3. Waktu menanam dilakukan pada bulan Oktober. Bulan Februari dan Maret, tibalah musim panen, sedangkan untuk membuka ladang
kembali, orang Dayak melihat tanda-tanda alam seperti bintang dan sebagainya serta memperhatikan alamat-alamat yang diberikan oleh burung-burung atau binatang-
binatang liar tertentu. Jika tanda-tanda ini tidak dihiraukan maka bencana kelaparan akibat gagalnya panen akan menimpa desa. Alat yang sering digunakan untuk
menganyam adalah kulit rotan yang berupa tikar. Pakaian asli Dayak adalah Cawat yang terbuat dari kulit kayu.
D. Sistem Pengetahuan
1. Dalam berpakaian dulu orang suku Dayak sering menggunakan ewah cawat untuk pakaian asli laki-laki Dayak yang terbuat dari kulit kayu dan Kaum wanita memakai
sarung dan baju yang terbuat dari kulit kayu, sedangkan pada masa sekarang orang Dayak di Kalimantan Tengah Sudah berpakaian legkap seperti : laki-laki memakai hem
dan celana dan kaum wanita memakai sarung dan kebaya atau bagi anak muda memakai rok potongan Eropa.
2. Zaman dulu para wanita sering menggunakan anting yang banyak agar semakin panjangnya daun telinga semakin cantik wanita tersebut, para lelakinya sering
menggunakan tato bahwa semakin banyaknya tato ditubuh lelaki tersebut maka ia akan terliahat gagah dan ganteng.
3. Terkadang mereka sering menggunakan bahasa inggris untuk komunikasi tetapi masih bersifat pasif.
4. Menggandalkan atau menggunakan rasi bintang untuk mengetahui apakah cocok untuk bertanam atau berladang.
E. Adat Istiadat dan Kesenian
1. Seni Tato dan Telinga Panjang
Seni tato dan telinga panjang menjadi ciri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai
penduduk asli Kalimantan. Dengan ciri khas dan identitas itulah yang membuat suku Dayak
di kenal luas hingga dunia internasional dan menjadi salah satu kebanggan budaya yang
ada di Indonesa. Namun tradisi ini sekarang justru semakin ditinggalkan dan nyaris punah.
Trend dunia fashion telah mengikis budaya tersebut . Kalaupun ada yang bertahan, hanya
sebagian kecil golongan generasi tua suku Dayak yang berumur di atas 60 tahun.
Generasi suku Dayak diatas tahun 80-an bahkan generasi sekarang mengaku malu. Di
Kalimantan Timur untuk bisa menemui wanita suku Dayak yang masih mempertahankan
budaya telinga panjang sangat sulit. Karena
kini hanya bisa ditemui dipedalaman Kalimantan Timur dengan menempuh jalur melewati sungai yang memakan waktu berhari-hari. Karena gaya hidup suku Dayak
memang lebih akrab dengan hutan maupun gua. Untuk melestarikan budaya, tradsi maupun adat suku Dayak Pemerintah Kota Samarinda membangun perkampungan
budaya suku Dayak yang diberi nama Kampung Budaya Pampang. Di desa ini ada sekitar 1000 warga suku Dayak yang masih mempertahankan budaya, tradisi maupun
adat.
2. Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang
sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Upacara Tiwah bagi Suku Dayak
sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya sandung, banyak sekali acara-acara
ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya Sandung.
3. Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut
Dayak sebagai pemakan manusia kanibal . Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-
mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti
mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
4. Mangkok merah
Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering
suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari
penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa.
Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya. Mangkok merah tidak sembarangan
diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh
para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan
perang maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila
mendengar tariu. Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan.
Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan
memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti. Mangkok merah terbuat dari teras bambu
ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya
seperti ubi jerangau merah acorus calamus yang melambangkan keberanian ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning, bulu ayam merah untuk terbang, lampu
obor dari bambu untuk suluh ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api, daun rumbia metroxylon sagus untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit
kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah. Menurut cerita turun-temurun mangkok
merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran
Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak,
hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit
yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari
langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” .
5. Proses Penguburan Suku Dayak Maanyan
Setelah seseorang dari suku Dayak Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong beberapa kali sebagai pertanda ada salah satu anggota masyarakat
yang meninggal. Segera setelah itu penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan
upacara seperti babi, ayam, beras, uang, kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai. Beberapa orang laki-laki pergi ke dalam hutan untuk mencari
kayu bakar dan menebang pohon hiyuput pohon khusus yang lembut untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan beliung atau kapak yang dirancang
menyerupai perahu tetapi memakai memakai tutup. Di peti inilah mayat nantinya akan dibaringkan telentang, peti mati ini dinamakan rarung. Seseorang yang dinyatakan
meninggal dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang diatasnya
dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki dinyalakan lampu tembok atau lilin. Kemudian sanak famili yang meninggal berkumpul menghadapi
mayat, selanjutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung kuku, ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian si mati yang dikumpulkan menjadi satu dimasukkan ke
sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu dinamakan rapu yang pada waktu penguburan si mati nanti diletakkan di atas permukaan kubur dengan kedalaman kurang
lebih setengah meter. Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu itu
akan hadir wadian, pasambe, damang, pengulu adat, kepala desa, mantir dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi pemasukan mayat ke dalam rarung. Pasambe
bertugas menyiapkan semua keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si mati yang nantinya disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas
menuturkan semua nasihat dan petunjuk agar amirue roharwah si mati tidak sesat di perjalanan dan bisa sampai di dunia baru. Wadian di sini juga bertugas memberi makan
si mati dengan makanan yang telah disediakan disertai dengan sirih kinangan, tembakau dan lain-lain. Jika penuturan wadian telah selesai tibalah saatnya orang berangkat
mengantar peti mati ke kuburan. Pada saat itu sanak keluarganya menangisi keberangkatan sebagai cinta kasih sayang kepada si mati. Menunjukkan ketidakinginan
untuk berpisah tetapi apa daya tatau matei telah sampai dan rasa haru mengingat semua perbuatan dan budi baik si mati selagi berada di dunia fana.
6. Seni Musik
Tidak jauh beda dengan seni tari, seni musik suku Dayak didominasi musik-musik ritual. Musik itu merupakan alat berkomunikasi dan menyampaikan pesan kepada roh-
roh. Beberapa jenis alat musik suku Dayak adalah prahi, gimar, tuukng tuat, pampong, genikng, glunikng, jatung tutup, kadire, klentangan, dan lain-lain.
Masuknya Islam memberi pengaruh dalam seni musik Dayak, dengan dikenalnya musik tingkilan dan hadrah. Musik Tingkilan menyerupai seni musik gambus dan lagu yang
dinyanyikan disebut betingkilan yang berarti ‘bersahut-sahutan’. Dibawakan oleh dua orang pria-wanita dengan isi lagu berupa nasihat, pujian, atau sindiran.
Berikut adalah beberapa kesenian musik suku Dayak a. Ngendau ialah senda gurau yang dilagukan. Biasanya dilakukan oleh para remaja
baik laki-laki ataupun perempuan secara bersaut-sautan. b. Kalalai-lalai ialah nyanyian yang disertai tari-tarian Suku Dayak Mamadi daerah
Kotawaringin. c. Natum ialah kisah sejarah masa lalu yang dilagukan.
d. Natum Pangpangal ialah ratap tangis kesedihan pada saat terjadi kematian anggota keluarga yang dilagukan.
e. Dodoi ialah nyanyian ketika sedang berkayuh diperahu atau dirakit. f.
Dondong ialah nyanyian pada saat menanam padi dan memotong padi. g. Marung ialah nyanyian pada saat upacara atau pesta besar dan meriah.
h. Ngandan ialah nyanyian yang dinyanyikan oleh para lanjut usia yang ditujukan kepada generasi muda sebagai pujian, sanjungan dan rasa kasih sayang.
i. Mansana Bandar. Mansana artinya cerita epik yang dilagukan. Bandar ialah nama
seorang tokoh yang sangat dipuja dizamannya. Bandar hidup di zaman lewu uju dan diyakini bahwa tokoh Bandar bukan hanya sekedar mitos. Hingga saat ini
orang-orang tertentu yang bernazar kepada tokoh Bandar. Keharuman namanya karena pada kepribadiannya yang sangat simpatik dan menarik, disamping
memiliki sifat kepahlawanan dan kesaktian yang tiada duanya. Banyak sansana tercipta untuk memuji dan mengagungkan tokoh Bandar ini, namun dengan versi
yang berbeda-beda.
j. Karunya ialah nyanyian yang diiringi suara musik sebagai pemujaan
kepada Ranying Hatala. Dapat juga diadakan pada saat upacara pengangkatan seorang pemimpin mereka atau untuk menyambut
kedatangan tamu yang sangat dihormati.
k. Baratabe ialah nyanyian untuk menyambut kedatangan pada tamu. l.
Kandan ialah pantun yang dilagukan dan dilantunkan saut menyaut baik oleh laki- laki atau perempuan dalam suatu pesta perkawinan. Apabila pesta yang diadakan
untuk menyambut tamu yang dihormati maka kalimat-kalimat yang dilantunkan lebih bersifat kalimat pujian, sanjungan, doa dan harapan mereka pada tamu yang
dihormati tersebut. Tradisi ini biasa ditemukan pada Suku Dayak Siang atau Murung di Kecamatan Siang dan Murung, Kabupaten Barito Hulu.
m.
Dedeo atau Ngaloak sama dengan Kandan hanya istilahnya saja yangberbeda, karena Dedeo atau Ngaloak adalah tradisi
Suku Dayak DusunTengah didaerah
Barito Tengah, Kalimantan Tengah. n. Salengot ialah pantun berirama yang biasa diadakan pada pesta
pernikahan, namun dalam upacara kematian Salengot terlarang oleh adat untuk dilaksanakan. Salengot khusus dilakukan oleh laki-laki dalam
menceritakan riwayat hingga berlangsungnya pernikahan kedua mempelai tersebut.
7. Seni Drama
Drama tradisional ditemukan pada masyarakat Kutai dalam bentuk kesenian Mamanda. Drama ini memainkan lakon kerajaan dan dimainkan dalam upacara adat seperti
perkawinan atau khitanan. Bentuk pementasannya menyerupai ludruk atau ketoprak.
8. Seni Rupa
Seni rupa Dayak terlihat pada seni pahat dan patung yang didominasi motif-motif hias setempat yang banyak mengambil ciri alam dan roh dewa-dewa dan digunakan dalam
upacara adat. Ada macam-macam patung dengan ragam fungsi, di antaranya sebagai berikut.
Patung azimat yang dianggap berkhasiat mengobati penyakit.Patung kelengkapan upacara.Patung blontang, semacam patung totem di masyarakat Indian. Selain itu, seni
rupa Dayak terlihat pada seni kriya tradisional seperti kelembit perisai, ulap doyo kain adat, anjat tas anyaman, bening aban kain gendongan, seraong topi, dan
lain-lain. Kesenian suku Dayak adalah bagian dari kekayaan budaya Nusantara yang layak dibanggakan.
9. Tari-Tarian
a. Tari Gantar Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat
menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan sering
disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq.
Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar SenakGantar Kusak.
b. Tari Kancet Papatai Tari Perang Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang
melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari. Dalam tari Kancet Pepatay, penari
mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan
peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
c. Tari Kancet Ledo Tari Gong Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria
Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin. Tari
ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor
burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
d. Tari Kancet Lasan Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan
oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak
Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari
banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang
ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon. e. Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along
akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
f. Tari Hudoq Kita’ Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari
suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah
memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita’ dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan
musiknya. Kostum penari Hudoq Kita’ menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah
manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua
jenis topeng dalam tari Hudoq Kita’, yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
g. Tari Serumpai Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan
mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai sejenis seruling bambu.
h. Tari Belian Bawo Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit,
membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini
merupakan tarian suku Dayak Benuaq. i. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau
orang yang menebang pohon tersebut. j. Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan Kab. Bulungan ke daerah Long Segar Kab. Kutai Barat
yang memakan waktu bertahun-tahun. k. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan
oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya.
Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah. l. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-
benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
m. Tari Baraga’ Bagantar Awalnya Baraga’ Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan
memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
F. Teknologi
Dalam kehidupan sehari-hari orang suku Dayak sudah menggunakan alat-alat yang sudah sedikit maju berkembang seperti dalam berburu orang dayak sudah memakai alat-
alat yang berkembang seperti : 1. Sipet Sumpitan Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan
berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 – 2,5 meter, ditengah- tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ – ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan
Damek.Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak
sumpitan. 2. Lonjo Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan
bertangkai dari bambu atau kayu keras. 3. Telawang Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter
dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
4. Mandau Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk
tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emasperaktembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia.
Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat
dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu
Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat. 5. Dohong Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah.
Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basi.
G. Religi