Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007)

(1)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PRODUSEN PSIKOTROPIKA MENURUT UU NO.5 TAHUN 1997 TENTANG

PSIKOTROPIKA

(Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan

Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana HUkum

Oleh :

NAMA : MEYRANDA LISTA PURBA NIM : 040200012

Jurusan Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PRODUSEN PSIKOTROPIKA MENURUT UU NO.5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No.

455K/PID,SUS/2007)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan

Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana HUkum

Oleh :

NAMA: MEYRANDA LISTA PURBA NIM : 040200012

Bagian : Hukum Pidana Program Kekhususan : Hkum Pidana

Disetujui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

(H. ABUL KHAIR,S.H.M.HUM) NIP: 131842854

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

(M.NUH,SH,M.Hum) (Dr.MARLINA, SH,M.Hum)

NIP.130810667 NIP.132300072

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

ABSTRAKSI

• M.Nuh, SH,M.Hum

• Dr. Marlina, SH,M.Hum

• Meyranda Lista Purba

Skripsi ini berjudul Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menganalisa bagaimana ketentuan pidana terhadap produsen psikotropika menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, selain itu skripsi ini juga membahas apa yang menjadi faktor penyebab timbulnya produsen psikotropika di Indonesia serta bagaimana penerapan hukum terhadap produsen psikotropika di Indonesia menginggat saat ini Indonesia tidak lagi hanya sebagai Negara pemakai Psikotropika melainkan Negara yang telah ikut aktif menjadi produsen psikotropika, hal ini terungkap dengan banyaknya kasus-kasus produsen psikotropika yang telah terangkat ke media masa dan telah diadili secara hukum positif Indonesia.Perkembangan penggunaan psikotropika saat ini semakin meningkat karena tidak lagi hanya dipergunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kesehatan saja, tetapi sudah sampai pada penyalahgunaan obat-obat itu sendiri yang bertujuan untuk memproleh keuntunggan yang besar bagi orang-orang tertentu yang tidak bertanggungjawab, seperti orang-orang yang menjadi penggedar ataupun produsen psikotropika yang memproduksi tanpa izin. Beberapa upaya sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menanggulangi penyebaran psikotropika yang peredarannya tanpa izin. Salah satunya adalah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang bertujuan untuk mengatur dan menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika dan memberantas peredaran gelap psikotropika. Ketentuan pidana di dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika diatur dalam BAB XIV dimulai dari Pasal 59 sampai dengan Pasal 72, Sedangkan pasal yang mengatur tentang sanksi pidana atas pelanggaran psikotropika kepada produsen psikotropika diatur dalam Pasal 59,60 dan 70 UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dimana sanksi pidana yang digunakan dalam pasal-pasal tersebut disusun secara kumulatif.Setelah berlakunya Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang psikotropika yang memiliki sanksi pidana yang berat ternyata tidak mampu untuk menghambat penyalahgunaan psikotropika, dan penerapan hukum terhadap produsen psikotropika dalam praktek peradilan masih kurang sesuai degan ketentun Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, sebagai tindak pidana khusus dalam prakteknya ada beberapa kekhususan baik secara hukum materil dan formil yang berbeda dengan KUHP, dan dalam praktek hal ini masih kurang diterapkan sebagai mana mestinya.Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada ilmu pengetahuan, khususnya mengenai pemberantasan produsen psikotropika di Indonesia dan bisa menyadi masukan bagi penyemournaan peraturan mengenai pencegahan dan pemberantasan produsen psikotropika.


(4)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Segala pujian, hormat, kemuliaan dan ucapan syukur, penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus kristus,atas kasih dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun tujuan penulisan skripsi ini dilakukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memproleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Judul skripsi ini adalah PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP

PRODUSEN PSIKOTROPIKA MENURUT UU NO.5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007)

Pada kesempatan yang istimewa ini, dengan segala hormat dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

• Bapak Prof. Charuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

• Bapak Prof. Dr. Runtung SH, M.Hum, selaku Dekan Universitas Sumatera Utara.

• Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.Hum, Bapak Syafrudin Hasibuan SH, MH, DFM dan Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum, yang masing-masing selaku Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

• Bapak Abul Khair, SH, M.Hum selaku ketua Departemen Hukum Pidana yang telah memberi bimbingan kepada penulis.

• Bapak M.Nuh, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I dalam

penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

• Ibu Dr. Marlina, SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini, yang telah dengan sabar membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar dapat menjadi lebih baik.

• Ibu Zulfi Chairi, SH,M.Hum selaku Dosen Wali Penulis sejak pertama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membimbing dan memperhatikan

• Seluruh dosen-dosen di Fakultas hukum yang telah dengan penuh kerelaan membagikan ilmunya kepada penulis sejak pertama kali penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

• Orangtua tercinta, Ayahanda B. Purba dan Ibundan L. Br Tarigan, yang dengan penuh cinta dan limpahan kasihsayang telah membesarkan penulis, yang dengan segenap doa, air mata dan canda tawa membimbing penulis dari kecil sampai menyelesaikan gelar sarjananya, i love u so much... Bapak dan Mamak adalah orangtua


(6)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

terhebat yang pernah aku lihat, aku bangga menjadi anak bungsu di keluarga kita.

• Abanghanda Baskami Purba dan Eda Br Tarigan dan ketiga

keponakanku yang menjadi penghibur hati penulis, my Angel Oktaria Purba, Frisqila cristafany dan Bartheo emsuranta Purba

• Kakahanda tersayang Werdayani Purba, SH yang dengan penuh kesabaran, kasih sayang, cinta, dan ketulusan hati membantu penulis dan menjadi teman berdiskusi selama pengerjaan skripsi ini, dan kepada kak Heniyarta Purba, SE, Amd dan Abang Ipar Jhon Henrik M.Silalahi, ST.

• Seluruh teman-teman setambuk 2004, teristimewa group A yang keren habiz dan adek-adek setambuk yang selalu ramah menyapa waktu lewat di koridor.

Penulis telah berusahan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki dalam penulisan skripsi ini, akan tetapi Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari segala kekurangan. Untuk itu Penulis tidak tertutup untuk segala bentuk kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Besar harapan penulis, skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan pengetahuan ilmu hukum khususnya hukum pidana, bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca.

Medan, Juni 2008 Penulis


(7)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

Meyranda Lista Purba

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAKSI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 3

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D. Keaslia Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 5

1.Pengertian Psikotropika dan Perkembangannya ... 5

2.Pengertian Produsen Psikotropika ... 10

3.Pendapat Sarjana Tentang Pidana dan Pemidanaan ... 11

a. Pidana ... 11

1. Pengertian Pidana ... 11

2. Jenis-Jenis Pidana di Indonesia ... 12

b. Pemidanaan ... 23

1. Pengertian Pemidanaan ... 23

2. Teori-Teori Mengenai Tujuan Pemidanaan ... 25

F. Metode Penelitian ... 30


(8)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

BAB II KETENTUAN PIDANA TERHADAP PRODUSEN PSIKOTROPIKA MENURUT UU NO.5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA

A. Latar Belakang Lahirnya UU Psikotropika ... 33

B. Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika ... 41

C. Proses Hukum Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika ... 47

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA PORODUSEN PSIKOTROPIKA DI INDONESIA ... 54

A. Faktor Hukum ... 54

1.Lemahnya Pengawasan Terhadap Penggunaan Visa Oleh WNA .. 54

2. Lemahnya Pengawasan Terhadap Berdirinya suatu Perusahaan .. 61

B. Faktor Diluar Hukum ... 62

1.Sebagai Perwujudan Gaya Hidup ... 62

2.Faktor Permintaan Yang Tinggi Terhadap Psikotropika ... 67

BAB IV ANALISA KASUS ... 72

A. Kronologis Kasus ... 72

B. Analisa Putusan Hakim ... 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 113

• Kesimpulan ... 113


(9)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya, saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat semakin maraknya pemakaian secara tidak sah bermacam-macam narkotika dan psikotropika. Kekhawatiran ini semakin dipertajam akibat meluasnya peredaran gelap narkotika dan psikotropika yang telah merebak di segala lapisan masyarakat, termasuk di kalangan generasi muda. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara selanjutnya, karena generasi muda adalah penerus cita-cita bangsa dan negara pada masa mendatang.

Peningkatan peredaran gelap narkotika dan psikotropika tidak terlepas dari kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional yang beroperasi di berbagai negara dalam suatu jaringan kejahatan internasional. Karena keuntungan yang sangat besar, organisasi kejahatan tersebut berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan dan mengembangkan terus usaha peredaran gelap narkotika dan psikotropika.

Saat ini Indonesia tidak lagi hanya sebagai Negara pemakai Psikotropika melainkan Negara yang telah menjadi produsen psikotropika, hal ini terungkap


(10)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

dengan banyaknya kasus-kasus produsen psikotropika yang telah terangkat ke media masa dan telah diadili secara hukum positif Indonesia.Salah satu dari sekian banyak produsen psikotropika yang terbongkar di Indonesia adalah kasus yang penulis angkat yakni kasus yang terjadi di Surabaya, selain kasus yang diangkat penulis, terbongkarnya kasus pabrik ekstasi terbesar ketiga di dunia yang berlokasi di Cekande,Tangerang, Banten juga telah menunjukkan bahwa bangsa ini telah memproduksi psikotropika dalam sekala besar. Anehnya dalam kasus tersebut terdapat 7 warga negara asing yang pada dasarnya menjadi dalang dari tindak pidana tersebut, karena ketujuh WNA ini adalah teknisi pabrik dan peracik ekstasi. Persoalannya bagaimana seorang WNA bisa mendirikan sebuah pabrik yang notabene adalah sulit. Pada saat ini warga negara asing di Indonesia yang paling banyak terlibat kasus narkotika berasal dari Nigeria, di samping dari negara lainnya seperti China, Belanda, Prancis, Australia dan beberapa negara lain.

Penyalahgunaan psikotrpika dapat kita golongkan menjadi bagian dari kejahatan, hal ini dapat kita lihat dari pengertian kejahatan yang dikemukakan oleh Mr.W.A Bonger, yang menyatakan kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti social yang memproleh tantangan dengan sadar dari Negara berupa pemberian penderitaan.1

1

Ridwan,H.M., Ediwarman, Azas-Azas Kriminologi, USU Press, Medan,1994, Hal.46

Demikian juga dengan penyalahgunaan psikotropika yang merupakan suatu perbuatan yang anti sosial yang ketentuan pidananya telah diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.


(11)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

Kejahatan psikotropika sudah dikenal lama dikancah internasional, pesikotropika yang pada dasarnya adalah obat atau zat yang sanggat penting dan berguna dalam pengobatan,telah disalahgunakan, penyalahguaan obat-obat terlarang itu merupakan sumber dari kejahatan, artinya dengan mengonsumsinya secara berlebihan bahkan sampai kecanduan akan membuat pemakainya tidak sadar diri dan mungkin nekat melakukan kejahatan lain. Sehingga pemakaian psikotropika yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dikenakan sanksi yang cukup berat di Indonesia.

Beberapa upaya sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menanggulangi penyebaran psikotropika yang peredarannya tanpa izin. Salah satunya adalah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang bertujuan untuk mengatur dan menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika dan memberantas peredaran gelap psikotropika

Setelah berlakunya Undang-Undang No.5 Tahun 1997 ternyata tidak mampu untuk menghambat penyalahgunaan psikotropika, ha ini terbukti dengan semakin meningkatnya kasus produsen psikotropika di Indonesia yang terungkap dan yang telah terorganisasi secara internasional dan banyak melibatkan warga negara asing. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya 2 (dua) pabrik ekstasi di Tangerang pada awal April 2002,2

2

http:/

setelah itu terungkap lagi keberhasilan polisi


(12)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

menemukan pabrik ekstesi di Serang, Banten pada pertengahan Nopember 2005, 3

1. Bagaimana ketentuan pidana terhadap produsen psikotropika menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

dan pada Tahun 2007 semakin banyak pabrik ekstasi yang terungkap di Indonesia terutama di daerah Batam dan Jakarta.

Berdasarkan uraian diatas, penulis menganggap perlu meneliti bagaimanakah ketentuan sanksi pidana dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 terhadap orang perorangan maupun korporasi yang telah memproduksi psikotropika tanpa izin atau secara illegal.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan maka yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut:

2. Apa yang menjadi faktor penyebab timbulnya produsen psikotropika di Indonesia.

3. Bagaimana penerapan hukum terhadap produsen psikotropika di

Indonesia.

1. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana ketentuan pidana terhadap produsen

psikotropika menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

3


(13)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

2. Untuk mengetahui apa yang menjadi factor timbulnya produsen psikotropika di Indonesia.

3. Serta bagaimana penerapan hukum terhadap produsen psikotropika di Indonesia.

Dalam penelitian ini ada 2 (dua) manfaat, yaitu: C. Manfaat Teoritis

D. Bagi penulis sebagai mahasiswa program pidana, untuk lebih memperdalam ilmu khususnya pengetahuan pidana sesuai dengan program yang diambil

E. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya

hukum pidana. F. Manfaat Praktis

Diharapkan melalui penulisan skripsi ini dapat memberikan masukan bagi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan permasalahan khususnya mengenai kejahatan produsen psikotropika yang semakin meningkat di Indonesia.

2. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, pemikiran, gagasan dan usaha penulis sendiri tanpa adanya penjiplakan dari hasil karya orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu,namun apabila terdapat kesamaan maka untuk itu penulis dapat bertanggungjawab atas keaslian penulisan sekripsi ini.


(14)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

1. Pengertian Psikotropika dan Perkembangannya

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis buka narkotika, yang berkasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif dari susunan saraf pusat yang menyebabkan prubahan khas pada aktifitas mental dan prilaku.4 Pengertian tersebut menekankan adanya pembatasan ruang lingkup pengertian psikotropika yang dipersempit, yaitu zat atau obat yang bukan narkotika, dengan maksud agar tidak berbenturan dengan ruang lingkup narkotika.5

a. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Pada dasarnya psikotropika adalah obat atau zat yang sanggat penting dan berguna dalam pengobatan, akan tetapi pemakaian psikotropika yang berlangsung lama tanpa pengawasan dan pembatasan kesehatan dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk, tidak hanya menyebabkan ketergantungan bahkan juga menimbulkan berbagai macam penyakit serta kelainan fisik si pemakai,tidak jarang juga menimbulkan kematian.

Psikotropika terbagi dalam empat golongan yaitu:

6

4

Pasal 1Undang-Undang No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotripika

5

Gatot Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2004, Hal.17

6

Pasal 2 ayat (dua) Penjelasan atas UU RI No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Adapun jenis-jenis Psikotropika golongan I adalah: Brolamfetamina (DOB), Brolamfetamina (DET), Brolamfetamina (DMA), Brolamfetami (DMHP), Brolamfetamina (DMT), Brolamfetamina (DOET), Etisikilidina


(15)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

(PCE), Etriptamia, Katinona, (+)-Lisergida (LSD_25), MDMA, Meskalina, 4-metil-amomoreks, MMDA, N-etil MDA, N-Hidroksi MDA, Paraheksil, PMA, Psilosina,Psilotsin, Psilosibina, Rolisiklidina (PHP, PCPY), STP,DOM, Tenampetamina (MDA), Tenosiklinida (TCP), TMA.

b. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.7

c. Psiktropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam trapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Adapun jenis-jenis Psikotropika golongan II adalah: Amfetamina, Deksamfetamina, Fenetelina, Fenmetrazina,Fensiklidina, Levamfetamina, Levomentamfetamina, Meklkualom, Metamfetamina, Metamfetamina Resemat, Metakualom, Metilfenidal, Sekobarbital, Zipepprol.

8

d. Psikotropika golongan IV adalah psokotropika yang berkhasiat Adapun jenis-jenis Psikotropika Golongan III adalah: Amobarbital, Buprenorfina, Butal Bital, Flunitrazepan, glutetimida, katina, Pentazosina, Pentobarbital, Sklobarbital.

7

Ibid

8


(16)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

pengobatan dan sangat luas digunakan dalam trapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai p;otensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.9

Psikotropika yang sekarang sedang populer dan banyak disalahgunakan adalah psikotropika Golongan I, diantaranya yang dikenal dengan Ekstasi dan psikotropika Golongan II yang dikenal dengan nama Shabu-shabu.Berikut ini penulis hanya kan membahas psikotopika yang paling banyak dikonsumsi, yaitu ekstasi yang sekaligus menjadi kasus yang penulis bahas.

Adapun jenis-jenis Psikotropika golongan IV adalah: Allobarbital, Alprazolam, Amferamona, Aminorex, Barbital, Benzfetamina, Bromazepam, Brotizolam, Butabarbital, Delorazepam, Seizepam, Astazolam, Etil Amfetamina, etil Loflazapate, etinamat, Eklorvinol, Fencamfamina, Fendimetrazina, Fenobarbital, Fenproporeks, fentermina, Fludiazepam, Flurazepam, Halazepam, Haloksazolam, Kamazepam, Katazolam, Klobazam, Kloksazolam, Klonozepam, Klorozapat, Klordiazepoksida, Klotiazepam, Lefetamina, Leprazolam, Lorazepam, Lormetazepam, Mazindol, Medazepam, Mefenoreks, Mefrobamat, Mesokarb, Metilfendobarbital, Metiprilon, Midazolam, Nimetazepam, Nitrazepam, Nordazepam, Oksazepam, Oksazepama, Oksazolam, Pemolina, Pinazepam, Pipradol, Pirovalerona, Prazepam, Sekbutabarbital, Temazepam, Sekbutabarbital, Temazepam, Tetrazepam, Triazolam, Vinilbital.

9


(17)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

Ekstasi, Rumus kimia XTC adalah 3-4-Methylene-Dioxy-Methil-Amphetamine (MDMA). Senyawa ini ditemukan dan mulai dibuat di penghujung akhir abad lalu. Pada kurun waktu tahun 1950-an, industri militer Amerika Serikat mengalami kegagalan didalam percobaan penggunaan MDMA sebagai serum kebenaran. Setelah periode itu, MDMA dipakai oleh para dokter ahli jiwa. XTC mulai bereaksi setelah 20 sampai 60 menit diminum.

Efeknya berlangsung maksimum 1 jam. Seluruh tubuh akan terasa melayang. Kadang-kadang lengan, kaki dan rahang terasa kaku, serta mulut rasanya kering. Pupil mata membesar dan jantung berdegup lebih kencang. Mungkin pula akan timbul rasa mual. Bisa juga pada awalnya timbul kesulitan bernafas (untuk itu diperlukan sedikit udara segar). Jenis reaksi fisik tersebut biasanya tidak terlalu lama. Selebihnya akan timbul perasaan seolah-olah kita menjadi hebat dalam segala hal dan segala perasaan malu menjadi hilang. Kepala terasa kosong, rileks dan "asyik".

Saat keadaan seperti ini, pemakai merasa membutuhkan teman mengobrol, teman bercermin, dan juga untuk menceritakan hal-hal rahasia. Semua perasaan itu akan berangsur-angsur menghilang dalam waktu 4 sampai 6 jam. Setelah itu pemakai akan merasa sangat lelah dan tertekan.

Perkembangan penggunaan psikotropika saat ini semakin meningkat karena tidak lagi hanya dipergunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kesehatan saja, tetapi sudah sampai pada penyalahgunaan obat-obat itu sendiri yang bertujuan untuk memproleh keuntunggan yang besar bagi orang-orang tertentu yang tidak bertanggungjawab, seperti orang-orang yang menjadi


(18)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

penggedar ataupun produsen psikotropika yang memproduksi tanpa izin.

Penyalagunaan psikotropika mulai mendunia sejak awal dekade 90-an. Sedangkan di Indonesia, ekstasi sebagai salah satu jenis psikotropika yang paling digemari, baru dikenal di Indonesia pada pertengahan dekade 90-an.10

Saat ini Indonesia bukan hanya sebagai Negara transit ataupun Negara tujuan bagi peredaran gelap psikotropika, namun sudah berkembang menjadi salah satu Negara produsen psikotropika. Keadaan ini mulai dibuktikan dengan ditemukannya 2 (dua) pabrik ekstasi di Tangerang pada awal April 2002.

Saat ini penyalahguaan psikotropika menjadi salah satu kejahatan yang berkembang secara pesat hampir diseluruh Negara di dunia,karena kejahatan ini sudah terorganisir rapi, bahkan peredarannya sudah lintas tranasional, hal ini tentu sangat meresahkan.

11

Konsultan Ahli Badan Nasional Narkotika (BNN), Brigjen Polisi (purn) Dra Noldy Ratta, mengemukakan hal itu saat mempresentasikan kebijakan nasional, pemberantasan penyalagunaan dan peredaran gelar narkoba. Tersangka narkoba dari kalangan WNA meningkat setiap tahun, hal itu mengindikasikan sindikat peredaran gelap narkoba di Tanah Air digerakan oleh organisasi internasional dengan dukungan dana yang tidak terbatas, sarana teknologi canggih dan dijalankan oleh tenaga profesional dengan jaringan yang luas," katanya. Ia tidak merinci peningkatan jumlah WNA tersangka narkoba di wilayah Indonesia namun warga asing itu merupakan bagian dari 34.166 orang (29 persen)

10

Dani krisnawati, Eddy O. S. Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigit Riyanto, Supriyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, Hal. 175

11


(19)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

narapidana/tahanan narkoba, selebihnya sekitar 64.286 orang (71 persen) merupakan napi/tahanan non-narkoba dari 118.453 orang napi/tahanan.

Data di Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan, jumlah perkara yang ditangani kepolisian pada tahun 2000 sebanyak 3.478 kasus, tahun 2001 sebanyak 3.617 kasus, tahun 2002 sebanyak 3.751, tahun 2003 sebanyak 7.140 kasus dan tahun 2004 sebanyak 8.410. Sedangkan jumlah pelaku pada tahun 2001 sebanyak 4.924 orang, tahun 2002 sebanyak 5.310 orang, tahun 2003 sebanyak 9.717 orang dan tahun 2004 sebanyak 11.323 orang. Baik kasus dan pelaku mengalami kenaikan setiap tahun dan akan terus naik jika tidak ada upaya dari kita semua untuk menghentikan penyalahgunaan narkoba.

Rata-rata pengungkapan kasus narkoba sebanyak 29 kasus per hari yang melibatkan 44 tersangka per hari, baik warga asing maupun penduduk Indonesia. Dari data versi Ditjen Pemasyarakatan Depkum dan HAM, posisi Pebruari 2007 itu, napi/tahanan narkoba didominasi oleh kelompok pemakai (74 persen), disusul pengedar (24 persen) dan produsen (2 persen).

2. Pengertian Produsen Psikotropika

Sebelum penulis membahas pengertian produsen psikotropika kita perlu melihat pengertian produksi yang dituangkan dalam Bab I pasal 1 ayat 3 UU psikotropika yang menyatakan produksi adalah kegiatan atau proses penyiapan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas, dan/atau mengubah bentuk psikotopika.


(20)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

penyidiaan bahan-bahan untuk diolah menjadi psikotropika, sudah dapat dikatakan melakukan kegiatan memproduksi psikotropika, karena sudah melakukan proses persiapan walaupun bahan-bahannya belum diolah. Demikian pula dengan membungkus obat-obatan yang tergolong psikotropika termasuk perbuatan memproduksi psikotropika, walaupun pelakunya tidak mengolah atau membuat psikotropika.12

3. Pendapat Sarjana Tentang Pidana dan Pemidanaan

Pasal 5 menyatakan bahwa pikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang telah memiliki izin dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Didalam UU Nomor 5 Tahun 1997 tidak ada ada ketentuan yang secara nyata dan jelas apa yang dimaksud dengan podusen psikotropika, namun dari pasal-pasal yang ada kita dapat mengambil kesimpulan bahwa produsen psiktropka adalah pabrik obat yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mengadakan kegiatan atau proses menyiapkan,mengolah, membuat, menghasilkan,mengemas dan/atau mengubah bentuk psikotropika.

a. Pidana

1.Pengertian Pidana

Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata pidana

12

Gatot, Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2004, Hlm. 24


(21)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

berarti hal yang di pidanakan yaitu yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan. Tentunya ada alasan untuk melimpahkan pidana ini dan alasan ini selayaknya ada hubungan dengan suatu keadaan, dalam mana seorang oknum yang bersangkutan betindak kurang baik. Maka unsur “hukuman” sebagai suatu pembalasan adalah tersira dalam kata “pidana.”13

Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beseta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya kepada pelaku.14

Pada umumnya para sarjana menyebutkan hakekat dari pidana itu adalah penderitaan atau nestapa, Demikian juga misalnya pendapat dari Bonger yang menyatakan bahwa pidana adalah mengenakan suatu penderitaan, karena orang itu

Untuk memberikan penjelasan tenang arti pidana secar lebih kongkrit berikut penulis kutipkan beberapa pengertian pidana menurut para ahli, diantaranya;

Mr.W.P.J. Pompe memberikan batasan yang dimaksud dengan hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai prbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.

Prof. Sudarto,S.H. mendefenisikan bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang disengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

13

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia, PT.Eresco, Bandung, 1986, Hal.1

14


(22)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

telah melakukan suatu perbuatan yang meruikan masyarakat. Ini sama dengan yang dikatakan oleh Roeslan Saleh bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu.15

Stelsel pidana merupakan bagian dari hukum penitensier yang berisi tentang jenis-jenis pidana,batas-batas penjatuhan pidana,cara penjatuhan pidana, cara dan di mana menjalankannya, begitu juga mengenai pengurangan, penambahan,dan pengecualian penjatuhan pidana. Disamping itu hukum panitensier juga berisi tentang system tindakan dalam usaha Negara menjalankan ketertiban.

2. Jenis-Jenis Pidana atau Stelsel Pidana di Indonesia

16

Stelsel pidana Indonesia pada dasarnya diatur dalam Buku I KUHP dalam bab ke-2 dari Pasal 10 sampai Pasal 43. KUHP sebagai induk atau sumber hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP. Menurut stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok, antara pidana pokok dengan pidana tambahan. Adapun perbedaan antara jenis-jenis

Mencantumkan hukuman pada setiap larangan dalam hukum pidana, disamping bertujuan untuk kepastian hukum dalam rangka membatasi kekuasaan Negara juga bertujuan untuk mencegah orang yang berniat melanggar hukum pidana, dan adanya stelsel hukum akan lebih menjamin kepastian hukum di Indonesia.

15

16


(23)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

pidana pokok dengan pidana tambahan adalah sebagai berikut:

a) Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan(imperative), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif

b) penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan pidana tambahan(berdiri sendiri), tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis pidana pokok.

c) jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila tidak mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan(exeutie).17

Untuk memahami lebih mendalam mengenai jenis-jenis hukuman berdasarkan pasal 10 KUHP, maka jenis-jenis hukuman tersebut akan diuraikan secara mendalam satu persatu.

A. Hukuman-Hukuman Pokok

Pidana pokok adalah pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda, dimana apabila dalam persidangan, tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut hakim telah terbukti secara sah dan meyakinkan maka hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok, sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yang diancamkan pada tindak pidana tersebut,diantaranya:

1. Hukuman Mati

17


(24)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

Pidana mati merupakan pidana yang terberat, karena pidana ini merupakan penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada di tangan Tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pendapat yang pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri.

Selain itu kelemahan dari pidana mati ini adalah apabila telah dijatuhkan atau dijalankan, maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan,baik revisi atas jenis pidananya maupun perbaikan atas diri terpidananya apabila kemudian hari ternyata penjatuhan pidana tersebut keliru, baik kekeliruan terhadap orang atau pembuatnya, maupun kekeliruan tethadap tindak pidana yang mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan dijalankan atau juga kekeliruan atas kesalahan terpidana.18

Sebetulnya pembentuk UU menyadari akan sifat pidana mati sebagai mana telah diuraikan diatas.Oleh karena itu, walaupu n pidana mati dicantumkan dalam UU, namun harus dipandang sebagai tindakan darurat atau noodrech19

a) Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan Negara

. Tiada lain maksudnya agar pidana mati hanya dijatuhka pada keadaan-keadaan tertentu yang khusus dipandang sangat mendesak saja. Oleh karena itu dalam KUHP, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati hanyalah pada kejahatan-kejahatan-kejahatan-kejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang jumlahnya juga sangat terbatas, seperti:

b) Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau

18

Ibid, Hal. 29

19


(25)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

dilakukan dengan factor-faktor pemberat, misalnya Pasal 140 (3) atau Pasal 340

c) Kejahatan terhadap harta benda yang disertai dengan unsure-unsur yang sangat memberatkan,contoh Pasal 365 ayat 4

d) Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai.

Bagi hakim tidak harus selalu menjatuhkan pidana mati karena bagi setiap kejahatan yang diancam dengan pidana mati, selalu diancam juga pidana alternatifnya, yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara waktu setinggi-tingginya 20 tahun.

2. Hukuman Penjara

Pidana penjara adalah pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut didalam sebuah lembaga permasyarakatan yang menyebabkan orang tersebut harus menaati semua peraturan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar.20

a. Pidana seumur hidup,dan

Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana yang terdapat dalam system hukum pidana di Indonesia, sebagai mana termaktub dalam Pasal 10 KUHP. Pidana penjara menurut Pasal 12 ayat (1) KUHP terdiri dari:

b. Pidana penjara selama waktu tertentu.

Menurut P.A.F. Lamintang pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan

20


(26)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dngan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.21

a. Sebagai pidana alternatif dari pidana mati

Pidana penjara seumur hidup diancamkan pada kejahatan-kejahatan yang sanggat berat, yakni:

b. Berdiri sendiri dalam arti tidak sebagai alternate pidana mati, tetapi sebagai alternatifnya pidana penjara sementara setinggi-tingginya 20 Tahun. Misalnya Pasal 106 KUHP.

Pidana penjara seumur hidup di Indonesia dapat diubah (dikomutasi) menjadi pidana sementara waktu. Berdasarkan pasal 9 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi, dinyatakan bahwa:

a. Narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah menjalani paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut serta berkelakuan baik, dapat diubah pidanaanya menjadi pidana penjara sementara, dengan lama sisa pidana yang masih harus dijalani paling lama 15 (lima belas) tahun.

b. Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

21

Dwdja priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung, PT Rafika Aditama, 2006, Hal. 5


(27)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

c. Permohonan perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara diajukan narapidana yang bersangkutan kepada Presiden melalui Mentri Hukum dan Perundang-undangan.22

Pidana penjara sementara waktu paling rendah 1 hari dan paling tinggi 15 Tahun. Pidana penjara sementara dapat dijatuhi melebihi 15 Tahun secara berturut-turut, yakni dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat 3 KUHP. Dalam menjalani pidana penjara dalam lembaga pemasyarakatan, narapidana wajib menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan kepadanya menurut ketentuan pelaksanaan yang terdapat dalam Pasal 29 KUHP.23

Sejak tahun 1964, istilah penjara bagi suatu tempat untuk menjalankan pidana penjara sudah diganti dengan istilah Lembaga Pemasyarakatan, ini merupakan gagasan dari Dr.Saharjo (Mentri Kehakiman pada waktu itu) untuk menjadikan Lembaga Pemasyarakatan bukan sebagai suatu tempat yang semata-mata dan menderitakan orang lain, akan tetapi suatu tempat untuk membina atau mendidik orang-orang yang telahberkelakuan menyimpang (narapidana).24

Pidana kurungan dinyatakan hanya untuk kejahatan-kejahata kulpos yaitu kejahatan-kejahatan karena kealpaan, dan sering secara alternative dengan pidana penjara. Juga pada pelangaran-pelangaran berat.

3. Hukuman Kurungan

25

Dalam beberapa hal pidana kurungan memiliki persamaan dengan pidana

22

Ibid. Hal. 73-74.

23

Adami Chazawi, Op. cit. Hal. 34

24

Ibid. Hal. 38

25


(28)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

penjara, akan tetapi pada pidana kurungan apabila putusan hakim dibacakan, terpidana kurungan maupun terpidana penjara berada didalam tahanan sementara sehingga putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap (inkarcht van gewijsde zaak).

Menurut ketentuan pasal 33 (1) KUHP hakim berwenang untuk memperhitungkan masa tahanan sementara sebagai bagian dari lamanya masa pidana yang dijalankan, yang didalam praktek hukum selama ini selalu diberlakukan karena dalam prakteknya masa tahanan sementara itu menjadi lama berhubung penyelesaian perkara pada umumnya membutuhkan waktu yang cukup lama.26

Terpidana yang dijatuhi pidana denda boleh segera menjalani pidana kurunggan pengganti denda apabila pidana denda hanya alternative, namun apabila terpida denda dijatuhi pidana denda dan telah membayar sejumlah uang tersebut maka uang denda yang dibayar terpidana menjadi millik Negara, oleh

4. Hukuman Denda

Pidana denda diancam pada jenis pelanggaran baik secara alternative dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri. Begitu juga terhadap jenis-jenis kejahatan ringan maupun kejahatan culpa, pidana denda sering diancamkan sebagai alternative dari pidana kurungan. Sementara itu, bagi kejahatan-kejahatan selebihnya jarang sekali diancamkan dengan pidana denda baik sebagai alternative dari pidana penjara maupun berdiri sendiri.

26


(29)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

karena itu, kejaksaan setelah menerima dari terpidana maka unag tersebut harus segera diserahkan kepada kas Negara.

5. Hukuman Tutupan

Pidana tutupan ini datambahkan pada pasal 10 KUHP, melalui UU No.20 Tahun 1946 yang maksudnya sebagaimana tertuang dalam pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihrmati, hakimboleh menjatuhkan pidana tutupan. Pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu, cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan itu adalah sedemikian rupa, sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.27

Dalam praktek saat ini hampir tidak ada Putusan Hakim yang menjatuhkan pidana tutupan. Sepanjang sejarah praktek hukum Indonesia, pernah terjadi sekali hakim menjatuhkan Pidana Tutupan yaitu, Putusan Mahkamah Tentara Agung RI pada tanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para pelaku kejahatan yang

Tempat dan menjalani Pidana Tutupan diatur lebih lanjut didalam aturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948, yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah tentang Rumah Tutupan. Pidana Tutupan bukan jenis pidana yang berdiri sendiri melainkan Pidana penjara juga perbedaannya hanyalah terletak pada orang yang dapat dipidana tutupan hanya bagi orang yang melakukan tindak pidana karena didorong oleh maksud yang dihormati.

27


(30)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

dikenal dengan sebutan pristiwa 3 Juli 1946.28

B. Hukuman-Hukuman Tambahan

Pidana tambahan adalah pidana tambahan dari pidana pokok, biasanya fakultatif,jadi boleh pula tidak.Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan pada pidana pokok, tetapi ada juga pengecualianya, perampasan barang-barang tertentu dapat dilakukan terhadap anak yang disrahkan kepada pemerintah tetapi hanya mengenai barang-barang yang disita. Dalam hal ini ada pidana tambahan pada suatu tindakan,dan bukan pada pidana pokok perkara.

1. Pencabutan Beberapa Hak Yang Tertentu

Undang-Undang hanya memberikan kepada Negara wewenang melakukan pencabutan hak tertentu saja, yang menurut pasal 35 ayat 1 KUHP , Hak-hak yang dapat dicabut tersebut adalah

a) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu b) Hak menjalankan jabatan dalam Angkatan Bersenjata/TNI

c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.

d) Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atau penempatan

pengadilan, hak menjadi ahli waris, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri

e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau

pengampuan atas anak sendiri f) Hak menjalankan mata pencarian

28


(31)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

Sifat hak-hak tertentu yang dicabut oleh hakim, tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali bila yang bersangkutan dijatuhi pidana penjara seumur hidup atau pidana mati.29

Utrecht berpendapat bahwa barang tersebut harus menajdi milik terpidana pada saat ia melakukan kejahatan. Pendapat ini didasarkan kepada alas an bersifat praktis, yaitu bahwa jika beranggapan, barang tersebut menjadi milik terpidana

2. Perampasan Barang yang Tertentu

Perampasan barang sebagai suatu pidana hanya diperkenankan atas barang-barang tertentu saja , tidak diperkenankan untuk semua barang. Undang-undang tidak mengenal permapasan untuk semua kekayaan.ada dua jenis barang yang dapat dirampas memalui putusan hakim pidana, yaitu barang-barang yang berasal dari suatu kejahatan (bukan dari pelanggaan), yang disebut dengan Corpora Delictie, misalnya uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang, dan barang-barang yang diunakan dalam melakukan kejahatan, yang disebut dengan Instrumental delictie, misalnya pisau yang digunakan dalam kejahan pembunuhan.

Berdasaran pasal 39 ayat 1, timbul suatu permasalahan dimana dinyatakan barang milik terpidana (bukan tersangka atau terdakwa) barang itu menjadi milik terpidana saat pidana dijatuhkan. Maka timbul persoalan pada saat manakah barang-barang yang dirampas itu harus menjadi milik terpidana? Apakah pada saat kejahatan dilakukan atau pada saat pidana dijatuhkan oleh Hakim.

29


(32)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

pada saaat pidana dijatuhkan , namun bukanlah selama jangka waktu antara sewaktu kejahatan dilakukan sampai saat hakim mejatuhkan putusan, tersangka/terdakwa mempunyai kesempatan yang cukup untuk mengalihkan hak miliknya atas barang itu. Jika demikian, barang tersebut menjadi tidak dapat lagi dirampas.30

Maksud dari Pengumuman Putusan Hakim yang demikian ini adalah sebagai usaha preventif, mencegah bagi orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak pidana yang sering dilakukan orang. Maksud yang lain adalah

3. Pengumuman keputusan Hakim

Pidana pengumuman putusan hakim ini, hanya dapt dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan dalam Undang-undang. SetiapPutusan Hakim memang harus diucapkan dalama Persidangan Yang Terbuka Untuk Umum, bila tidak putusan itu batal demi hukum. Tetapi pengumuman Putusan Hakim sebagai sesuatu pidana bukanlah seperti disebutkan diatas, pidana pengumumna putusan hakim merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan, sesorang dari pengadilan pidana.

Dalam pidana pengumuman ptusan hakim ini, hakim bebas menentukan perihal cara melaksanakan pengumuman itu, hal tersebut dapat dilakukan melalui surat kabar, plakat yang ditempelkan apda papan pengumuman, mlalui media radio maupun televise, yang pembiayaannya dibebankan kepada terpidana.

30

Utrecht E., Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II,Universita, Bandung, 1965, hal.25


(33)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

memberitahukan kepada masyarakat umum, agar berhatihati dalam bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur, sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan.

b. Pemidanaan

1. Pengertian Pemidanaan

Cara kerja hukum pidana dengan melakukan pemidanaan atau pemberian pidana mempunyai pengertian yang luas. Pemidanaan atau pemberian pidana mempunyai pengertian yang luas dalam arti bisa dibedakan menjadi dua pengertian, yakni (1) pemidanaan dalam arti abstrak (pemidanaan in abstracto), dan (2) pemidanaan dalam arti kongkrit (pemidanaan in concreto).

Hukum pidana menciptakan tata tertib di dalam masyarakat melalui pemberian pidana secara abstrak, artinya dengan ditetapkannya di dalam undang-undang perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan yang dilarang disertai ancaman pidana, atau dengan ditetapkannya perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana di dalam undang-undang, maka diharapkan warga masyarakat akan mengerti dan menyesuaikan diri sehingga tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang telah dilarang dan diancam pidana itu. Dengan demikian, dengan diberlakukannya suatu undang-undang pidana yang baru di dalam masyarakat, diharapkan akan tercipta ketertiban di dalam masyarakat.

Hukum pidana menciptakan tata tertib atau ketertiban melalui pemidanaan dalam arti kongkrit, yakni bilamana setelah suatu undang-undang pidana dibuat dan diberlakukan ternyata ada orang yang melanggarnya, maka melalui proses peradilan pidana orang tersebut dijatuhi pidana.


(34)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

Pemidanaan adalah suatu rangkaian cara untuk memberikan kepada seseorang yang telah melakukan Tindak Pidana, wujud dari penderitaan yang dapat dijatuhkan Negara, cara menjatuhkannya, dimana, dan bagaimana cara menjalankan pidana tersebut.Negaralah yang berhak menjatuhkan pidana melalui alat-alat pemerintah Negara yang memegang Subjectief strafrecht (jus puniendi) yang dapat menjatuhkan pidana terhadap pengertian pidana objectief strafrecht (jus punale).31

Teori-teori pemidanaan (dalam banyak literature hukum disebut dengan Pemerintah yang mengendalikan hukum tersebut, karena pemerintah berhak memidana. Hak menjatuhkan pidana merupakan pelengkapan Negara, hanya yang mempunyai wewenang yang dapat memaksakan berlakunya kehendak untuk memidana.

Tujuan penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu sendiri bermacam-macam bergantung pada teori-teori yang dianut di dalam sistem hukum pidana di suatu masa. Kendati demikian, tujuan akhir dari penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu tetap di dalam koridor atau kerangka untuk mewujudkan tujuan hukum pidana. Ini berarti bahwa penjatuhan pidana atau pemberian pidana sebenarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana. Kerangka berpikir seperti di atas, juga berlaku dalam konteks UU No. 5 Tahun 1997.

2. Teori-Teori Mengenai Tujuan Pemidanaan

31

Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, Hal.36


(35)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

teori hukum pidana/ strafrecht-theorien) adalah berhubungan langsung dengan pengetian hukum pidana subyektif, teori-teori ini adalah mencari dan menerangkan tentang dasar dari hak Negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut32

Dasar pijakan dari teori ini ialah “Pembalasan”, inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berup pidana itu kepada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana ialah Karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan atau perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat atau negara)yang telah dilindungi.

.

Hukum pidana dalam usahanya mencapai tujuan-tujuannya tidak semata-mata menjatuhkan pidana, tetapi ada juga kalanya mengunakan tindakan-tindakan. Penjatuhan pidana ini juga memiliki tujuan-tujuan demi keadilan baik bagi koban atau masyarakat luas juga untuk membentuk pribadi yang lebih baik dari pelaku kejahatan

Inilah yang dimaksud dengan teori-teori pemidanaan yaitu maksud atau tujuan dilakukannya pemidanaan kepada pelaku kejahatan demi keadilan dan kebaikan bagi diri pelaku sendiri dan masyarakat. Terdapat berbagai teori yang membahas alasan-alasan yang membenarkan(justification) penjatuhan hukum.Diantaranya adalah :

a. Teori Absolut

33

Maka oleh karena itu ia harus diberi pidana yang setimpal dengan

32

Adami Chazawi, Op. cit. Hal. 153

33


(36)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

perbuatan yang dilakukannya. Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain. Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya.

Tidak dilihat akibat-akibat apa yang bisa timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memperhatikan masa kedepan baik terhadap diri penjahat maupun masyarakat. menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.

Tindakan pembalasan didalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah yaitu 1. Ditujukan kepada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan)

2. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan masyarakat (Sudut objektif dari pembalasan)

Pembalasan oleh banyak orang dikemukakan sebagai alas an untuk mempidana suatu kejahatan, kepuasan itulah yang dikejar.Apabila ada seorang oknum yang langsung kena dan menderita karena kejahatan itu, maka kepuasan hati itu terutama ada pada si oknum tersebut. Dalam hal pembunuhan kepuasan hati ada pada keluarga si korban khususnya, dan pada masyarakat umumnya.

Dengan meluasnya kepuasan hati ini pada sekumpulan orang, maka mudah juga meluasnya sasaran dari embalasan pada orang orang lain dari pada si penjahat, yaitu pada para sanak-keluarga atau kawan-kawan karib. Maka unsur pembalasan, meskipun dapat dimengerti tidak selalu dapat menjadi ukuran untuk menetapkan suatu pidana.


(37)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

Menurut teori ini suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan melainkan harus dipersoalkan pula apa manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat, atau bagi si penjahat itu sendiri. Tidak saja dilihat pada masa lampau, melainkan juga pada masa depan. Maka harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja.Dengan demikian teori ini juga dinamakan teori tujuan.

Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.34

1. Bersifat menakut-nakuti (Afschrikking)

Untuk mencapai ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga sifat yaitu:

2. Bersifat memperbaiki (Verbeterribg/reclasering) 3. Bersifat membinasakan (onsschdelijk maken)

Menurut teori ini pidana dimaksudkan sebagai alat pencegahan baik yang bersifat khusus, (special prevention ) maupun yang bersifat umum (General Prevention)

Teori ini melihat punishment sebagai cara untuk mencegah atau mengurangi kejahatan. Premisenya adalah bahwa pemidanaan sebagai tindakan yang menyebabkan derita bagi terpidana, hanya dianggap sah apabila terbukti bahwa dijatuhkannya pidana itu memang menimbulkan akibat lebih baik daripada

34


(38)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

tidak dijatuhkan pidana pihak-pihak yang terlibat35

c. Teori Gabungan

.

Karena titik tekan teori ini pada aspek kemanfaatn meemperbaiki pelaku dan mencegah orang lain melakukan kejahatan,teori relative melihat pada usaha untuk dengan menjatuhkan pidana dapat memperbaiki si penjahat agar menjadi orang baik, yang tidak akan melakukan kejahatan lagi.

Apabila ada dua pendapat yang diametraal berhadapan satu sama lain, biasanya ada suatu pendapat ketiga yang berada di tengah-tengah.di samping teori absolute dan teori relative tentang hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga, yang disatu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam hukum pidana, tetapi lain pihak mengakui pula unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana.

Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan ini adalah menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori-teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu:

1. Teori Gabungan Pertama

Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampui batas dari apa yang perlu dan cukup dan dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat. Pendukung teori gabungan yang menitik beratkan pada pembalasan ini didukung oleh POMPE, yang berpandangan bahwa

35

Jimly Assiddigie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia , Bandung, :Angkasa, 1996, Hlm. 168


(39)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

pidana tiada lain adalah pembalasan kepada penjahat, teteapi juga bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar supaya kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan.

Pakar hukum pendukung teori gabungan pertama ini ialah Ze venbergen yang berpendapat bahwa makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tata tertib hukum sebab pidana itu ialah mengembalikan dan memepertahankan ketaatan pada hukum dan pemerintahan. 2. Teori Gabungan yang Kedua

Menurut Thomas Aquino, bahwa yang menjadi dasar pidana itu ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana maka harus adanya kesalahan pada pelaku perbuatan, dan kesalahan itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela.

Pidana yang dijatuhkan pada orang yang melakukan perbuatan yang dilakukan dengan sukarela inilah yang tiada lain bersifat pembalasan. Sifat membalas dari pidana adalah merupakan sifat umum dari pidana, tetapi bukan tujuan dari pidana, sebab tujuan pidana pada hakekatnya adalah pertahanan dan perlindungan tata tertib masyarakat.36

4. Metode Penelitian

Dalam penulisa skripsi ini, penulis mengunakan metode penelitian berupa: 1. Jenis Penelitian

36


(40)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

Penelitian ini merupakan hukum normatif (yuridis normatif) yang dilakukan dan ditujukan pada ketentuan pidana yang mengatur tentang produsen psikotropika dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi serta menganalisa putusan pengadilan

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil putusan Pengadilan Negeri di Surabaya, Pengadilan Tinggi Surabaya dan Makamah Agung yang sesuai dengan permasalahan dalam skripsi ini untuk dianalisa.

3. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksudkan oleh penulis adalah sebagai berikut:

G. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang, yakni berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintahan sebagainya.

H. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang

merupakan informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana produsen psikotopika seperti seminar hukum, majalah, karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan tindak pidana psikotropika dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitandengan persoalan diatas.

I. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, biografi dan lain-lain.


(41)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

4. Manfaat Pengumpulan Data

Dalam penulisan skeripsi ini, maka metode yang digunakan penulis adalh metode kepustakaan (library research). Yakni metode dengan menggunakan data sekunder yang tertulis sebagai pedoman. Dan selain buku ilmiah, maka penulis juga mengumpulkan data-data dari bahan-bahan referensi yang berasal dari mass media, seperti surat kabar dan juga bahan-bahan dari internet.

5. Analisa Data

Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu apa yang diperoleh dipenelitian di lapanggan dan dipelajari secara utuh dan menyeluruh untuk memperoleh jawaban permasalahan dalam skripsi ini.

5. Sistematika Penulisan

Sistem penyusunan skripsi ini oleh penulis dimasudkan untuk memberi perincian secara garis besar isi dari skripsi ini. Dalam penyusunannya sekripsi ini akan dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan susunan sebagai berikut:

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas tentang ketentuan pidana terhadap produsen psikotropika menurut ketentuan undang-undan nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar


(42)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

belakang lahirnya undang-undang psikotropika, sanksi pidana terhadap produsen psikotropika dan proses hukum terhadap produsen psikotropika menurut ketetuan UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

BAB III : Dalam bab ini akan diuraikan tentan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya produsen psikotropika di Indonesia, yang dilihat dari 2 (dua) faktor, yaitu faktor hukum dan faktor diluar hukum.

BAB IV : Dalam bab ini diuraikan tentang analisis sebuah kasus yang telah melewati 3 (tiga) tingkatan putusan yaitu berdasarkan putusan PN Surabaya, PT Surabaya dan Mahkamah Agung yang diuraikan dalam 2 (dua) bagian yaitu, kronologis kasus dan analisa putusan hakim. BAB V : Bab terakhir ini merupakan kesimpulan dan saran.


(43)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

BAB II

KETENTUAN PIDANA TERHADAP PRODUSEN

PSIKOTROPIKA MENURUT UU NO.5 TAHUN

1997 TENTANG PSIKOTROPIKA

A. Latar Belakang Lahirnya UU Psikotropika

Selama beberapa dasawarsa terakhir ini masyarakat internasional dan nasional dihadapkan pada berbagai masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, kemudian muncul danpak negatif yang semakin luas dan bahkan berdimensi internasional. Hal ini berpengaruh buruk tidak saja terhadap pertumbuhan generasi muda, tetapi juga dapat melemahkan ketahanan nasional.

Psikotropika sangat bermanfaat dan diperlukan dalam pelayanan kesehatan, yang penggunaannya harus dilakukan di bawah pengawasan tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan wewenang untuk itu. Disamping itu, juga diperlukan untuk ilmu pengetahuan dalam kegiatan riset. Dilain pihak penggunaan psikotropika yang tidak sesuai dengan ketentuan atau tanpa


(44)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

pengawasan tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan wewenang untuk itu, dapat merugikan kesehatan individu pengguna, yang pada akhirnya dapat menurunkan derajat kesehatan masyarakat.

Sebelum kelahiran UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika tidak ada ketegasan dari segi hukum pidana mengenai tindak pidana psikotropika. Pada waktu itu utusan-putusan badan pradilan terhadap kasus-kasus psikotropika (ekstasi) berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan dianggap kurang kuat, sebagai dasar hukum dari sisi hukum pidana.37

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika tidak dapat dilepaskan dari adanya konvensi Psikotropika 1971 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 dan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Agains Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotripic Subsstances.38

Pada tanggal 7 Nopember 1996, Presiden Republik Indonesia telah mengesahkan Konvensi Internasional 1971 melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996,ini membuktikan secara otomatis Indonesia menjadi pihak pada

1. Konvensi Psikotropika Substansi Tahun 1971

37

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Cv. Mandar Maju, 2003, Hlm. 123.

38


(45)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

konvensi, yang memberikan landasan hukum yang kukuh dalam rangka mencegah dan menaggulangi penyalahgunaan serta memerangi peredaran gelap psikotropika dalam tatanan kerjasama internasional. Dengan demikian Indonesia dapat lebih menkonsolidasikan upaya mencegah, dan melindungi kepentingan masyarakat terutama generasi muda terhadap akibat buruknya psikotropika.

Konvensi ini merupakan suatu perangkat hukum internasional, sebagai resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB No.1474, 24 Maret 1970, yang diselenggarakan di Wina, Australia. Konvensi tersebut mulai berlaku sejak 16 Agustus 1976, dan sampai Desember 1995 tercatat 140 negara menjadi pihak dengan menandatangani konvensi, tetapi pada saat itu Indonesia belum ikut menandatanggani konvensi tersebut.

Pengaturan itu mendorong terciptanya suatu sistem untuk mengawasi setiap kegiatan, yang berhubungan dengan psikotropika secara internasional, yang didasarkan pada kepentingan kelangsungan untuk mempertahankan hidup dan kehidupan umat manusia dalam bermasyarakat dan benegara secara wajar.

Konvensi mengatur kerjasama internasional dalam pengadilan dan pengawasan produksi, peredaran dan penggunaan serta pencengahan, pemberantasan terhadap penyalahgunaan psikotropika dengan membatasi penggunaannya hanya bagi kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan.

Permasalahan penyalahgunaan psikotropika berdasarkan mukadimah konvensi psikotropika ialah akan memberikan dampak kepada masalah kesehatan dan kesejahteraan umat manusia serta permasalahan social lainnya. Dengan semakin pesatnya kemajuan dalam bidang transportasi dan sejalan dengan


(46)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika menunjukan gejala yang semakin meluas dan berdimensi internasional yang melewati batas teritorial masing-masing Negara sehingga diperlukan peningkatan kerja sama internasional yang berdampak pada aspek hukum internasional.

Convention on Psychotropic Substances 1971 dalam konteks hukum internasional secara substansial telah mengatur beberapa hal, yakni:

a) Merupakan perangkat hukum internasional yang menatur kerjasama internasional tentang pengunaan dan peredaran psikotropika.

b) Lebih menjamin kemungkinan penyelengaraan kerjasama dengan negara-negara lain dalam pengawasan peredaran psikotropika dan usaha-usaha penanggulangan atas penyalahgunaan psikotropika.

c) Dari aspek kepentingan negara, Indonesia dapat lebih

menonsolidasikan upaya pencegahan dan perlindunagan kepeningan masyarakat umum, terutama generasi muda terhadap akibat buruk yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan psikotropika.

d) Disamping itu, tindakan tersebut akan memperkuat dasar-dasar tindakan Indonesia dalam melakukan pengaturan yang komprehensif mengenai peredaran psikotropika di dalam negeri.

e) Dengan demikian, penegakan hukum terhadap tindak pidana

penyalahgunaan psikotropika akan lebih dapat dimantapkan.39

Convention on Psychotropic Substances 1971, mengandung pokok-pokok pikiran yang didorong dari semua Negara dan dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional sebagai berikut:

a) Perhatian terhadap kesehatan dan kesejahteraan umat manusia, tekad untuk mencegah dan memerangi penyalahgunaan dan peredaran psikotropika.

b) Perimbangan bahwa tindakan yang tepat diperlukan untuk membatasi pengunaan psikotropika hanya untuk pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan.

c) Pengakuan bahwa pengunaan psikotropika untuk pengobatan dan/atau

39

Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005, Hal.53


(47)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

tujuan ilmu pengetahuan sangat diperlukan sehingga ketersediannya perlu terjamin.

d) Keyakianan bahwa tindakan efektif untuk memerangi penyalahgunaan psikotropika tersebut memerlukan koordinasi dan tindakan universal. e) Pengakuan adanya kewenangan Perserikatan Bangsa Bangsa dalam

melakukan pengawasan psikotropika dan keinginan bahwa Badan Internasional yang melakukan pengawasan tersebut berada dalam kerangka organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

f) Pengakuan bahwa diperlukan konvensi internasional untuk mencapai tujuan ini.40

Inilah yang menjadi pokok-pokok pikiran yang disepakati bersama oleh beberapa negara di dunia sehingga konvensi tersebut dapat disahkan.

Kedudukan Indonesia sebagai Negara bukan penandatanganan konvensi, sesuai dengan Pasal 25 dan 26 Convention on Psychotropic Substances 1971, tetapi agar dapat berperan dalam penangulangan pskotropika maka cara yang ditempuh untuk menjadi pihak pada konvensi adalah menyampaikan piagam aksesi.

Apabila Indonesia telah menyampaikan piagam aksesi, konvensi ini akan mulai berlaku bagi Indonesia secara internasional setelah 90 hari, terhitung sejak tanggal diterimanya piagam aksesi oleh seketaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Aspek kepentingan nasiona yang hendak dicapai Republik Indonesia adalah untuk mempelancar kerjasama internasional di bidang penanggulangan bahaya peredaran gelap dan penyalahgunaan psikotropika dengan Negara-negara anggota ASEAN lainnya yang telah terlebih dahulu meratifikai konvensi ini.

2. Konvensi PBB Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan

40


(48)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

Psikotropika Tahun 1988

Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Agains Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotripic Subsstances.

Konvensi ini merupakan penegasan dan penyempurnaan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang criminal dalam upaya mencegah dan memberantas organisasi kejahatan internasional yang melakukan peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Prinsip-prinsip umum terhadap penetapan kejahatan dan sanksi konvensi ini tidak berbeda dengan yang diatur dalam konvensi Psikotropika 1971.

Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 telah digolongkan jenis-jenis kejahatan yang dianggap serius,ialah:

a) Kelompok kejahatan yang terorganisasi

b) Kelompok kejahatan yang terorganisasi secara internasional

c) Perbuatan melawan hukum yang ada kaitannya dengan kejahatan tersebut d) Pengunaan kekerasan atau senjata api oleh penjahat

e) Kejahatan yang dilakukan oleh pegai negeri berkaitan dengan jabatannya f) Mengunakan anak-anak sebagai korban atau untuk melakukan kejahatan

g) Kejahatan yang dilakukan di dalam atau di sekitar lembaga


(49)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

tempat-tempat lain untuk berkumpulnya anak sekolah atau pelajar.41

Pengesahan konvensi ini dapat lebih menjamin kemungkinan penyelenggaraan kerjasama dengan Negara-negara lain dalam pengawasan peredaran psikotropika dan penanggulangan atas penyalahgunaannya. Disamping itu, pengesahan konvensi menjadi landasan bagi tindakan Indonesia untuk mengatur peredaran psikotropika di dalam negeri. Dengan demikian penegakan hukum terhadap tindak pidana penyalahgunaan psikotropika akan lebih dimantapkan.Sedangkan pengesahan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 akan memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi Inonesia untuk mengambil langkah-langkah dalam upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.42

B. Pengesahan UU No.5 Tahun 1997

Naskah RUU Psikotropika mengalami sejumlah perubahan mendasar dari awalnya, antara lain dari yan semula terdiri dari 14 bab, 67 pasal dan 104 ayat, kini menjadi 16 bab, 74 pasal dan 131 ayat. Dari semula yang mencantumkan perlunya 14 PP kini menjadi 8 PP penambah 7 ketentuan yang harus diataur oleh Menkes.

Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat paripurna tanggal 27 Januari 1997 memberi persetujuan secara bulat terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Psikotropika atau obat-obat keras. Dengan persetujuan ini pemerintah telah

41

Ibid , Hal.60

42


(50)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

mengesahkannya menjadi Undang-Undang pada tanggal 11 Maret 1997.

Undang-Undang no. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika adalah salah satu undang-undang yang mengatur tindak pidana diluar KUHP. Pengaturan pidana di luar KUHP terjadi karena kemajuan masyarakat itu sendiri.43

Berdasarkan Undang-Undang Psikotropika Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika telah dikeluarkan Peraturan Mentri Kesehatan RI Nomor: 688/Menkes/Per/VII/1997 Tangal 14 Juli 1997 untuk mengatur lebih lanjut tentang peredaran psikotropika. Dalam ketentuan umum Permenkes tersebut, yang

Hal ini merupakan pembaharuan hukum guna untuk menutup kekosongan hukum yang dapat terjadi di dalam masyrakar karena perkembangan budaya dan teknologi yang begitu pesat dalam masyarakat.

UU Psikotropika sudah lama ditunggu, karena undang-undangnya dapat dipakai sebagai instrumen untuk menyiapkan generasi penerus bangsa yang bebas dari penyahgunaan obat-obatan, khususnya psikotropika. Dalam UU psikotropika lingkup pengaturannya juga dibatasi pada psikotropika yang berpotensi menimbulkan sindrom ketergantungan. Sementara jenis jenis psikotropika yang tidak menimbulakan sindrom ketergantungan, digolongkan sebagai obat keras dan pengaturannya tunduk pada ketentuan yang mengatur obat keras.

UU Psikotropika akan menciptakan suatu tatanan hukum yang akan memberikan kepastian dan perlindungan baik kepada para pembei pelayanan kesehatan dan masyarakat, yang membutuhkan dan menggunakan psikotropika bagi keperluan pengobatan.

43


(1)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

Negeri Surabaya No. 3412/Pid.B/2006/PN.Sby tanggal 17 April 2007 dan mengadili sendiri yang dalam amar putusannya yang pertama menyatakan terdakwa Hanky Gunawan alias Hanky telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama dan berlanjut memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 secara terorganisasi, mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan melakukan tindak pidana pencucian uang.

Menurut pendapat penulis putusan tersebut belumlah tepat dan tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU RI No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, karena menurut pendapat penulis sesuai dengan isi pasal 59 Ayat (2) yang m,enyatakan, Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).oleh karena itu penulis pada dasarnya sependapat dengan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa unsur terorganisir telah terpenuhi dalam tindak pidana tersebut,akan tetapi menurut hemat penulis sesuai dengan ketentuan Pasal 59 ayat (2) tersebut seharusnya pidana mati yamg dijatuhkan bersamaan dengan pidana dendan sebesar Rp. 750.000.000, menginggat sesuai dengan pembahasan penulis pada Bab II bahwa sanksi pidana dalam UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dapat menyimpangi ketentuan umum dalam KUHP dimana podana pokok dapat


(2)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

dijatuhkan secara bersamaan sekaligus.Akan tetapi dengan dijatuhkannya pidana mati tersebut semoga dapat menjadi efek jera terhadap pemberantasan peredaran psikotropika di masa yang akan datang, dan dapat juga menjadi efek jera bagi setiap orang yang mau menjadi produsen psikotropika yang akan mencontoh perbuatan terdakwa yang bersifal ilegal.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

1) Ketentuan pidana terhadap produsen psikotropika menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 diatur pada Pasal 59, 60 dan 70, sedangkan ketentuan pidananya secara umum diatur dalam BAB XIV dimulai dari Pasal 59 sampai dengan PAsal 72 UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dimana ruang lingkup pengaturannya dibatasi pada psikotropika yang berpotensi menimbulkan sindrom


(3)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

ketergantungan. Sementara jenis-jenis psikotropika yang tidak menimbulakan sindrom ketergantungan, digolongkan sebagai obat keras dan pengaturannya tunduk pada ketentuan yang mengatur obat keras. Ancama pidana yang dijatuhkan kepada produsen psikotropika berdasarkan ketentuan UU No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika berbeda dengan ketentuan KUHP, karena ada ancaman pidana penjara minimum dan pidana denda.Selain itu pidana pokok, yaitu pidana penjara dan pidana denda dapat dijatuhkan secara kumulatif. Pemeriksaan perkara produsen psikotropika termasuk kedalam perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna pemeriksaan dan penyelesaian secepatnya.

2) Latar belakang timbulnya produsen psikotropika di Indonesia dapat ditinjau dari 2 (dua) faktor yaitu pertama adalah faktor hukum seperti kurangnya pengawasan atas pendirian pabrik dan pengunaan visa oleh WNA di Indonesia menginggat bahwa dari kasus yang terungkap bahwa pada umumnya yang menjadi pracik dari psikotropika di Indonesia ialah WNA dan dan lemahnya pengawasan terhadap berdirinya suatu perusahaan, selain itu faktor diluar hukum adalah faktor perwujudan gaya hidup dan besarya permitaan yang membuat prsikotropika menjadi bisnis yang sangat menguntungkan.

3) Penerapan hukum terhadap produsen psikotropika dalam praktek peradilan masih kurang sesuai degan ketentun Undang-Undang No. 5


(4)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

Tahun 1997 tentang Psikotropika, sebagai tindak pidana khusus dalam prakteknya ada beberapa kekhususan baik secara hukum materil dan formil yang berbeda dengan KUHP, dan dalam praktek hal ini masih kurang diterapkan sebagai mana mestinya dan pidana penjara seumur hidup dan pidana mati sampai saat ini dipandang masih relevan digunakan terhadap produsen psikotropika di Indonesia sesuai dengan ancaman pidana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

B. Saran

1) Ketentuan pidana terhadap produsen psikotropika berdasarkan undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika sudah memiliki formulasi yang sudah baik akan tetapi kurang memiliki penjelasan yang kurang terinci dalam pasal-pasalnya, dan untuk memberantasan Psikotropika perlu dipertegasan pelaksanaan ketentuan pidananya dalam praktek, terutama aparat penegak hukum untuk menindak pelaku produsen psikotropika yang memproduksi secara ilegal. Hukum dalam hal ini adalah undang-undang yang diberlakukan tegas tanpa memihak. Dan aparat hukum yang serius menangani dengan penyidikan tuntas tentang setiap kasus psikotropika yang ada. Akan tetapi hukuman berat sepertinya tidak membuat jera pelaku lainnya, dan sepertinya dari satu masalah selesai maka masalah lainnya muncul. Jadi perlu dicermati persoalan apa dan upaya apa yang harusnya dilakukan untuk mencegah meluasnya penghasil psikotropika dan


(5)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

jaringannya.

2) Jika pemerintah ingin mengurangi penggunaan psikotropika maka diperlukan kerja keras. Perlu ditanggulangi semua faktor-faktor penyebab timbul produsen psikotropika di Indonesia oleh karena itu diperlukan konsentrasi dan pengawasan terus menerus terhadap pabrik obat-obat yang telah diberi wewenang untuk memproduksi psikotropika agar tetap memproduksi sesuai dengan ketentuan perundang-undang dan tetap mengadakan pengawasan terhadap setiap pabrik serta pengawasan terhadap warga negara asing yang datang ke Indonesia perlu ditingkatkan serta benar-benar mengawasi setiap WNA yang sedang berada di Indonesia, dan memiliki data yang akurat tenrtang tujuan WNA tersebut ke Indonesia agar tidak terjadi penyalahgunaan visa seperti yang sering terjadi belakangan ini.selain itu penting mengadakan penyuluhan tentang narkoba yang harusnya gencar dilakukan oleh setiap kalangan. Banyak yang masih belum paham benar tentang perbedaan piskotropika sebagai obat dan psikotropika yang disalahgunakan sehingga mudahnya masuk berbagai jenis obat terlarang dan pendirian pabrik distributor psikotropika terlarang di Indonesia. Bahaya narkoba dan dampaknya penting dipublikasikan terus menerus supaya orang tua, masyarakat awam paham penanganan dan pennaggulangannya, mengingat yang diancam adalah generasi penerus bangsa.


(6)

Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Study Kasus Reg. No.3142/Pid B/2006/PN.SBY, No. 256/Pid/2007/PT.SBY, No. 455K/PID,SUS/2007), 2008.

USU Repository © 2009

perlu ditingkatkan dalam prakteknya, agar tidak terjadi mafia-mafia peradilan dan langkah ini harus didukung dengan alokasi anggaran dan infrastruktur yang mendukung. Tetapi bukan tidak mungkin keadaan ini diperbaiki dan diupayakan, resikonya terlalu besar dibandingkan dengan dana yang akan dikeluarkan.masa depan bangsa ini dipertaruhkan apabila sebuah generasi hilang dikarenakan psikotropika dan obat-obat terlarang lainnya.