62 4.2.4.5
Modal.
Modal yang tesedia berasal dari dua sumber yaitu modal sendiri dan modal pinjaman kredit. Modal pinjaman hanya ada pada usahatani-ternak program BPLM
sedangkan usahatani-ternak non program tidak memperoleh modal pinjaman. Perhitungan modal sendiri dilakukan dengan cara menghitung rata-rata tingkat pen-
dapatan rumah tangga petani-ternak selama satu tahun. Data yang diperoleh menun- jukkan bahwa rata-rata modal yang tersedia untuk usahatani-ternak program kepe-
milikan lahan ≤ 1 Ha dan 1 Ha sebesar Rp 7.200.362,67 dan Rp 9.749.149,33 per
musim tanam. Sedangkan untuk usahatani-ternak non program adalah sebesar Rp 4.852.035,- dan Rp 11.767.449,38 per musim tanam, biaya produksi per Ha lahan
disajikan pada Tabel 27. Tabel 27
Biaya produksi masing-masing pola tanam per musim tanam
Rincian Biaya Produksi Rp
Program Non Program
MT I MT II
MT III MT I
MT II MT III
Sawah ≤ 1 Ha
a. Padi
b. Cabe
c. Kt
d. Jg
e. Padi tgl
f. R gajah
957.396,6 1.104.008
923.137,8 679.011,4
-- 1.028.464,6
957.396,6 1.104.008
923.137,8 679.011,4
-- 1.028.464,6
957.396,6 991.005
1.126.820 860.785
-- 1.028.464,6
637.219,8 726.103.2
483.238,1 559.211,6
773.919,1 556.494,8
637.219,8 726.103.2
483.238,1 559.211,6
773.919,1 556.494,8
637.219,8 597.538,6
728.600 642.135
-- 556.494,8
Total 4.692.018,4 4.692.018,4 4.964.471,2 3.736.186,6 3.736.186,6 3.161.988,2
Sawah 1 Ha a.
Padi b.
Cabe c.
Kt d.
Jg e.
R Gajah 2.606.001
1.218.750 1.714.500
536.240 916.222,7
2.606.001 1.218.750
1.714.500 536.240
916.222,7 2.606.001
-- 2.617.645
-- 916.222,7
3.578.889,8 710.625
500.784,2 593.198,5
928.840,3 3.578.889,8
710.625 500.784,2
593.198,5 928.840,3
3.578.889,8 --
-- --
928.840,3 Total
6.991.713,7 6.991.713,7
6.139.868,7 6.312.337,8 6.312.337,8 4.507.730,1
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
Untuk usahatani-ternak program dengan kepemilikan lahan ≤ 1 Ha dan 1
Ha, modal yang dimanfaatkan untuk kegiatan usahatani sebesar 67,6 persen dari modal yang tersedia, sisanya digunakan sebagai cadangan untuk mengantisipasi
terjadinya kegagalan usaha. Pada usahatani-ternak non-program, dengan kepemilikan lahan
≤ 1 Ha dan 1 Ha, modal yang dimanfaatkan untuk kegiatan usahatani lebih kecil yakni rata-rata 60,8 persen dari modal yang tersedia. Sementara itu untuk
modal pinjaman hanya diberikan pada petani-ternak yang mengikuti program BPLM yakni sebesar Rp 2.400.000 per tahun atau Rp 800.000,- per musim tanam.
63
4.2.4.6 Produktivitas dan Pendapatan Usahatani Tanaman
Berdasarkan Tabel 22 terdapat 11 pola tanam usahatani-ternak program kepemilikan lahan sawah
≤
1 Ha, dan 7 pola tanam usahatani-ternak program kepemilikan lahan sawah 1 Ha. Khusus petani-ternak non program terdapat 11 pola
tanam untuk kepemilikan lahan sawah
≤
1 Ha, dan 8 pola tanam kepemilikan lahan sawah 1 Ha. Adanya perbedaan pola tanam berdampak pada perbedaan jumlah dan
pola produksi usahatani Lampiran 2f-1, 2f-2, 2f-3, 2f-4. Usahatani-ternak program kepemilikan lahan sawah
≤
1 Ha produksi tertinggi diperoleh pada PT2 yakni pola tanam padi periode tanam tiga kali per tahun, dan PT7 yakni pola tanam tegalan
dengan tanaman cabe periode tanam dua kali per tahun. Usahatani program kepemilikan lahan sawah 1 Ha, produksi tertinggi diperoleh pada PT2 yakni pola
tanam padi periode tanam tiga kali per tahun, dan PT5 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman cabe periode tanam dua kali per tahun. Usahatani non-
program kepemilikan lahan sawah
≤
1 Ha, produksi tertinggi diperoleh pada PT1 yakni lahan sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode tanam tiga kali per
tahun, dan PT4 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman cabe periode tanam dua kali per tahun. Usahatani non-program kepemilikan lahan sawah 1 Ha,
produksi tertinggi diperoleh pada PT2 yakni lahan sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode tanam tiga kali per tahun, dan PT4 yakni lahan tegalan yang
ditanami dengan tanaman cabe periode tanam dua kali per tahun. Data ini didukung oleh laporan Kasijadi et al. 2007 bahwa, untuk meningkatkan produktivitas
usahatani padi telah tersedia rakitan teknologi pengelolaan terpadu spesifik lokasi meliputi ; a adanya varietas unggul spesifik lokasi yang dapat diterima oleh petani
dan tidak berdampak negatif terhadap kelestarian alam; b pemupukan rasional spesifik lokasi yang mengacu pada kandungan hara tanah dan kebutuhan tanaman; c
penambahan pupuk organik, karena semakin rendahnya bahan organik dalam tanah; dan d pengendalian hama dan penyakit yang ramah lingkungan. Untuk mencukupi
kebutuhan pupuk organik dilahan sawah dan memberikan tambahan pendapatan petani, para petani dipacu mengusahakan ternak sapi untuk memperoleh pupuk
organik dengan harga murah, diperlukan model integrasi usahatani padi ternak sapi. Perbedaan dalam pola dan jumlah produksi serta produktivitas akan berimpli-
kasi pada adanya perbedaan dalam tingkat pendapatan Lampiran 2g-1, 2g-2, 2g-3, 2g-4. Usahatani program kepemilikan lahan sawah
≤ 1 Ha, pendapatan tertinggi
64 diperoleh pada PT3 yakni lahan sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode
tanam dua kali MT1, MT2, tanaman cabe periode satu kali MT3 per tahun, dan PT7 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman cabe periode tanam dua kali
per tahun. Usahatani program kepemilikan lahan sawah 1 Ha, pendapatan tertinggi
diperoleh pada PT3 yakni lahan sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode tanam dua kali MT1, MT2, tanaman kacang tanah periode satu kali MT3 per
tahun, dan PT6 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman kacang tanah periode tanam dua kali per tahun. Usahatani non-program kepemilikan lahan sawah
≤
1 Ha, pendapatan tertinggi diperoleh pada PT3 yakni lahan sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode tanam dua kali MT1, MT2, tanaman kacang tanah
periode satu kali MT3 per tahun, dan PT7 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman cabe pada MT1 kacang tanah pada MT2. Usahatani non-program kepemi-
likan lahan sawah 1 Ha, pendapatan tertinggi diperoleh pada PT2 yakni lahan
sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode tanam tiga kali per tahun, dan PT4 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman cabe periode tanam dua kali per
tahun. Model lengkap analisis tingkat usahatani-ternak di daerah penelitian disajikan
pada Lampiran 2h sampai 2w. 4.2.5
Optimalisasi Usahatani-ternak
4.2.5.1 Aktivitas Basis pada Pola Usahatani-ternak Optimal
Hasil analisis pola usahatani-ternak optimal disajikan pada Tabel 28. Dari Tabel 28 terlihat bahwa aktivitas basis pada pola usahatani-ternak optimal, rata-rata
lahan yang dimiliki oleh petani-ternak sawah, kebun rumput, tegalan semuanya termanfaatkan. Tenaga kerja keluarga yang tersedia, pada usahatani-ternak program
dan non-program kepemilikan lahan sawah ≤ 1 Ha belum semuanya termanfaatkan,
artinya masih ada cadangan tenaga kerja keluarga yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan usahatani-ternak. Untuk usahatani-ternak program dan non-program
kepemilikan lahan sawah 1 Ha pada bulan-bulan tertentu Oktober, November, Februari, Maret, Juli terjadi kekurangan tenaga kerja karena meningkatnya aktivitas
usahatani untuk pengolahan lahan, penanaman, penyiangan dan panen. Rata-rata ternak sapi potong yang dipelihara berdasarkan potensi lahan hijauan yang ada
dan tenaga kerja keluarga yang tersedia, masih dapat di tingkatkan dari rata-rata
65 Tabel 28
Aktivitas basis pola usahatani-ternak optimal Uraian Aktivitas
Satuan Jumlah
1. Program sawah ≤ 1 Ha
Padi – Padi – Cabe PT3 Hijauan pakan ternak PT6
Cabe – Cabe tegalan PT7 Memelihara sapi bibit PT12
Ha Ha
Ha UT
0,57 0,95
0,58 10,44
2. Program sawah 1 Ha Padi – Padi – KT PT3
Hijauan pakan ternak PT4 Cabe – KT tegalan PT6
Memelihara sapi bibit PT8 Menyewa tenaga kerja bln Oktober
Menyewa tenaga kerja bln November Menyewa tenaga kerja bln Februari
Menyewa tenaga kerja bln Maret Menyewa tenaga kerja bln Juli
Ha Ha
Ha UT
HOK HOK
HOK HOK
HOK 1,64
0,84 0,50
10,03 7,79
24,76 3,67
24,76 19,26
3. Non Program sawah ≤ 1
Ha Padi – Padi – KT PT3
Hijauan makanan ternak PT5 Cabe – Cabe tegalan PT6
Memelihara sapi bibit PT12 Ha
Ha Ha
UT 0,38
0,55 0,38
5,62
4. Non Program sawah 1 Ha
Padi – Padi – Padi PT2 Hijauan makanan ternak PT3
Cabe – Cabe tegalan PT4 Memelihara sapi bibit PT9
Menyewa tenaga kerja bln Oktober Menyewa tenaga kerja bln November
Menyewa tenaga kerja bln Februari Menyewa tenaga kerja bln Maret
Menyewa tenaga kerja bln Juli Ha
Ha Ha
UT HOK
HOK HOK
HOK HOK
2,31 0,91
0,33 9,93
6,47
21,63 2,02
21,63 2,46
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
kepemilikan ternak yang ada sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa pola usahatani- ternak solusi optimal memberikan pendapatan maksimal bagi petani-ternak.
Memelihara ternak merupakan aktivitas basis untuk semua kategori usahatani- ternak dan juga menjadi solusi optimal pada model analisis usaha yang dikembang-
kan. Hal ini terjadi karena aktivitas tersebut tidak bersaing dengan aktivitas lain dalam pemanfaatan sumberdaya lahan. Dengan demikian usaha ternak sapi merupa-
kan usaha yang dapat dikembangkan secara bersamaan dan saling mendukung terintegrasi untuk memperoleh pendapatan maksimal.
Aktivitas lain yang juga menjadi aktivitas basis dalam pola usahatani-ternak optimal adalah menyewa tenaga kerja dari luar terutama pada usahatani-ternak
program dan non program kepemilikan lahan sawah 1 Ha pada bulan Oktober- November MT I, Februari-Maret MT II, dan Juli MTIII. Hal ini terjadi karena
meningkatnya aktivitas usahatani-ternak pada bulan tersebut dan terbatasnya tenaga
66 kerja yang tersedia dalam keluarga, sehingga digunakan tenaga kerja upahan untuk
menutupi kekurangan tenaga kerja keluarga.
4.2.5.2 Alokasi Sumberdaya pada Pola Usahatani-ternak Solusi Optimal
Sumberdaya yang digunakan dalam kegiatan usahatani perencanaan optimal berupa lahan, tenaga kerja, input produksi, dan modal.
Lahan. Alokasi optimal penggunaan sumberdaya lahan disajikan pada Gam-
bar 11 sampai dengan Gambar 14. MT I MT II MT III
Sawah Padi 0,57 Ha
Padi 0,57 Ha Cabe 0,57 Ha
Kebun rumput Rumput Gajah 0,95 Ha
Tegalan Cabe 0,58 Ha
Cabe 0,58 Ha Gambar 11
Penggunaan lahan pola optimal program lahan sawah ≤ 1 Ha
MT I MT II MT III Sawah
Padi 1,64 Ha Padi 1,64 Ha
KT 1,64 Ha Kebun rumput
Rumput Gajah 0,84 Ha Tegalan
Cabe 0,5 Ha KT 0,5 Ha
Gambar 12 Penggunaan lahan pola optimal program lahan sawah 1 Ha
MT I MT II MT III Sawah
Padi 0,38 Ha Padi 0,38 Ha
KT 0,38 Ha Kebun rumput
Rumput Gajah 0,55 Ha Tegalan
Cabe 0,38 Ha Cabe 0,38 Ha
Gambar 13 Penggunaan lahan pola optimal non program lahan sawah
≤ 1 Ha
MT I MT II MT III Sawah
Padi 0,57 Ha Padi 0,57 Ha
Cabe 0,57 Ha Kebun rumput
Rumput Gajah 0,95 Ha Tegalan
Cabe 0,58 Ha Cabe 0,58 Ha
Gambar 14 Penggunaan lahan pola optimal non program lahan sawah 1 Ha
67 Lahan yang tersedia seluruhnya dapat di alokasikan pada pola optimal. Untuk
lahan sawah musim tanam pertama MT I dan ke dua MT II, tanaman padi merupa- kan tanaman yang direkomendasikan untuk diusahakan pada pola usahatani-ternak
solusi optimal. Untuk musim tanam ke tiga MT III bervariasi antara Padi, Cabe, dan Kacang Tanah KT. Lahan hijauan makanan ternak ditanami dengan rumput
gajah secara periodik 1-2 tahun sekali, untuk tegalan ditanami dalam dua musim tanam, dan bervariasi antara Cabe dan Kacang tanah.
Tenaga kerja keluarga. Penggunaan sumberdaya tenaga kerja keluarga pada
pola usahatani-ternak solusi optimal disajikan pada Tabel 29. Pada pola usahatani solusi optimal tidak semua tenaga keluarga yang tersedia dapat dialokasikan dalam
usahatani-ternak, kecuali usahatani-ternak program luas lahan 1 Ha terdapat ke- kurangan tenaga kerja pada musim tanam satu MT I, musim tanam dua MT II,
Tabel 29 Penggunaan tenaga kerja pola usahatani-ternak optimal
No Uraian Tenaga kerja
MT I HOK Tenagakerja
MT II HOK Tenaga kerja
MTIII HOK
1 Usahatani Program lhn
≤ 1 Ha Tersedia
Terpakai Sisa
208 151,74
56,76 208
147,06 60,94
208 154,18
53,82 2
Usahatani Program lhn 1 Ha Tersedia
Terpakai Sisa
206 231,83
-25,83 206
227,71 -21,71
206 211,76
-5,76 3
Usahatani non Program lhn ≤ 1 Ha
Tersedia Terpakai
Sisa 233,88
124,68 109,2
233,38 121,98
111,4 233,88
113,18 120,7
4 Usahatani non Program lhn 1 Ha
Tersedia Terpakai
Sisa 200,64
219,7 -19,06
200,64 215,25
-14,61 200,64
159,66 40,98
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
musim tanam tiga MT III, dan non program luas lahan 1 Ha musim tanam satu MT I, musim tanam dua MT II, dan harus dicarikan dengan menyewa tenaga kerja
luar keluarga.
Input Produksi. Input produksi yang dipertimbangkan meliputi penggunaan
bibit tanaman, pupuk an-organik, dan pupuk organik. Penggunaan input produksi pada pola optimal disajikan pada Lampiran 2x dan 2y.
68 Hampir semua input produksi yang disediakan oleh petani terpakai pada pola
usahatani solusi optimal, ini menggambarkan bahwa pada pola ini penggunaan input cenderung lebih efisien dibandingkan pola yang dijalankan oleh petani.
Modal. Penggunaan modal pada pola solusi optimal usahatani-ternak disaji-
kan pada Tabel 30. Berdasarkan data pada Tabel 30 modal sendiri yang dimiliki petani-ternak tidak seluruhnya dialokasikan pada masing-masing pola optimal,
kecuali untuk usaha sapi bibit, karena modal pinjaman dapat dialokasikan seluruhnya pada pola optimal. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk usahatani sapi bibit sum-
berdaya modal merupakan sumberdaya yang sangat diperlukan untuk menjalankan usaha sapi potong.
Usahatani-ternak yang dijalankan oleh petani telah mengurangi input dari luar, karena tenaga kerja berasal dari dalam keluarga. Input berupa sarana produksi sedapat
mungkin diperoleh dari produk masing-masing kegiatan yang saling terkait, pupuk Tabel 30
Penggunaan modal pada pola usahatani-ternak optimal
N o
Uraian Program Non
Program MT I
MT II MT III
MT I MT II
MT III
1 Lahan sawah
≤ 1 Ha a. Modal sendiri Rp
Tersedia Terpakai
Sisa b. Pinjaman Rp
Tersedia Terpakai
Sisa 7.200.362,67
3.089.869,22 4.110.493,45
800.000 800.000
-- 7.200.362,67
2.806.790,24 4.393.572,43
800.000 800.000
-- 7.200.362,67
2.181.266,35 5.019.096,32
800.000 800.000
-- 4.852.035
1.850.664,98 3.001.370,02
4.852.035 1.806.868,29
3.045.166,71 4.852.035
1.171.756,97 3.680.278,03
2 Lahan sawah 1 Ha
a. Modal sendiri Rp Tersedia
Terpakai Sisa
b. Pinjaman Rp Tersedia
Terpakai Sisa
9.749.149,30 4.489.485,57
5.259.663,73 800.000
800.000 --
9.749.149,30 4.379.473,67
5.369.675,66 800.000
800.000 --
9.749.149,30 3.599.308,80
6.149.840,53 800.000
800.000 --
11.767.449,38 5.124.851,86
6.642.597,52 11.767.449,3
8 5.445.755,15
6.321.694,23 11.767.449,3
8 4.461.846,94
7.305.602,44
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
organik dari limbah ternak dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk lahan pertanian dan kebun rumput. Sebagian petani telah memanfaatkan sisa hasil tanaman untuk
ternak, rumput unggul yang sengaja ditanam dilahan khusus dengan memanfaatkan tenaga kerja keluarga yang ada. Pola usaha yang telah diterapkan tersebut, sudah
menggambarkan usahatani dengan System Low External Input Sustainable Agricul- ture
LEISA.
69 4.2.5.3
Tingkat Pendapatan Usahatani-ternak pada Pola Optimal
Besarnya tingkat pendapatan yang diperoleh petani-ternak dengan menjalan- kan pola optimal disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31 Perbandingan pendapatan antara petani-ternak pola aktual dan po-
la optimal
N o
Uraian Program Non
Program Pola
aktual Pola
optimal Perubah
- an Pola
aktual Pola
optimal Perubah
-an
1 Lahan sawah
≤ 1 Ha a. Usaha tanaman Rp
b. Usaha sapi potong Total
21.601.088 9.183.741,95
30.784.829,95 48.263.273,54
20.525.663,28 68.788.936,82
123,45 14.556.105
6.329.755,56 20.885.860,56
26.808.934,02 11.651.788,84
38.460.722,86 84,15
2 Lahan sawah 1 Ha
a. Usaha tanaman Rp b. Usaha sapi potong
Total 29.247.448
10.545.223,50 39.792.671,50
57.928.875,50 20.895.616,08
78.824.491,58 98,09
35.302.348,13 5.042.109,06
40.344.457,19 57.278.412,73
8.180.564,69 65.458.977,42
62,25
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
Pendapatan petani-ternak dapat ditingkatkan sebesar 123,45; 98,09 untuk usaha tani-ternak program luas lahan
≤ 1 Ha; 1 Ha, dan 84,15; 62,25 untuk usahatani- ternak non-program luas lahan
≤ 1 Ha; 1 Ha apabila petani-ternak menjalankan pola usahatani solusi optimal. Ini sesuai dengan tujuan program integrasi tanaman dan
ternak yakni : 1 mendukung peningkatan kandungan bahan organik lahan pertanian, 2 membantu upaya peningkatan produktivitas tanaman dan ternak, dan 3 mening-
katkan pendapatan petani. Peningkatan pendapatan petani-ternak masih memungkin- kan dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan limbah pertanian untuk ternak
sapi potong, dan pemanfaatan limbah ternak sapi potong untuk usaha pertanian. 4.2.6
Kontribusi Pendapatan Usaha Sapi Potong
Besarnya kontribusi pendapatan usaha sapi potong terhadap total pendapatan petani-ternak secara keseluruhan disajikan pada Tabel 32. Berdasarkan Tabel 32
terlihat kontribusi pendapatan usaha sapi potong sebesar : 1 23,80 dan 23,41 masing-masing untuk usahatani-ternak program luas lahan sawah
≤ 1 Ha dan 1 Ha ; 2 25,07 dan 11,27 masing-masing untuk usahatani-ternak non-program luas
lahan sawah ≤ 1 Ha dan 1 Ha. Hal ini menggambarkan bahwa usaha sapi potong
yang dipelihara masih bersifat sambilan, dan relatif tidak berbeda antara pola optimal, dengan luas lahan sawah
≤ 1 Ha dan 1 Ha untuk program, dan berbeda antara luas lahan sawah
≤ 1 Ha dan 1 Ha untuk non program. Menurut Soehadji 1995, usaha peternakan sebagai usaha sambilan yakni petani-ternak yang mengusahakan berbagai
70 komoditi pertanian terutama tanaman pangan, dengan kontribusi pendapatan dari
usaha ternak kurang dari 30 persen. Tabel 32
Kontribusi pendapatan usaha ternak sapi potong
No Uraian Program
Non Program
Pendapatan RpTh
Kontribusi Pendapatan
RpTh Kontribusi
1 Lahan sawah
≤ 1 Ha Usahatani
Usaha ternak sapi ptg Lainnya
Total 21.601.088
9.183.741,95 7.796.000
38.580.829,95 55,99
23,80 20,21
100,00 14.556.105
6.329.755,56 4.360.555,56
25.246.416,12 57,66
25,07 17,27
100,00 2
Lahan sawah 1 Ha Usahatani
Usaha ternak sapi ptg Lainnya
Total 29.247.448
10.545.223,50 5.245.000
45.037.671,50 64,94
23,41 11,65
100,00 35.302.348,13
5.042.109,06 4.400.000
44.744.457,19 78,90
11,27 9,83
100,00
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
4.2.7
Analisis Pelaksanaan Program BPLM
Hasil analisis terhadap pelaksanaan program BPLM terlihat pada Tabel 33. Tabel 33
Kinerja pelaksanaan program BPLM No Indikator
keberhasilan Pelaksanaan
program BPLM
Luak LSH Situjuh
1 Aspek Kelembagaan
a. Jumlah anggota org - Awal program Sept 2002
- Saat bulan Sept 2006 b. Partisipasi anggota
- Awal program Sept 2002 - Saat bulan Sept 2006
16 6
90 40
20 27
90 85
20 46
90 80
2 Aspek Usaha
a. Permodalan Rp - Awal program Sept 2002
- Saat bulan Sept 2006 b. Perencanaan usaha kedepan
- Saat bulan Sept 2006 192.000.000
65.928.000
Koordinasi Kurang
240.000.000 235.727.600
Koordinasi Bagus
240.000.000 260.470.000
Koordinasi Bagus
3 Aspek Teknis
a. Angka kelahiran - Awal program Sept 2002
- Saat bulan Sept 2006 b. Angka kematian ternak
- Awal program Sept 2002 - Saat bulan Sept 2006
25,01 63,30
3,06 1,67
59,68 67,50
1,89 1,67
48,89 70,59
2,45 1,00
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
71
Aspek kelembagaan. Ditinjau dari aspek kelembagaan, perkembangan jum-
lah anggota anggota sub-inti, kelompok tani-ternak Sikabu Saiyo dan Tunas Baru mengalami peningkatan sebesar 130 dan 35 persen, yang mengindikasikan minat
yang besar dari anggota sub-inti di dua kelompok tani-ternak tersebut. Sebaliknya kelompok tani-ternak Luak Lalang mengalami berbagai kendala antara lain macetnya
pengembalian cicilan pokok dan bunga pinjaman, sehingga tidak ada dana yang digulirkan pada anggota lain. Macetnya pengembalian kredit tidak terlepas dari
lemahnya fungsi kontrol dari pengurus dan instansi terkait. Partisipasi anggota kelompok tani-ternak Sikabu Saiyo dan Tunas Baru terlihat cukup tinggi dan sangat
kurang pada kelompok tani-ternak Luak Lalang. Berkembangnya suatu kelompok erat kaitannya dengan kemampuan kelom-
pok dalam : 1 merencanakan kegiatan untuk meningkatkan produktivitas usahatani- ternak para anggota dan pemanfaatan sumberdaya secara optimal, 2 kemampuan
melaksanakan dan mentaati perjanjian dengan pihak lain atau mitra, 3 kemampuan menumpuk modal dan memanfaatkan pendapatan secara rasional, 4 kemampuan
meningkatkan hubungan kelembagaan dengan koperasi, dan 5 kemampuan mencari dan memanfatkan informasi serta menggalang kerjasama antar anggota kelompok
Kurnianita et al. 2006.
Aspek Usaha. Kelompok tani-ternak Sikabu Saiyo mampu meningkatkan
modal kelompok sebesar 25,20 persen dari modal awal sebesar Rp 240.000.000. Peningkatan modal kelompok diperoleh dari cicilan pokokbunga pinjaman, usaha
penyediaan saprotan milik kelompok, usaha simpan pinjam. Perkembangan kelompok dimasa depan mempunyai prospek yang bagus karena manajemen kelompok yang
baik, dan terdapat koordinasi yang baik antar anggota dengan pengurus dalam merencanakan usaha kedepan.
Kelompok tani-ternak Tunas baru, masih belum mampu untuk meningkatkan modal kelompok. Hal ini karena sebagian anggota belum mampu mengembalikan
cicilan pokokbunga pinjaman, pengurus yang kurang berpengalaman sehingga kelompok kurang berkembang, dan kurangnya transparansi dalam menetapkan
anggota yang menerima program sehingga sebagian anggota tidak mampu mengem- balikan cicilan pokokbunga pinjaman. Perencanaan usaha kedepan masih cukup
baik karena masih ada koordinasi antara pengurus dan anggota dalam menyusun rencana usaha.
72 Kondisi kelompok tani-ternak Luak Lalang belum sesuai harapan, pening-
katan modal kelompok belum berjalan lancar karena ada sebagian anggota yang belum membayar cicilan pokok dan bunga pinjaman. Hal ini disebabkan manajemen
kelompok yang belum memadai termasuk perekrutan anggota penerima bantuan tidak mengikuti prosedur yang baik 25 anggota yang menerima bantuan memanfaatkan
dana bantuan bukan untuk membeli bibit sapi potong. Ditambah Koordinasi anggota dalam menyusun rencana usaha kedepan tidak dilakukan secara terprogram.
Penguatan modal kelompok melalui BPLM merupakan salah satu upaya memberdayakan peternak dengan menggunakan pendekatan usaha kelompok. Ban-
tuan tersebut bertujuan memotivasi peternak agar mampu meningkatkan skala usaha secara lebih efisien sehingga dapat memperbaiki tingkat pendapatan.
Aspek Teknis. Aspek teknis usaha angka kelahiran dan angka kematian
yang diperoleh tidak begitu berbeda diantara kelompok tani-ternak yang menerima bantuan. Hal ini karena sebelum menerima bantuan, anggota kelompok sudah di-
bekali mengenai aspek teknis usaha sapi potong seperti teknologi praproduksi me- liputi persiapan pemberian pakan penyusunan ransum, fermentasi jerami, teknologi
budidaya IB, vaksinasi, pemberian pakan tambahan, vitamin, teknologi pasca panen pengolahan limbah.
Hasil analisis terhadap tiga indikator pelaksanaan program BPLM Tabel 33 menunjukkan bahwa kelompok tani ternak Sikabu Saiyo Situjuah Limo Nagari
memperlihatkan hasil lebih baik dari pada ke dua kelompok tani-ternak lainnya. Keadaan ini didukung oleh manajemen kelompok tani-ternak yang baik terutama
dalam hal penyediaan saprotan dikelola kelompok, manajemen usaha, permodalan, pemasaran hasil, namun belum menjangkau aspek pasca panen di ke tiga kecamatan
yang ada. Peran lembaga pendukung seperti petugas penyuluh lapangan dan insemi- nator di kecamatan Situjuh lebih memadai dari pada dua kecamatan lainnya. Untuk
program pengembangan usaha sapi potong kedepan perlu adanya dukungan teknologi yang memadai dan pendampingan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan
pendapatan peternak.
73 4.3
Peningkatan Produktivitas Ternak melalui Penerapan Teknologi Pakan dan Pemanfaatan Limbah Ternak
4.3.1 Pemanfaatan Jerami Padi terhadap Produktivitas Sapi Potong
4.3.1.1 Konsumsi Pakan
Rataan konsumsi bahan kering ransum perlakuan disajikan pada Tabel 34. Tabel 34
Rataan konsumsi bahan kering ransum No
Perlakuan Konsumsi Bahan Kering
Kgekorhr Dalam persentase BB
1 To 6,43
a
2,22 2 T
1
8,62
b
2,85 3 T
2
8,23
b
2,77 SE
0,40 Sumber :
Hasil pengolahan data primer 2009
Keterangan : Perlakuan T1 dan T2 berbeda nyata terhadap perlakuan T0 P0,01 To = Kontrol
T
1
= 40 rumput gajah + 15 jerami fermentasi + 45 konsentrat T
2
= 20 rumput gajah + 35 jerami fermentasi + 45 konsentrat Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pengaruh antar perlakuan
memperlihatkan pengaruh nyata Lampiran 3a terhadap konsumsi bahan kering ransum P0,01. Konsumsi bahan kering ransum berkisar antara 6,43 – 8,62 kgekor
hr atau sama dengan 2,22 - 2,85 persen dari bobot badan. Berbedanya pengaruh perlakuan disebabkan oleh karena pada proses fermentasi jerami padi dapat mening-
katkan kandungan protein kasar dari 4,55 menjadi 9,43 dan palatabilitas aroma khas setelah hasil fermentasi. Utomo et al. 1988 menyatakan bahwa pengolahan
jerami padi menggunakan urea dan probiotik akan meningkatkan kandungan protein kasar dan kecernaan dari jerami padi. Pada proses fermentasi jerami padi dengan
menggunakan probion terjadi perubahan sifat fisik dan kimia yang menyebabkan kualitasnya lebih baik dari pada jerami padi tanpa pelakuan fermentasi. Menurut
Zulbardi 1993, dengan meningkatnya kadar protein kasar jerami padi fermentasi akan meningkatkan palatabilitas ransum sehingga konsumsi meningkat.
Konsumsi bahan kering ransum meningkat bersamaan dengan meningkatnya level penggunaan jerami fermentasi JF, karena NDF dan ADF pada Jerami fermen-
tasi sudah berkurang maka jerami fermentasi mudah dicerna oleh enzim yang dihasil- kan mikroba rumen, akibatnya laju makanan dalam saluran pencernaan menjadi cepat
dan konsumsi bahan kering meningkat. Tillman et al. 1991 menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara laju makanan dalam saluran pencernaan dengan
74 jumlah konsumsi. Setelah dilakukan uji lanjut menggunakan uji berjarak Duncan
Lampiran 3d, perlakuan T
1
T
2
nyata berbeda dengan perlakuan T , sedangkan antara
perlakuan T
2
dan T
1
tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Meningkatnya level jerami fermentasi yang digunakan dapat menurunkan kandungan serat kasar,
sehingga meningkatkan daya cerna ransum. 4.3.1.2
Pertambahan Bobot Badan.
Rataan pertambahan bobot badan masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 35.
Tabel 35 Rataan bobot badan masing-masing perlakuan
No Perlakuan
Pertambahan bobot badan kgekorhr
1 To 0,61
a
2 T
1
0,84
b
3 T
2
0,79
b
SE 0,04
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
Keterangan : Perlakuan T
1
dan T
2
berbeda nyata terhadap perlakuan T P0,01
Hasil analisis keragaman Lampiran 3b menunjukkan bahwa antar perlakuan nyata berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan P0,01, pertambahan bobot badan
berkisar antara 0,61 – 0,84 kgekorhr. Berbedanya pertambahan bobot badan antar perlakuan disebabkan oleh konsumsi bahan kering ransum yang juga berbeda. Per-
tumbuhan ternak menurut Tillman et al. 1991, dipengaruhi oleh konsumsi bahan kering dan total konsumsi protein per harinya. Konsumsi juga dipengaruhi oleh
kecernaan makanan, apabila kecernaan meningkat maka konsumsi juga akan mening- kat. Hasil penelitian Bulo et al. 2004, pemberian jerami padi fermentasi mengguna-
kan starbio terhadap sapi PO menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 0,63 kgekorhr, jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini pertambahan bobot badan
yang didapat pada penelitian ini lebih tinggi, hal ini disebabkan oleh karena kandungan zat makanan yang digunakan berbeda dan respon sapi PO terhadap jenis
pakan yang diberikan juga berbeda. Hasil uji lanjut Lampiran 3d memperlihatkan bahwa perlakuan T
1
dan T
2
berbeda nyata dengan perlakuan To, sedangkan perlakuan T
1
tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan T
2
.
75 4.3.1.3
Konversi Pakan
Rataan konversi ransum masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 36. Hasil analisis keragaman Lampiran 3c menunjukkan bahwa pengaruh perla-
kuan berbeda nyata terhadap konversi ransum P0,01, konversi ransum berkisar antara 10,24 – 10,58. Berbeda nyatanya konversi ransum perlakuan disebabkan oleh
karena pertambahan bobot badan dan konsumsi bahan kering ransum yang berbeda. Tabel 36
Rataan konversi ransum penelitian No Perlakuan
Konversi Ransum
1 To 10,58
a
2 T
1
10,24
b
3 T
2
10,39
c
SE 0,03
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
Keterangan : Perlakuan C berbeda dengan B dan perlakuan A P0,01 Konversi ransum merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dihabiskan
dengan pertambahan bobot badan. Setelah dilakukan uji lanjut Lampiran 3d ternyata hasil perlakuan T
1
ber- beda nyata dengan perlakuan To, dan perlakuan T
1
juga berbeda nyata dengan perlakuan T
2
. Konversi ransum yang baik dari ketiga perlakuan ini adalah perlakuan T
1
, karena nilai konversi ransum lebih kecil dari pada perlakuan To dan T
2
. Berdasarkan luas lahan yang dimiliki kabupaten Lima Puluh Kota sebesar
22.286 Ha dengan periode tanam tiga kali per tahun, daerah ini berpotensi mengha- silkan limbah jerami sebesar 468.006 ton per tahun, yang mampu menampung
187.202 ST per tahun. 4.3.1.4
Produksi Feses
Rataan hasil produksi feses masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 37.
Tabel 37 Rataan produksi feses masing-masing perlakuan
No Perlakuan Produksi
feses kgekorhr
1 To 17,73
2 T
1
17,8 3 T
2
17,78 Rataan
17,77 Sumber :
Hasil pengolahan data primer 2009
Keterangan : Masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata P0,05
76 Hasil analisis keragaman Lampiran 3g menunjukkan jumlah feses yang di-
hasilkan tidak berbeda nyata P0.05 antara masing-masing perlakuan. Rata-rata produksi feses sebesar 17,77 kgekorhr dalam keadaan basah Bahan kering 19,25.
Pengolahan feses menggunakan probion melalui proses sebagai berikut ; 1 ton feses basah menghasilkan 554 kg kompos siap pakai rendemen 55, diperlukan
biaya tambahan sebesar Rp 80.500,-ton feses basah. Harga jual pupuk organik yang telah diolah sebesar Rp 1.500 per kg harga pupuk organik yang belum diolah Rp 40
per kg, sehingga diperoleh tambahan pendapatan dari pengolahan pupuk organik menggunakan probion sebesar Rp 831.000 per ton feses Lampiran 3h.
Berdasarkan potensi dan ketersediaan sapi potong di kabupaten Lima Puluh sebanyak 57.236 ekor rata-rata produksi feses 17,77 kg dan rendemen 55 diper-
kirakan mampu memproduksi pupuk organik sebanyak 204.181 tonthn dan dapat digunakan untuk memupuk lahan tanaman seluas 102.090,5 Hathn dosis pupuk
organik 2 tonHamusim. Oleh karena itu prospek pengembangan sapi potong seba- gai penghasil pupuk organik ditingkat petani-ternak sangat berpeluang.
4.3.2 Pengaruh Pengolahan Limbah Tanaman dan Ternak terhadap Usaha
Sapi Potong
Hasil analisis Partial pemeliharaan sapi dengan pengolahan limbah untuk pakan dan sebagai pupuk organik disajikan dalam Tabel 38.
Tabel 38 Analisis parsial pemeliharaan sapi dengan teknologi pengolahan
limbah dan pemeliharaan sapi tanpa pengolahan limbah
Uraian Nilai Rpekorbln
A. Pemeliharaan tanpa pengolahan limbah a. Tambahan pendapatan yang diperoleh
Biaya pakan Total
b. Tambahan biaya proses kompos
Berkurangnya biaya Total
c. Keuntungan
231.300,00,- 162.322,80,-
68.971,20
68.971,20 B. Pemeliharaan dengan Pengolahan limbah
a. Tambahan pendapatan diperoleh Biaya pakan
Total
b. Tambahan biaya proses kompos
Berkurangnya biaya Total
c. Keuntungan 742.950,00
156.038,70 586.911,30
42.674,61 42.674,61
544.236,69 Sumber :
Hasil pengolahan data primer 2009
77 Dengan melakukan integrasi antara usahatani tanaman dan ternak pendapatan petani-
ternak dapat ditingkatkan. Artinya pengolahan jerami padi melalui proses fermentasi untuk pakan ternak, dan melakukan pengolahan pupuk organik menggunakan
probion, pendapatan peternak dapat ditingkatkan sebesar Rp 544.236,69 per ekor per bulan.
4.4
Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
4.4.1 Metode Pendekatan Sistem
Metode pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-
kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif Eriyatno, 2003. Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal
yaitu ; 1 mencari semua faktor penting yang ada, dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan 2 dibuatkan suatu model kuantitatif untuk
membantu keputusan rasional. Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteris-
tik yaitu ; 1 kompleks interaksi antar elemen cukup rumit; 2 dinamis ada faktor yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan kemasa depan; 3 probalistik
diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja yang
sistematis. Prosedur analisis sistem meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut : analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, verifikasi model dan
implementasi. Secara diagramatik tahapan analisis system disajikan pada Gambar 15. Relevensi konsep ini dengan daerah yang diteliti merupakan suatu landasan
pemikiran mengenai komponen pembangunan struktur pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota, yaitu penggunaan lahan dan fungsi-fungsinya,
aktivitas usaha sapi potong, serta perkembangan usaha sapi potong. Ketiga variabel tersebut merupakan variabel pendukung Variable State dalam membangun model
konseptual, kemudian ditentukan variabel lainnya non-state yang meliputi variabel penggerak driving, variabel pembantu auxiliary dan variabel tetap constant yang
melengkapi suatu model. Setelah dilakukan identifikasi terhadap variabel-variabel yang terlibat
kemudan ditentukan hubungan yang logis antar variabel tersebut. Dari hubungan tersebut dapat ditentukan apakah hubungan bersifat positif atau negatif, dengan
78 demikian dapat dibangun hubungan umpan balik causal lop untuk semua variabel
dalam pengembangan sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota. Identifikasi sistem dengan diagram lingkar sebab akibat kemudian diinterpretasikan untuk membangun
konsep kotak gelap black box dengan input output. Diagram input output mempre- sentasikan input lingkungan, input terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki
4.4.1.1 Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan dilakukan untuk mengantisipasi perubahan lingkungan yang terjadi, sehingga pengembangan usaha sapi potong mampu mencapai harapan
berbagai pihak yang berkepentingan. Komponen pihak yang berkepentingan dalam perencanaan pengembangan usaha sapi potong terdiri dari : 1 peternak, 2 konsu-
men, 3 pedagang, 4 investor, 5 lembaga keuangan, dan 6 pemerintah instansi terkait.
4.4.1.2 Formulasi Permasalahan
Kompleksnya permasalahan pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota sangat mempengaruhi perkembangan dari investasi. Untuk
memermulasikan permasalahan tersebut perlu dibantu dengan perancangan dalam sistem penunjang keputusan. Permasalahan dirancang melalui beberapa tahap yaitu :
1 tahap perencanaan pengembangan yang didasarkan pada; a criteria kelayakan yang sesuai, b metoda yang sesuai, c melibatkan berbagai pihak terkait, d proses
engambilan keputusan; 2 tahap evaluasi terhadap model perencanaan; dan 3 tahap penyempurnaan dengan melakukan perancangan implementasi.
4.4.1.3 Identifikasi Sistem
Gambar 15. Tahapan analisis sistem
dan tidak dikehendaki, serta manajemen pengendalian. Sedangkan parameter rancangan sistem dipresentasikan sebagai kotak gelap ditengah diagram yang
mewujudkan terjadinya proses transformasi input menjadi output. Diagram input No
Yes No
Yes
Mulai A
Analisis Kebutuhan Model Pengembangan
Sapi Potong
Formulasi Permasalahan
Identifikasi Sistem Pengembangan
Implementasi Sesuai dg
Kriteria
Evaluasi
Rekomendasi Model Pengembangan sapi
A B
79 output desain sistem pengembangan sapi potong berdasarkan hasil penelitian
disajikan pada Gambar 16. 4.4.2
Potensi Pengembangan Sapi Potong
Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai salah satu sentra produksi sapi potong di Sumatera Barat, memiliki potensi pengembangan berdasarkan kepada : 1 posisi
geografis wilayah yang berbatasan langsung dengan Riau konsumen terbesar produk INPUT LINGKUNGAN MAKRO
1. Globalisasi ekonomi
2. Persyaratan perdagangan
3. Kebijakan pemerintah
4. Kondisi sosial budaya
5. Tuntutan pelestarian
lingkungan Input tidak terkendali Output yang dikehendaki
1. Permintaan pasar 1. Peningkatan produksi
2. Fluktuasi harga produktivitas
3. Suku bunga 2. Peningkatan pendapatan
4. Persaingan 3. Kelangsungan usaha
5. Perbedaan kepentingan 4. Stabilitas harga produk
dari stakeholder 5. Kesejahteraan anggota SISTEM PENGEMBANGAN
USAHA SAPI POTONG Input terkendali Output yg tdk dikehendaki
1.
Prosedur investasi 1. Motivasi usaha berku- 2.
Standar kualitas hasil rang 3.
Sumber pembiayaan 2. Meningkatnya serangan 4.
Kelembagaan penyakit ternak 5.
Tingkat teknologi 3. Menurunnya penjualan 4. Biaya produksi tinggi
5. Kerusakan lingkungan MANAJEMEN PENGENDALIAN
USAHA SAPI POTONG
Gambar 16. Diagram input output sistem perencanaan pengembangan
usaha sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
80 sapi potong asal Sumatera Barat; 2 terdapatnya wilayah basis ternak sapi potong
yang tersebar di empat kecamatan yakni kecamatan Luhak, Lareh Sago Halaban, Situjuah Limo Nagari dan Bukit Barisan; 3 tingginya nilai kapasitas peningkatan
populasi ternak ruminansia berdasarkan sumberdaya lahan dan tenaga kerja yang tersedia; 4 ternak sapi potong dipelihara dalam suatu sitem yang terintegrasi dengan
usahatani tanaman sehingga optimalisasi penggunaan sumberdaya masih memungkin- kan untuk ditingkatkan; 5 peternak sapi potong tergabung dalam suatu lembaga
kelompok peternak yang berusaha dibidang perbibitan; 6 telah berfungsinya BIB- Daerah Tuah Sakato di Kabupaten Lima Puluh Kota yang menunjang ketersediaan
bibit untuk pengembangan; dan 7 kebijakan pemerintah yang mendukung perkem- bangan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota.
4.4.3 Model Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
Berdasarkan hasil penelitian tahap satu, dua, tiga, dan untuk mempercepat pengembangan usaha sapi potong dalam rangka menunjang swasembada daging sapi
potong maka disusun model pengembangan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai berikut :
4.4.3.1 Pemberdayaan melalui Kelompok
Konsep ini dirancang untuk percepatan swasembada daging sapi melalui pemberdayaan kelompok kelompok perbibitan sapi potong, setiap kelompok
beranggotakan 20-25 orang, dengan populasi awal 40-50 ekor induk bunting atau siap bunting. Ternak sapi dipelihara dalam suatu kandang kelompok corporate farming
dalam satu kawasan model pengembangan kawasan agar memudahkan pengawasan, pembinaan, dan pelayanan IBkeswan. Kelompok didampingi seorang pendamping
manejer dari sarjana peternakan atau kedokteran hewan yang tugas dan fungsinya adalah; 1 melakukan pendampingan kelompok dalam pengembangan sapi potong,
2 melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anggota kelompok dan masyarakat sekitarnya, 3 melakukan pelatihan pada anggota kelompok tani-
ternak baik dalam aspek teknis, kewirausahaan, perencanaan usaha, dinamika kelompok, pemasaran dan pengolahan hasil, 4 membimbing dan membina petani-
ternak dalam usaha kelompok untuk dapat mengidentifikasi dan mengatasi perma- salahan yang dihadapi, 5 menumbuhkan jiwa kewirausahaan kelompok tani-ternak
dalam pengembangan usaha, 6 melakukan seleksi terhadap ternak sapi potong
81 bersama dengan anggota kelompok, dan 7 bersama dengan anggota kelompok ikut
melakukan kegiatan budidaya ternak sapi potong. Pendamping bekerja secara professional, untuk tahun pertama mendapat honor dari pemerintah dan tahun
berikutnya dari perkembangan usaha yang dijalankan. 4.4.3.2
Pemodalan Usaha
Sumber pemodalan berasal dari pemerintah melalui dana penguatan kelom- pok, untuk tahun 2009 disediakan sebanyak 220 paket pengembangan sapi potong
masing-masingnya sebesar Rp 325 juta per paket. Seleksi terhadap kelompok yang akan menerima bantuan, kelompok pendamping, monitoring dan evaluasi dilakukan
oleh team yang terdiri dari Perguruan Tinggi, Ditjen Peternakan dan Dinas Peternak- an PropinsiKabupatenKota. Pengembalian cicilan dan bunga dilakukan lewat Bank
yang ditunjuk berkoordinasi dengan pengurus kelompok dan digunakan untuk membentuk kelompok perbibitan sapi potong yang baru sub-kelompok inti. Dari
cicilan bunga 40 digunakan untuk perkembangan kelompok usaha sapi potong, 40 digunakan untuk koperasi kelompok, dan 20 digunakan untuk dana
operasional usaha. Keuntungan usaha perbibitan dihitung setiap tahun, 40 dari keuntungan usaha diberikan pada pengelola, 40 dibagikan pada anggota kelompok
dan 10 untuk dana operasional kelompok, dan 10 untuk kas koperasi kelompok. 4.4.3
Kelembagaan Agribisnis Kelompok
Kelembagaan agribisnis kelompok dibedakan atas kelembagaan agribisnis hulu, usaha budidaya, hilir, dan jasa penunjang. Kelembagaan agribisnis secara rinci
disajikan pada Tabel 39. 4.4.4
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Usaha Sapi Potong
Berdasarkan hasil penelitian tahap satu, dua, tiga dan wawancara dengan responden penelitian tahap empat, diperoleh beberapa faktor yang sangat berpengaruh
terhadap pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota. Faktor- faktor tersebut terdiri dari : 1 faktor internal yang meliputi strengths kekuatan, dan
weaknessis kelemahan, 2 faktor eksternal yang meliputi treaths peluang dan
opportunities ancaman.
4.4.4.1 Faktor Internal
Beberapa faktor internal yang berpengaruh terhadap pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota terdiri dari kekuatan strengths dan
82 Tabel 39
Kelembagaan agribisnis kelompok usaha perbibitan Kegiatan
Uraian
1. Agribisnis Hulu
a. Bibit
- Sumber bibit dari anggota dan dari luar kelompok yang
dibeli koordinasi antara pengurus, pendampinginstansi terkait
b. Sarana produksi dan obat-obatan
- Sarana produksi dikelola kelompok melalui unit koperasi
kelompok -
Sumber penyediaan obat-obatan kordinasi dengan petugas keswan dan koperasi kelompok
2. Usaha Budidaya
a. Lahan
- Lahan disediakan oleh kelompok
- Luas kandang dan lahan kebun rumput disesuaikan dengan
kebutuhan b.
Skala Usaha disesuaikan dengan perkembangan usaha, tahap awal 40-50 ekor induk betina
c. Perbibitan
- Seleksi selalu dilakukan untuk replacement stock
- Culling terhadap induk yang tidak produktif
- Recording dilakukan secara teratur
d. Pembuatan kandang
- Lokasi aman dari banjir, longsor, maling
- Pemilihan bahan kandang kuat, murah, dan tersedia
dilokasi -
Biaya pembuatan kandang dari bantuan pemerintah dan swadaya anggota
e. Pakan
- Lahan hijauan ditanami dengan hijauan unggul
- Limbah tanaman berupa jerami diolah fermentasi dan
disimpan sebelum digunakan f.
Penyakit -
Penanganan penyakit dan vaksinasi kordinasi dengan petugas kesehatan hewan
g. Inseminasi Buatan
- Pelaksanaan IB kordinasi dengan petugas IB swasta atau
mandiri atau anggota kelompok yang sudah dilatih 3.
Agribisnis Hilir a.
Panen dan Pasca panen -
Penjualan ternak berupa bakalan, ternak siap potong -
Pengolahan limbah ternak dilakukan oleh kelompok usaha dan tambahan hasil yang diperoleh menjadi tambahan
pendapatan kelompok usaha b.
Pemasaran, dilakukan oleh kelompok 4.
Jaringan Kelembagaan Kerjasama kelompok berupa kemitraan dengan Swasta
Perguruan Tinggi dan lembagainstansi lain
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
kelemahan weaknessis. Faktor kekuatan meliputi : 1 daya dukung lahan, 2 letak geografis, 3 wilayah basis sapi potong, 4 ternak sapi dipelihara bersama usahatani
lainnya IFS, 5 motivasi peternak untuk memelihara sapi potong, dan 6 adanya
83 kelompok tani-ternak sapi pembibitan. Faktor kelemahan meliputi : 1 keterbatasan
modal usaha, 2 beternak sebagai usaha sambilan, 3 rendahnya pengetahuan dan keterampilan peternak, 4 penggunaan faktor produksi belum optimal, 5 adopsi
teknologi rendah, dan 6 sistem pemasaran yang belum memadai. 4.4.4.2
Faktor Eksternal
Beberapa faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota terdiri dari peluang treaths dan ancaman
opportunities. Faktor peluang meliputi : 1 permintaan pasar, 2 otonomi daerah, 3 perkembangan IPTEK, 4 berfungsinya Balai Inseminasi Buatan Daerah BIB-D
Limbukan kabupaten Lima Puluh Kota, 5 harga produk yang relitif stabil, dan 6 dukungan pemerintah. Faktor ancaman meliputi : 1 produk luarimpor, 2 alih fungsi
lahan pertanian, 3 persaingan antar daerah dalam menghasilkan sapi potong, 4 gangguan reproduksi dan kesehatan ternak, 5 stabilitas penyediaan bibitlayanan IB,
dan 6 tingginya pemotongan ternak betina produktif. 4.4.4.3
Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal
Evaluasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan usaha sapi potong Lampiran 4, diperoleh hasil evaluasi yang terdiri dari Internal Faktor
Evaluation IFE dan External Faktor Evaluation EFE. Matrik evaluasi faktor internal pengembangan sapi potong di kabupaten Lima
Puluh kota disajikan pada Tabel 40. Tabel 40
Matrik Evaluasi Faktor Internal Pengembangan Sapi Potong di kabupaten Lima Puluh Kota
Faktor Internal Bobot Ranking
Skor Kekuatan
Daya dukung lahan 0,071
4 0,284
Letak geografis 0,077
3 0,231
Adanya wilayah basis sapi potong 0,098
3 0,294
Ternak sapi dipelihara bersama usahatani lainnya IFS 0,094
3 0,282
Tingginya motivasi peternak memelihara sapi potong 0,094
3 0,282
Adanya kelompok tani-ternak sapi pembibitan 0,099
2 0,198
Sub Total 1,571
Kelemahan Keterbatasan modal
usaha 0,068
3 0,204
Beternak sebagai usaha sambilan 0,071
3 0,213
Rendahnya pengetahuan dan keterampilan peternak 0,074
2 0,148
Penggunaan faktor produksi belum optimal 0,085
2 0,170
Adopsi teknologi rendah 0,074
2 0,148
Sistem pemasaran belum memadai 0,095
3 0,285
Sub Total 1,168
Total 1,000
2,739
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
84 Hasil analisis faktor internal menunjukkan nilai positif, hal ini berarti wilayah
kabupaten Lima Puluh kota mempunyai kekuatan yang lebih menonjol dari pada kelemahan, dengan kekuatan terbesar terletak pada adanya wilayah basis sapi potong
dan daya dukung lahan untuk pengembangan usaha sapi potong. Kelemahan berupa bargaining positon peternak rendah, dan beternak sebagai usaha sambilan.
Hasil analisis faktor eksternal Tabel 41 menunjukkan nilai positif, dan peluang lebih besar dari ancaman. Peluang terbesar diperoleh karena adanya Balai
Tabel 41
Matrik Evaluasi Faktor Eksternal Pengembangan Sapi Potong di kabupaten Lima Puluh Kota
Faktor Eksternal Bobot Ranking
Skor Peluang Permintaan
pasar 0,099 3
0,297 Otonomi daerah
0,068 3
0,204 Perkembangan IPTEK
0,074 3
0,222 Berfungsinya BIB limbukan kabupaten Lima Puluh Kota
0,089 4
0,356 Harga produk yang relatif stabil
0,094 3
0,282 Dukungan pemerintah
0,076 4
0,304 Sub Total
1,655 Ancaman Produk
luarimpor 0,091
3 0,273
Alih fungsi lahan 0.055
3 0,165
Persaingan antar daerah dalam menghasilkan sapi potong 0,097
2 0,194
Gangguan reproduksi dan kesehatan ternak 0,101
3 0,303
Stabilitas penyediaan bibit dan layanan IB 0,064
2 0,128
Tingginya pemotongan ternak betina produktif 0,092
3 0,276
Sub Total 1,339
Total 1,000
3,004
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
Inseminasi Buatan Daerah BIB-D Limbukan kabupaten Lima Puluh Kota dalam menghasilkan bibit, dan dukungan pemerintah. Terdapat beberapa ancaman yang
perlu diperhatikan yakni gangguan reproduksi dan kesehatan ternak, serta pemo- tongan ternak betina produktif.
4.4.5 Alternatif Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh
Kota
Untuk menentukan alternatif strategi pengembangan usaha sapi potong dila- kukan dengan analisis SWOT yang merupakan lanjutan dari analisis IFE dan EFE.
Perumusan alternatif strategi dengan analisis SWOT dilakukan dengan penggabungan antara kedua faktor internal kekuatan dan kelemahan dengan faktor eksternal
peluang dan ancaman. Secara lebih jelas hasil analisis matriks SWOT dalam peru- musan strategi alternatif dapat dilihat pada Tabel 42.
85
Tabel 42 Alternatif Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh
Kota
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan S
S1 = Daya dukung lahan S2 = Letak geografis
S3 = Adanya wilayah basis sapi potong
S4 =Ternak sapi dipelihara ber-
sama usahatani lainnya S5 = Motivasi peternak dalam
memelihara sapi potong S6 = Adanya lembaga kelom-
pok tani-ternak dibidang pembibitan
Kelemahan W
W1 = Keterbatasan modal usaha W2 = Beternak sbg usaha sambilan
W3 = Rendahnya pengetahuan dan
keterampilan peternak W4 = Penggunaan faktor produksi
belum optimal W5 = Adopsi teknologi rendah
W6 = Sistem pemasaran belum memadai
Peluang O
O1 = Permintaan pasar O2 = Otonomi daerah
O3 = Perkembangan IPTEK O4 = Berfungsinya BIB-D lim-
bukan Lima Puluh Kota O5 = Harga produk yang relatif
stabil O6 = Dukungan dari pemerintah
Strategi S-O
1. Pengembangan kawasan sentra pembibitan sapi
potong S1, S2, S3, O1, O2 2. Penelitian dan pengkajian
optimasi usaha peternakan dalam sistem usahatani S4,
O3 3. Mengoptimalkan fungsi ke-
lompok S5, S6, O5, O6
Strategi W-O
1. Investasi modal usaha W1,
W2, O1, O2 2.
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani-ternak
W3, W4, W5, O3, O4, O5 3.
Memperbaiki sistem pemasaran S6, O6
Ancaman T
T1 = Produk luar
Impor
T2 = Alih fungsi lahan pertanian T3 =Persaingan antar daerah da-
lam menghasilkan sapi ptg T4 = Gangguan reproduksi dan
kesehatan ternak T5 = Stabilitas penyediaan bibit
layanan IB
T6 = Tingginya pemotongan ter- nak betina produktif
Strategi S-T
1. Perlindungan pasar domes-
tik S1, S2, S3, T1, T2 2.
Penanggulangi penyakit reproduksi dan kesehatan
ternak S1, S2, S3, S4, T1, T2, T3
3. Pengawasan pemotongan
ternak betina produktif S5, S6, T6
Strategi W-T
1. Mengoptimalkan fungsi lem-
baga keuangan yang ada di pedesaan W1, W2, T1, T2, T3
2. Meningkatkan efisiensi usaha
W2, W4, T1, T2, T3 3.
Sosialisasi dan aplikasi tekno- logi tepat guna W5, T3, T4.
Sumber : Hasil pengolahan data primer 2009
4.4.6
Prioritas Strategi Pengembangan Sapi Potong
Untuk merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota digunakan Analisis Hirarki Proses AHP. Tingkat kelayakan stra-
tegis diukur dengan nilai prioritas strategi yang diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner pada 5 ekspert yang berkualifikasi sebagai pengambil kebijakan dijajaran
pemerintah kabupaten Lima Puluh Kota. Beberapa komponen yang diperlukan dalam menyusun hirarki, faktor-faktor yang
sangat berpengaruh dalam analisis SWOT menggunakan IFE dan EFE menjadi faktor penentu dalam menyusun hirarki. Alternatif strategi peringkat 1 sampai
86 dengan peringkat 5 dalam matrik SWOT dijadikan altenatif strategi dalam menyusun
hirarki. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesatuan dari analisis dan fokus pada satu sasaran strategi.
Dalam menyelesaikan permasalahan menggunakan PHA dilakukan dengan teknik komparasi berpasangan terhadap elemen yang dibandingkan, sehingga mem-
bentuk matrik n x n. Nilai yang diberikan berada pada skala pendapat atau skala dasar ranking. Terhadap hasil penilaian dilakukan analisis horizontal untuk melihat
tingkat konsistensi pendapat individu, rasio konsistensi yang memenuhi adalah ≤ 0,1.
Setelah dilakukan analisis seperti terlihat pada Lampiran 4, maka diperoleh hasil analisis seperti disajikan pada Gambar 17.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa prioritas strategi pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota berturut-turut adalah : 1 peningkatan
modal usaha 49,70, 2 penerapan teknologi tepat guna berbasis petani 25,52, 3 menciptakan kawasan sentra pembibitan sapi potong 12,72, 4 peningkatan
efisiensi usaha 6,20, dan 5 optimalisasi fungsi kelompok 3,61. 1.
Peningkatan Modal Usaha Peningkatan modal usaha menjadi prioritas pertama untuk pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota. Masih terbatasnya kemampuan peternak dalam mengakses modal usaha, terbatasnya bantuan pemerintah melalui
penguatan modal kelompok, sementara itu sumberdaya yang dimiliki oleh petani- ternak masih memungkinkan untuk pengembangan usaha sapi potong. Oleh
karena itu diperlukan tambahan modal usaha berupa bantuan modal dengan kredit lunak melalui penguatan modal kelompok seperti program Sarjana
Membangun Desa SMD, Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat BPLM dan sumberdana lain melalui kelompok-kelompok yang ada. Dengan ketersedia-
an modal usaha yang murah dan mudah, akan memacu usaha pembibitan sapi potong dengan cara penambahan skala kepemilikan ternak dan jumlah peternak
yang bergerak dibidang pembibitan sapi potong. 2.
Penerapan teknologi tepat guna berbasis petani-ternak Penerapan teknologi tepat guna berbasis petani-ternak berupa budidaya repro-
duksi, teknologi pakan dan pengolahan limbah, menjadi prioritas ke dua untuk pengembangan usaha sapi potong. Sebagai pengelola petani-ternak dituntut
untuk mampu menguasai dan memanfaatkan teknologi yang dibutuhkan untuk
87
I = Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di kabupaten Lima Puluh kota
1,000 4 3 1 2 5
II = Pakan Bibit Tatalaksana Penyakit Pemasaran 0,067 0,134 0,494 0,268 0,0368
III = 4 2 3 1
L-Keu P-Swt Peternak Instansi terkait 0,0317 0,2515 0,1198 0,5997
IV= 1 2 5 3 4
Perluasan Produksi dan Optimalisasi Peningkatan Perbaikan Usaha Produktivitas Sumberdaya Pendapatan kualitas bibit
0,4921 0,2589 0,0345 0,1305 0,0662 V=
1 4 2 3 5 Modal Efisiensi Penerapan Kawasan sentra Fungsi
Usaha Usaha Teknologi Pembibitaan Kelompok 0,4970 0,0620 0,2552 0,1272 0,0361
Gambar 17 Hirarki utama strategi pengembangan usaha sapi potong
di kabupaten Lima Puluh Kota
Keterangan :
I = Fokus : Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di kabupaten Lima Puluh Kota II = Kriteria : Pakan = Pemberian pakan
Bibit = Bibit yang digunakan Tatalaksana = Tatalaksana pemeliharaan
Penyakit = Pengendalian penyakit Pemasaran = Pemasaran hasil
III = AktorPelaku: L-Keu = Lembaga keuangan L-Swt = Pengusaha swasta
88
Peternak= Peternak Instansi = Instansi teknis terkait
IV = Sasaran : Perluasan usaha = Perluasan usaha sapi potong Produksi dan produktivitas = Peningkatan produksi dan produktifitas
Optimalisasi sumberdaya = Optimalisasi penggunaan sumberdaya Peningkatan pendapatan = Peningkatan pendapatan peternak
Perbaikan kualitas bibit = Perbaikan kualitas bibit sapi potong V = Alternatif : Modal usaha = Peningkatan modal usaha
Strategi Efisiensi usaha = Meningkatkan efisiensi usaha Penerapan teknologi = Penerapan teknologi tepat guna
Kawasan sentra pembibitan = Membuat kawasan sentra pembibitan Fungsi kelompok = Mengoptimalkan fungsi kelompok
pengembangan usaha, mengendalikan usaha dengan baik, memanfaatkan sum- berdaya yang ada secara optimal untuk mendapatkan keuntungan maksimal,
serta mampu memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Strategi ini akan di imple- mentasikan melalui program peningkatan kualitas sumberdaya manusia, berupa ;
1 inventarisasi sumberdaya petani-ternak yang ada dan teknologi yang dibutuh- kan, 2 penyusunan program pendidikan dan pelatihan, dan 3 pembinaan petani-
ternak dan petugas teknis. 3.
Pengembangan kawasan sentra pembibitan sapi potong Pengembangan kawasan sentra pembibitan sapi potong melalui pengembangan
sistem kelembagaan kelompok, pengembangan kawasan sentra pembibitan dapat dilakukan di kecamatan Luhak, Situjuah Limo Nagari, Lareh Sago Halaban, dan
kecamatan Bukit Barisan. Pengembangan kawasan sentra pembibitan yang dilakukan baik ditingkat provinsi maupun kabupaten berpotensi untuk menambah
jumlah ternak yang ada sehingga akan mempercepat pencapaian swasembada daging sapi. Pemerintah telah menetapkan bahwa Sumatera Barat sebagai pusat
pembibitan Simental melalui Village Breeding Center VBC prioritas di daerah Agam Timur Tilatang Kamang, Ampek Angkek dan Baso, selanjutnya akan
dikembangkan di kabupaten Lima Puluh Kota, Tanah Datar, dan Padang Panjang Dinas Peternakan Tk I Sumatera Barat 2007b. Faktor pendukung lain adalah
keberadaan BIB-Daerah Tuah Sakato yang berada di Limbukan kabupaten Lima Puluh Kota, yang dapat memproduksi sumber bibit untuk IB sehingga dapat
dimanfaatkan oleh peternak yang ada disekitarnya dan daerah atau provinsi lain yang berdekatan.
89 4.
Peningkatan efisiensi usaha melalui peningkatan skala usaha Efisiensi usaha dapat ditingkatkan melalui peningkatan skala usaha dari rata-rata
kepemilikan ternak 5 ekor per peternak menjadi 10 ekor per peternak, optimalisasi penggunaan sumberdaya yang ada melalui penerapan teknologi tepat guna, yang
didukung oleh manajemen pemeliharaan yang baik. Teknologi yang diperlukan berupa teknologi pakan, inseminasi buatan, dan teknologi pengelohan limbah
usahatani tanaman-ternak. Optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan dilaku- kan dengan cara meningkatkan jumlah ternak sapi bibit yang dipelihara, dan
mengoptimalkan integrasi tanaman-ternak, serta mengoptimalkan fungsi kelom- pok dalam penyediaan sarana produksi dan pemasaran produk.
5. Optimalisasi fungsi kelompok tani-ternak
Optimalisasi fungsi kelompok tani-ternak melalui penguatan fungsi koperasi kelompok, manajemen yang transparan, dan pendampingan yang intensif, serta
adanya dukungan dari pemerintah, swasta dan anggota melalui pelatihan- pelatihan teknis dan kewirausahaan. Dukungan dari pemerintah ditujukan untuk
memberi pelayanan seperti pelayanan IB, Poskeswan, RPH, Penyuluh, UPT Pusat dan Daerah. Dukungan swasta berupa upaya mendorong tumbuh dan berkem-
bangnya berbagai asosiasi, koperasi dan kemitraan yang saling menguntungkan. Dukungan dari peternak
anggota berupa partisipasi anggota, kerjasama di antara
anggota dan pengurus dalam melayani kebutuhan anggota penyediaan sarana produksi, permodalan dan kemitraan dengan pihak lain, menuju kemandirian
kelompok. Berkembangnya suatu lembaga kelompok erat kaitannya dengan kualitas sumberdaya manusia SDM yang ada di kelompok tersebut, terutama
pengurus. Kelompok dengan SDM yang baik akan tetap berkembang meskipun memiliki fasilitas yang relatif terbatas.
4.4.7 Program dan Kegiatan Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota