Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Agama

kepercayaan-kepercayaan keagamaan sebagai benar atau salah adalah tidak diperkenankan. Selanjutnya Newbigin mengatakan, bahwa Kepercayaan keagamaan adalah masalah pribadi. Setiap orang berhak untuk mempercayai iman masing-masing. 4 Walaupun pada kenyataannya bahwa masalah agama bukanlah semata-mata masalah pribadi tetapi juga masalah sosial. Dimana pada dasarnya semua orang saling berhubungan antara satu dengan yang lain baik dalam lingkungan maupun dalam suatu komunitas. Dari definisi di atas, tampak bahwa pluralisme tidak menolak perbedaan tetapi menerimanya, malah menolak konsep eksklusivisme yang menganggap dirinya sendiri yang paling benar dan berbeda dari agama lain sehingga dapat mengganggu kesatuan yang diinginkan. Pluralisme mengusulkan agar para pemeluk agama mengakui kebenaran dari semua bentuk keagamaan dan meninggalkan klaim- klaim masa lalu tentang bentuk agama yang “satu-satunya” atau yang tertinggi. Pluralisme memberikan satu format keagamaan yang baru, yaitu semua agama pada dasarnya sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan.

3.3. Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Agama

3.3.1. Fakta Kemajemukan dan Dialog Agama Salah satu faktor bangkitnya pluralisme adalah masalah kemajemukan agama. Fakta tentang keberagaman agama dan kemajemukannya adalah satu hal yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun juga. Kesadaran dan pemahaman akan kemajemukan itu tidak hanya 4 Lesslie Newbigin, Injil Dalam Masyarakat Majemuk Jakarta: BPKGunung Mulia, 1993 hlm sampai pada tingkat mengalami keberadaan agama lain, tetapi juga dituntut untuk membangun hubungan yang baik dan toleransi yang lebih luas. Dalam masyarakat yang majemuk ini, maka perlu dikembangkan sikap pluralisme, yakni mengakui, menghormati, bahkan membela eksistensi orang lain dengan ketotalitasannya, hak dan pola hidupnya, paham dan keyakinannya. Apabila satu agama menuntut kebebasan untuk meyakini sepenuhnya agama dan keyakinan mereka maka agama tersebut pun harus menghormati dan mengakui hak orang lain untuk meyakini sepenuhnya agama dan keyakinannya juga. 5 Teologi pluralisme agama berupaya untuk mencari makna teologis dari masing-masing agama. Upaya tersebut dimaksudkan untuk merekonstruksi ajaran agama masing-masing sehingga dapat tercipta dialog yang sehat antar iman. Upaya tersebut berkaitan dengan keimanan Kristen, yakni bagaimana kekristenan menafsirkan Kristologi secara baru sehingga mampu memberi tempat bagi agama-agama lain. Hal ini disebabkan selama ini, agama Kristen menganggap bahwa agama mereka yang paling benar dibanding dengan agama lain. Mereka mengangap bahwa di luar Kristus tidak ada keselamatan. Kristus merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh keselamatan. Dengan kata lain, kaum pluralisme mengatakan bahwa kristologi yang ada tidak dirumuskan dalam konteks pluralisme agama-agama dalam masyarakat yang majemuk. Bagi kaum pluralis, apabila kristologi di atas tersebut tidak ditafsirkan kembali, maka dapat menimbulkan konflik antar umat 5 Tim Balitbang PGI, Agama dan Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003 hlm. 459-460 beragama dan cita-cita untuk mewujudkan kesatuan semua agama tidak akan tercapai. 6 Sekalipun pada kenyataannya bahwa konflik tetap terjadi Faktor lain yang menyebabkan bangkitnya pluralisme agama adalah adanya usaha mengadakan dialog yang lebih luas sehingga memungkinkan terjadinya suatu transformasi diri. Tujuan dialog ini menurut knitter, adalah untuk mengevaluasi diri bahwa jikalau Allah hanya satu saja, tidakkah layak kalau juga ada hanya satu agama? Apakah agama-agama itu semuanya mempunyai sesuatu yang sama di dalam diri mereka? Bagaimanakah agama-agama itu saling berhubungan satu sama lain? Apakah agama-agama yang banyak sesungguhnya hanya satu? Lebih spesifik lagi, bagaimanakah agama saya mempunyai kaitan dengan agama-agama lainnya? Dapatkah saya belajar sesuatu dari agama-agama lain? Dapatkah saya belajar lebih banyak lagi dari agama- agama tersebut, ketimbang yang saya dapatkan dari agama saya sendiri? 7 Sementara itu tiga orang teolog pluralis Asia yaitu Raimundo Panikkar, Stanley Samartha, dan Choan Seng Song adalah orang yang menyetujui konsep dialog sebagai misi utama semua agama, terutama kekristenan. Song dan Panikkar setuju bahwa dialog adalah, ”perjumpaan yang sejati dengan orang lain kepercayaan dan ideologi lain dan menemukan bahwa ada jalan lain untuk mengenal kebenaran dari pada yang telah di pelajari.” Song mengusulkan adanya pertobatan dialogis, yaitu: “Berbalik dari memakai dialog sebagai alat untuk 6 Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia: Theologia Religionum Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000 hlm. 23 7 Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006 hlm. 130-132 mengubah iman kepercayaan lain dan melangkah masuk ke dalam kehidupan mitra- mitra dialog.” Stanley Samartha berpendapat bahwa, “Seorang Kristen harus mendekati dialog atas dasar Teosentris dan bukan atas dasar Kristosentris. Hal ini membebaskan orang Kristen dari anggapan diri sebagai pemilik wahyu dan kebenaran satu- satunya.”. Dengan dasar konsep inkarnasi, ia mendorong supaya orang Kristen untuk berani berdialog. Oleh karena itu ia mengartikan bahwa dialog adalah, ”Upaya untuk memahami dan menyatakan partikularitas kita bukan hanya dalam kaitan dengan warisan kita sendiri tetapi juga dalam hubungan dengan warisan rohani tetangga- tetangga.” 8 Sedangkan Raimundo Panikkar men yatakan bahwa, “melalui dialog-dialog pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaran- Kristus bagi orang Kristen, Veda bagi orang Hindu dapat diperluas dan diperdalam sehingga menyingkap pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaran. Melalui dialog akan terjadi perluasan dan pendalaman setiap pengalaman partikular mengenai kebenaran ilahi. ”Song menyetujui bahwa dialog ialah, perjumpaan yang sejati dengan orang lain kepercayaan dan ideologi lain dan menemukan bahwa ada jalan lain untuk mengenal kebenaran daripada yang telah kita pelajari. 9 3.3.2. Relativisme Sebagai Salah Satu Titik Tolak Pluralisme. Berbicara tentang perkembangan pluralisme, maka hal tersebut tidak terlepas dari masalah relativisme. Relativisme mengatakan bahwa kebenaran adalah relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Penganut 8 Pluralitas Agama dan Dialog. Internet, www. Makalah Sahabat Awam. Jumat, 5, 08 2011: 19.30 Wib 9 Ibid relativisme percaya bahwa agama-agama yang ada juga bersifat relatif. Masing-masing agama benar menurut penganut-komunitasnya. Agama apa pun tidak berhak menghakimi iman orang lain. Yang dimaksud dengan relativisme, ialah bahwa semua agama adalah relatif, terbatas, tidak sempurna dan merupakan suatu proses pencarian. Oleh karena itu, kekristenan adalah agama terbaik untuk orang Kristen, Hindu adalah agama terbaik untuk orang Hindu. Moto kaum puralis ialah ”agamamu benar menurutmu, agamaku benar menurutku. Semua agama sama-sama benar”. 10 Relativisme agama seolah-olah ingin membawa prinsip win- win solution ke dalam area kebenaran. Menurut Lumintang, Ernst Troelstch merupakan tokoh peletak Pluralisme modern, memulai refleksi teologisnya dengan berupaya mengatasi konflik besar antara relativisme dan kemutlakan kristiani. Titik pijak awalnya dari pemahaman bagaimana Allah menyatakan dirinya dalam sejarah manusia. Troeltsch berusaha membuat sintesis antara relativisme historis dan absolutisme religius. Ia mengatakan bahwa “Masalah yang dihadapi oleh pendekatan sejarah bukanlah bagaimana membuat sebuah pilihan ini atau itu antara relativisme dan absolutisme, namun bagaimana menggabungkan keduanya.” 11 Tokoh lain yang merupakan peletak dasar Pluralisme yaitu John Hick dan Gordon Kaufman yang meletakkan relativisme yang lebih dalam dari Troeltsch. Kaufman mengusulkan agar para pemeluk agama mengakui relativitas historis semua bentuk keagamaan dan dengan 10 Stevri I Lumintang, Theologia Abu-Abu; Pluralisme Agama, edisi revisi, Malang: Gandum Mas, 2004 hlm. 67 11 Ibid demikian menanggalkan klaim-klaim masa lalu tentang bentuk agama ”satu-satunya” atau bentuk yang ”tertinggi”. 12 Hick memberikan makna lebih jauh terhadap kesadaran tentang relativitas historis. Ia menyimpulkan: Tampaknya kita tak mungkin membuat penilaian global bahwa suatu tradisi keagamaan yang satu lebih banyak menyumbangkan kebaikan atau lebih sedikit keburukan daripada yang lain; atau bahwa satu tradisi memberikan keseimbangan yang lebih baik antara kebaikan dan kejahatan dari pada tradisi lain. Sebagai totalitas yang amat besar dan kompleks, tradisi-tradisi dunia tampaknya lebih kurang setara satu sama lain. Tak satupun dapat disebutkan secara khusus sebagai yang sungguh-sungguh lebih unggul. 13 Relativisme telah menjadi api yang membakar semangat kaum pluralis dalam berdialog dengan pendekatan yang inklusif, dan membuang finalitas Yesus. Dari pernyataan-pernyataan di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa relativisme adalah salah satu titik tolak yang dipakai oleh kaum Pluralis, secara khusus dipakai oleh John Hick sebagai salah satu dasar dalam meletakkan pandangan pluralis. 3.3.3. Pergeseran Pandangan Teologi Katolik Roma dan Dewan Gereja Dunia. Munculnya teologi pluralisme agama mulanya dipelopori oleh para teolog Katolik. Hal ini dikarenakan mereka yang terlebih dahulu mengubah posisi mereka yang semula eksklusif menjadi inklusif kemudian menjadi pluralis. Baru beberapa tahun kemudian diikuti oleh teolog Protestan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka ada dua peristiwa besar yang sangat mempengaruhi perkembangan teologi gereja-gereja se-dunia, yakni konsili Vatikan II tahun 1961-1965, dan sidang raya Dewan Gereja-gereja se-dunia di Uppsala 1968. Beberapa teolog 12 John Hick dan Paul F. Knitter, Mitos Keunikan Agama kristen, Jakarta: BPk Gunung Mulia, 2001 hlm, xiii 13 Ibid Katolik yang pikirannya sangat mempengaruhi perkembangan pluralisme, yakni Karl Rahner, Raimundo Panikkar, Stanley Samartha dan Paul F. Knitter. Karl Rahner menghancurkan posisi eksklusivisme yang tradisional yang dipegang gereja Katolik dengan mengemukakan teorinya bahwa Allah menghendaki semua orang diselamatkan. 14 Knitter mengatakan bahwa Konsili Vatikan II 1961-1965 merupakan suatu tonggak sejarah tentang agama-agama lain. Dengan kata lain konsili Vatikan II merupakan tonggak sejarah bagi bangkitnya semangat pluralisme, dimana belum pernah sebelumnya gereja membuat pernyataan resmi yang begitu luas dan mendalam yang berhubungan dengan agama-agama lain; belum pernah sebelumnya gereja Katolik mengatakan berbagai hal yang positif tentang agama-agama lain; belum pernah sebelumnya gereja mengajak umat Kristiani untuk bersikap serius dan berdialog dengan agama-agama lain. Dibandingkan dengan sikap extra ecclesiam nulla salus di luar gereja, tidak ada keselamatan yang berlangsung dari abad ke 15- ke 16. 15 Perubahan ini bukan saja terjadi di kubu Katolik tetapi juga dari Kristen Protestan sendiri, khususnya yang menyebut diri dari aliran arus utama, yaitu gereja-gereja yang tergabung dalam satu semangat oikumenikal yang dipayungi oleh Dewan Gereja-gereja se-dunia DGD. Sidang Raya IV Dewan Gereja-gereja se-Dunia pada tanggal 14-19 Juli 1968 di Uppsala menjadi titik tolak sikap gereja dalam perjumpaannya dengan agama- agama lain bahwa: ”Pertemuan dengan orang-orang yang 14 Stevri I Lumintang, Theologia Abu-abu: Pluralisme Agama, hlm. 81-82 15 Paul F. Knitter, Pengantar teologi Agama-Agama, Yogyakarta: Kanasius, 2008, hlm. 87-88 berbeda keyakinan atau orang-orang yang tidak beriman harus memimpin kepada dialog. Pendekatan orang Kristen kepada orang yang tidak beriman harus manusiawi, bersifat pribadi, relevan dan rendah hati. Sebagai orang Kristen kita percaya bahwa Kristus berbicara dalam bentuk dialog, menyatakan diri-Nya kepada mereka yang tidak mengenal Dia dan mengoreksi pengetahuan mereka yang terbatas dan kabur. Dialog dan proklamasi Injil adalah berbeda. Para teolog yang menganut dan memelopori pluralisme agama mengembangkan teologi agama- agama bertolak dari rumusan-rumusan dari hasil beberapa konferensi yang diadakan oleh DGD. Hal itu mengindikasikan bahwa rumusan- rumusan DGD turut memberikan kontribusi bagi muncul dan berkembangnya pluralisme dalam teologi Kristen. 16 C.S. Song mendefinisikan misi berarti mencari persekutuan dengan orang-orang lain dalam kasih Allah, dan menyetujui dialog sebagai perjumpaan yang sejati dengan orang lain kepercayaan dan ideologi lain dan menemukan bahwa ada jalan lain untuk mengenal kebenaran daripada yang telah kita pelajari. 17 Ioanes Rakhmat mengakui bahwa dalam kekristenan terjadi pergesaran sikap terhadap orang beragama lain, yakni dari monolog menjadi dialog. 18 Sedangkan Olaf Schumann mengatakan, bahwa dialog adalah suatu usaha positif untuk mendapatkan pengertian yang lebih dalam mengenai kebenaran melalui saling pengertian akan keyakinan. Dengan kata lain, ia menganjurkan 16 Stevri I Lumintang, Theologia Abu-abu: Pluralisme Agama, hlm.81-88 17 C.S. Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993 hlm. 154 18 Ioanes Rakhmat, Pluralitas Agama, Dialog dan Perspektif Kristiani, hlm 75 untuk menemukan kebenaran melalui berdialog dengan orang beragama lain. 3.3.4. Perubahan dari Modernisme ke Postmodernisme: Pergesaran Paradigma Eksklusivisme ke Pluralisme Sebelum kehidupan modern muncul, pemikiran masa pramodern selalu menempatkan Allah sebagai pusat dari segala pemikiran, kebudayaan dan masyarakat. Pusat dari seluruh kehidupan manusia dan semua kreatifitas artistik adalah persoalan „pertemuan‟ encounter dengan Allah. Oleh karena penekanan yang terlalu berlebihan pada aspek ketuhanan ini, maka tidak heran jika kemudian, kehidupan manusia dianggap hanya sebagai duniawi, fana, dan keadaan sementara di tengah perjalanan kepada keberadaan yang nyata dalam kekekalan dengan Allah. 19 Bermula dari Renaissance dan humanisme yang berhasil membuat perubahan yang radikal, tema yang berpusat pada Tuhan berbelok ke arah manusia. Persoalan waktu dan materi menjadi perhatian utama manusia. Masa pencerahan yang terjadi pada abad ketujuhbelas dan kedelapanbelas membawa suatu pemikiran yang baru. Masa pencerahan itu disebut sebagai modernisme yang membawa pemikiran ke arah yang berlawanan dengan asas-asas utama orang Kristen. Semangat modernisme menempatkan kemajuan kepada akal budi 19 Penulis menyadari banyaknya pendapat yang berbeda mengenai pembagian periode antara pramodern, modern, dan postmodern. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa terdapat ketidaksepahaman mengenai kapan bermula dan berakhirnya masing-masing era. Dalam tulisan ini penulis setuju dengan pendapat Hille, yang dimaksud dengan pramodern disini secara sederhana berarti masa abad-abad permulaan sampai abad pertengahan, dan masa modern dimulai pada abad ke-17 awal abad ke-20, serta postmodernisme dimulai pada abad ke-20 Rolf Hille, “From Modernity to Post- modernity: Taking Stock at the Turn of the Century,” Evangelical Review of Theology 242 [2000] 117-118. sebagai tujuan utamanya dan menolak wahyu ilahi sebagai pencerahan yang sejati. Manusia dipandang sebagai makhluk berakal yang menjadi pusat kegiatan hidup. Rasio kemudian juga dipandang sebagai kata kunci yang senantiasa menjadi pusat dalam percakapan modernisasi. Rasio juga menjadi satu-satunya alat untuk mencapai kemajuan peradaban. Sebagai akibatnya dalam bidang teologia penekanan mereka terhadap rasio membuat mereka memandang Alkitab bukan lagi sebagai wahyu ilahi yang otoritatif. 20 Dalam masa modernisme ini seorang filsuf Jerman George Hegel, yang merupakan salah satu bapak Liberalisme modern mulai mengemukakan perpaduan teologia dan filosofi, seperti juga halnya agama dan rasio. Konsepnya itu pemikiran dialektis akhirnya membawa perubahan yang besar terhadap para teolog. Menurut Hegel tidak ada kebenaran yang permanen, bahkan Allah sendiri berubah. Pendekatan Hegel membuka jalan yang menggeser habis pemikiran religius dari hal yang absolut menjadi hal yang relatif dan subyektif. Penekanan unsur intelektual di dalam hal religius yang akhirnya merusak prinsip alkitabiah. 21 Namun pada akhirnya kerangka pemikiran ini mulai berubah seiring dengan perkembangan peradaban dan pola pikir rasio yang cenderung pragmatis. Konsep pemikiran modernisme ini berubah menjadi postmodernisme. Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai 20 Gene Edward Veith, “Postmodernisme: Spiritualitas Tanpa Kebenaran” disadur oleh Gunung Maston dari Postmodern Times: A Christian Guide to Contemporary Thought and Culture http:www.geocities.comreformed_movementartikel spiritual.html, Jumat, 15 Juli, 2011, pkl. 15.50. Wib 21 Ibid reaksi terhadap fakta tidak pernah tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang berkembang antara abad kelima belas sampai dengan delapan belas dan mencapai puncaknya pada abad sembilan belas dan dua puluh. Berbeda dengan filsafat modern yang berusaha memutlakkan kebenaran hanya berdasarkan rasio dan ilmu pengetahuan, postmodernisme justru memberikan pernyataan bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak dan universal relativ. Istilah postmodernisme sendiri muncul pada tahun 1917 yang dikemukakan oleh seorang filsuf Jerman Rudolf Pannwitz, untuk menggambarkan nihilisme 22 menurut terminologi Nietzsche. 23 Dalam bidang teologi istilah postmodernisme pertama kali digunakan di Inggris pada tahun 1939 oleh Bernard Iddings Bells, seorang teolog yang mengetengahkan kegagalan modernisme sekuler dan kembalinya agama dalam kehidupan manusia. Postmodernisme ini akhirnya merambat ke segala bidang keilmuan dan kehidupan masyarakat, termasuk pula teologi. Akhirnya melahirkan teologi pembebasan, teologi religionum dan etik global. Dimana konflik universalitas-lokalitas atau kesatuan-kepelbagaian mulai dipercakapkan dengan terbuka dan serius. Akhirnya muncullah pluralisme dan relativisme. Dalam konteks teologi Kristiani maka pertanyaannya adalah; apakah masih dimungkinkan untuk meyakini kebenaran 22 Nihilisme adalah sebuah pandangan filosofi yang sering dihubungkan dengan Friedrich Nietzsche. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan. Nihilis mengatakan, bahwa tidak ada bukti yang mendukung keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak mungkin. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain. 23 Ibid universal dari Allah? Apakah kebenaran Allah tersebut tidak menjadi kisah agung yang menindas? 24 Dalam era postmodernisme ini, ide relativis ini mulai diperluas, yang akhirnya membawa akibat teologis yang lebih besar bagi teologia religionum. Paul F Knitter menjelaskan keunikan Kristus tersebut sebagai “sebuah keunikan rasional”. Yang akhirnya mengakui kebenaran yang diyakini orang Kristen bersifat relatif ditengah arena agama-agama lain, yang menurut mereka tidak serta merta berarti mengabaikan keunikan kebenaran tersebut, namun sebaliknya mengakui keunikan tersebut dalam relasi dengan orang lain. 25 Kelompok postmodernisme mengemukakan paradigma teologi religionum, yaitu, inklusivisme 26 dan pluralisme. Kehadiran Inklusivis ini sendiri pun dianggap tidak memadai oleh para Pluralis. Oleh sebab itu kelompok Pluralis menawarkan sesuatu yang baru, yakni konsep relativitas, yang ditekankan pada universalitas kasih Allah yang lebih luas bagi dunia. Pluralisme menekankan teosentrisme, yaitu menekankan bahwa semua agama-agama memusatkan diri kepada Allah dan Kristus bukanlah satu-satunya jalan keselamatan. Didalam buku Mitos Keunikan Agama Kristen Paul Knitter mengemukakan didalam prakatanya: 24 Ibid 25 John Hick dan Paul F Knniter, Mitos Keunikan Agama kristen, hlm xi 26 Inklusivisme muncul dengan sebuah penolakan konsep eksklusivisme yang menekankan tentang keselamatan satu-satunya didalam Kristus Yesus. Inklusivisme muncul dengan ide yaitu dengan menawarkan konsep universalitas kasih Allah bagi agama-agama lain. Allah diyakini mengerjakan keselamatan dalam agama-agama lain, walau tidak lengkap dan justru dipenuhi oleh Kristus sendiri. Hal ini dimunculkan oleh para kaum inklusivis karena menurut mereka sikap eksklusivis merupakan hal yang negatif bagi agama lain, karena sikap ini kurang memberi tempat pemahaman aktual agama-agama lain. “Pemahaman-pemahaman baru digambarkan sebagai setiap upaya untuk melangkah lebih jauh dari dua model umum yang telah mendominasi sikap-sikap Kristen terhadap agama-agam lain sampai kini: pendekatan eksklusivis”konservatif”, yang menemukan keselamatan hanya di dalam Kristus dan yang hanya melihat sedikit, kalaupun ada, nilainya ditempat la innya, dan sikap inklusiv “liberal” yang mengakui kekayaan yang menyelamatkan dalam iman lain, tetapi kemudian memandang kekayaan ini sebagai hasil karya penebusan Kristus dan sebagai sesuatu yang telah dipenuhi di dalam Kristus. Kami ingin mengumpulkan para teolog yang menjelajah berbagai kemungkinan akan posisi pluralis- suatu upaya melangkah meninggalkan penekanan pada superioritas atau finalitas Kristus dan agama Kristen menuju pengakuan akan validitas mandiri jalan- jalan lain. 27

3.4. Pemikiran-Pemikiran Kristologi Dalam Pluralisme Agama