IMPLEMENTASI PROGRAM KELUARGA BERENCANA BAGI PRIA DI KOTA BANDAR LAMPUNG (ANALISIS PERATURAN KEPALA BKKBN NOMOR 145/HK.010/B5/2009 TENTANG PENINGKATAN PARTISIPASI PRIA)

(1)

IMPLEMENTASI PROGRAM KELUARGA BERENCANA BAGI PRIA DI KOTA BANDAR LAMPUNG (ANALISIS PERATURAN KEPALA

BKKBN NOMOR 145/HK.010/B5/2009 TENTANG PENINGKATAN PARTISIPASI PRIA)

(Skripsi)

Oleh:

ALISA RIZKY MEISYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(2)

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF FAMILY PLANNING PROGRAM FOR MEN IN BANDAR LAMPUNG ( AN ANALYSIS OF BKKBN REGULATION NUMBER 145/HK.010/B5/2009 ON INCREASING MEN’S PARTICIPATION)

Men’s participation in family planning program is needed because it is able to increase quality service of family planning and health reproduction and also as a form of gender equality. Men’s family planning especially MOP is a contraception method for men which is save, simple and has positive influence to decrease total fertility range.

Bandar Lampung is one of the cities that applies the National Family Planning Program. Recently family planning services in Bandar Lampung city still impressed gender bias because focus only on women , even though actually the government has sought to increase men’s participation in family planning practice.

This study focuses on the problems of program implementation increase men’s participation in family planning practices in Bandar Lampung city. In uncovering this problem, researchers used the theory of public policy implementation from Van Meter Van Horn. This research is a descriptive study with a qualitative approach . The study found the implementation of increase men’s participation program is not maximize because one of main substance from this program that is men’s family planning service in office not avail. It is also found several obstacles in program’s implementation. It is divided into internal and external resistance barriers. Internal barriers among which the resources and limited funding sources as well as the rejection of some field officers to run the program. After that, the external barriers originating from the social environment, religion, economics and culture .So that improvement and more intensive socialization is needed to encourage more people who know about the birth of men and want to participate in this program as well as the factors inhibiting the implementation increase male participation in family planning practices can be minimized .


(3)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI PROGRAM KELUARGA BERENCANA BAGI PRIA DI KOTA BANDAR LAMPUNG (ANALISIS PERATURAN KEPALA BKKBN NOMOR

145/HK.010/B5/2009 TENTANG PENINGKATAN PARTISIPASI PRIA)

Partisipasi pria dalam program KB sangat diperlukan karena mampu mendorong peningkatan kualitas pelayanan KB dan KR serta peningkatan kesetaraan dan keadilan gender. Selain itu, KB pria khususnya MOP merupakan suatu metode kontrasepsi pada pria yang sangat aman, sederhana dan berpengaruh positif dalam mempercepat penurunan angka kelahiran total.

Kota Bandar Lampung merupakan salah satu kota yang tidak luput dari sasaran program KB Nasional. Selama ini pelayanan KB di Kota Bandar Lampung masih terkesan bias gender karena terfokus kepada wanita, meskipun Pemerintah telah berupaya meningkatkan partisipasi pria dalam praktik KB.

Penelitian ini menitik beratkan pada permasalah implementasi program peningkatan partisipasi pria dalam praktik KB di Kota Bandar Lampung. Dalam mengungkap permasalahan ini, peneliti menggunakan teori implementasi kebijakan publik milik Van Meter Van Horn. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Dalam penelitian ditemukan bahwa implementasi program peningkatan partisipasi pria dalam praktik KB belum berjalan maksimal karena salah satu substansi pokok dari program ini, yaitu pelayanan KB pria di tempat kerja belum tersedia. Selain itu masih ditemui beberapa hambatan dalam pelaksanaan program yang terbagi menjadi hambatan internal dan hambatan eksternal. Hambatan internal diantaranya yaitu sumber daya dan sumber dana yang terbatas serta adanya penolakan dari beberapa PLKB untuk menjalankan program. Selain itu juga ditemukan hambatan eksternal yang berasal dari lingkungan sosial, agama, ekonomi dan budaya masyarakat.Untuk itu perlu adanya perbaikan dan sosialisasi yang lebih luas lagi agar semakin banyak masyarakat yang mengetahui tentang KB pria dan mau mengikuti program ini serta faktor penghambat pelaksanaan peningkatan partisipasi pria dalam praktik KB dapat diminimalisir.


(4)

IMPLEMENTASI PROGRAM KELUARGA BERENCANA BAGI PRIA DI KOTA BANDAR LAMPUNG (ANALISIS PERATURAN KEPALA

BKKBN NOMOR 145/HK.010/B5/2009 TENTANG PENINGKATAN PARTISIPASI PRIA)

Oleh:

Alisa Rizky Meisya

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA ADMINISTRASI NEGARA

Pada

Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Lampung

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

DAFTAR BAGAN

Halaman Bagan 2.1 Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn 25 Bagan 2.2 Kerangka Pikir ... 44 Bagan 3.1 Analisis Data Model Interaktif ... 55 Bagan 4.1 Struktur Organisasi BKKBPP Kota Bandar Lampung ... 67 Bagan 5.1 Model Komunikasi antar Pelaksana Program Peningkatan Partisipasi Pria dalam Praktik KB ... 97


(6)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 5.1 Buku Panduan Pelaksana Program ... 72

Gambar 5.2 PLKB saat Melayani Calon Peserta KB ... 84

Gambar 5.3 Beberapa Tempat Pelayanan KB di Kota Bandar Lampung 87 Gambar 5.4 Fatwa MUI tentang MOP ... 90

Gambar 5.5 Sosialisasi KB di Kecamatan Kedaton dan Panjang ... 93

Gambar 5.6 Banner Sosialisasi KB dan KB Pria ... 94


(7)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Kota Bandar Lampung Tahun 2009-2012 5 Tabel 1.2 Peserta KB Aktif Kota Bandar Lampung sampai dengan

Bulan Juni 2014 ... 6

Tabel 1.3 Pencapaian Peserta KB Aktif Pria Kota Bandar Lampung sampai dengan Bulan Juni 2014 ... 7

Tabel 3.1 Daftar Informan yang Berkaitan dengan Penelitian ... 50

Tabel 3.2 Daftar Dokumen yang Berkaitan dengan Penelitian ... 51

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Kedaton Tahun 2013 ... 61

Tabel 4.2 Jumlah PUS di Kecamatan Kedaton Tahun 2010-2013 ... 61

Tabel 4.3 Jumlah Kepala Keluarga menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan Kedaton Tahun 2013 ... 62

Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Kecamatan Panjang Tahun 2013 ... 63

Tabel 4.5 Jumlah PUS di Kecamatan Panjang Tahun 2010-2013 ... 63

Tabel 4.6 Jumlah Kepala Keluarga menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan Panjang Tahun 2013 ... 64

Tabel 4.7 Tingkat Pekerjaan Utama Masyarakat Panjang Tahun 2013 .. 64

Tabel 5.1 Tenaga PLKB di Kecamatan Panjang Beserta Wilayah Binaan 78

Tabel 5.2 Tenaga PLKB di Kecamatan Kedaton Beserta Wilayah Binaan 79 Tabel 5.3 Tempat Pelayanan KB Pria di Kecamatan Kedaton dan Panjang 86


(8)

MOTO

Tidak banyak hal di dunia ini yang lebih bermakna dari pada

sebuah dorongan positif, senyuman, sebuah kata optimis

serta harapan.

-Richard M. Devos-

Janganlah membuatmu putus asa dalam mengulang-ulang doa

ketika Allah menunda ijabah doa itu. Dialah yang menjamin

ijabah doa itu menurut pilihanNya padamu, bukan menurut

pilihan seleramu. Kelak pada waktu yang dikehendakiNya,

bukan menurut waktu yang engkau kehendaki.

-Ibnu Atha’ilah-

Hidup Berakal Mati Beriman

-Alisa Rizky Meisya-

To get a success, your courage must be greater than your

fear


(9)

(10)

(11)

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Alisa Rizky Meisya, lahir di Jakarta pada tanggal 11 Mei 1993. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Muhammad Pangeran dan Ibu Trisia Madona. Penulis merasa sangat beruntung dan bersyukur karena memiliki orang tua yang hebat serta keluarga yang harmonis. Berkat doa, dukungan dan semangat dari orang tua dan keluarga besar maka penulis bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Hal inilah yang mendasari penulis untuk selalu berbakti kepada kedua orang tua dan mengutamakan keluarga.

Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-Kanak Bina Insani Jakarta pada tahun 1998-1999. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SDN Rawalumbu Jakarta pada tahun 1999-2002 dan pindah ke SDN 3 Surabaya Bandar Lampung pada tahun 2002-2005 . Kemudian, pada tahun 2005-2008 penulis melanjutkan sekolah di SMPN 8 Bandar Lampung. Selanjutnya pada tahun 2008-2011 penulis melanjutkan sekolah di SMAN 5 Bandar Lampung. Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa pada jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik melalui jalur SNMPTN.


(13)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan Syukur kepada Allah SWT

Ku Persembahkan Karya Kecil ini untuk yang

menyayangiku

:

Mama dan Papaku tercinta

Manusia yang selalu menjadi sumber inspirasi didalam kehidupanku Terima kasih atas segala cinta, pengorbanan, kesabaran, keikhlasan,

dan do’a dalam menanti keberhasilanku

Adikku tersayang

Saudara sekaligus sahabat terbaik

Terimakasih telah menjadi teman untuk bertukar pikiran, berbagi cerita dan selalu memotivasiku untuk sukses

Keluarga besar yang senantiasa mendukungku selama ini

Terima Kasih atas semua dukungan yang telah diberikan

Sahabat Yang Selalu Memberi Warna dalam Hidupku

Terimakasih atas bantuan dan dukungannya selama ini


(14)

SANWACANA

Alhamdulillahirrabil’alamin segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Tak lupa shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, manusia yang telah membawa perubahan besar bagi kehidupan manusia hingga akhir zaman. Atas segala kehendak dan kuasa Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “Implementasi Program Keluarga Berencana Pria di Kota Bandar Lampung (Analisis Peraturan Kepala BKKBN NOMOR 145/HK.010/B5/2009 tentang Peningkatan Partisipasi Pria), sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Administrasi Negara (SAN) pada Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang peneliti miliki. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini antara lain :

1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si, selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.


(15)

3. Ibu Rahayu Sulistiowati, S.Sos, M.Si, selaku dosen pembimbing utama penulis yang telah meluangkan waktu, tenaga, fikiran, bimbingan, pengarahan, saran serta masukan yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Meiliyana, S.IP, M.A, selaku dosen pembimbing kedua penulis yang telah meluangkan waktu, tenaga, fikiran, bimbingan, pengarahan, saran serta masukan yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Eko Budi Sulistio S.Sos, M.A.P, selaku dosen penguji penulis yang telah memberikan kritik, saran dan masukan yang baik kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Dr. Bambang Utoyo, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, nasehat, ilmu dan waktu selama proses pendidikan hingga akhir.

7. Seluruh dosen Ilmu Administrasi Negara, terimakasih atas segala ilmu yang telah peneliti peroleh selama proses perkuliahan semuga dapat menjadi bekal yang berharga dalam kehidupan peneliti ke depannya. 8. Ibu Nur selaku staf jurusan Ilmu Administrasi Negara yang selalu

memberikan pelayanan bagi penulis yang berkaitan dengan administrasi dalam penyusunan skripsi ini.

9. Pihak Badan Koordinasi Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kota Bandar Lampung, PLKB Kecamatan Panjang dan


(16)

skripsi ini dapat diselesaikan.

10.Terima kasih untuk seluruh keluarga besarku yang tidak bisa disebutkan satupersatu, terimakasih atas dukungan secara langsung maupun tidak langsung yang insya Allah sangat berharga bagi penulis.

11.Terima kasih untuk sahabat-sahabat terbaik penulis Lisa Sagita, Fatmawati, Ruri Retno Ningsih, Renita, Riza Armelia Putri, Mut Mulyani, Yana Bonita, Eka Ariyanti, Octavia Ratna Sari, Fitriyani, Amanda Ramadhani. Terimakasih untuk kebersamaan dan bantuannya selama ini. Semoga kita bisa menjalin kebersamaan hingga sukses nanti.

12.Terima Kasih untuk teman-teman seperjuangan Himagara 2011, Syilvia, Tiwi, Kristi, Esa, Farah, Danisa, Cindy, Lily, Hesty, Juzna, Kiyo, Ayu, Amel, Jeni, Intan, Wati, Leni, Astri, Farrah, Raras, Novilia, Bulan, Iis, Tria, Popo, Silvia, Ekky, Feby, Novia, Ratu, Panggo, Iksan, Rendy, David, Yori, Andi, Rano, Fais, Ahmed dan semua teman-teman seangkatan yang tidak bisa disebukan satu persatu. semangat buat kalian, terimakasih banyak atas segala bentuk bantuan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

13.Seluruh pihak yang membantu penulis dalam penelitan dan yang telah menemani penulis selama kuliah di UNILA yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih semuanya.

14.The last but not least, skripsi ini secara khusus penulis persembahkan


(17)

dari segi moril maupun materil sehingga skripsi ini bisa terselesaikan. Terima kasih juga atas doa yang tak pernah putus untuk keberhasilanku, semoga aku bisa selalu menjadi anak yang membanggakan dan membahagiakan kalian.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan akan tetapi sedikit harapan semoga karya sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin

Bandar Lampung, 06 April 2015 Penulis

Alisa Rizky Meisya NPM. 1116041005


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penduduk adalah salah satu aspek terpenting dalam suatu Negara. Penduduk merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam pembangunan serta menjadi titik sentral dalam pembangunan berkelanjutan. Jumlah penduduk yang besar dengan kualitas rendah dan pertumbuhan yang cepat akan memperlambat tercapainya kondisi yang ideal antara kuantitas dan kualitas penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Keberhasilan dalam mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk akan memperbaiki segala aspek dimensi pembangunan dan kehidupan masyarakat untuk lebih maju, mandiri dan dapat berdampingan dengan bangsa lain serta mempercepat terwujudnya pembangunan berkelanjutan.

Untuk dapat mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk suatu negara tidaklah mudah dilakukan. Beberapa negara berkembang dewasa ini pada umumnya menghadapi masalah yang sama, yaitu bersumber pada permasalahan kependudukan. Mulai dari masih tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan, rendahnya kesadaran masyarakat tentang hak-hak reproduksi, serta masih cukup tingginya laju pertumbuhan penduduk yang tidak sebanding dengan daya dukung lingkungan.


(19)

Permasalahan-permasalahan terkait kependudukan tersebut juga dialami oleh negara Indonesia.

Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki permasalahan tingginya angka pertumbuhan penduduk. Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 237.556.363 jiwa dengan jumlah perempuan sebanyak 119.507.580 dan jumlah laki –laki sebanyak 118.048.783 serta laju pertumbuhan penduduk (LPP) sebesar 1,49% per tahun. Jumlah penduduk tersebut membuat Indonesia menduduki ranking ke-4 negara dengan jumlah penduduk terbesar sedunia setelah RRC (1,3 milyar jiwa), India (998,1 juta jiwa) dan Amerika (276,2 juta jiwa), (Sumber: http://bps.go.id diakses pada 15 Mei 2014, 14.30 wib)

Dalam rangka mengatasi masalah kependudukan khususnya tingginya pertumbuhan penduduk, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Kebijakan Keluarga Berencana atau yang biasa disingkat KB. Pelaksanaan program KB di Indonesia diperkuat dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 pasal 1, KB diartikan sebagai upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Program KB bertujuan untuk memenuhi permintaan pelayanan KB dan Kesehatan Reproduksi (KR) yang berkualitas serta mengendalikan angka


(20)

kelahiran yang pada akhirnya meningkatkan kualitas penduduk dan mewujudkan keluarga-keluarga kecil berkualitas.

Pada awalnya pendekatan KB lebih diarahkan pada aspek demografis dengan upaya pokok pengendalian jumlah penduduk dan penurunan fertilitas, namun berdasarkan perubahan paradigma yang disepakati dalam International Conference on Population and Development (ICPD) atau konferensi Kependudukan di Kairo tahun 1994, program KB berubah dari pendekatan populasi dan penurunan fertilitas, menjadi ke arah pendekatan kesehatan reproduksi dengan memperhatikan hak-hak reproduksi dan kesetaraan gender. Hal ini dilatarbelakangi karena kesertaan ber-KB secara umum didominasi oleh perempuan, sedang pada pria tingkat kesertaannya masih sangat rendah (kurang dari 6 %) dari jumlah total Peserta KB Aktif (PA) yang ada atau kalau dibandingkan secara proporsional persentase kesertaan pria dan wanita sangat tidak proporsional. Selain itu, sumbangan terbesar dan yang mempunyai dampak sangat signifikan terhadap laju pertumbuhan penduduk (LPP) adalah pengguna alat kontrasepsi jangka panjang, yang salah satunya adalah Medis Operasi Pria (MOP), sehingga tingkat kesertaan KB pria masih perlu terus mendapatkan perhatian serius dan ditingkatkan pencapaiannya.

Kebijakan formal tentang peningkatan partisipasi pria dalam praktik KB dan KR secara jelas baru terlihat semenjak dicanangkannya era baru program KB nasional tahun 2000. Berdasarkan Rapat Kerja Nasional Program KB tahun 2000 yang mengamanatkan perlunya ditingkatkan partisipasi pria dalam KB, maka hal ini ditindak lanjuti melalui Keputusan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana


(21)

Nasional Nomor 10/HK-010/B5/2001 tanggal 17 Januari 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional dengan membentuk Direktorat Partisipasi Pria di Bawah Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi yang bertugas merumuskan kebijakan operasional peningkatan partisipasi pria. Salah satu sasaran programnya adalah meningkatkan partisipasi pria sebagai peserta KB, motivator dan kader, serta mendukung istri dalam KB dan kesehatan reproduksi, yang tolak ukurnya (1) Meningkatnya peserta KB Kondom dan Medis Operasi Pria (MOP) 10 %, dan (2) Meningkatnya motivator/kader pria menjadi 10 %. ( Zaeni,2006:4)

Provinsi Lampung merupakan suatu wilayah yang tidak luput dari sasaran Program KB Nasional. Jumlah penduduk Provinsi Lampung hingga tahun 2014 telah mencapai 7.596.115 jiwa atau sekitar 3% dari jumlah penduduk nasional. Bila dibandingkan dengan hasil sensus penduduk tahun 2000 yang mencatat jumlah penduduk Lampung sebanyak 6.730.751 jiwa, populasi hingga 2010 bertambah 12,86% dengan laju pertumbuhan 1,23% per tahun. Bandar Lampung yang merupakan ibukota dari Provinsi Lampung juga terus mengalami kenaikan jumlah penduduk setiap tahunnya. Pada tahun 2009 jumlah penduduk kota Bandar Lampung berjumlah 833.517, pada tahun 2010 tercatat sebanyak 881.801 jiwa, kemudian pada tahun 2011 jumlah tersebut meningkat sebanyak 55% menjadi 1.364.759 jiwa dan kembali mengalami peningkatan menjadi 1.446.160 jiwa pada tahun 2012. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:


(22)

Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Kota Bandar Lampung Tahun 2009-2012

No Tahun Jumlah Penduduk

(jiwa)

Laju Pertumbuhan Penduduk

1 2009 833.517 -

2 2010 881.801 5,8 %

3 2011 1.364.759 54,76 %

4 2012 1.446.160 6 %

(Sumber : http://regionalinvestment.bkpm.go.id, diakses pada 15 Mei 2014, 16.00 wib).

Walaupun Pemerintah telah mulai melaksanakan pembangunan yang berorientasi pada kesetaraan gender, namun perkembangan pelaksanaan program KB saat ini masih terkesan bias gender atau lebih banyak terfokus kepada jenis kelamin tertentu dalam hal ini perempuan, sedangkan partisipasi pria dalam menggunakan alat kontrasepsi masih sangat rendah. Pada tingkat nasional, hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukan kenaikan angka partisipasi pria dalam mengikuti program KB hanya naik 0,2% per tahunnya. Dilihat dari angka pencapaian peningkatan partisipasi pria pada tahun 1991 sebesar 0,8% (SDKI 1991). Pada tahun 2003 sebesar 1,3 % (SDKI 2002-2003), sedangkan pada tahun 2007 sebesar 1,5 % (SDKI 2007). (Sumber:http://www.academia.edu , diakses pada 15 Agustus 2014, 06.15 WIB)

Berdasarkan pra riset yang dilakukan peneliti pada tanggal 5 Juni 2014 di Badan Koordinasi Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKKBPP ) Kota Bandar Lampung dengan informan Ferdy Firman Sagani selaku Sub Bidang Operasional KB dan KR diketahui bahwa sampai dengan bulan Juni 2014 partisipasi pria dalam program KB masih sangat rendah. Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di Kota Bandar Lampung berjumlah 112.485, dari jumlah tersebut sebanyak 109.359 (97,22%) menjadi Peserta KB Aktif (PA) dengan rincian peserta KB aktif wanita berjumlah 104.770 akseptor (95,80%), sedangkan peserta


(23)

KB aktif pria berjumlah 4.589 akseptor (4,20%). Jumlah tingkat kesertaan KB pria (yang menggunakan MOP) hanya berjumlah 1.341 akseptor (1,23% dari total PA), sedangkan partisipasi pria dengan menggunakan alat kontrasepsi kondom berjumlah 3.248 akseptor (2,97% dari jumlah PA). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1.2 Peserta KB Aktif Kota Bandar Lampung Sampai dengan Bulan Juni 2014

No Alat Kontrasepsi Jumlah Persentase (%)

1 IUD 16.467 15,05

2 MOW 2.168 1,98

3 MOP 1.341 1,23

4 KONDOM 3.248 2,97

5 SUNTIK 39.396 36,02

6 PIL 37.469 34,26

7 IMPLAN 9.270 8,49

JUMLAH 109.359 100

(Sumber : Diolah peneliti dari data BKKBPP Kota Bandar Lampung, 2014)

Berdasarkan observasi awal yang dilakukan oleh peneliti di salah satu wilayah di Bandar Lampung pun menunjukkan bahwa sebagian besar peserta Program KB aktif yaitu wanita, sangat sedikit sekali pria yang mau menjadi peserta aktif program KB. Alat kontrasepsi yang digunakan pun masih sebatas kondom, belum banyak pria usia subur yang mau melakukan Vasektomi atau MOP karena berbagai alasan. (Observasi di Kecamatan Sukarame Bandar Lampung, Agustus 2014). Rendahnya partisipasi pria dalam program KB tidak hanya terjadi di tempat observasi awal yang dilakukan peneliti, hal serupa juga terjadi hampir di seluruh kecamatan yang ada di Kota Bandar Lampung. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :


(24)

Tabel 1.3 Pencapaian Peserta KB Aktif (PA) Kota Bandar Lampung Sampai dengan Bulan Juni 2014

No Kecamatan Jumlah

PA

IUD MOP Suntik Pil Kondom Implan

1 Teluk Betung Selatan 4.350 421 36 1817 1442 111 441

2 Teluk Betung Utara 4.877 1009 72 1332 1395 206 651

3 Tanjung Karang Timur 3.671 330 52 1722 1211 59 274

4 Tanjung Karang Barat 7.517 985 113 2290 2508 95 546

5 Tanjung Karang Pusat 6.986 1047 301 2455 2596 165 252

6 Teluk Betung Barat 2.961 234 21 1055 1137 122 519

7 Kedaton 5.691 1146 92 1930 1730 390 257

8 Sukarame 5.852 802 4 2228 1996 180 489

9 Panjang 9.161 453 109 3432 4144 140 207

10 Kemiling 8.938 2308 140 2755 2388 460 998

11 Sukabumi 6.389 1065 54 2378 2138 99 656

12 Tanjung Senang 5.180 1319 47 1182 1692 196 633

13 Rajabasa 4.757 885 22 1924 1071 269 554

14 Bumi Waras 5.526 359 23 2365 2048 56 550

15 Kedamaian 6.034 762 39 2580 2026 142 601

16 Enggal 3.091 402 47 1104 1061 130 209

17 Teluk Betung Timur 3.894 407 38 1539 1481 119 386

18 Labuhan Ratu 3.255 551 45 1014 1374 78 206

19 Way Halim 7.538 1188 36 2688 2879 141 473

20 Langkapura 4.159 794 50 1606 1202 90 368

Jumlah 109.827 16.467 1.341 39.396 37469 3.248 9.270

(Sumber : Diolah peneliti dari data BKKBPP Kota Bandar Lampung, 2014)

Partisipasi pria diperlukan dalam pelaksanaan program KB khususnya dalam penggunaan alat kontrasepsi, hal ini dikarenakan pria sebagai anggota dalam keluarga juga merupakan aktor KB, pria bertanggung jawab secara sosial, moral dan ekonomi dalam membangun keluarga dan juga mempunyai hak reproduksi yang sama dengan wanita atau dengan kata lain orang yang ikut berperan dalam KB, sehingga keberhasilan program KB tidak hanya ditentukan oleh wanita tetapi juga oleh pria sebagai anggota dalam sebuah keluarga yang berkewajiban untuk mewujudkan keluarga kecil sejahtera. Peningkatan partisipasi pria dalam program KB diharapkan akan mampu mendorong peningkatan kualitas pelayanan KB dan KR, peningkatan kesetaraan dan keadilan gender, peningkatan penghargaan terhadap hak azasi manusia (HAM) dan berpengaruh positif dalam mempercepat penurunan angka kelahiran total.


(25)

Selain memiliki dampak positif bagi pengendalian laju pertumbuhan penduduk, KB pria juga memberikan dampak positif bagi penggunanya. Bila KB pada wanita sebagian besar menimbulkan efek samping, seperti menimbulkan flek hitam atau membuat tubuh mengalami obesitas, maka KB pria justru hampir tidak memiliki efek samping. MOP merupakan suatu metode kontrasepsi pada pria yang sangat aman, sederhana dan sangat efektif. Sebagian orang yang telah melakukan MOP justru merasa kemampuan seksualnya semakin bertambah.

Pada penelitian ini, kebijakan yang akan diteliti oleh peneliti adalah berbentuk suatu program yakni Program KB. Program KB merupakan program sosial dasar yang menangani lima aspek, sebagaimana tercermin dalam Undang Undang No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga pasal 21 ayat 2 yang meliputi: 1) Mengatur kehamilan, 2) Menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak, 3) Meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan KB dan KR, 4) Meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktik KB, serta 5) Mempromosikan penyusuan bayi sebagai upaya untuk menjarangkan jarak kehamilan.

Sebagai bentuk tindak lanjut UU No.52 Tahun 2009 pasal 21 ayat 2 point ke 4 tentang peningkatan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktik KB, maka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional menindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Kepala BKKBN Nomor 145/HK.010/B5/2009 tentang pedoman peningkatan partisipasi pria. Selanjutnya sebagai penjabaran dari Peraturan Kepala BKKBN Nomor 145/HK.010/B5/2009 tentang pedoman peningkatan


(26)

partisipasi pria tersebut maka dibuatlah petunjuk pelaksanaan peningkatan partisipasi pria yang diharapkan dapat menjadi acuan dasar dalam melaksanakan program KB melalui kesertaan pria dalam KB sebagai salah satu wujud keadilan dan kesetaraan gender.

Melihat begitu pentingnya peningkatan partisipasi pria dalam praktik KB, maka penyelenggaraannya pun menjadi sangat penting. Program peningkatan partisipasi pria dalam paktik KB ini tidak akan mencapai tujuannya jika tidak diimplementasikan dengan baik mengingat implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan struktur kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip jika tidak diimplementasikan. Selain itu menurut Nugroho (2012:625), dalam suatu kebijakan rencana memegang 20% keberhasilan, implementasi 60% dan 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Adapun dari dua puluh kecamatan yang ada di Bandar Lampung, peneliti memilih dua kecamatan yang dijadikan sebagai lokasi penelitian, yaitu Kecamatan Kedaton dan Kecamatan Panjang. Peneliti tertarik meneliti di Kecamatan Kedaton karena kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan yang memiliki jumlah peserta KB pria terendah sampai dengan Bulan Juni 2014, sementara Kecamatan Panjang merupakan salah satu kecamatan yang memiliki jumlah peserta KB pria tertinggi sampai dengan Bulan Juni 2014.

Berdasarkan masalah-masalah diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Implementasi Program Keluarga Berencana Bagi Pria di Kota Bandar Lampung (Analisis Peraturan Kepala BKKBN Nomor 145/HK.010/B5/2009 tentang Peningkatan Partisipasi Pria)”


(27)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah implementasi program KB bagi Pria di kota Bandar Lampung (Analisis Peraturan Kepala BKKBN Nomor: 145/HK.010/B5/2009 tentang Peningkatan Partisipasi Pria) ?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi penghambat implementasi program KB bagi Pria di kota Bandar Lampung (Analisis Peraturan Kepala BKKBN Nomor: 145/HK.010/B5/2009 tentang Peningkatan Partisipasi Pria) ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dalam hal ini yang menjadi tujuan penelitian adalah:

1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis implementasi program KB di kota Bandar Lampung khususnya pada peningkatan partisipasi pria dalam program tersebut.

2. Untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam implementasi program KB di kota Bandar Lampung khusunya dalam meningkatkan partisipasi pria dalam program tersebut.


(28)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini, yaitu :

a. Secara teoritisi, penelitian ini dapat menambah wawasan dalam Ilmu Administrasi Negara khususnya tentang implementasi kebijakan publik. b. Secara praktis, penelitian ini dapat berguna sebagai bahan masukan bagi

instansi dan pihak-pihak terkait dalam membuat dan menyempurnakan program KB, khususnya di bidang peningkatan partisipasi pria dalam praktik KB.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik

1. Konsep Kebijakan Publik

Terdapat banyak definisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dalam literatur-literatur politik. Masing-masing definisi memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena masing-masing para ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, walaupun pendekatan dan model yang digunakan oleh para ahli pada akhirnya juga akan dapat menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut hendak didefinisikan.

Laswell dan Kaplan dalam Nugroho (2011:93) mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu. Anderson dalam Islamy (2001:19) mengemukakan kebijakan publik sebagai kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Sementara itu Dunn dalam Pasolong (2010:39), mengatakan kebijakan publik sebagai suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perekonomian dan lain-lain.


(30)

Kemudian, secara lebih singkat, Dye dalam Santoso (2009:27) merumuskan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk bertindak atau tidak bertindak. Sementara Friedrich dalam Agustino (2008:7) mengungkapkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut disulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan yang telah ditentukan oleh pemerintah (instansi publik) dalam rangka merespon permasalahan yang dihadapi masyarakat dan bertujuan untuk mengatur kepentingan seluruh anggota masyarakat. Kebijakan juga memuat semua tindakan pemerintah baik yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh pemerintah yang dalam pelaksanaanya terdapat unsur pemaksaan kepada pelaksana atau pengguna kebijakan agar dipatuhi. Kebijakan publik tersebut dapat berupa peraturan perundang-undangan yang dipergunakan untuk tujuan, sasaran dari program program dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.

2. Tahap – Tahap Kebijakan Publik

Menurut Dunn (2003:22), proses kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis, aktivitas politis tersebut divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling tergantung yang diatur menurut urutan waktu. Sementara Winarno


(31)

(2012:35-37) mengemukakan bahwa proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Proses-proses penyusunan kebijakan publik tersebut dibagi kedalam beberapa tahapan. Tahapan-tahapan kebijakan publik adalah sebagai berikut:

a) Tahap Penyusunan Agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan- alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.

b) Tahap Formulasi Kebijakan

Masalah telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives / policy options) yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.


(32)

c) Tahap Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

d) Tahap Implementasi Kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksana- kan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia.

e) Tahap Evaluasi Kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan.

Pemaparan tentang tahap kebijakan diatas telah menjelaskan bahwa tahap kebijakan tersebut merupakan suatu proses yang saling terkait yang mempengaruhi satu sama lain. Tahap awal adalah penyusunan agenda, dalam tahap tersebut dilakukannya identifikasi persoalan (masalah) publik yang akan dibahas dalam tahap berikutnya, yaitu formulasi. Setelah diformulasikan, pada tahap adopsi akan dipilih alternatif yang baik untuk dijadikan solusi bagi


(33)

pemecahan masalah publik. Selanjutnya, Kebijakan yang telah diputuskan dan disahkan akan diimplementasikan untuk meraih tujuan awal yang ditentukan. Pada tahap akhir, evaluasi (penilaian) kebijakan akan menilai ketepatan, manfaat, dan efektivitas hasil kebijakan yang telah dicapai melalui implementasi. Diantara kelima tahap dalam kebijakan publik tersebut, yang menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu berkaitan dengan tahap keempat yakni tahap implementasi kebijakan.

B. Tinjauan Tentang Program

Implementasi program atau kebijakan merupakan salah satu tahap yang penting dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak dan tujuan yang diinginkan. Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah atau lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah (Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:PER/09/M.PAN/5/2007).

Program adalah unsur pertama yang harus ada demi tercapainya suatu kegiatan. Melalui program maka segala bentuk rencana akan lebih terorganisir dan lebih mudah untuk dioperasionalkan. Pada setiap program dibuat beberapa aspek, disebutkan bahwa dalam setiap program dijelaskan mengenai:

a. Tujuan kegiatan yang akan dicapai

b. Kegiatan yang diambil dalam mencapai tujuan


(34)

d. Perkiraan anggaran yang dibutuhkan e. Strategi pelaksanaan

Pada penelitian ini, kebijakan yang akan diteliti oleh penulis adalah berbentuk suatu program yakni Program KB yang dijalankan oleh suatu bidang yang termasuk kedalam instansi pemerintahan yaitu Badan Koordinasi Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKKBPP) Kota Bandar Lampung. Program KB merupakan program sosial dasar yang menangani lima aspek, sebagaimana tercermin dalam Undang Undang No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang meliputi: 1) Mengatur kehamilan, 2) Menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak, 3) Meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, 4) Meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktik keluarga berencana, serta 5) Mempromosikan penyusuan bayi sebagai upaya untuk menjarangkan jarak kehamilan..

Berdasarkan pemaparan diatas dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaan program KB diharapkan adanya partisipasi dari berbagai pihak baik dari wanita / istri maupun pria / suami. Hal ini sejalan dengan isi dari Pasal 25 Ayat (1) dalam Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang menyebutkan bahwa Suami dan/atau isteri mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam melaksanakan KB. Hakekatnya, program KB tidak lantas begitu saja diserahkan kepada wanita, partisipasi dari pria dapat menjadi faktor utama dari keberhasilan program KB


(35)

tersebut. Pada Sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 dijelaskan bahwa partisipasi pria menjadi salah satu indikator keberhasilan program KB dalam memberikan kontribusi yang nyata untuk mewujudkan keluarga kecil berkualitas. Melalui adanya partisipasi pria dalam praktik KB, diharapkan tingkat keberhasilan dari program KB dapat terus meningkat.

C. Tinjauan tentang Implementasi Kebijakan Publik

1. Konsep Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Studi implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.

Udoji dalam Agustino (2008:140) mengatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan. Kemudian, Mazmanian dan Sabatier dalam Agustino (2008:139) mendefinisikan bahwa Implementasi Kebijakan merupakan pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar yang biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan


(36)

tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.

Sementara itu, Grindle dalam Winarno (2012:149) juga memberikan pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu ikatan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Selanjutnya, Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2012:149) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.

Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih. Hal ini tak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan Grindle dalam Agustino (2008:139) bahwa pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat pada

action program dari individual projects dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu bentuk positif seperti undang-undang dan kemudian didiamkan dan tidak dilaksanakan atau diimplementasikan,


(37)

tetapi sebuah kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok untuk melaksanakan keputusan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkannya. Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu

2. Model Implementasi Kebijakan

Menurut Indiahono (2009:19), model adalah sebuah kerangka sederhana yang merupakan sebuah usaha untuk memudahkan penjelasan terhadap suatu fenomena. Model banyak digunakan untuk memudahkan para pemerhati atau pembelajar tingkat awal. Menurut Nugroho (2008:167) pada prinsipnya terdapat dua pemilihan jenis model implementasi kebijakan publik yaitu implementasi kebijakan publik yang berpola dari atas ke bawah (top-down) dan dari bawah ke atas (bottom-up), serta pemilihan implementasi kebijakan publik yang berpola paksa (command-and-control) dan pola pasar (economic incentive).

Menurut Agustino (2008:140) pendekatan model “top down”, merupakan

pendekatan implementasi kebijakan publik yang dilakukan tersentralisir dan dimulai dari aktor tingkat pusat, dan keputusannya pun diambil dari tingkat pusat. Pendekatan top down bertitik tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur-administratur atau birokrat-birokrat pada level bawahnya, sedangkan pendekatan model “bottom up” bermakna meski kebijakan


(38)

dibuat oleh pemerintah, namun pelaksanaannya oleh rakyat. Implementasi kebijakan mempunyai berbagai macam model dalam perkembangannya.

Model pertama adalah model yang paling klasik, yakni model yang diperkenalkan oleh duet Donald Van Meter dengan Carl Van Horn. Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2008:142), model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Model proses implementasi yang diperkenalkan Van Meter dan Van Horn pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil akhir dari kebijakan pemerintah, namun lebih tepatnya untuk mengukur dan menjelaskan apa yang dinamakan pencapaian program karena menurutnya suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial yang sesuai karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan lainnya.

Van Meter dan Van Horn dalam teorinya ini berawal dari suatu asumsi bahwa proses implementasi akan berbeda-beda sesuai dengan sifat kebijakan yang dilaksanakan. Selanjutnya Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2012:155) menawarkan karakteristik dalam proses implementasi yakni, pertama proses implementasi akan dipengaruhi oleh sejauh mana kebijakan menyimpang dari kebijakan-kebijakan sebelumnya. Kedua, proses implementasi akan dipengaruhi oleh sejumlah perubahan organisasi yang diperlukan. Kedua ahli ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur implementasi. Menurut teori implementasi


(39)

kebijakan Van Metter dan Van Horn dalam Agustino (2008:141-144), terdapat enam variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik, yaitu:

1. Ukuran dan tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika-dan-hanya-jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.

2. Sumber daya

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumber daya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan. Tetapi diluar sumber daya manusia, sumber daya lain yang perlu diperhitungkan juga ialah sumber daya finansial dan sumber daya waktu. Karena itu sumber daya yang diminta dan dimaksud oleh Van Metter dan Van Horn adalah ketiga bentuk sumber daya tersebut.


(40)

3. Karakteristik Agen Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan (publik) akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.

4 Sikap/Kecenderungan (Disposisi) para Pelaksana

Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan implementor laksanakan adalah kebijakan dari atas (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.

5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.


(41)

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik

Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Metter dan Van Horn adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.

Sementara itu model implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn dalam Indiahono (2009:38) menetapkan beberapa variabel yang diyakini dapat mempengaruhi implementasi dan kinerja kebijakan. Beberapa variabel tersebut adalah sebagai berikut:

1. Standar dan sasaran kebijakan pada dasarnya adalah apa yang hendak dicapai oleh program atau kebijakan, baik yang berwujud maupun tidak, jangka pendek, menengah, atau panjang. Kejelasan dan sasaran kebijakan harus dapat dilihat secara spesifik sehingga di akhir program dapat diketahui keberhasilan atau kegagalan dari kebijakan atau program yang dijalankan.

2. Kinerja kebijakan merupakan penilaian terhadap pencapaian standar dan sasaran kebijakan yang telah ditetapkan di awal.

3. Sumber daya menunjuk kepada seberapa besar dukungan finansial dan sumber daya manusia untuk melaksanakan program atau kebijakan.

4. Komunikasi antar badan pelaksana, menunjuk kepada mekanisme prosedur yang dicanangkan untuk mencapai sasaran dan tujuan program.


(42)

5. Karakteristik badan pelaksana, menunjuk seberapa besar daya dukung struktur organisasi, nilai-nilai yang berkembang, hubungan dan komunikasi yang terjadi di internal birokrasi.

6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik, menunjuk bahwa lingkungan dalam ranah implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan itu sendiri.

7. Sikap pelaksana, menunjuk bahwa sikap pelaksana menjadi variabel penting dalam implementasi kebijakan. Seberapa demokratis, antusias dan responsif terhadap kelompok sasaran dan lingkungan. Adapun model dari Van Meter dan Van Horn dapat dilihat sebagai berikut:

Bagan 2.1.Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn

(Sumber: Van Meter dan Van Horn dalam Indiahono (2009;40))

Komunikasi Antar Organisasi dan

Pelaksana Kegiatan Standar dan

Sasaran

Sumber Daya

Karakteristik Badan Pelaksana

Lingkungan Sosial, ekonomi

dan Politik

Sikap Pelaksana

Kinerja Kebijakan


(43)

Keunggulan model Van Meter dan Van Horn ini dapat menawarkan kerangka berpikir untuk menjelaskan dan menganalisis proses implementasi kebijakan. Selain itu model ini juga memberikan penjelasan-penjelasan bagi pencapaian-pencapaian dan kegagalan program. Model ini menitikberatkan pada sikap, perilaku dan kinerja para perilaku di dalam implementasi kebijakan.

Model implementasi kebijakan publik lainnya yang berperspektif top down

dikembangkan oleh George C. Edward III. Menurut teori implementasi kebijakan Edward III dalam Agustino (2008:149), terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu:

1. Komunikasi

Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau digunakan) dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi, yaitu:

a. Transmisi b. Kejelasan c. Konsistensi 2. Sumber Daya

Indikator sumber daya terdiri dari beberapa elemen, yaitu: a. Staf

b. Informasi c. Wewenang d. Fasilitas 3. Disposisi

Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi adalah: a. Pengangkatan birokrat


(44)

b. Insentif

4. Struktur Birokrasi

Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebagiankan sumber daya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik. (Agustino 2008:149-153).

Model implementasi kebijakan publik yang lain ditawarkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier. Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (2004:81) mengungkapkan bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijaksanaan negara ialah mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu : 1. Mudah atau Tidaknya Masalah yang akan Digarap, meliputi :

a. Kesukaran – kesukaran teknis

b. Keberagaman perilaku kelompok sasaran

c. Persentase kelompok sasaran dibanding jumlah penduduk d. Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan

2. Kemampuan Kebijaksanaan Menstruktur Proses Implementasi, meliputi: a. Kejelasan dan konsistensi tujuan

b. Digunakannya teori kausal yang memadai c. Ketepatan alokasi sumber dana


(45)

d. Keterpaduan hierarki dalam dan diantara lembaga pelaksana e. Aturan-aturan keputusan dari badan-badan pelaksana

f. Rekruitmen pejabat pelaksana g. Akses formal pihak luar

3. Variabel-Variabel diluar Undang-Undang yang Mempengaruhi Implementasi. a. Kondisi sosial-ekonomi dan teknologi.

b. Dukungan publik.

c. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok-kelompok d. Dukungan dari pejabat atasana

e. Komitmen dan Kemampuan

f. Kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana.

Menurut Merilee S. Grindle dalam Agustino (2008:154) terdapat dua variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik. Keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir (outcomes), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin diraih, selain itu pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh tingkat

implementability kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas content of policy dan

context of policy.

Content of policy menurut Grindle dalam Agustino (2008:154-155) adalah sebagai berikut:

a. Interest Affected (kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi) b. Type of Benefits (tipe manfaat)

c. Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai) d. Site of Decision Making (letak pengambilan keputusan)


(46)

e. Program Implementer (pelaksana program)

f. Resources Commited (sumber-sumber daya yang digunakan)

Context of policy menurut Grindle dalam Agustino (2008:156) adalah sebagai berikut:

a. Power, Interest, and Strategy of Actor Involved (kekuasaan, kepentingan-kepentingan, dan strategi dari aktor yang terlibat)

b. Institution and Regime Characteristic (karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa)

c. Compliance an Responsiveness (tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana)

Berdasarkan pemaparan model-model implementasi diatas, peneliti mengadopsi model implementasi kebijakan yang telah dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn karena variabel-variabel yang ditawarkan oleh kedua ahli tersebut dianggap paling tepat untuk membantu menjawab permasalahan peneliti tentang Implementasi Program Keluarga Berencana Bagi Pria di Kota Bandar Lampung (Analisis Peraturan Kepala BKKBN Nomor:145/HK.010/B5/2009 tentang Peningkatan Partisipasi Pria). Selain itu, alasan lainnya adalah karena model implementasi kebijakan publik yang telah dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn merupakan model implementasi kebijakan top down approach (pendekatan atas ke bawah) yang mana pendekatan implementasi kebijakan tersebut dilakukan tersentralisir dan dimulai dari aktor tingkat pusat, dan keputusannya pun di ambil dari tingkat pusat.


(47)

Alasan lain karena peneliti melihat model ini sebagai model operasional yang sangat familiar dan sering digunakan oleh kalangan mahasiswa Ilmu Administrasi Negara FISIP Univeritas Lampung sehingga nantinya akan sangat membantu dan memudahkan dalam proses perolehan informasi yang berkaitan dengan model tersebut. Model tersebut dapat menggambarkan implementasi program diberbagai tempat dan waktu. Untuk mendapatkan hasil yang lebih tepat dan akurat, peneliti berencana untuk menggunakan keseluruhan variabel sehingga dapat menjawab permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

3. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan

Salah satu pendapat yang sangat singkat dan tegas tentang keberhasilan atau kegagalan dari implementasi kebijakan disampaikan oleh Weimer dan Vining. Menurut Weimer dan Vining dalam Pasolong (2011:59) ada tiga faktor umum yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu:

a. Logika yang digunakan oleh suatu kebijakan, yaitu sampai seberapa benar teori yang menjadi landasan kebijakan atau seberapa jauh hubungan logis antara kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan.

b. Hakikat kerja sama yang dibutuhkan, yaitu apakah semua pihak yang terlibat dalam kerja sama merupakan suatu assembling produktif.

c. Ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, komitmen untuk mengelola pelaksanaanya.

Implementasi kebijakan mempunyai berbagai hambatan yang mempengaruhi pelaksanaan suatu kebijakan publik. Gow dan Morss dalam Pasolong (2011:59)


(48)

mengungkapkan hambatan-hambatan tersebut antara lain: (1) hambatan politik, ekonomi dan lingkungan; (2) kelemahan institusi; (3) ketidakmampuan SDM di bidang teknis dan administratif; (4) kekurangan dalam bantuan teknis; (5) kurangnya desentralisasi dan partisipasi; (6) pengaturan waktu (timing); (7) sistem informasi yang kurang mendukung; (8) perbedaan agenda tujuan antara aktor; dan (9) dukungan yang berkesinambungan.

Semua hambatan ini dapat dengan mudah dibedakan atas hambatan dari dalam (faktor internal) dan dari luar (faktor eksternal). Menurut Turner dan Hulme dalam Pasolong (2011:59), hambatan dari dalam atau yang sering disebut dengan faktor internal dapat dilihat dari ketersediaan dan kualitas input yang digunakan seperti sumber daya manusia, dana, struktur organisasi, informasi, sarana dan fasilitas yang dimiliki, serta aturan-aturan, sistem dan prosedur yang harus digunakan. Hambatan dari luar atau sering disebut sebagai faktor eksternal dapat dibedakan atas semua kekuatan yang berpengaruh langsung ataupun tidak langsung kepada proses implementasi kebijakan pemerintah, kelompok sasaran, kecenderungan ekonomi, politik, kondisi sosial budaya dan sebagainya.

D. Tinjauan Tentang Program Keluarga Berencana

1. Konsep Program Keluarga Berencana

World Health Organization (WHO) pada tahun 1970, mendefinisikan keluarga berencana atau KB sebagai tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk mendapatkan objektif-objektif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran dalam


(49)

hubungan dengan umur suami dan istri dan menentukan jumlah anak dalam keluarga.

Berdasarkan UU No.10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, KB adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kehamilan, pembinaan ketahanan keluarga, dan peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera.

Program KB merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka upaya pengendalian pertumbuhan/pengaturan kelahiran, serta diarahkan untuk membantu keluarga, termasuk individu agar mengerti hak dan kewajiban dalam berkeluarga, baik sebagai individu, keluarga, anggota masyarakat, maupun warga negara, sehingga jika keluarga mampu merencanakan kehidupan keluarganya dengan baik, maka akan dicapai keluarga berkualitas dan akan didapat generasi yang baik pula.

2. Tujuan Program Keluarga Berencana

Tujuan Program KB mengacu kepada Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 pasal 21 ayat 2 disebutkan bahwa program KB bertujuan untuk:

a. Mengatur kehamilan yang diinginkan;

b. Menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi dan anak; c. Meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan konseling, dan

pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi;

d. Meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktek keluarga berencana; dan


(50)

e. Mempromosikan penyusuan bayi sebagai upaya untuk menjarangkan jarak kehamilan.

3. Sasaran Program Keluarga Berencana

Untuk mencapai tujuan Program KB, menurut Hartanto (2004:22) penggarapan program KB diarahkan pada dua bentuk sasaran, yaitu :

1. Sasaran langsung:

Sasaran langsung dari program KB yaitu Pasangan Usia Subur (15-49 tahun), dengan jelas mereka secara bertahap menjadi peserta KB yang aktif lestari, sehingga memberi efek langsung penurunan fertilitas.

2. Sasaran tidak langsung:

Sasaran tidak langsung dari program KB yaitu organisasi-organisasi, lembaga-lembaga kemasyarakatan, instansi-instansi pemerintah maupun swasta, tokoh-tokoh masyarakat (alim ulama, wanita dan pemuda) yang diharapkan dapat memberikan dukungannya dalam pelembagaan NKKBS.

Sementara itu, Darahim (2010:43) mengungkapkan bahwa target sasaran Program KB dapat dikelompokkan atas tiga kategori besar, yaitu 1) suami-isteri atau keluarga yang isterinya berusia antara 15-45 tahun atau disebut pasangan usia subur, 2) kalangan anak dan remaja yang kelak akan memasuki usia dewasa dan membangun rumah tangga, dan 3) pejabat pemerintah dan pemuka masyarakat yang menjadi contoh dan teladan warga masyarakat.


(51)

4. Metode Kontrasepsi Keluarga Berencana

a) Kondom

Menurut BKKBN (2001:3), kondom merupakan salah satu alat kontrasepsi pria yang paling mudah dipakai dan diperoleh. Kondom terbuat dari bahan karet/lateks, berbentuk tabung tidak tembus cairan, dimana salah satu ujungnya tertutup rapat dan dilengkapi kantung untuk menampung sperma. Kondom mempunyai kelebihan antara lain:

1) Murah dan mudah didapat 2) Praktis dan dapat dipakai sendiri

3) Dapat mencegah penularan penyakit seksual termasuk HIV/AID Keterbatasan kondom yaitu:

1) Terkadang ada pasangan yang alergi terhadap bahan karet kondom 2) Kondom hanya dapat dipakai satu kali

3) Kondom yang kadaluwarsa mudah sobek dan bocor Efektivitas kondom adalah sebagai berikut:

1) Efektif sebagai kontrasepsi bila dipakai dengan baik dan benar 2) Angka kegagalan teoritis 3% dan praktis 5 %

3) Mencegah penularan penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS b) MOP atau Vasektomi

Menurut BKKBN (2001:6) Pria atau suami yang boleh menjadi peserta vasektomi adalah suami dari pasangan usia subur dengan syarat sebagai berikut:


(52)

2) Mendapat persetujuan dari istri

3) Jumlah anak yang ideal, sehat jasmani dan rohani 4) Umur istri sekurang-kurangnya 25 tahun

5) Mengetahui proedur vasektomi dan akibatnya 6) Menandatangi formulir persetujuan

Vasektomi mempunyai kelebihan antara lain sebagai berikut:

1) Efektivitas sangat tinggi, kemungkinan gagal kecil sekali (0,15%) jika tindakan medis dilakukan secara benar

2) Tidak ada kematian dan angka kesakitannya rendah

3) Biaya lebih murah karena membutuhkan satu kali tindakan saja 4) Prosedur medis dilakukan hanya sekitar 15-45 menit

5) Tidak mengganggu hubungan seksual setelah vasektomi

6) Lebih aman, keluhan lebih sedikit dibandingkan dengan kontrasepsi lain Keterbatasan vasektomi antara lain:

1) Karena dilakukan dengan tindakan medis/pembedahan maka masih memungkinkan terjadi komplikasi, seperti pendarahan, nyeri dan infeksi jika tidsk melalui prosedur yang benar

2) Tidak melindungi pasangan dari penyakit menular seksual

3) Harus menggunakan kondom selama 12-15 kali senggama agar sel mani menjadi negatif

c) Pil

1) Minum satu pil setiap hari


(53)

3) Aman untuk hampir semua ibu

4) Pada awalnya perempuan sering mengalami efek samping seperti mual, flek ataupun sakit kepala, namun tidak berbahaya

5) Tidak memberi perlindungan terhadap HIV/IMS d) Suntik

1) Dapat diberikan setiap bulan atau tiga bulan sekali

2) Mudah untuk berhenti, namun perlu waktu untuk dapat hamil 3) Aman hampir bagi semua perempuan

4) Merubah haid bulanan, beberapa ibu mengalami penambahan berat badan 5) Tidak melindungi terhadap HIV/IMS

e) Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK/susuk)

1) Satu, dua atau enam kapsul plastik kecil yang diletakkan di bawah kulit lengan atas

2) Efektif selama tiga tahun untuk satu-dua kapsul dan lima tahun untuk enam kapsul

3) Mudah untuk berhenti, bisa dikeluarkan kapan saja 4) Aman bagi semua perempuan

5) Biasanya menyebabkan haid tidak teratur dan menimbulkan flek, namun tidak berbahaya

6) Tidak melindungi terhadap HIV/IMS f) AKDR

1) Alat kecil yang dipasang dalam rahim 2) Sangat efektif dan aman


(54)

3) Dapat dicabut kapan saja diinginkan

4) Bekerja hingga sepuluh tahun, tergantung jenisnya

5) Dapat menambah pendarahan haid atau menyebabkan kram 6) Tidak melindungi terhadap HIV/IMS

g) Medis Operasi Wanita (MOW)

1) Tuba Falopi (saluran telur) yang menghubungkan indung telur dan rahim dipotong dan disumbat (rahim tidak disentuh sama sekali)

2) Sangat efektif

3) Aman hampir bagi semua ibu

4) Tidak ada efek samping jangka panjang, jarang terjadi komplikasi serius akibat operasi

E. Tinjauan tentang Program Peningkatan Partisipasi Pria

1. Sejarah Partisipasi Pria dalam Praktik Keluarga Berencana

Pada tahun 1970-an KB merupakan Program pemerintah murni dengan titik tekan pada pengendalian penduduk melalui penggunaan alat kontrasepsi, konsep yang dikembangkan melalui pelembagaan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) dengan slogan cukup dua anak, laki-laki perempuan sama saja. Namun pada saat itu dominasi pemerintah sangat kuat, rakyat dipaksa untuk menggunakan alat kontrasepsi, tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan, kondisi tubuh, serta tanpa mendapatkan penjelasan kekurangan dan kelebihan alat kontrasepsi yang dipakainya, sehingga lambat laun mendapatkan kritik sangat keras yang datang dari masyarakat, LSM dalam negeri maupun LSM luar negeri.


(55)

KB adalah suatu program sosial dasar yang sangat penting artinya bagi kemajuan suatu daerah. Program ini memberikan konstribusi yang besar bagi Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) di masa kini dan yang akan datang. Dalam dasawarsa terakhir ini telah banyak usaha yang dilakukan untuk dapat menyelaraskan antara Program KB dengan Kesehatan Reproduksi sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman. Pelaksanaan pelayanan KB yang berkualitas dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang perkembangan Kependudukan dan Pembangunan keluarga sejahtera. Sejalan dengan itu kebijaksanaan pelayanan KB tidak hanya berorientasi pada angka kelahiran namun berfokus pula pada upaya-upaya pemenuhan permintaan kualitas pelayanan. (Sumber : http://kependudukan.siakad.go.id. diakses pada 15 Mei 2014, 16.04 wib).

Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) tahun 1996 yang diratifikasi Indonesia pada tahun 1996 telah mengubah paradigma Program KB, dari yang sebelumnya melalui pendekatan target demografi melalui pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan akses dan kualitas dengan memperhatikan hak-hak reproduksi dan kesetaraan gender yang meletakkan penduduk sebagai “Pusat pembangunan”. (Zaeni, 2006:14)

Kebijakan formal tentang peningkatan partisipasi pria dalam KB dan kesehatan reproduksi secara jelas baru terlihat semenjak dicanangkannya era baru program KB nasional tahun 2000. Berdasarkan Rapat Kerja Nasional Program KB tahun 2000 yang mengamanatkan perlunya ditingkatkan peran pria/laki-laki dalam Keluarga Berencana, maka hal ini lalu ditindak lanjuti melalui Keputusan Menteri


(56)

Negara Pemberdayaan Perempuan/Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Nomor 10/HK-010/B5/2001 tanggal 17 Januari 2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional dengan membentuk Direktorat Partisipasi Pria di Bawah Deputi Bidang KB dan Kesehatan Reproduksi yang bertugas merumuskan kebijakan operasional Peningkatan Partisipasi pria yang tujuan akhirnya ”Terwujudnya keluarga berkualitas melalui upaya peningkatan kualitas pelayanan, promosi KB dan kesehatan reproduksi yang berwawasan gender pada tahun 2015. (Zaeni,2006:4) Untuk mendukung efektifitas pelaksanaan di lapangan, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Kepala BKKBN melalui Keputusan nomor : 70/HK- 010/B5/2001, Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Propinsi dan Kabupaten/Kota membentuk Seksi khusus Peningkatan Patisipasi Pria di bawah Bidang Pengendalian KB dan Kesehatan Reproduksi yang bertugas menyusun paket informasi sesuai kondisi sosial, menyiapkan, dan mengembangkan segmentasi sasaran dalam rangka peningkatan partisipasi KB pria yang pelaksanaanya secara tekhnis di kecamatan dan desa dilaksanakan oleh Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) dan Petugas Pembantu Lapangan Keluarga Berencana (PPLKB). ( Zaeni,2006:4) Sejak adanya kebijakan formal tentang peningkatan peran serta pria dalam program KB tersebut, KB tidak lagi dimobilisasi, merencanakan dan mengatur kelahiran merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Hak azazi manusia, artinya pengguna alat kontrasepsi (peserta KB) memiliki hak untuk mendapatkan informasi lengkap mengenai berbagai alat kontrasepsi, kelebihan dan


(57)

kekurangannya, hak mendapatkan perawatan menyeluruh, hak otonomi perempuan untuk merawat kesehatan dan menentukan reproduksinya, dan hak memutuskan memiliki anak, atau tidak memiliki anak. Menentukan jumlah yang dikehendaki, serta jangka waktu melahirkannya. Pergeseran paradigma ini membawa konsekuensi pada pergeseran tanggung jawab dan peran suami (pria) untuk ikut berpartisipasi dalam program KB dan kesehatan reproduksi.

Pada pelaksanaan KB diharapkan adanya partisipasi dari berbagai pihak baik dari wanita / istri maupun pria / suami. Hal ini sejalan dengan isi dari Pasal 25 Ayat (1) dalam Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang menyebutkan bahwa Suami dan/atau isteri mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam melaksanakan KB. Hakekatnya, program KB tidak lantas begitu saja diserahkan kepada wanita. Partisipasi dari pria dapat menjadi faktor utama dari keberhasilan program KB tersebut. Melalui adanya partisipasi dari pria dalam program KB, diharapkan tingkat keberhasilan dari program KB dapat terus meningkat.

2. Bentuk Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana

Menurut BKKBN (2010:11), Partisipasi pria adalah tanggung jawab pria, keterlibatan dan keikutsertaan pria ber-KB dan kesehatan reproduksi serta perilaku seksual yang sehat dan aman bagi dirinya, pasangannya dan keluarganya. Menurut BKKBN, bentuk nyata dari partisipasi pria tersebut adalah:

1) Partisipasi dalam program keluarga berencana yang meliputi partisipasi secara langsung, yaitu sebagai peserta keluarga berencana, serta partisipasi tidak langsung yaitu, mendukung dan memutuskan bersama isteri dalam


(58)

penggunaan kontrasepsi, sebagai motivator keluarga berencana, merencanakan jumlah anak dalam keluarga.

2) Partisipasi dalam kesehatan reproduksi yang meliputi : membantu mempertahankan dan meningkatkan kesehatan ibu hamil, merencanakan persalinan yang aman dan mengantar memeriksakan kehamilan ke tenaga kesehatan, menghindari keterlambatan dalam mencari pertolongan medis, membantu perawatan ibu dan bayi setelah persalinan, tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan, mencegah penularan infeksi menular seksual. 3. Tujuan Program Peningkatan Partisipasi Pria

Tujuan dari program peningkatan partisipasi pria menurut Peraturan Kepala BKKBN Nomor 145/HK.010/B5/2009 tentang pedoman peningkatan partisipasi pria yaitu Terwujudnya keluarga berkualitas melalui upaya peningkatan kualitas pelayanan, promosi KB dan kesehatan reproduksi yang berwawasan gender pada

tahun 2015”. dengan sasaran programnya adalah meningkatkan pria/suami sebagai peserta KB, motivator dan kader, serta mendukung istri dalam KB dan kesehatan reproduksi, yang tolak ukurnya (1) Meningkatnya peserta KB Kondom dan Medis Operasi Pria (MOP) 10 %,dan (2) Meningkatnya motivator/kader pria 10 %. ( Zaeni,2006:4)

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai serta strategi untuk mencapainya maka ditetapkan tiga substansi pokok dari program peningkatan partisipasi pria, yaitu: a. Promosi/Sosialisasi Peningkatan Partisipasi Pria

b. Komunikasi Inter Personal/Konseling (KIP/K)


(59)

F. Kerangka Pikir

Keberhasilan pembangunan nasional sangat memerlukan dukungan penuh dari unsur-unsur masyarakat dan bukan semata-mata merupakan tanggung jawab pemerintah. Tujuan pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan nasional mencakup semua aspek kehidupan termasuk kegiatan yang dilaksanakan dalam program KB.

Program KB merupakan program yang digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi permasalahan melonjaknya angka pertumbuhan penduduk. Pada pelaksanaan program KB, diharapkan adanya partisipasi dari berbagai pihak baik dari wanita atau istri maupun pria atau suami. Hal ini sejalan dengan isi dari Pasal 25 Ayat (1) dalam Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang menyebutkan bahwa Suami dan/atau isteri mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam melaksanakan KB. Program KB saat ini tidak hanya fokus pada program pengendalian populasi dan penurunan fertilitas tetapi juga diarahkan pada pemenuhan hak-hak reproduksi dan kesetaraan gender. Berdasarkan hal tersebut, maka BKKBN menindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Kepala BKKBN Nomor 145/HK.010/B5/2009 tentang pedoman peningkatan partisipasi pria. Walaupun Pemerintah telah mulai melaksanakan pembangunan yang berorientasi pada kesetaraan gender, namun pelayanan KB saat ini masih lebih banyak terfokus kepada perempuan, sedangkan partisipasi pria dalam menggunakan alat kontrasepsi masih sangat rendah. Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di Kota


(60)

Bandar Lampung sampai dengan Bulan Juni 2014 berjumlah 112.485, dari jumlah tersebut sebanyak 109.359 (97,22%) menjadi Peserta KB Aktif (PA) dengan rincian peserta KB aktif wanita berjumlah 104.770 akseptor (95,80%), sedangkan peserta KB aktif pria berjumlah 4.589 akseptor (4,20%). Jumlah tingkat kesertaan KB pria (yang menggunakan MOP) hanya berjumlah 1.341 akseptor (1,23% dari total PA), sedangkan partisipasi pria dengan menggunakan alat kontrasepsi kondom berjumlah 3.248 akseptor (2,97% dari jumlah PA).

Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan struktur kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan. Begitu juga dengan progam peningkatan partisipasi pria dalam praktik KB ini, program ini harus diimplementasikan karena melalui prosedur ini proses kebijakan secara keseluruhan dapat dipengaruhi oleh tingkat keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan model implementasi kebijakan Van Metter dan Van Horn yang melihat suatu implementasi kebijakan publik ditentukan oleh enam variabel yang mempengaruhi kebijakan publik, yaitu ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, karakteristik agen pelaksana, sikap pelaksana, komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana, serta lingkungan ekonomi, sosial dan politik. Secara jelas kerangka pikir bisa dilihat pada bagan berikut:


(1)

130

anak banyak rejeki, anak laki-laki adalah raja, serta rumor yang berkembang tentang MOP merupakan penghambat dari jalannya program ini.

3. Lingkungan politik dapat dilihat dari dukungan pemerintah berupa pemberian uang pengganti tiga hari kerja sebesar seratus ribu rupiah bagi peserta vasektomi yang dapat digunakan selama pria tersebut tidak bekerja selama beberapa hari.

2. Dalam pengimplementasian program peningkatan partisipasi pria dalam praktik KB ditemukan beberapa hambatan internal, yaitu kurangnya konselor di Kota Bandar Lampung, dana atau anggaran yang disediakan oleh Pemerintah belum mencukupi serta adanya penolakan dari beberapa PLKB untuk menjalankan program ini. Selain itu juga ditemukan ditemukan hambatan eksternal yang berasal dari lingkungan sosial, agama, ekonomi dan budaya masyarakat.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka peneliti memberikan beberapa saran, yaitu:

1. Perlunya penambahan jumlah konselor dan jumlah anggaran untuk menjalankan program peningkatan partisipasi pria dalam praktik KB agar program ini dapat berjalan lebih maksimal mengingat konselor yang ada saat ini belum mencapai jumlah ideal serta pelayanan KB pria di tempat kerja belum tersedia karena anggaran yang ada saat ini belum cukup memadai.


(2)

131

Selain itu PLKB yang masih menolak program juga perlu diberikan sosialisasi dan pemahaman mengenai manfaat KB pria agar seluruh PLKB mau menerima dan menjalankan program ini.

2. Bentuk dukungan pemerintah berupa uang sebesar seratus ribu rupiah bagi peserta vasektomi sebaiknya ditambahkan, mengingat jumlah tersebut sangat sedikit untuk biaya keperluan hidup dan biaya pemulihan peserta selama beberapa hari. Sebaiknya besaran uang kompensasi yang diberikan sebesar limapuluh ribu rupiah perhari atau sebesar duaratus ribu rupiah per peserta. Selain itu obat-obat pemulihan pasca operasi sebaiknya juga diberikan secara gratis agar masyarakat tidak harus membeli lagi dengan menggunakan uang kompensasi tersebut.

3. Untuk mengatasi respon masyarakat yang masih rendah, BKKBPP Kota Bandar Lampung dan PLKB perlu mengembangkan materi sosialisasi program KB pria dengan lebih intensif. Sosialisasi dapat dilakukan dengan membentuk kelompok KB pria yang dikoordinir oleh tokoh masyarakat atau suami yang sudah melakukan KB pria. Hal ini lebih memudahkan PLKB untuk mensosialisasikan KB pria dan meluruskan anggapan yang berkembang di masyarakat mengenai KB pria mengingat sosialisasi dapat langsung dilakukan ke kelompok sasaran, bukan hanya melalui kegiatan PKK ataupun Posyandu yang justru jarang didatangi oleh para suami/pria.

4. Untuk mensosialisasikan KB pria sebaiknya BKKBN Provinsi maupun BKKBPP Kota Bandar Lampung perlu bekerjasama dengan media. Kerjasama tersebut dapat berupa inisiatif BKKBPP untuk memuat tajuk berita utama mengenai KB pria di media cetak, pemasangan banner yang berisi


(3)

132

ajakan untuk melakukan KB pria serta pengenalan KB Pria melalui media online agar masyarakat dengan golongan ekonomi menengah keatas juga mengetahui adanya KB pria beserta manfaatnya, mengingat sosialisasi KB di media saat ini lebih terfokus kepada KB wanita.

5. Untuk mengatasi permasalahan terkait faktor agama, sosial dan budaya yang menghambat pelaksanaan peningkatan partisipasi pria bisa dilakukan dengan beberapa cara. Berkaitan dengan faktor agama, BKKBN dan BKKBPP bisa bekerjasama dengan tokoh agama untuk meyakinkan masyarakat tentang KB pria, para ulama dapat menyelipkan pesan untuk ber-KB pria dalam setiap ceramahnya. Berkaitan dengan faktor sosial budaya perlu adanya sosialisasi intensif oleh para pelaksana untuk membuat para suami mengerti bahwa KB tidak hanya urusan wanita saja dan meluruskan rumor yang berkembang di masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku:

Agustino, Leo. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

BKKBN. 2003. Pedoman Pembinaan Peran PLKB dalam Program KB Nasional. Jakarta: BKKBN.

BKKBN. 2010. Petunjuk Pelaksanaan Peningkatan Partisipasi Pria. Jakarta: BKKBN.

BKKBN. 2010.Kedudukan dan Peran Pendidikan Kependudukan Dalam

Mendukung Program KB Nasional.Jakarta:BKKBN

Dunn, William N. 2003.Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gava Media.

Islamy, Irfan. 2001. Prinsip- prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta:

Bumi Aksara.

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda karya Offset.

Nugroho, Riant. 2012. Public Policy. Jakarta : Elex Media Komputindo.

Parsons, Wayne. 2011. Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisis

Kebijakan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Pasolong, Harbani. 2010. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.

Santoso, Pandji. 2009. Administrasi Publik, Teori dan Aplikasi Good

Governance.Bandung: PT. Refika Aditama.

Sugiyono, 2010.Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.


(5)

Wahab, Solichin Abdul. 2004. Analisis Kebijaksanaan ; Dari Formulasi ke

Implementasi Kebijaksanaan Negara.Jakarta:Bumi Aksara.

Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik (Teori, Proses, dan Studi Kasus ) . Yogyakarta: PT.Buku Seru.

Referensi Dokumen:

Rencana Strategis (Renstra) Badan Koordinasi Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kota Bandar Lampung Tahun 2010 - 2015

Referensi Peraturan :

Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga

Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/09/M.PAN/5/2007

Referensi Skripsi dan Tesis :

Zaeni, Akhmad . 2006. Implementasi Kebijakan Program Keluarga Berencana di

Kabupaten Batang Studi Kasus peningkatan kesertaan KB Pria di

Kecamatan Gringsing .[Tesis]. Semarang: Program Magister Ilmu

Administrasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.Universitas Diponogoro

Referensi website :

http://bps.go.id diakses pada 15 Mei 2014.14.30 WIB


(6)

http://kependudukan.siakad.go.id. diakses pada 15 Mei 2014. 16.04 WIB http://www.academia.edu/6051020/Partisipasi_pria_dalam_pelaksanaan_keluarg

a_berencana_khususnya_penggunaan_alat_kontrasepsi, diakses pada 15 Agustus

2014, pukul 06.15 WIB

http://www.kemendagri.go.id/pages/profildaerah/kabupaten/id/18/name/lampung/