37
B. Fungsi Kereta Api
1. Barang
Kereta api di Pulau Jawa bertalian erat dengan kebutuhan akan sarana pengangkut barang-barang atau hasil produksi. Peningkatan hasil
perkebunan dan pertanian, mendorong pemerintah Hindia Belanda menambah transportasi darat yang dapat menembus ke wilayah-wilayah
pedalaman Jawa Tengah dengan biaya yang lebih murah, lebih cepat untuk mengangkut hasil perkebunan dan pertanian dalam kapasitas yang besar
sehingga pemerintah membangun jalan kereta api. Pembangunan lintas rel kereta api ini bertujuan untuk mengangkut hasil bumi dari wilayah
pedalaman yang akan diekspor melalui pelabuhan Semarang, dan memajukan pertumbuhan perekonomian penduduk pribumi di Karesidenan Semarang.
Dalam hal ini kegiatan penyaluran hasil-hasil perkebunan ke pelabuhan- pelabuhan untuk selanjutnya diekspor ke luar negeri melalui pelabuhan-
pelabuhan yang terletak di pantai utara Pulau Jawa, seperti Tanjung Mas di Semarang, dan Tanjung Priok di Jakarta. Barang-barang ekspor yang penting
diantaranya gula, kopi, tembakau, kulit pohon kina, lada, minyak kelapa sawit, karet, dan batu bara. Angkutan gula dan batu bara dilakukan secara
massal dengan kereta api. Kapasitas produksi pabrik gula yang terbesar berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari jumlah tersebut sebagian besar
diangkut dengan kereta api dan 90 dari hasil produksi diangkut ke
38 pelabuhan dengan menggunakan kereta api untuk diekspor ke luar negeri
Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 120. Jalan rel digunakan untuk keperluan ekspor, dan menunjang
kelancaran perekonomian di dalam negeri. Pabrik-pabrik yang mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi menggunakan kereta api sebagai pilihan
utama dalam transportasi yang diandalkan. Angkutan barang banyak diangkut oleh kereta api pada masa itu, antara lain barang bangunan, kayu
olahan, kayu bakar, arang kayu, dan bahan makanan sebagai kebutuhan pokok masyarakat. Perkeretaapian di zaman Hindia Belanda sudah mengenal
door to door services dengan adanya A-B Diens Afhaal en Brengdiens Dinas
ambil-bawa dengan kendaraan truk di beberapa stasiun tertentu, yaitu untuk memberikan pelayanan kepada para pemakai jasa kereta api dengan
mengambil barang tertentu yang akan dikirim menggunakan kereta api dari alamat si pengirim ke stasiun, dan atau mengantarkan kiriman yang datang di
stasiun dengan kereta api ke alamat si penerima Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 121.
39 Pengangkutan barang-barang jalur Kerajaan-Semarang dalam volume,
1870-1879 angkutan barang-barang total dikali 100
Stasiun 1870
1871 1872
1873 1874
1875 1876
1877 1878
1879 Semarang
45.2 55.2
53.1 66.0
79.0 93.2
113.0 114.3
119.0 113.9
Alas Tuwa
0.0 0.0
0.0
Brumbung
1.8 13.6
2.4 1.8
1.2 1.0
0.6 0.3
0.4 1.5
Tanggung
12.4 0.2
0.0 0.2
0.1 0.3
0.2 11.6
23.6 19.2
Kedungjati
13.8 11.7
11.5 8.2
10.1 6.7
9.7 10.5
12.3 11.6
Padas
0.0 0.0
0.1 0.8
0.9 1.3
2.7 2.7
1.3 1.4
Gedangan
2.2 1.8
1.3 2.7
5.2 10.1
9.8 9.3
9.7 12.6
Telawa
0.2 0.9
0.5 1.8
3.0 1.6
0.9 0.8
2.5 5.4
Serang
0.0 0.0
0.0 0.0
0.0 0.0
0.0 0.0
0.0 0.0
Gundi
2.1 4.9
2.6 4.1
6.8 6.7
11.3 15.5
21.7 18.9
Tempuran
0.3 3.2
9.3 9.1
10.2 8.2
9.7 2.5
1.0
Gogodalem
0.0 0.0
0.1 0.1
0.1 0.2
0.1 0.0
0.0
Bringin
2.2 2.7
1.7 0.9
1.8 0,9
0.8 0.7
1.1
Tuntang
1.2 2.0
2.3 4.0
3.9 4.2
4.9
Ambarawa
2.5 6.0
5.4 9.6
6.9 3.5
5.7
Total
78.6 109.8
98.6 133.2
170.2 190.8
39.9 237
258.5 277
Sumber Djoko Suryo, 1989: 158
Tabel di atas menunjuk pada jumlah wilayah dan barang yang diangkut kereta api, serta menggambarkan perubahan jumlah pengiriman barang tahun
1870-1879 dari wilayah-wilayah Semarang, Alas Tuwa, Brumbung, Tanggung, Kedungjati, Padas, Gedangan, Telawa, Serang, Gundi, Tempuran,
Gogodalem, Bringin, Tuntang, dan Ambarawa. Volume perdagangan di setiap stasiun tersebut berkaitan dengan
besar kecilnya stasiun, dan jaringan pasar-pasar pedesaan yang berhubungan dengan stasiun bersangkutan. Stasiun yang memasarkan barang-barang
dalam jumlah besar itu merupakan titik-titik penting lalu lintas perdagangan
40 untuk daerah-daerah pedesaan disekitarnya. Stasiun-stasiun Tanggung,
Kedungjati, Gedangan, dan Gundi dihubungkan dengan daerah-daerah pedesaan yang mengekspor beras dan hasil pertanian yang lain seperti
Ambarawa dan beberapa stasiun lainnya berasal dari distrik Salatiga, Tengaran, Ambarawa, Ungaran, dan Kedu. Sebaliknya beberapa stasiun yang
lainnya Alas Tuwa, Brumbung, Padas, Telawa, Serang, Tempuran, Gogodalem, Bringin, dan Tuntang hanya memasarkan sejumlah kecil barang,
disebabkan karena kecilnya daerah pedesaan disekitarnya atau karena ada stasiun yang lebih besar didekatnya. Pada umumnya jarak antar stasiun kira-
kira 7 km, sehingga sebuah stasiun yang terletak antara stasiun-stasiun yang lebih besar memasarkan barang-barang dalam jumlah yang lebih kecil seperti
Alas Tuwa dan Brumbung yang terletak di antara Semarang dan Tanggung, serta Padas antara Kedungjati dan Gedangan.
Volume barang-barang yang diangkut oleh kereta api di Karesidenan Semarang sebagaimana yang tercantum dalam tabel meningkat empat kali
lipat selama periode 1870-1879. Peningkatan sangat menonjol di stasiun- stasiun kereta api yang utama, seperti Semarang dan stasiun-stasiun lokal
yang besar seperti Tanggung, Gedangan, Telawa, Gundi, serta Ambarawa. Pertumbuhan
pengangkutan barang-barang
melalui stasiun
lokal mencerminkan lalu lintas barang-barang antara daerah pedesaan dengan
stasiun lokal, tempat dimana hasil-hasil pertanian dan para produsen serta konsumen saling berhubungan. Dampak adanya jalan kereta api terhadap
41 pertumbuhan perdagangan timbul dari kenyataan bahwa kereta api mampu
mengangkut lebih banyak barang dengan cepat dan lebih murah daripada alat-alat angkutan lokal. Biaya pengangkutan barang dengan kereta api ialah
5 sampai 10 sen per km. Kereta api memiliki kapasitas yang besar dan kecepatan yang tinggi.
Kereta api swasta Semarang-Surakarta menggunakan ukuran yang terbesar di Jawa, dan daya jelajahnya 30 km per jam. Sebagai perbandingan, sebuah
gerobak lokal yang ditarik dua ekor sapi atau kerbau memiliki kapasitas 5 sampai 7 pikul barang kira-kira 300 sampai 420 kilogram, dan kemampuan
jelajahnya hanya sekitar 15 sampai 18 km per 24 jam. Kuli rata-rata hanya mampu membawa ½ sampai 1 pikul barang kira-kira 31 sampai 62
kilogram dan hanya mampu menempuh 18 sampai 24 km per 24 jam. Pengangkutan barang-barang dari Semarang-Surakarta berjarak 110 km
karenanya ditempuh sekitar 3,5 jam dengan kereta api, akan tetapi sampai sekitar 6 hari dengan gerobak lokal atau 4 hari dengan kuli. Sama halnya
pengangkutan antara Semarang dan Kedungjati berjarak 35 km ditempuh dalam waktu 1 jam dengan kereta api, akan tetapi dengan gerobak lokal atau
kuli memerlukan 1 sampai 1½ hari Djoko Suryo, 1989: 157-159. Maka angkutan barang kereta api memerlukan banyak gerbong kereta, karena
barang-barang yang diangkutnya beraneka ragam. Oleh karena itu, bentuk gerbong barang harus disesuaikan dengan muatan yang diangkutnya. Ada
42 beberapa tipe gerbong dalam kereta api, tipe-tipe gerbong dimaksud
diantaranya yaitu: a.
Gerbong “G” untuk memuat barang-barang dan pintunya dapat ditutup. b.
Gerbong “P” untuk memuat barang-barang yang berupa batangan atau yang bentuknya panjang.
c. Gerbong “V” untuk memuat ternak.
d. Gerbong “Z” untuk memuat pasir.
e. Gerbong “K” untuk memuat benda-benda cair seperti minyak, bensin dan
lain sebagainya. Tipe gerbong-gerbong tersebut di atas kebanyakan milik pemerintah
SS, namun ada juga gerbong-gerbong barang yang pemilikannya bersifat lokal swasta, seperti gerbong ketel K milik perusahaan minyak BPM,
gerbong arang batu milik tambang batu bara Sawahlunto atau Ombilin Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 110.
2. Penumpang