SIKAP REMAJA TERHADAP KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DI KELAS X SMK KARTIKATAMA I METRO SELATAN KOTA METRO

(1)

ABSTRAK

SIKAP REMAJA TERHADAP KETENTUAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DI KELAS X SMK KARTIKATAMA I METRO SELATAN

KOTA METRO Oleh Resti Febriyanti

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menjelaskan tingkat pengetahuan, kecenderungan emosional, dan kecenderungan bertindak remaja SMK Kartikatama I Metro Selatan Kota Metro terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dan mendeskripsikan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan sampel 95 responden. Teknik pokok pengumpulan data menggunakan angket dengan bentuk skala sikap dan untuk menganalisis data yang telah terkumpul digunakan rumus persentase.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap remaja terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak di kelas X SMK Kartikatama I Metro Selatan Kota Metro untuk indikator kognisi atau tingkat pengetahuan adalah 32% atau 31 responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik mengenai ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, 51% atau 48 responden dari 95 repsonden cukup baik, dan 17% atau 16 responden memiliki tingkat pengetahuan yang tidak baik. Untuk indikator afeksi atau kecenderungan emosional 53,7% atau 51 responden dari 95 responden remaja setuju mengenai ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, 40% atau 38 responden cenderung kurang setuju, dan 6,3% atau 6 responden tidak setuju. Dan untuk indikator konatif atau kecenderungan bertindak, 51,6% atau 49 responden mendukung ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, 43,2% atau 41 responden netral, dan 5,2% atau 5 responden tidak setuju.

KATA KUNCI: Sikap, Remaja, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Perlindungan Anak


(2)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak pada hakekatnya adalah sebuah anugerah dan juga sebuah amanah. Sebagai sebuah anugerah, anak adalah karunia terindah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk melengkapi kesempurnaan dan kebahagiaan sebuah keluarga yang utuh. Sebagai amanah, anak adalah seseorang yang harus dijaga dan dilindungi oleh orang-orang disekitarnya sebagai bentuk tanggung jawab yang telah diembankan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Dari sudut pandang hukum, seorang anak dianggap sebagai salah satu subjek hukum yang menjadi tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa dan memiliki peran strategis sehingga nantinya mampu menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, maka dari itu keberadaan anak disini menimbulkan konsekuensi yuridis untuk dilindungi dari segala bentuk tindakan yang dapat merugikan anak baik secara fisik, psikologis, maupun secara sosial. Adanya perlindungan terhadap anak ini mencakup pada keseluruhan hak yang dimiliki anak, karena pada dasarnya hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 52 ayat (1)


(3)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM) yaitu “setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara”. Hak anak itu antara lain hak untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan, diskriminasi, dan hak lainnya yang menyangkut perkembangan yang layak bagi fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak.

Secara khusus landasan hukum yang merangkum mengenai perlindungan anak di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang disahkan pada tanggal 22 Oktober 2002 oleh Pemerintah Indonesia beserta Anggota Legislatif. Tujuan disahkannya undang-undang ini adalah mengawasi pelaksanaan perlindungan anak di Indonesia dan memberikan jaminan kebebasan/kemerdekaan pada anak untuk mendapatkan dan menggunakan haknya untuk berkembang dan mencapai kesejahteraannya tanpa adanya tindak diskriminasi dan kekerasan yang dilakukan oleh orang lain. Diskriminasi yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 adalah segala bentuk perbuatan yang mengarah kepada pembatasan, pelecehan, atau pengucilan baik yang dilaksanakan secara langsung atau pun tidak langsung yang didasarkan pada pembedaan manusia antara lain atas dasar agama, suku, ras, etnik, atau status sosial, yang menyebabkan anak mengalami kerugian baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya, sedangkan tindak kekerasan yang dimaksud didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 adalah segala bentuk tindakan baik yang dilakukan secara sengaja atau sadar, maupun secara tidak sengaja yang menyebabkan kerugian pada diri anak secara fisik, psikologis, maupun sosial, tindak kekerasan yang diakomodasi dalam undang-undang ini adalah:


(4)

a. Kekerasan secara fisik yang mengakibatkan luka ringan, berat, sampai pada kematian, seperti pemukulan, penganiayaan, penjualan organ tubuh anak.

b. Kekerasan secara seksual seperti pencabulan, eksploitasi seksual.

c. Kekerasan secara psikis seperti penggunaan tipu muslihat, kebohongan, atau pembujukan untuk mengikutsertakan anak dalam kegiatan melanggar hukum.

d. Kekerasan secara sosial seperti penelantaran anak yang mengakibatkan penderitaan baik secara fisik, mental, maupun sosial.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 berlaku tanpa terkecuali yang artinya sanksi pidana dan denda dalam undang-undang ini berlaku tidak hanya sebatas pada orang yang tidak memiliki hubungan (orang lain) dari anak tersebut, melainkan juga berlaku bagi orang terdekat atau kerabat anak seperti sanak saudara, guru, teman sebaya, dan yang terpenting adalah orang tua yang notabenenya adalah keluarga dari anak, karena dengan adanya undang-undang ini kekerasan terhadap anak yang terjadi didalam rumah tangga atau keluarga dalam bentuk apapun adalah sebuah pelanggaran terhadap anak yang menimbulkan akibat yuridis berupa sanksi pidana dan denda.

Tujuan perlindungan anak pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dapat terlaksana apabila seluruh unsur utama yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat dapat bersama-sama dengan pemerintah untuk mengadakan usaha perlindungan anak. Keluarga sebagai lingkungan utama anak untuk berkembang dengan baik yang didalamnya minimal terdapat orang tua wajib


(5)

memberikan perlindungan terhadap anak antara lain dengan memberikan pengasuhan, pemeliharaan, dan pendidikan kepada anak, sedangkan sekolah sebagai salah satu tempat yang memberikan pendidikan kepada anak secara formal memiliki fungsi untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkeadilan tanpa memberikan diskriminatif pada setiap anak dan bertujuan semata-mata untuk kepentingan yang terbaik baik anak, dan masyarakat memiliki kewajiban untuk selalu memberikan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan anak dengan tetap berpegang teguh pada prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Jika setiap orang tua, keluarga, pihak sekolah, maupun masyarakat serta dapat berperan secara maksimal maka kasus pelanggaran terhadap anak tidak akan terjadi, namun realitanya setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, kasus pelanggaran terhadap anak masih tetap ada dan setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup spesifik. Fakta lainnya yang lebih memprihatinkan adalah kasus pelanggaran terhadap anak yang pelakunya adalah orang di lingkungan sekitar anak tersebut seperti teman sebaya, guru dan orang tuanya yang notabenenya adalah pihak yang ikut dalam usaha perlindungan anak ini. Walaupun telah dijelaskan bahwa setiap anak memiliki hak untuk dilindungi, tidak sedikit kasus pelanggaran terhadap anak ini tetap terjadi di Indonesia, beberapa contoh kasus sebagai berikut: 1. Kasus penculikan dan pemerkosaan anak

Kasus ini dialami oleh seorang murid sekolah dasar di Samarinda, Kalimantan Timur yang terjadi pada Bulan Agustus 2012. Dalam kasus


(6)

ini anak tersebut diculik seusai pulang sekolah dan kemudian dilepaskan dikawasan Jalan Jakarta dalam kondisi penuh dengan luka lebam yang diakibatkan penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku, selain mengalami penganiayaan, korban juga mengalami tindak pemerkosaan. (http://www.merdeka.com)

2. Pembunuhan Anak

Kasus pembunuhan anak ini terjadi pada pada bulan September 2012 di Jakarta, kasus pembunuhan ini terjadi pada saat tawuran antar siswa antara SMAN 70 dengan SMAN 6, pelaku yang berasal dari SMA 70 ini diketahui kurang mendapatkan perhatian dari orang tua secara optimal. (http://jakarta.okezone.com)

Dibawah ini terdapat tabel yang menyajikan jumlah kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2011 dan tahun 2012 yang diambil dari berbagai sumber diinternet.

Tabel 1.1. Bentuk Pelanggaran Terhadap Anak Di Indonesia Tahun 2011 dan 2012

No. Keterangan Jumlah

2011 2012

1 Gizi buruk 2 Juta anak 8 Juta anak 2 Bayi terbuang 186 anak 162 anak 3 Penculikan bayi dan anak 120 anak 143 anak 4 Anak jalanan 230.000 anak 232.000 anak 5 Eksploitasi seksual 480 anak 673 anak 6 Percobaan Bunuh diri 23 kasus 31 kasus 7 Pekerja dini 1.052.600 anak 1.500.000 anak

8 Tawuran 339 kasus 147 kasus

9 Kekerasan seksual 1470 kasus 1634 kasus 10 Kekerasan fisik 643 kasus 819 kasus 11 Kekerasan psikis 595 kasus 743 kasus


(7)

Dari tabel 1.1 dapat diketahui bahwa beberapa kasus mengenai kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan dari tahun 2011 sampai 2012 diantaranya pada kasus anak yang menderita gizi buruk mengalami kenaikannya sebesar 75%, kasus penculikan bayi dan anak meningkat 16%, anak jalanan meningkat 0,8%, eksploitasi seksual anak meningkat 28,7%, kasus anak yang terlibat bunuh diri meningkat 26 %, anak yang bekerja meningkat 29,8%, anak yang mengalami kekerasan seksual meningkat 10%, anak yang mengalami kekerasan fisik meningkat 22 %, dan kasus kekerasan psikis meningkat 20%. Sedangkan untuk kasus lainnya mengalami penurunan walaupun belum begitu spesifik dan melihat jumlah kasus yang terjadi berada pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan.

Diawal tahun 2013, kasus kekerasan seksual pada anak kembali menjadi sorotan utama, terjadinya kasus pelecehan seksual yang dialami oleh RI, seorang siswi kelas lima SD yang meninggal disebuah rumah sakit di Jakarta akibat kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah kandungnya, menjadi pembuka daftar kasus kekerasan yang terjadi pada anak tahun 2013 dan menambah panjang jumlah kasus tindak kekerasan seksual pada anak, pernyataan Komnas Perlindungan Anak yang dilansir dalam Kompasiana.com menyatakan bahwa, pada tahun 2013 ini akan menjadi tahun darurat kekerasan seksual pada anak, prediksi ini didasarkan pada peningkatan tindak kekerasan seksual pada anak ditahun sebelumnya sebesar 10 % dan bila tidak mengambil tindakan antisipatif sejak dini, maka tidak dapat menutup kemungkinan jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak di tahun 2013 ini akan mengalami peningkatan.


(8)

Kota Metro sebagai kota pendidikan di Provinsi Lampung juga tidak luput dari adanya kasus kekerasan yang terjadi pada anak. Kasus yang ditangani oleh bagian Perlindungan Perempuan dan Anak Kepolisian Resort Kota Metro tidak begitu kompleks sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya. Kasus-kasus tersebut berkisar pada kasus kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Bentuk dan jenis tindakan kekerasan terhadap anak yang terjadi di Kota Metro dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1.2. Bentuk Dan Jenis Kekerasan Terhadap Anak Di Kota Metro Tahun 2011 Dan 2012

No. Bentuk dan Jenis Kekerasan

Jumlah

2011 2012

1. Fisik

Pemukulan/penganiayaan Korban KDRT

2 kasus 23 kasus

9 kasus 19 kasus 2 Seksual

Pemerkosaan 16 kasus 6 kasus

Sumber : Data Kepolisian Resort Kota Metro

Dari data diatas dapat diketahui bahwa jumlah kasus kekerasan fisik yang berupa kasus tindakan pemukulan dan penganiayaan yang dialami anak mengalami peningkatan sebesar 78 %, kasus kekerasan ini terjadi di lingkungan teman sebaya dan di lingkungan sekolah seperti pemukulan yang dilakukan oleh guru. Sedangkan pada anak korban KDRT mengalami penurunan walaupun belum begitu spesifik yaitu sebesar 21%. Begitu pula jumlah kasus kekerasan seksual yang ditangani mengalami penurunan mencapai 63 %, kasus kekerasan seksual yang dialami anak berkisar pada kasus pemerkosaan oleh teman dekat korban atau pacar. Dibulan Januari 2013, pihak Kepolisian Kota Metro telah menerima kasus kekerasan terhadap anak berupa kekerasan secara fisik berupa penganiayaan yang dilakukan oleh


(9)

orang tua anak sebanyak satu kasus dan kekerasan secara seksual berupa pelecehan seksual oleh teman korban sebanyak satu kasus.

Melihat jumlah kekerasan terhadap anak yang semakin meningkat maka dugaan peneliti disini tentang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dinilai masih kurang efektif dan belum maksimal didalam melakukan perlindungan hukum terhadap hak anak. Hal-hal yang menyebabkan kurang maksimalnya pelaksanaan perlindungan terhadap anak ini antara lain, kurangnya pemberian hukuman maksimal kepada pelaku tindak kekerasan terhadap anak, salah satu contoh kasusnya yaitu kasus pemukulan yang dilakukan oleh guru SD kepada dua muridnya. Kasus yang bergulir pada Januari 2013 ini, dikarenakan adanya aduan dari pihak keluarga mengenai tindak pemukulan yang dilakukan oleh Dahlia Irma Suryani Boru Siringoringo seorang guru SD Advent Timbang Deli. Tindakan pemukulan ini dilakukan menggunakan penggaris yang menyebabkan rasa sakit kepada anak dan terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dalam dakwaan primer. Majelis hakim Pengadilan Negeri Medan yang diketuai Jonner Manik menvonis Dahlia dengan enam bulan penjara dengan menjalani masa percobaan satu tahun, tetapi dalam kasus ini dahlia tidak harus menjalani masa penahanannya, namun jika mengulangi perbuatan yang sama dalam waktu setahun, ia akan langsung ditahan. Putusan hakim ini mengundang kekecewaan dari pihak keluarga korban yang menilai bahwa vonis tersebut tidak memberikan efek jera pada pelaku. (www.andinewsonline.blogspot.com)


(10)

Selanjutnya minimnya pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran hukum di lingkungan masyarakat terutama mengenai perlindungan anak, hal ini didasarkan pada hasil wawancara yang dilakukan kepada Bripda Dewi salah satu anggota Kepolisian Resort Kota Metro pada tanggal 21 Januari 2013, tindak kekerasan yang terjadi pada anak ini adalah kasus yang cukup tertutup dalam kalangan masyarakat sehingga membutuhkan kepekaan untuk mengetahui tindak kekerasan yang terjadi, penyebabnya antara lain masih adanya persepsi dari orang tua atau keluarga yang mengalami kasus kekerasan baik secara fisik maupun seksual merupakan aib yang memalukan untuk diungkap sehingga lebih memilih untuk diselesaikan secara kekeluargaan tanpa melibatkan hukum positif yang berlaku, sehingga secara tidak langsung mengurangi kesadaran masyarakat mengenai adanya hukum itu sendiri. Kemudian minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat dalam memahami secara jelas “tanda-tanda” pada kekerasan pada diri anak ini juga ikut mempengaruhi tingkat kepekaan mengenai tindak pelanggaran yang dilakukan pada anak.

Kurangnya sosialisasi yang dilakukan untuk memberikan pemahaman terhadap undang-undang ini. Dari sepuluh siswa SMK Kartikatama 1 Metro selatan yang diwawancarai peneliti pada tanggal 19 Januari 2013 lalu, mereka mengakui bahwa mereka tidak pernah mendengar adanya sosialisasi yang dilakukan secara khusus untuk memberikan pemahaman mengenai undang-undang ini, baik yang dilakukan didalam masyarakat maupun dalam lingkup sekolah seperti dalam proses pembelajaran, pernyataan ini juga dijelaskan


(11)

oleh Bripda Dewi dimana sosialisasi yang sering dilakukan adalah hanya menyangkut mengenai narkoba dan penyalahgunaannya.

Pelanggaran terhadap hak anak baik secara langsung maupun tidak langsung disadari pasti akan meninggalkan akibat buruk bagi anak dan mempengaruhi perkembangannya, untuk itu usaha perlindungan anak ini perlu mendapat perhatian khusus agar dapat meminimalisir pelanggaran terhadap anak yang tidak hanya melibatkan pemerintah saja tetapi juga dari semua pihak khususnya dari subyek hukum undang-undang ini yaitu anak. Diharapkan dengan adanya perhatian dari subyek hukum itu sendiri dapat membawa perubahan, sehingga anak setelah dewasa mampu memahami perlindungan terhadap anak tersebut dan menurunnya tingkat pengulangan tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak setelah dewasa nanti.

Sasaran anak yang diambil dalam penelitian ini adalah anak yang telah

memasuki masa remaja, dikarenakan secara psikologi masa remaja adalah peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimana masa ini

adalah masa terpenting karena seorang anak mengalami perkembangan tidak hanya secara fisik tetapi juga secara kognitif dan sosial. Seorang anak yang memasuki masa remaja terutama masa remaja madya atau pertengahan yang terjadi pada usia 15-18 tahun sudah mulai aktif untuk mencari jati diri dan mencari pedoman hidup dengan menerima norma dan hukum yang berlaku dalam masyarakat, serta ketertarikannya pada isu-isu moral yang tengah terjadi, kemudian 27% tindak kekerasan yang terjadi pada anak menurut riset yang dilakukan oleh Media Monitoring Center (MMC) tahun 2012 lalu


(12)

menyatakan kekerasan terhadap anak banyak terjadi pada usia anak yang menginjak usia 16-18 tahun.

Maka dari itu peneliti merasa penting untuk meneliti mengenai partisipasi anak ini dalam lingkup sikap remaja terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah yang berkaitan dengan peningkatan kekerasan terhadap anak dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Minimnya pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran hukum dilingkungan masyarakat terutama mengenai usaha perlindungan anak.

2. Kurangnya sosialisasi mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak di lingkungan masyarakat dan sekolah.

3. Kurang maksimalnya peran guru di sekolah dalam memberikan pemahaman tujuan hak asasi anak dan perlindungan anak dalam pembelajaran.

4. Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan terhadap anak.

5. Persepsi remaja yang terbatas mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.

C. Pembatasan Masalah

Untuk memudahkan penulis dalam pelaksanaan penelitian maka perlu adanya pembatasan masalah. Adapun pembatasan dalam penelitian ini adalah “Sikap


(13)

Remaja terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak”.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan pembatasan masalah diatas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: “Bagaimanakah sikap remaja terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tahun 2013?”

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah : a. Menjelaskan sikap remaja terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor

23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pada tahun 2012.

b. Mendeskripsikan amanat ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.

2. Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka kegunaan penelitian ini adalah : a. Kegunaan Teoritis

Penelitian mengenai persepsi dan sikap remaja terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 di kelas X SMK Kartikatama I Metro Selatan Kota Metro, secara teoritis memperkaya konsep-konsep dan mengembangkan teori-teori yang berkaitan dengan ilmu pendidikan khususnya pendidikan kewarganegaraan dalam kajian


(14)

pendidikan kewarganegaraan yang berkaitan dengan aspek hukum dan kemasyarakatan.

b. Kegunaan Praktis

1. Menambah pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat dalam meningkatkan kesadaran hukum mengenai tindak pelanggaran hak terhadap anak dan mampu mengusahakan serta menjamin perlindungan anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003.

2. Menambah informasi dan pemahaman kepada anak Indonesia mengenai Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang perlindungan anak, sehingga anak mengetahui dengan jelas mengenai hak yang dimilikinya dan usaha perlindungannya, dengan demikian anak dapat diharapkan mampu menjadi individu yang berpikir kritis dan rasional dalam menghadapi kasus pelanggaran hak terhadap anak.

3. Sebagai suplemen bahan ajar Pendidikan Kewarganegaraan untuk siswa SMK/SMA/MA kelas X semester ganjil pada pokok bahasan upaya pemajuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.

F. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang Lingkup Ilmu

Ilmu penelitian ini adalah ilmu pendidikan, khususnya pendidikan kewarganegaraan dalam kajian Pendidikan Kewarganegaraan dengan


(15)

kontribusi untuk membentuk warga negara yang sadar hukum, memiliki pengetahuan, keterampilan dan watak atau karakter warganegara yang mampu berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif sehingga dapat secara aktif dan bertanggung jawab dalam bertindak dilingkungan keluarga, sekolah, maupun di lingkungan masyarakat.

2. Ruang Lingkup Subyek

Subyek dalam penelitian ini adalah siswa dan siswi kelas X SMK Kartikatama 1 Metro Selatan Kota Metro tahun pelajaran 2012/2013.

3. Ruang Lingkup Objek

Objek dalam penelitian ini adalah sikap remaja terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak tahun 2013.

4. Ruang Lingkup Wilayah

Ruang lingkup wilayah penelitian ini adalah SMK Kartikatama 1 Metro Selatan Kota Metro.

5. Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini dilaksanakan sesuai dengan surat izin penelitian pendahuluan yang dikeluarkan oleh Dekanat Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung nomor 367/UN26/3/PL/2013 yang ditujukan pada SMK Kartikatama I Metro Selatan Kota Metro tanggal 11 Januari 2013 dan surat izin penelitian pendahuluan nomor


(16)

490/UN26/3/PL/2013 yang ditujukan pada Kepolisian Resort Kota Metro tanggal 15 Januari 2013.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 adalah suatu ketentuan dan peraturan negara di Indonesia yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 yang mengatur secara tertulis, konkret, dan terperinci mengenai usaha perlindungan anak. Keberlakuan undang-undang ini adalah mengikat bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ini disahkan oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Badan Eksekutif bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 22 Oktober 2002.

Pengesahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ini didasarkan atas pertimbangan bahwa, anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai seorang manusia yang utuh, maka dari itu sebagai negara yang menjamin dan melindungi kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan bagian


(18)

dari hak asasi manusia, Pemerintah Indonesia berusaha mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak dengan mengesahkan peraturan perundang-undangan untuk menjamin pelaksanaan perlindungan tersebut. Harapannya, anak yang akan menjadi tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, serta memiliki peran strategis untuk menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan dapat diberikan perlindungan untuk memikul tanggung jawab tersebut dengan menjamin adanya kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, serta bebas dari perlakuan diskriminasi.

Menurut Titik Triwulan Tutik (2008:54) salah satu tujuan disahkannya suatu undang-undang adalah “untuk mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam UUD 1945 maupun ketetapan MPR”. Maka dari itu tujuan disahkannya UU No. 23 Tahun 2002 adalah untuk mengatur dan melengkapi pengaturan mengenai HAM khususnya mengenai perlindungan hak anak yang ada dalam UUD 1945 Bab XA, khususnya pasal 28B ayat (2) yaitu, “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” dan pasal 34 UUD 1945 dalam Bab XIV mengenai perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial :


(19)

Ayat (1) :

Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Ayat (2) :

Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Ayat (3) :

Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan.

Ayat (4) :

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan kedua pasal tersebut, maka Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menyebutkan lebih terperinci tujuan adanya undang-undang ini adalah mengadakan perlindungan anak yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Selain Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1), (2), (3), (4) UUD 1945, landasan yuridis lainnya yang ikut melandasi disahkannya undang-undang ini adalah :


(20)

1. UU No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak.

2. UU No. 7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

3. UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak. 4. UU No. 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat.

5. UU No. 20 Tahun 1999 tentang pengesahan Konvensi ILO mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.

6. UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia bagian kesepuluh mengenai hak anak pasal 52-66.

7. UU No. 1 Tahun 2000 tentang pengesahan konvensi ILO No. 182 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Diharapkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 mampu memberikan jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak dan mampu membawa Bangsa Indonesia untuk memiliki kepedulian terhadap usaha pemenuhan hak-hak anak sehingga kasus pelanggaran terhadap hak anak di Indonesia mampu dicegah.

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 yang terdiri dari 14 Bab dan 93 Pasal ini adalah:

1. Bab I Pasal 1 mengenai ketentuan umum dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

2. Bab II Pasal 2 dan Pasal 3 mengenai asas dan tujuan penyelenggaraan perlindungan anak.


(21)

3. Bab III Pasal 4 - Pasal 19 mengenai hak dan kewajiban anak. 4. Bab IV Pasal 20 – Pasal 26 mengenai kewajiban dan tanggung

jawab orang tua, masyarakat, dan pemerintah dalam usaha melindungi anak.

5. Bab V Pasal 27 – Pasal 29 mengenai kedudukan anak. 6. Bab VI Pasal 30 – 32 mengenai kuasa asuh bagi anak. 7. Bab VII Pasal 33 – Pasal 36 mengenai perwalian anak.

8. Bab VIII Pasal 37 – Pasal 41 mengenai pengasuhan dan pengangkatan anak.

9. Bab IX Pasal 42 – Pasal 71 mengenai penyelenggaraan perlindungan bagi anak.

10.Bab X Pasal 72 – Pasal 73 mengenai peran masyarakat dalam upaya perlindungan anak.

11.Pasal XI Pasal 74 – 76 mengenai peran Komisi Perlindungan Anak (KPA) sebagai pihak independen dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

12.Bab XII Pasal 77- 90 mengenai ketentuan pidana bagi pelaku pelanggaran terhadap anak.

13.Bab XIII Pasal 91 mengenai ketentuan peralihan mengenai penetapan pemberlakuan semua peraturan perundang-undang yang berkaitan dengan undang-undang ini.


(22)

b. Anak

Secara umum yang dimaksud anak adalah sesuatu yang baru tumbuh dan belum mencapai usia tertentu, dimana masih memerlukan perlindungan serta pembinaan dari orang yang telah dewasa. Secara khusus pengertian mengenai anak berbeda disetiap peraturan perundang-undang yang ada di Indonesia, hal ini didasarkan pada kedudukan anak sebagai subyek dalam hukum itu.

Maulana Hassan Wadong (2000:17) menjelaskan pengertian anak dalam beberapa segi pandang yaitu menurut UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yaitu : 1. Menurut UUD 1945 khususnya Pasal 34

Anak adalah subjek hukum dari sistem hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara, dan dibina untuk mencapai kesejahteraan yang diusahakan oleh masyarakat dan pemerintah baik secara sosial, yuridis, dan politik.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

Anak adalah seseorang yang harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmaniah, maupun sosial, dan berhak atas pemerliharaan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau mengahambat pertumbuhan dengan wajar.

Berdasarkan kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa anak adalah subjek hukum nasional yang memiliki hak yang harus diperhatikan dan masih memerlukan perlindungan, pemeliharaan, serta pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, maupun pihak terdekat yang mampu menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar untuk mencapai kesejahteraan.


(23)

Secara khusus mengenai batasan usia seorang individu yang dapat dikategorikan sebagai anak dijelaskan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dalam Pasal 1 butir (1) bahwa individu yang dianggap sebagai anak adalah mereka yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu “ anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Penjelasan mengenai batas usia anak ini ditambahkan oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dalam ketentuan umum butir (5) yang menyebutkan bahwa “anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.

Dari kedua penjelasan mengenai batas usia anak diatas dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat dianggap anak apabila :

1. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk yang masih dalam kandungan.

2. Belum menikah, hal ini dikarenakan seseorang yang telah menikah pada usia berapa pun telah dianggap dewasa dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga.


(24)

c. Perlindungan Anak

Menurut Arief Gosita dalam Anggia Maulana Sari (2008:28), “perlindungan anak adalah suatu kegiatan bersama yang bertujuan mengusahakan pengamanan pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya”, sedangkan menurut Maidin Gultom (2010:33), “perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial”. Dari kedua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa perlindungan anak adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang yang telah dewasa untuk melindungi anak dari segala kemungkinan yang mampu mengancam pertumbuhan dan perkembangan untuk mencapai kesejahteraan.

Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menjelaskan lebih terperinci bahwa “perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Maidin Gultom (2010:33) menjelaskan bahwa, satu hal yang perlu diperhatikan didalam mengadakan usaha perlindungan terhadap anak adalah usaha tersebut tidak boleh dilakukan secara berlebihan, artinya


(25)

bahwa usaha tersebut juga harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun perkembangan diri anak itu sendiri, sehingga usaha ini perlu dilaksanakan secara rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien. Maka dari itu, usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreativitas, dan hal-hal lainnya yang dapat menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali, sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemauan menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Lebih lanjut Anggia Maulana Sari (2008:35) menjelaskan bahwa upaya perlindungan anak dapat memperoleh hasil yang maksimal apabila dalam mengadakan usaha tersebut memahami makna perlindungan anak, yaitu:

1. Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi dan situasi yang memungkinkan pelaksananaan hak dan kewajiban secara manusiawi.

2. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian, maka perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan berkeluarga berdasarkan hukum dan perlakuan yang wajar dan adil.

3. Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional, melindungi anak adalah melindungi manusia, uang berarti membangun manusia seutuhnya. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan mencapai pembangunan nasional, akibat tidak adanya perlindungan anak menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan dan pembangunan nasional.

4. Perlindungan dalam suatu keluarga, masyarakat, bangsa merupakan tolak ukur peradaban.

5. Perlindungan anak mencegah perlakuan salah terhadap anak dan penelantaran anak, meningkatkan perlindungan anak berarti mengembangkan dan meningkatkan kesejahteraan anak.


(26)

Penyelenggaraan perlindungan anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ini dilakukan berdasarkan asas Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) yang meliputi nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, penghargaan terhadap pendapat anak, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Lebih lanjut mengenai prinsip dasar dalam Konvensi Hak-Hak Anak dijelaskan oleh Darwin Prinst (2003:144) yaitu :

a. Nondiskriminasi

Adalah suatu perbuatan tidak membenarkan adanya pembatasan pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau pun tidak langsung yang didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Didalam Konvensi Hak Anak, penjelasan mengenai usaha untuk mencegah adanya diskriminasi terhadap anak ini terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu :

“Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam konvensi yang sekarang dari setiap anak


(27)

dalam juridiksi mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun tanpa dipandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik dan pendapat-pendapat lain, kebangsaan, asal etnik atau sosial, kekayaan, ketidakmampuan, kelahiran atau kedudukan lain dari anak atau orang tua anak atau pengasuhnya yang sah”.

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak

Hal ini menegaskan bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut mengenai anak yang akan dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat, badan legislatif, maupun yudikatif, harus mengedepankan kepentingan anak terlebih dahulu. Prinsip dasar ini didalam Konvensi Hak Anak terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu :

“Dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, pengadilan, penguasa-penguasa pemerintahan atau badan-badan legislatif, kepentingan terbaik dari anak-anak harus menjadi pertimbangan utama”.

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan.

Ketiga hak ini adalah hak yang paling asasi yang dimiliki oleh anak, untuk itulah ketiga hak ini harus menjadi diperhatikan dan dilindungi oleh negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua.


(28)

Prinsip dasar yang ketiga ini terdapat dalam Konvensi Hak Anak Pasal 6 ayat (1) dan (2) yaitu :

Ayat (1) :

“Negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang ,elekat atas kehidupan”.

Ayat (2) :

“Negara-negara peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan pengembangan anak”.

d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Prinsip dasar yang keempat ini didasarkan bahwa memberikan penghargaan terhadap pendapat anak ini adalah suatu langkah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Prinsip ini didalam Konvensi Hak Anak terdapat dalam Pasal 12 ayat (1) yaitu :

“Negara-negara peserta akan menjamin hak anak yang berkemampuan untuk menyatakan secara bebas pandangannya sendiri mengenai semua hal yang menyangkut anak itu, dengan diberikannya bobot yang layak pada pandangan-pandangan anak yang mempunyai nilai sesuai dengan usia dan kematangan dari anak yang bersangkutan”.


(29)

Penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 meliputi empat bidang, yaitu agama, kesehatan, pendidikan, dan sosial,

a. Agama

Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam bidang agama sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 42 – Pasal 43 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 meliputi:

1. Perlindungan dan jaminan yang diberikan oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial kepada anak untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya.

2. Pemberian kebebasan kepada anak untuk memilih agama yang ia yakini pada saat ia telah mampu untuk menentukan pilihannya dan berhak memeluk agama yang orang tuanya yakini sebelum ia mampu untuk menentukan pilihannya. 3. Pemberian hak anak dalam beragama dengan mengadakan

usaha pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.

b. Kesehatan

Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam bidang kesehatan sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 44 – Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 meliputi:

1. Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan yang komprehensif oleh pemerintah dengan dukungan


(30)

masyarakat bagi anak sejak dalam kandungan meliputi, upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan, dan diberikan secara cuma-cuma bagi anak yang berasal dari keluarga yang tidak mampu.

2. Memberikan amanat kepada orang tua dan keluarga untuk bertanggung jawab didalam menjaga kesehatan anak dan mengadakan perawatan sejak dalam kandungan yang pelaksanaannya dapat dibantu pemerintah apabila orang tua atau keluarganya tidak mampu untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut.

3. Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua, mengadakan usaha bersama dalam mengusahakan agar anak :

a. Lahir dengan selamat dan terhindar dari penyakit yang megancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.

b. Terhindar dari upaya transplantasi, pengambilan, jual/beli, atau menjadi objek penelitian kesehatan pada organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak yang dilakukan secara ilegal untuk orang lain dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak.


(31)

c. Pendidikan

Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam bidang pendidikan sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 48 – Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 meliputi:

1. Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua, mengadakan usaha bersama dalam mengusahakan agar anak :

a. Memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun yang diselenggarakan pemerintah untuk semua anak. b. Memperoleh kesempatan yang sama dan aksesibilitas

dalam pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa bagi anak yang memiliki keunggulan dan penyandang cacat baik secara fisik dan/atau mental.

2. Pengarahan tujuan pendidikan anak untuk:

a. Mengembangkan sikap dan kemauan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi anak yang optimal.

b. Mengembangkan penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan asasi.

c. Mengembangkan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilai sendiri, nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, abak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda dari peradaban sendiri.


(32)

d. Mempersiapkan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab.

e. Mengembangkan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.

3. Pemberian bantuan kepada anak yang dilakukan pemerintah dengan dukungan masyarakat untuk biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.

4. Pemberian perlindungan kepada anak dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah, atau teman-temannya baik di dalam dan di lingkungan sekolah, baik dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

d. Sosial

Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam bidang sosial sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 45 – Pasal 58 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 meliputi:

1. Penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun diluar lembaga, yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga masyarakat, ataupun berbagai pihak yang terkait.


(33)

2. Penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan yang dilakukan kepada anak bertujuan agar anak dapat :

a. Berpartisipasi

b. Bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya.

c. Bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak.

d. Bebas berserikat dan berkumpul.

e. Bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya.

Usaha perlindungan terhadap anak akan menjadi perlindungan khusus apabila perlindungan tersebut diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotoprika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran, sebagaimana yang dijelaskan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.


(34)

d. Kewajiban Dan Tanggung Jawab Orang Tua, Keluarga, Masyarakat Serta Pemerintah Dalam Usaha Perlindungan Anak Konsep perlindungan anak menurut penjelasan sebelumnya adalah Perlindungan anak dilakukan secara terus menerus secara sadar oleh orang tua atau keluarga, masyarakat, dan pemerintahan. Dalam hal ini perlulah dipahami kewajiban dan tanggung jawab mereka dalam melakukan usaha perlindungan anak. Bab VI Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menjelaskan mengenai kewajiban dan tanggung jawab orang tua, masyarakat, dan pemerintahan dalam usaha perlindungan anak, yaitu :

1. Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua (Pasal 26) a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan,

bakat, dan minatnya.

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

d. Keluarga dalam hal ini memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan perlindungan terhadap anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila orang tua anak tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya.

2. Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat (Pasal 25 )

Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.


(35)

3. Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah (Pasal 21-Pasal 24)

a. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.

b. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

c. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.

d. Mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.

e. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.

e. Hak, Kebutuhan, dan Kewajiban Anak 1. Hak Anak

Secara umum hak adalah segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap orang yang telah ada sejak dalam kandungan sampai dan penggunaannya tergantung kepada orang itu sendiri. Hak anak dalam Pasal 1 butir (12) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,


(36)

dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.

Abu Huraerah (2007:33) menjelaskan bahwa perumusan hak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ini dilandaskan pada empat hak dasar yang ada dalam KHA (Konvensi Hak Anak) yaitu :

a. Hak atas kelangsungan hidup yang menyangkut hak atas tingkat hidup yang layak dan pelayanan kesehatan

b. Hak untuk berkembang yang mencakup hak atas pendidikan, informasi, waktu luang, kegiatan seni dan budaya, kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, serta hak anak cacat atas pelayanan, perlakuan dan perlindungan khusus.

c. Hak perlindungan yang mencakup perlindungan atas segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam, dan perlakuan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana.

d. Hak partisipasi yang meliputi kebebasan untuk menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat, serta hak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya.

Hak-hak anak yang dicantumkan didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ini lebih lengkap dan mencakup semua empat hak dasar anak seperti yang dijelaskan sebelumnya, pasal-pasal yang berkaitan dengan hak-hak anak ini adalah Pasal 4 sampai Pasal 12, hak-hak tersebut meliputi :


(37)

a. Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (Pasal 4)

b. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. (Pasal 5)

c. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. (Pasal 6)

d. Hak mengetahui orang tuanya, dibesarkan, diasuh oleh orang tuanya sendiri. (Pasal 7 ayat (1))

e. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 7 ayat (2)) f. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial

sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. (Pasal 8)

g. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan bakatnya. (Pasal 9 ayat (1))


(38)

h. Hak memperoleh pendidikan luar biasa bagi anak yang menyandang cacat dan hak mendapatkan pendidikan khusus bagi anak yang memiliki keunggulan. (Pasal 9 ayat (2))

i. Setiap anak berhak menyetakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. (Pasal 10) j. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,

bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekspresi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkatan kecerdasannya demi pengembangan diri. (Pasal 11)

k. Hak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi anak yang menyandang cacat. (Pasal 12)

2. Kebutuhan Anak

Menurut Abu Huraerah (2007:38), “seperti manusia dewasa lainnya, selain hak mereka dipenuhi, setiap anak juga memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang menuntut untuk dipenuhi juga agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar”.

Hutman dalam Muhidin dalam Abu Huraerah (2007:38) merinci kebutuhan anak sebagai berikut :

a. Kasih sayang orang tua. b. Stabilitas emosional.


(39)

c. Pengertian dan perhatian. d. Pertumbuhan kepribadian. e. Dorongan kreatif.

f. Pembinaan kemampuan intelektual dan ketrampilan dasar. g. Pemeliharaan kesehatan.

h. Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan memadai.

i. Aktivitas rekreasional yang konstruktif dan positif. j. Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan.

Suharto dalam Abu Huraerah (2007:39) menjelaskan bahwa bila pemenuhan kebutuhan ini gagal maka akan berdampak negatif pada pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental, dan sosial anak. anak bukan saja akan mengalami kerentanan fisik akibat gizi dan kualitas kesehatan yang buruk, melainkan juga akan mengalami hambatan mental, lemah daya nalar, bahkan melakuakan perilaku maladaptif, seperti sukar diatur, yang kelak mendorong mereka menjadi manusia yang menjurus pada perilaku tidak normal atau pelaku kriminal.

3. Kewajiban Anak

Secara umum kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab karena adanya hubungan dengan sesama atau dengan negara. Kewajiban anak


(40)

sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 adalah :

a. Menghormati orang tua, wali, dan guru.

b. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman. c. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara.

d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya. e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

f. Kekerasan Terhadap Anak

Kekerasan adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara sengaja yang dapat mengakibatkan kerugian baik secara fisik, mental, maupun sosial. Barker dalam Abu Huraerah (2007:47) menjelaskan bahwa, “kekerasan terhadap anak adalah suatu perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologi, atau finansial, yang dialami oleh anak”.

Pendapat lain yang dikemukakan oleh Richard J. Gelles dalam Abu Huraerah (2007:47), “kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional”.

Pengertian lebih luas mengenai kekerasan terhadap anak ini dikemukakan oleh Barker dalam Abu Huraerah (2007:47) yang menyatakan bahwa

kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak


(41)

terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, pelakunya biasanya dilakukan oleh orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.

Dari tiga pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan disengaja yang dilakukan oleh orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak dan berakibat merugikan anak secara fisik, emosional, maupun finansial.

Suharto dalam Abu Huraerah (2007: 47) membagi kekerasan terhadap anak menjadi empat kelompok, yaitu :

1. Kekerasan anak secara fisik, berupa penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan. Dapat pula luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sudutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada derah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, atau punggung. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti nakal, rewel, memecahkan barang berharga.

2. Kekerasan anak secara psikis, meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak. anak mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladatif,


(42)

seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut keluar rumah dan takut bertemu orang lain.

3. Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa pelkauan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar baik itu melalui kata, sentuhan, atau gambar visual, maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa seperti incest, perkosaan, eksploitasi seksual.

4. Kekerasan anak secara sosial, dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. misalnya, anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga atau masyarakat. Contohnya, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.

Selanjutnya Suharto dalam Abu Huraerah (2007:50) menjelaskan terjadinya kekerasan terhadap anak pada umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari dalam diri anak tersebut maupun


(43)

faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, seperti :

1. Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki tempramen lemah, ketidaktauan anak akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa.

2. Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, dan keluarga tersebut memiliki banyak anak.

3. Keluarga tunggal atau keluarga yang pecah (broken home), misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.

4. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan, anak yang lahir diluar nikah.

5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi.

6. Sejarah penelantaran anak. orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan yang salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya.

7. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, pemukiman kumuh, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap


(44)

nilai anak yang terlalu rendah, lemahnya perangkat hukum, dan tidak adanya mekanisme kontrol sosial yang stabil.

Segala bentuk kekerasan yang terjadi pada anak apapun alasannya tidak dapat dibenarkan karena secara sadar atau tidak, tindakan tersebut pasti berakibat buruk bagi perkembangan dan pertumbuhan anak tersebut. Richard J. Gelles dalam Abu Huraerah (2007:57) menjelaskan efek tindak kekerasan yang terjadi pada anak sebagai berikut :

1. Luka fisik seperti adanya kerusakan fisik secara temporer (memar, goresan-goresan, atau luka bakar), kerusakan otak, cacat permanen, dan kematian.

2. Efek psikologi yang mana efek ini dapat membuat anak trauma seumur hidupnya, seperti anak menjadi rendah diri, ketidakmampuan berhubungan dengan teman sebaya, masa perhatian tereduksi, dan gangguan belajar. untuk beberapa kasus tindakan kekerasan ini dapat mengakibatkan gangguan-gangguan kejiwaan misalnya depresi, kecemasan berlebih, gangguan identitas disosiatif, juga bunuh diri.

g. Kekerasan Terhadap Anak Di Sekolah

Kekerasan terhadap anak di sekolah adalah salah satu tindak kekerasan terhadap anak yang sering terjadi di Indonesia yang sebagian besar dilakukan guru terhadap muridnya, baik secara fisik,


(45)

seksual, maupun psikologis (kekerasan verbal). Abu Huraerah (2007:107) menjelaskan bahwa ,

tindak kekerasan terhadap siswa ini sangat mempengaruhi kondisi psikologis atau emosional siswa, seperti mengalami gangguan kepribadian, kehilangan kepercayaan diri, dihantui rasa takut terhadap guru, menurunnya semangat dan motivasi belajar, dan berkurangnya daya kreativitas, sehingga mempengaruhi turunnya prestasi belajar siswa.

Tindak kekerasan terhadap anak di sekolah adalah salah bentuk tindakan yang bertolak belakang dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak Pasal 54 yang menyatakan bahwa, “anak-anak di dalam lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Pasal 4 ayat (1) yang tegas menyetakan bahwa, “pendidikan diselenggaranakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajenukan bangsa”.

Mulyadi dalam Abu Huraerah (2007:107) menjelaskan, kekerasan di sekolah dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya :

1. Guru yang kurang menghayati pekerjaannya sebagai panggilan profesi, sehingga cenderung kurang memiliki kemampuan


(46)

mendidik dengan benar serta tidak mampu menjalin ikatan emosional yang konstruktif dengan siswa.

2. Guru melakukan kekerasan terhadap siswa dengan alasan untuk membentuk sikap disiplin siswa. Hal yang menjadi perhatian disini adalah guru sering kehilangan kesabaran sehingga melakukan hukuman fisik atau tindakan-tindakan yang tidak terpuji dan melanggar batas etika dan moralitas, seperti memukul, meninju, dan menendang, atau mengeluarkan kata-kata yang tidak mendidik yang dapat mendiskreditkan siswa, misalnya sindiran, guru yang mengatakan bahwa siswa tersebut bodoh, bandel, susah diatur, dan sebagainya.

3. Kurikulum yang terlalu padat dan kurang berpihak kepada siswa. Hal ini mengakibatkan guru cenderung menjalankan tuganya untuk mengejar target kurikulum dan menyebabkan siswa belum secara optimal mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.

Untuk menghindari hal-hal tersebut maka Abu Huraerah (2007:117) menjelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru, yaitu : 1. Tugas guru bukan semata-mata mengajar, melainkan mendidik,

artinya tugas guru bukan hanya sekedar transfer learning terhadap siswanya, tetapi juga bertugas untuk menjadi pembimbing siswa, sehingga nantinya siswa tersebut memiliki budi pekerti yang luhur.


(47)

2. Guru adalah seseorang yang akan selalu menjadi sosok yang digugu dan ditiru, maka dari itu guru hendaknya memiliki citra yang baik dihadapan siswa dan masyarakat, serta dapat menunjukkan bahwa ia layak menjadi panutan.

3. Selalu mengunakan pendekatan cinta dan kasih sayang didalam proses pembelajaran, hal ini bertujuan untuk menjalin hubungan emosional dan sosial secara baik antara guru dan siswa.

4. Dalam proses pembelajaran, guru hendaknya tidak hanya berorientasi pada aspek pengembangan kognisi (pengetahuan) siswa, tetapi juga harus memperhatikan aspek emosional, sosial, dan spiritual siswa, karena aspek kognisi siswa bukanlah satu-satunya yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan belajar siswa. 5. Keterbatasan fasilitas maupun prasarana seharusnya tidak

menghalangi seorang guru untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan, inovatif, dan kreatif.

6. Guru harus memiliki semangat mengajar tinggi, termasuk dalam berinteraksi sosial dengan siswanya.

h. Ketentuan Pidana Terhadap Tindak Kekerasan Terhadap Anak Kekerasan terhadap anak adalah tindakan kriminal yang mengakibatkan ketentuan pidana bagi pelakunya. Ketentuan pidana terhadap tindak kekerasan terhadap anak di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dijelaskan secara khusus pada Bab XII


(48)

Ketentuan Pidana, Pasal 77 sampai dengan Pasal 90 dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Tindakan diskriminasi dan penelantaran anak yang dilakukan secara sengaja dan mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril yang menyebabkan terhambatnya fungsi sosial anak, maka dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000. (Pasal 77).

2. Mengetahui dan membiarkan anak dengan sengaja berhadapan dengan hukum, terisolasi, menjadi minoritas di lingkungannya, terekploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, menjadi korban perdagangan anak, korban penyalahgunaan zat berbahaya (narkotika, alkohol, psikotoprika, dan zat adiktif lainnya (napza)), menjadi korban penculikan, maupun korban kekerasan, diberikan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000. (Pasal 78).

3. Seseorang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan dibawah ini :

a. Pengangkatan anak dilakukan untuk kepentingan terbaik anak dan dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat anak tidak diperkenankan memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.


(49)

c. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000. (Pasal 79).

4. Setiap orang yang diketahui telah melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, penganiayaan terhadap anak, dipidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp.72.000.000. Ketentuan tersebut dapat berubah apabila anak yang menjadi korban dalam tindakan sebagaimana yang dimaksud sebelumnya :

a. Mengalami luka berat, maka pelaku dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000.

b. Mengalami kematian, maka pelaku dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000.

c. Pelaku penganiayaan adalah orang tua kandung anak tersebut, sehingga pidana penjara yang didapat pelaku ditambah sepertiga dari ketentuan sebelumnya.

(Pasal 80 ayat (1), (2),(3), dan (4))

5. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan dan membiarkan adanya tindak kekerasan seksual terhadap anak, seperti memaksa anak melakukan persetubuhan dengan pelaku sendiri atau dengan orang lain, melakukan tipu muslihat, berbohong dan membujuk


(50)

anak melakukan persetubuhan dengan pelaku atau dengan orang lain,, diberikan sanksi pidana penjara paling lama lima belas tahun dan paling sedikit 3 (tiga) tahun, serta denda paling banyak Rp.300.000.000 dan paling sedikit Rp.60.000.000. (Pasal 81 ayat (1) dan (2), serta Pasal 82).

6. Setiap orang yang melakukan perdagangan, penjualan, atau penculikan anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dikenakan sanksi pidana penjara paling lama lima belas tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dengan denda paling banyak Rp.300.000.000 dan paling sedikit Rp.60.000.000. (Pasal 83). 7. Melakukan pengambilan, atau transplantasi organ tubuh dan/atau

jaringan tubuh anak secara ilegal untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain, tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000. (Pasal 84 dan Pasal 85 ayat (2)).

8. Melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak, dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.300.000.000. (Pasal 85 ayat (1))

9. Melakukan dengan sengaja tipu muslihat, kebohongan, atau pembujukan terhadap anak yang belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya, untuk


(51)

memilih agama lain bukan atas kemauan dirinya sendiri, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000. (Pasal 86).

10.Setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum dengan merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer, menyalahgunakan anak dalam kegiatan politik, dan melibatkan anak dalam sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, atau peperangan, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000. (Pasal 87).

11.Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000, dan paling sedikit Rp.50.000.000. (Pasal 89 ayat (1)).

12.Setiap orang yang dengan sengaja, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000, dan paling sedikit Rp.20.000.000. (Pasal 89 ayat (2)).


(52)

13.Ketentuan sanksi pidana dan denda terhadap tindak pelanggaran terhadap anak di atas dapat bertambah sepertiga dari masing-masing pidana penjara dan denda, apabila dilakukan oleh korporasi. (Pasal 90 ayat (1) dan (2)).

2. Sikap

Secara umum sikap atau ettitude adalah suatu bentuki perasaan terhadap sesuatu yang pada akhirnya menentukan perilaku yang akan kita lakukan. Perasaan tersebut dapat berupa suatu perasaan mendukung atau memihak, tidak mendukung, suka, tidak suka, dsb. Munculnya perasaan tersebut tidak dapat terlepas dari adanya stimulus yang menghendaki adanya respon, sehingga kadangkala sikap menjadi suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dari situasi sosial yang telah terkndisikan, dalam hal ini individu tersebut memahami, merasakan dan akhirnya mampu menentukan perilaku terhadap objek dilingkungan sekitarnya.

Sikap dapat lebih dipahami melalui beberapa pengertian sikap yang dijelaskan oleh para ahli, Allport dalam Djaali (2008:114) menjelaskan, “sikap merupakan sesuatu kesiapan mental dan saraf yang tersusun melalui pengalaman respon individu terhadap semua objek atau situasi yang berhubungan dengan objek itu”. Sedangkan Bruno dalam Muhibbin Syah (2003:123) mengatakan “sikap merupakan kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau objek tertentu”. Dari kedua penjelasan tersebut, kita dapat


(53)

melihat bahwa suatu sikap merupakan suatu kecenderungan yang muncul dari adanya stimulus yang akhirnya menimbulkan respon terhadap objek tertentu yang dipengaruhioleh pengalaman respon individu terhadap semua objek atau situasi yang berhubungan dengan objek itu dan kecenderungan ini relatif menetap atau stabil.

Hal ini sama dengan penjelasan mengenai sikap yang dikemukakan oleh Chaplin dalam Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2008:141),

sikap adalah predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk bertingkah laku atau bereaksi dengan cara tertentu terhadap orang lain, objek, lembaga, atau persoalan tertentu. Dilihat dari sudut pandang yang berbeda, sikap merupakan kecenderungan untuk bereaksi terhadap orang, lembaga, atau peristiwa, baik secara positif maupun negatif .

Pendapat yang ketiga ini juga didukung oleh pendapat dari La Piere dalam Azwar (2003:130), ia mengemukakan, “sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial atau secara sederhana sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan“.

Dari keempat pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu kecenderungan atau predisposisi yang berlangsung terus menerus terhadap suatu objek yang akhirnya menimbulkan pola perilaku sebagai suatu usaha untuk menyesuaikan diri pada stimuli sosial yang telah terkondisikan.


(54)

Travers, Gagne, dan Cronbach dalam Abu Ahmadi (2007:151) sependapat bahwa sikap memiliki tiga komponen yang saling berhubungan, ketiga komponen tersebut adalah :

a. Komponen kognitif berupa pengetahuan, kepercayaan atau pikiran yang didasarkan pada informasi yang berhubungan dengan objek. b. Komponen afektif yang menunjuk pada dimensi emosional dari

sikap, yaitu emosi yang berhubungan dengan objek. Objek disini dirasakan sebagai objek yang menyenangkan atau tidak.

c. Komponen konatif yang melibatkan salah satu predisposisi untuk bertindak terhadap objek.

Dikarenakan sikap timbul karena adanya stimulus, maka suatu sikap dapat terbentuk, berkembang, atau berubah, tergantung dari stimulus yang ada pada lingkungan sosial dan kebudayaan, misalnya, keluarga, norma, golongan agama, dan adat istiadat. Faktor-faktor yang menyebabkan pembentukan dan perubahan sikap adalah :

a. Pengalaman pribadi

Faktor ini dijadikan dasar dalam pembentukan atau perubahan sikap tersebut. Pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat, karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk atau berubah apabila pengalaman pribadi tersebut melibatkan faktor emosional. dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas.


(55)

b. Kebudayaan

Menekankan pengaruh lingkungan termasuk kebudayaan dalam membentuk ataupun merubah kepribadian seseorang. Kepribadian tidak lain dari pola perilaku yang konsisten yang menggamarkan penguatan atau ganjaran yang dimiliki.

c. Orang lain yang dianggap penting

Orang-orang yang kita harapkan persetujuannya bagi setia gerak tingkah laku dan opini kita, orang yang tidak ingin dikecewakan, dan yang berarti khusus, misalnya, orang tua, teman, guru, dsb., umumnya individu tersebut akan memiliki sikap yang searah dengan orang yang dianggap penting.

d. Media masa

Media masa berupa media cetak dan elektronik dalam penyampaian pesan, media masa tersebut membawa pesan-pesan sugesti yang dapat mempengaruhi opini kita. jika kesan sugestif yang disampaikan cukup kuat, maka akan memberi dasar afektif dalam menilai sesatu hal hingga mampu membentuk atau merubah sikap tertentu.

e. Institusi/ Lembaga Pendidikan dan Agama

Institusi yang berfungsi meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman baik dan buruk, salah atau benar, yang menentukan sistem kepercayaan seseorang hingga ikut berperan dalam menentukan sikap seseorang.


(56)

f. Faktor emosional

Suatu sikap yang dilandasi oleh emosi yang berfungsi sebagai penyalur frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego dapat bersifat sementara ataupun menetap, karena sifatnya inilah emosi mampu membentuk maupun merubah sikap seseorang.

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Sikap seseorang tidak dibawa sejak lahir, tetapi harus dipelajari sepanjang hidupnya, karena itulah sikap selalu berubah-ubah dan dapat dipelajari, atau sebaliknya, nahwa sikap itu dapat dipelajari apabila ada syarat-syarat tertentu yang mempermudah berubahnya sikap pada orang itu. Dikarenakan sikap dipelajari maka sikap memiliki sifat yang menetap.

b. Sikap itu tidak semata-mata berdiri sendiri, melainkan selalu berhubungan dengan suatu objek. Pada umumnya sikap tidak berkenaan dengan satu objek saja, melainkan juga dapat berkenaan dengan deretan-deretan objek-objek yang serupa.

c. Sikap pada umumnya mempunyai segi-segi motivasi dan emosi.

Sikap yang melekat dalam diri seseorang memiliki fungsi didalam kehidupan orang tersebut, Katz dalam Bimo Walgito (2003:121) menjelaskan bahwa fungsi sikap adalah :


(57)

a. Fungsi instrumental atau penyesuaian/manfaat.

Fungsi ini berkaitan dengan sarana-tujuan. Sikap merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Orang selalu memandang sejauh mana objek sikap dapat digunakan sebagai sarana atau alat dalam rangka pencapaian tujuan.

b. Fungsi pertahanan ego.

Merupakan sikap yang diambil oleh seseorang untuk mempertahankan egonya. Sikap ini diambil pleh seseorang pada waktu orang yang bersangkutan terancam keadaan dirinya.

c. Fungsi ekspresi nilai.

Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai yang ada dalam dirinya. Dengan mengekpresikan diri, seseorang akan mendapatkan kepuasan dengan menunjukkan keadaan dirinya.

d. Fungsi pengetahuan.

Individunya mempunyai dorongan ingin dimengerti dengan pengalaman-pengalamannya untuk memperoleh pengetahuan. Elemen-elemen dari pengalamannya yang tidak konsisten dengan yang diketahui oleh individu akan disusunkembali atau diubah sedemikian rupa sehingga menjadi konsisten.

3. Remaja

Secara umum masa remaja adalah suatu masa peralihan dari masa kanak-kanak kemasa dewasa. Kematangan yang dialami seseorang didalam masa ini mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik, namu perlu


(58)

diperhatikan disini adalah remaja disini seringkali belum menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya dikarenakan dalam fase ini, remaja memasuki masa pencarian jati diri.

Para ahli secara mendalam menjelaskan masa remaja dilihat dari sisi perkembangannya, menurut Sri Rumini dan Siti Sundari (2004:53), “masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspel atau fungsi untuk memasuki masa dewasa”. Pendapat ini didukung oleh Samsunuwiyati Mar’at dalam Desmita (2007 : 190), “remaja adalah suatu tahap perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan, baik itu perubahan fisik secara umum dan disertai perkembangan kognitif dan sosial”.

Pndapat lain dari Salzman dalam Syamsu Yusuf (2006:184) menjelaskan bahwa, “remaja adalah suatu masa perkembangan yang merubah sikap ketergantungan (dependence) terhadap orang tua kearah kemandirian (independence), meningkatnya minat-minat seksual, memasuki masa perenungan diri, dan memiliki perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral yang tengah terjadi disektarnya”.

Pendapat keempat dari Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh (2005:124) menjelaskan bahwa, “remaja adalah seorang individu yang mulai aktif mencapai kegiatan dalam rangka menemukan dirinya, mencari pedoman hidup untuk bekal kehidupan mendatang”.


(1)

115

telah memahami ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dengan baik.

3. Indiktor konasi atau kecenderungan bertindak dapat dikategorikan mendukung dengan perolehan data 60 responden (63,2%) dari 95 responden, kecenderungan remaja untuk bertindak mendukung terhadap ketentuan hukum dan perlindungan tentang anak yang dijamin oleh Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa para responen telah mengetahui dan memahami ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dengan baik.

Walaupun demikian, sikap remaja terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 harus tetap menjadi perhatian oleh Pemerintah, orang tua, dan masyarakat agar pelaksanaan amanat undang-undang ini dapat berjalan maksimal dan tindak kekerasan terhadap anak dapat diminimalisir dimasa mendatang.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan, maka peneliti mengajukan saran sebagai berikut:

1. Kepada remaja agar dapat memiliki kesadaran yang tinggi terhadap pemenuhan hak mereka yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dan Konvensi Hak Anak, sehingga tindak pelanggaran terhadap anak dapat dicegah oleh objek hukum undang-undang tersebut, maka remaja dapat membaca dan mencari informasi dari berbagai sumber baik secara cetak maupun


(2)

116

elektronik mengenai Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

2. Kepada orang tua agar dapat secara maksimal melaksanakan kewajibannya untuk melakukan usaha perlindungan kepada anak dengan memenuhi kebutuhan dan hak anak sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dan Konvensi Hak Anak, maka orang tua dapat memberikan perhatiannya untuk membaca dan mencari informasi dari berbagai sumber baik secara cetak maupun elektronik mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dan mengenai berbagai usaha perlindungan anak.

3. Kepada pihak sekolah dapat bekerjasama dengan pihak yang berwenang salah satunya kepada kepolisian untuk mengadakan sosialisasi mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, selain itu guru disetiap proses pembelajaran dapat mengaplikasikan prinsip-prinsip perlindungan kepada anak sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dengan cara tidak melakukan diskriminasi terhadap siswa karena perbedaan kemampuan didalam proses pembelajaran, tidak memberikan hukuman yang melebihi batas kemampuan anak untuk melaksanakannya tanpa melakukan tindak kekerasan baik secara fisik maupun psikologis dan guru sebagai orang tua kedua siswa, mampu memberikan teladan yang baik bagi siswanya.


(3)

117

4. Kepada Pemerintah melalui pihak yang bewenang misalnya kepolisian dapat mengadakan sosialisasi mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak untuk mengenalkan undang-undang tersebut dan membentuk pribadi remaja yang sadar mengenai hukum.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. 2013. Waspadalah, Tren Kekerasan Seksual Pada Anak Meningkat.http://nasional.kompas.com/read/2013/03/15/02540245?wapadalah-tren-kekerasan-seksual-pada-anak-meningkat. Diakses pada 21 Maret 2013 pukul 07.00.

Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial. Rineka Cipta: Jakarta. 307 Hal.

Ali, Mohammad, Mohammad Asrori. 2008. Psikologi Remaja. Bumi Aksara: Jakarta. Andi. 2013. Pukul Murid Pakai Penggaris, Guru SD Dihukum 6 Bulan Penjara.

http://andi-newsonline.blogspot.com/2013/01/pikul-murid-pakai-penggaris-guru-sd.html?m=1. Diakses pada 20 Maret 2013 pukul 08.00

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. PT. Rineka Cipta : Yogyakarta. 411 Hal.

Azwar, Saifudin. 2010. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Djaali. 2008. Psikologi Pendidikan.Bumi Aksara : Jakarta.

Faisal, Sanapiah. 2003. Format-FormatPenelitian Sosial. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.

Gultom, Maidin. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. PT Refika Aditama: Bandung.

Hadi, Sutrisno. 1992. Metode Research II. Yayasan Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta. 425 Hal.


(5)

Huraerah, Abu. 2007. Child Abuse (Kekerasan terhadap Anak).Penerbit Nuansa: Bandung.

Indra. 2011. Catatan Komnas Anak 2011 : Negara Gagal Lindungi dan Penuhi Hak. http://monitoringindonesia.com/. Diakses pada 21 Januari 2013 pukul 11.00. Kusuma, Anggi. 2013. Komnas PA: Kasus Kekerasan Anak Naik 130 Persen.

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/379793-komnas-pa--kasus-kekerasan-anak-naik-130-persen. Diakses pada 12 Januari 2013 pukul 10.11.

Konvensi Hak Anak Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3 Ayat (1), Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 12.

La Mema. 2013. Tanggap Darurat Kekerasan Seksual Anak. http://m.kompasiana.com/2013/02/05/tanggap-darurat-kekerasan-seksual-anak/. Diakses pada 12 Maret 2013 pukul 10.00.

Nasrul. 2012. Konsep Validitas dan Reliabilitas.

http://statistikceria.blogspot.com/2012/01/konsep-validitas-dan-reliabilitas.html?m=1. Diakses pada 12 Maret 2013 pukul 08.22

Natalia, Gloria. 2013. Kekerasan Seksual Pada Anak Tahun 2012 Naik 30%. http://www.kabar24.com/index.php/kekerasaan-seksual-pada-anak-tahun-2012-naik-30/. Diakses pada 12 Januari 2013 pukul 10.25.

Prinst, Darwin. 2003. Hukum Anak Indonesia. PT Citra Aditya: Bandung.

Riduwan. 2010. Metode dan Teknik Menyusun Tesis.Alfabeta : Bandung. 376 Hal. Russefendi. 1994. Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta

Lainnya. IKIP Semarang Pers: Semarang

Sari, Anggia Maulania. 2008. Skripsi : Kelompok Rentan Anak dari Tindakan Kekerasan Dihubungkan Dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2002. Universitas Islam Bandung : Bandung.

Sarwono, Sarlito. 2007. Psikologi Remaja. Rajawali Pers: Jakarta. 321 Hal.

Sekertariat Negara. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B Ayat (2), Pasal 34 Ayat. Sekertariat Negara. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi


(6)

Sekertariat Negara. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta : Bandung. 456 Hal.

Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Tutik, Titik Triwulan. 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UU 1945. Cerdas Pustaka : Surabaya. 441 Hal.

Wadong, Maulana Hassan. 2000. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Grasindo : Jakarta.

Walgito, Bimo. 2003. Pengantar Psikologi Umum. Togyakarta : Penerbit Andi. Winarno, Hey. 2012. Anak SD di Samarinda Diculik dan Diperkosa.

http://www.merdeka.com/peristiwa/anak-sd-di-samarinda-diculik-dan-diperkosa.html. Diakses pada 20 Februari 2013 pukul 03.00.

Yusuf, Syamsu. 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. PT Remaja Rosdakarya : Bandung.

. 2012. Pembunuh Alawy ternyata Anak Boken Home. http://jakarta.okezone.com/read/2012/09/27/500/695965/pembunuh-alawy-ternyata-anak-broken-home. Diakses pada 20 Februari 2013 pukul 03.00. .2011. Catatan Akhir Tahun 2011 Komisi Nasional Perlindungan Anak.

http://komnaspa.wordpress.com/2011/12/21/catatan-akhir-tahun-2011-komisi-nasional-perlindungan-anak/. Diakses pada 12 Januari 2013 pukul 10.05.


Dokumen yang terkait

Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

1 17 86

Tinjauan tentang pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan pencabulan menurut undang undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

0 7 62

SINKRONISASI HAK-HAK ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1979 TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 0 16

Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

0 0 27

PENJELASANATAS UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 18

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PENGGUNA NARKOTIKA DIHUNBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK | Hermana | Jurnal Ilmiah Ga

0 0 16

Cover SINKRONISASI PERATURAN DAERAH DI KOTA PELAMBANG TERHADAP UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 1

Pages from SINKRONISASI PERATURAN DAERAH DI KOTA PELAMBANG TERHADAP UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 72

ADVOKASI BP3AKB TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK JO UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 12

ADVOKASI BP3AKB TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK JO UNDANGUNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK - Uni

0 0 47